Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA USIA 39 TAHUN DENGAN PTERIGIUM

DISUSUN OLEH :

NISRINA AMALIA ROHIMAH G99162141

ADRIANUS SETYAWAN ADHITAMA G99172025

ARUM DESSY RAHMA S G99162150

ALMA KRINARA SETIAEL G99172030

LUCIA ANINDYA G99172008

PEMBIMBING :
dr. Marzarendra dhion erlangga, Sp.M.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI

2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif


dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal
konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,daerah yang
kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orangyang sebagian besar
hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari,berdebu atau berpasir.
Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,tergantung pada lokasi
geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi padadaerah berdebu dan
kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator,yaitu 13,1%. Insiden
tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49tahun. Pasien dibawah umur
15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadipada pasien yang usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua.
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkatsecara
bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya.Kombinasi
autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.

2
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Ny. S

Umur : 39 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Penjaga Toko Klontong

Alamat : Kadipiro, Karanganyar

Tanggal periksa : 15 Mei 2018

No. RM : 014192XX

Cara Pembayaran : Umum

II. ANAMNESIS

A. Keluhan utama

Ada selaput di mata kiri

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Mata RS Dr. Moewardi dengan keluhan muncul selaput di
mata kiri sejak 5 tahun yang lalu. Awalnya muncul selaput kecil namun semakin lama
semakin meluas. Pada mata kanan juga didapatkan selaput namun pasien tidak mengetahui
sejak kapan munculnya. Pasien juga mengeluhkan terasa mengganjal pada mata kanan.
Keluhan gatal, silau, pandangan kabur, nrocos, mblobok, maupun cekot-cekot disangkal
pasien.

3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat kencing manis : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat trauma : disangkal
5. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
6. Riwayat konsumsi obat : disangkal
7. Riwayat operasi mata : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan umum
Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup

T = 130/90 mmHg N = 88 x/menit RR = 18x/menit S= 36,90C

B. Pemeriksaan subyektif OD OS
Visus sentralis jauh 6/6 6/10

Pinhole tidak dilakukan 6/6

Refraksi tidak dievaluasi tidak dievaluasi

Visus Perifer

Konfrontasi testlapang pandang pasien sama dengan pemeriksa

Proyeksi sinar tidak dilakukan tidak dilakukan

4
Persepsi Warna

Merah tidak dilakukan tidak dilakukan

Hijau tidak dilakukan tidak dilakukan

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata

Tanda radang tidak ada tidak ada

Luka tidak ada tidak ada

Parut tidak ada tidak ada

Kelainan warna tidak ada tidak ada

Kelainan bentuk tidak ada tidak ada

2. Supercilium

Warna hitam hitam

Tumbuhnya normal normal

Kulit sawo matang sawo matang

Geraknya dalam batas normal dalam batas normal

3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita


Heteroforia tidak ada tidak ada

Strabismus tidak ada tidak ada

Pseudostrabismus tidak ada tidak ada

Exophtalmus tidak ada tidak ada

Enophtalmus tidak ada tidak ada

5
Anopthalmus tidak ada tidak ada

4. Ukuran bola mata

Mikrophtalmus tidak ada tidak ada

Makrophtalmus tidak ada tidak ada

Ptosis bulbi tidak ada tidak ada

Atrofi bulbi tidak ada tidak ada

Buftalmus tidak ada tidak ada

Megalokornea tidak ada tidak ada

Mikrokornea tidak ada tidak ada

5. Gerakan Bola Mata

Temporal superior dalam batas normal dalam batas normal

Temporal inferior dalam batas normal dalam batas normal

Temporal dalam batas normal dalam batas normal

Nasal dalam batas normal dalam batas normal

Nasal superior dalam batas normal dalam batas normal

Nasal inferior dalam batas normal dalam batas normal

6.Kelopak Mata

Gerakan dalam batas normal dalam batas normal

Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

Tepi kelopak mata

6
Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

Entropion tidak ada tidak ada

Ekstropion tidak ada tidak ada

7. Sekitar saccus lakrimalis


Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

8. Sekitar Glandula lakrimalis

Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

9. Tekanan Intra Okuler

Palpasi kesan normal kesan normal

Tonometer Schiotz tidak dilakukan tidak dilakukan

Non contact tonometer 14 11

10. Konjungtiva

Konjungtiva palpebra superior


Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

Sekret tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada

Konjungtiva palpebra inferior


Edema tidak ada tidak ada

7
Hiperemis tidak ada tidak ada

Sekret tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada

Konjungtiva Fornix
Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

Sekret tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada

Konjungtiva Bulbi

Penebalan ada ada (bentuk segitiga)

Edema tidak ada tidak ada

Hiperemis ada ada

Sekret tidak ada tidak ada

Injeksi konjungtiva tidak ada tidak ada

Injeksi siliar tidak ada tidak ada

Caruncula dan Plika Semilunaris


Oedem tidak ada tidak ada

Hiperemis tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada

11. Sklera

Warna putih putih

Penonjolan tidak ada tidak ada

8
12. Kornea

Ukuran 12 mm 12 mm

Limbus keruh keruh

Permukaan rata, mengkilat rata, mengkilat

Sensibilitas normal normal

Keratoskop (Placido) tidak dilakukan tidak dilakukan

Fluoresin Test tidak dilakukan tidak dilakukan

Arcus senilis (-) (-)

Penebalan konjungtiva (+) (+)

(Berbentuk segitiga)

13. Kamera Okuli Anterior

Isi jernih jernih

Kedalaman dalam dalam

14. Iris

Warna coklat coklat

Bentuk bulat bulat

Sinekia Anterior tidak ada tidakada

Sinekia Posterior tidak ada tidakada

15. Pupil

Ukuran 3 mm 3 mm

Bentuk bulat bulat

9
Tempat sentral sentral

Reflek direk (+) (+)

Reflek indirek (+) (+)

Reflek konvergensi baik baik

16. Lensa

Ada/tidak ada ada

Kejernihan jernih jernih

Letak sentral sentral

Shadow test (-) (-)

17. Corpus vitreum

Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS

Visus Sentralis Jauh 6/6 6/10

Pinhole tidak dilakukan 6/6

Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal

Supercilium dalam batas normal dalam batas normal

Pasangan bola mata dalam dalam batas normal dalam batas normal
orbita

Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal

Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal

10
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal

Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal

Sekitarglandulalakrimalis dalam batas normal dalam batas normal

Tekanan Intra Okuler normal normal

Konjungtiva palpebra dalam batas normal dalam batas normal

Konjungtiva forniks dalam batas normal dalam batas normal

Konjungtiva bulbi penebalan konjugtiva penebalan konjugtiva

Sklera dalam batas normal dalam batas normal

Kornea Penebalan Penebalan konjugtiva


konjugtiva minimal berbentuk degitiga

Camera oculi anterior dalam batas normal dalam batas normal

Iris dalam batas normal dalam batas normal

Pupil dalam batas normal dalam batas normal

Lensa dalam batas normal dalam batas normal

Corpus vitreum tidak dilakukan tidak dilakukan

11
VII. GAMBAR

12
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. ODS Pterigium
2. ODS Pseudopterigium
3. ODS Pinguekula
IX. DIAGNOSIS

ODS pterigium

X. TERAPI

Non Medikamentosa

 Menjelaskankepadapasienmengenaipenyakitnya, rencanapengobatan, sertakomplikasi


yang dapatterjadi
 Menjelaskanperlunyakontrol
 Menyarankanpasien agar menghindaripajanansinarmatahari, debu, danasap
 Menyarankanpasien agar menggunakankacamataatautopibilabepergian
 Edukasipasienbahwadapatdilakukantindakanpembedahannamundapatterjadirekurensi

Medikamentosa

 Tobrosan Eye Drops 1 tetes tiap 8 jam ODS


 Cenfresh Eye Drops 1 tetestiap 8 jam ODS

XI. PROGNOSIS

OD OS

Ad vitam bonam bonam

Ad sanam malam malam

Ad fungsionam bonam bonam

Ad kosmetikum bonam bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi

Menurut Khurana dalam Comprehensive Ophtalmology tahun 2007, pterigium


berasal dari Bahasa Latin pterygion yang berarti sayap. Pterigium merupakan lipatan
konjungtiva berbentuk seperti sayap yang melampaui kornea dalam celah palpebral.

Pterigium adalah dysplasia fibrovaskular dari konjungtiva bulbi yang berbentuk


seperti sayap dan paling sering terletak di sisi nasal tetapi dapat pula terletak di bagian
temporal limbus (Nangia dkk, 2013).

2. Epidemiologi

Pterigium umum di daerah yang dikenal dengan sebutan ‘zona pterigium’ yang
berada dalam garis lintang utara 40o dan selatan garis ekuator. Negara-negara yang
termasuk dalam area ini mempunyai prevalensi terjadinya pterigium hingga 22%.
Negara-negara di luar area ini dilaporkan memiliki prevalensi tidak lebih dari 2% dan
biasanya mengenai orang yang terpapar sinar matahari misalnya orang yang bekerja di
luar ruangan. Insidensi pterigium di beberapa negara dilaporkan lebih tinggi pada laki-
laki mungkin karena perbedaan gaya hidup antar gender yaitu laki-laki lebih sering
menghabiskan waktu di luar ruangan (Detorakis dan Spandidos, 2009).

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterIgium


meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi
pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda
daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah (Stephen, 2004;
Edward, 2002).

3. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi dari pterigium belum diketahui secara pasti namun ada beberapa faktor
resiko yang dapat memicu timbulnya pterigium. Faktor resiko yang mempengaruhi

14
pterIgium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari
bahan tertentu di udara dan faktor herediter (Edward, 2002).

a. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterIgium


adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Adanya struktur periorbital seperti
rambut alis dan penonjolan tulang hidung menunjukkan bahwa mata relative
terlindungi dari paparan sinar langsung dari atas. Di sisi lain bagian bawah mata
relative tidak terlindungi dari sinar yang datang dari bawah atau samping. Letak
daerah secara geografis, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting (Detorakis dan Spandidos, 2009).

b. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan


berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.

c. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Wong juga
menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan
pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah,
dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga
penyebab dari pterigium(Edward, 2002).

A. Anatomi Bola Mata

Bola mata menempati kira-kira 20% ruang orbita. Bola mata terdiri dari dinding bola
mata, ruang-ruang mata, dan isi bola mata. Dinding bola mata tersusun atas tunika fibrosa

15
yang terdiri dari kornea dan sklera, tunika vaskulosa atau uvea yang terdiri dari iris, badan
siliar, dan koroid. Serta tunika nervosa yang terdiri dari retina dan epitel pigmen (Hartono,
2012).
1. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avaskuler. Bentuk kornea agak elips dengan diameter horizontal 12 mm dan diameter
vertical 11 mm. Jari-jari kurvatura depan 7,84 mm dan jari-jari kurvatura belakang 7
mm. Kornea bagian sentral berbentuk sferis, sedangkan bagian tepi agak mendatar
sehingga dapat menghilangkan aberasi sferis (Hartono, 2012). Pusat kornea dianggap
sebagai polus anterior bola mata, sedang polus posterior ada di dinding belakang bola
mata. Garis yang menghubungkannya disebut sumbu bola mata. Jaraknya dinamakan
diameter anteroposterior (Gunawan, 1995). Kornea ke belakang melanjutkan diri
sebagai sklera, dan perbatasan antara kornea dengan sklera disebut limbus. Kornea
merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar +43 dioptri. Kornea
mempunyai daya bias sama dengan air sehingga daya refraksi kornea hanya efektif di
udara. Berbeda dengan sklera, kornea ini jernih karena letak epitel kornea yang sangat
teratur, letak serabut kolagen yang teratur dan padat, kadar air yang konstan, dan tidak
adanya pembuluh darah (avaskuler). Sifat avaskuler ini penting untuk penerimaan
transplantasi (pencangkokan) kornea oleh resipien dari donor siapapun tanpa
memandang kesamaan sifat genetis (Hartono, 2012).

2. Sklera
Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea. Sklera tersusun dari tiga
lapisan yaitu episkleral, stroma, dan lapisan dalam (lapisan melanosit). Episkleral
adalah jaringan pengikat yang sangat vaskuler (Gunawan, 1995). Tebal sklera pada
polus posterior 1 mm dan pada ekuator 0,5 mm (Hartono, 2012).
3. Uvea
Uvea terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Uvea merupakan lembaran yang
tersusun oleh pembuluh darah, serabut saraf, jaringan ikat, otot, dan bagian depannya
berlubang yang disebut pupil (Hartono, 2012). Iris merupakan membran datar dan
merupakan lanjutan ke depan badan siliar. Tebal iris kira-kira 0,2 mm, dan mudah

16
mengembang. Fungsi iris adalah memberi warna mata, dan menyerap cahaya yang
masuk ke mata. Lapisan iris dari depan ke belakang adalah : (1) endotel, (2) stroma
yang terdiri atas jaringan ikat, sel-sel pigmen, vasa darah, dan saraf, (3) lapisan otot
untuk mengatur luas pupil, (4) lapisan epitel pigmen yang merupakan lanjutan dari
epitel pigmen retina. Ditengah iris terdapat pupil yang sangat penting mengatur
besarnya sinar yang masuk ke mata. Pada iris terdapat dua macam otot yang mengatur
besarnya pupil yaitu muskulus dilatators pupil untuk melebarkan pupil yang mendapat
inervasi saraf simpatis dan muskulus sfingter pupil untuk mengecilkan pupil yang
mendapat inervasi saraf parasimpatis (N. III). Fungsi pupil adalah (1) mengatur jumlah
cahaya yang menuju retina, (2) memperkecil aberasi sferis dan aberasi kromatis, kedua
macam aberasi ini ditimbulkan oleh sistem optik kornea dan lensa perifer yang tidak
sempurna, (3) meningkatkan kedalaman fokus. Apabila pupil lebar, maka akan
meningkatkan aberasi kromatis dan aberasi sferis. Sebaliknya apabila pupil mengecil
akan meningkatkan difraksi cahaya di tepi pupil, sehingga menurunkan kualitas
bayangan, tetapi meningkatkan kedalaman fokus (Hartono, 2012). Pupil yang kecil
disebut miosis dengan diameter kurang dari 3 mm, sedangkan pupil yang lebar disebut
midriasis dengan diameter lebih dari 6 mm. Isokori berarti diameter kedua pupil adalah
sama. Anisokori berarti diameter pupil kedua mata tidak sama, istilah ini hanya berlaku
kalau perbedaan diameter pupil 0,3 mm atau lebih besar. Ukuran pupil ditentukan oleh
beberapa faktor yang meliputi umur, status emosi, tingkat kewaspadaan, tingkat
iluminasi retina, jarak melihat (jauh atau dekat), dan besarnya usaha akomodasi
(Hartono, 2006).
Ada dua refleks pupil yang penting diketahui yaitu refleks cahaya dan refleks
melihat dekat. Refleks cahaya terjadi saat satu mata disinari, akan terjadi konstriksi
(pengecilan) pupil, baik untuk pupil mata yang disinari maupun pupil mata yang tidak
disinari. Refleks cahaya direk normal jika bagian aferen dan eferen mata yang disinari
normal. Refleks cahaya indirek normal kalau bagian aferen mata yang disinari normal
dan eferen mata kontralateral normal. Sedangkan refleks melihat dekat adalah terjadinya
konstriksi pupil, akomodasi, dan konvergensi (trias melihat dekat) yang terjadi ketika
mata melihat obyek dekat. Refleks ini terjadi karena benda mendekati pengamat
sehingga menimbulkan refleks akomodasi yang berpusat di lobus frontalis; dan adanya

17
bayangan yang kabur di retina akan dirasakan di lobus oksipitalis dan akan dikoreksi
lewat traktus oksipitotektalis sehingga terjadi akomodasi, konvergensi, dan mungkin
juga miosis. Namun trias melihat dekat tidak selalu lengkap, pada orang yang
akomodasinya sudah lumpuh total (afakia, pseudofakos, umur lanjut) hanya terdapat
konvergensi dan miosis (Hartono, 2006).
Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan koroid, batas
belakangnya adalah ora serata. Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dan vena. Fungsi badan siliar adalah (1) badan siliar mengandung muskulus
siliaris yang penting untuk akomodasi, (2) badan siliar sebagai tempat melekatnya
zonula Zinii (ligamentum suspensorium lentis), (3) menghasilkan humor aquosus
(disekresi oleh sel-sel prosesus siliaris), (4) kontraksi muskulus siliaris (saat penetesan
pilokarpin) juga akan membuka lubang-lubang trabekulum sehingga akan
memperlancar keluarnya humor aquosus (Hartono, 2012). Kontraksi otot siliaris
menyebabkan lensa lebih cembung dan bisa meningkatkan kekuatan refraksi untuk
melihat dekat. Relaksasi otot siliaris menyebabkan lensa berkurang kecembungannya
sehingga mata dapat memfokuskan benda lebih jauh (Gunawan, 1995).
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak antara retina dan
sklera, dan terdiri atas anyaman pembuluh darah. Fungsi utama koroid adalah memberi
nutrisi lapisan pigmen retina dan sel-sel fotoreseptor, serta mendinginkan retina karena
retina selalu terkena cahaya dan mempunyai metabolisme yang sangat besar sehingga
ada efek panas (Hartono, 2012).
4. Retina
Retina merupakan dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina merupakan
membran tipis transparan, berbentuk seperti jaring, dan mempunyai metabolisme
oksigen yang sangat tinggi. Luas permukaan retina kira-kita 17 cm2 dengan ketebalan
0,2 mm. Bagian retina yang mengandung sel-sel epitel dan retina sensoris disebut pars
optika retina yang artinya bagian yang dapat untuk melihat. Bagian yang hanya terdiri
dari sel-sel epitel pigmen yang meluas dari ora serata sampai tepi belakang pupil disebut
pars seka retina yang berarti bagian yang buta (Hartono, 2012). Retina berisi dua
macam fotoreseptor, yaitu : sel kerucut yang sensitif terhadap warna dan sel batang
yang sensitif terhadap derajat penyinaran. Makula adalah daerah retina di tengah,

18
memberikan penglihatan paling tajam dan papil optik terletak di sebelah nasal makula.
Fovea sentral berupa lekukan tersusun oleh kerucut merupakan bagian retina yang
menyebabkan penglihatan paling tajam (Gunawan, 1995).
5. Ruang di Bola Mata
Di dalam mata ada dua kamera okuli, yaitu kamera okuli anterior (KOA) dan
kamera okuli posterior (KOP), yang keduanya berisi humor aquosus. KOA dibatasi oleh
kornea, permukaan depan iris, dan kapsul depan lensa. Pada tepi KOA terdapat sudut
irido kornealis, dan pada apeksnya terdapat kanal Schlemm. KOA dihubungkan dengan
kanal Schlemm lewat anyaman trabekulum. Kanal Schlemm kemudian berhubungan
dengan sistem vena episklera lewat kanal-kanal pembuang yang disebut kanal kolektor.
KOP terletak dibelakang KOA dibatasi oleh permukaan belakang iris, badan siliaris,
lensa dan badan kaca. Humor aquosus diproduksi oleh badan siliar, yaitu pada prosesus
siliaris. Susunan humor aquosus adalah seperti darah, tapi bebas sel dan kadar
proteinnya lebih rendah sehingga jernih. Humor aquosus berperan merendam dan
memberi nutrisi pada kornea dan lensa (Hartono, 2012).
6. Badan Kaca
Di dalam mata juga ada ruang badan kaca. Ruang badan kaca merupakan ruang
yang terbesar yaitu 4/5 dari isi bola mata dan berisi badan kaca (badan lirkaca, korpus
vitreum) yang terdiri dari 99% air dan 1% gabungan antara kolagen dan asam
hialuronat. Asam hialuronat ini bekerja sebagai penahan goncangan yang kuat. Badan
kaca berfungsi memberi bentuk bola mata dan merupakan salah satu media refrakta
(media bias). Dengan bertambahnya umur, sebagian serabut kolagen badan kaca akan
terputus dari superstruktur utamanya. Serabut yang bebas ini kemudian akan mengalami
kondensasi menjadi bola-bola atau jerat-jerat yang mengapung bebas yang disebut
floaters (Hartono, 2012).
7. Lensa
Isi mata yang tidak kalah penting adalah lensa. Yaitu bangunan bikonveks yang
tersusun oleh epitel yang mengalami diferensiasi tinggi. Lensa digantungkan pada
badan siliar oleh ligamentum suspensorium lentis (zonula Zinii). Secara klinis, lensa
terdiri dari kapsul, korteks, nukleus embrional, dan nukleus dewasa (Hartono, 2012).
Dengan bertambahnya umur, serabut lamel sub epitel terus dibentuk, sehingga lensa

19
makin lama makin besar dan kurang lentur (Gunawan, 1995). Lensa berfungsi sebagai
media refrakta (alat dioptri). Media refrakta yang lain adalah kornea, humor aquosus
dan badan kaca. Kekuatan dioptri lensa kira-kira +20 D. Pada anak dan orang muda,
lensa dapat mengubah kekuatan dioptrinya saat melihat dekat agar bayangan jatuh di
retina. Makin tinggi umur seseorang, maka makin berkurang kekuatan penambahan
dioptrinya. Kemampuan lensa untuk menambah kekuatan refraksinya (kekuatan
positifnya) disebut akomodasi. Pada orang yang masih mempunyai akomodasi, maka
pada saat melihat dekat terjadi 3 peristiwa (trias melihat dekat) yaitu akomodasi, miosis,
dan konvergensi. Pada orang usia lanjut yang akomodasinya lumpuh, otot siliar tetap
dapat berkontraksi saat berusaha melihat dekat, tapi tidak terjadi akomodasi karena
lensa telah kaku, sehingga tidak dapat menambah kecembungan (Hartono, 2012).
Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi biasa. Sistem
lensa mata terdiri atas 4 perbatasa refraksi : (1) perbatasan antara permukaan anterior
kornea dan udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan humor
aquosus, (3) perbatasan antara humor aquosus dan permukaan anterior lensa mata, dan
(4) perbatasan antara permukaan posterior lensa mata dan humor vitreous. Indeks
internal udara adalah 1; kornea 1,38; humor aquosus 1,33; lensa kristalina (rata-rata)
1,40; dan humor vitreous 1,34 (Guyton, 2007). Karena adanya perbedaan indeks bias
tersebut pada mata terjadi pembiasan cahaya (Guyton, 2007). Berkas cahaya yang
melewati dua media dengan indeks bias yang berbeda akan dibelokkan, yang sering kita
sebut sebagai pembiasan cahaya atau refraksi.
Mata memiliki system refraksi yang terdiri dari kornea, humor aquous, lensa, dan
corpus vitreum/ badan kaca.

20
Gambar 3.1 Sistem Refraksi Cahaya

Makin besar sudut pembelokan cahaya yang diakibatkan, makin besar “daya bias”
media tersebut. Ukuran daya bias disebut dioptri. Mata memiliki daya bias total sebesar
59 Dioptri, sekitar dua pertiga dari daya bias tersebut dihasilkan oleh permukaan
anterior kornea karena indeks bias kornea sangat berbeda dari indeks bias udara.
Sedangkan lensa mata hanya memiliki daya bias sebesar 20 Dioptri karena indeks bias
lensa mata tidak jauh berbeda dengan indeks bias humor aquous dan badan kaca.
Seperti yang kita ketahui, bentuk lensa mata kita adalah cembung atau koveks.
Jarak dibelakang lensa konveks sampai pada tempat berkas cahaya sejajar menyatu
menjadi titik focus disebut jarak focus dari lensa. Cahaya yang datang dari jarak yang
jauh (lebih dari 5-6 meter), masuk ke dalam mata secara parallel. System refraksi mata
akan membelokkan cahaya tersebut agar jatuh tepat di retina. Sedangkan cahaya yang
datang dari jarak yang cukup dekat (kurang dari 5-6 meter), cahaya tersebut akan
menyebar karena jaraknya yang tidak jauh dari lensa, sehingga cahaya tersebut tidak
difokuskan pada jarak yang sama seperti yang dihasilkan oleh cahaya sejajar. Dengan
kata lain, bila berkas cahaya yang telah menyebar memasuki lensa konveks, jarak focus
yang dihasilkan akan lebih jauh dari jarak focus lensa yang dihasilkan oleh cahaya
sejajar. Namun, jarak focus cahaya yang menyebar dapat menjadi sama dengan jarak
fokus cahaya sejajar di belakang lensa dengan cara mengubah kecembungan lensa.
Peristiwa berubahnya kecembungan lensa saat melihat benda dekat inilah yang disebut
dengan akomodasi (Guyton, 2007).

21
Gambar 3.2 Daya Akomodasi

Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat


kontraksi otot siliar yang terletak pada badan siliar. Otot siliaris hampir seluruhnya
diatur oleh sinyal saraf parasimpatis yang dijalarkan ke mata melalui saraf cranial III
dari nucleus saraf III pada batang otak. Perangsangan saraf parasimpatis menimbulkan
kontraksi otot siliaris yang akan mengendurkan ligament lensa, sehingga menyebabkan
lensa menjadi semakin tebal dan meningkatkan daya biasnya. Dengan meningkatnya
daya bias, mata mampu melihat objek lebih dekat dibanding sewaktu daya biasnya
rendah (Guyton, 2007). Akibat akomodasi, daya bias lensa bertambah sehingga titik-
titik yang letaknya lebih dekat pada mata dibiaskan jatuh pada retina. Punctum remotum
adalah titik terjauh yang tanpa akomodasi dibiaskan jatuh pada retina, yaitu pada jarak ±
5-6 meter. Punctum proximum adalah titik terdekat yang dengan akomodasi maksimum
dibiaskan jatuh pada retina, yaitu pada jarak ± 30 cm.

22
Patofisiologi
Diduga berbagai faktor terutama faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet atau
matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu serta faktor-faktor iritan
lainnya berperan dalam perjalanan penyakit ini. Faktor-faktor tersebut diduga menyebabkan
terjadi degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Progresivitasnya diduga
merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapastudi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.
Sinar UV, angin, dan debu dapat mengiritasi mata sehingga mengganggu proses
regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan jaringan fibrous berlebih yang mengandung
pembuluh darah, disebut dengan jaringan fibrovaskular. Pertumbuhan ini biasanya progresif dan
melibatkan sel-sel kornea. Jaringan baru ini tumbuh menebal dari konjungtiva dan menjalar ke
arah kornea.
Epitel mata merupakan bagian yang sensitif dibandingkan dengan epitel di bagian tubuh
lain khususnya terhadap paparan ultraviolet, karenaepitel mata tidak mempunyai lapisan terluar
yang disebut keratin. Saat terpapar ultraviolet yang berlebihan, maka radiasi itu akan merangsang
pelepasan enzim yang dapat merusak jaringan dan menghasilkan sitokin-sitokin pertumuhan
sehingga menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Tidak semua individu berespon sama
terhadap paparan sinar ultraviolet yang mengenainya, karena kadar enzim tiap individu berbeda-
beda.
UV-B merupakan faktormutagenik bagi gen supresi tumor p53 yang terdapat pada stem
sel basal di limbus, yang dapat memicu ekspresi berlebihan sitokin-sitokin seperti TGF-β dan
VEGF yang dapat menyebabkan regulasi kolagenase, migrasisel dan angiogenesis, sehingga
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi
fibrovaskular dibawah epitel substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terjadi pada lapisan membran Bowman, disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Akibat kerusakan yang dialami membran
Bowman akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium.
Teori lain mengatakan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi sel stem
limbus kornea. Sel stem limbus ini merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi sel ini, akan terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejalanya adalah

23
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan lapisan membran
descement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda-tanda ini juga ditemukan pada pterigium
sehinggga banyak penelitian mengatakan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi
dari sel stem limbus kornea.
Pterigium juga sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler
yang muncul dari daerah bekas eksisi. Pterigium ini mungkin tidak berhubungan dengan paparan
radiasi, namun dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Didapatkan epitel konjungtiva
ireguler, kadang menjadi epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigum, epitel kornea meninggi
dan pada daerah ini membran Bowman menghilang.

Manifestasi Klinis
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga yang dimulai dari konjungtiva
bagian nasal atau temporal, meluas menuju ke bagian tengah kornea pada daerah fisura
interpalpebra . Pterigium biasanya terjadi bilateral namun jarang terlihat simetris. Pterigium yang
terletak di nasal dan temporal dapat terjadi bersamaan walapun jarang ditemukan pada daerah
temporal. 90% pterigium terletak di daerah nasal konjungtiva karena daerah ini relatif lebih
sering terpapar sinar ultraviolet dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Pterigium
yang sampai ke korena akan menutupi sumbu penglihatan sehingga menyebabkan keluhan
pandangan kabur.
Gejala klinis pterigium tahap awal biasanya ringan atau tanpa gejala. Beberapa keluhan
yang sering dialami pasien antara lain:
 Mata sering berair
 Mata iritatif, merah
 Rasa mengganjal/terdapat benda asing
 Timbul astigmatisme karena korna tertarik oleh pertumbuhan pterigium
 Penglihatan kabur
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya seperti melakukan pemeriksaan
kacamata, karena penglihatan terganggu, bukan karena mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di matanya. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtatadan dellen (penipisan
kornea akibat kering), dan garis besi (iron linedari stocker) yang terletak di ujung pterigium.

24
Tatalaksana
Konservatif
Tatalaksana konservatif dilakukan pada pterigium ringan yang tidak perlu diobati. Pada
pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steriod 3x sehari selama 5-7 hari. Namun perlu diperhatikan bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dianjurkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau didapatkan
kelainan pada kornea.
Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium antara lain:
a. Pemakaian air mata artifisial, untuk membasahi permukaan okular dan mengisi kerusakan
pada laposan air. Obat ini akan memberikan pelumas pada permukaan mata pasien.
b. Salep sebagai pelumas topikal, untuk sebagai pelumas pada permukaan okular namun
bersifat lebih kental. Sediaan ini cenderung menyebabkan penglihatan kabur sementara,
sehingga biasa digunakan pada malam hari.
c. Obat tetes mata antiinflamasi, untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan
jaringan okular lainnya.

Pembedahan
Pembedahan dilakukan pada pterigium derajat 3-4 dengan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigiumtersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva
bagiansuperior untuk menurunkan angka kekambuhan.
Indikasi dari pembedahan pterigium antara lain:
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigma
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

Edukasi
Pasien disarankanuntuk menjaga mata dari paparan radiasi dan debu untuk mengurangi
resiko berkembangnya pterigium terutama pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi.

25
Tindakan yang dilakukan bisa dengan menggunakan topi, kacamata, atau sunglasses. Tindakan
pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis,
atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya
ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan).

26
BAB IV
KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan
yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis
indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang
merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki
karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di
atas 40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa
juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan
tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif
seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada pembedahan akan dilakukan
jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal gangguan visual, dan
pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup
tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat
dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2010
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116 –
117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/
article/ 1192527-overview. 2011
5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s General Ophthalmology 17th edition.
Philadelpia : McGrawHill. 2007
6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York : Thieme.
2000
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:
Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142
9. Fisher J.P., Trattler W, 2001, Pterygium, www. Emedicine.com [Medline]
10. Anonim, 2006, A guide to Pterygium and Pterygium Surgery, www.google.com

28

Anda mungkin juga menyukai