Oleh:
Dhimaz Dhandy Pradana
G991906007
Pembimbing:
dr. Tri Lastiti Widowati, Sp.KFR., M.Kes
1
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Tukang Kayu
Alamat : Sumberlawang, Sragen
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 26/09/2019
Tanggal Periksa : 02/10/2019
No RM : 01477xxx
2. Keluhan Utama :
Tidak sadar setelah KLL
2
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
3
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang-berat, GCS E2V2M5, gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 172/99 mmHg
Nadi : 72 x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 22 x/menit, irama teratur
Suhu : 36.8 0C
Sp O2 : 99%
3. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), vulnus
laceratum (+), vulnus excoriasi (+).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, vulnus laceratum (+),
vulnus excoriasi (+), rambut hitam, tidak mudah rontok, tidak mudah
dicabut.
5. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-
/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (+), darah (-/-), sekret (-/-), deviasi
septum nasi (+).
7. Telinga
4
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
8. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah asimetris (-), lidah
tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
9. Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP tidak meningkat, limfonodi
tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
10. Thoraks
Retraksi (-)
11. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
12. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler), suara tambahan (-/-)
13. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
Tanda Patrick/Fabere : (-/-)
Tanda Anti Patrick : (-/-)
5
Tanda Laseque/SLR : (-/-)
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
15. Ekstremitas
Oedem : (-)
Akral dingin : (-)
- - - -
- - - -
Status Psikiatri
a. Deskripsi Umum
- Penampilan : Laki-laki, sesuai umur, berpakaian, perawatan diri
kurang.
b. Kesadaran
- Kuantitatif : stupor, GCS E2V2M5
- Kualitatif : berkabut
c. Aktivitas Motorik : hiperaktif
d. Pembicaraan : mengerang
e. Sikap : tidak kooperatif
f. Afek dan Mood
- Afek : normoafek
- Mood : sde
g. Gangguan Persepsi
- Halusinasi : sde
- Ilusi : sde
h. Proses Pikir
- Bentuk : sde
6
- Isi : sde
- Arus : sde
i. Sensorium dan Kognitif
- Konsentrasi : sde
j. Orientasi
- Orang : sde
- Waktu : sde
- Tempat : sde
k. Daya Ingat
- Jangka pendek : sde
- Jangka panjang : sde
l. Daya Nilai : sde
m. Insight :1
Status Neurologis
Kesadaran : GCS E2V2M5
Fungsi Luhur : sde
Fungsi Vegetative : IV line
Fungsi Sensorik
Stereognosis : sde
Barognosis : sde
7
Pengenalan 2 titik : sde
8
Reflek rosolimo -/-
Nervus Cranialis
N. II, III : pupil isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+)
N. III, IV, VI : sde
N. V : reflek kornea (+/+)
N. VII, XII : dbn
Neck
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-700 0-700
Ekstensi 0-400 0-400
Lateral bending kanan 0-600 0-600
Lateral bending kiri 0-600 0-600
Rotasi kanan 0-900 0-900
Rotasi kiri 0-900 0-900
9
Pronasi sde 0-900 00 0-900
Supinasi sde 90-00 00 90-00
Fleksi sde 0-900 00 0-900
Ekstensi sde 0-700 00 0-700
Ulnar
Wrist sde 0-300 00 0-300
deviasi
Radius
sde 0-200 00 0-200
deviasi
MCP I fleksi sde 0-500 00 0-500
MCP II-IV
sde 0-900 00 0-900
fleksi
DIP II-V
sde 0-900 00 0-900
Finger fleksi
PIP II-V
sde 0-1000 00 0-1000
fleksi
MCP I
sde 0-00 00 0-00
ekstensi
10
Eversi 0-50 0-50 0-50 0-50
Inversi 0-50 0-50 0-50 0-50
11
Kelompok otot extensor 5 5
Kelompok otot flexor 5 5
Ankle
Kelompok otot extensor 5 5
12
Merencanakan dan mengambil keputusan untuk kepentingan
16 keluarga dalam hal menggunakan uang aktivitas sosial yang
1
dilakukan dan kebutuhan akan pelayanan kesehatan
Melakukan aktivitas di waktu luang (kegiatan, keagamaan, sosial,
17
rekreasi, olah raga, dan menyalurkan hobi). 0
Total 11
Penilaian:
0: tidak bisa melakukan sendiri (tergantung pada orang lain)
1: bisa melakukan sendiri (mandiri)
Analisis Hasil:
1-12 : ketergantungan (hasil: 11)
13-17 : mandiri
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Hasil Satuan Rujukan
Natrium darah 139 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.3 - 5.1
Chlorida darah 102 mmol/L 98 - 106
13
APTT 25.0 detik 20.0 - 40.0
NR 0.930
Kesimpulan:
1. SAH di regio frontalis dan temporalis kiri
2. ICH di lobus frontalis kanan disertai perifokal edema di sekitarnya
3. Brain edema
14
4. Subgaleal hematom di regio parietalis kanan disertai emfisema subkutis
5. Hematoma maksilaris bilateral dari sphenoidalis kiri
6. Fraktur dinding posterior sinus maksilaris kiri
7. Hipertrofi concha nasalis medius et inferior kiri
8. Deviasi septum nasi ke kanan grade 1
D. ASSESSMENT
COS GCS E2V2M5, Close Fracture Shaft Ulna (D) 1/3 Distal Transverse
Type, Afasia, Deviasi Septum Nasi
E. PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa:
1. Inf NaCl 0.9% 20 tpm
2. Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
3. Inj Metamizole 1 gr/8 jam
4. Inj Manitol 100 cc/24 jam
Terapi non-medikamentosa:
1. Head up 300
2. O2 3 lpm nasal kanul
3. Pasang NGT
4. Konservatif
5. Awasi KUVS/ GCS/ Lateralisasi
6. Pro ORIF Ulna Elektif
7. Penggunaan Long Arm Slab/ Long Arm Posterior Splint
15
F. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis
COS GCS E2V2M5
Close Fracture Shaft Ulna (D) 1/3 Distal Transverse Type
Afasia
Deviasi Septum Nasi
Terapi Okupasi:
1. Stretching exercise
2. Strengthening exercise untuk melatih kekuatan otot dan mencegah atrofi
otot-otot
3. Latihan ADL mulai dari hal-hal yang ringan
16
Terapi Wicara:
1. Stimulasi oromotor
Sosiomedik:
1. Motivasi dan edukasi keluarga tentang penyakit penderita
2. Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita
dengan selalu berusaha menjalankan program di RS
3. Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita
dengan selalu berusaha menjalankan program yang dapat dilakukan di
rumah
Ortesa-Protesa:
1. Penggunaan Long Arm Slab/ Long Arm Posterior Splint sebagai alat
fiksasi tangan kanan
2. Penggunaan ortesa topeng wajah untuk sebagai alat fiksasi hidung
Psikologi:
1. Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan keluarga
2. Psikoterapi suportif untuk mengurangi gaduh-gelisah pasien
17
- Peningkatan Ureum
Disability:
- Penurunan fungsi anggota gerak atas bagian kanan
- Tidak bisa bicara
- Keterbatasan dalam melakukan ADL (activity day living) dengan hasil
skor modifikasi indeks kemandirian Katz adalah 11 (ketergantungan dalam
aktivitas sehari-hari pada orang lain)
Handicap:
- Kesulitan untuk bersosialisasi karena kesulitan bicara
- Tidak dapat melanjutkan pekerjaan sebagai tukang kayu
- Kesulitan dalam melakukan sholat di rumah maupun di masjid
I. PLANNING
Planning Terapi:
1. Rawat bersama dengan spesialis bedah saraf
2. Rawat bersama dengan spesialis orthopaedi
3. Rawat bersama dengan spesialis kedokteran jiwa
Planning Edukasi:
1. Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
2. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
3. Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan kontrol
Planning Monitoring:
1. Evaluasi hasil fisioterapi, terapi okupasional, terapi wicara, dan terapi
psikologi.
18
J. TUJUAN
Tujuan Jangka Pendek
- Mencegah ulkus dekubitus
- Mencegah atrofi otot anggota gerak atas dan bawah
- Mencegah masalah psikologi keluarga
K. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
19
TINJAUAN PUSTAKA
CEDERA KEPALA
A. PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu
lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar-benar, serta
rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit 80 % di kelompokan sebagai cedera kepala
ringan, 10% termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan
pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang
adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak
dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey
adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
danyang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan Kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat
secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma
kapitis adalah: Simple Head Injury, Commutio Cerebri, Contusion Cerebri,
20
Laceratio Cerebri, Basis Cranii Fracture.
Simple Head Injury dan Commutio Cerebri sekarang digolongkan
sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio Cerebri dan Laceratio
Cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat. Pada penderita korban
cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah
dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di
Rumah Sakit.
B. ANATOMI KEPALA
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat
yang berhubungan langsungdengan tengkorak
d. Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.
2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Calvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
21
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu:
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea mediayang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam
dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari
22
piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh
piamater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon
(otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitandengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporalmengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasiretikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawabdalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan.
5. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateralmelalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktussylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasioarakhnoid yang terdapat pada sinus
23
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata padakelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
7. Vaskularisasi
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.
24
volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl.
3. Tekanan Perfusi Otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-
ratamean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk
bagi penderita.
4. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila
ADOmenurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.
25
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
26
3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
a. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Frakturdasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervusfasialis. Fraktur cranium terbuka atau
komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur
tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup
27
berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi
fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktur ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar.
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi
(atauhematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT Scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan
klinis.
1) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk
diruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan
ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling
seringterletak di regio temporal atau temporoparietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya
dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-
oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien
koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan
diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan
28
epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita
sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat
menunjukan adanya ‘lucid interval´ yang klasik dimana penderita
yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die),
keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang tidak selalu homogen, bentuknya biconvex sampai
planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel
ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
2) Hematom Subdural
Hematoma Subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi
diantara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan
otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanyasangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
29
a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti
bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan
dengan epidural hematom. Batasmedial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan
tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan,
transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam
perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT
Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada
tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut
adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin
menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnyamenjadi
hipodens.
3) Kontusi dan hematoma intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural
akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
30
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi
atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi
yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada
sisilainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
4) Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang
sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah
keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
31
derajat. Cedera ini sering terjadi, namunkarena ringan kerap kali
tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrade.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma
pascakomosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering
terjadi bersamaan.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang
32
makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari
inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala
meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak
memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka
dilakukan foto polos posisi AP/ lateral dan oblique.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah:
a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia/anti muntah.
b. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor-faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
d. Adanya lateralisasi.
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
h. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 x/menit).
3. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
33
7. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
8. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
9. CSF, Lumbal Pungsi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahansubarachnoid.
10. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
11. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial.
12. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga
dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan
cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya
dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah
cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lai:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
34
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukandalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supraten
torialatau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
3. Tanda fokal neurologis semakin berat
4. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
5. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
6. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
7. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
8. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
9. Terjadi kompresi/ obliterasi sisterna basalis
H. PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma
juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
35
FRAKTUR ANTEBRACHII
A. PENDAHULUAN
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung,
misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah radius dan
ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah. Akibat
trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah juga.
B. ANAMNESIS
Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah
pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara
terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat langsung dilakukan
terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau
pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan
untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan
lain sebagainya. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).
Berdasarkan kasus, anamnesa yang harus dilakukan terhadap pasien ialah:
1. Menanyakan identitas pasien seperti umur dan pekerjaannya.
2. Menanyakan keluhan utama pasien.
3. Menanyakan riwayat penyakit yang deskriptif & kronologis dan
faktor-faktor yang memperberat penyakit seperti demam, lelah atau
gejala sistemik lainnya (panas, penurunan BB, kelelahan, lesu, rasa
tidak enak badan & mudah terangsang atau adanya gejala
kekacauan mental).
36
4. Menanyakan riwayat penyakit dahulu seperti riwayat trauma dan
aktivitas sosial yang dilakukan sehari-hari.
5. Menanyakan riwayat penyakit keluarga pasien apakah pernah
menderita penyakit yang sama seperti pasien atau ada riwayat
trauma.
C. GEJALA KLINIS
Pada fraktur tertutup antebrachii, gejala yang harus diperhatikan :
1. Deformitas di daerah yang fraktur: angulasi, rotasi (pronasi atau
supinasi) atau shorthening
2. Nyeri
3. Bengkak.
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Look: Tampak adanya edema dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) pada regio antebrachii dextra 1/3 distal, hal
yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka.
2. Feel: Terdapat nyeri tekan setempat, teraba adanya penonjolan tulang,
tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan
nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan
darurat yang memerlukan pembedahan.
3. Movement: Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi –
sendi dibagian distal cedera.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam ilmu kedokteran, sinar-X dapat digunakan untuk melihat kondisi
tulang, gigi serta organ tubuh lain tanpa melakukan pembedahan langsung
pada tubuh pasien. Sinar-X lembut digunakan untuk mengambil gambar foto
yang dikenal sebagai radiograf. Sinar-X boleh menembusi badan manusia
37
tetapi diserap oleh tulang. Gambar foto sinar-X digunakan untuk melihat
kecacatan tulang, kepatahan tulang, dan menyiasat keadaan organ-organ
dalam badan. Sinar-X keras digunakan untuk memusnahkan sel-sel kanker,
yang disebut radioterapi. Pemeriksaan penunjang yang lain ialah MRI dan CT
scan. MRI jarang dipakai untuk deteksi awal penyakit tetapi sangat berguna
menunjukkan kondisi penyakit karena memperlihatkan jaringan lunak di
sekitar sendi. Bagi pasien yang ada kontraindikasi dengan MRI, CT scan
diguna sebagai ganti
F. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, didapatkan diagnosa
pasti kondisi pasien yaitu adanya Fraktur Os Ulna Dextra 1/3 Distal. Fraktur
tulang adalah putusnya kesinambungan suatu tulang. Fraktur dapat terjadi
pada semua bagian tubuh salah satunya adalah fraktur os ulna 1/3 distal yaitu
suatu patahan yang mengenai 1/3 bagian bawah tulang ulna.
Tetapi trauma yang cukup untuk menyebabkan fraktur, hampir tak dapat
dielakkan menimbulkan cedera jaringan lunak. Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan.
38
2. Fraktur Smith.
Fraktur dislokasi ke anterior (volar), karena itu sering disebut reverse
collesfracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh
dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar
fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi.
3. Fraktur Monteggia.
Fraktur sepertiga proximal ulna disertai dislokasi sendi radius ulna
proximal. Monteggia mempublikasikan fraktur ini sebagai fraktur
sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius. Ternyata kemudian terbukti bahwa dislokasi ini dapat terjadi ke
lateral dan juga posterior. Penyebabnya biasanya trauma langsung
terhadap ulna, misalnya sewaktu melindungi kepala pada pukulan,
sehingga disebut patah tulang tangkis. Pada umumnya menyerupai fraktur
39
pada lengan bawah dan apabila terdapat dislokasi ke anterior, kapitulum
radius akan dapat diraba pada fossa cubitus. Pergelangan tangan dan
tangan harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda cedera
pada saraf radialis. Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (sering) dan tipe
fleksi. Pada tipe ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna kearah
hiperekstensi dan pronasi. Sedangkan pada tipe fleksi,
gayamendorong dari depan kearah fleksi yang menyebabkan fragmen
ulna mengadakan angulasi ke posterior. Gambaran radiologis jelas
memperlihatkan adanya fraktur ulna yang disertai dislokasi sendi radio-
humeral.
4. Fraktur Galleazzi.
Fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius ulna distal. Saat
pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan badan, terrjadi pula
rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan berat badan
yang memberi gaya supinasi. Jauh lebih sering terjadi daripada fraktur
Monteggia. Ujung bagian bawah ulna yang menonjol merupakan tanda
yang mencolok. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk lesi saraf ulnaris yang
sering terjadi. Gambaran klinisnya bergantung pada derajat dislokasi
fragmen fraktur. Bila ringan, nyeri dan tegang dirasakan pada daerah
fraktur; bila berat, biasanya terjadi pemendekan lengan bawah. Tampak
tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada pergelangan
40
tangan dapat diraba tonjolan ujung distal ulna. Gambaran radiologisnya
pada fraktur ini yaitu fraktur melintang atau oblique yang pendek
ditemukan pada sepertiga bagian bawah radius, dengan angulasi atau
tumpang-tindih. Sendi radioulnar inferior bersubluksasi atau berdislokasi.
H. EPIDEMOLOGI
Fraktur radius/ulna sering terjadi pada usia muda dengan insidens
sebanyak 8-9% dan sering juga pada wanita yang berusia 75 tahun atau lebih.
Fraktur pada 1/3 distal dari diafisis adalah sebanyak 79%.
I. ETIOLOGI
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera (trauma),
seperti kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika
tenaga yang melawan tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Sebagian
besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh
dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Jenis dan beratnya patah
tulang dipengaruhi oleh:
1. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
41
2. Usia penderita
3. Kelenturan tulang
4. Jenis tulang.
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya
sedangkan penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak
langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat
yang terkena kekuatan itu jadi kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
Tekanan yang berulang-ulang atau trauma ringan (fraktur kelelahan)
pada tulang menyebabkan tulang menjadi retak, seperti halnya pada logam dan
benda lain, akibat tekanan berulang-ulang. Kelemahan abnormal pada tulang
(fraktur patologik). Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau
tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh
(misalnya pada penyakit Paget). Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang
yang rapuh karena kelainan seperti osteoporosis, osteomyelitis atau tumor
seperti Ewing’s sarcoma atau metastase myeloma bisa mengalami patah
tulang. Berdasarkan kasus, fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas.
J. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
42
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen
satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
K. PATOFISIOLOGI
1. Sewaktu tulang patah (fraktur) mengakibatkan terpajannya sum-sum
tulang atau pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam
sum-sum tulang, sehingga merangsang pengeluaran katekolamin yang
yang akan merangsang pembebasan asam lemak kedalam sirkulasi yang
menyuplai organ, terutama organ paru sehingga paru akan terjadi
penyumbatan oleh lemak tersebut maka akan terjadi emboli dan
menimbulkan distress atau kegagalan pernafasan. Trauma yang
menyebabkan fraktur (terbuka atau tertutup) yang mengakibatkan
perdarahan terjadi disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan lunak
disekitar tulang tersebut dan terjadi perdarahan masif yang bila tidak
segera ditangani akan menyebabkan perdarahan hebat, terutama pada
fraktur terbuka (shock hypopolemik).
2. Perdarahan masif ini (pada fraktur tertutup) akan meningkatkan tekanan
dalam suatu ruang diantara tepi tulang yang yang fraktur dibawah jaringan
tulang yang membatasi jaringan tulang yang fraktur tersebut,
menyebabkan oedema sehingga akan menekan pembuluh darah dan saraf
disekitar tulang yang fraktur tersebut maka akan terjadi sindrom
kompartemen (warna jaringan pucat, sianosis, nadi lemah, mati ras dan
nyeri heba) dan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan neuro muskuler
(4-6 jam kerusakan yang irreversible, 24-48 jam akan mengakibatkan
43
organ tubuh tidak berfungsi lagi). Perdarahan masif juga dapat
menyebabkan terjadinya hematoma pada tulang yang fraktur yang akan
menjadi bekuan fibrin yang berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-
sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tulang baru
imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang baru
secara perlahan mengalami remodeling (membentuk tulang sejati) tulang
sejati ini akan menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami
kalsifikasi (jadi tulang yang matur).
3. Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk
menyambung sendiri setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang
pada setiap individu berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3) lokasi
fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya.
44
stress sharing, dengan cara penyembuhan tulang sekunder. Reduksi tertutup
dan imobilisasi dengan long arm cast telah dipergunakan untuk fraktur lengan
bawah dengan dislokasi, tapi mungkin kurang memuaskan kecuali jika
reduksinya dapat dipertahankan dengan hati-hati. Gips harus memiliki cetakan
interoseus yang baik dengan potongan melintang berbentuk oval, bukan bulat,
karena dapat membantu mempertahankan ruang interoseus. Fraktur radius
sepertiga distal harus dimobilisasi dalam posisi pronasi (merelaksasikan
tarikan deformasi m. pronator quadratus) untuk mencapai kemungkinan
terbaik kesegarisan yang dapat diterima. Long arm cast dipakai selama 4
minggu, dan kemudian diganti dengan short arm cast atau brace fungsional
selama 2 minggu. Durasi pemakaian gips dan imobilisasi adalah sekitar 6
sampai 8 minggu sebelum menyambung.
Kebanyakan fraktur lengan bawah, termasuk fraktur radius saja, fraktur
kedua tulang, dan fraktur yang disertai dislokasi caput radii atau destruksi
articulatio radioulnaris distalis memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi
interna. Alat yang digunakan adalah stess shielding dan cara penyembuhan
tulang primer.
Pada fraktur monteggia, reduksi tertutup caput radii dapat dilakukan,
diikuti dengan pemasangan pelat untuk fraktur ulna. Reduksi simultan caput
radii akan terjadi saat fraktur corpus ulnae telah tereduksi secara anatomis dan
terfiksasi. Bergantung pada stabilitas caput radii setelah reduksi, imobilisasi
pascaoperatif dapat bervariasi dari long arm cast sampai brace fungsional.
Pada fraktur galeazzi, radius direduksi secara anatomis dan difiksasi pada
pelat. Penanganan ini akan mengembalikan posisi articulatio radioulnaris.
Long arm cast atau brace fungsional mempertahankan lengan bawah pada
posisi supinasi selama 4 minggu. Penanganan kemudian diikuti dengan short
arm cast selama 2 minggu berikutnya.
Fraktur colles dan smith juga memiliki cara penanganan yang berbeda
dengan fraktur monteggia dan galaezzi. Cara pertama adalah dengan reduksi
tertutup dan pemasangan gips, yang merupakan penanganan fraktur yang tidak
memerlukan fiksasi bedah. Cara ini diindikasikan untuk pasien dengan fraktur
45
tanpa dislokasi atau dengan dislokasi minimal tanpa kominutif yang banyak.
Radiograf pascareduksi harus memperlihatkan pemulihan kemiringan palmar
dan panjang radius. Secara umum, pasien berusia lebih dari 60 tahun biasanya
ditangani dengan short arm cast untuk mencegah kekakuan siku. Setelah
pemasangan long arm cast selama 3 sampai 6 minggu pertama, akan
diteruskan dengan pemasangan short arm cast. Long arm cast memberikan
dukungan yang lebih baik untuk fraktur kominutif tidak stabil serta
memberikan kontrol rotasional dan kontrol nyeri yang lebih baik. Fraktur
tanpa lokasi dapat ditangani dengan short arm cast.
Ada pula fiksator eksterna yang sangat berguna untuk fraktur kominutif,
fraktur dengan dislokasi yang tidak dapat ditangani dengan reduksi terbuka
atau fiksasi interna. Alat yang digunakan adalah stress-sharing dengan cara
penyembuhan tulang sekunder, dengan disertai pembentukan kalus. Kadang-
kadang, pin perkutaneus atau fiksasi interna dapat digunakan sebagai adjuvan
fiksasi eksterna.
Selain itu, bila frakturnya artikular dengan dislokasi, digunakan metode
reduksi terbuka dan fiksasi interna. Alat yang digunakan adalah stres-shielding
untuk fiksasi pelat dan stress-sharing untuk fiksasi pin. Cara penyembuhannya
primer, jika tercapai fiksasi solid dengan pelat sehingga tidak terbentuk kalus,
cara penyembuhan sekunder jika fiksasi solid tidak tercapai, atau pada pin
perkutaneus. Gips pasca oprasi biasanya dianjurkan selama 2 sampai 6
minggu, bergantung pada stabilitas fiksasi.
N. KOMPLIKASI
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
46
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada
suatu tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah.
Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki
usia 20-40 tahun, usia 70 sampai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada
individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak
mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau
trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau
necrosis iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem
saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin
karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
O. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada jenis dan lokasi fraktur antebrachii, usia dan
status kesehatan individu serta adanya cedera secara bersamaan. Pemulihan
umumnya memang sudah dijangka, namun, individu-individu di atas usia 60
dengan fraktur antebrachii tertutup memiliki tingkat kematian 17%. Tingkat
non-union adalah sekitar 1%. Masalah permanen dengan gaya berjalan
mungkin terjadi, dan kecacatan/deformitas dapat diakibatkan dari cedera lain
yang berkelanjutan pada saat fraktur.
47
DAFTAR PUSTAKA
48