Anda di halaman 1dari 44

CASE REPORT SESSION (CRS) - REFERAT

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A221119/ Agustus 2022


** Pembimbing/ dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M

AMBLIOPIA

Oleh:

*Fitri Yeni, S.Ked

Pembimbing:
** dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


KSM/BAGIAN MATA RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Case Report Session - Referat

Ambliopia

Disusun Oleh:

Fitri Yeni, S.Ked


G1A221119

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior


KSM/ Bagian Mata RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Agustus 2022

PEMBIMBING

dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report Session –
Referat ini dengan judul “Ambliopia”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas
Program Profesi Dokter di Bagian Mata RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
H. Kuswaya Waslan, Sp.M, sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan arahan sehingga Case Report Session - Referat ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup
semoga kiranya Case Report Session - Referat ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya
dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Agustus 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting dalam kehidupan
manusia untuk melihat. Jika mata mengalami gangguan atau penyakit mata, maka akan
berpengaruh besar untuk keberlangsungan hidup. Fungsi mata bagi kehidupan
sangatlah penting, seringkali kurangnya memperhatikan kesehatan mata membuat
penyakit yang menyerang mata tidak dapat terdeteksi dan diobati dengan baik sehingga
menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan.1
Mata harus dijaga dari berbagai penyakit mata, salah satunya ambliopia atau
penyakit mata malas (lazy eye). Ambliopia adalah kondisi penurunan tajam
penglihatan terbaik pada salah satu atau kedua mata yang tidak berkaitan secara
langsung dengan abnormalitas struktur mata atau jaras penglihatan. Ambliopia
menandakan kegagalan perkembangan saraf pada sistem visual yang imatur. Penyebab
ambliopia adalah pengalaman visual yang abnormal di awal kehidupan akibat dari
strabismus, kelainan refraksi atau deprivasi visual. Ambliopia biasanya terjadi pada
dekade pertama kehidupan.2-3
Ambliopia merupakan penyebab utama hilangnya penglihatan monokular pada
anak. Ambliopia diperkirakan terjadi pada 2-4% dari jumlah populasi anak-anak di
dunia, dan jika dibiarkan akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita. Gangguan
penglihatan monokular pada anak sering kali tidak terdeteksi. Keterlambatan
penegakan diagnosis ambliopia mengakibatkan terapi menjadi lebih sulit dan kurang
efektif. Penegakan diagnosis ambliopia seringkali terhambat karena keterbatasan
kemampuan untuk menilai fungsi visual bayi atau anak-anak pada fase preverbal.2-3
Ambliopia yang tidak diterapi dengan adekuat akan mengakibatkan gangguan
fungsional seperti berkurangnya kecepatan membaca dan penurunan kemampuan
motorik halus. Gangguan fungsi ini diperkirakan akan menetap sepanjang hidup jika
ambliopia dibiarkan tidak diobati.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 2.1 Mata Kanan5


Mata adalah sepasang organ penglihatan dan terdiri dari bola mata dan saraf optik.
Bola mata terdapat di dalam orbita bersama dengan struktur visual lainnya. Wilayah
orbital adalah area wajah yang menutupi orbita dan bola mata, termasuk kelopak mata
atas dan bawah serta aparatus lakrimal. Bola mata berbentuk bulat dengan panjang
maksimal 24 mm.5
Mata memiliki beberapa bagian, yaitu:
a. Palpebra
Anatomi palpebra atau kelopak mata dibagi menjadi tujuh struktur lapisan, yaitu:
1) Kulit dan otot orbikularis,
2) Lempeng tarsal atau tarsus,
3) Otot protraktor (otot levator dan otot muller),
4) Septum orbita,
5) Lemak orbita,
6) Otot retraktor (otot kapsulo palpebra dan otot tarsal inferior),
7) Konjungtiva palpebra.
Palpebra berfungsi memberikan perlindungan atau proteksi mekanik pada bola mata
bagian depan dan mencegah mata dari kekeringan dengan berkedip (aktivitas otot
orbikularis okuli sebagai pompa air mata), mensekresi lapisan minyak pada air mata
yang diproduksi kelenjar Meibom, menyebarkan air mata ke seluruh permukaan
konjungtiva dan kornea serta melakukan proses drainase air mata melalui pungta ke
sistem drainase lakrimal.6
b. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior
sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra dan dengan epitel kornea di limbus.7
c. Sklera dan Episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir
seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta berbatasan
dengan kornea di anterior dan duramater nervus optikus di posterior. Permukaan luar
sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus yang disebut
episklera. Episklera mengandung banyak pembuluh darah untuk memperdarahi sklera.7
d. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa rata-rata tebalnya 550 μm di pusatnya
(terdapat variasi menurut ras), diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior, kornea memiliki lima lapisan yang
berbeda yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskular,
dan deturgensinya.8
Gambar 2.2 Histologi Mata

1) Epitel
Epitel terdiri dari 5-6 lapisan sel. Sel epitel kubus terletak paling dasar, makin ke
permukaan sel-sel berbentuk polygonal dan berbentuk pipih di permukaan. Dengan
electron mikroskop tampak sel-sel permukaan kornea seperti jonjot-jonjot yang
berfungsi menahan air mata untuk mencegah kekeringan kornea. Sel-sel epitel ini
mempunyai daya regenerasi yang besar dalam arti apabila terdapat kerusakan epitel
segera epitel yang rusak diganti sel-sel di bawahnya.8
2) Membrana Bowman
Merupakan lapisan aseluler yang jernih dan dan sebagian terdiri dari serabut-serabut
kolagen yang dianggap merupakan modifikasi bagian stroma.8
3) Stroma
Merupakan bagian yang tertebal dari kornea (+ 90% tebal kornea). Stroma terdiri
dari sabut-sabut kolagen dan sel-sel stroma di dalam bahan dasar mukopolisakarida.
Sabut-sabut kolagen tersusun parallel teratur sedemikian rupa dan hal inilah yang
menjadi sebab kornea tetap transparan.8
4) Membrana Descemet
Lapisan terkuat, tak mudah ditembus oleh mikroorganisme ataupun trauma. Lapisan
ini melapisi stroma di bagian posterior terdiri dari serat-serat kolagen jernih dan
dianggap sebagai hasil sekresi endotel.8
5) Endotel
Terdiri dari 1 lapis sel-sel kubus. Sel-sel endotel tidak mempunyai daya regenerasi
seperti halnya sel-sel epitel. Oleh karena itu kerusakan pada sel-sel endotel sering
bersifat permanen dan lebih berat dibanding epitel.8
Endotelium janin mulai terlihat bersamaan dengan epitelium tetapi berasal dari
krista neural. Lapisan ektoderm neural dan mesoderm tidak terlibat dalam
pembentukan kornea. Pada usia bayi dua tahun, diameter kornea sudah sama dengan
kornea usia dewasa, akan tetapi dengan kurvatura yang lebih datar.9
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
bagian depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dari 50 dioptri
pembiasaan sinar masuk kornea.9

e. Traktus Uvealis
Traktus uvealis terdiri atas iris, korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini merupakan
lapisan avaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.7
1) Iris dan Pupil
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa permukaan pipih
dengan apertura bulat yang terletak di tengah yang disebut pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari
bilik mata belakang, yang masing-masing berisi humor akuos. Iris mengatur banyaknya
cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi
akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.7
2) Korpus Siliaris
Korpus siliaris berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan
dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri atas
zona anterior yang berombak (pars plicata), dan zona posterior yang datar (pars plana).
Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk
humor akuos. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkular, dan
radial. Fungsi serat-serat ini adalah untuk mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat memiliki berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat atau
jauh.7
3) Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Koroid tersusun
atas tiga lapis pembuluh darah koroid yaitu besar, sedang, dan kecil. Kumpulan
pembuluh darah ini berguna untuk memperdarahi bagian luas retina yang
menyokongnya.7

4) Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung
pada zonula zinii di belakang iris. Zonula menghubungkannya dengan korpus siliaris.
Humor akuos terletak di depan lensa, dan di posteriornya terdapat humor vitreus, 65%
lensa terdiri atas air, sedangkan 35%-nya tersusun atas protein. Lensa tidak memiliki
serat nyeri, pembuluh darah, atau saraf.7
Lensa mata mampu membiaskan cahaya karena memiliki indeks bias sekitar 1,4 di
tengah dan 1,36 di bagian tepinya, berbeda dengan indeks bias humor akuos dan korpus
vitreus yang mengelilinginya. Dalam keadaan tanpa akomodasi, lensa memiliki
kontribusi sekitar 15-20 dioptri, sedangkan udara dan permukaan kornea memliki
kekuatan refraksi kurang lebih 43 dioptri.6
5) Humor Akuos
Humor akuos diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki bilik mata
belakang, humor akuos melalui pupil akan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke
perifer menuju sudut bilik mata depan.7
6) Retina
Lapisan bola mata yang paling dalam yaitu retina, melapisi 3/4 posterior bola mata
dan merupakan awal jalur peng-lihatan. Dengan oftalmoskop, melalui pupil dapat
terlihat bayangan retina yang diperbesar serta pembuluh darah yang berjalan pada
permukaan anteriornya. Retina merupakan satu-satunya tempat di dalam tubuh dimana
pembuluh darah dapat diamati secara langsung dan dievaluasi kelainan patologiknya,
antara lain pada hipertensi dan diabetes mellitus. Selain pembuluh darah,terdapat
beberapa struktur lain yang dapat diamati; diskus optikus (blind spot, bintik buta),
tempat keluarnya nervus optikus dari bola mata, serta arteri dan vena sentralis retina
yang berjalan bersama nervus optikus.7

Gambar 2.3 Retina dilihat dengan Oftalmoskop. 7


Retina terdiri dari epitel pigmen (bagian non-visual) dan bagian neural (bagian
visual). Epitel pigmen merupakan selapis sel epitel yang mengandung pigmen melanin,
terletak di antara koroid dan bagian neural retina. Melanin pada koroid dan epitel
pigmen menyerap cahaya sehingga dapat mencegah pantulan dan penyebaran cahaya
di dalam bola mata. 7
Retina terdiri atas 10 lapisan, dari luar ke dalam: epitel pigmen, lapisan batang dan
kerucut, membran limitans eksterna, lapisan inti luar, lepisan pleksiform luar, lapisan
inti dalam, lappisan pleksiform dalam, lapisan sel ganglion, lapisan serat saraf, dan
membran limitans interna. Bagian neural retina merupakan hasil penonjolan otak.
Bagian ini memroses data sebelum dihantarkan oleh impuls saraf ke hipotalamus,
kemudian ke korteks visual primer. Terdapat tiga lapisan utama neuron retina yang
dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam.
Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan-lapisan sel
fotoreseptor, sel bipolar, dan sel ganglion. Juga terdapat sel horizontal dan sel amakrin
yang membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur
sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion. 7

Gambar 2.4 A, Fotomikrograf retina manusia.


B, Gambar skematik lapisan-lapisan retina.
Fotoreseptor dikhususkan untuk transduksi gelombang cahaya menjadi potensial
reseptor. Terdapat dua jenis fotoreseptor yaitu sel batang (rod, bacili) dan kerucut
(cone, coni).. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan warna dan ketepatan penglihatan
pada cahaya terang. Sel kerucut umumnya terpusat pada fovea sentralis yaitu lekukan
kecil di tengah makula lutea yang terletak tepat pada sumbu penglihatan. Fovea
sentralis merupakan daerah dengan ketajaman penglihatan tertinggi karena padatnya
sel kerucut pada daerah tersebut.
7) Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avascular yang membentuk dua
per tiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensa,
retina, dan diskus optikus. Vitreus terdiri dari 99% air dan 1%-nya berupa kolagen dan
asam hialuronat.7

Pergerakan bola mata:10


a. Muskulus rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau menggulirnya
bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke VI (saraf abdusen).
b. Muskulus rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau
menggulirnya bola mata kearah nasal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf
okulomotor).
c. Muskulus rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi, dan
intorsi bola mata yang dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
d. Muskulus rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, adduksi, dan
ekstorsi yang dipersarafi oleh saraf ke III(saraf okulomotor).
e. Muskulus oblik superior, kontraksinnya akan menghasilkan intorsi, abduksi, dan
depresi yang dipersarafi saraf ke IV (saraf troklear)
f. Muskulus oblik inferior ,kontraksinya akan menghasilkan ekstorsi, abduksi, dan
elevasi yang dipersarafi saraf ke III(saraf okulomotor).
Gambar 2.5 Otot-Otot Gerak Bola Mata10

2.2 Fisiologi Melihat

Gambar 2.6 Proses Melihat.11

Komponen untuk dapat melihat adalah media refraksi (kornea, aqueous humor,
lensa, corpus vitreus), visual pathway (retina, nervus, traktus eptikus), dan visual
perception (korteks occipital/area broadman 17).11
Gambar 2.3 : Fisiologi penglihatan (Visual Pathway).11
Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata dan difokuskan pada
retina. Cahaya yang datang dari sumber titik jauh, ketika difokuskan di retina menjadi
bayangan yang sangat kecil. Cahaya masuk ke mata direfraksikan atau dibelokkan
ketika melalui kornea dan bagian- bagian lain dari mata (aqueous humor, lensa, dan
vitreous humor). Bagian-bagian tersebut mempunyai kepadatan yang berbeda-beda
sehingga cahaya yang masuk dapat difokuskan ke retina. Kemudian diretina akan
terjadi potensial aksi sehingga menghasilkan impuls listrik yang kemudian akan
dihantarkan ke thalamus melalui nervus optik ke korpus geniculatum lateral di
thalamus. Tetapi sebelum sampai akan terjadi persilangan di chiasma optikum sehingga
mata kiri dan kanan dapat saling berhubungan. Dari korpus geniculatum lateral
kemudian nantinya akan dihantarkan rangsangannya ke koteks di lobus occipital yang
berperan dalam fungsi penglihatan.10,11
Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil mengatur jumlah
cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila intensitas cahaya kecil, misalnya
saat berada di tempat gelap. Apabila berada di tempat terang atau intensitas cahaya
tinggi maka pupil akan mengecil. Pengatur perubahan pupil tersebut adalah iris yang
merupakan cincin otot yang berpigmen dan tampak dalam aqueous humor. Setelah
melalui pupil dan iris, maka cahaya sampai ke lensa.11
Ketika kita melihat benda pada jarak lebih dari 6 m (20 ft), lensa akan memipih
hingga ketebalan sekitar 3,6 mm. Sedangkan ketika kita melihat sesuatu pada jarak
kurang dari 6 m, lensa akan menebal hingga 4,5 mm pada pusatnya dan membelokkan
cahaya (refraksi) dengan lebih kuat. Perubahan ketebalan lensa tersebut dikenal dengan
lens accommodation (akomodasi lensa). Selain daya akomodasi, lensa juga berfungsi
untuk memfokuskan bayangan agar jatuh tepat di retina.11
Bila cahaya sampai ke retina, maka sel- sel batang dan sel- sel kerucut (sensitif
terhadap cahaya) akan meneruskan sinyal- sinyal cahaya tersebut ke otak melalui saraf
optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah terbalik, nyata, lebih
kecil, tetapi pada persepsi otak terhadap benda tetap tegak, karena otak mempunyai
mekanisme menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal (tegak).11

Gambar 2.7 Proses Jalannya Sinar Cahaya.11


Berdasarkan gambar di atas, jalannya sinar cahaya pada mata manusia antara lain
sebagai berikut.11
1) Cahaya yang dipantulkan oleh benda ditangkap oleh mata, menembus kornea mata
dan cairan aqueous humor dan dibiaskan melalui pupil.
2) Intensitas cahaya yang telah diatur oleh pupil diteruskan menembus lensa mata dan
cairan vetreous humor.
3) Daya akomodasi pada lensa mata mengatur cahaya supaya jatuh di retina tepatnya
di bagian bintik kuning.
4) Pada bintik kuning, cahaya diterima oleh sel reseptor yaitu sel kerucut dan sel
batang, kemudian disampaikan ke otak melalui saraf optik.
5) Cahaya yang disampaikan ke otak akan diterjemahkan oleh otak sehingga kita bisa
mengetahui apa yang kita lihat.

2.3 Fisiologi Perkembangan Penglihatan


2.3.1 Perkembangan Penglihatan Monokular (Menggunakan Satu Mata)
Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan sampai hitung jari.
Hal ini karena pusat penglihatan di otak yang meliputi nucleus genikulatum lateral dan
korteks striata belum matang. Setelah umur 4-6 minggu, fiksasi bintik kuning atau
fovea sentral timbul dengan pursuit halus yang akurat. Pada umur 6 bulan respon
terhadap stimulus optokinetik timbul. Perkembangan penglihatan yang cepat terjadi
pada 2-3 bulan pertama yang dikenal sebagai periode kritis perkembangan penglihatan.
Tajam penglihatan meningkat lebih lambat setelah periode kritis dan pada saat berumur
3 tahun mencapai 20/30.12

2.3.2 Perkembangan Penglihatan Binokular (Penglihatan dengan Dua Mata


Bersamaan)
Perkembangan penglihatan binokular terjadi bersamaan dengan meningkatnya
penglihatan monokular. Kedua saraf dari mata kanan dan kiri akan bergabung
memberikan penglihatan binokular (penglihatan tunggal dua mata). Di korteks
binokular yang mempunyai respons terhadap stimuli kedua mata, dan sel sel korteks
monokular yang bereaksi terhadap rangsangan hanya satu mata. Kira-kira 70% sel-sel
di korteks striata adalah sel-sel binokular. Sel-sel tersebut berhubungan dengan saraf
di otak yang menghasilkan penglihatan tunggal binokular dan stereopsis (penglihatan
tiga dimensi). Fusi penglihatan binokular berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan,
sementara stereopsis berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.13

2.3.3 Penglihatan Binokular Tunggal dan Stereopsis


Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di retina dari dua
mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi. Syarat penglihatan binokular
tunggal adalah memiliki sumbu mata yang tepat sehingga bayangan yang sama dari
masing-masing mata jatuh pada titik di retina yang sefaal, yang akan diteruskan ke sel-
sel binokular korteks yang sama.13

2.3.4 Adaptasi Sensoris pada Gangguan Rangsangan Penglihatan


Hal ini terjadi karena kedua mata kita terpisah dan masing-masing mata mempunyai
perbedaan penglihatan saat melihat obyek. Perkembangan sistem penglihatan
menyesuaikan dengan kekacauan bayangan retina yang tidak sama dengan
menghambat aktivitas korteks dari satu mata. Hambatan korteks ini biasanya
melibatkan bagian sentral lapang pandang dan disebut supresi kortikal. Bayangan yang
jatuh dalam lapang supresi kortikal tidak akan dirasakan dan area ini disebut skotoma
supresi. Tergantung pada adanya penglihatan binokular, dengan satu mata berfiksasi
sedang satu matanya supresi. Ketika mata fiksasi ditutup, skotoma supresi hilang.
Supresi korteks mengganggu perkembangan sel-sel kortikal bilateral dan akan
menghasilan penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis yang buruk. Jika supresi
bergantian antara kedua mata, tajam penglihatan akan berkembang sama meskipuan
terpisah tanpa fungsi binokular normal sehingga terjadi penglihatan bergantian atau
alternating. Supresi terus menerus terhadap aktivitas korteks pada satu mata akan
mengakibatkan gangguan perkembangan penglihatan binokularitas dan tajam
penglihatan yang buruk.13

2.4 Ambliopia
2.4.1 Definisi
Ambliopia berasal dari bahasa Yunani, amblyos yang berarti tumpul atau pudar, dan
opia yang berarti mata. Jadi ambliopia berarti penglihatan yang memudar. Ambliopia
didefinisikan sebagai kondisi penurunan tajam penglihatan pada satu mata atau kedua
mata walaupun dengan koreksi tajam penglihatan terbaik (best corrected visual acuity),
yang tidak berhubungan dengan kelainan struktural anatomi mata ataupun jaras
penglihatan.1,14
Secara klinis, seseorang dapat dikatakan ambliopia apabila terdapat perbedaan tajam
penglihatan terkoreksi terbaik sebesar dua baris atau lebih antara kedua mata pada
pemeriksaan dengan optotip atau tajam penglihatan terkoreksi terbaik sama dengan
20/30 atau lebih buruk. Ambliopia biasanya melibatkan tajam penglihatan sentral,
sedangkan penglihatan perifer biasanya tidak terganggu atau normal.14

2.4.2 Epidemiologi
Sebuah artikel meta-analisis terbaru memperkirakan 99,2 juta orang dengan
ambliopia pada tahun 2019 di seluruh dunia, meningkat menjadi 175,2 juta pada tahun
2030 dan 221,9 juta pada tahun 2040. Prevalensi kejadian ambliopia pada beberapa
penelitian global hasilnya bervariasi dari 0,2 hingga 6,2% pada anak-anak dan 1,44 -
5,6% pada orang dewasa.14
Jumlah prevalensi ambliopia yang terjadi lebih tinggi di negara-negara berkembang,
akan tetapi di Indonesia sendiri prevalensi totalnya belum didapatkan. Di Indonesia
sendiri didapatkan prevalensi ambliopia pada 2268 siswa SD usia 7-13 tahun di
Yogyakarta pada tahun 2008 sebanyak 1,5%. Penelitian secara deskriptif retrospektif
di SD Negeri 6 Manado pada tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa angka kejadian
ambliopia di SD Negeri 6 Manado dari 317 siswa SD usia 6-12 tahun sebesar 2%.14
Prevalensi ambliopia meningkat hingga empat kali lipat pada kelahiran prematur,
kecil menurut usia kehamilan, perkembangan terhambat, dan adanya riwayat keluarga
dengan ambliopia.14

2.4.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Pada umumnya ambliopia terjadi pada usia anak-anak dan terjadi karena adanya
kekurangan rangsangan untuk meningkatkan perkembangan penglihatan tanpa
ditemukannya kausa organik. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya ambliopia, salah satunya yaitu faktor
genetik/riwayat keluarga dengan kondisi ambliopia ataupun penyebabnya, seperti
Down Syndrome. Jika kelainan ambliopia ini ditemukan pada usia dibawah 6 tahun,
maka masih dapat dilakukan terapi yang optimal. Terdapat beberapa faktor risiko yang
dapat memicu terjadinya ambliopia, antara lain:1
a. Strabismus, kelainan mata yang disebabkan oleh mata juling yang konstan sehingga
kondisi ini menyebabkan gangguan fusi kedua mata dan akhitnya terjadi dominasi
pada pusat penglihatan kortikal oleh mata yang normal. Sedangkan pada mata yang
tidak terfiksasi/tidak normal akan mengalami penurunan respon terhadap
rangsangan yang mengakibatkan penurunan pusat penglihatan binokular. Selain itu,
kondisi bayangan foveal yang kabur akibat gangguan proses akomodasi merupakan
faktor risiko yang dapat memperberat kondisi mata ambliopia.
b. Anisometropia, kelainan mata yang disebabkan gangguan refraksi yang tidak
seimbang antara kedua mata. Derajat ringan hiperopia atau astigmatisme dapat
menjadi faktor risiko terjadinya ambliopia ringan (perbedaan 1-2 D pada kedua
mata). Sedangkan miopia tinggi unilateral (-6 D) atau hyperopia tinggi unilateral
(+6 D) dapat menjadi faktor risiko terjadinya ambliopia berat.
c. Isometropia, disebabkan karena gangguan refraksi tinggi yang tidak dikoreksi
sehingga tidak memberikan hasil penglihatan normal dalam jangka waktu yang
lama, walaupun ukuran kelainan dioptri kedua mata hampir sama. Kondisi ini dapat
terjadi karena bayangan pada retina kabur sehingga menyebabkan gangguan fusi
binokular.
d. Ametropia, yaitu penurunan tajam penglihatan dengan kelainan refraksi berat yang
tidak dikoreksi (hipermetropia atau astigmatisme) dan sering terjadi pada anak-
anak. Walaupun kasus ini jarang tetapi dapat menjadi faktor risiko ambliopia berat,
bahkan menyebabkan kebutaan.
e. Deprivasi, merupakan kekeruhan media kongenital dini yang menyebabkan
gangguan pembentukan bayangan akibat terhambatnya rangsangan cahaya yang
masuk kedalam mata. Dapat menjadi faktor risiko kebutaan jika tidak cepat
dideteksi dini.
Faktor risiko ambliopia antara lain kelahiran prematur, kecil menurut usia
kehamilan, skor APGAR kurang dari 7, perkembangan terhambat, dan riwayat
keluarga dengan ambliopia. Faktor risiko lain dapat berasal dari ibu adalah usia ibu
saat hamil (≥ 35 tahun), riwayat merokok atau bekerja di lingkungan mengandung zat
toksik saat hamil, dan indeks massa tubuh ibu kurang dari 18 sebelum masa konsepsi.14

2.4.4 Patofisiologi
Pada saat lahir, sistem penglihatan belum terbentuk sempurna dan tajam
penglihatan diperkirakan sekitar 20/400. Tajam penglihatan akan membaik dan
stereopsis terbentuk pada beberapa bulan pertama masa kehidupan. Mielinasi saraf
optik, perkembangan korteks visual, dan pertumbuhan nukleus genikulatum lateral
terjadi dalam 2 tahun pertama. Sedangkan fovea, bagian retina yang sensitif terhadap
rangsangan visual akan mencapai perkembangan sempurna pada usia sekitar 4 tahun.14
Masa kehidupan 7-8 tahun pertama merupakan masa yang sensitif untuk
perkembangan sistem visual; disebut masa kritis. Rangsangan visual yang normal pada
masa kritis ini sangat penting untuk perkembangan penglihatan normal. Perkembangan
jaras penglihatan pada sistem saraf pusat memerlukan otak untuk menerima gambaran
yang sama jelas dan fokus dari kedua mata. Gangguan atau terhambatnya
perkembangan jaras penglihatan akibat perangsangan visual abnormal akan
menimbulkan ambliopia. Perangsangan visual abnormal dapat disebabkan oleh
keadaan-keadaan tertentu seperti: strabismus, anisometropia, atau kelainan refraksi
bilateral berat (isoametropia), dan deprivasi stimulus (akibat kekeruhan jalur
penglihatan, misalnya ptosis, katarak, nistagmus, tumor palpebra).14
Periode kritis tersebut sebagai berikut:1
a. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga 20/20 6/6, yaitu pada
saat lahir sampai usia 3-5 tahun.
b. Periode yang berisiko tinggi untuk terjadinya ambliopia deprivasi, yaitu di usia
beberapa bulan hingga usia 7-8 tahun.
c. Periode dimana kesembuhan ambliopia masih dapat dicapai, yaitu sejak terjadinya
deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia dewasa.
Pada hewan percobaan menunjukkan gangguan sistem penglihatan fungsi neuron
yang dalam/besar yang diakibatkan pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada
korteks visual primer dapat kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan
pada satu atau kedua mata, dan sel yang masih responsive fungsinya akhirnya dapat
menurun. Kelainan juga terjadi pada neuron bagian genikulatum lateral.1
Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan terutama interaksi
kompetitif antar jalur penglihatan di kedua mata pada visual korteks untuk berkembang
hingga dewasa. Bayi sudah dapat melihat sewaktu lahir, tetapi mereka harus belajar
bagaimana menggunakan mata mereka, bagaimana untuk fokus, dan bagaimana cara
menggunakan kedua mata bersamaan.1
Penglihatan yang baik harus jernih, bayangan terfokus sama pada kedua mata. Bila
bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak sama pada kedua mata,
maka jaras penglihatan tidak dapat berkembang dengan baik, bahkan dapat memburuk.
Bila hal ini terjadi, otak akan “mematikan” mata yang tidak focus dan orang tersebut
akan bergantung pada satu mata untuk melihat. 1

2.4.6 Gambaran klinis.1


a. Penurunan tajam penglihatan
b. Efek densitas filter netral yaitu tajam penglihatan ketika di uji dengan densitas
filter netral akan membaik 1 atau 2 baris pada ambliopia dan menurun pada pasien
dengan kelainan organik.
c. Crowding phenomenon yang muncul pada ambliopia yaitu tajam penglihatan akan
menurun jika diuji dengan menggunakan kartu pemeriksaan multipel (uji snellen),
dibanding dengan menggunakan huruf tunggal (optotip).
d. Pola fiksasi dapat sentral atau eksentrik yaitu penggunaan region nonfoveal retina
terus-menerus untuk penglihatan monocular oleh mata ambliopia. Derajat ambliopia
pada fiksasi eksentrik tergntung pada jarak titik eksentrik dari fovea.
e. Penglihatan warna biasanya normal, tetapi dapat terganggu pada ambliopia dengan
tajam penglihatan dibawah 6/36.
Terdapat beberapa tanda pada mata dengan ambliopia, seperti:1
- Berkurangnya penglihatan satu mata
- Menurunnya tajam penglihatan terutma pada fenomena crowding
- Hilangnya sensivitas kontras
- Mata mudah mengalami fiksasi eksentrik
- Adanya anisokoria
- Tidak mempengaruhi penglihatan warna
- Biasanya daya akomodasi menurun
- ERG dan EEG penderita ambliopia selalu normal yang berarti tidak terdapat
kelainan organic pada retina maupun korteks serebri

Gambar 2.8 Penglihatan kabur (blur) pada mata ambliopia.1

2.4.7 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ambliopia bisa digolongkan menjadi strabismik,
refraktif,dandeprivasi.
a. Ambliopia Strabismik
Pada ambliopia strabismik, keadaan mata juling atau deviasi salah satu mata
menyebabkan pembentukan bayangan pada kedua mata berbeda, sehingga tidak terjadi
fusi. Untuk menghindari terjadinya diplopia, otak akan menginhibisi aktivasi jalur
retinokortikal dari fovea mata yang deviasi dan terjadi restrukturisasi sistem
penglihatan, sehingga menyebabkan ambliopia. Supresi tersebut menyebabkan
kehilangan kemampuan stereopsis dan fungsi binokular.14

Gambar 2.9 Deviasi Strabismus.14

Ambliopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi


atauterhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak
menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya akan terjadi dominasi pusat
penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan terjadi
penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.14
Gambar 2.10 Perbedaan penglihatan mata normal dan ambliopia.1

b. Ambliopia Refraktif
Ambliopia refraktif terjadi akibat gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, baik
tinggi tapi setara (isoametropik) maupun tidak setara (anisometric) secara signifikan.

1) Ambliopia Anisometropik
Pada anisometropia, ambliopia terjadi jika terdapat perbedaan refraksi antara kedua
mata setidaknya 1 D menyebabkan kedua mata sulit menyatukan bayangan (binocular
single vision) karena salah satu bayangannya lebih kabur. Mata dengan status kelainan
refraksi lebih tinggi membutuhkan usaha fokus lebih besar untuk membentuk bayangan
yang jelas pada retina, sehingga sering dibiarkan dalam keadaan tidak fokus.
Penglihatan kabur ini apabila kronis akan menimbulkan ambliopia. Anisometropia
hiperopik (rabun dekat) dan astigmatisme lebih besar kaitannya dengan penurunan
penglihatan daripada anisometropia miopik (rabun jauh). Ambliopia terjadi apabila
perbedaan refraksi lebih dari 3 D pada anisometropia miopik, 1,5 D pada anisometropia
hiperopik, dan 2 D pada anisometropia astigmatisme.14
2) Ambliopia Isoametropik
Ambliopia isoametropik atau disebut juga ambliopia ametropik bilateral merupakan
jenis ambliopia yang jarang; terjadi pada anak-anak dengan kelainan refraksi hampir
sama besar pada kedua mata walaupun sudah dikoreksi maksimal. Penurunan
penglihatan terjadi pada kedua mata karena akomodasi sering tidak adekuat untuk
membentuk gambaran yang jelas pada retina, menyebabkan perkembangan subnormal
korteks visual. Faktor risiko antara lain hiperopia lebih dari 4 – 5 D dan miopia lebih
dari 5 – 6 D.14

c. Ambliopia Deprivasi
Kejadian ambliopia deprivasi sangat jarang; terjadi apabila terdapat hambatan atau
obstruksi sepanjang aksis penglihatan seperti kekeruhan media refrakta (kornea keruh,
katarak, perdarahan vitreus), blefaroptosis, atau tumor palpebra pada masa kritis
perkembangan korteks visual. Walaupun kasus kejadian ambliopia akibat deprivasi
kurang dari 3 persen, jenis ambliopia ini merupakan yang terberat dan sulit diterapi
dibandingkan jenis ambliopia lain.14 Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak
kongenital padal / total yang menempati daerah sengral dengan ukuran 3 mm atau
lebih, harus dianggap dapat menyebabkan amblyopia berat.1

Amblyopia oklusi adalah bentuk amblyopia deprivasi disebabkan karena


penggunaan patch ( penutup mata) yang berlebihan. Amblyopia berat dilaporkan
dapat terjadi satu minggu setelah penggunaan patching unilateral pada anak usia. < 2
tahun sesudah menjalani operasi ringan pada kelopak mata.1

d. Ambliopia intoksikasi

lntoksikasi yang disebabkan pemakaian tembakau, alkohol. Timah atau bahan


toksis lainnya dapat mengakibatkan ambliopia. Biasanya terjadi neuritis optik toksik
akibat keracunan disertai terdapat tanda-tanda lapang pandangan yang berubah-rubah.
Hilangnya tajam penglihatan sentral bilateral, yang diduga akibat keracunan
metilalkohol, yang dapat juga terjadi akibat gizi buruk.9

e. Ambliopia histeria

Ambliopia yang terjadi akibat adanya histeria yang dapat mengenai satu mata, akan
tetapi lebih sering mengenai kedua mata. Pada pemeriksaan didapatkan lapang
pandangan yang menciut kon- sentris dan yang lebih karakteristik adalah gambaran
seperti spiral selama dilakukan pemeriksaan lapang pandangan. Kadang-kadang
disertai dengan gejala rangsangan lainnya seperti blefarospasme, memejamkan mata,
dan lakrimasi. Reaksi pupil normal dengan gejala lainnya yang tidak nyata.9

2.4.5 Diagnosis
Ambliopia dapat dicegah dan bersifat reversibel apabila terdeteksi dini serta
mendapat intervensi segera; sehingga penting melakukan skrining fungsi penglihatan
pada anak-anak usia 3 tahun dan lebih.14
Ambliopia didiagnosis berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan yang tidak
dapat dikoreksi maksimal disertai adanya faktor resiko ambliopia dan tanpa
abnormalitas struktur okuler. Diagnosis ambliopia secara tepat sulit pada anak berusia
kurang dari 3 tahun karena sulitnya pemeriksaan tajam penglihatan subjektif. Dalam
kebanyakan kasus, ambliopia seringkali tidak menimbulkan gejala. Tetapi berikut ini
gejala awal yang biasanya terlihat:1,14
a. Memiliki mata yang mengembara atau pergerakan mata yang satu dengan
sebelahnya tidak bergerak sama.
b. Memiliki mata yang tidak bergerak dalam arah yang sama atau fokus pada titik
yang sama.
c. Mengeluh dengan satu mata tertutup sebagian/penuh (ptosis).
d. Menyipitkan/memicingkan mata atau memiringkan kepala saat melihat suatu
objek.

Terdapat kecurigaan ambliopia unilateral apabila ditemukan:16


a. Fiksasi kedua mata berbeda (pada bayi dan anak yang belum dapat
berkomunikasi), atau terdapat perbedaan tajam penglihatan antara kedua mata
sebanyak 2 baris optotipe Snellen atau lebih (pada anak yang sudah dapat
berkomunikasi dan membaca).
b. Visus tidak berubah meskipun sudah diberikan koreksi lensa.
c. Perbedaan visus sepenuhnya tidak berhubungan dengan kelainan struktural
lintasan visual.
d. Adanya efek density filter dan efek crowding phenomenon.
e. Terkadang ambliopia sangat ringan sehingga hanya terdapat perbedaan visus 1
baris. Karena pada anak-anak pemeriksaan ini sangat sulit, dan kadang diagnosis
hanya berdasarkan penemuan kelainan yang berhubungan seperti adanya
anisometropia atau strabismus sudut kecil (mikrotopia).

Terdapat kecurigaan ambliopia bilateral apabila ditemukan:16


a. Anak harus maju pada saat menonton TV ataupun pada saat belajar di dalam
kelas.
b. Fiksasi dibawah kisaran rata-rata pada tiap mata (bayi dan anak yang belum bisa
berkomunikasi).
c. Visus tidak mencapai normal lensa koreksi.
d. Penurunan visus tidak sepenuhnya berhubungan dengan kelainan struktural
lintasan visual.
e. Adanya kekeruhan pada kornea atau lensa disertai nistagmus atau mata
bergoyang-goyang tanpa disadari.

Gejala klinis ambliopia yang terpenting adalah penurunan penglihatan yang tidak
dapat dikoreksi. Definisi penglihatan yang berhubungan dengan ambliopia mempunyai
karakteristik tertentu yang meliputi: crowding phenomenon, neutral density filter effect
dan fiksasi eksentris.16
1) Crowding Phenomenon dan Neutral Density Filter Effect
Pasien dengan ambliopia mempunyai tajam penglihatan membaca optotipe tunggal
yang lebih baik daripada membaca optotipe multiple. Pasien ambliopia seringkali
membaca optotipe tunggal 1-2 baris Snellen lebih baik dibandingkan dengan optotipe
linear. Neutral density filter memiliki efek menurunkan luminansi secara menyeluruh.
Tajam penglihatan pada mata yang ambliopia akan membaik jika diberikan neutral
density filter sedangkan mata yang sehat akan memburuk. Sebagai contoh pasien
ambliopia dengan visus 20/20 pada mata yang sehat dan 20/60 pada mata ambliopia,
pada keadaan fotopik atau penerangan biasa kedua visus tersebut menunjukkan
perbedaan 4 baris. Setelah diperiksa dengan neutral density filter, maka mata yang
sehat memiliki visus 20/50 (memburuk) dan mata ambliopia tetap 20/60. Sehingga
hanya terjadi perbedaan 1 baris optotipe Snellen. Kadang mata ambliopia justru
visusnya membaik. Apabila visus mata ambliopia turun drastis, berarti terdapat
kelainan organik pada mata tersebut.16

2) Fiksasi Eksentris
Pasien ambliopia dapat berkembang menjadi fiksasi eksentris. Fiksasi ini tidak
menggunakan fovea, tetapi menggunakan daerah parafoveal. Keadaan ini sering terjadi
pada pasien-pasien strabismus. Fiksasi eksentris terjadi karena mata berusaha untuk
melihat binokular sehingga retina di luar fovea yang menerima rangsangan dari objek
yang dilihat mata lainnya yang lurus akan berangsur-angsur dianggap atau dijadikan
fovea untuk fiksasi. Jika terdapat fiksasi eksentris, menandakan adanya ambliopia berat
dan prognosis penglihatan yang buruk.16
2.4.6.1 Anamnesis
Ada 4 pertanyaan penting yang harus kita tanyakan dan harus dijawab dengan
lengkap apabila kita menemukan pasien yang menderita ambliopia, yaitu : 17
1. Kapan pertama kali dijumpai kelainan ambliogenik? (seperti strabismus,
anisometropia, dll)
2. Kapan penatalaksanaan pertama kali dilakukan?
3. Terdiri dari apa saja penatalaksanaan itu?
4. Bagaimana kedisiplinan pasien terhadap penatalaksanaan itu?
Jawaban dari keempat pertanyaan tersebut akan membantu kita dalam membuat
prognosisnya (Tabel ).
Tabel 2.1 Faktor Primer yang Berhubungan dengan Prognosis Ambliopia
Jelek s/d Sedang Sedang s/d Baik Baik s/d
Sempurna
Onset anomali Lahir s/d usia 2 thn 2 s/d 4 thn 4 s/d 7 thn
ambriogenik
Onset Terapi >3 thn 1 s/d 3 thn ≤1 thn
Minus onset Anomali
Bentuk dan Koreksi optikal Koreksi optikal & Koreksi optikal
keberhasilan dari Kemajuan VA Patching penuh
terapi awal minimal Kemajuan VA Patching
sedang (moderate) Kemajuan VA
signifikan
Latihan
akomodasi,
koordinasi mata-
tangan & fiksasi
Adanya
stereoposis &
alterasi
Kepatuhan Tidak s/d kurang Lumayan s/d cukup Cukup s/d sangat
patuh
VA : Visual acuity (Tajam Penglihatan)
Sebagai tambahan, penting juga ditanyakan riwayat keluarga yang menderita
strabismus atau kelainan mata lainnya, karena hal tersebut merupakan predisposisi
seorang anak menderita ambliopia.17,18
Frekuensi strabismus yang ”diwariskan” berkisar antara 22% - 66%. Frekuensi
esotropia diantara saudara sekandung, dimana pada orang tua tidak dijumpai kelainan
tersebut, adalah 15%. Jika salah satu orang tuanya esotropia, frekuensi meningkat
hingga 40%. (Informasi ini tidak mempengaruhi prognosis, tapi penting untuk
keturunannya).17

2.4.6.2 Tajam Penglihatan


Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk/huruf yang rapat dan
mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut. Tajam penglihatan
yang dinilai dengan cara konvensional, yang berdasar kepada kedua fungsi tadi, selalu
subnormal. 17
Telah diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk mengidentifikasi huruf yang
tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang terisolasi, maka dapat kita
lakukan dengan meletakkan balok disekitar huruf tunggal. Hal ini disebut ”Crowding
Phenomenon”. 17,18
Gambar 2.11 Balok interaktif yang mengelilingi huruf Snellen

Terkadang mata ambliopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada huruf isolasi
dapat turun hingga 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk (countour interaction).
Perbedaan yang besar ini terkadang muncul juga sewaktu pasien yang sedang diobati
kontrol, dimana tajam penglihatannya jauh lebih baik pada huruf isolasi daripada huruf
linear. Oleh karena itu, ambliopia belum dikatakan sembuh hingga tajam penglihatan
linear kembali normal. 17
Menentukan tajam penglihatan mata ambliopia pada anak adalah pemeriksaan yang
paling penting. Walaupun untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya
sulit pada pasien anak – anak, tapi untungnya penatalaksanaan ambliopia sangat efektif
dan efisien pada anak – anak. 17
Anak yang sudah mengetahui huruf balok dapat di tes dengan kartu Snellen standar.
Untuk Nonverbal Snellen, yang banyak digunakan adalah tes ”E” dan tes ”HOTV”.Tes
lain adalah dengan simbol LEA. Bentuk ini mudah bagi anak usia ± 1 tahun (todler),
dan mirip dengan konfigurasi huruf Snellen. Caranya sama dengan tes HOTV. 1

Gambar 2.12 Simbol LEA

A. Neural Density (ND) Filter Test


Tes ini digunakan untuk membedakan ambliopia fungsional dan organik. Filter
densitas netral (Kodak No.96, ND 2.00 dan 0,50) dengan densitas yang cukup untuk
menurunkan tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan di depan mata yang ambliopik. Bila pasien menderita ambliopia, tajam
penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus semula atau sedikit membaik.17
Jika ada ambliopia organik, tajam penglihatan menurun dengan nyata bila digunakan
filter, misalnya 20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau lambaian tangan. Keuntungan
tes ini bisa, digunakan untuk screening secara tepat sebelum, dikerjakan terapi oklusi,
apabila penyebab ambliopia tidak jelas. 17

Gambar 2.13 Tes Filter Densitas Netral


Keterangan :
a) Pada saat mata yang sehat ditutup, filter ditempatkan di depan mata yang ambliopik
selama 1 menit sebelum diperiksa visusnya.
b) Tanpa filter pasien bisa membaca 20/40
c) Dengan filter, visus tetap 20/40 (atau membaik 1 atau 2 baris) pada ambliopia
fungsional
d) Filter bisa menurunkan visus 3 baris atau lebih pada kasus-kasus ambliopia organik
B. Menentukan Sifat Fiksasi
Pada pasien ambliopia, sifat fiksasi haruslah ditentukan. Penglihatan sentral terletak
pada foveal; pada fiksasi eksentrik, yang digunakan untuk melihat adalah daerah retina
parafoveal-hal ini sering dijumpai pada pasien dengan strabismik ambliopia daripada
anisometropik ambliopia. Fiksasi eksentrik ditandai dengan tajam penglihatan 20/200
(6/60) atau lebih buruk lagi. Tidak cukup kiranya menentukan sifat fiksasi hanya pada
posisi refleks cahaya korneal. Fiksasi didiagnosis dengan menggunakan visuskop dan
dapat didokumentasi dengan kamera fundus Zeiss. Tes lain dapat dengan tes tutup
alternat untuk fiksasi eksentrik bilateral. 17
a) Visuskop
Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang memproyeksikan target
fiksasi ke fundus, mata yang tidak diuji ditutup. Pemeriksa memproyeksikan target
fiksasi ke dekat makula, dan pasien mengarahkan pandagannya ke tanda bintik hitam
(asterisk). 17

Gambar 2.14 Visuskop


Posisi tanda asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulang beberapa kali
untuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik. Pada fiksasi sentral, tanda asterisk
terletak di fovea. Pada fiksasi eksentrik, mata akan bergeser sehingga asterisk bergerak
ke daerah ekstrafoveal dari fiksasi retina. 17
b) Tes Tutup Alternat (Alternat Cover Test) untuk Fiksasi Eksentrik Bilateral
Gambar 2.15 Fiksasi Eksentrik Bilateral
Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang dijumpai dan terjadi
pada pasien – pasien dengan ambliopia kongenital keduabelah mata dan dalam hal ini
pada penyakit makula bilateral dalam jangka lama. Misalnya bila kedua mata ekstropia
atau esotropia, maka bila mata kontralateral ditutup, mata yang satunya tetap pada posisi
semula, tidak ada usaha untuk refiksasi bayangan. Tes visuskop akan menunjukkan
adanya fiksasi eksentrik pada kedua belah mata. 17,18
c) Uji Worth’s Four Dot (untuk fusi dan penglihatanstereosis)
Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi, korespondensi retina
abnormal, supresi pada satu mata dan juling. Penderita memakai kacamata dengan
filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri dan melihat pada objek
4 titik dimana 1 berwarna merah, 2 hijau, dan 1 putih. Lampu atau titik putih akan
terlihat merah oleh mata kanan dan hijau oleh mata kiri. Lampu merah hanya dapat
dilihat oleh mata kanan dan lampu hijau hanya dapat dilihat oleh mata kiri. Bila
fusi baik maka akan terlihat 4 titik dan lampu putih terlihat sebagai warna
campuran hijau dan merah. 4 titik juga akan dilihat oleh mata juling tetapi telah
terjadi korespondensi retina yang tidak normal. Bila terdapat supresi maka akan
terlihat hanya 2 merah bila mata kanan dominan atau 3 hijau bila mata kiri yang
dominan. Bila terlihat 5 titik yaitu 3 merah dan 2 hijau yang bersilangan berarti
mata dalam kedudukan eksotropia dan bila tidak bersilangan berarti mata
berkedudukan esotropia.8
Gambar 2.16 Peralatan pada Uji Worth’s Four Dot

d) Test Hirschbergh (Corneal Light Reflex)

Pemeriksaan dilakukan dengan menyinari (dengan senter) mata penderitapada jarak


33 cm. Diperhatikan pantulan sinar pada kornea.

Gambar 2.17 Tes Hirschbergh (Corneal Light Reflex)

2.4.6 Tatalaksana
Tingkat kesuksesan terapi ambliopia meningkat jika dilakukan intervensi dini
terutama pada masa sensitif perkembangan sistem penglihatan anak. Tujuan terapi
adalah mendapatkan penglihatan jelas dan mencapai tajam penglihatan yang seimbang
antara kedua mata, walaupun pada beberapa kasus mungkin tidak dapat tercapai. Terapi
ambliopia pada anak-anak mencakup langkah-langkah sebagai berikut:14
1) Menghilangkan penyebab terhalangnya aksis penglihatan
2) Mengoreksi setiap kelainan refraksi
3) Mendayagunakan/merangsang pemakaian mata bermasalah dengan cara membatasi
penggunaan mata normal/ dominan dengan oklusi dan penalisasi.
Ambliopia anisometropik diterapi dengan koreksi refraksi dengan menggunakan
kacamata atau lensa kontak. Kontak lensa telah banyak digunakan untuk pengobatan
ambliopia anisometropik myopia. Beberapa pasien, terutama orang dewasa,
mengoreksi kelainan refraksi dengan cepat untuk menghindari terjadinya diplopia.
Koreksi refraksi ini dapat memperbaiki kelainan refraksi pada ambliopia.18
Untuk pasien anak-anak, dewasa, dan remaja yang tidak mengalami perbaikan
dengan koreksi kelainan refraksi dengan kaca mata atau lensa kontak, dapat dilakukan
oklusi part time atau full time, atau dengan degradasi optikal atau penalisasi dengan
menggunakan atropine. 18
a) Koreksi Refraksi
Bila ambliopia disebabkan kelainan refraksi atau anisometropia, maka dapat diterapi
dengan kacamata atau lensa kontak. Ukuran kaca mata untuk mata ambliopia diberi
dengan koreksi penuh dengan penggunaan sikloplegia. Bila dijumpai miopia tinggi
unilateral, lensa kontak merupakan pilihan, karena bila memakai kacamata akan terasa
berat dan penampilannya atau estetika buruk. 17
Karena kemampuan mata ambliopia untuk mengatur akomodasi cenderung menurun,
maka ia tidak dapat mengkompensasi hiperopia yang tidak dikoreksi seperti pada mata
anak normal. Koreksi aphakia pada anak dilakukan segera mungkin untuk
menghindarkan terjadinya deprivasi penglihatan akibat keruhnya lensa menjadi defisit
optikal berat. Ambliopia anisometropik dan ambliopia isometropik akan sangat
membaik walau hanya dengan koreksi kacamata selama beberapa bulan. 17
1) Oklusi dan Degradasi Optikal
a. Oklusi
Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan merupakan terapi pilihan, yang
keberhasilannya baik dan cepat, dapat dilakukan oklusi penuh waktu (full time) atau
paruh waktu (part-time).17
 Oklusi Full Time
Pengertian oklusi full- time pada mata yang lebih baik adalah oklusi untuk semua
atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga (Occlusion for all or all but one waking
hour), arti ini sangat penting dalam pentalaksanaan ambliopia dengan cara penggunaan
mata yang ”rusak”. Biasanya penutup mata yang digunakan adalah penutup adesif
(adhesive patches) yang tersedia secara komersial.17

Gambar 2.18 Adhesive patch


Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari atau dibuka sewaktu
tidur. Kacamata okluder (spectacle mounted ocluder) atau lensa kontak opak ,atau
Annisa’s Fun Patches dapat juga menjadi alternatif full-time patching bila terjadi iritasi
kulit atau perekat patch -nya kurang lengket. Full-time patching baru dilaksanakan
hanya bila strabismus konstan menghambat penglihatan binokular, karena full-time
17
patching mempunyai sedikit resiko, yaitu bingung dalam hal penglihatan binokular.
Ada suatu aturan / standar mengatakan full-time patching diberi selama 1 minggu
untuk setiap tahun usia, misalnya penderita ambliopia pada mata kanan berusia 3 tahun
harus memakai full-time patch selama 3 minggu, lalu dievaluasi kembali. Hal ini
untuk menghindarkan terjadinya ambliopia pada mata yang baik. 17

Gambar 2.19 Annisa’s Fun Patches yang tidak memakai perekat karena
dapat disisipkan ke dalam kacamata.

 Oklusi Part-time
Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari, akan memberi hasil sama
dengan oklusi full-time. Durasi interval buka dan tutup patch -nya tergantung dari
derajat ambliopia. 1 Ambliopia Treatment Studies (ATS) telah membantu dalam
penjelasan peranan full-time patching dibanding part-time. Studi tersebut
menunjukkan, pasien usia 3-7 tahun dengan ambliopia berat (tajam penglihatan antara
20/100 = 6/30 dan 20/400 = 6/120 ), full-time patching memberi efek sama dengan
penutupan selama 6 jam per hari. Dalam studi lain, patching 2 jam/hari menunjukkan
kemajuan tajam penglihatan hampir sama dengan patching 6 jam/hari pada ambliopia
sedang / moderate (tajam penglihatan lebih baik dari 20/100) pasien usia 3 – 7 tahun.
Dalam studi ini, patching dikombinasi dengan aktivitas melihat dekat selama 1 jam/
hari.17
Idealnya, terapi ambliopia diteruskan hingga terjadi fiksasi alternat atau tajam
penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing–masing mata. Hasil ini tidak
selalu dapat dicapai. Sepanjang terapi terus menunjukkan kemajuan, maka
penatalaksanaan harus tetap diteruskan. 17
b. Degradasi Optikal
Metode lain untuk penatalaksanaan ambliopia adalah dengan menurunkan kualitas
bayangan (degradasi optikal) pada mata yang lebih baik hingga menjadi lebih buruk
dari mata yang ambliopia, sering juga disebut penalisasi (penalization). Sikloplegik
(biasanya atropine tetes 1% atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali dalam sehari
pada mata yang lebih baik sehingga tidak dapat berakomodasi dan kabur bila melihat
dekat dekat. ATS menunjukkan metode ini memberi hasil yang sama efektifnya dengan
patching untuk ambliopia sedang (tajam penglihatan lebih baik daripada 20/100). ATS
tersebut dilakukan pada anak usia 3 – 7 tahun. ATS juga memperlihatkan bahwa
pemberian atropine pada akhir minggu (weekend) memberi perbaikan tajam
penglihatan sama dengan pemberian atropine harian yang dilakukan pada kelompok
anak usia 3 – 7 tahun dengan ambliopia sedang. 17
Ada juga studi terbaru yang membandingkan atropine dengan patching pada 419
orang anak usia 3-7 tahun, menunjukkan atropine merupakan pilihan efektif. Sehingga,
ahli mata yang tadinya masih ragu – ragu, memilih atropine sebagai pilihan pertama
daripada patching. 17
Pendekatan ini mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan oklusi, yaitu
tidak mengiritasi kulit dan dilihat lebih baik dari segi kosmetik. Dengan atropinisasi,
anak sulit untuk ”menggagalkan” metode ini. Evaluasinya juga tidak perlu sesering
oklusi. 17
Metode pilihan lain yang prinsipnya sama adalah dengan memberikan lensa positif
dengan ukuran tinggi (fogging) atau filter. Metode ini mencegah terjadinya efek
samping farmakologik atropine. Keuntungan lain dari metode atropinisasi dan metode
non- oklusi pada pasien dengan mata yang lurus (tidak strabismus) adalah kedua mata
dapat bekerjasama, jadi memungkinkan penglihatan binokular. 17

2.4.8. Komplikasi
Semua bentuk penatalaksanaan ambliopia memungkinkan untuk terjadinya
ambliopia pada mata yang baik. Oklusi full-time adalah yang paling beresiko tinggi dan
harus dipantau dengan ketat, terutama pada anak balita. Follow-up pertama setelah
pemberian oklusi dilakukan setelah 1 minggu pada bayi dan 1 minggu per tahun usia
pada anak (misalnya : 4 minggu untuk anak usia 4 tahun). Oklusi part-time dan
degradasi optikal, observasinya tidak perlu sesering oklusi full-time, tapi follow-up
reguler tetap penting. 17
Hasil akhir terapi ambliopia unilateral adalah terbentuknya kembali fiksasi alternat,
tajam penglihatan dengan Snellen linear tidak berbeda lebih dari satu baris antara kedua
mata. Waktu yang diperlukan untuk lamanya terapi tergantung pada derajat amblyopia,
pilihan terapeutik yang digunakan, kepatuhan pasien terhadap terapi yang dipilih, dan
usia pasien.
Semakin berat ambliopia, dan usia lebih tua membutuhkan penatalaksanaan yang
lebih lama. Oklusi full-time pada bayi dan balita dapat memberi perbaikan ambliopia
strabismik berat dalam 1 minggu atau kurang. Sebaliknya, anak yang lebih berumur
yang memakai penutup hanya seusai sekolah dan pada akhir minggu saja, membutuhkan
waktu 1 tahun atau lebih untuk dapat berhasil. 17

2.4.9. Prognosis
Prognosis ambliopia adalah dubia karena pengembalian penglihatan normal pada
mata ambliopia tergantung beberapa faktor antara lain usia pertama kali terjadi
ambliopia, penyebab, tingkat keparahan, durasi ambliopia, riwayat dan respons
terhadap terapi sebelumnya, dan kepatuhan dalam menjalankan terapi. Terapi pada
masa kritis perkembangan korteks visual akan memberi prognosis yang lebih baik.
Prognosis lebih buruk apabila terdapat faktor yang berkaitan dengan risiko tinggi
kegagalan terapi seperti ketidakpatuhan, usia 6 tahun atau lebih, astigmatisme
setidaknya 1,5 D, hiperopia lebih dari 3 D, dan tajam penglihatan awal 20/200 atau
lebih buruk.14

2.4.10 Pencegahan
Ambliopia dapat dicegah dan diobati terutama apabila penyakit ini dapat dideteksi
secara dini. Skrining untuk mencari penyebab ambliopia harus dilakukan oleh dokter
pada bayi pada 4-6 minggu setelah lahir, dan anak-anak yang mempunyi risiko utnuk
ambliopia harus di skrining setiap tahun selama periode perkembangan sistem
penglihatan anak yaitu mulai lahir sampai umur 6-8 tahun.18
Skrining untuk kelainan refraksi dan strabismus juga harus dimulai selama tahun
pertama kehidupan. Pada anak-anak yang berisiko berisiko perlu dilakukan monitoring
setiap tahun karena sejak lahir sampai usia 4 tahun memungkinkan untuk terjadinya
anomali refraksi, terutama astigmatisma dan anisometropia. Skrining ini juga ditujukan
untuk anak-anak yang mempunyai riwayat keluarga yang menderita strabismus atau
ambliopia. Adanya program skrining untuk mendeteksi dan mengobati ambliopia pada
usia 4 tahun telah sukses dilakukan diberbagai negara. 18
BAB III
KESIMPULAN

Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting dalam kehidupan
manusia untuk melihat. Mata harus dijaga dari berbagai penyakit mata, salah satunya
ambliopia atau penyakit mata malas (lazy eye).
Ambliopia merupakan penyebab penurunan tajam penglihatan yang paling sering
pada anak dan diperkirakan menjadi penyebab utama penurunan tajam penglihatan
monokular pada orang berusia kurang dari 60 tahun. Ambliopia banyak disebabkan
oleh strabismus dan anisoametropia. Ambliopia deprivasi akibat kekeruhan media
penglihatan jarang terjadi, tetapi merupakan kasus berat.
Diagnosis dan tata laksana ambliopia sejak dini sangat penting untuk mencegah
perburukan tajam penglihatan. Paradigma dasar terapi ambliopia mencakup
menghilangkan penyebab terhalangnya aksis penglihatan, koreksi kelainan refraksi
yang ada, diikuti dengan terapi untuk merangsang penggunaan mata ambliopia. Semua
bentuk penatalaksanaan ambliopia memungkinkan untuk terjadinya ambliopia pada
mata yang baik. Prognosis tergantung pada faktor usia, penyebab, tingkat keparahan,
durasi ambliopia, dan respons terhadap terapi. Adanya program skrining untuk
mendeteksi dan mengobati ambliopia dapat meningkatkan pencegahan dan pengobatan
secara dini pada ambliopia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariyo R, Ramot T, Pardede R. Amblyopia. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Indonesia; 2012
2. Cantor LB, Raupano CJ, Cioffi GA. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2016.
3. Hashemi H, Pakzad R. Global and regional estimates of prevalence of amblyopia:
A systematic review and meta-analysis. Strabismus. 2018:1-16.
4. Kulp MT, Cotter SA. Should amblyopia be treated? . Ophthalmic and
Physiological Optics. 2014;34:226-32.
5. Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R. Clinically Oriented
Anatomy. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014
6. Budiono, S., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga
University Press; 2013.
7. Riordan-Eva P, Witcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology,
17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.2008. Diterjemahkan:
Diana Susanto. Oftalmologi Umum Vaughan &Asbury, Ed. 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
8. Standring, S. Gray’s Anatomy : The Anatomical Basis of Clinical Practice.
Elsevier Churchill Livingstones; 2008.
9. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Anatomi dan Fisiologi Mata :
Glaukoma. Edisi ke-5. Jakarta: FK UI. 2015:222-9.
10. Khurana A.K. Anatomy and development of the eye. In Khurana A.K, editor.
Comprehensive ophthalmology. 4th ed. 2007. New Age International: India.
11. Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier.
12. Wright KW et al. 1995. Visual development, amblyopia, and sensory adaptations.
In: Pediatric Ophthalmology and Strabismus. St.Louis : Mosby-Year Book, Inc.
13. Gunawan, W. 2007. Gangguan Penglihatan pada Anak Karena Ambliopia dan
Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada.
14. Yuliana J. Aspek Klinis Ambliopia. Cermin Dunia Kedokteran. 2022;49(1):19.
15. Saputri FE, Tongku Y, Poluan H. Angka kejadian ambliopia pada usia sekolah di
SD Negeri 6 Manado. e-CliniC. 2016;4(2).
16. Gunawan, W.. Gangguan Penglihatan pada Anak karena Ambliopia dan
Penanganannya. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. 2007. Hal: 3-16.
17. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
Chapter 5: Ambliopia. Section 6. Basic and Clinical Science Course. 2008 – 2009,
67 – 75.
18. Rouse, M. W, et all. Optometric Clinical Practice Guideline : Care of the Patient
with Ambliopia. 2004. Diunduh dari: http://www.aoa.org/documents/CPG-4.pdf.
[diakses 26 Maret 2022].

Anda mungkin juga menyukai