Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT MATA

SKLERITIS

Disusun oleh:

Claudia Tari Rumondang


01073170062

Pembimbing:

dr. Endang M Johani, SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE NOVEMBER – DESEMBER 2019
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i


BAB I ILUSTRASI KASUS ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8
2.1 Anatomi Sklera .................................................................................. 8
2.2 Fisiologi Sklera .................................................................................. 9
2.3 Definisi Skleritis ................................................................................ 9
2.4 Epidemiologi Skleritis ....................................................................... 10
2.5 Etiologi .............................................................................................. 10
2.6 Patofisiologi ....................................................................................... 11
2.7 Klasifikasi .......................................................................................... 12
2.8 Diagnosis ........................................................................................... 16
2.9 Diagnosis Banding ............................................................................. 18
2.10 Penatalaksanaan ................................................................................. 20
2.11 Komplikasi ......................................................................................... 21
2.12 Prognosis............................................................................................ 21
BAB III ANALISA KASUS ............................................................................ 22
BAB VII DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 24
BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. T.W


Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 28 Maret 1962
Usia : 57 tahun
Alamat : Binong
No. Rekam Medis : 88-44-XX
Tanggal Masuk RS : 5 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 5 November 2019
Anamnesis : Autoanamnesis dengan pasien

1.2. ANAMNESIS (2 Oktober 2019)

1.2.1. Keluhan Utama


Kedua mata merah sejak 2 hari yang lalu.

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli mata RSUS dengan keluhan kedua mata terasa nyeri dan
kemerahan sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku, awal mulanya ditemukan
kemerahan terlebih dahulu dan beberapa saat kemudian disertai rasa nyeri. Rasa nyeri
yang dirasakan seperti di-bor dan memberat saat mata digerakan. Pasien juga mengaku
rasa sakitnya hingga ke bagian alis, pelipis dan rahang pasien. Rasa nyeri dirasakan
paling berat pada malam hari. Awalnya pasien mengira, kemerahan tersebut akan hilang
dengan sendirinya, namun setelah ditunggu 2 hari, kemerahan dan nyeri tetap
dirasakan. Pasien menyangkal adanya penurunan tajam penglihatan, berair, rasa gatal
atau berpasir di mata. Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma maupun belekan.
Pasien juga mengaku adanya nyeri nyeri sendi dan sedang menjalani pengobatan untuk
sakit rematik pasien.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Alergi


Pasien pernah mengalami keluhan serupa sekitar 1 bulan yang lalu namun membaik
1
setelah berobat ke dokter spesialis mata. Pasien memiliki riwayat Rheumatoid Arthritis
dan rutin mengkonsumsi Natrium Diclofenac 2x50mg dan Methylprednisolone 3x4 mg.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua dan keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa. Orang tua pasien mengaku
memiliki kencing manis, darah tinggi, dan rheumatoid arthritis.

1.2.5. Riwayat Sosial


Pasien tinggal di rumah dengan suami dan 2 anaknya. Pasien sekarang tidak bekerja
dan aktivitas sehari-hari terbatas oleh kegiatan di rumah sebagai ibu rumah tangga.
Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alcohol, dan jarang berolahraga.

1.2.6. PEMERIKSAAN FISIS (5 November 2019)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

1.2.7. Tanda-tanda Vital


Tekanan Darah : 130/ 70 mmHg
Suhu Tubuh : 36.5°C
Denyut Jantung : 80 kali/ menit, regular, kuat angkat, simetris isi cukup
Laju Nafas : 15 kali/ menit, regular, dalam
SpO2 : 99% room air

2
1.2.8. Status Oftalmologis
Oculi Dextra (OD) Oculi sinistra (OS)

Gambar

0.5 Visus 1.0


-0,75 Koreksi -
+2.50 Adisi +2.50
- Kacamata -

Gerak Bola Mata

- Nistagmus -
Ortoforia Alignment Ortoforia

PALPEBRA SUPERIOR
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion Tidak ada

3
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Proptosis Tidak ada
Tidak ada Trikhiasis Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada

PALPEBRA INFERIOR
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion Tidak ada
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Proptosis Tidak ada
Tidak ada Trikhiasis Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada

KONJUNGTIVA BULBI

Injeksi siliar, Blanch Injeksi Injeksi siliar


test (-), immobile BLANCH TEST Blanch test (-),
immobile
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Jaringan Fibrovaskular Tidak ada
Tidak ada Pseudomembran Tidak ada

KONJUNGTIVA TARSAL
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Pseudomembran Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada

KORNEA
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada

COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak ada Hifema Tidak ada
Tidak ada Hipopion Tidak ada
4
PUPIL

3 mm Ukuran 3 mm
Bulat Bentuk Bulat
Tegas Batas Tegas
Isokor Isokoria Isokor
Jernih Warna Jernih
+ Refleks Cahaya Langsung +
Refleks Cahaya Tidak
+ +
Langsung
- RAPD -

IRIS
Cokelat tua Warna Cokelat tua
Tidak ada Sinekia Tidak ada

LENSA
Jernih Kejernihan Jernih
- Refleks Kaca -
- Shadow Test -

VITREOUS
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Floaters Tidak ada
Tidak ada Perdarahan Tidak ada

FUNDUS
Positif Refleks Fundus Positif
Bulat batas tegas, edema (-) Papil Bulat batas tegas, edema (-)
2:3 A/V Ratio 2:3
0.3 C:D Ratio 0.3

TIO
11 Tonometri non-contact 14

CAMPUS
Sama dengan pemeriksa Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa

TES ISHIHARA (BUTA WARNA)


Tidak terdapat red-green deficiency

5
1.3. RESUME

Pasien Ny. TW, usia 57 tahun datang dengan keluhan kedua mata merah dan nyeri. Mata kiri
merah dan nyeri dirasakan sejak 2 hari yang lalu, timbul mendadak, tanpa disertai trauma. Rasa
nyeri seperti di bor, menjalar ke alis dan rahang dan memberat saat menggerakan bila mata dan
bertambah parah saat malam hari sehingga menggangu tidur pasien. Pasien juga memiliki
riwayat RA sehingga pasien mengkontrol dirinya secara rutin di rumah sakit dan rutin minum
obat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan injeksi siliar ODS dan ditemukan hasil blanch test (-)
dan immobile.

1.4. DIAGNOSA KERJA

• Skleritis dd/ episkleritis

1.5. SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.5.1. Pemeriksaan Penunjang Khusus

o Slit lamp

1.5.2. Pemeriksaan Penunjang Umum

o Pemeriksaan darah (FBC, PT-APTT, SGOT/SGPT, Ur, Cr, ANA, RF)


o USG B Scan

6
1.6. TATALAKSANA

1.6.1. Tatalaksana Umum

o Konsultasi spesialis mata


o Konsultasi spesialis penyakit dalam
o Edukasi penyakit, faktor risiko, rencana pemeriksaan, rencana tatalaksana,
kemungkinan komplikasi, dan prognosis

1.6.2. Tatalaksana Khusus

o Topical Steroid
o Analgetic

1.7. PROGNOSIS

• Ad vitam : Bonam
• Ad functionam : Bonam
• Ad sanationam : Bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sklera


Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih dari bola mata, adalah jaringan
terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran
yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga
kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan pengikat yang tebal dengan ketebalan 10 – 14
mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.1,2 Sklera berfungsi untuk
melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata. Pada anak-
anak, sklera lebih tipis dan menunjukan sejumlah pigmen, yang berwarna biru, sedangkan
pada dewasa karena terdapat deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Bola Mata


(Sumber: http://biologinyanuris.blogspot.com/2009/05/sistem-indra-indra penglihat.html)

Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm.
Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma.
Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio
otot rektus.4
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina kribosa.
Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang disebut sebagai emissaria. Pada sekitar saraf
optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm
posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan
untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.4 Sklera mempunyai

8
2 lubang utama yaitu:5
• Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan

tempat meletaknya kornea pada sklera.

• Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar

nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari

sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas

foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk

menuju ke otak.

Gambar 2. Sklera
(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)
2.2 Fisiologi Sklera
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra

okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola

mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera

adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan

koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan

sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial

yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola

mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa

9
penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3

2.3 Definisi Skleritis


Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50

persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Skleritis adalah gangguan

granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan

vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1

2.4 Epidemiologi Skleritis


Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi

kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan,

didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di

Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral

atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau

kambuh-kambuhan. Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun

ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden

skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.6

2.5 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses

imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks

imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba

langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-

proses lokal, misalnya bedah katarak dan operasi pterigium.1

10
Tabel 2.1 Penyebab Skleritis1

2.6 Patofisiologi Skleritis

Gambar 3. Skleritis

(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen
kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan
skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus
erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout
dan sifilis.7

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala
utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun
11
pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis.
Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses
peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular
(hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).8

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody
IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)
dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan
larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena
FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi
hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya
antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi
yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang
ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian
dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil
mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement
sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi seperti
kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah
komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.9

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang


disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik
telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang
sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang
berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin
seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari
hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag)
cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari
hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah
hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam
metal atau bahan kimia reaktif.9

12
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada
bagian anterior atau bagian posterior mata.

2.7 Klasifikasi Skleritis

Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari
skleritis anterior adalah:10,11

2..7.1 Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis


anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap
tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk
spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit
khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu
inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular
lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
2.7.1.1 Difus

Tipe difus dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster


oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis

(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)

13
2.7.1.2 Nodular

Tipe nodular ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai


dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan,
dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis
nekrosis.

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul

(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)

2.7.1.3 Necrotizing

Jenis necrotizing biasa lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi


sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan
visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik
yang diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi,
dan operasi retina. Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi
sklera atau limbus.12 Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

Dengan inflamasi yang biasanya mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid
arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai
dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

14

Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans) yang biasanya terjadi pada pasien yang
sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul
rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Gambar 6. Skleromalasia perforans

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

2.7.2 Skleritis Posterior

Skleritis posterior sering didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.


Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang
lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra
ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian
posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan
edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
eksudatif, edema makular, dan papiledema.13

15
Gambar 6. Skleritis Posterior

2.8 Diagnosis Skleritis

2.8.1 Anamnesis

Diagnosis dapat dilakukan dengan menanyakan keluhan pasien. Keluhan pasien


akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien. Biasanya pasien
datang dengan keluhan mata merah dan terasa nyeri. Pasien dengan necrotizing
anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai
tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan
pasien dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila
terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk
dengan pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu.
Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat membangunkan
pasien dari tidurnya.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

Pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam penglihatan.12 Visus dapat


berada dalam keadaan normal atau menurun. Gangguan visus lebih jelas pada
skleritis posterior. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru
dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. Pemeriksaan sklera
tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat
daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.8 Area berwarna hitam, abu –
abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis.
Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan

16
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran
berwarna hitam atau coklat gelap.

Pemeriksaan slit – lamp untuk menentukan adanya keterlibatan secara


menyeluruh atau segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis. 8,12 Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan
episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut
posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya edema pada
sklera dan episklera. Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan
episklera. Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus. Pemeriksaan
kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga dapat
dilakukan.

Pemeriksaan skleritis posterior dapat ditemukan tahanan gerakan mata,


sensitivitas pada palpasi dan proptosis.8 Dilatasi fundus dapat berguna dalam
mengenali skleritis posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik
koroidal. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid,
dan perdarahan atau ablasio retina.14

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa


pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:1

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah


2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.15

17
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada
kapsul tenon

(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)

2.9 Diagnosis Banding

2.9.1 Episkleritis
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera.3 Episkleritis dapat merupakan suatu
reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan
dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita
usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak
seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya
terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan
dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.

Gambar 8. Episkleritis
18
(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)

Pasien episkleritis biasa mengeluhkan mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis
mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah
konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas
benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata
merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva.
Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan
pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin
2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
19
2,5% topikal.

(Sumber: www.aafp.org/afp/2002/ 0915/afp20020915p991-f5.jpg)


2.10 Penatalaksanaan

Penanganan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang


terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.8
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila
dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius meliputi pemberian NSAIDs,


kortikosteroid, atau obat imunomodulator. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek
samping, dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan pertama menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan
2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol
atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal. Jika NSAIDs tidak efektif,
gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi, dipertahankan menggunakan
NSAIDs. Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat
digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan
azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine.
Untuk pasien dengan Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa,
cyclophosphamide adalah pilihan utama. Jika masih gagal, dapat diberikan obat –
obatan imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan
dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan
pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan. Jika gagal,
pengobatan imunomodulator dapat digunakan. Injeksi steroid periokular tidak
boleh dilakukan karena dapat memperparah proses nekrosis yang terjadi.

20
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi
imunosupresif.

2.11 Komplikasi

Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema


dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina,
dan saraf optik.16 Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk
melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid
arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan
tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa
pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau
atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis
posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga
dijumpai pada kasus skleritis anterior.17 Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi
sklera yang berbeda.18

2.12 Prognosis

Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan


penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang
mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya
penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun.18

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

21
BAB III

ANALISA KASUS

Diagnosis: Skleritis ODS

Pasien Ny. TW usia 57 tahun datang ke poli klinik dengan keluhan mata merah dan nyeri
sejak 2 hari yang lalu. Pembagian diagnosa mata merah sesuai algoritma memiliki beberapa
differensial diagnosis meliputi mata merah yang mengalami penurunan visus maupun yang
tidak. Pasien ini tidak memiliki gangguan visus, oleh sebab itu beberapa diagnosa seperti
trikiasis, perdarahan subkonjungtiva, konjungtivitis, pterigium, episkleritis dan skleritis dapat
dipikirkan. Pasien ini juga mengaku bahwa, ia merasakan rasa nyeri sejak 2 hari yang lalu.
Rasa nyeri yang dirasakan seperti di-bor dan menjalar ke alis dan rahang pasien, pada
karakteristik penyakit ini sangat mirip dengan penyakit skleritis. Pasien juga mengaku
memiliki riwayat rheumatoid arthritis yang diperiksa secara rutin dan dalam pengobatan.
Pasien menyangkal adanya riwayat trauma sebelum mata merah muncul, menyangkal adanya
rasa gatal dan belekan pada mata yang sakit. Berdasarkan data ini, perdarahan subkonjungtiva
traumatik dapat disingkirkan. Sedangkan dengan penyakit konjungtivitis, walaupun penyakit
ini dapat beragama manifestasi penyakitnya, namun yang menjadi ciri khas dari konjungtivitis
adalah kotoran mata yang mengganggu penderita, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan.
Penggunaan obat steroid dalam pengobatan rheumatoid arthritis bisa dicurigai diagnosa
skleritis dan episkleritis.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa tidak ada penurunan visus dan terdapat injeksi
sklera, tidak ditemukan adanya fibrovaskular yang menjadi patognomonik dari penyakit
pterigium. Pada pemeriksaan lainnya ditemukan semua dalam batas normal. Dari hasil
pemeriksaan, sehingga didapatkan dugaan diagnosa skleritis, episkleritis, dan konjungtivitis.
Pada penyakit skleritis dan episklertis, perlu dibedakan dengan pemeriksaan phenylephrine
atau blanching test. Pada pasien ini telah dilakukan test tersebut, dan hasilnya negatif, selain
itu juga dilakukan pemeriksaan menggunakan kapas untuk melihat apakah terdapat pergerakan
pada bagian injeksi. Pada pasien ini tidak terlihat adanya pergerakan pada tempat injeksi,
dengan demikian diagnosa skleritis dapat diduga kuat. Pada umumnya penyakit skleritis
disebabkan oleh penyakit sistemik dan bersifat auto-immune yaitu rheumatoid arthritis.

Terapi dari pasien ini berupa analgetik dan tetes mata kortikosteroid , dan dievaluasi
selama 5-7 hari, apabila tidak ada perbaikan dari peradangannya, atau bentuk skleritis semakin

22
memberat, maka pengobatan harus diganti regimennya baik ditingkatkan dosis steroidnya
ataupun diubah menjadi steroid sistemik.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.


Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006. Tersedia pada
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-thickness-of-
sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20

4. Anonim. Sclera [online]. 2010. Tersedia pada


http://www.stlukeseye.com/anatomy/sclera.html.
5. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
6. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6

7. Anonim. Scleritis [online]. Tersedia pada


http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm.
8. De la Maza, Maite Sainz, MD, PHD. Scleritis [online]. 2010. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1228324-overview.
9. Anonim. Hypersensitivity and Chronic Inflammation [online]. 2002. Tersedia pada
http://www-immuno.path.cam.ac.uk {Dikutip tanggal 4 April 2011}

10. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and


Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
11. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological manifestations
and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis associated with
systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9
12. Gaeta, Theodore J. Scleritis in Emergency Medicine [online]. 2008. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. {Dikutip tanggal 29 Maret
2011}
13. Easty, DL, G.Smolin. External Eye Disease. England; Butterworths; 1985.

24
14. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a patient with
scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].

15. Waldron, Rondra G. B-Scan Ocular Ultrasound [Online]. 2009. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview. {Dikutip tanggal 10 April
2011}
16. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thoft’s The Cornea : Scientific Foundations and Clinical
Practice. Edisi ke – 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKIN; 2005.
17. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 1985.
18. Anonim. Scleritis [online]. 2004. Tersedia pada http://www.mdguidelines.com/scleritis.
{Dikutip tanggal 29 Maret 2011}

25

Anda mungkin juga menyukai