SKLERITIS
Disusun oleh:
Pembimbing:
ILUSTRASI KASUS
2
1.2.8. Status Oftalmologis
Oculi Dextra (OD) Oculi sinistra (OS)
Gambar
- Nistagmus -
Ortoforia Alignment Ortoforia
PALPEBRA SUPERIOR
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion Tidak ada
3
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Proptosis Tidak ada
Tidak ada Trikhiasis Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada
PALPEBRA INFERIOR
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion Tidak ada
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Proptosis Tidak ada
Tidak ada Trikhiasis Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada
KONJUNGTIVA BULBI
KONJUNGTIVA TARSAL
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Pseudomembran Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada
KORNEA
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak ada Hifema Tidak ada
Tidak ada Hipopion Tidak ada
4
PUPIL
3 mm Ukuran 3 mm
Bulat Bentuk Bulat
Tegas Batas Tegas
Isokor Isokoria Isokor
Jernih Warna Jernih
+ Refleks Cahaya Langsung +
Refleks Cahaya Tidak
+ +
Langsung
- RAPD -
IRIS
Cokelat tua Warna Cokelat tua
Tidak ada Sinekia Tidak ada
LENSA
Jernih Kejernihan Jernih
- Refleks Kaca -
- Shadow Test -
VITREOUS
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Floaters Tidak ada
Tidak ada Perdarahan Tidak ada
FUNDUS
Positif Refleks Fundus Positif
Bulat batas tegas, edema (-) Papil Bulat batas tegas, edema (-)
2:3 A/V Ratio 2:3
0.3 C:D Ratio 0.3
TIO
11 Tonometri non-contact 14
CAMPUS
Sama dengan pemeriksa Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa
5
1.3. RESUME
Pasien Ny. TW, usia 57 tahun datang dengan keluhan kedua mata merah dan nyeri. Mata kiri
merah dan nyeri dirasakan sejak 2 hari yang lalu, timbul mendadak, tanpa disertai trauma. Rasa
nyeri seperti di bor, menjalar ke alis dan rahang dan memberat saat menggerakan bila mata dan
bertambah parah saat malam hari sehingga menggangu tidur pasien. Pasien juga memiliki
riwayat RA sehingga pasien mengkontrol dirinya secara rutin di rumah sakit dan rutin minum
obat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan injeksi siliar ODS dan ditemukan hasil blanch test (-)
dan immobile.
o Slit lamp
6
1.6. TATALAKSANA
o Topical Steroid
o Analgetic
1.7. PROGNOSIS
• Ad vitam : Bonam
• Ad functionam : Bonam
• Ad sanationam : Bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm.
Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma.
Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio
otot rektus.4
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina kribosa.
Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang disebut sebagai emissaria. Pada sekitar saraf
optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm
posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan
untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.4 Sklera mempunyai
8
2 lubang utama yaitu:5
• Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan
nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk
menuju ke otak.
Gambar 2. Sklera
(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)
2.2 Fisiologi Sklera
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra
okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola
mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera
adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan
koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan
sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial
yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola
mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa
9
penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3
granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan
kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan,
didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di
Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral
atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau
ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.6
2.5 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks
imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba
langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-
10
Tabel 2.1 Penyebab Skleritis1
Gambar 3. Skleritis
(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen
kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan
skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus
erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout
dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala
utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun
11
pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis.
Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses
peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular
(hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).8
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody
IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)
dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan
larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena
FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi
hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya
antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi
yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang
ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian
dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil
mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement
sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi seperti
kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah
komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.9
12
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada
bagian anterior atau bagian posterior mata.
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari
skleritis anterior adalah:10,11
(Sumber: http://eyepathologist.com/images/KL21711.jpg)
13
2.7.1.2 Nodular
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul
(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)
2.7.1.3 Necrotizing
14
•
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans) yang biasanya terjadi pada pasien yang
sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul
rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.
15
Gambar 6. Skleritis Posterior
2.8.1 Anamnesis
16
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran
berwarna hitam atau coklat gelap.
17
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada
kapsul tenon
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)
2.9.1 Episkleritis
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera.3 Episkleritis dapat merupakan suatu
reaksi toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan
dan idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita
usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak
seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya
terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan
dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.
Gambar 8. Episkleritis
18
(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)
Pasien episkleritis biasa mengeluhkan mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis
mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah
konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas
benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata
merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva.
Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan
pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin
2,5% topikal.
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
19
2,5% topikal.
20
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi
imunosupresif.
2.11 Komplikasi
2.12 Prognosis
21
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien Ny. TW usia 57 tahun datang ke poli klinik dengan keluhan mata merah dan nyeri
sejak 2 hari yang lalu. Pembagian diagnosa mata merah sesuai algoritma memiliki beberapa
differensial diagnosis meliputi mata merah yang mengalami penurunan visus maupun yang
tidak. Pasien ini tidak memiliki gangguan visus, oleh sebab itu beberapa diagnosa seperti
trikiasis, perdarahan subkonjungtiva, konjungtivitis, pterigium, episkleritis dan skleritis dapat
dipikirkan. Pasien ini juga mengaku bahwa, ia merasakan rasa nyeri sejak 2 hari yang lalu.
Rasa nyeri yang dirasakan seperti di-bor dan menjalar ke alis dan rahang pasien, pada
karakteristik penyakit ini sangat mirip dengan penyakit skleritis. Pasien juga mengaku
memiliki riwayat rheumatoid arthritis yang diperiksa secara rutin dan dalam pengobatan.
Pasien menyangkal adanya riwayat trauma sebelum mata merah muncul, menyangkal adanya
rasa gatal dan belekan pada mata yang sakit. Berdasarkan data ini, perdarahan subkonjungtiva
traumatik dapat disingkirkan. Sedangkan dengan penyakit konjungtivitis, walaupun penyakit
ini dapat beragama manifestasi penyakitnya, namun yang menjadi ciri khas dari konjungtivitis
adalah kotoran mata yang mengganggu penderita, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan.
Penggunaan obat steroid dalam pengobatan rheumatoid arthritis bisa dicurigai diagnosa
skleritis dan episkleritis.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa tidak ada penurunan visus dan terdapat injeksi
sklera, tidak ditemukan adanya fibrovaskular yang menjadi patognomonik dari penyakit
pterigium. Pada pemeriksaan lainnya ditemukan semua dalam batas normal. Dari hasil
pemeriksaan, sehingga didapatkan dugaan diagnosa skleritis, episkleritis, dan konjungtivitis.
Pada penyakit skleritis dan episklertis, perlu dibedakan dengan pemeriksaan phenylephrine
atau blanching test. Pada pasien ini telah dilakukan test tersebut, dan hasilnya negatif, selain
itu juga dilakukan pemeriksaan menggunakan kapas untuk melihat apakah terdapat pergerakan
pada bagian injeksi. Pada pasien ini tidak terlihat adanya pergerakan pada tempat injeksi,
dengan demikian diagnosa skleritis dapat diduga kuat. Pada umumnya penyakit skleritis
disebabkan oleh penyakit sistemik dan bersifat auto-immune yaitu rheumatoid arthritis.
Terapi dari pasien ini berupa analgetik dan tetes mata kortikosteroid , dan dievaluasi
selama 5-7 hari, apabila tidak ada perbaikan dari peradangannya, atau bentuk skleritis semakin
22
memberat, maka pengobatan harus diganti regimennya baik ditingkatkan dosis steroidnya
ataupun diubah menjadi steroid sistemik.
23
DAFTAR PUSTAKA
2. Axenfeld, T Heidelberg. What is the thickness of the sclera [online]. 2006. Tersedia pada
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2006/03/what-is-thickness-of-
sclera.html. {Dikutip tanggal 29 Maret 2011}
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20
24
14. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a patient with
scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].
15. Waldron, Rondra G. B-Scan Ocular Ultrasound [Online]. 2009. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview. {Dikutip tanggal 10 April
2011}
16. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thoft’s The Cornea : Scientific Foundations and Clinical
Practice. Edisi ke – 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKIN; 2005.
17. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 1985.
18. Anonim. Scleritis [online]. 2004. Tersedia pada http://www.mdguidelines.com/scleritis.
{Dikutip tanggal 29 Maret 2011}
25