Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh :

Ratu Permata 1410221014


Rifqi Alridjal 1410221054
Sundari Mahendrasari 1410221057

Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Pada tanggal, Februari 2015

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Ratu Permata 1410221014


Rifqi Alridjal 1410221054
Sundari Mahendrasari 1410221057

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : TN. A
Usia : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Berjualan (usaha warteg)
Alamat : Kalikajar RT 3/5 Kalihondang, Kab. Purbalingga
Tanggal masuk : Sabtu, 21 Februari 2015 IGD pukul 19.11
Tanggal periksa : 23 Februari 2015
No. CM : 00931941

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama : Sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas dirasakan sejak ±2 minggu sebelum masuk RSMS.
Sesak napas dirasakan hilang-timbul. Sesak napas dirasakan seperti
napas pendek dan tidak berbunyi “mengi” seperti orang asma. Sesak
dirasakan semakin lama semakin sering timbul dan semakin memberat,
bahkan sekarang sesak dapat timbul meskipun pasien hanya
beraktivitas ringan. Keluhan memberat terutama saat pasien
beraktivitas dan pagi hari. Keluhan sesak napas akan berkurang bila
pasien beristirahat. Pasien mengaku sering merasa lelah dan napas
terengah-engah jika beraktivitas.
Selain itu, pasien juga mengeluh batuk. Batuk dirasakan sejak
> 1 bulan. Batuk disertai dahak berwarna kuning. Keluhan batuk
dirasakan hilang timbul dan dirasakan semakin memberat saat sesak
mulai timbul.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui pasien
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat OAT : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat asma : diakui pasien
g. Riwayat jantung : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat jantung : disangkal
5. Riwayat sosial ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan dengan jumlah penduduk yang cukup
padat. Jarak antar rumah pasien dengan tetangga bersebelahan.
Rumah pasien berdekatan dengan jalan raya.
b. Home
Pasien tinggal bersama isteri dan anaknya. Pasien mempunyai 2
anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Rumah berukuan sedang,
lantai plester, berdinding dan memiliki 3 kamar. Rumah memiliki
jendela dan ventilasi yang memadai, serta cukup dalam
pencahayaan. Disamping rumah dibangun warteg oleh pasien dan
dikelola oleh seluruh anggota keluarga.

4
c. Occupational
Pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 1 bulan SMRS karena
keluhannya. Dahulu pasien bekerja berjualan warteg di samping
rumah dan dikelola oleh seluruh anggota keluarga. Sekarang yang
berjualan hanya isteri dan anak-anaknya.
d. Personal habit
Pasien makan sehari 3 kali dengan menu seadanya yang tidak
variatif sisa berjualan di warteg. Pasien mempunyai kebiasaan
merokok. Pasien mulai merokok sejak kelas 6 SD (umur 12 tahun)
dan dapat menghabiskan 1 bungkus rokok (12 batang) per hari.
Pasien sudah tidak merokok sejak 1 bulan SMRS (usia 41 tahun)
karena keluhan yang dirasakannya. Indeks Brinkman (IB) = lama
merokok (tahun) x jumlah rata-rata rokok yang dihisap sehari
(batang). Indeks Brinkman (IB) = (41-12) x 12 = 348  Perokok
sedang.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : tampak sesak
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c. Tanda vital : TD = 110/70 mmHg N = 80 x/menit,
RR = 28 x/menit S = 36oC
d. Status generalis
a) Kepala
- bentuk : mesochepal, simetris
- rambut : warna hitam dengan beberapa putih,
distribusi merata, tidak mudah
dicabut, rontok (-)
- nyeri tekan : (-)

5
b) Mata
- palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- konjungtiva : anemis (-/-)
- sclera : ikterik (-/-)
- pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
- exopthalmus : (-/-)
- lapang pandang : tidak ada kelainan
- lensa : keruh (-/-)
- gerak mata : normal
- tekanan bola mata : nomal
- nistagmus : (-/-)
c) Telinga : otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri
tekan (-/-)
d) Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas
(-/-), discharge (-/-)
e) Mulut
- bibir : sianosis (-), kering (-), pursed-lips
breathing (+)
- lidah : sianosis (-), kotor (-)
f) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat (5+2 cmH2O)
e. Status lokalis
a) Paru
- inspeksi : bentuk dada normal, simetris (+),
barrel chest (-), ketinggalan gerak
(-), retraksi otot bantu pernapasan
(-/-), pelebaran sela iga (-/-)

6
- palpasi : vokal fremitus apek kanan = kiri,
vokal fremitus basal kanan = kiri,
pelebaran sela iga (-/-)
- perkusi : sonor pada kedua hemithorax (+),
hipersonor (-/-)
- auskultasi : SD vesikuler (+/+), ronkhi basah
halus (-/-), ronkhi basah kasar (+/+),
Wheezing (-/-)
b) Jantung
- inspeksi : pulsasi ictus cordis terlihat di SIC
VI LMCS
- palpasi : ictus cordis teraba di SIC VI LMCS,
kuat angkat (-)
- perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II
LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II
LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC V
LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V
LMCS
- auskultasi : bunyi S1>S2, reguler, murmur (-),
gallops (-)
c) Abdomen
- inspeksi : datar, tidak ada benjolan, striae (-)
- auskultasi : bising usus (+) normal
- perkusi : tympani,tes pekak sisi (-), pekak
beralih (-)
- palpasi : hepar dan lien tidak teraba
d) Ekstrimitas
- superior : edema (-/-), sianosis (-)
- inferior : edema (-/-), sianosis (-)

7
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap (dilakukan di RSMS Purwokerto)
21 Februari 2015
Hemoglobin : 16,4 g/dl
Leukosit : 9190 uL
Hematokrit : 44 %
Eritrosit : 5,5 10^6/uL
Trombosit : 310.000/uL
Hitung Jenis
Basofil : 0,7%
Eosinofil : 3,7%
Batang : 0,4 % L
Segmen : 73,9 % H
Limfosit : 12,5 % L
Monosit : 8,8 % H
Kimia Klinik
Ureum : 36
Kreatinin : 0.83
GDS : 127
b. Pemeriksaan Foto Thoraks (dilakukan di RSMS Purwokerto)
21 Februari 2015

8
Hasil :
Cor tidak membesar CTR < 50%
Aorta dan mediastinum tidak membesar
Trakea di tengah
Hilus tidak menebal
Corakan bronkovaskuler paru baik
Adanya konsolidasi homogen paracardial kanan
Sudut costofrenikus kanan kiri lancip
Kesan :
Cor tak membesar
bronkopneumoni

IV. ASSESSMENT
Diagnosis :
- PPOK
- CAP

V. PLANING
1. Terapi farmakologis
a. O2 4 lpm
b. Nebulizer ventolin + flixotide / 8 jam
c. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
d. Inj. Metilprednisolon 3 x 6,25 mg
e. PO Seretide 2 x 100 mg
f. Spiriva 1 x 1 puff
g. PO Terasma 3 x 1 cth
2. Terapi non farmakologis
a. Edukasi, meliputi :
pengetahuan dasar tentang PPOK,
obat-obatan, manfaat, dan efek sampingnya,
menghindari faktor pencetus,
penyesuaian aktivitas

9
b. Berhenti merokok
c. Rehabilitasi PPOK

VI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai
efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI,
2011).
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK
seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang
lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai
petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya. Dampak PPOK pada
setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya sesak dan penurunan
kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya. Hal tersebut
tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara (PDPI, 2011).
Bronchitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK
karena emfisema merupakan diagnosis patologis dan bronchitis kronik
merupakan diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan
hambatan aliran udara dalam saluran napas (PDPI, 2011).

B. Epidemiologi dan Insidensi


Menurut data Surkernas tahun 2001, penyakit pernapasan (termasuk
PPOK) merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK
meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada
pria dari pada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara
dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok
merupakan faktor risiko utama. Di AS, penyakit ini merupakan penyebab
kematian ke-4, di mana angka kesakitannya meningkat dengan usia dan
lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian akibat PPOK sangat rendah

11
pada pasien usia dibawah 45 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya
usia.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.
Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(PDPI, 2011).

C. Faktor Risiko
Faktor resiko PPOK (PDPI, 2011) :
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
PPOK.
a. Polusi di dalam ruangan: asap kompur (tungku)

12
b. Polusi di luar ruangan: gas buangan kendaraan bermotor, debu
jalanan
c. Polusi tempat kerja: bahan kimia, zat iritasi, gas beracun
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya, sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Ketidakseimbangan antara
oksidan dan antioksidan memegang peran penting pada PPOK.
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Sosial ekonomi
6. Tumbuh kembang paru
7. Asma
8. Gen

D. Patogenesis
Paradigma terkini tentang patogenesis dari PPOK adalah bahwa
hambatan aliran udara napas kronik dihasilkan oleh suatu respon
inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran
napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga di deteksi
pada sirkulasi sistemik. Banyak penelitian menemukan bahwa respon
inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan
peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi
oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti
leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif
disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel
inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+
tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe
paratrakeal (Agusti, 2007).

Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan
melepaskan netrofil, IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag

13
dan netrofil mengeluarkan zat-zat protease seperti netrofil elastase,
capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding
alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli
terjadinya hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel
epitel di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya
CD8 yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan
juga dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi, salah
satunya TNFα. Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan
pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya
fibrosis. Fibroblas akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan
oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan
diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan
Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP). Karakteristik PPOK adalah
peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai
struktur vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan
makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang
teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4,
IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau
mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2
proses lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu
keseimbangan proteinase – antiproteinase dan keseimbangan beban
oksidan dan antioksidan (Rennard, 2002).
Mekanisme obstruksi saluran napas adalah obstruksi oleh sekret
pada saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai
penebalan kelenjar-kelenjar, submukosa, secara potensial merupakan
komponen obstruksi saluran napas yang reversibel. Reaksi oksidasi stress
dari asap rokok atau dari sel inflamasi memiliki beberapa efek antara
lain : menurunkan aktivitas dari antiprotease, mengaktivasi Nuklear factor
kB, meningkatkan sekresi sitokin IL8, meningkatkan produksi TNFα,
meningkatkan isoprotanase yang berperan dalam bronkokontriksi dan
kebocoran plasma dan efek langsung terhadap saluran napas
(bronkokontriksi) (GOLD, 2010).

14
Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK

E. Manifestasi Klinis
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat :
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP 1) /Kapasitas
Vital Paksa(KVP)< 70%; VEP1> 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang
tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;
50% < VEP1< 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

4. Derajat IV: PPOK sangat berat

15
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, seperti berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (PDPI, 2011)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1) Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
2) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
3) Adanya enggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
7) Penampilan pink puffer atau blue bloater (PDPI, 2011)
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi

16
1) suara napas vesikuler normal, atau melemah
2) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
3) ekspirasi memanjang
4) bunyi jantung terdengar jauh
(PDPI, 2003)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
i. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % )
dan atau VEP1/KVP ( % ).
ii. Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
iii. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
iv. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%
b) Uji bronkodilator
i. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila
tidak ada gunakan APE meter.
ii. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak
8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
iii. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2) Darah rutin : Hemoglobin, hematokrit, leukosit

17
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
a) Hiperinflasi
b) Hiperlusen
c) Ruang retrosternal melebar
d) Diafragma mendatar
e) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop /
eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
a) Normal
b) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus
1) Faal paru
a) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
b) DLCO menurun pada emfisema
c) Raw meningkat pada bronkitis kronik
d) Sgaw meningkat
e) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
a) Sepeda statis (ergocycle)
b) Jentera (treadmill)
c) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per
hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1

18
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a) Gagal napas kronik stabil
b) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
a) CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
foto toraks polos
b) Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
9) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.

G. Klasifikasi

19
Tabel klasifikasi PPOK menurut PDPI (2003)

H. Algoritma Penatalaksanaan PPOK


a. PPOK stabil ringan

20
21
b. PPOK stabil sedang-berat

c. Eksaserbasi (penatalaksanaan di rumah dan pelayanan kesehatan


primer)

22
I. Diet pada PPOK
Diet pada pasien dengan PPOK harus diperhatikan hal-hal berikut.
a. Rendah karbohidrat
Nutrisi tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat menurunkan
kegagalan obstruksi saluran nafas kronik. Pemberian diet tinggi
karbohidrat dengan cara nutrisi parenteral total dilaporkan
menyebabkan peningkatan produksi CO2 yang bermakna dan
mencetuskan gagal napas. Pemberian diet tinggi karbohidrat tidak
dianjurkan pada penderita PPOK. Kebutuhan karbohidrat pasien PPOK
selama fase stabilisasi adalah 35-50%, sedangkan pada fase pemulihan
adalah 55-65%.
b. Tinggi protein
Protein merupakan makronutrien penting bagi pasien PPOK
karena berperan dalam banyak mekanisme tubuh. Protein merupakan
bahan dasar pembentukan antibodi untuk melawan infeksi.
Kekurangan protein dan buruknya nutrisi secara umum dapat
memperburuk kemampuan paru dalam melawan infeksi pada pasien
PPOK. Sumber utama protein dalah daging, ikan, telur, unggas,
kacang-kacangan, dan produk susu (COPD Foundation, 2014).
c. Rendah lemak
Lemak berlebih dapat menyebabkan hipersekresi mukus
saluran pernapasan serta produksi mukus yang kental. Hal ini dapat
menyebabkan penyempitan saluran nafas semakin bertambah dan
dapat mengakibatkan respon batuk yang berlebihan. Selain itu,
obesitas (yang umumnya disebabkan oleh diet tinggi lemak) dapat
meningkatkan resiko terjadinya obstructive sleep apnea (OSA) pada
pasien PPOK (COPD Foundation, 2014).
d. Cairan yang cukup
Minum air yang cukup merupakan hal penting dalam proses
pembersihan dan pengurangan sekresi pulmonal. Selain itu, pemberian
air minum yang cukup pada pasien PPOK yang sedang mendapatkan
terapi oksigen dapat mengurangi keringnya membran mukosa saluran

23
pernapasan dan iritasi akibat oksigenasi. Jumlah asupan cairan pada
pasien PPOK adalah 8-12 gelas air setiap hari. Air putih merupakan
sumber cairan paling penting. Susu, buah, jus, kopi bebas kafein, dan
teh juga merupakan pilihan baik bagi pasien PPOK (COPD
Foundation, 2014).
e. Rendah garam
Natrium merupakan elektrolit yang mampu mengubah
kepekatan dan gradien konsentrasi cairan tubuh sehingga terjadi retensi
cairan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
memperpendek pernafasan. Retensi cairan juga dapat menyebaban
edema pada paru yang dapat memperberat PPOK (COPD Foundation,
2014).
f. Kalsium
Kalsium bersama dengan magnesium bekerja pada regulasi
fungsi paru, konstraksi otot-otot pernafasan. Kalsium memiliki juga
peran penting dalam pengaturan kekuatan massa tulang, penghantaran
impuls saraf, dan regulasi sistem imun. Asupan yang dianjurkan adalah
1000 mg per hari untuk usia 50 tahun ke bawah, dan 1200 mg per hari
untuk usia di atas 50 tahun (COPD Foundation, 2014).
Resiko terjadinya osteoporosis meningkat pada pasien dengan
PPOK. Selain itu, penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK juga
dapat meningkatkan resiko osteoporosis dengan mengganggu regulasi
hormonal pada simpanan kalsium tulang (COPD Foundation, 2014).
g. Vitamin D
Kalsium tidak mudah diasorbsi tanpa kehadiran vitamin D.
Asupan yang direkomendasikan adalah 200 IU (5 µg) per hari untuk
usia ≤ 50 tahun, 400 IU (10 µg) per hari untuk usia 51-70 tahun, dan
600 IU (15 µg) per hari untuk usia > 70 tahun. Kelebihan vitamin D
dapat menyebabkan nausea, vomiting, kurang nafsu makan, konstipasi,
kelemahan, dan penurunan berat badan (COPD Foundation, 2014).

24
h. Magnesium
Magnesium merupakan mineral yang penting dalam
mekanisme pembekuan darah, kontraksi otot, dan sintesis protein.
Bersama kalsium, magnesium bekerja dalam pengaturan aktivitas
bronkus. Magnesium dan kalsium memiliki efek yang mirip seperti
antihistamin. Kadar magnesium yang rendah dapat menyebabkan
lemahnya kekuatan otot. Pada pasien dengan PPOK, kelemahan otot
ini paling bermakna pada otot-otot pernapasan (COPD Foundation,
2014).
Asupan harian yang dianjurkan adalah:
- Usia 19-30 tahun : 400 mg/hari (laki-laki)
310 mg/hari (perempuan)
- Usia > 30 tahun : 420 mg/hari (laki-laki)
320 mg/hari (perempuan)

J. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
a. Hindari asap rokok
b. Hindari polusi udara
c. Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
a. Berhenti merokok
b. Menggunakan obat-obatan adekuat
c. Mencegah eksaserbasi berulang
(PDPI, 2011)

25
K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
c) Gagal napas kronik
d) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Tanda dari gagal napas akut adalah sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam dan penurunan
kesadaran
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.
Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai dengan P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan
(PDPI, 2011)

L. Prognosis
PPOK biasanya secara bertahap semakin memburuk dari waktu ke
waktu dan dapat menyebabkan kematian. Tingkat di mana parahnya
bervariasi antara individu. Faktor-faktor yang memprediksi prognosis yang
lebih buruk adalah (PDPI,2003):
1. Parah obstruksi aliran udara (FEV rendah 1)
2. Miskin menggunakan kapasitas
3. Sesak napas
4. Secara signifikan kurus atau gemuk
5. Komplikasi seperti kegagalan pernapasan atau pulmonale cor
6. Lanjutan merokok

26
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. PPOK
- Subjective
Sesak napas dirasakan sejak ±2 minggu sebelum masuk
RSMS. Sesak progresif (bertambah berat seiring berjalannya
waktu), bertambah dengan aktivitas, persisten (menetap sepanjang
hari), Pasien mengaku sering merasa lelah dan napas terengah-
engah jika beraktivitas, batuk kronik berdahak. faktor risiko, yaitu
paparan asap rokok (sebagai perokok aktif), polusi di luar ruangan
(gas buang kendaraan bermotor), sosial ekonomi (pemukiman yang
padat), dan riwayat asma. Indeks Brinkman (IB) = (41-12) x 12 =
348  Perokok sedang.
- Objective
Pemeriksaan fisik : gambaran pursed-lips breathing (mulut
mencucu)
Pemeriksaan lab : neutrofil segmen meningkat (73,9 %)
2. CAP
- Subjective
Trias pneumonia : batuk, sesak, demam (sebelumnya riwayat
demam SMRS).
Pada pasien, batuk berdahak warna kuning sejak 10 hari SMRS.
Faktor resiko : merokok, penyakit penyerta PPOK
- Objective
Pemeriksaan fisik : respirasi meningkat tipe cepat dan dangkal (RR
= 28 x/menit)
Pemeriksaan lab : hitung jenis leukosit (Sift to the left)
Rongen thorax : Adanya konsolidasi homogen paracardial kanan

27
B. Terapi
1. O2 4 lpm
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lain. Manfaat oksigen antara lain : mengurangi sesak, memperbaiki
aktivitas, mengurangi hipertensi pulmoner, mengurangi vasokonstriksi,
mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropskiatri, dan
meningkatkan kualitas hidup (PDPI, 2011).
2. Nebulizer ventolin + flixotide / 8 jam
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ceftriaxone merupakan sefalosporin golongan ketiga.
Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi
pertama lerhadap kokus gram-positif, tetapi jauh lebih aktil terhadap
Enterobacte riaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Di antara
sediaan golongan ini ada yang aktif terhadap Ps. Aeruginosa
(Gunawan, 2009).
Ceftriaxcone dosis tinggi merupakan pemilihan antibiotik pada
pneumonia Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
(PDPI, 2003).
4. Inj. Metilprednisolon 3 x 6,25 mg
Kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan
prednisone 30 mg/hari selama 1-2 minggu. Pada derajat berat
diberikan secara intravena (PDPI, 2011).
5. PO Seretide 2 x 100 mg
Seretide merupakan terapi regular untuk penyakit obstruktif saluran
napas yang reversibel, mencakup asma pada dewasa dan anak, serta
terapi regular untuk PPOK termasuk bronchitis kronik dan emfisema
(MIMS, 2013/2014).

28
6. Spiriva 1 x 1 puff
Indikasi spiriva adalah terapi rumatan untuk PPOK, dispneu, dan
mencegah eksaserbasi (MIMS, 2013/2014).
7. PO Terasma 3 x 1 cth
Untuk bronkospasme reversibel karena bronchitis atau emfisema
(MIMS, 2013/2014).

29
BAB IV
KESIMPULAN

1. PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh :


a. hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible
b. bersifat progresif
c. berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun atau berbahaya
2. Faktor resiko terbesar terjadinya PPOK adalah dari gaya hidup dan
lingkungan, dengan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok dan
menggunakan masker pada tempat berasap dan berpolusi akan meringankan
gejala dan progresifitas PPOK.
3. Penegakan diagnosis PPOK adalah dengan mengidentifikasi faktor resiko
(khususnya paparan polusi udara yang lama terutama rokok), keluhan yang
khas (gangguan nafas atau sesak yang bersifat progresif), pemeriksaan fisik
yang khas (tanda-tanda bronkitis kronik dan/atau emfisema), pemeriksaan
radiologi (khusus pada tipe emfisematus), dan dengan pemeriksaan spirometri
atau uji bronkodilator.
4. Diet pada pasien PPOK adalah dengan memperhatikan asupan makanan,
terutama kecukupan karbohidrat, protein, cairan, dan beberapa elektrolit
seperti kalsium, vitamin D, dan magnesium. Lemak dan garam harus dibatasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Agusti, A.G.N, A. Noguera, J. Sauleda, E. Sala, J. Pons, X. Busquets. 2003.


Systemic Effect on Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Eur Respir J.
21: 347-360.
COPD Foundation. 2014. COPD Diet Guidlines: Protein, Calcium, Reducing
Sodium, and More. Diakses dari www.webmd.com.
Gunawan, Sulistia Gan. (ed.) 2009. Farmakologi dan Terapi, ed. 5 Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta : Gaya Baru.
GOLD. 2010. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: GOLD.
MIMS Petunjuk Konsultasi Ed. 13. 2013/2014.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Penyakit Paru obstruktif kronik :
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Hal 2-27.
Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.
Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishings
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medical-bedah
Brunner & Suddarth, vol:1. Jakarta: EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai