Anda di halaman 1dari 26

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES MARET 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

XEROFTALMIA

Disusun oleh:

Rosalina Steny Bulu, S. Ked (1508010002)

Pembimbing:

dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

dr. Ni Putu Mariati, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

Defisiensi vitamin A merupakan satu-satunya penyakit defisiensi vitamin yang


mencapai tingkat epidemik yang menjadi masalah umum di seluruh dunia, terutama di
negara-negara berkembang. Defisiensi vitamin A dapat terjadi pada semua usia,
terutama selama masa pertumbuhan yang menyebabkan berbagai penyakit dalam tubuh
terkait dengan masalah gizi. Salah satu akibat dari kekurangan vitamin A adalah
menyebabkan gangguan mata, yaitu xeroftalmia, yang sering terjadi pada anak usia 6
bulan sampai 4 tahun. Xeroftalmia akibat kekurangan vitamin A merupakan penyebab
utama kebutaan, terutama pada anak-anak. Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan
tingkatan keparahan gejala yaitu mulai dari penurunan penglihatan saat malam, xerosis
konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea, keratomalacia, hingga skar kornea.1
Xeroftalmia dikenal juga dengan istilah “mata kering” (dry eye) yang
bertanggung jawab atas 250.000 hingga 500.000 kasus baru kebutaan di dunia setiap
tahunnya.2 Xeroftalmia biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan gizi yang sangat kurang, termasuk
zat mikro yang terdapat dalam vitamin A. Anak yang menderita defisiensi vitamin A
mudah sekali terserang infeksi akibat menurunnya imunitas tubuh. Anak dengan
defisiensi vitamin A yang mengalami koinfeksi lebih jauh menjadi predisposisi untuk
terjadi keratomalacia dan kebutaan.3
Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan menyebabkan
kebutaan. Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmmia masih banyak
di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga kesehatan. Oleh
karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus
xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi kebutaan seumur hidup yang
berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
a. Kornea
Kornea berasal dari bahasa Latin “cornum” yang berarti seperti tanduk adalah
selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea merupakan jaringan yang
avaskular, bersifat transparan, sehingga dapat ditembus oleh berkas cahaya untuk
masuk ke interior mata, sedangkan sumber nutrisi untuk kornea didapatkan melalui
pembuluh-pembuluh darah limbus, aquos humor, dan air mata. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari cabang pertama Nervus V yaitu nervus opthtalmicus.4
Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskular, dan deturgesens. Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi,
sehingga kerusakan pada endotel jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kerusakan
pada epitel.4
Hal ini karena kerusakan pada sel endotel menyebabkan edema korna dan
hilangnya sifat transparan yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi
perbaikan fungsi endotel. Kerusakan pada epitel biasanya hanya menyebabkan edema
lokal sesaat pada stroma korna yang akan menghilang dengan regenerasi sel-sel epitel
yang cepat. Namun cidera pada epitel dapat menyebabkan jaringan dibawahnya mudah
terinfeksi mikroorganisme, mengingat epitel merupakan sawar yang baik terhadap
masuknya mikroorganisme. Kornea memiliki tiga fungsi utama yaitu : media refraksi,
media transmisi sinar, dan fungsi proteksi.4
Permukaan anterior kornea berbentuk agak elips dengan diameter horizontal rata-
rata 11,5-11,7 mm dan 10,5 - 10,6 mm pada diameter vertikal sedangkan permukaan
posterior berbentuk sirkuler dengan diameter 11,7 mm. Pada orang dewasa ketebalan
kornea bervariasi dengan rata-rata 0,65 – 1 mm di bagian perifer dan 0,55 mm di bagian
tengah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kurvatur antara permukaan anterior dan
posterior kornea. Radius kurvatur anterior kornea kira-kira 7,8 mm sedangkan radius
kurvatur permukaan posterior rata-rata 6,5 – 6,8 mm. Kornea menjadi lebih datar pada
bagian perifer, namun pendataran tersebut tidak simetris. Bagian nasal dan superior
lebih datar dibanding bagian temporal dan inferior.Luas permukaan luar kornea kira-
kira 1,3 cm 2 atau 1/14 dari total area bola mata.4
Secara histologis, kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran
bowman, stroma, membran descement, dan endotel.5
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng (Ilyas, 2014).
Terdapat dua fungsi utama epitel: (1) membentuk barier antara dunia luar dengan
stroma kornea dan (2) membentuk permukaan refraksi yang mulus pada kornea dalam
interaksinya dengan tear film.Berbagai proses metabolik, biokemikal dan fisikal
tampaknya mempunyai tujuan primer mempertahankan keadaan lapisan sel epitel yang
berfungsi sebagai barier dan agar permukaan kornea tetap licin. Permukaan kornea
yang licin berperan penting dalam terbentuknya penglihatan yang jelas.5
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolgen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak memiliki daya regenerasi sehingga bila terjadi trauma akan digantikan dengan
jaringan parut.5
3. Stroma
Stroma tersusun atas matriks ekstraselular seperti kolagen dan proteoglikan.
Matriks ekstraselular ini memegang peranan penting dalam struktur dan fungsi kornea.
Stroma terdiri atas kolagen yang diproduksi oleh keratosit dan lamella kolagen.Karena
ukuran dan bentuknya seragam menghasilkan keteraturan yang membuat kornea
menjadi transparan. Serat-serat kolagen tersusun seperti lattice (kisi-kisi), pola ini
berfungsi untuk mengurangi hamburan cahaya. Transparansi juga tergantung
kandungan air pada stroma yaitu 70%. Proteoglikan yang merupakan substansi dasar
stroma, memberi sifat hidrofilik pada stroma. Hidrasi sangat dikontrol oleh barier epitel
dan endotel serta pompa endotel.5
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dan
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terus menerus seumur hidup elastis serta lebih resisten terhadap trauma
dan penyakit, dari pada bagian lain dari kornea.5
5. Endotel
Dua faktor yang berkontribusi dalam mencegah edem stroma dan
mempertahankan kandungan air tetap pada 70% adalah fungsi barier dan pompa
endotel.Fungsi barier endotel diperankan oleh adanya tightjunction diantara sel-sel
endotel.8 Pompa endotel dalam menjalankan fungsinya tergantung pada
oksigen,glukosa, metabolisme karbohidrat dan adenosine triphosphatase.
Keseimbangan antara fungsi barier dan pompa endotel akanmempertahankan keadaan
deturgesensi kornea.5

Gambar 2.1 Gambaran histologi kornea


b. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan dan tipis yang melapisi
palpebra dan permukaan sklera. Konjungtiva palpebra melapisi permukaan posterior
palpebra sedangkan konjungtiva bulbi melapisi sebagian permukaan anterior bola
mata.5
Konjungtiva palpebra melekat ke tarsus dan melipat ke posterior di tepi tarsus
superior dan inferior, meluas menjadi konjungtiva bulbi yang membungkus jaringan
episklera dan sklera. Konjungtiva bulbi melekat ke septum orbita di forniks dan sklera
di bawahnya.5
Konjungtiva forniks merupakan lipatan-lipatan konjungtiva yang
menghubungkan bagian posterior palpebra dan bola mata. Struktur konjungtiva forniks
sama dengan konjungtiva palpebra tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih
longgar. Secara histologis jaringan konjungtiva terdiri atas lapisan epitel berlapis
kolumnar tidak bertanduk dan di antara sel epitel tersebut terdapat sel goblet yang
berfungsi menskeresi komponen musin air mata.5

Gambar 2.2 Anatomi Bola Mata

2.2 Vitamin A
Vitamin A atau retinol adalah suatu senyawa poliisoprenoid yang mengandung
cincin sikloheksinil.Vitamin A termasuk vitamin yang larut dalam lemak (fat soluble)
dan agak stabil terhadap suhu yang tinggi. Di dalamnya termasuk retinol (ester retinil
alkoholvitamin A, ester vitamin A), retinal (aldehid vitamin A) dan asam retinoat (asam
vitamin A).6,7
Vitamin A hanya terdapat pada jaringan hewan dan produknya dan tidak terdapat
pada tumbuh-tumbuhan. Namun banyak tumbuhtumbuhan mengandung pigmen yang
disebut karoten dan dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh. Karena karoten
dapat diubah menjadi vitamin A, maka karoten disebut provitamin.5,7
A. Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin A adalah hati, lemak
hewan, telur, susu, mentega, keju. Sedangkan makanan yang banyak mengandung
provitamin A adalah sayuran yang berupa daun seperti bayam, kangkung, wortel,
pepaya, dan lain-lain.6,7
Terminologi vitamin A meliputi all-trans-retinol (disebut juga retinol) dan
keluarga alamiahnya yang terjadi dari molekul-molekul yang dihubungkan dengan
aktifitas biologi retinol (seperti retinal, asam retinoik, retinil esters). Nilai substansi
biologi dari aktifitas vitamin A dinyatakan sebagai retinol equivalent (RE). Spesifik
rasio equivalentkarotenoids/retinol didefinisikan untuk provitamin A karotenoid, yang
dihitung dari kekurangan efisiensi absorsi karotenoids dan biokonversi ke retinol.
Berlandaskam bukti yang ada, Panel EFSA (European Food Safety Authority)
memutuskan, 1 μg RE sama dengan 1 μg retinol, 6 μg β-carotene dan 12 μg provitamin
A karotenoids. Kebutuhan Vitamin A dapat digabungkan dari gabungan preformed
vitamin A dan provitamin A karotenoids yang tersedia sebagai jumlah equivalent
vitamin A equivalent yang dirujukan dengan nilai European Food Safety Authority μg
RE/day.6,7
A. Fungsi vitamin A
Vitamin A diperlukan oleh tubuh untuk menyokong pertumbuhan dan kesehatan,
terutama diperlukan untuk penglihatan, sekresi mukus, pemeliharaan jaringan epitel
dan reproduksi. Vitamin A dipergunakan untuk regenerasi pigmen retina mata dalam
proses adaptasi gelap. Selain itu vitamin A juga berperan dalam sistim kekebalan tubuh.
Retinol (vitamin A) memegang peranan penting pada kesempurnaan fungsi dan struktur
sel epitel, karena retinol berperan dalam diferensiasi sel dan proliferasi epitel.
Dengan adanya retinol sel epitel basalis distimulasi untuk memproduksi mukus.
Kelebihan retinol akan menyebabkan pembentukan mukus yang berlebihan dan
menghambat keratinisasi. Bila tidak ada retinol, sel goblet mukosa hilang dan terjadi
atrofi sel epitel yang diikuti oleh proliferasi sel basal yang berlebihan. Sel-sel baru yang
terbentuk ini merupakan epitel berkeratin dan menggantikan epitel semula. Penekanan
sekresi mukus menyebabkan mudah terjadi iritasi dan infeksi terjadi, hambatan dalam
sekresi RBP (Retinol binding protein) sedangkan pada defisiensi protein terdapat
gangguan sintesis RBP.6,7
B. Metabolisme vitamin A
Dalam sumber makanan vitamin A terdapat dalam bentuk karoten, alkohol
vitamin A dan ester vitamin A. Vitamin A diabsorbsi sempurna melalui saluran cerna
dan kadarnya dalam plasma mencapai puncak setelah 4 jam. Setelah seseorang makan,
vitamin A yang sudah terbentuk dan karotenoid dilepaskan oleh kerja pepsin dalam
lambung dan oleh berbagai enzim proteolitik dalam saluran usus bagian atas.Dalam
dinding usus sebagian ß karoten diabsorbsi melalui pembuluh limfe intestinal dan
sebagian lagi terpecah menjadi 2 molekul retinol. Kemudian dalam sel mukosa ini,
retinol akan mengalami proses esterisasi dengan asam palmitat menjadi retinil palmitat
yang akan disimpan di hati sebagai cadangan vitamin A. Diperkirakan 90-95%
persediaan vitamin A dalam tubuh terdapat dalam bentuk retinil ester dalam hati (95%
dalam sel parenkim, dan sisanya di sel kuffer), dan dalam jumlah kecil ditemukan di
ginjal, adrenal, paru, lemak intra peritoneal dan retina.6,7

2.3 Definisi
Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi kurangnya simpanan vitamin A dalam
tubuh. Defisiensi vitamin A terjadi ketika kegagalan kronis untuk mengkonsumsi
jumlah vitamin A yang cukup atau hasil beta-karoten dalam serum darah yang berada
di bawah kisaran yang ditetapkan. Keadaan ini ditunjukan dengan kadar serum retinol
dalam darah kurang dari 20μg/dl.1
Xeroftalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat
defisiensi vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan
fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa
Yunani (xeros=kering; Opthalmos=mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat
mata gagal memproduksi air mata atau yang dikenal dengan dry eye yang
mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering.1

2.4 Epidemiologi
Estimasi yang dibuat oleh WHO adalah lebih dari 250 juta anak mengalami
kekurangan penyimpanan vitamin A. Prevalensi defisiensi yang tertinggi ditemukan
pada anak pra sekolah, ibu hamil dan menyusui. Namun tingkat defisiensi vitamin A
subklinik juga terlihat banyak pada anak sekolah dan dewasa di beberapa lokasi. Data
yang selalu tersedia di setiap negara hanyalah prevalensi dari anak prasekolah yang
berarti prevalensi pada kelompok umur lainnya tidak tersedia. Kekurangan vitamin A
dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar 1 juta anak balita di
seluruh dunia menderita xeroftalmia dengan 25% diantaranya menjadi buta dan 60%
yang mengamali kebutaan akan meninggal dalam beberapa bulan. Kekurangan vitamin
A menyebabkan anak berada dalam resiko besar mengalami kesakitan, tumbuh
kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian sebesar
30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya
yang tidak kekurangan vitamin A.8
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 pada pasca persalinan, atau masa
nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2 persen (rentang: 33,2% di
Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah).8

2.5 Etiologi
Xeroftalmia terjadi baik karena kekurangan vitamin A dari makanan atau
penyerapannya yang terganggu dari usus. Telah lama diketahui bahwa kekurangan
vitamin A tidak terjadi sebagai masalah tersendiri tetapi hampir selalu disertai dengan
kekurangan energi protein (KEP) dan infeksi.
Penyebab Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari antara lain:
1. Konsumsi makanan yg tidak mengandung cukup vitamin A atau provitamin A
untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI Eksklusif
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat
gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan vitamin A
dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada
penyakit-penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang Energi Protein
(KEP) dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat.
Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan pre- albumin
yang penting untuk penyerapan vitamin A.9

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO yaitu:
a. XN (Rabun Senja)
Terjadi akibat gangguan pada retina sehubungan dengan adanya defisiensi
vitamin A. Dari sudut fungsi terjadi hemeralopia atau nictalopia yang oleh awam
disebut buta senja atau buta ayam (kotokan) yaitu ketidaksanggupan melihat pada
cahaya remang-remang. Disebut buta senja karena terjadi bila sore hari (senja) ketika
anak masuk dari luar (cahaya terang) ke serambi rumah (cahaya remang-remang).
b. X1A (Xerosis Konjungtiva)
Umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis terjadi akibat
proses keratinisasi lapisan superfisial epitel dengan hilangnya sel goblet penghasil
mukus yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A. Tahap ini sering ditandai dengan
selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit berkeriput, dan
berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam. Selain itu, orang tua juga sering
mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna kecoklatan.

Gambar 2.3 Xerosis Konjungtiva

c. X1B (Bercak Bitot/bitot’s spot dengan xerosis konjungtiva)


Xerosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan bercak bitot (X1B), yang tersusun
dari kumpulan deskuamasi keratin epitel. Bercak bitot dapat berupa gelembung, atau
seperti busa sabun, hampir selalu bilateral dan daerah temporal. Lesi di daerah nasal
menunjukkan defisiensi yang lebih lanjut. Dalam keadaan lebih berat, tampak
kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva, konjungtiva tampak menebal,
berlipat-lipat dan berkerut. Orang tua mengeluh mata anaknya tempak bersisik.

Gambar 2.4 Bercak Bitot

d. X2 (Xerosis Kornea)
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak bilateral,
granular, berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan senter gambarannya
seperti kulit jeruk. Edema stroma merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
xerosis kornea. Penebalan plak keratinisasi dapat ditemukan pada permukaan kornea,
biasanya didaerah interpalpebra. Keadaan umum anak biasanya buruk ( gizi buruk dan
menderita penyakit infeksi dan sistemik lain). Xerosis kornea dapat berkembang cepat
menjadi ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan vitamin A dan terapi
suportif lainnya.

Gambar 2.5 Xerosis Kornea

e. X3A (Xerosis dengan ulserasi kornea)


Tahap ini mengenai kurang dari sepertiga bagian kornea, berbentuk oval, defek
bergaung, sering pada daerah inferior, perifer permukaan kornea, disertai injeksi
konjungtiva, kadang ada hipopion. Ulkus dapat dangkal atau dalam dan dapat
menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A berespon baik. Perbaikan kornea disertai
jaringan parut atau lekoma adheren.

Gambar 2.6 Xerosis dengan ulserasi kornea


f. X3B (Keratomalasia)
Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan kornea,
lesi berwarna kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih berat dari yang lainnya.
Kerusakan lapisan stroma pada tahap ini umumnya dapat menyebabkan
kebutaan. Xeroftalmia kornea aktif pada kedua mata jarang terjadi. Vitamin A
dan terapi suportif dapat menghindari kerusakan lebih berat.

Gambar 2.7 Keratomalasia

g. XS (Xeroftalmia Scar)
Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses
perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral. Kornea
tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi buta yang
sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.

Gambar 2.8 Xeroftalmia scar


h. XF (Xeroftalmia Fundus)
Fundus xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu dimana
pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam
retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. Pada bagian
ini hanya dapat diamati dengan funduskopi. Bila ditemukan fundus xeroftalmia,
maka akan terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan.
Gambar 2.9 Xeroftalmia Fundus
Dikenal beberapa klasifikasi defisiensi vitamin A di Indonesia, seperti klasifikasi
Ten Doeschate, yaitu:5
X0 : Hemeralopia (Penurunan pengelihatan pada senja hari atau pada ruang
kurang cahaya akibat gangguan pada sel batang retina)
X1 : Hemeralopia dengan xerosis konjungtiva dan Bitot
X2 : Xerosis kornea
X3 : Keratomalasia
X4 : Stafiloma, ptisis bulbi
Dimana : X0 sampai X2 masih reversibel
X3 sampai X4 irreversibel
2.7 Patomekanisme

Gambar 2.10 Patomekanisme xeroftalmia


Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam
hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori protein
(KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein,
lemak dan hubungannya antar hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya
defisiensi vitamin A. Setelah dicerna, vitamin pro A dilepaskan dari protein dalam
lambung. Ester retinil ini kemudian dihidrolisis untuk retinol dalam usus kecil, karena
retinol lebih efisien diserap. Karotenoid yang dibelah di mukosa usus menjadi molekul
retinaldehid, yang kemudian diubah menjadi retinol dan kemudian diesterifikasi untuk
menjadi ester retinil. Ester retinil dari retinoid dan asal karotenoid diangkut melalui
misel dalam drainase limfatik dari usus ke dalam darah dan kemudian ke hati sebagai
komponen dari kilomikron. Di dalam tubuh, 50-80% dari vitamin A disimpan di hati,
dimana ia terikat pada RBP selular. Vitamin A yang tersisa disimpan ke dalam jaringan
adiposa, paru-paru, dan ginjal sebagai ester retinil, paling sering sebagai retinyl
palmitate.10
Retinyl palmitate kemudian berjalan melalui sistem limfatik ke hati untuk
disimpan. Dengan adanya kebutuhan metabolik untuk vitamin A, retinyl palmitate
dihidrolisis dan retinol yang dibentuk kembali mengalami perjalanan melalui aliran
darah, yang melekat pada retinol binding protein (RBP) untuk jaringan tempat yang
membutuhkan. Penyimpanan zat didalam tubuh yang memadai berupa Zn dan protein
diperlukan untuk pembentukan RBP, tanpa RBP, vitamin A tidak dapat diangkut ke
jaringan target.10
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari, maka
rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan kembali pigmen
terjadi dalam keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali memerlukan waktu yang
disebut adaptasi gelap (disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit
untuk melihat. Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang
merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel
yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus
tersebut mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel konus akan
menyebabkan buta warna.10
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara tidak
langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan defisiensi, epitel
menjadi kering dan terjadi keratinisasi seperti tampak pada gambaran Xerophthalmia.
Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi pada selaput lendir (konjungtiva) dan
kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat
menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A
pada bayi, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.10
2.8 Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
a. Faktor Risiko
Pada anamnesis perlu ditanyakan faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin A, antara
lain:
1. Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
2. Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2
tahun.
3. Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
4. Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
5. Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis (TBC),
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
6. Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk
mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).11
b. Keluhan utama dan keluhan tambahan
Keluhan yang biasa dijumpai pada kasus xeroftalmia akibat defisiensi vitamin A adalah
tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja) atau ada kelainan dengan matanya. Selain
itu, dapat juga ditemukan kelainan pada kulit berupa kulit bersisik yang dikenal sebagai
“kulit katak” atau phrynodema yang merupakan hiperkeratosis folikularis. Defisiensi
vitamin A subklinis biasanya tidak memiliki gejala, namun resiko terjadinya infeksi
saluran pernapasan, diare, dan pertumbuhan terhambat.11
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
1. Riwayat campak dalam waktu < 3 bulan
2. Riwayat menderita diare dan atau ISPA
3. Riwayat menderita pneumonia
4. Riwayat menderita infeksi cacingan
5. Riwayat menderita tuberculosis11
B. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit
infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang terdiri dari:
1. Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Penilaian Status gizi
3. Pemeriksaan tanda-tanda xeroftalmia: kekeringan pada konjungtiva (X1A),
bercak bitot (X1B), tanda-tanda xerosis kornea (X2), tanda-tanda ulkus kornea
dan keratomalasia (X3A/X3B), tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS),
gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope (XF).
4. Pemeriksaan kelainan pada kulit: kering, bersisik.11
b. Pemeriksaan fisik khusus, antara lain:
1. Tes adaptasi gelap
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di dalam
ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes adaptasi gelap juga
dapat menggunakan alat yang bernama adaptometri. Adaptometri adalah suatu alat
yang dikembangkan untuk mengetahui kadar vitamin A tanpa mengambil sampel darah
menggunakan suntikan. Derajat gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi
seseorang yang berada di dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf
berukuran tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas
putih.5
2. Sitologi impresi konjungtiva
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet dan sel-
sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi.5
3. Uji Schirmer
Uji schirmer dilakukan untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan
sekresi air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30 mm dan
salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas. Kertas lakmus merah
dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas lakmus dengan
kertas filter hanya sedikit. Rata–rata hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1
mm–27 mm) sedangkan lakmus merah 10 mm (0 mm–27 mm).5
A. Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan
1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–lahan
tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas.
Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai
dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm–25 mm 11, 10 mm–30 mm 12.5
B. Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan efek
iritasi lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus dirangsang
dengan memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat aromatik
amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek sekresi.
Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi basal karena stimulasi dasar
terhadap refleks sekresi telah dihilangkan.5

Gambar 2.11 Schirmer test

4. Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time)


Pada pasien xeroftalmia kekurangan musin berakibat tidak stabilnya lapisan air
mata yang mengakibatkan lapisan tersebut mudah pecah. Hal ini
mengakibatkan terbentuk “Bintik-bintik kering” dalam film air mata
(meniskus) sehingga epitel kornea atau konjungtiva terpajan ke dunia luar. Pada
tes ini akan positif didapatkan sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea
sehingga meninggalkan daerah-daerah yang kecil yang dapat dipulas dan
daerah tersebut akan tampak jika dibasahi flourescein.5
Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan berkurang pada penggunaan
anastetik lokal, manipulasi mata atau dengan menahan palbebra tetap terbuka.
Pasien dengan TBUT kurang dari 3 detik dklasifikasikan dalam mata kering.
Jika terdapat defisiensi air, maka film air mata akan tampak lebih tipis.5
Gambar 2.12 Tear Film Break Up Time
5. Pemeriksaan kornea
a. Pemulasan Fluorescein
Pada pasein xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif daerah-daerah
erosi dan terluka epitel kornea.
b. Pemulasan Bengal Rose
Pulasan bengal rose 1% didapatkan sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang
mati yang tidak dilapisi oleh musin secara adekuat dari daerah kornea.5

Gambar 2.13 Bengal Rose


c. Pemulasan Lissamine hijau
Pemulasan lissamine hijau memiliki fungsi yang sama dengan bengal rose.
Didapatkan hasil positif sel-sel epitel yang mati pada penderita xeroftalmia.5
C. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan serum retinol dengan kromatografi pada keadaan defisiensi
protein maupun infeksi didapatkan kadar serum vitamin A umumnya akan
menurun dengan nilai serum rerinol < 20 ug/dl.
2. Total retinol binding protein (RBP). Pemeriksaan dilakukan dengan imunologik
assay. RBP merupakan komponen yang lebih stabil dari retinol namun nilainya
kurang akurat karena dipengaruhi oleh serum protein.
3. Kadar albumin < 2.5 mcg/dl pada penderita xeroftalmia.
4. Pemeriksaan darah rutin untuk menilai kemungkinan anemia dan infeksi.5

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan xerofthalmia termasuk terapi okular lokal, terapi vitamin
Adan pengobatan penyakit umum yang mendasarinya.11
1. Terapi okular lokal.
Untuk xerosis konjungtiva air mata buatan (0,7 persen hidroksipropil
metilselulosa atau 0,3 persen hypromellose) harus diberikan setiap 3-4
jam. Padatahap keratomalacia, pengobatan penuh ulkus kornea bakteri
harus meurut pemeriksaan kultur
2. Terapi vitamin A.
Jadwal pengobatan berlaku untuk semua tahap xerophthalmia aktif yaitu.
XN, X1A, X1B, X2, X3A dan X3B. Pemberian oral adalah metode
pengobatan yang direkomendasikan. Namun, dengan adanya muntah
berulang dan diare berat, injeksi intramuskular harus disarankan. Jadwal
yang direkomendasikan WHO adalah sebagai berikut:
i. Semua pasien di atas usia 1 tahun (kecuali wanita usia reproduksi):
200.000 IU vitamin A secara oral atau 100.000 IU dengan injeksi
intramuskular harus diberikan segera setelah diagnosis dan diulang pada
hari berikutnya dan 4 minggu kemudian.
ii. Anak-anak di bawah usia 1 tahun dan anak-anak dari segala usia yang
beratnya kurang dari 8 kg harus diobati dengan setengah dosisuntuk pasien
yang berusia lebih dari 1 tahun.
iii. Wanita usia subur, hamil atau tidak:
a. Mereka yang menderita rabun senja (XN), xerosis konjungtiva (X1A) dan
bercak Bitot (X1B) harus diobati dengan vitamin A dosis harian 10.000
IU per oral untuk 2 minggu.
Untuk xerophthalmia kornea, pemberian jadwal dosis penuh(dijelaskan untuk
pasien di atas usia 1 tahun) dianjurkan.
3. Pengobatan kondisi yang mendasari seperti KEP dan gangguan
nutrisilainnya, diare, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, infeksi
dan kondisi parasit harus dipertimbangkan secara bersamaan.

2.10 Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus
lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat terjadi
infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi pada kornea
yang memperberat penurunan penglihatan.9

2.11 Pencegahan
Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan
vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama
diare dan campak. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum.
Untuk mencegah xeroftalmia dapat dilakukan:
1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor social
budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor
individu)
2. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
3. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik,
yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus
(100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI.
4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta
5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A /
provitamin A secara terus menerus.
7. Memberikan ASI Eksklusif
8. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI
9. Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk
masyarakat dan keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari
lingkungan, keadaan sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan orang tua
(terutama ibu).11

2.12 Prognosis
Pengobatan pada tahap awal dapat memulihkan penglihatan, akan tetapi pada
pasien dengan ulkus kornea, diperlukan tindakan pembedahan namun tidak menjamin
pemulihan penglihatan sepenuhnya. Setiap tahun, di mana saja dari 20.000-100.000
kasus baru kebutaan masih terus terjadi di banyak bagian Afrika.9
BAB III
KESIMPULAN
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin A
pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel
retina yang berakibat kebutaan.
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari
konsumsi sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh : Konsumsi makanan
yang tidak mengandung cukup vitamin A, Bayi yang tidak diberkan ASI eksklusif,
menu tidak seimbang , adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin , dan
adanya kerusakan hati.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata dibagi menurut klasifikasi
WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996. XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat
sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan
keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa
berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan
meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan)
pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
DAFTAR PUSTAKA

1. McLaren DS, Kraemer K. Xerophthalmia. World Rev Nutr Diet. 2012103:65-


75.
2. WHO. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995-
2005. World Health Organization Global Database on Vitamin A Deficiency.
2009. Geneva: World Health Organization
3. Gilbert C. The eye signs of vitamin A deficiency. Community Eye Health.
2013; 26(84). pp:66-67.
4. Vaughan Asbury. 2012. Oftalmologi Umum. Edisi 17.Jakarta: EGC.
5. Ilyas, S dan Yulianti S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi 4 Cetakan ke-5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. EFSA (European Food Safety Authority). Scientific Opinion on Dietary
Reference Values for vitamin A1 EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition,
and Allergies (NDA). Parma, Italy. EFSA Journal; 13 (3): 4028. 2015. Available
online: www.efsa.europa.eu/efsajournal
7. Bushue N, Wan YJ. Retinoid pathway and cancer therapeutics. Adv drug Deliv
Rev 2010: 1-30
8. McLaughlin S, Welch J, MacDonald E, Mantry S, Ramaesh K.
Xerophthalmia--a potential epidemic on our doorstep? Eye (Lond). 2014
May;28(5):621-3.
9. Agrawal VK, Agrawal P, Dharmendra Prevalence and determinants of
xerophthalmia in rural children of Uttarpradesh, India. Nepal J Ophthalmol. 2013
Jul-Dec;5(2):226-9.
10. Silva, M.A., Carvalho, C.A.D., Fonsêca, P.C.D.A., Vieira, S.A., Ribeiro,
A.Q., Priore, S.E. and Franceschini, S.D.C.C., 2015. Iron-deficiency anemia and
vitamin A deficiency prevalence and associated factors among children under
one year. Cadernos Saúde Coletiva, 23(4), pp.362-367
11. Departemen Kesehatan RI. 2010. Buku Panduan Pemberian Suplemen
Vitamin A. Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010.

Anda mungkin juga menyukai