KERATITIS
Disusun oleh:
Kevin Anggakusuma Hendrawan
1522314006
Pembimbing:
dr. Eddyanto, Sp.M(K)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Membran Bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal
dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak mempunyai daya generasi (Ilyas, 2015).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir
mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit
membentuk
bahan
dasar
dan
serat
kolagen
dalam
yang
braditrofik,
metabolismenya
lambat
dimana
ini
berarti
2.3 KERATITIS
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2015).
2.3.2
Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara
5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. WHO pada tahun 2011 menyatakan
bahwa kekeruhan pada kornea merupakan penyebab nomer 4 (5,1%) kebutaan di
dunia setelah katarak, glaukoma, dan Aged-related Macular Degeneration
(AMD). WHO juga menyatakan keratitis menjadi salah satu silent epidemic
karena perannya sebagai penyebab utama kekeruhan kornea. Trauma okuler dan
ulkus kornea merupakan penyebab utama kebutaan kornea, dimana sebagian
besar ulkus kornea disebabkan oleh infeksi pada kornea. Data menunjukkan
bahwa insidensi keratitis bakterial jauh lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan di negara maju. Berdasarkan Riskesdas Tahun 2013, prevalensi
kekeruhan kornea nasional adalah 5,5%. Gonzales et. al. melaporkan insiden
keratitis di Distrik Madurai di India Selatan mencapai 113 per 100.000 per
tahun, 10 kali lebih besar dibanding di negara maju. Di Nepal, insidens keratitis
mencapai 799 per 100.000 per tahun. Faktor risiko terbesar terjadinya keratitis
bakterial di negara maju adalah penggunaan lensa kontak, sedangkan di Asia
Tenggara, abrasi kornea merupakan faktor risiko terbesar. (McLeod, 2013)
2.3.3
Etiologi
Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Keratitis pada
umumnya didahului:
- defisiensi vitamin A
- Reaksi konjungtivitis menahun
- Trauma dan kerusakan epitel
- Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non-infeksi
-
2.3.4
keratitis
Daya imunitas yang berkurang
Musim panas dan daerah yang lembab
Pemakai kortikosteroid
Herpes genital
Patofisiologi
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme
yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia
merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea. Ketika patogen telah menginvasi
jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal
akan terjadi, yaitu:
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus
yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Manifestasi Klinis
1. Nyeri.
2. Fotofobia (takut sinar, silau) oleh karena nyeri. Di samping itu, jika iris
mengalami radang akan berkontraksi oleh datangnya sinar.
3. Blefarospasme (refleks menutup mata).
4. Epifora, yaitu air mata yang berlebihan.
Fotofobia, blefarospasme, dan epifora dinamakan TRIAS penyakit kornea
(keratitis). Hal ini sangat penting untuk membedakan dengan radang
konjungtiva. Pada penderita keratitis Herpes Simpleks (HSK) tidak didapatkan
nyeri.
2.3.6
Diagnosis
Pada anamnesis diungkapkan adanya riwayat trauma (benda asing dan
abrasi merupakan dua lesi yang paling umum pada kornea), riwayat penyakit
kornea juga bermanfaat, tanyakan gejala untuk membedakan jenis keratitis,
tanyakan juga pemakaian obat local.
a. Keluhan utama
Tanyakan kepada klien adanya keluhan seperti nyeri, mata berair, mata
merah, silau dan sekret pada mata
b. Riwayat penyakit sekarang
Informasi yang dapat diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan
tajam penglihatan, trauma pada mata, riwayat gejala penyakit mata
seperti nyeri meliputi lokasi,awitan, durasi, upaya mengurangi dan
beratnya, pusing, silau.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada klien riwayat penyakit yang dialami klien seperti diabetes
mellitus, herpes zooster, herpes simpleks
Pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan adanya kelainan berikut:
i. Palpebra superior
Merah,sakit jikaditekan
ii. Palpebra inferior
Bengkak, merah, ditekan keluar sekret
iii. Kornea
1. Erosi kornea, uji fluoresin positif
10
Tes metilen biru : tes untuk melihat adanya kerusakan saraf pada kornea
Tes fistel : tes untuk memeriksa adanya fistel atau kebocoran pada
kornea
Tes seidel : tes untuk mengetahui letak kebocoran pada luka operasi
pascabedah intraocular.
11
dengan
limbus.
Penyakit
infeksi
lokal
konjungtiva
dapat
Keratitis Jamur
12
Lesi satelit
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh
Plak endotel
13
Bentuk
ini
seringkali
mincul
pada
individu
14
15
16
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat
penyembuhan
defek
epitel,
mengatasi
komplikasi,
serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan
debridement
17
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga
menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada
pemeberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut
adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus
diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat
timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan
infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini
dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada
keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan
NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID
dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya
seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena
tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa bat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada
keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40
menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
18
kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek
samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%)
efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai
dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari.
Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan
efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini
sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan
keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma
kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi
dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan
agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini
dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena
paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut
memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang
mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.
2.3.9
Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai
hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
Gangguan refraksi
Ulkus kornea
19
Perforasi kornea
Glaukoma sekunder
2.3.10 Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya. Prognosis visual
tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:
Virulensi organisme
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2009. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophtalmology.
Baskhar, VN. 2014. A Review on Microbial Keratitis. World Journal of Pharmaceutical
Research, 3 (7), 189-201.
Budiono S., dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga
University Press.
Erry. 2012. Distribusi dan Karakteristik Sikatrik Kornea di Indonesia, RISKESDAS
2007. Media Litbang Kesehatan, 22(1), 30-37
Ilyas S. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas S. 2012. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-4.
Jakarta: Badan penerbit FKUI.
James Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. Lectures Note Oftalmologi Edisi kesembilan.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta Edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
Mcleold SD, et. al. 2013. Preferred Practice Pattern Bacterial Keratitis. New York:
American Academy of Ophthalmology.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006. Ed. III. Surabaya:
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Roderick B. 2009. Kornea. In: Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.
Upadhyay MP, Karmacharya PC, Koirala S, et. al. 2001. The Bhaktapur eye study:
ocular trauma and antibiotic prophylaxis for the prevention of corneal
ulceration in Nepal. Br J Ophthalmol, 85, 388-92
22