Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT MATA


SUBKONJUNGTIVA HEMORRHAGE OS DAN
PINGUEKULA ODS

Penguji :

dr. Karliana Kartasa Taswir, Sp. M

Disusun oleh :
Johanna Fredda Charlotta Maitimu
01073180097

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 8 APRIL – 11 MEI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Inisial Pasien : Tn. WTA
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 26 April 1977
Usia : 41 Tahun
Tempat tinggal : Kelapa dua, Tangerang
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Teknisi
Agama : Islam
No. Rekam medis : 00-85-63-XX

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien pada tanggal 23
April 2019 di ruang poliklinik lantai 2 Rumah Sakit Umum Siloam.

1.3 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan utama merah pada mata kanan 5 jam SMRS.

1.4 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli mata Rumah Sakit Umum Siloam (RSUS) dengan
keluhan merah pada mata kanan setelah terkena badan kabel listrik kurang lebih 5 jam
SMRS. Pasien mengkhawatirkan mata kanannya karena terdapat bercak merah di
bagian kanan bawah pada mata kanan yang tidak kunjung hilang. Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa mengganjal pada kedua mata yang merah. Keluhan nyeri,
pandangan buram, pandangan ganda, sensasi benda asing, silau, berair, gatal,
kesulitan membuka mata disangkal.
Pasien juga tidak mengeluhkan adanya batuk, demam, mual muntah
sebelumnya. Tidak ada keluhan sering mimisan atau mudah lebam serta luka yang
sukar sembuh, pasien juga tidak sedang mengkonsumsi obat-obat tertentu disangkal.

1
1.5 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi pengangkatan biji besi pada mata kanan pada tahun 2015.
Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung, Stroke.

1.6 Riwayat Penyakit Keluarga


Kedua orang tua pasien memiliki riwayat diabetes melitus.

1.7 Riwayat Sosial dan Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien bekerja sebagai teknisi di gedung matahari. Lingkungan pekerjaan
pasien sangat berbahaya karena banyaknya benda benda tajam. Pekerjaan pasien yang
berada diluar ruangan mengharuskan pasien untuk terpapar sinar matahari, debu serta
angin dan tidak menggunakan topi atau kacamata hitam sebagai alat pelindung diri.
Pasien mengaku hanya menggunakan baju kerja dan sarung tangan dalam melakukan
pekerjaannya.
Pasien menyangkal adanya alergi pada makanan dan debu.

1.9 Pemeriksaan Fisik


Status opthalmologis

OD OS

2
6/6 Visual Acquity 6/6

Gerak Bola Mata

Ortoforia Alignment Ortoforia


Palpebra Superior
- Edema -
- Hiperemis -
Tidak Ada Entropion Tidak Ada
Tidak Ada Ektropion Tidak Ada
Tidak Ada Trikhiasis Tidak Ada
Tidak Ada Disthikhiasis Tidak Ada
Tidak Ada Hematoma Tidak ada
Tidak Ada Cobblestone Tidak Ada
Palpebra Inferior
- Edema -
- Hiperemis -
Tidak Ada Entropion Tidak Ada
Tidak Ada Ektropion Tidak Ada
Tidak Ada Trikhiasis Tidak Ada
Tidak Ada Disthikhiasis Tidak Ada
Tidak Ada Hematoma Tidak Ada
Tidak Ada Cobblestone Tidak Ada

3
Konjungtiva Bulbi
- Injeksi Konjungtiva -
Tidak Ada Injeksi Siliar Tidak ada
Tidak Ada Sekret Tidak Ada
Tidak Ada Jaringan Fibrovaskular Tidak ada
Terdapat tonjolan selaput Terdapat tonjolan selaput
berwarna putih berwarna putih
kekuningan yang kekuningan yang
Massa
memanjang di samping memanjang di samping
limbus pada bagian nasal limbus pada bagian nasal
dan temporal dan temporal.
Ada Perdarahan Tidak Ada
Konjungtiva Tarsal
- Hiperemis -
Tidak Ada Folikel Tidak Ada
Tidak Ada Papil Tidak Ada
Tidak Ada Lithiasis Tidak Ada
Kornea
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak Ada Edema Tidak Ada
Tidak Ada Massa Tidak Ada
Tidak Ada Sikatriks Tidak Ada
Tidak Ada Ulkus Tidak Ada
COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak Ada Hyphema Tidak Ada
Tidak Ada Hypopion Tidak Ada
Pupil
 3mm Ukuran  3mm
Bulat Bentuk Bulat
Sentral Letak Sentral
Isokor Isokoria Isokor
Refleks Cahaya
+ +
Langsung

4
Refleks Cahaya Tidak
+ +
Langsung
- RAPD -
Iris
Coklat Gelap Warna Coklat Gelap
Positif Kripta Positif
Tidak Ada Sinekia Tidak Ada
Lensa
Jernih Kejernihan Jernih
- Shadow Test -
- Refleks Kaca -
Vitreous
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak Ada Floaters Tidak Ada
Tidak Ada Pendarahan Tidak Ada
Fundus
Positif Refleks Fundus Positif
2/3 A/V Ratio 2/3
0.3 C : D Ratio 0.3
N/P TIO N/P
Campus
Sama Dengan Pemeriksa Lapang Pandang Sama Dengan Pemeriksa
Tes Buta Warna
Normal Buta Warna Normal

1.10 Resume
Pasien laki-laki bernama Tn. WTA, berusia 41 tahun datang ke poli mata
Rumah Sakit Umum Siloam (RSUS) dengan keluhan merah pada mata kanan setelah
terkena badan kabel listrik kurang lebih 5 jam SMSR. Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa mengganjal pada mata yang merah. Adanya riwayat operasi
pengangkatan biji besi pada mata kanan pada tahun 2015. Kedua orang tua pasien
memiliki riwayat diabetes melitus. Pasien bekerja sebagai teknisi di gedung matahari
dan seringnya terpapar sinar matahari langsung.

5
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya perdarahan pada konjungtiva di
sebelah kanan bawah dekat limbus pada mata kanan. Terdapat massa berupa tonjolan
selaput berwarna putih kekuningan yang memanjang di samping limbus pada bagian
nasal dan temporal di kedua mata.

1.11 Diagnosis

Diagnosis : Subkonjungtiva Hemorrhage OD et causa trauma tumpul dan


Pinguecula ODS

Diagnosis Banding :

OD : Perdarahan Sub konjungtiva et cause penyakit sistemik, OD skleritis

ODS : Pterigium grade I, Pseudopterygium

1.12 Tatalaksana

Nonmedikamentosa

 Subkonjungtiva Hemorrhage
- Kompres dengan air dingin
- Edukasi pasien bahwa kondisi ini akan membaik dengan sendirinya,
perdarahan subkonjungtiva dapat diserap dalam satu atau dua minggu.
Biasanya, pemulihan terjadi utuh, tanpa adanya masalah jangka panjang
- Dilarang untuk mengangkat benda berat atau menghindari terjadinya trauma
tumpul yang mengenai mata dengan menggunakan alat pelindung diri berupa
kacamata ketika bekerja
- Segera kembali ke poli jika perdarahan bertambah luas (mata bertambah
merah).
 Pinguecula
- Edukasi pasien untuk menggunakan topi dan kacamata saat bekerja untuk
mengurangi paparan terhadap sinar matahari, debu, dan angin yang merupakan
salah satu faktor resiko pinguecula.
- Menjelaskan pada pasien bahwa pinguecula merupakan benjolan kekuningan
pada selaput bening mata yang jarang membesar, dan tidak memerlukan
tindakan operatif, namun pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi
peradangan pingueculitis dan pterygium.

6
Medikamentosa

- Artificial tears 4 dd gtt 1 OD untuk mencegah iritasi


- Tetes mata mengandung (antazolin HCl 0.05% naphazoline HCl 0.5% ) MD 4
dd gtt 1 OD untuk vasokonstriktor
- Tetes mata mengandung (mengandung tobramycin, dexamethasone) MD 6 dd
gtt 1 ODS untuk mengurangi inflamasi

1.13 Prognosis
 Ad vitam : Bonam
 Ad sanationam : Bonam
 Ad functionam : Bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan lapisan mukosa tipis yang melapisi palpebra bagian
dalam dari taut mukokutaneus, lanjut hingga ke permukaan luar bola mata, hingga
limbus korneasklera. Konjungtiva secara embriologi berasal dari ektoderm permukaan
dan krista neuralis pada vesikula optik. Secara anatomis, konjungtiva dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva
fornises.
1. Konjungtiva Tarsal
Konjungtiva tarsal merupakan bagian konjungtiva yang melapisi permukaan
posterior palpebra. Konjungtiva tarsal melekat ke tarsus dan melipat posterior di
tepi tarsus superior dan inferior dan terikat erat dengan jaringan fibrosa di
bawahnya sehingga sukar digerakkan.
2. Konjungtiva bulbi
Konjungtiva Bulbi adalah bagian yang menutupi sklera. Lapisan ini sangat
tipis dan transparan sehingga sklera yang terletak di bawahnya dapat terlihat.
Konjungtiva bulbi melekat secara longgar dengan sklera sehingga memungkinkan
bola mata bergerak bebas ke segala arah. Selain itu, konjungtiva bulbi juga
melekat secara longgar dengan septum orbita pada forniks dan melipat hingga
beberapa kali. Selain memberikan kebebasan bola mata untuk bergerak, hal ini
juga akan memperluas permukaan sekresi konjungtiva.
3. Konjungtiva fornises
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

8
Ket. Gambar : (1) Limbus, (2) Konjungtiva Bulbi, (3) Konjungtiva Forniks,
(4) Konjungtiva Palpebra, (5) Pungtum Lakrimalis, (6) Konjungtiva Marginalis

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva diperdarahi dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis.


Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak.
Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan
serabut nyeri yang relatif sedikit. 1,2

2.2 Histologi
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan
sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan
untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan dapat mengandung pigmen
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun
longgar pada mata. 1,3

2.3 Fisiologi

Sel epitel konjungtiva sebagai sumber sekresi elektrolit dan air


Sebagaimana halnya kornea, konjungtiva juga mensekresi Na+, Cl-, dan air.
Oleh karena konjungtiva lebih banyak menempati permukaan okular dibandingkan
kornea, ia merupakan sumber potensial elektrolit dan air dalam lapisan akuous tear
film. Saat ini, sekresi elektrolit dan air konjungtiva sudah mulai diteliti. Informasi
terakhir menyebutkan bahwa saraf simpatis dapat memicu sekresi tersebut. 4
Mekanisme sekresi elektrolit dan air pada konjungtiva serupa dengan yang
terjadi pada glandula lakrimal dan epitel kornea. Sekresi Cl- ke dalam air mata melalui
mekanisme transport aktif konjungtiva mencapai 60%-70%. Sisanya berasal dari
absorbsi Na--glukosa dari air mata. Hal ini menunjukkan bahwa konjungtiva juga
mengabsorbsi elektrolit dan air. 4

9
Sel goblet konjungtiva sebagai sumber sekresi musin
Salah satu sumber utama lapisan musin pada tear film adalah sel goblet
konjungtiva. Sel goblet yang terdistribusi ke seluruh konjungtiva akan mensekresi
musin. Musin merupakan glikoprotein dengan berat molekul besar. Musin dibentuk
oleh protein yang didukung oleh rantai yang terikat dengan sejumlah karbohidrat.
Oleh karena rantai karbohidrat tersebut bersifat heterogen, maka gen-gen yang
mensintesis protein dapat digunakan untuk menentukan jenis-jenis musin yang
dihasilkan. Ada 9 jenis gen musin, mulai dari MUC1 hingga MUC8. Sel goblet
konjungtiva mensekresi MUC5AC, sedangkan sel lain di permukaan okular tidak
mensekresi jenis musin ini. 4
Musin diproduksi oleh permukaan kasar dari retikulum endoplasma dan
tertahan pada ikatan membran-granula dalam bentuk filamen. Granula-granula
tersebut akan bersatu menjadi satu bentuk droplet yang besar untuk kemudian
dikeluarkan ke permukaan melalui membran sel yang ruptur. Membran sel tersebut
akan menyusun kembali dirinya, menutup muara yang terbentuk. Sel yang telah
terpakai tadi akan beristirahat dalam jangka waktu yang bervariasi untuk kemudian
kembali memulai siklus sekretorisnya atau berdeskuamasi dan digantikan oleh sel
yang lain. 4

Fungsi musin :

- Musin berperan penting dalam menjaga integritas permukaan okular oleh


karena ia melapisi dan melindungi sel epitel. Musin bekerja dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan tear film untuk menjaga stabilitasnya.
- Musin berperan dalam mempertahankan imunitas lokal dengan menjadi
medium tempat immunoglobulin (IgA) dan lisosim mikrobisidal melekat.
- Musin juga berperan dalam mekanisme pembersihan mata dengan jalan
mengikat debris sel, benda asing, dan bakteri. Saat mata berkedip, ikatan ini
akan bergerak ke arah kantus medial, untuk kemudian dikeluarkan ke kulit.
- Musin juga berperan saat terjadi respon inflamasi oleh karena ia memiliki
sistem produksi superoksida. 1,3
Sistem pertahanan konjungtiva terhadap infeksi
Selain bertanggung jawab terhadap produksi musin, konjungtiva juga
memiliki kemampuan yang besar dalam melawan infeksi . Hal ini dapat dipahami
oleh karena :

10
- Epitel konjungtiva yang intak mencegah invasi dari mikroba
- Konjungtiva mengandung banyak imunoglobulin
- Adanya flora bakteri normal di konjungtiva
- Sekresi musin oleh sel goblet konjungtiva dapat mengikat mikroba untuk
kemudian dikeluarkan melalui sistem ekskresi lakrimal
- Aktivitas enzimatik konjungtiva memungkinkan jaringan ini dalam melokalisir
dan menetralisir partikel-partikel asing
- Conjunctiva-Associated Lymphoid Tissue (CALT). 4

2.4 Subconjungtiva Hemorrhage


2.4.1 Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh
darah konjungtiva.5 Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga mata
akan mendadak terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien. 6

Gambar 2. Subconjungtiva Hemorrhage

2.4.2 Epidemiologi
Epidemiologi kasus perdarahan subkonjungtiva secara nasional di Indonesia
masih belum jelas. Sebuah studi di Taiwan melaporkan bahwa perdarahan
subkonjungtiva terjadi pada 65 per 10.000 penduduk setiap tahunnya. Pada suatu
penelitian yang dilakukan Hu et al. didapatkan adanya insidensi perdarahan
subkonjungtiva di negara Taiwan berdasarkan Taiwan National Health Insurance
Research Database selama tahun 2000-2011 adalah sebesar 65 per 10.000 penduduk
setiap tahunnya. Pada populasi usia 60-69 tahun, didapatkan peningkatan insidensi
kejadian perdarahan subkonjungtival sebesar 136,2 per 10.000 penduduk setiap
tahunnya. 7

11
Belum terdapat data mengenai prevalensi perdarahan subkonjungtiva di
Indonesia. Namun, didapatkan data pada suatu penelitian yang dilakukan di Rumah
Sakit Umum Pusat Dokter Wahidin Sudirohususodo Makasar, kejadian perdarahan
subkonjungtiva terjadi sebanyak 5% dari populasi penderita trauma mata. 8

2.4.3 Etiologi
Konjungtiva mengandung banyak pembuluh darah kecil dan rapuh yang
mudah pecah atau rusak. Ketika hal ini terjadi, darah bocor ke dalam ruang antara
konjungtiva dan sklera. Perdarahan subkonjungtiva merupakan akibat dari rupturnya
pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. Namun kadang tidak dapat ditemukan
penyebabnya (perdarahan subkonjungtiva idiopatik).9 Manuver Valsava sebelumnya
(misalnya, batuk, tegang, muntah-muntah, mengejan) juga bisa menjadi penyebab
perdarahan subkonjungtiva. Penyebab lain yang paling sering yaitu traumatik
(terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata).
Penyebab lain meliputi hipertensi dan gangguan fungsi koagulasi, misalnya karena
obat antikoagulan atau penyakit leukemia.10 Selain itu, infeksi umum yang
berhubungan dengan demam, defisiensi vitamin C (scurvy), trauma mata tumpul atau
tajam, benda asing, pembedahan pada mata, dan konjungtivitis juga dapat menjadi
kemungkinan penyebabnya. Berbagai macam obat-obatan seperti obat antiinflamasi
nonsteroid, aspirin, kontrasepsi, vitamin A dan D juga berhubungan dengan terjadinya
perdarahan subkonjungtiva.11 Perdarahan subkonjungtiva juga telah dilaporkan
sebagai akibat emboli dari patah tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung,
operasi jantung, dan operasi-operasi lain.

2.4.4 Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari
bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan
pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan
sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya
tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-
pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga
mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva
tampak berupa bercak berwarna merah terang di sclera.

12
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara
difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya
memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva
yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang
secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak
berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak
berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa
sakit. 12
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang
datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak
mata.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma,
ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau
episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.

Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :


1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Perdarahan subkonjungtiva ini terjadi secara tiba – tiba (spontan). Perdarahan
tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh
dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian
antikoagulan dan batuk rejan. 5
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun
pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali. 6
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Perdarahan subkonjungtiva pada tipe ini terjadi karena adanya trauma di mata
yang terjadi secara langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita.
Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang
terjadi.

2.4.5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan
perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.5

13
Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa penuh dibawah
konjungtiva tarsal. Ketika hematoma menjadi larut akan mengalami iritasi mata
sedang.

- Perdarahan subkonjungtiva sendiri akan jelas terlihat, permukaannya berwarna


merah terang dan halus disekitar sklera bahkan seluruh permukaan sklera
dapat terisi darah.
- Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman,
terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata
- Pada perdarahan subkonjungtiva spontan (idiopatik), tidak ada darah yang
akan keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata maka tidak akan
didapati darah di tisu tersebut.
- Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang
ringan.
- Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian
akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi
Pada pasien tertentu, harus segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata,
misalnya jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus (misalnya,
penglihatan kabur, penglihatan ganda, kesulitan melihat), terdapat riwayat cedera atau
trauma baru-baru ini, terdapat riwayat gangguan perdarahan, atau riwayat tekanan
darah tinggi. 5,6

2.4.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva
idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut
biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan
koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine
(topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga
etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. 13

14
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan
subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva
traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya menyimpulkan bahwa
sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya
(selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan
pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal
yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan
subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya. 12
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil,
bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika
perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat
perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu
pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap
dengan jumlah trombosit. 13

2.4.7 Tatalaksana
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa
diobati. 5
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian
terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Diberikan vasokonstriksi untuk
mencegah perdarahan yang semakin meluas. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan
mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang.14 Pada
bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan
dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan.
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika
ditemukan kondisi berikut ini :
- Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
- Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk
melihat)
- Terdapat riwayat gangguan perdarahan
- Riwayat hipertensi
- Riwayat trauma pada mata. 3

15
2.4.8 Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1
– 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya
perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui
berbagai hal seperti yang telah disebutkan diatas. 5
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang
(kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D
dan Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami
kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap
merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler. 12

2.4.9 Prognosis
Prognosisnya biasanya baik karena perdarahan akan langsung diserap.

2.5 Pinguecula
2.5.1 Definisi
Pinguecula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang merupakan
degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Keadaanya tampak berupa nodul
keputihan pada kedua sisi kornea ( lebih banyak pada sisi nasal) di daerah aperture
palpebra. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastik kuning, jarang tumbuh
menjadi besar. 14

Gambar 3. Pinguekula
Sumber: http://www.stlukeseye.com

16
2.5.2 Epidemiologi
Pinguekula tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang
370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah
dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang.
Insiden Pinguekula cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu
13,1%.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi Pinguekula. Prevalensi
pinguekula meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.5

2.5.3 Etiologi
Etiologi dari pinguecula tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pinguecula diduga merupakan suatu
fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan angin
banyak karena sering terdat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di
lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.3

2.5.4 Faktor Resiko


Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya pinguecula adalah lingkungan
dengan paparan ultraviolet yang tinggi, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.

- Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pinguecula adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel proliferasi sel. Paparan sinar
ultraviolet ini dapat menyebabkan efek mutagenik pada sel. Respon biologis
pada sinar ini berefek akut dan kronis. Paparan ultraviolet tertinggi terdapat
biasanya pada daerah khatulistiwa dan pada dataran tinggi. Efek ultraviolet ini

17
menyebabkan mutasi gen p53 (suppressor tumor gen) sehingga dapat
menyebabkan pertumbuhan tumor pada konjungtiva.
- Iritasi kronik
Iritasi kronik atau inflagmasi terjadi pada area konjungtiva merupakan
pendukung terjadinya pinguecula. Iritasiyang disebabkan oleh debu
mengakibatkan lisisnya lapisan lipid pada film air mata dan prosesnya
berlangsung terus menerus dan berlangsung lama sehingga memepengaruhi
permukaan konjungtiva. Kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahan partikel tertentu, turut berperan mempengaruhi kelembaban konjungtiva
yang akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya pinguecula.1,3

2.5.5 Patofisiologi
Lesi degeneratif dari konjungtiva bulbar ini terjadi sebagai hasil dari radiasi
sinar ultraviolet (UV), namun sering juga dihubungkan dengan iritasi benda iritan
seperti debu. Sel epithelium yang melapisi pinguekula dapat saja normal, menipis,
atau menebal. Sementara kalsifikasi jarang terjadi.5
Pinguekula biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu dan
kekeringan.5
Daerah nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultra violet yang lebih banyak
dibandingkan dengan konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung, juga
dari pantulan hidung. Hal ini mengakibatkan pinguekula lebih sering terjadi pada
daerah nasal konjungtiva.3,5
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungtiva. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit dan pembengkakan
jaringan yang biasanya akan datar.
Pinguekula lebih umum terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua. Hal ini
karena seiring bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya untuk
membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi. Namun,
mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar matahari sangat sering.
Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu ke waktu dan tumbuh lebih besar
terutama jika perlindungan terhadap matahari tidak digunakan. 5

18
2.5.6 Manifestasi Klinis
Pinguekula biasanya tanpa disertai gejala khas, timbul nodul kecil kemudian
menjadi membran yang tipis berwarna putih kekuningan dan stasioner. Bagian sentral
melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga
membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati
pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin
dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenerasi
yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena
menimbulkan astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu
perjalanannya. Pinguekula juga dapat meradang dan berwarna merah, terasa
mengganjal disertai mata yang berair. 1,5

2.5.7 Tatalaksana
Pinguekula biasanya tanpa disertai gejala khas, timbul nodul kecil kemudian
menjadi membran yang tipis berwarna putih kekuningan dan stasioner. Bagian sentral
melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga
membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati
pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin
debu dan terkena sinar matahari langsung, terutama pelaut dan petani. Kelainan ini
merupakan kelainan degenerasi yang berlangsung lama.
Pengobatan diperlukan pada pinguekulitis yaitu terapi lubrikasi untuk
mencegah iritasi dan pemberian steroid lemah topikal. Eksisi dapat dilakukan untuk
alasan kosmetik. Untuk pasien dengan resiko tinggi terjadi pinguekula karena terpajan
sinar ultraviolet diberikan edukasi untuk melakukan pencegahan dengan
5,14
menggunakan kacamata pelindung.

2.5.8 Komplikasi
Komplikasi pada pinguecula jarang terjadi, tetapi pinguecula iritans dapat
menyebabkan peradangan ( pingueculitis). Beberapa kejadian menerangkan bahwa
pinguecula juga dapat berkembang menjadi pterygium. 14

2.5.9 Prognosis
Biasanya pinguekula tumbuh secara lambat dan jarang sekali menyebabkan
kerusakan yang signifikan sehingga prognosis terbilang baik. Sekali lagi, sebuah
diagnosis harus dibuat untuk menyingkirkan kelainan yang serius.14

19
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien pria berusia 41 tahun datang ke poli mata RSUS dengan keluhan merah
pada mata kanan 5 jam SMRS, terjadi karena terkena badan kabel listrik. Pasien juga
merasa ada yang mengganjal pada mata yang merah. Adanya riwayat operasi
pengangkatan biji besi pada mata kanan pada tahun 2015.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus 6/6 pada kedua mata menandakan
tidak adanya penurunan tajam penglihatan. Pada konjungtiva bulbi sebelah kanan
terdapat perdarahan terlokalisir di subkonjungtiva, batas tegas, nyeri tekan (-), kornea
jernih dan intake (+), pupil isokor, tepi regular, diameter 3mm, reflek cahaya normal,
tidak ditemukan edema palpebra, sekret ataupun lakrimasi yang berlebihan, serta tidak
ditemukan tanda-tanda peradangan.

Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan massa berupa tonjolan selaput


berwarna putih kekuningan yang memanjang di samping limbus pada bagian nasal
dan temporal di kedua mata.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosa pada pasien ini yaitu
pendarahan subkonjungtiva karena trauma tumpul dan pinguekula karena pada
pemeriksaan fisik ditemukan massa berupa tonjolan selaput berwarna putih
kekuningan yang memanjang di samping limbus pada bagian nasal dan temporal di
kedua mata. Hal ini juga didukung dengan faktor resiko yaitu seringnya pasien
terpapar sinar ultraviolet secara langsung dan tidak meggunakan kacamata sebagai
alat pelindung diri.

Berdasarkan literatur perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara


traumatik. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Terdapat beberapa gejala yang merupakan manifestasi klinis dari perdarahan
subkonjungtiva yang mana; sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan
subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa
tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata, tampak adanya
perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). Tidak
ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan. Perdarahan

20
akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang
perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
Berdasarkan litertur pinguekula biasanya tumbuh di sekitar kornea dan
berwarna putih kekuningan yang tidak mengganggu refraksi.

Pinguekula tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim


panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Penyebab pasti
terjadinya pinguekula tidak diketahui. Faktor resiko yang mempengaruhi pinguekula
adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan
tertentu di udara dan faktor herediter. Biasanya pinguekula tumbuh secara lambat dan
jarang sekali menyebabkan kerusakan yang signifikan sehingga prognosis terbilang
baik. Sekali lagi, sebuah diagnosis harus dibuat untuk menyingkirkan kelainan yang
serius.

Pada kasus ini pasien diberikan terapi Artificial tears 4 dd gtt 1 OD untuk
mencegah iritasi. Tetes mata mengandung (antazolin HCl 0.05% naphazoline HCl
0.5% ) MD 4 dd gtt 1 OD untuk vasokonstriktor. Tetes mata mengandung
(mengandung tobramycin, dexamethasone) MD 6 dd gtt 1 ODS untuk mengurangi
inflamasi. Pasien juga disarankan untuk menggompres mata kanan dengan air dingin
untuk mencegah perluasan pendarahan. Pasien juga diberikan edukasi bahwa kondisi
ini akan membaik dengan sendirinya, perdarahan subkonjungtiva dapat diserap dalam
satu atau dua minggu. Biasanya, pemulihan terjadi utuh, tanpa adanya masalah jangka
panjang. Untuk pinguecula dijelaskan bahwa pinguecula merupakan benjolan
kekuningan pada selaput bening mata yang jarang membesar, dan tidak memerlukan
tindakan operatif. Edukasi pasien untuk menggunakan topi dan kacamata saat bekerja
untuk mengurangi paparan terhadap sinar matahari, debu, dan angin yang merupakan
salah satu faktor resiko pinguecula. Dan juga pasien disarankan untuk segera kembali
ke poli jika perdarahan bertambah luas (mata bertambah merah).

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asburg T, Paul Riodan-Eva. Anatomi and Embriologi of The Eye in :
General Ophthalmology. 16th Edition. Mc. Graw Hill Companies. USA. 2004: 5-6,
25-27.
2. Tortora. Principles Of anatomy and Physiology. USA; 2006
3. Kanski JJ, Menon J. Conjunctiva in: Atlas of Clinical Ophthalmology. 3th Edition.
Mosby Elsevier. 2006: 4-6.
4. Moses RA. Ophthalmic Facial Anatomy ang Physiology in: Adler’s Physiology of the
Eye. 8th Edition. The C.V. Mosby Co. St. Louis Toronto. 1987 : 23-4.
5. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta
6. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta
7. Hu DN, Mou CH, Chao SC, Lin CY, Nien CW, Kuan PT, et al. incidence of non-
traumatic subconjunctival hemorrhage in a nationwide study in Taiwan from 2000 to
2011. PLOS ONE. 2015. DOI:10.1371/journal.pone.0132762
8. Amru K. Evaluasi penatalaksanaan penderita trauma mata di rumah sakit umum pusat
dokter wahidin sudirohusodo Makassar periode 2015-2016. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2017
9. Incorvaia C et all. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in
patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali. Diakses pada tanggal 8
Februari 2012, dari http//pubmed.com/ac12/ Recurrent episodes of spontaneous
subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation/9372
10. Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival
haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Diakses pada
tanggal 2 Mei 2019, dari http//pubmed.com/aihds. Spontaneous subconjunctival
haemorrhage--a sign of hypertension?.id
11. Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications of
subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA. Diakses pada
tanggal 2 Mei 2019, dari http//pubmed.com/ Risk factors and complications of
subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin/3i2r43
12. Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s
Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 2 Mei 2019, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview

22
13. Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002.
McGraw-Hill, Massachusetts
14. Sitorus, Rita. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi Pertama. 2017. FK UI. Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai