Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KERATITIS

Disusun oleh:
Kevin Anggakusuma Hendrawan
1522314006

Pembimbing:
dr. Eddyanto, Sp.M(K)

BAG./SMF ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA
MANDALA SURABAYA RUMAH SAKIT PHC SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Di Indonesia, banyak kasus keratitis yang terlambat didiagnosis hingga telah


terjadi komplikasi pada mata. Keratitis dapat menimbulkan kekeruhan kornea dan
kebutaan bila tidak diidentifikasi dan ditangani secara tepat. Pada beberapa kasus yang
berat, keratitis dapat menyebabkan terjadinya perforasi kornea hingga hilangnya fungsi
penglihatan. (Erry, 2012) Kesadaran dari pasien untuk berobat serta kemampuan
diagnosis yang tepat menjadi faktor kunci dalam pencegahan komplikasi keratitis.
Dengan perhatian medis yang baik, keratitis biasanya dapat ditangani dengan baik
sehingga hilangnya penglihatan jangka panjang dapat dicegah. Timbulnya sikatrik
kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari kabur hingga kebutaan.
(Baskhar, 2014)
WHO pada tahun 2011 menyatakan bahwa kekeruhan pada kornea merupakan
penyebab nomer 4 (5,1%) kebutaan di dunia setelah katarak, glaukoma, dan Agedrelated Macular Degeneration (AMD). WHO juga menyatakan keratitis menjadi salah
satu silent epidemic karena perannya sebagai penyebab utama kekeruhan kornea.
Trauma okuler dan ulkus kornea merupakan penyebab utama kebutaan kornea, dimana
sebagian besar ulkus kornea disebabkan oleh infeksi pada kornea. Data menunjukkan
bahwa insidensi keratitis bakterial jauh lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan
di negara maju. Berdasarkan Riskesdas Tahun 2013, prevalensi kekeruhan kornea
nasional adalah 5,5%. Gonzales et. al. melaporkan insiden keratitis di Distrik Madurai
di India Selatan mencapai 113 per 100.000 per tahun, 10 kali lebih besar dibanding di
negara maju. Di Nepal, insidens keratitis mencapai 799 per 100.000 per tahun. Faktor
risiko terbesar terjadinya keratitis bakterial di negara maju adalah penggunaan lensa
kontak, sedangkan di Asia Tenggara, abrasi kornea merupakan faktor risiko terbesar.
(McLeod, 2013)
Selain tingginya insidensi, biaya terapi keratitis infektif relatif mahal dengan
pemulihan tajam penglihatan yang rendah. Pada banyak negara berkembang, obat-obat
keratitis sulit didapatkan. Dengan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh keratitis
infektif, solusi utama di masyarakat adalah strategi preventif. Terdapat beberapa upaya
preventif yang telah berhasil dilaksanakan di negara berkembang. Sebuah penelitian di
Bhaktapur oleh Bhaktapur Eye Study menunjukkan bahwa pasien dengan abrasi kornea
yang datang dalam 48 jam setelah terjadinya jejas tanpa adanya tanda-tanda infeksi
diberi salep kloramfenikol 1% 3x sehari selama 3 hari. Dari 442 pasien, hanya 18 pasien

yang mengalamai ulkus kornea. (Upadhyay, 2001) WHO mengaplikasikan hasil


penelitian tersebut di Bhutan dan sukses menurunkan angka kejadian ulkus kornea pada
pasien-pasien dengan abrasi kornea hinggal nol. Sebagai pembanding, angka kejadian
ulkus kornea di luar area penelitian WHO di Bhutan adalah 339 per 100.000.
Keratitis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena kemungkinan besar
masih merupakan sebuah fenomena gunung es dimana masih banyak kasus yang tidak
terdiagnosis dan ditemukan awal. Pernyataan WHO bahwa keratitis menjadi sebuah
silent epidemic perlu untuk diperhatikan. Jika keratitis tidak ditangani dengan benar
maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea
secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat
sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat
agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang
terutama pada pasien yang masih muda. Kemampuan dalam melaksanakan tindakan
preventif penting untuk menjadi perhatian bersama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KORNEA


Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat
transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm veritkal, tebal 0,6-1
mm. Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea
yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform,
avaskuler, dan disturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada
cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan
hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan
lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem
karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat
menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.
Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari
pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea
dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik yang didapat dari percabangan
pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid, masuk
kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan selubung
schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang
bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman,
stroma, membran descemet dan lapisan endotel.

Gambar 1. Anatomi Kornea5


Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel
gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh
lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan
dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju
ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran ait, elektrolit, dan
glukosa melalui barier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat padanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi
rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderm permukaan. Epitel
memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2015).

2. Membran Bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal
dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak mempunyai daya generasi (Ilyas, 2015).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir
mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit

membentuk

bahan

dasar

dan

serat

kolagen

dalam

perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2015).


4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih
yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini
berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih
kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten
terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan
bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2015).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descement melalui
taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan
endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya
regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan
mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada
regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan

cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma


bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari
kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane
semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema
kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2015).

2.2 FISIOLOGI KORNEA


Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan
untuk memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini
dengan cara mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari
jaringannya. Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler,
memiliki struktur yang uniform yang sifat deturgescence nya. Transparansi
stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponen komponen fibril.
Walaupun indeks refraksi dari masing masing fibril kolagen berbeda dari
substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil
diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang
menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas
optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel
dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada
keadaan basah dengan kadar air sebanyak 78%.
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari
seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus
seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran
bowman dan berakhir secara bebas diantara sel sel epithelial serta tidak memiliki
selebung myelin lagi sekitar 2 3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga
menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.


Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap
kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis
ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens
disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang
terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi
(epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera
kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan

yang

braditrofik,

metabolismenya

lambat

dimana

ini

berarti

penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)


diperoleh dari 3 sumber, yaitu :

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata


Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut
dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film
air mata juga melindungi mata dari infeksi.

2.3 KERATITIS
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2015).
2.3.2

Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara
5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. WHO pada tahun 2011 menyatakan
bahwa kekeruhan pada kornea merupakan penyebab nomer 4 (5,1%) kebutaan di
dunia setelah katarak, glaukoma, dan Aged-related Macular Degeneration

(AMD). WHO juga menyatakan keratitis menjadi salah satu silent epidemic
karena perannya sebagai penyebab utama kekeruhan kornea. Trauma okuler dan
ulkus kornea merupakan penyebab utama kebutaan kornea, dimana sebagian
besar ulkus kornea disebabkan oleh infeksi pada kornea. Data menunjukkan
bahwa insidensi keratitis bakterial jauh lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan di negara maju. Berdasarkan Riskesdas Tahun 2013, prevalensi
kekeruhan kornea nasional adalah 5,5%. Gonzales et. al. melaporkan insiden
keratitis di Distrik Madurai di India Selatan mencapai 113 per 100.000 per
tahun, 10 kali lebih besar dibanding di negara maju. Di Nepal, insidens keratitis
mencapai 799 per 100.000 per tahun. Faktor risiko terbesar terjadinya keratitis
bakterial di negara maju adalah penggunaan lensa kontak, sedangkan di Asia
Tenggara, abrasi kornea merupakan faktor risiko terbesar. (McLeod, 2013)
2.3.3

Etiologi
Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Keratitis pada
umumnya didahului:
- defisiensi vitamin A
- Reaksi konjungtivitis menahun
- Trauma dan kerusakan epitel
- Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non-infeksi
-

2.3.4

keratitis
Daya imunitas yang berkurang
Musim panas dan daerah yang lembab
Pemakai kortikosteroid
Herpes genital

Patofisiologi
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme
yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia
merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea. Ketika patogen telah menginvasi

jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal
akan terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea

Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik


invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan
gambaran infiltrasi kornea

Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus
yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada


membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan
descematocele dimana hanya membaran descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement


terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan
merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan
gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.
Karena kornea memiliki serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superficial
maupun dalam menimbulkan rasa sakitdan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat
oleh gesekan palbebra (terutama palbebra superior) pada kornea akan emnetap
sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan
membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalo letaknya dari pusat.
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang
sakit. Dilatasi pembuluh iris beradang yang sakit. Dilatasi pembuluh iris adalah
fenomena reflex yang disebabkan iritasi pda ujung saraf kornea. Fotofobia, yang
berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena
hipestasi terjadi pada penyakit ini, yang merupakan tanda diagnosis berharga.
2.3.5

Manifestasi Klinis
1. Nyeri.

2. Fotofobia (takut sinar, silau) oleh karena nyeri. Di samping itu, jika iris
mengalami radang akan berkontraksi oleh datangnya sinar.
3. Blefarospasme (refleks menutup mata).
4. Epifora, yaitu air mata yang berlebihan.
Fotofobia, blefarospasme, dan epifora dinamakan TRIAS penyakit kornea
(keratitis). Hal ini sangat penting untuk membedakan dengan radang
konjungtiva. Pada penderita keratitis Herpes Simpleks (HSK) tidak didapatkan
nyeri.
2.3.6

Diagnosis
Pada anamnesis diungkapkan adanya riwayat trauma (benda asing dan
abrasi merupakan dua lesi yang paling umum pada kornea), riwayat penyakit
kornea juga bermanfaat, tanyakan gejala untuk membedakan jenis keratitis,
tanyakan juga pemakaian obat local.
a. Keluhan utama
Tanyakan kepada klien adanya keluhan seperti nyeri, mata berair, mata
merah, silau dan sekret pada mata
b. Riwayat penyakit sekarang
Informasi yang dapat diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan
tajam penglihatan, trauma pada mata, riwayat gejala penyakit mata
seperti nyeri meliputi lokasi,awitan, durasi, upaya mengurangi dan
beratnya, pusing, silau.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada klien riwayat penyakit yang dialami klien seperti diabetes
mellitus, herpes zooster, herpes simpleks
Pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan adanya kelainan berikut:
i. Palpebra superior
Merah,sakit jikaditekan
ii. Palpebra inferior
Bengkak, merah, ditekan keluar sekret
iii. Kornea
1. Erosi kornea, uji fluoresin positif

10

2. Infiltrat, tertibunnya sel radang


3. Pannus, terdapat sel radang dengan adanya pembuluh
darah yang membentuk tabir kornea
4. Flikten
5. Ulkus
6. Sikatrik
Pemeriksaan laboratorium biomikroskopik dengan atau tanpa fluorescein,
kerokan ulkus, biopsy kornea. Beberapa tes yang dapat dilakukan pada kornea
antara lain adalah:

Tes pachometry : tes untuk mengukur tebal kornea dengan memberikan


seberkas sinar

Tes dengan keratoskop atau plasido : untuk melihat licinnya


kelengkungan kornea

Tes sensibilitas kornea : tes untuk pemeriksaan fungsi saraf trigeminus


yang memberikan sensibilitas kornea

Tes sensibilitas kuantitatif kornea : tes untuk mengetahui derajat


sensibilitas kornea

Tes fluoresin : tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel


kornea.

Tes rose Bengal : untuk melihat sel mati pada kornea

Tes metilen biru : tes untuk melihat adanya kerusakan saraf pada kornea

Tes fistel : tes untuk memeriksa adanya fistel atau kebocoran pada
kornea

Tes seidel : tes untuk mengetahui letak kebocoran pada luka operasi
pascabedah intraocular.

2.3.7 JENIS-JENIS KERATITIS


2.3.7.1 BERDASARKAN LOKASI
2.3.7.1.1 Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman, dengan infiltrat
berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata biasanya terdapat bilateral

11

dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva, ataupun


2.3.7.1.2

tanda akut, yang biasanya terjadi pada dewasa muda.


Keratitis Marginal
Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea
sejajar

dengan

limbus.

Penyakit

infeksi

lokal

konjungtiva

dapat

mengakibatkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Merupakan


reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokokus. Bila tidak diobati
dengan baik maka akan mengakibatkan tukak kornea.
2.3.7.1.3 Keratitis Interstitial
Merupakan keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam
pada kedua mata. Keratitis interstitial merupakan keratitis nonsupuratif
profunda disertai dengan neovaskularisasi. Keratitis ini disebut juga keratitis
parenkimatosa. Pengobatan keratitis profunda tergantung pada penyebabnya
berupa antibiotika, anti jamur, dan antivirus. Pada keratitis diberikan sulfas
atropin tetes mata untuk mencegah sinekia akibat terjadinya uveitis dan
kortikosteroid tetes mata.
2.3.7.2 BERDASARKAN ETIOLOGI
2.3.7.2.1 Keratitis Bakterial
Setiap bakteri seperti Staphylococcus, Pseudomonas, Haemophilus,
Streptococcus, dan Enterobactericiae dapat mengakibatkan keratitis
bakterial. Faktor predisposisi adalah pemakaian lensa kontak, trauma,
kontaminasi obat tetes.
Pada keratitis bakteri akan terdapat keluhan kelopak mata lengket setiap
bangun pagi. Mata silau, merah, berair, dan penglihatan yang berkurang.
Kelainan ini lebih sering ditemukan pada pemakaian lensa kontak dengan
pemakaian lama. Kosmetika terkontaminasi dapat mengandung bakteri.
Kornea menjadi keruh dan dapat menjadi abses di dalam stroma kornea.
Pengobatan antibiotika dapat diberikan pada keratitis bakterial berdasarkan:

Batang Gram (-)


Tobramisin
Ceftazidime
Fluoroquinolone
2.3.7.2.2

Batang Gram (+)


Cefazoline
Vancomycin
Moxifloxacin/Gatifloxacin

Kokus Gram (-)


Ceftriaxone
Cefatzidime
Moxifloxacin/Gatifloxacin

Keratitis Jamur

12

Keratitis jamur lebih jarang dibandingkan keratitis bakterial. Dimulai


dengan suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun, dan bagian
tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan keratitis jamur disebabkan oleh Fusarium,
Filamentous, Yeast, Candida, Aspergilus. Sulit membedakan ciri khas jamur
ini. Pada masa sekarang infeksi jamur bertambah dengan pesat dan dianggap
sebagai efek samping pemakaian antibiotik dan kortikosteroid yang tidak
tepat, pemakaian lensa kontak.
Keluhan baru timbul setelah 5 hari ruda paksa atau 3 minggu kemudian.
Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair, penglihatan menurun,
dan silau. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman
berikut :

Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama

Lesi satelit

Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh

Plak endotel

Hypopyon, kadang-kadang rekuren

Formasi cincin sekeliling ulkus

Lesi kornea yang indolen

Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH


10% terhadap kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa.
Disarankan pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberi pengobatan
Natamicin 5% (keratitis jamur filamentosa, Fusarium sp.). Amphotericin B
0,15%-0,30% (keratitis yeast, Aspergilus sp.). Diberikan pengobatan
sistemik ketoconazole (200-600 mg/hari) dan siklopegik. Bila disertai
peningkatan tekanan intraokular diberikan obat oral anti glaukoma.
Keratoplasti dilakukan jika tidak ada perbaikan. Penyulit yang dapat terjadi
adalah endoftalmitis.
2.3.7.2.3 Keratitis Virus
Virus yang mengakibatkan infeksi pada kornea termasuk infeksi virus
pada saluran napas seperti adenovirus dan semua yang menyebabkan

13

demam. Virus herpes simples dan herpes zoster dapat menyebabkan


keratitis.
Kelainan pada kornea didapatkan sebagai keratitis pungtata superfisial
dan memberikan gambaran seperti infiltrat halus berititik-titik pada dataran
depan kornea yang dapat terjadi pada penyakit seperti herpes simpleks,
herpes zoster, infeksi virus, vaksinia, dan trakoma. Keratitis yang terkumpul
di daerah membran Bowman. Pada keratitis ini biasanya terdapat bilateral
dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun
tanda akut.
2.3.7.2.4 Keratitis Herpetik
Keratitis Herpetik disebabkan oleh herpes simpleks dan herpes zoster.
Herpes simpleks yang merupakan penyebab penyakit mata utama pada
dewasa yang dapat mengakibatkan infeksi kornea kronis. Gejala berupa
terbentuknya pembuluh darah halus pada mata, penglihatan berkurang,
jaringan parut, dan glaukoma.
Infeksi herpes biasanya dimulai radang konjungtiva yang mengenai satu
mata. Biasanya berlanjut menjadi keratitis dendritik. Kambuhnya penyakit
ini disebabkan stres, lelah, terpajan sinar ultraviolet. Kambuhnya biasanya
disertai keratitis dendritik dan radang iris. Sangat tidak boleh memberi
steroid topikal karena akan mengakibatkan memburuknya keratitis yang
disetai dengan kebutaan.
Lesi pada keratitis herpetik dibedakan menjadi 4 bentuk yaitu:
Bentuk vesikel kornea
Merupakan tanda awal keratitis herpetik yang ditandai adanya
vesikel kecil pada epitel kornea. Keadaan ini jarang terdiagnosis

hingga selanjutnya terbentuk lesi dendritik.


Bentuk dendritik
Merupakan tanda paling sering pada keratitis herpetik yang
ditandai adanya lesi bercabang linear dengan ulkus sentral
hingga mencapai membrana basalis. Didapatkan adanya edema

pada tepi epitel yang mengandung virus.


Bentuk geografik
Terjadi saat ulkus dendritik meluas dan bentuknya tidak lagi
linier.

Bentuk

ini

seringkali

mincul

pada

individu

imunokompromais dan pengguna steroid topikal.


Bentuk discoid atau disciform

14

Berupa edema stroma berbentuk lonjong atau gambarang


melingkar seperti cakram disertai dengan infiltral lingan. Edema
terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat juga meluas ke
seluruh tebal stroma.
2.3.7.2.5 Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis Sika
Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan
kornea dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang
mengakibatkan defisiensi komponen lemak air mata, defisiensi kelenjar
ait mata, defisiensi komponen musin, akibat penguapan yang berlebihan,
parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pasien dengan keratokonjungtivitis sika akan mengeluh mata gatal,
berpasir, silau, dan dapat penglihatan kabur. Pada mata didapatkan
sekresi mukus yang berlebihan, sukar menggerakkan kelopak mata, dan
mata kering karena erosi kornea.
b. Keratokonjungtivitis epidemi
Merupakan akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap adenovirus tipe 8, 19, atau 37.
Penyakit ini dapat timbul sebagai suatu epidemi dan bersifat bilateral.
Keluhan umum adalah demam, gangguan saluran nafas, penglihatan
menurun, merasa seperti ada benda asing, berair, kadang disertai nyeri.
Pengobatan pada keadaan akut sebaiknya diberikan kompres dingin,
cairan air mata, dan pengobatan penunjang lainnya. Lebih baik diobati
secara konservatif. Bila terdapat kekeruhan pada kornea yang
menyebabkan penurunan visus yang berat dapat diberikan steroid tetes
mata 3x/hari. Pemberian IDU tidak memberikan hasil yang memuaskan.
c. Tukak atau Ulkus Fliktenular
Tukak flikten sering ditemukan berbentuk sebagai benjolan abu-abu,
yang pada kornea terlihat sebagai:
- ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea
dengan pembuluh darah jelas di belakangnya
- flikten multipel di sekitar limbus
- ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus
pengobatannya menggunakan steroid topikal maupun sistemik. Dalam
keadaan yang berat dapat terjadi ulkus kornea.
d. Keratitis Fasikularis

15

Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari


limbus ke arah kornea. Biasanya berupa tukak kornea akibat flikten yang
menjalar ke daerah sentral disertai fasikulus pembuluh darah.
Keratitis fasikularis adalah suatu penampilan flikten yang berjalan yang
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea
dimulai dari limbus.
e. Keratokonjungtivitis Vernal
Merupakan penyakit rekuren dengan peradangan tarsus dan konjungtiva
bilateral. Penyebabnya tidak diketahui, akan tetapi didapatkan terutama
pada musim panas dan menganai anak sebelum berusia 14 tahun,
terutama laki-laki.
Pasien umumnya mengeluh gatal, biasanya disertai riwayat alergi pada
keluarga atau pada pasien sendiri, blefarospasme, fotofobia, penglihatan
buram, dan kotoran mata yang berserat-serat. Sering ditemukan
hipertrofi papil yang kadang-kadang berbentuk cobble stone pada
kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus. Pengobatan yang diberikan
adalah antihistamin topikal dan kompres dingin.
2.3.7.3 BERDASARKAN BENTUK KLINIS
2.3.7.3.1 Keratitis Numularis
Keratitis numularis bentuk keratitis dengan infiltrat yang bundar
berkelompok dan tepinya berbatas tegas sehingga memberikan gambaran
halo. Keratitis ini berjalan lambar sering terdapat unilateral pada petani
sawah. Diduga penyebabnya adalah infeksi virus. Tes fluoresin pada
2.3.7.3.2
2.3.7.3.3
2.3.7.3.4

keratitis numularis adalah negatif.


Keratitis Flikten
Keratitis Sika
Keratitis Neuroparalitik
Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf
trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai
kekeringan kornea.
Gangguan persarafan nervus V dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor
fosa posterior cranium, peradangan atau keadaan lain atau keadaan lain
sehingga kornea menjadi anastesis.
Pada keadaan anastesis dan tanpa persarafan, kornea kehilangan daya
pertahanannya terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi kemunduran
metabolism kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea.

16

Kornea mudah terjadi infeksi yang akan mengakibatkan terbentuknya tukak


kornea.
Pasien akan mengeluh tajam pengelihatan menurun, silau dan tidak
nyeri. Mata akan memberikan gejala jarang berkedip karena hilangnya
refleks mengedip, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrate dan
vesikel pada kornea. Dapat terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh
permukaan kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan
sedikit lapisan epitel kornea yang sehat di dekat limbus.
Pada keadaan ini pengobatan diberikan dengan air mata buatan dan
salep untuk menjaga kornea tetap basah, sedangkan untuk mencegah infeksi
sekundernya berupa pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum
lakrimal.
2.3.8

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat

penyembuhan

defek

epitel,

mengatasi

komplikasi,

serta

memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan

debridement

sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan


spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat
lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial
"ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan
debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika
penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin
G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin,
gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika
terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan
bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol.
Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan.

17

Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga
menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada
pemeberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut
adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus
diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat
timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan
infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini
dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada
keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan
NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID
dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya
seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena
tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa bat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada
keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40
menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal

18

kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek
samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%)
efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai
dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari.
Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan
efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini
sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan
keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma
kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi
dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan
agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini
dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena
paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut
memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang
mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.
2.3.9

Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai
hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:

Gangguan refraksi

Jaringan parut permanent

Ulkus kornea

19

Perforasi kornea

Glaukoma sekunder

2.3.10 Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya. Prognosis visual
tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:

Virulensi organisme

Luas dan lokasi keratitis

Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen

20

BAB III
KESIMPULAN

Keratitis merupakan suatu masalah kesehatan mata yang perlu menjadi


perhatian karena komplikasinya dapat dicegah dengan diagnosis dan penanganan
yang tepat. Di Indonesia, diagnosis dini dan kesadaran untuk segera berobat
merupakan hal yang perlu menjadi perhatian dalam penanganan keratitis.
Kebutaan karena keratitis infeksi di negara berkembang perlu untuk ditanggulangi
melalui tindakan preventif terhadap terjadinya komplikasi ulkus maupun sikatrik
kornea.
Gejala umum keratitis adalah visus turun mendadak, mata merah, rasa
silau, dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari
jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing
keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman
yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit
ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara
permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat
sampai menyebabkan kebutaan.

21

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2009. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophtalmology.
Baskhar, VN. 2014. A Review on Microbial Keratitis. World Journal of Pharmaceutical
Research, 3 (7), 189-201.
Budiono S., dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga
University Press.
Erry. 2012. Distribusi dan Karakteristik Sikatrik Kornea di Indonesia, RISKESDAS
2007. Media Litbang Kesehatan, 22(1), 30-37
Ilyas S. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas S. 2012. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-4.
Jakarta: Badan penerbit FKUI.
James Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. Lectures Note Oftalmologi Edisi kesembilan.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta Edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
Mcleold SD, et. al. 2013. Preferred Practice Pattern Bacterial Keratitis. New York:
American Academy of Ophthalmology.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006. Ed. III. Surabaya:
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Roderick B. 2009. Kornea. In: Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.
Upadhyay MP, Karmacharya PC, Koirala S, et. al. 2001. The Bhaktapur eye study:
ocular trauma and antibiotic prophylaxis for the prevention of corneal
ulceration in Nepal. Br J Ophthalmol, 85, 388-92

22

Anda mungkin juga menyukai