Anda di halaman 1dari 22

LASERASI KORNEA

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kepaniteraan Senior


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : dr. Trilaksana Nugroho, M.Kes., Sp.M(K), FISCM


Pembimbing : dr. Teguh Setiawan
Dibacakan oleh : Molly Inta Sari
22010117130113
Dibacakan tanggal : 15 Januari 2021

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Membacakan referat : Laserasi Kornea


Dosen Pembimbing : dr. Trilaksana Nugroho, M.Kes., Sp.M(K), FISCM
Residen Pembimbing : dr. Teguh Setiawan
Dibacakan oleh : Molly Inta Sari / 22010117130113
Dibacakan tanggal : 19 Januari 2021
Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 19 Januari 2021

Mengetahui,

Dosen Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. Trilaksana Nugroho, M.Kes., Sp.M(K), dr. Teguh Setiawan


FISCM

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea adalah lapisan transparan yang membentuk bagian anterior mata


yang mentransmisikan dan memfokuskan cahaya ke mata. Kornea merupakan
media refraksi terbesar dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap
jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi proses tersebut. Kornea
terletak dibagian luar bola mata sehingga memiliki fungsi untuk melindungi mata
dari benda-benda asing. Kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan
jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea tersusun dari lima lapis
yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Epitel
kornea merupakan pelindung yang baik, jika terjadi trauma yang menyebabkan
epitel rusak maka infeksi akan mudah terjadi.1 Endotel lebih penting daripada epitel
dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih
berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila
sel-sel epitel itu telah beregenerasi.2
Laserasi kornea merupakan cedera pada kornea, dapat berupa cedera parsial
maupun penuh pada kornea. Laserasi kornea dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori, yaitu laserasi lamelar dan laserasi tembus. Pada laserasi lamellar
perlukaan kornea bersifat parsial dimana luka hanya melibatkan sebagian ketebalan
kornea dan mengenai kornea namun tidak menembus kornea, sedangkan pada
laserasi tembus perlukaan kornea melibatkan seluruh ketebalan kornea.
Laserasi kornea dapat menimbulkan rasa sakit yang berat disertai lakrimasi
yang banyak. Kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan
media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada kornea
umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral dari
kornea. Saat mengevaluasi cedera pada kornea, penting untuk menentukan apakah
cedera tersebut merupakan cedera kornea perforatif atau bukan. Cedera kornea

3
perforatif dapat mengakibatkan aqueous humor keluar dari ruang anterior sehingga
menyebabkan kornea tampak datar, terdapat gelembung udara di bawah kornea,
atau pupil asimetris sebagai akibat dari iris yang menonjol melalui defek kornea.3
Sekitar 3% dari semua kunjungan gawat darurat disebabkan oleh cedera
mata.4 Cedera mata penetratif dapat terjadi pada individu dari segala usia, tetapi
data dari USEIR menunjukkan bahwa usia rata-rata pasien dengan cedera mata
adalah 29 tahun (usia median, 26 tahun), dengan hampir 60% lebih muda dari 30
tahun.5 Lebih dari 90% cedera mata dapat dicegah dengan penggunaan kacamata
pelindung.4
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan
dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah
satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan
gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.5

4
BAB II
ISI

2.1 Anatomi, Fisiologi , Histologi Kornea

Gambar 1. Anatomi Mata dan Lapisan Kornea


Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea juga merupakan jaringan yang
memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari
nervus trigeminus. Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks
refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri
(D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Jika kornea oedem karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar
sehingga penderita akan melihat halo. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada
difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air
mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva. 1,6
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu:

5
1. Lapisan epitel
- Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
berlapis; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal dapat terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal
didepannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
- Memiliki daya regenerasi baik
2. Membran Bowman
- Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi yang baik.
3. Jaringan Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.

6
- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm.
5. Endotel
- Selapis sel yang berasal dari mesotelium yang bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan
zonula okluden.
Secara fisiologis , kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela”
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini,
endotel jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada
endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-
sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air
mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata
tersebut.10,12
Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi. Penetrasi
kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel
utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui
kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang
efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea
ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi
oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur. Faktor-
faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah dry eye, defisiensi
vitamin A, abnormalitas bentuk dan ukuran kornea, distrofi kornea, dan trauma
kornea7,8

2.2 DEFINISI LASERASI KORNEA

7
Laserasi kornea merupakan cedera pada kornea, dapat berupa cedera parsial
maupun penuh pada kornea. Laserasi kornea merupakan cedera yang sangat serius
dan membutuhkan perhatian medis segera untuk menghindari kehilangan
penglihatan yang parah.3

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO LASERASI KORNEA


Setiap aktivitas dimana benda dapat terbang ke mata dengan kecepatan
tinggi dapat menyebabkan laserasi kornea. Penyebab paling umum dari laserasi
kornea adalah aktivitas seperti memotong kayu, mengelas logam, memangkas
rumput, mengukir batu, maupun pekerjaan tambang yang memiliki risiko tinggi.
Kontak dengan, kotoran, pasir, kembang api, kuku, atau bahkan tepi kertas juga
dapat memotong kornea dan menimbulkan laserasi.9–12
Kebanyakan individu yang menderita cedera mata adalah laki-laki dengan
perkiraan risiko relatif 5,5 kali lebih besar dibanding perempuan. Usia rata-rata
pasien berkisar di usia 25-30 an. Penggunaan alat-alat listrik di lingkungan rumah
seperti bor, gerinda, dll juga menjadi faktor risiko laserasi kornea. Penyalahgunaan
zat termasuk alkohol dan mariyuana juga diketahui meningkatkan risiko trauma
mata.

2.4 EPIDEMIOLOGI LASERASI KORNEA


Sekitar 3% dari semua kunjungan gawat darurat disebabkan oleh cedera
mata.4 Cedera mata penetratif dapat terjadi pada individu dari segala usia, tetapi
data dari USEIR menunjukkan bahwa usia rata-rata pasien dengan cedera mata
adalah 29 tahun (usia median, 26 tahun), dengan hampir 60% lebih muda dari 30
tahun.5 Lebih dari 90% cedera mata dapat dicegah dengan penggunaan kacamata
pelindung.4
Pria 1,7 kali lebih mungkin menderita laserasi kornea dibanding wanita.
Walaupun trauma okular dapat terjadi pada semua usia, cedera paling banyak
terjadi pada orang di rentang usia 25-30 tahun. Dari seluruh pasien yang pergi ke
IGD dengan cedera mata, 45,3% berusia 18-44 tahun. 4

8
2.5 DIAGNOSIS LASERASI KORNEA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Pada saat melakukan anamnesis, penting untuk mendapatkan
riwayat menyeluruh dari pasien untuk membantu mengidentifikasi waktu cedera
dan mekanismenya. Dari hasil anamnesis sering didapatkan riwayat trauma, adanya
riwayat perubahan tajam penglihatan, maupun sensasi benda asing pada mata.
Walaupun tidak ada sensasi benda asing, evaluasi apakah ada kemungkinan benda
asing masuk ke mata perlu dilakukan. Penetrasi mata mungkin tidak terdeteksi oleh
pasien, terutama jika pecahan logam kecil pecah dan menembus mata, seperti saat
partikel keluar dari mesin berkecepatan tinggi. Selain itu, benda yang tampak
tumpul masih dapat menyebabkan robekan jika menyentuh kornea dengan arah
yang benar. Dalam kasus seperti itu, pasien mungkin datang untuk mendapatkan
perawatan setelah berkembangnya rasa sakit, penurunan penglihatan, atau infeksi.

Gambar 2. Laserasi kornea


a. Gejala

9
Pada cedera yang lebih halus seperti laserasi lamellar, mungkin terdapat
gejala seperti nyeri hebat yang mendadak, lakrimasi berlebih, sensasi benda
asing, iritasi, mata kering, dan penglihatan kabur. Pasien dengan laserasi
tembus biasanya mengeluhkan nyeri atau penglihatan ganda. Kemerahan
parah, sensitivitas cahaya, dan sensasi benda asing juga merupakan gejala
cedera bola mata terbuka.

b. Tanda

Perdarahan subkonjungtiva, ruang anterior yang dangkal atau datar, pupil


yang berubah bentuk (tetesan air), hifema, kelainan bentuk iris, gangguan
lensa, atau temuan segmen posterior seperti perdarahan vitreous, robekan
retinal,

c. Pemeriksaan Fisik

Evaluasi ketajaman visual segera setelah cedera merupakan hal yang


penting. Uji ketajaman visual di setiap mata dengan Snellen chart. Jika pasien tidak
dapat membaca Snellen chart, uji kemampuan pasien untuk membedakan jumlah
jari, gerakan, atau cahaya untuk menentukan jenis intervensi, terapi, dan rehabilitasi
yang mungkin diperlukan.
Jika memungkinkan, tentukan ketajaman visual sebelum pemeriksaan atau
perawatan, dan uji setiap mata secara terpisah dengan lensa korektif. Bandingkan
dengan ketajaman visual sebelum cedera. Pengujian pinhole dapat membantu
membedakan kesalahan refraksi dari penglihatan yang tidak dapat dikoreksi jika
kacamata tidak tersedia. Gunakan perangkat pengujian penglihatan yang sesuai
dengan usia seperti Snellen distan atau hand held vision card.
Minta pasien untuk mengidentifikasi huruf yang diketik, jam, atau benda di
dinding jika pasien tidak dapat berdiri tegak. Saat memeriksa orbita, pemeriksa
harus berhati-hati untuk menghindari tekanan pada globe. Pemeriksa harus
meletakkan jari di tepi orbital saat menarik kelopak mata.3 Adneksa harus diperiksa
dengan hati-hati dengan palpasi tepi orbital yang halus.13
• Direct ophthalmoscopy

10
Dengan menggunakan direct ophthalmoscopy, dislokasi pada lensa dapat
dievaluasi, pastikan berpusat di pupil.

• Pemeriksaan slit lamp

Periksa kornea dengan hati-hati, berhati-hatilah agar tidak memberikan


tekanan tambahan ke bola mata. Evaluasi kornea menggunakan slit beam
untuk mencari penetrasi ruang anterior. Bilik anterior yang dangkal, pupil
berbentuk tidak teratur (bentuk tetesan air mata), hyphema (darah di bilik
anterior), gelembung di bilik anterior, atau kornea datar bisa menjadi tanda
perforasi kornea.

Gambar 3. Perforasi kornea

• Tes Seidel

Aqueous humor yang bocor dari ruang anterior dapat diidentifikasi dengan
melakukan tes Seidel. Tes ini dilakukan dengan langsung mengoleskan
fluorescein ke lesi kornea yang dicurigai. Dibutuhkan 10% fluorescein.
Pasien harus diberitahu untuk tidak berkedip sehingga dokter yang
memeriksa dapat memvisualisasikan film air mata secara memadai tanpa

11
membuatnya bergerak. Visualisasi pewarna yang terencerkan atau mengalir
di bawah cahaya hitam (tes positif) menunjukkan adanya kebocoran dari
aquous humor. Tes Seidel negatif (tidak ada pengenceran fluorescein)
menunjukkan cedera dengan ketebalan parsial maupun lesi kecil atau lesi
yang menutup secara spontan.

Gambar 4. Tes seidel positif

Pastikan untuk mengevaluasi benda asing di ruang anterior, terutama jika


riwayat pasien menunjukkan bahwa laserasi kornea berasal dari benda kecil
berkecepatan tinggi (seperti dari besi tempa).

• Ocular Trauma Score (OTS)

OTS dapat digunakan untuk memprediksi hasil visual pasien setelah


trauma okular terbuka. Nilai prediksi skor digunakan untuk menjelaskan
prognosis pada pasien dan keluarga mereka. Skor ini dapat menjadi panduan
bagi dokter sebelum melakukan intervensi yang kompleks, terutama pada
tempat yang terbatas sumber daya.

12
Skor OTS berkisar dari 1 (cedera paling parah dan prognosis
terburuk pada 6 bulan setelah tindak lanjut) hingga 5 (cedera paling ringan
dengan prognosis paling baik pada 6 bulan). Setiap skor dikaitkan dengan
kisaran ketajaman visual pasca cedera yang diprediksi. Skor OTS memiliki
akurasi prediksi sekitar 80%, yang berarti bahwa OTS akan akurat 4 dari 5
kali pengukuran.

Tabel 1. Metode komputasi unntuk mendapatkan skor OTS.

13
Tabel 2. Estimasi probabilitas kategori ketajaman visual tindak pada 6
bulan.

Cara menggunakan skor OTS adalah sebagai berikut:

1) Pada pemeriksaan pertama, tetapkan skor mentah awal berdasarkan


ketajaman visual awal (VA) - lihat A dalam Tabel 1. Misalnya, untuk
persepsi cahaya (PL) atau gerakan tangan (HM) bernilai 70 poin mentah.

2) Dari skor mentah awal ini, kurangi poin untuk masing-masing faktor berikut
(dimulai dengan prognosis terburuk dan diakhiri dengan prognosis paling
tidak buruk): pecahnya bola mata, endophthalmitis, cedera perforasi
(dengan luka masuk dan keluar), ablasi retina, dan defek pupil aferen relatif
(RAPD): lihat B ke F pada Tabel 1.

3) Setelah jumlah skor mentah dihitung, temukan kategori yang relevan


di Tabel 2 dan temukan skor OTS yang sesuai. Untuk setiap skor OTS,
Tabel 2 memberikan perkiraan probabilitas dari setiap kategori ketajaman
visual.14

2.6 KLASIFIKASI LASERASI KORNEA


Laserasi kornea dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu laserasi
lamelar dan laserasi tembus. Pada laserasi lamellar perlukaan kornea bersifat parsial
dimana luka hanya melibatkan sebagian ketebalan kornea dan mengenai kornea

14
namun tidak menembus kornea, sedangkan pada laserasi tembus perlukaan kornea
melibatkan seluruh ketebalan kornea. 15
Laserasi kornea tembus dibagi lagi menjadi tiga, yaitu penetrasi, benda
asing kornea, serta perforasi. Pada trauma penetrasi terdapat jejas masuk dari objek
penyebab laserasi, pada benda asing kornea ditemukan objek yang masih tertinggal
di dalam kornea, dan pada trauma perforasi terdapat jejas masuk dan keluar dari
objek penyebab laserasi kornea. 15

Gambar 5. Klasifikasi trauma mata menurut Brimingham Eye Trauma


Terminology (BETT)

15
Gambar 6. Klasifikasi trauma mekanik mata berdasarkan objek
penyebabya menurut BETT.
Kotak dengan bintang menandakan trauma bola mata terbuka dan kotak dengan
tanda sisipan menandakan trauma bola mata tertutup.

Berdasarkan kedalamannya, jika pada laserasi tembus ditemukan COA


yang masih dalam dan tidak keluarnya humor aquous secara aktif, maka luka dapat
menutup sendiri. Laserasi tembus juga dapat menyebabkan mendangkalnya COA
dan merembesnya humor aquous maupun luka tembus yang melibatkan jaringan
intra okuler. Laserasi tembus dapat menyebabkan kehilangan penglihatan bahkan
kehilangan bola mata.13

2.7 PENATALAKSANAAN LASERASI KORNEA


Sebelum pasien sampai di rumah sakit, tutupi mata pasien dengan pelindung
mata atau polistiren / gelas kertas dan hindari tekanan apapun ke bola mata.
Anjurkan pasien untuk menggerakkan mata sesedikit mungkin. Berikan obat anti
emetik dan analgesik untuk mengurangi tekanan pada bola mata dan rasa nyeri.

16
Secara umum, analgesia dan antibiotik topikal harus dihindari jika dicurigai
atau dipastikan adanya laserasi kornea tembus. Gunakan analgesia dan antibiotik
sistemik. Anestesi topikal dapat digunakan, jika diperlukan, untuk memfasilitasi
pengujian ketajaman visual dan pemeriksaan slit lamp.
a. Laserasi lamelar

Tatalaksana untuk laserasi lamelar adalah sebagai berikut:

• Luka yang tidak dapat menutup sendiri harus dijahit.

• Luka yang kecil, dapat menutup sendiri, dan bersih tidak perlu intervensi
lanjutan selain antibiotik profilaksis dan sikloplegik selama beberapa hari.

• Jika luka tidak terdisplasi, antibiotik profilaksis dan sikloplegik digunakan


selama beberapa hari. Namun jika luka terdisplasi, luka tersebut harus
direposisi dan dijahit.

• Luka yang lebih besar pada kornea yang dapat sembuh sendiri cukup
ditangani dengan bandage contact lens (BCL) selama 3-6 minggu.16,17
Penggunaan BCL tersebut membuat kornea terfiksasi dan melindungi
kornea hingga area lesi dapat sembuh.18 Dapat juga digunakan lem
(cyanoacrylate, fibrin) untuk menutup luka parsial, bahkan luka tembus.
Lem Cyanoacrylate mencegah aktivitas kolagenase dan memiliki
kemampuan bakteriostatik. Sebelum mengoleskan lem, epitel harus
dilepas dan permukaannya dikeringkan. Jika jahitan dan lem digunakan,
keduanya tidak boleh bersentuhan satu sama lain. Aplikasi lem yang tepat
menghindari tetesan yang tidak disengaja, mencegah pertumbuhan epitel
ke bawah dan toksisitas endotel, dan memberikan permukaan yang halus.15

b. Benda asing intra okuler (IOFB)

• Kornea harus diberikan anestesi topikal terlebih dahulu

17
• Benda asing superfisial, sebaiknya disingkirkan dengan aplikator kapas,
setelah benda asing diekstraksi, jejasnya diperlakukan seperti abrasi
kornea.

• Untuk benda asing yang dalam, dievaluasi apakah protrusi ke COA. Pasien
diminta untuk duduk di depan slit lamp, dan kepalanya difiksasi oleh
asisten. Komplikasi dari benda asing kornea yang terdorong ke COA
cukup parah. Jika beresiko tinggi, pengambilan benda asing harus
dilakukan di ruang operasi. Forsep berujung halus, probe kecil, atau IOM
yang kuat dapat digunakan jika benda asing tersebut adalah besi.15

c. Laserasi tembus

Pada laserasi tembus, perlu dilakukan penjahitan kornea. Tujuannya untuk


membuat luka kedap air, meminimalkan jaringan parut, dan memulihkan
hubungan anatomis yang normal.3

2.8 KOMPLIKASI LASERASI KORNEA


Komplikasi dapat terjadi apabila penyembuhan epitel tidak terjadi secara
maksimal, sehingga kerusakan lapisan kornea terjadi hingga membran descement.
Dengan keadaan tersebut, akan terjadi pelepasan lapisan kornea hingga terjadi
Reccurent Corneal Erosions (RCE) dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Pasien juga dapat mengalami ablasio retina, infeksi, glaukoma sekunder, phthisis
bulbi, dan kehilangan penglihatan. Komplikasi pasca operasi meliputi jaringan
parut pada kornea, pigmentasi, pembentukan katarak, dan endophthalmitis.19

2.9 PROGNOSIS LASERASI KORNEA


Prognosis setelah laserasi kornea tergantung pada luasnya cedera. Faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah panjang luka, lokasi, dan
derajat jaringan parut. Jaringan parut kornea yang luas dapat mempengaruhi
penglihatan, membutuhkan transplantasi kornea di masa depan. Laserasi yang

18
melibatkan struktur bola mata yang lebih dalam seperti lensa, retina, dan jaringan
uveal mungkin memiliki prognosis yang lebih buruk.3

19
BAB III
RINGKASAN

Laserasi kornea merupakan cedera pada kornea, dapat berupa laserasi


lamelar maupun laserasi tembus. Pada laserasi lamellar perlukaan kornea bersifat
parsial dimana luka hanya melibatkan sebagian ketebalan kornea dan mengenai
kornea namun tidak menembus kornea, sedangkan pada laserasi tembus perlukaan
kornea melibatkan seluruh ketebalan kornea. Penyebab paling umum dari laserasi
kornea adalah aktivitas seperti memotong kayu, memotong logam, memangkas
rumput, mengukir batu, maupun pekerjaan tambang yang memiliki risiko tinggi.
Kontak dengan debu, kotoran, pasir, kembang api, kuku, atau bahkan tepi kertas
juga dapat memotong kornea dan menimbulkan laserasi.
Laserasi kornea dapat menimbulkan rasa sakit yang berat disertai lakrimasi
yang banyak. Tanda dan gejala pada laserasi kornea dapat meliputi nyeri hebat yang
mendadak pada mata, lakrimasi berlebih, mata merah, tajam penglihatan menurun,
COA dangkal, bentuk dan letak pupil berubah, terlihat ruptur pada kornea atau
sklera, terdapatnya jaringan prolaps seperti cairan mata, iris, maupun lensa. Sebisa
mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk pemeriksaan visus,
reaksi pupil, lapang pandang, pergerakan otot-otot ekstraokular, tekanan
intraokular, pemeriksaan slitlamp, funduskopi, dll.
Penatalaksanaan laserasi kornea jika luka dapat menutup sendiri cukup
diberikan antibiotik profilaksis dan sikloplegik, namun jika luka tidak bisa menutup
sendiri, perlu dilakukan penjahitan. Pada laserasi lamelar yang lebih besar, dapat
digunakan lem fibrin untuk melekatkan bagian kornea. Prosedur operatif diperlukan
pada luka yang lebih besar. Prognosis setelah laserasi kornea tergantung pada
luasnya cedera. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah
panjang luka, lokasi, dan derajat jaringan parut. Jaringan parut kornea yang luas
dapat mempengaruhi penglihatan, membutuhkan transplantasi kornea di masa
depan. Laserasi yang melibatkan struktur bola mata yang lebih dalam seperti lensa,
retina, dan jaringan uveal mungkin memiliki prognosis yang lebih buruk

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
2. Hierro Zarzuelo A del. External Disease and Cornea. Arch Soc Esp Oftalmol.
2008;83(7):455–455.
3. Adesina A. Corneal Laceration: Background, Epidemiology, Prognosis
[Internet]. [cited 2021 Jan 13]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/798005-overview#a5
4. Owens PL, Mutter R. Emergency Department Visits Related to Eye Injuries,
2008: Statistical Brief #112 [Internet]. Healthcare Cost and Utilization
Project (HCUP) Statistical Briefs. Agency for Healthcare Research and
Quality (US); 2006 [cited 2021 Jan 13]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21735567
5. Eye Trauma: Epidemiology and Prevention. United States Eye Injury
Registry. [Internet]. Available from:
http://www.useironline.org/Prevention.htm.
6. Paul R.E JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th ed. New
York: Mc Graw Hill Education; 2016. 634 p.
7. Radjiman T. Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Airlangga; 1984.
8. L. S. Human Physiology. In: Eye:Vision. United States of America:
Thomson Higher Education; 2007. p. 190–208.
9. Penetrating eye globe injury from trauma with a metallic nail: a case report.
[Internet]. [cited 2021 Jan 13]. Available from:
https://reference.medscape.com/medline/abstract/23882992
10. Kim UR, Sivaraman KR. Penetrating orbital injuries from plant material
during pond and river diving. Indian J Ophthalmol [Internet]. 2013 Feb [cited
2021 Jan 13];61(2):76–7. Available from:
/pmc/articles/PMC3638331/?report=abstract
11. Six-year clinical study of firework-related eye injuries in North China.

21
[Internet]. [cited 2021 Jan 13]. Available from:
https://reference.medscape.com/medline/abstract/25583736
12. Vinuthinee N, Azreen-Redzal A, Juanarita J, Zunaina E. Corneal laceration
caused by river crab. Clin Ophthalmol [Internet]. 2015 Jan 29 [cited 2021
Jan 13];9:203–6. Available from:
/pmc/articles/PMC4322881/?report=abstract
13. Ocular penetrating and perforating injuries - EyeWiki [Internet]. [cited 2021
Jan 17]. Available from:
https://eyewiki.aao.org/Ocular_penetrating_and_perforating_injuries
14. Scott R. The ocular trauma score. Community Eye Heal J [Internet]. 2015
[cited 2021 Jan 17];28(91):44–5. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4790158/
15. Kuhn F. Ocular traumatology. Ocular Traumatology. 2008. 1–538 p.
16. MB. H. Corneal and Scleral Trauma. Ophthalmol Clin North Am.
2002;15:185–94.
17. Volume 6, Chapter 39. Surgical Management of Anterior Segment Trauma
[Internet]. [cited 2021 Jan 13]. Available from:
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v6/v6c039.h
tml
18. Hori Y, Wantanabe H MN. Medical treatment of operative corneal
perforation caused by laser in situ keratomileusis. Arch Ophthalmol.
1999;117:1422–3.
19. Corneal Emergencies. [Internet]. [cited 2021 Jan 13]. Available from:
https://reference.medscape.com/medline/abstract/26494498

22

Anda mungkin juga menyukai