Disusun oleh :
Cecilita Indrawan
01073170027
Pembimbing :
TANGERANG
DAFTAR ISI
2
BAB I
LAPORAN KASUS
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di poli mata RSUS pada
tanggal 16 Agustus 2018 pukul 11.50.
Keluhan Utama
Mata kiri tidak dapat melihat sejak ±2 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan
Muncul bercak putih pada kiri, mata kiri merah, silau, dan berair.
1
kemudian berobat di RS QADR dan dinyatakan menderita herpes zoster. Pasien
dinyatakan sembuh setelah berobat selama ±6 bulan, dengan gejala sisa kelopak
mata kiri pasien tidak dapat menutup sepenuhnya. Oleh karena hal ini, pasien sering
mengeluh mata kiri terasa kering. Sejak 3 bulan yang lalu, mata pasien memerah
namun tidak perih atau gatal. Kemudian sejak 2 bulan yang lalu, muncul bercak
putih pada mata kiri pasien dan pasien mengeluh mata masih merah, silau, berair,
dan penglihatan kabur.
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
2
Status Oftalmologis
Gambar
3
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Pseudoptosis Tidak ada
Tidak ada Lagophthalmos +
Tidak ada Blepharospasme Tidak ada
Palpebra Inferior
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis +
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion +
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Benjolan/Masa Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Pseudoptosis Tidak ada
Tidak ada Lagophthalmos +
Tidak ada Blepharospasme +
Area Lakrimal dan Punctum Lakrimal
Tidam ada Lakrimasi Tidak ada
Tidak ada Epifora Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Benjolan Tidak ada
Tidak ada Fistula Tidak ada
Margo Palpebralis Superior et Sillia
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis +
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks +
4
Margo Palpebralis Inferior et sillia
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis +
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks +
Konjungtiva Tarsalis Superior & Inferior
Tidak ada Lithiasis Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Simblefaron Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Anemis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Membran/Pseudomembran Tidak ada
Konjungtiva Bulbi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Kemosis Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Perdarahan subkonjungtiva Tidak ada
Tidak ada Injeksi Silier +
+
Tidak ada Injeksi Konjungtiva
terutama bagian inferior
Tidak ada Pterigium Tidak ada
Tidak ada Pinguekula Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Massa/Benjolan Tidak ada
5
Sklera
Putih Warna Putih
Tidak ada Nodul Tidak ada
Tidak ada Stafiloma Tidak ada
Tidak ada Ruptur Tidak ada
Kornea
Jernih Kejernihan Keruh
+ Arkus senilis +
Tidak ada Edema +
Tidak ada Korpus alienum Tidak ada
Tidak ada Infiltrat Tidak ada
Ada, di parasentral, arah jam 5,
Tidak ada Ulkus
ukuran 2,3 x 1 mm, batas tegas
Tidak dilakukan Tes Fluoresin +
Tidak dilakukan Tes Sensibilitas +
+ Refleks Kornea +
Tidak ada Nebula Tidak ada
Tidak ada Makula Tidak ada
Tidak ada Leukoma Tidak ada
COA
Dalam Kedalaman Sulit dievaluasi
Tidak ada Hipopion Tidak ada
Tidak ada Hifema Tidak ada
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada IOL Tidak ada
Iris
Cokelat Warna Cokelat
Ada Kripta Sulit dievaluasi
Tidak ada Atrofi Tidak ada
Tidak ada Sinekia Anterior Tidak ada
Tidak ada Sinekia Posterior Tidak ada
Baik Gambaran radier Sulit dievaluasi
6
Tidak ada Eksudat Tidak ada
Tidak ada Rubeosis Iris Sulit dievaluasi
Tidak ada Iris tremulans Tidak ada
Tidak ada Iris bombe Tidak ada
Tidak ada Iridodialisis Tidak ada
Pupil
Bulat Bentuk Bulat
Isokor 3mm Ukuran Isokor 3mm
Positif Refleks Cahaya Langsung Positif
Refleks Cahaya tidak
Positif Positif
langsung
Relative Afferent Pupillary
Negatif Negatif
Defect
Tidak ada Seklusio pupil Tidak ada
Tidak ada Oklusio pupil Tidak ada
Tidak ada Leukokoria Tidak ada
Lensa
Jernih Kejernihan Jernih
Negatif Shadow Test Negatif
Negatif Refleks Kaca Negatif
Vitreous
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada Pus/Eksudat Tidak ada
Tidak ada Darah Tidak ada
Tidak ada Fibrosis Tidak ada
Fundus
Positif Refleks Fundus Positif
Jernih Media Jernih
0,3 Cup Disc Ratio 0,3
2:3 Rasio Arteri:vena 2:3
Tenang Makula Lutea Tenang
7
Tenang Retina Sentral Tenang
Tenang Retina Perifer Tenang
TIO
Sama dengan pemeriksa Palpasi Sama dengan Pemeriksa
Tidak Dilakukan Tonometri Schiotz Tidak dilakukan
11 NCT (mmHg) -
Konfrontasi
Sama dengan pemeriksa Campus Tidak dilakukan
Ishihara Tidak dilakukan
1.4. Resume
Anamnesis:
Laki-laki berusia 49 tahun.
Keluhan utama berupa mata kiri tidak dapat melihat sejak ±2 bulan yang lalu.
Riwayat herpes zoster oftalmikus kiri ±1 tahun yang lalu, telah dinyatakan sembuh
±6 bulan yang lalu, dengan gejala sisa kelopak mata kiri tidak dapat menutup
sepenuhnya. Oleh karena hal ini pasien sering mengeluh mata kiri terasa kering.
3 bulan yang lalu, mata kiri pasien memerah.
2 bulan yang lalu, muncul bercak putih pada mata kiri pasien disertai dengan silau,
dan penglihatan buram.
Status generalis:
Keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis.
Status oftalmologis:
6/6 Visus 1/300
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
+3,00 Adisi +3,00
Add +3,00 Kacamata Add +3,00
Palpebra Superior dan Inferior
Tidak ada Hiperemis +
Tidak ada Ektropion +
Tidak ada Lagophthalmos +
8
Margo Palpebralis Superior dan Inferior et Sillia
Tidak ada Hiperemis +
Tidak ada Sikatriks +
Konjungtiva Bulbi
Tidak ada Injeksi Konjungtiva +
Tidak ada Injeksi Silier +
Kornea
Jernih Kejerunihan Keruh
Tidak ada Edema +
Ada, di parasentral,
Tidak ada Ulkus
ukuran 2,3 x 1 mm, batas tegas
Tidak dilakukan Tes Fluoresin +
1.7. Tatalaksana
Artificial tear (unpreserved) ed 6 x 1 tetes OS
Antibiotik fluoroquinolone ed 6 x 1 tetes OS
Midriatikum ed 1 x 1 tetes OS
Edukasi untuk setiap tidur, kelopak mata diplester dengan micropore sehingga
kelopak mata menutup sepenuhnya.
Kontrol 1 minggu.
9
1.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
Gambar 1. Lapisan Kornea
Sumber : Bowling B. Chapter 6. Cornea. In: Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 168
Lapisan terdalam kornea adalah lapisan endotel. Lapisan ini terdiri atas satu lapis
endotel yang sel-selnya tak bisa membelah. Kalau ada endotel yang rusak, maka endotel di
sekitarnya akan mengalami hipertrofi untuk menutup defek yang ditinggalkan oleh endotel
yang rusak tadi. Endotel berperan penting dalam mengatur kadar air kornea dengan cara
mengeluarkan air dari kornea ke kamera okuli anterior dengan enzim Na+-K+ ATP-ase.1
Defek epitel kornea cepat menutup dengan cara migrasi dan mitosis sel. Kornea
divaskularisasi oleh arteria siliares yang membentuk arkade. Inervasinya oleh n. siliaris
(cabang nervus trigeminus). Saraf kornea sensitif untuk rasa nyeri dan dingin. Kornea
berfungsi sebagai alat transmisi sinar sehingga berfungsi sebagai alat refraksi (kekuatan
refraksinya paling besar). Karena kornea secara normal bersifat avaskular, maka pemberian
makan kornea akan melalui air mata (terutama untuk penyediaan oksigen), humor aquous,
dan pembuluh darah limbus (secara difusi). Sifat avaskular kornea penting dalam
12
transplantasi kornea oleh resipien dari donor siapapun tanpa memandang sifat/perbedaan
genetis.1
Patogenesis
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya dalam
proses perjalanan pembentukan bayangan di retina. Oleh karena hal ini, perubahan dalam
bentuk dan kejernihan kornea akan segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di
retina. Oleh karenanya, kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.1
Kornea bersifar avaskular, sehingga pertahanan pada waktu peradangan tidak dapat
segera datang seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Oleh karena
hal ini, maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya, baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh
dengan batas-batas tidak tegas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan
epitel dan timbullah ulkus kornea.1
Kornea mempunyai banyak serabut saraf sehingga umumnya lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh.1
Ulkus kornea bersifat progresif dan regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat
sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah
yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superfisial maka akan lebih
cepat sembuh dan daerah yang mengalami infiltrasi akan menjadi bersih kembali, tetapi jika
lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat
baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatriks.1
13
Etiologi
Infeksi
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi Bakteri dengan Staphylococcus aureus,
P. aeruginosa, Streptococcus pneumoniae dan Moraxella sp. merupakan penyebab paling
sering. Hampir semua ulkus kornea infeksi bakteri berbentuk sentral. Gejala klinis yang khas
tidak dijumpai, namun apabila disebabkan oleh pneumokokus maka ulkusnya tampak
menggaung (berbatas tegas berwarna abu-abu) disertai hipopion (adanya pus pada kamera
okuli anterior). Apabila penyebabnya pseudomonas, nekrosis cepat terjadi karena bakteri ini
menghasilkan enzim proteolitik, dengan eksudat mukopurulen berwarna hijau kebiruan
(eksudat patognomonik infeksi P. aeruginosa) disertai nyeri hebat. Ulkus marginal, biasanya
karena staphylococcus, ada kemungkinan karena reaksi hipersensitifitas antara antigen
produk bakteri dengan antibodi dari vasa limbal. Pada pemeriksaan kerokan kornea tidak
ditemukan bakteri penyebabnya. Pemeriksaan laboratorium dilakukan secara rutin pada ulkus
kornea, dengan pengecatan Gram atau Giemsa. Medium kulturnya berupa agar darah, agar
coklat atau Sabouraud, dan penting dilakukan uji sensitifitas sebagai tindakan awal pada
kasus ulkus kornea. 1,3-4
Infeksi lain yang dapat menyebabkan ulkus kornea adalah infeksi Jamur yang
disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan spesies mycosis
fungoides. Pada ulkus kornea fungi, mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa
hari sampai beberapa minggu. Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna
keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat penyebaran
seperti bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di
bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitarnya. Ulser kadang-kadang dalam,
seperti ulser yang disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk ulser lonjong dengan
permukaan naik. Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi
siliar disertai hipopion. 1,3-4
Infeksi virus yang cukup sering menyebabkan ulkus kornea ialah virus herpes
simplex. Bentuk khasnya ialah dendrit dengan diikuti oleh vesikel-vesikel kecil di lapisan
epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk
disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster,
variola, dan vacinia. 1,3-4
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di dalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba
adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila
14
memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan
pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar. 1,3-4
Non Infeksi
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh trauma bahan kimia. Bahan asam yang dapat
merusak mata terutama ialah bahan anorganik, organik, dan organik anhidrat. Bila bahan
asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila
konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya, kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Sedangkan pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium / natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran
kolagen kornea. 1,3-4
Radiasi atau suhu yang dapat terjadi pada saat bekerja las atau menatap sinar
matahari dapat merusak epitel kornea. 1,3-4
Pada sindrom Sjorgen, salah satunya ditandai dengan adanya keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan oleh defisiensi unsur
film air mata (akuos, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra, atau kelainan epitel
yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut
dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan fluerosein. 1,3-4
Ulkus kornea dapat juga terjadi akibat defisiensi vitamin A dan obat-obatan yang
menurunkan mekanisme imun, misalnya kortikosteroid, IDU (Iodo-2-dioxyuridine), anestesi
lokal dan golongan imunosupresif. 1,3-4
Exposure Keratopathy dapat terjadi oleh setiap keadaan atau proses penyakit yang
menyebabkan kornea tidak dibasahi dengan baik atau yang menyebabkan ketidakmampuan
untuk menutup kelopak mata (lagophthalmos). Dua faktor utama tersebut menyebabkan
kornea menjadi kering dan mudah terpapar dengan trauma minor dan dapat menyebabkan
ulser kornea. Lagophthalmos dapat disebabkan oleh penyakit neurologik seperti palsi saraf
ketujuh, kondisi neurologis seperti penyakit parkinson atau Bell’s palsy, sikatriks atau
gangguan kelopak mata seperti ektropion atau karena trauma, penyalahgunaan narkotika,
post-blefaroplasti, penyakit kulit seperti Stevens-Johnson Syndrome dan xeroderma
pigmentosum, atau karena terjadiya proptosis oleh karena penyakit tiroid. 1,3-4
15
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat,
misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula
ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.
Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS,
keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus. Gejala klinis pada ulkus kornea secara
umum dapat berupa kemerahan pada kelopak mata dan konjungtiva, adanya sekret, merasa
ada benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair, bintik putih pada kornea sesuai lokasi
ulkus, silau, dan nyeri. 1,3-4
Pemeriksaan
Pada pemeriksaan status oftalmologi, didapatkan gejala objektif berupa injeksi silier,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi
iritis yang disertai dengan hipopion. Disamping itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan
diagnostik seperti ketajaman penglihatan, tes refraksi, tes air mata, pemeriksaan slit-lamp,
keratometri (pengukuran kornea), respon reflek pupil, pewarnaan kornea dengan zat
fluoresensi. Dapat juga dilakukan goresan ulkus untuk analisa atau kultur.1,3-4
Tatalaksana
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata
yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi
peradangan dengan steroid. Pasien dirawat bila terdapat perforasi, atau pasien tidak dapat
memberi obat sendiri, atau perlunya obat sistemik. Pada exposure keratopathy, tujuan terapi
adalah untuk memberikan perlindungan dan membasahi permukaan kornea secara
keseluruhan. Metode pengobatan yang dapat dilakukan adalah koreksi penyebab eksposur
Pada eksposur reversibel, diberikan artificial tears (unpreserved) pada siang hari dan salep di
malam hari, menutup kelopak mata pada malam hari sebagai alternatif pengganti salep,
perban silikon hidrogel atau lensa kontak sklera, manajemen proptosis dengan dekompresi
orbital jika perlu, dan temporary tarsorrhaphy, frost suture atau overlay amniotic membrane
grafting. Pada eksposur permanen, dilakukan permanent tarsorrhaphy.1
16
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa kebutaan parsial atau komplit dalam
waktu sangat singkat, kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan
panopthalmitis, prolaps iris, sikatriks kornea, katarak, dan glaukoma sekunder.1,3-4
Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya
mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi
yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena
jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya
mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
Penyembuhanyang lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini,
apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat
menimbulkan resistensi. Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan
dengan pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode yakni
migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh
darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat sembuh dengan cepat melalui
metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah agar leukosit
dan fibroblas dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian sikatriks.1-4
17
menyebabkan lagophthalmos.5-8 Lagophthalmos dapat menimbulkan komplikasi yang berat
setelah infeksi HZO, yang mana menyebabkan epiteliopati dan kerusakan kornea yang lebih
serius oleh karena penguapan air mata, kornea kering, dan kerusakan permukaan kornea.
Pasien umumnya mengeluh adanya iritasi mata, rasa adanya benda asing, namun tidak nyeri
karena beberapa pasien mengalami hipestesi pada kornea setelah infeksi HZO.
18
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien laki-laki berusia 49 tahun, datang dengan keluhan mata kiri tidak dapat
melihat sejak ±2 bulan yang lalu disertai dengan muncul bercak putih pada mata kiri, mata
kiri merah, silau, dan berair, namun tidak perih atau gatal. Pada kasus mata merah dengan
visus turun, maka diagnosis banding kita adalah keratitis, ulkus kornea, uveitis, glaukoma
akut, dan endoftalmitis. Dari hasil anamnesis adanya bercak putih pada mata kiri, maka
kecurigaan mengarah ke keratitis dan ulkus kornea.
Pasien memiliki riwayat herpes zoster oftalmikus OS ±1 tahun yang lalu, telah
dinyatakan sembuh ±6 bulan yang lalu, dengan gejala sisa kelopak mata kiri tidak dapat
menutup sepenuhnya. Pada keterangan ini, HZO pasien menyebabkan terjadinya ektropion
sikatrikal yang menyebabkan lagophthalmos pada pasien ini. Hal ini juga diperkuat dengan
penemuan ektropion dan lagophthalmos dari hasil pemeriksaan status oftalmologi.
Lagophthalmos pada pasien ini menimbulkan kecurigaan terjadinya exposure keratopathy.
Dari hasil pemeriksaan konjungtiva bulbi, ditemukan adanya injeksi silier dan
injeksi konjungtiva. Dan pada hasil pemeriksaan kornea, ditemukan adanya kornea keruh dan
edema, dengan hasil tes fluoresin positif pada mata kiri dengan terdapat ulser di parasentral,
ukuran 2,3 x 1 mm, batas tegas. Dari penemuan ini, maka dapat disimpulkan pasien memiliki
ulser kornea OS yang disebabkan oleh exposure keratopathy.
Terapi pada pasien ini berupa Artificial tear (unpreserved) ed 6 x 1 tetes OS,
Antibiotik fluoroquinolone ed 6 x 1 tetes OS, Edukasi untuk setiap tidur, kelopak mata
diplester dengan micropore sehingga kelopak mata menutup sepenuhnya, dan kontrol 1
minggu.
19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bowling B. Chapter 6. Cornea. In: Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 168-237.
2.
Coaster, JD. Fundamental of Clinical Ophthalmology Cornea. 1st ed. London: BMJ;
2002. p. 41-64.
3.
Al-Maskari A, Larkin DFP. Chapter 6. Cornea. In: Riordan-Eva P, Augsburger JJ.
Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th ed. New York: McGraw-Hill
Education, Inc. 2018. p. 281-324.
4.
American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course Section 8 :
External Disease and Cornea. 2nd ed. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2016.
5.
Kalogeropoulus CD, Bassuas ID, Moschos MM, Tabbara KF. Eye and periocular skin
involvement in herpes zoster infection. Med Hypothesis Discov Innov Ophthalmol.
2015 Winter; 4(4): 142–56.
6.
Kaufman SC. Anterior segment complications of herpes zoster ophthalmicus.
Ophthalmology. 2008 Feb; 115(2): S24-32.
7.
Nasr AM, Beyer-Machule CK, Yeatts RP. Cicatricial ectropion secondary to herpes
zoster. Ophthalmic Surg. 1983; 14: 763–5.
8.
Smith JP, Lavine DM. Cicatricial ectropion of the upper lid secondary to herpes zoster
ophthalmicus. Ann Ophthalmol. 1981; 13: 579 – 80.
20