Oleh :
Pembimbing :
2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh :
Disetujui oleh :
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. D
Usia : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jl. Mak Jambek RT.02, Arut Selatan, Kotawaringin Barat
Tanggal masuk : 03 Maret 2023
No. RM : 326405
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Badan terasa lemas
3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sebelum sakit seperti ini pasien pernah dirawat di
RSUD Sultan Imanuddin pada tanggal 1 sampai 4 Februari 2023 dan
menunjukkan resume medis perawatan dengan diagnosis General Weakness + TB
Paru + Suspek HIV, dan saat ini pasien sedang menjalani pengobatan TB Paru
dengan mengkonsumsi OAT FDC selama 1 bulan terhitung sejak perawatan
terakhir, pasien mengatakan meminum OAT secara rutin. Pasien mengatakan
belum pernah mengalami penyakit yang dialami saat ini sebelumnya.
4
b. Rumah
Pasien tinggal bersama dua orang saudara. Rumah pasien terdiri dari 2 kamar
dengan ukuran sedang tipe 36. Rumah berisikan 3 orang. Rumah pasien
berdinding tembok, ventilasi hanya 2 jendela yang ada di ruang tamu depan dan
jarang sekali dibuka, lantai terbuat dari ubin dan pencahayaan di dalam rumah
kurang baik.
c. Pekerjaan
Pasien saat ini tidak bekerja. Pasien dulunya adalah seorang pekerja di bagian
transportasi barang. Jam kerja pasien tidak menentu tergantung pada perintah
kerja dari perusahaan. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dan kesehatan saat ini
dibiayai oleh kedua saudara dan diri sendiri.
d. Kebiasaan Pribadi
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari sebelum pasien sakit. Tetapi
semenjak pasien sakit pasien tidak nafsu makan sehari hanya makan 1x dan tidak
bersemangat menjalani aktivitas sehari-hari dan hanya tidur-tiduran dirumah.
Pasien mengaku jarang berolahraga. Pasien dulunya memiliki kebiasaan
membuat tato di badannya, dan berhubungan badan berganti-ganti pasangan tanpa
menggunakan alat kontrasepsi.
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c. BB : 45 kg
d. TB : 167 cm
e. IMT : 16,1 kg/m2
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 80/60 mmHg
5
- Nadi : 110x/menit
- RR : 21x/menit
- Suhu : 36,5 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : normochepali, simetris
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
- distribusi merata, tidak rontok
- Nyeri tekan : (-)
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
- Exophthalmos : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : nomal
- Nistagmus : (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
6
- bibir kering (+)
- lidah kotor (-)
- Oral Thrush (+)
6) Leher
- Trakea : deviasi trakea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, 5-2 cmH20
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (+), jejas (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak mendatar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
7
- Perkusi : tympani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar
9) Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
8
2. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen thorax (dilakukan di RSUD Sultan Imanuddin pada tanggal 03
Maret 2023)
Cor tidak melebar (CRT : < 50%)
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo: Hili tertutup perselubungan, corakan bronkovaskuler sulit dinilai, Tampak
perselubungan opak inhomogen di lapang atas sampai bawah paru bilateral
dengan air bronchogram (+).
KESAN :
- Pneumonia paru bilateral dd/ TB paru aktif
- Tidak tampak kardiomegali
9
b. Pemeriksaan darah lengkap (dilakukan di RSUD Sultan Imanuddin pada tanggal
03 Maret 2023)
Darah lengkap
10
IV. RESUME
Tn D usia 56 tahun datang dengan keluhan lemas, lemas terasa
memberat dan tidak berkurang dengan istirahat, keluhan disertai dengan
berkurangnya nafsu makan, batuk berdahak kental, keringat malam, suhu
tubuh yang tidak terlalu panas, mual disertai muntah, dan penurunan berat
badan. Pasien memiliki riwayat dirawat pada bulan Februari dengan
diagnosis General Weakness + TB Paru + Suspek HIV dan saat ini sedang
menjalani pengobatan TB fase intensif sudah berjalan 1 bulan. Pasien dulu
memiliki riwayat melakukan hubungan seks berganti pasangan tanpa
menggunakan kondom dan membuat tato pada tubuh pasien.
11
V. ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
- Syok Sepsis (frekuensi nadi >90 kpm, RR > 20 kpm, terdapat
sumber infeksi)
- TB Paru dalam pengobatan fase intensif 1 bulan
- Suspek HIV
- Malnutrisi (IMT 16,1 kg/m2, kesan Underweight)
- Anemia
- Dispepsia
2. Diagnosis Banding
- Syok Hipovolemik
- Pneumonia
VI. PLANNING
1. Diagnosis Kerja:
Syok Sepsis, TB paru dalam pengobatan, Suspek HIV, Malnutrisi,
Anemia, Dispepsia
2. Pro rawat inap atas indikasi Syok Sepsis
3. Terapi
a. Farmakologi
Memberikan obat-obatan simptomatis
- NaCl 0,9% 500cc loading i.v
- Pantoprazole 40 mg i.v
- Pro Transfusi PRC 1 unit/ hari i.v
- Po. OAT 4FDC 1x3 tab p.o tahap intensif dilanjutkan
selama 1 bulan
b. Non Farmakologi
- Berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Paru dan Tim VCT
untuk terapi lebih lanjut.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bila pasien perlu
dirawat untuk memperbaiki kondisi vital pasien saat ini
12
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit Syok Sepsis,
TB paru dengan HIV, pengobatan, penularan, dan
komplikasinya.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa diperlukan
pemeriksaan VCT (Voluntary Counseling and Testing)
untuk memastikan status infeksi virus HIV pada pasien.
- Makan makanan yang akan disediakan oleh ahli gizi rumah
sakit.
- Screening pada anggota keluarga yang lain untuk tindakan
pencegahan dan pengobatan lebih awal jika keluarga lain
sudah tertular.
- Edukasi tentang kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi sesering mungkin agar sinar matahari dan udara
masuk.
- Edukasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi sebelum
melakukan hubungan seks dan bahaya penggunaan jarum
tidak steril
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
- Kimia klinik
(Albumin, Ureum, Kreatinin, SGOT, SGPT)
b. Uji kultur bakteri sputum sewaktu pagi sewaktu
c. Uji resistensi obat OAT
d. Uji HIV
5. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
13
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan
fisik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan
d. Evaluasi bakteriologis
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan (setelah 4 bulan fase lanjutan)
e. Evaluasi radiologi
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
- Periksa GDS
- Pemeriksaan visus
6. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat (PMO)
c. Umur pasien
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tuberkulosis Paru
15
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik
juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopidan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau
pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel
kecil berdiameter 1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat
sangat infeksius, dan dapat bertahan didalam udara sampai 4 jam. Karena
ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai
ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan replikasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan
hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB
ekstra paru hampirselalutidak infeksius,kecuali bila penderita juga memiliki TB
paru. Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri
yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan
transmisi ke organisme lain.
16
lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan
cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama didalam keadaan yang
gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga
paparan tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada
kondisi imun individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak
akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% darikasus akan menjadi
penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan
setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua
tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok
dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan
lanjut usia.
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif
dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50- 60% orang
dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang
aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun
mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan
penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka
panjang.
17
D. Patogenesis Tuberkulosis Paru
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin
ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host
yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2- 12 minggu
dan jumlahnya akan mencapai 103- 104 , yang merupakan jumlah yang
cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat
dideteksidalam reaksipada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan
merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan
kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun.
18
19
1. TB Primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.
Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan
sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada
individu yang belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang
mengandung basili yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada
paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior atau bagian atas
lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagosistosis oleh
makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid
yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi
didalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang
dihasilkandan bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun.
Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus.
20
menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaranklinis yang serupa dengan TB post primer.
2. TB Pasca Primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host
yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer.
Hal inidapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
21
E. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari
22
4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
23
Klasifikasi TB
2. Riwayat Pengobatan
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis
bila memakai obat program) .
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bilamemakai obat program) .
Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :
1) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap
pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB
episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan
reinfeksi).
2) Kasus pengobatan gagal adalah pasien yang
sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal
padaakhir pengobatan.
3) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama
24
lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai
hasil pengobatan.
4) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui atau tidak didokumentasikan.
5) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah
pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
sehinggatidak dapat dimasukkandalam salah satu kategori di atas.
25
4. Status HIV
a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki
hasil tes HIV-positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan diagnosis
TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftardi register HIV (register pra
ART atau register ART) .
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis
atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif
untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien
ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes
HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasitelah terdaftardalam register
HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus
kembali disesuaikan klasifikasinya.
G. Diagnosis Tuberkulosis
26
Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui sistem
pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada
daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisikasus TB
BTA positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif.
27
2. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molecular cepat)
Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA ini merupakan
metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di
Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya
dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM) .
Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen yang
berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2.
WHO merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi
resistan rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2
direkomendasikan untuk menggunakan second line line probe assay (SL-
LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat antituberkulosis
injeksi dan obat antituberkulosis golongan fluorokuinolon.
Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode resistensi OAT
lainnya saat ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang
tidak dapat diterapkan secara rutin karena memerlukan peralatan mahal
dan keahlian khusus dalam menganalisisnya. WHO telah merekomendasi
pemeriksaan molekularline probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada
specimen sputum.
28
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi
bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula
darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi
ginjal, dan lain-lain.
29
H. Pengobatan Tuberkulosis Paru
a. Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang adadalamtubuh pasiendan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu
pertama.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
30
kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
2 bulan 4 bulan
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5
31
1. Terapi Suportif Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam. Bila perlu dapat
diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
2. Terapi Suportif Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan atau komplikasi seperti:
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat
32
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu pekerjaannya
sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis pasien selama
pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat dideteksi segera dan
ditata laksana dengan tepat.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor
dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya
melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang
mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab
sebaiknya dihentikan pemberiannya.
33
Gambar 4. Efek Samping OAT 1
34
Gambar 5. Efek Samping OAT
35
bakteriologis, resistensi obat dan reaksi yang tidak diinginkan untuk
setiap pasien pada kartu berobat TB.
a. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang
buruk.
b. Kualitas OAT yang buruk.
c. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
d. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah
kuman yang banyak
e. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau
respons terapi.
f. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang tidak
memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.
36
pasien didapatkan TB dengan galur resistan obat maka pengobatan
dinyatakan “Gagal” kapanpun waktunya.
37
- Pasien dievaluasi secara periodik.
- Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis.
Sebelum pengobatan.
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan).
Pada akhir pengobatan.
38
II. Tuberkulosis Dengan HIV/AIDS
1. Gambaran Klinis
Pada orang dengan HIV AIDS (ODHA) adanya demam dan
penurunan berat badan merupakan gejala yang penting dapat
disertai dengan keluhan batuk berapapun lamanya. Tuberkulosis ekstra
paru perlu diwaspadai karena kejadiannya lebih sering dibandingkan TB
dengan HIV negatif. Adanya Tuberkulosis ekstra paru pada ODHA
merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.
2. Pemeriksaan sputum BTA dan TCM TB
Penegakan diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis sulit dan
pemeriksaan sputum BTA lebih sering negatif sehingga diperlukan
pemeriksaan TCM TB.
3. Pemeriksaan Biakan M. TB dan uji kepekaan OAT.
4. Foto toraks
Gambaran foto toraks TB pada pasien HIV stadium awal dapat
menyerupai gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun pada HIV
lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik dan dapat ditemukan
gambaran TB milier. Pemeriksaan foto toraks pada ODHA
merupakan pemeriksaan rutin untuk deteksi dini TB. Pada ODHA terduga TB,
pemeriksaan foto toraks dilakukan sejak awal bersamaan dengan
pemeriksaan BTA dan atau TCM TB.
5. Lipoarabinomannan (LAM)
Lipoarabinomannan (LAM) adalah glikolipid yang terdapat pada
dinding sel semua spesies mikobakteri. Pemeriksaan TB-LAM AG
lateral flow assay (LF-LAM) mendeteksi LAM di urin pasien HIV.
Pemeriksaan ini direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB
39
pada pasien HIV rawat inap dengan kadar CD4 ≤ 100 sel/μL dan pada
pasien yang sakit berat.
40
dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis
normal. Kedua obat tersebut bersifat hepatotoksik, maka perlu dipantau
fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila ODHA mempunyai kelainan hati
kronis maka pemberian kombinasi tersebut tidak direkomendasi.
41
1. Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) selama 6 bulan,
dengan dosis INH 300 mg/hari selama 6 bulan dan ditambah dengan
B6 dosis 25mg/hari.
2. Pengobatan Pencegahan dengan menggunakan Rifapentine dan
INH, seminggu sekali selama 12 minggu ( 12 dosis), dapat
digunakan sebagai alternatif. Dosis yang digunakanadalah INH 15 mg/BB
untuk usia > 12 tahundengan dosis maksimal 900 mg dan dosis Rifapentine
900 mg untuk usia >12 tahun dan BB > 50 Kg (untuk BB 32 – 50 kg =
750 mg)
42
DAFTAR PUSTAKA
43
WORLD HEALTH ORGANIZATION. WHO HANDBOOK FOR GUIDELINE
DEVELOPMENT. 2ND EDITION. ED. GENEVA: WORLD HEALTH
ORGANIZATION, 2014, P.XI, 167 PAGES.
44