Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

“SEORANG LAKI-LAKI USIA 58 TAHUN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK DAN HIPOGLIKEMIA”

PEMBIMBING :

dr. Said Baraba,Sp.PD, FINASIM

DISUSUN OLEH :

Mona Darmayanti

NIM: 030.15.116

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 28 OKTOBER 2019 – 04 JANUARI 2020


LEMBAR DIAJUKAN

Laporan Kasus dengan judul :

“SEORANG LAKI-LAKI USIA 58 TAHUN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK DAN HIPOGLIKEMIA”

Nama : Mona Darmayanti

NIM: 030.15.116

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal

Periode 28 Oktober 2019 – 04 Januari 2020

Tegal, Desember 2019

Pembimbing

dr. Said Baraba,Sp.PD, FINASIM

2
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Tanggal Lahir/Umur :57 Tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki


Alamat :Jl. Debong Kidul RT/RW 04/03, Tegal Selatan

Pekerjaan : Tukang Kayu

Agama : Islam

Status Pernikahan : Menikah

Asuransi : BPJS

Tanggal Dikasuskan : 22 Oktober 2019

Ruangan : Lavender Atas Wanita

1.2 Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 25 Oktober 2019 pada pukul 08.30


WIB di Bangsal Lavender Atas Pria RSUD Kardinah Tegal
 Keluhan Utama

Pasien mengeluh sesak sejak 2 hari SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang laki-laki berusia 57 tahun datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal
dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari SMRS. Sesak dirasakan terus-menerus
semakin lama semakin memberat. Pasien juga mengeluh cepat lelah, pasien
mengatakan cepat lelah dan sesak apabila melakukan aktivitas sehari-hari seperti
berjalan ±100 meter. Pasien mengatakan kaki bengkak sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan penyerta lain yang dirasakan pasien adalah nyeri ulu ati, mual, muntah ±3
kali berisi air dan nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal.
Keluhan pusing, demam, batuk pilek disangkal oleh pasien.

3
 Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal

b. Riwayat penyakit kuning : disangkal

c. Riwayat hipertensi : ada (terkontrol)

d. Riwayat diabetes militus : ada (terkontrol)

e. Riwayat penyakit jantung : disangkal

f. Riwayat alergi obat :disangkal

g. Riwayat trauma :disangkal

h. Riwayat keganasan : disangkal


 Riwayat Penyakit keluarga

a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal

b. Riwayat penyakit kuning :disangkal

c. Riwayat hipertensi :disangkal

d. Riwayat diabetes militus :disangkal

e. Riwayat penyakit jantung : disangkal

f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

 Riwayat Kebiasaan

a. Riwayat meminum obat-obat :disangkal

b. Riwayat minum alkohol : disangkal

c. Riwayat donor darah : disangkal

d. Riwayat merokok : sudah tidak merokok sejak ± 1 tahun

e. Riwayat olahraga : Jarang olahraga

 Riwayat Kehidupan Pribadi dan Sosial Ekonomi

4
Sehari-hari pasien sebagai tukang kayu, tinggal bersama istri . Penghasilan sehari-
hari didapatkan dari pendapatan harian dan suami, biaya pengobatan menggunakan
BPJS kelas 3.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, lemas, tampak ikterik.
Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 131x/menit
Respirasi : 34 x/menit
Suhu : 36,4 C axiler
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 158 cm
BMI : 20,02kg/m2 (Normal)

Status Generalis
Kepala Nomocephali, Rambut distribusi merata, tidak mudah
dicabut, warna rambut sedikit beruban.

Mata Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil


bulat, isokor, refleks pupil langsung dan tidak langsung
(+/+).

Hidung Bentuk dan ukuran normal, napas cuping hidung (-)


deviasi (-), septum nasal normal berada ditengah,
mukosa hiperemis (-), benda asing (-), sekret(-),
deformitas (-).

Telinga Normotia, serumen (-/-), hiperemis (-/-), liang kedua


telinga lapang, deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-),benda

5
asing (-/-).

Mulut Sianosis (-), deviasi lidah (-), atrofi lidah (-), lidah
kotor (-), mukosa mulut hiperemis (-), faring
hiperemis (-), letak uvula ditengah, tonsil T1/T1.

Leher JVP 5+2 (normal) , pembesaran tiroid (-), deviasi


trakea (-), pembesaran KGB leher dan
supraklavikular (-), pembesaran kelenjar parotis (-).

Thorax

Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.


Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 2 cm medial
dari linea midclavicularis sinistra (-)
Perkusi : Batas atas kanan : ICS II linea parasternalis
dextra.
Batas atas kiri : ICS II linea parasternalis sinistra.
Batas bawah kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas bawah kiri : ICS IV linea medio clavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo Inspeksi : kelainan bentuk dada (-), Gerak napas
simetris saat statis dan dinamis kanan dan kiri, spider
nevi (-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan =kiri
Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi: suara dasar trakea, bronkhial,
brokhovesikular, vesikular (+/+), Rhonki (-/-),
wheezing (-/-)

Abdomen Inspeksi : datar, ascites (-), Caput medusa (-)


Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani

6
Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan
kuadran kanan atas (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas Superior Inferior
Oedem -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+

Ulkus/sikatriks -/- -/-

Palmar eritema -/- -/-

Inguinal dan genital Tidak dilakukan pemeriksaan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium (22-11-2019)
HEMATOLOGI ( 2019)
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
CBC
Hemoglobin 10,6↓ g/dL 11,2-15,7
Leukosit 7,3 10^3/ul 4.4 - 11.3
Hematokit 32 ↓ % 37-47
Trombosit 222 10^3/ul 150 – 521
Eritrosit 3,65↓ 10^6/ul 4.5 – 5.9
RDW 17,9↑ 11.5 – 14.5
MCV 88,2 U 80 – 96
MCH 29,6 Peg 28 – 33
MCHC 33,5 g/dL 33 – 36
Diff
Neutrofil 82,8↑ 50 – 70
Limfosit 10,6↓ 25 – 40
Monosit 5,5 2–8
Eosinofil 1↓ 2–4
Basofil 0,1 0–1
KI MIA KLINIK
ELEKTROLIT
Natrium 135,4 mmol/L 135-145
Kalium 2,77↓ mmol/L 3.3-5.1

7
Klorida 99,3 mmol/L 96-106
SGOT 24,3 U/L < 34 u/l
SGPT 14,5 U/L <34 u/l
Ureum 72,8↑ mg/dL 21,0 - 43.0
Kreatinin 3,42↑ mg/dL 0.60-1.10
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Gula Darah Sewaktu I : 49 mg/dL
Gula Darah Sewaktu II : 98 mg/dL

SERO IMUNOLOGI ( 2019)


Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
SERO IMUNOLOGI
HBsAg Negatif Negatif

b. Rontgen Thoraks (23-11-2019)


COR : apeks jantung bergerser kelaterokaudal
Pulmo : corakan bronkovaskuler tampak meningkat disertai bluring vascular
Tampak bercak bentuk reticuler pada kedua lapangan paru
Tak tampak penebalan hilus kanan kiri
Sinus costopherenicus kanan dan kiri tampak suram
Tak tampak kelainan pada tulang maupun soft tissue
Kesan :
Cardiomegaly (LV)
Gambaran interstisial edema pulmonum
Effusi pleura dupleks

c. Daftar Abnormalitas
 Dispneu
 Anemia
 Abdomen nyeri tekan epigastrium
 Oedema pada kedua ekstremitas bawah
 Heboglobin menurun
 Hematokrit meningkat
 Eritrosit menurun
 RDW meningkat
8
 Neutrophil meningkat
 Limfosit menurun
 Eosinophil menurun
 Kalium menurun
 Ureum meningkat
 Kreatinin meningkat
 GDS menurun
 Cardiomegaly
 Effuse pluera

d. Daftar Masalah
1. CHF
2. CKD grade V
3. hipoglikemia

e. Diagnosis Kerja
1. CKD
2. CHF
3. Hipeglikemia

f. Tatalaksan Awal
- Tirah baring/ rawat inap
- O2 NRM 10-12 liter/menit
- Infus D10 10tpm
- Infus D40% 1 flash
- Injeksi Omeprazol 1amp/24 jam
- Injeksi extra Lasix 1 amp/12 jam
- P.O.:
- Callos 3x1 tab
- Aminefron 3 x 1 tab
- Asam Folat 3 x 1 tab
- Pemasangan DC

9
g. Pemecahan Masalah

Problem 1 : CKD
Ass: Untuk menghindari komplikasi seperti sirosis hepatis dan kanker hati
IPDx: Tes darah untuk alfa fetoprotein, USG, biopsi
IPRx: - Curcuma 3x1
- Vitamin B complex
IPEx : Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga, bahwa
pasien menderita Hepatitis B dan perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan apakah terdapat komplikasi atau
tidak. Pasien juga dianjurkan untuk bed rest
IPMx: Monitoring keadaan umum, tanda vital dan hepatoserologi

Problem 2: CKD
Ass: Akibat penyakit kronik sirosis hepatis
IPDx: USG, endoskopi
IPRx: Transfusi PRC sampai Hb ≥ 10 gr/dL
IPEx: Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai anemia akibat
komplikasi dari penyakit sirosis hepatis sehingga perlu
dilakukannya pemeriksaan penunjang untuk memastikan
komplikasi tersebur

IPMx: Pemeriksaan laboratorium ulang Hb post transfusi

Problem 3: Hipoglikemia
Ass: Akibat komplikasi dari sirosis hepatis dan hipoalbumin
IPDx: Pemeriksaan albumin, USG
IPRx - Furosemide 40 mg (2 ampul)
- KSR 2x1
- Albumin 25% 100 cc
IPEx : Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga, bahwa
asites pada pasien disebabkan karna komplikasi dari penyakit
sirosis hepatis dan hipoalbumin. Oleh karena itu perlu
10
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan albumin dan USG.
IPMx: Monitoring keadaan umum, albumin post koreksi, asites

h. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

Monitoring
Tanggal 23 November 2019

S : sesak (+), nyeri ulu hati (+), lemas (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan
menurun,
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Nadi : 103x/menit
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,6 C
SpO2 : 99%
Mata : Konjugtiva anemia (-/-), (+/+), Sklera ikterik (+/+)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut datar, Nyeri tekan epigastrium (+), Bising
usus (+)
Ekstremitas : Oedem pada ekstremitas bawah, Akral Hangat (+/+)
GDS : 114 mg/dL

A: CKD grade V, Hipoglikemia


P: - Infus D 10% 15 tpm
- Aminefron 3x1 tab
- Callos 3x1 tab
- Asam folat 3x1 tab
11
- Injeksi Ondansetron 2x1 amp
- Injeksi Ceftriaxon 2x1 amp

Tanggal 24 November 2019

S : sesak (+), lemas (+), nyeri ulu hati (+), lemas (+), mual (-), muntah (-),
nafsu makan menurun
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah :120/90 mmHg
Nadi :95x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5 C
SpO2 : 98%
Mata : Konjugtiva anemia (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : perut datar, Nyeri tekan epigastrium (+), Bising
usus(+)
Ekstremitas : Oedem pada ekstremitas bawah, Akral Hangat (+/+)
GDS : 261 mg/dL

A: CKD grade V, Hipoglikemi


P: - Aminefron 3x1 tab
- Callos 3x1 tab
- Asam folat 3x1 tab
- Injeksi Ondansetron 2x1 amp
- Injeksi Ceftriaxon 2x1 amp

Tanggal 25 November 2019

S : sesak berkurang(+), lemas (+), batuk berdahak (+),nyeri ulu hati (-), mual
(+), muntah (-), nafsu makan mulai membaik, BAB dan BAK lancar
O : KU : tampak sakit sedang
12
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah :110/70 mmHg
Nadi : 83x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,6 C
SpO2 : 98%
Mata : Konjugtiva anemia (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut datar, Nyeri tekan epigastrium (+), Bising
usus(+)
Ekstremitas : Oedem pada ekstremitas bawah, Akral Hangat (+/+)

A: CHF, CKD, Hipoglikemia


P: - Asam Folat 3x1 tab
- Aminefron 3x1 tab
- Callos 2x1 tab
- Antacid 3x1 tab
- Inj. Ondansetron 8 mg 2x1 amp
- Inj. Furosemid 2x1 amp
- Inj. Ceftriaxone 2x1 amp

Tanggal 26 November 2019

S : sesak berkurang (+), batuk kering (+), nyeri ulu hati (+), lemas (+), mual (+),
muntah (-), nafsu makan menurun
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 110/90 mmHg
Nadi : 83x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,6 C
SpO2 : 98%
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

13
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut datar, Nyeri tekan epigastrium (+), Bising
usus(+)
Ekstremitas : Oedem pada ekstremitas bawah, Akral Hangat (+/+)
GDS : 192 mg/dL

A: CHF, CKD, Hipoglikemia


P: - Asam Folat 3x1 tab
- Aminefron 3x1 tab
- Callos 2x1 tab
- Antacid 3x1 tab
- Inj. Ondansetron 8 mg 2x1 amp
- Inj. Furosemid 2x2 amp
- Inj. Ceftriaxone 2x1 amp

Tanggal 27 November 2019


S : sesak mulai berkurang,lemas (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan mulai
membaik
O : KU : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah :120/80 mmHg
Nadi :83x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,8 C
SpO2 : 98%
Mata : Konjugtiva anemia (-/-),Sklera ikterik (-/-)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut datar, Nyeri tekan epigastrium (+), Bising usus
(+)
Ekstremitas : Oedem pada ekstremitas bawah, Akral Hangat (+/+)
GDS : 274 mg/dL

14
A: CHF, CKD, Hipoglikemia
P: - Pasien pulang dan pasien menolak HD
- Furosemid 2x1 tab
- Ranitidin 2x1 tab
- Ondansetron 2x1 tab
- Nocid 3x1 tab

• Alur Keterkaitan Masalah

CKD

CHF Hipoglikemia

• Lembar Pemecahan Masalah

Tanggal Problem aktif


1. CKD
2. CHF
3. Hipoglikemia

15
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia secara fungsional didefinisi sebagai penurunan jumlah masa eritrosit


sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. anemia disebabkan oleh karena Gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, Kehilangan darah keluar tubuh
(perdarahan), Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(hemolisis).
Hepatitis adalah peradangan atau infeksi pada sel-sel hati. Penyebab hepatitis
yang paling sering virus, yang dapat menyebabkan pembengkakan dan pelunakan hati.
Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B yang bersifat akut atau kronik
dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibanding dengan penyakit hati
yang lain karena penyakit Hepatitis B ini tidak menunjukkan gejala yang jelas, hanya
sedikit warna kuning pada mata dan kulit disertai lesu. Penderita sering tidak sadar
bahwa sudah terinfeksi virus Hepatitis B dan tanpa sadar pula menularkan kepada
orang lain. Penularan virus hepatitis B dapat melalui cairan tubuh seseorang yang
terinfeksi seperti cairan semen, ludah, darah atau bahan yang berasal dari darah, lendir
kemaluan wanita, darah menstruasi, dan cairan tubuh lainnya.1
Virus hepatitis B menyebabkan infeksi kronis yang menyerang sekitar 400 juta
orang di dunia, dengan perkiraan 1 juta kematian setiap tahun karena sirosis dan
hepatoselular karsinoma. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit semakin meningkat pada penduduk berusia
diatas 15 tahun. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah
hepatitis B (21,8 %). 2
Hepatitis B akut adalah diagnosis klinis yang teridentifikasi dari adanya
HBsAg, gejala, tingginya serum aminotransferase. Diagnosis infeksi kronis
berdasarkan adanya HBsAg lebih dari 6 bulan.3
Tingginya angka infeksi hepatitis B serta angka kematian yang dikarenakan
sirosis dan hepatoselular karsinoma dapat dikaitkan dengan rendahnya angka
keberhasilan terapi pasien hepatitis B. Hasil pengobatan hepatitis B yang sampai saat
ini belum optimal, mengakibatkan sebagian kasus hepatitis B berlanjut ke sirosis hati
dan kanker hati walaupun sebagian besar kasus hepatitis B akan semb

4
BAB II

ANALISIS KASUS

• Hepatitis B
Penegakaan diagnosis hepatitis b dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.Pada anamnesis didapatkan keluhan BAK yang berwarna
seperti teh dan keluhan kuning. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan HBsAg positif dan peningkatan pada SGOT dan
SGPT.

• Anemia Normositik Normokrom


Penegakkan diagnosis anemia dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan utama Ny.S
adalah lemas sejak 2 minggu SMRS. Anemia secara fungsional didefinisi sebagai
penurunan jumlah hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Gejala dari anemia
adalah mudah lelah, letih, lesu dan konsenterasi berkurang. Pada pemeriksaan fisik
anemia didapatkan wajah pucat dan conjungtiva anemis. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan Hb 6,3 g/dl, Ht 19 %.

• Asites
Penegakaan diagnosis asites dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan Ny.S berupa
bengkak pada perut dan kedua kakinya sejak 3 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan asites dan oedema pitting pada kedua ekstremitas bawahnya. Pada
pemeriksaan penunjang juga ditemukan adanya penurunan pada albumin serum.

5
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)


3.1.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Panyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan
patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda
kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik :

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronis (1,2)


1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3
bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes
pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari
2
60ml/menit.1,73m selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

3.1.2 Anatomi Ginjal


Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang peritonium. Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebra thorakalis 8 terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.(2)

6
Gambar 1.1 Anatomi Ginjal tampak depan.

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan


tebalnya antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai
150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap
ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal
semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar
suprarenal.2
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur-setruktur
ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah
luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian
yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke
hilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan dengan pelvis ginjal.(2)

Gambar 1.2 Potongan vertikal ginjal

7
Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal.
Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi/Glomerulus)
yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang
berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan
pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang
disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua
yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan
melintasi korteks dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.(2)

Gambar 1.3 Bagian miskroskopik dinjal

Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-
cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-
masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen
kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang
membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini
kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah
kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua
kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling tubulus
urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.2

8
3.1.3 Fisiologi Ginjal

Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin
menurut Syaeifudin (2006).
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain
dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagi organ ekresi dan non
ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja
sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal.
Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan
darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai
hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal
juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang
dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.

b. Proses pembentukan urin.


Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian
akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006) :
1. Proses Filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian
yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring
disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida
sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

2. Proses Reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang
dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal.

9
Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.

3. Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan pada
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke vesika urinaria.

3.1.4 Etiologi

Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh bermacam-macam hal:


1. Glomerulonefritis akibat infeksi (endokarditis bakterialis, hepatitis C,
hepatitis B, HIV) atau yang bersifat kronis
2. Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
3. Hipertensi, penyakit nefrosklerosis
4. Uropati obkstruktif (batu saluran kemih, tumor, dan lain-lain)
5. Lupus eritematosus sistemik, amilodosis, penyakit ginjal polikistik
6. Penggunaan obat-obatan (obat anti inflamasi non steroid, antibiotik,
siklosporin, takrolimus)
Menurut Pernefri (2011), penyebab GGK paling banyak di Indonesia adalah
hipertensi (34 %), nefropati diabetika (27 %), dan glomerulopati primer (14 % ).

3.1.5 Epidemiologi

Data mengenai penyakit ginjal didapatkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), Indonesian Renal Registry (IRR), dan sumber data lain. Riskesdas 2013
mengumpulkan data responden yang didiagnosis dokter menderita penyakit gagal
ginjal kronis, juga beberapa faktor risiko penyakit ginjal yaitu hipertensi, diabetes
melitus dan obesitas.
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal
kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-
negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas
2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar
PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.

10
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
bawah masing-masing 0,3%.
Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar
0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 %.4

3.1.6 Klasifikasi CKD

Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO), tingkatan


penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1
Stadium Deskripsi LGF (mL/menit/1.73m3)
G1 Normal atau tinggi >90
G2 Penurunan ringan 60-89
G3A Penurunan ringan sedang 45-59
G3B Penurunan sedang berat 30-44
G4 Penurunan berat 15-29
G5 Gagal ginjal <15

3.1.7 Patofisiologi

 Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK
dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang
sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK
akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada
keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat
mempunya efek inhibisi eritropoiesis.7

11
 Dispnoe

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga


menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan
berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH 
peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis 
peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas.7

 Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar
bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal
ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah
nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin.
Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH
darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik
dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan
lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan
kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.7
 Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.7

12
 Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh


ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.7

 Hiperuricemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperuricemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak,
meradang dan nyeri.7

 Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air
yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.7

 Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,
fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar
larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit (
berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus).7

 Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam
plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak

13
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal,
eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di
plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH
tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar
paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.7

 Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan
dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan
motilitas saluran cerna dan kelainan mental.7

 Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein
berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g
protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.7

14
 Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran
darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari
10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan
menyebabkan koma uremikum.7

3.1.7 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai
dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, Kussmaul,
sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.

15
7. Psikososial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada
harga diri rendah , ansietas pada penyakit dan kematian.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat.
Dari kadar kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan estimasi laju filtrasi
glomerulus.
 Pemeriksaan elektrolit: dapat ditemukan hyperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia,dan hipermagnesemia.
 Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid (dapat ditemukan
hiperkolestrolemia, hipertrigliseridemia, LDL meningkat)
 Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3 menurun)
 Urinalisis dan pemeriksaan albumin urin

16
 Sedimen urin: sel tubulus ginjal, sedimen eritrosit, sedimen leukosit, sedimen
granuler kasar, dan adanya eritrosit yang dismorfik merupakan tanda
patognomonik jejas ginjal.
 Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam
 Pencitraan: USG binjal, BNO IVP, renogram
 Biopsi ginjal.3
Tingkat nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum akan meningkat pada
pasien dengan CKD. Hiperkalemia atau tingkat bikarbonat rendah. Kadar albumin
serum juga dapat diukur, karena pasien mungkin mengalami hipoalbuminemia
sebagai akibat hilangnya protein urin atau malnutrisi. Profil lipid harus dilakukan
pada semua pasien dengan CKD karena risiko penyakit kardiovaskular.
Rumus Cockcroft-Gault untuk memperkirakan bersihan kreatinin (CrCl) harus
digunakan secara rutin sebagai cara sederhana untuk memberikan perkiraan fungsi
ginjal residual yang dapat diandalkan pada semua pasien dengan CKD. Rumusnya
adalah sebagai berikut: 7
 CrCl (laki-laki) = ([140-usia] × BB kg)/(serum creatinine × 72)
 CrCl (perempuan) = ([140-usia] × BB kg)/(serum creatinine × 72) × 0.85

3.1.9 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penuruan LFG dan
mengatasi komplikasi CKD stadium akhir. Canadian Society of Nephrology
mengeluarkan pedoman baru yang merekomendasikan menunda dialisis pada pasien
CKD tanpa gejala sampai perkiraan laju filtrasi glomerular (eGFR) turun menjadi 6
mL / menit / 1,73 m2 atau sampai onset pertama dari indikasi klinis (yang termasuk
gejala uremia, kelebihan cairan, dan hiperkalemia refrakter atau acidemia).
Perawatan medis pasien dengan CKD harus fokus pada hal-hal berikut:7
 Menunda atau menghentikan perkembangan CKD
 Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis CKD
 Perencanaan yang tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang
a. Menunda atau menghentikan perkembangan CKD3,7
Tindakan yang dilakukan untuk menunda atau menghentikan perkembangan
penyakit ginjal kronis (CKD) adalah sebagai berikut:

17
 Kontrol tekanan darah untuk menargetkan sesuai nilai pedoman saat ini. Obat
antihipertensi yang disarankan adalah ACE inhibitor, ARB, dan CCB
nondihidropiridin. Target tekanan darah :
- <130/80 mmHg (tanpa proteinuria),
- <125/75 mmHg (dengan proteinuria)
 Restriksi asupan protein. Rekomendasi asupan protein:
- CKD pre-dialisis: 0,6-0,75 g/KgBB ideal/hari
- CKD hemodialis: 1,2 g/KgBB ideal/hari
- CKD peritoneal dialisis: 1,2-1,3 g/KgBB/hari
- Transplantasi ginjal: 1,3 g/KgBB ideal/hari pada 6 minggu pertama, dan
dilanjutkan 0,8-1 g/KgBB ideal/hari.
 Restriksi cairan. Rekomendasi asupan cairan pada CKD:
- CKD pre-dialisis: tidak dibatasi
- CKD hemodialisis: 500 mL/hari
- CKD peritoneal dialisis: 1500-2000 mL/hari
- Transplantasi ginjal: 2000 mL/hari
 Pengobatan hiperlipidemia ke tingkat target pedoman saat ini.
Target LDL <100 mg/dL. Apabila trigliserida ≥200 mg/dL, target kolesterol
non-HDL <130 mg/dL. Kolesterol non-HDL adalah kolesterol total dikurang
kadar HDL. Terapi menggunakan derivate statin, pola makan rendah lemak
jenuh.
 Kontrol glikemik yang agresif per rekomendasi American Diabetes Association
(target HbA1C <7%)
 Menghindari nefrotoksin, termasuk media radiokontras intravena (IV), agen
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dan aminoglikosida
 Modifikasi gaya hidup. Indeks masa tubuh ideal, olahraga 30 menit minimal 3
kali/minggu, tidak merokok.
 Edukasi pasien tentang CKD.

Sebuah penelitian kohort prospektif menunjukkan bahwa pada pasien dengan


CKD lanjut dan hipertensi stabil, pengobatan antihipertensi dengan ACEI atau ARB
mengurangi kemungkinan dialisis jangka panjang dan menurunkan risiko mortalitas
juga.6

18
b. Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis PGK sebagai berikut:7
 Anemia: Ketika kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL, obati dengan
erythropoiesis-stimulating agent (ESA) seperti epoetin alfa atau darbepoetin.
 Hiperfosfatemia: Obati dengan pengikat fosfat dan pembatasan fosfat dari
makanan
 Hipokalsemia: Obati dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa kalsitriol
 Hiperparatiroidisme: Obati dengan kalsitriol, analog vitamin D, atau
kalsimimetik
 Volume overload: Obati dengan loop diuretik atau ultrafiltrasi
 Asidosis metabolik: Obati dengan suplementasi alkali oral
 Manifestasi uremik: Obati dengan terapi penggantian ginjal jangka panjang
(hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal)
 Komplikasi kardiovaskular: Rawat bila perlu
 Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak: Obati dengan hormon pertumbuhan

c. Perencanaan yang tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang
Indikasi untuk terapi penggantian ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD) termasuk yang berikut:7
 Asidosis metabolik berat
 Hiperkalemia
 Perikarditis
 Encephalopathy
 Overload cairan yang sulit diatasi
 Kegagalan untuk berkembang dan malnutrisi
 Neuropati perifer
 Gejala gastrointestinal yang sulit diatasi
 Pada pasien dewasa tanpa gejala, tingkat filtrasi glomerulus (GFR) 5-9 mL /
menit / 1,73 m²

3.1.10 Komplikasi
Komplikasi CKD meliputi penyakit tulang dan mineral terkait CKD/ Chronic
Kidney Disease-mineral bone disease. Kejadian kardiovaskular misalnya pericarditis,
penyakit jantung coroner, hentai jantung. Komplikasi neurologis, infeksi, serta

19
komplikasi nutrisi dan saluran cerna, anemia, hiperparatiroidisme sekunder. Penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien-pasien CKD.3

3.1.11 Prognosis

Pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) umumnya mengalami penurunan


fungsi ginjal secara progresif dan beresiko untuk penyakit ginjal stadium akhir.
Tingkat perkembangan tergantung pada usia, diagnosis yang mendasari, keberhasilan
pelaksanaan tindakan pencegahan sekunder, dan secara individu pasien itu sendiri.
Inisiasi tepat pada terapi penggantian ginjal kronik sangat penting untuk mencegah
komplikasi uremik yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Tangri et al mengembangkan dan memvalidasi model pada pasien dewasa
yang menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan CKD
(tahap 3-5) ke gagal ginjal akhir.5 Mereka melaporkan bahwa perkiraan laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah, albuminuria yang lebih tinggi, usia yang lebih muda,
dan jenis kelamin laki-laki menunjukkan perkembangan gagal ginjal yang lebih cepat.
Juga, tingkat serum albumin, kalsium, dan bikarbonat yang lebih rendah dan tingkat
serum fosfat yang lebih tinggi ditemukan untuk memprediksi peningkatan risiko gagal
ginjal.5

20
3.2 Gagal Jantung Kongestif (Congestive Heart Failure)
3.2.1 Definisi

Gagal jantung adalah sindrom klinis akibat kelainan struktur atau


fungsi jantung yang di tandai dengan gejala gagal jantung seperti sesak napas
atau lelah bila beraktivitas, tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru dan
bengkak pergelangan kaki dan bukti objektif kelainan struktur atau fungsi
jantung saat istirahat. (13)

3.2.2 Epidemiologi

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat


pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari
gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki.
Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun
sejak diagnosis ditegakkan dan apda keadaan gagal jantung berat lebih dari
50% akan meninggal dalam tahun pertama.

3.2.3 Etiologi
Heart Failure – Reduced Heart Failure- Preserved
Ejection Fraction (<40%) Ejection Fraction (> 40-50%)
Penyakit Arteri Koroner Hipertrofi patologis
- Infark miokard - Primer (kardiomiopati hipertrofi)
- Iskemia miokard - Sekunder (hipertensi)
Overload Tekanan Kronis Penuaan
- Hipertensi Fibrosis Jantung
- Penyakit Katup Obstruktif Penyakit Jantung Pulmonal
Overload Volume Kronis - Kor pulmonal
- Penyakit katup regurgitasi - Penyakit vascular pulmonal
- Shunt intrakardiak (kiri ke Kondisi High Output
kanan) Kelainan Metabolik
- Shunt ekstrakardiak - Tirotoksikosis
Non Iskemik Kardiomiopati - Kelainan nutrisi (beri-beri)
Dilatasi Kardiomiopati Restriktif

21
- Penyakit familial/genetic - Penyakit infiltrative (amiolodosis,
- Penyakit infiltrative sarkoidosis)
Kerusakan Akibat Toksin atau - Storage disease (hemokromatosis)
Obat Kelainan Endomiokardial
- Penyakit metabolic Kebutuhan Aliran Darah yang
- Viral Berlebihan
Penyakit Chagas - Shunt arteriovena sistemik
- Kelainan ritme dan frekuensi - Anemia kronik
jantung
- Bradiaritmia kronis
- Takiaritmia kronis

3.2.4 Patofisiologi

Gagal jantung terjadi akibat sejumlah proses yang mengakibatkan


penurunan kapasitas pompa jantung seperti iskemia, hipertensi, infeksi dan
sebaginya. Penurunan kapasitas awalnya akan dikompensasi oleh mekanisme
neurohormonal system saraf adrenergik, system renin angiotensin aldosteron
dan sistim sitokin. Kompensasi awal bertujuan untuk menjaga curah jantung
dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi
miokard. Namun seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas system tersebut
akan menyebabkan kerusakan sekunder pada ventikrel seperti remodeling
ventrikel kiri dan kompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosteron dan
katekolamin akan semakin tinggi mengakibatkan fibrosis dan apoptosis
miokardium yang bersifat progresif. Pada tahap yang lebih lanjut, penurunan
fungsi ini juga akan disertai peningkatan resiko terjadinya aritmia jantung.
Prinsip neurohormonal inilah yang mendasari terapi gagal jantung saat ini.(13)

22
3.2.5 Kriteria diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan criteria Framingham
bila terdapat paling sedikit satu criteria mayor dan dua criteria minor : (13)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena-vena leher Batuk malam
Peningkatan vena jugularis Sesak pada aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
Gallop bunyi jantung III normal
Refluks hepatojugular positif Takikardia (>120 kali/menit)

3.2.6 Manifestasi Klinis


Pada gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis yaitu:
1. Acute decompansated heart failure (ADHF) dapat baru pertama
kali (de novo) atau dekompensasi dari gagal jantung kronis (acute
on chronic)
2. Hypertensive acute geart failure. Gejala gagal jantung dengan
tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel yang masih baik apabila
ada gambaran edema paru akut.
3. Edema paru. Sesak napas hebat dengan ronki basah kasar terutama
di basal paru, ortopnea, saturasi O2 < 90% dikonfirmasi dengan
foto rontgen dada.
4. Syok kardiogenik. Adanya bukti hipoperfusi jaringan walaupun
volume telah dikoreksi. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg,
roduksi urin 0,5 ccc/ Kgbb/ jam dengan laju nadi > 60 kali / menit
(tidak ada blok jantung) dengan atau tanpa kongesti organ/paru.
5. High output failure. Gejala curah jantung tinggi, laju nadi yang
cepat, akral hangat, kongesti paru, kadang-kadang tekanan darah
rendah sperti pada syok septik.
6. Gagal jantung kanan. Gejala curah jantung rendah, peningkatan
tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan hipotensi.

23
Karena tidak semua pasien terlihat kelebihan volume saat
pemeriksaan maka istilah heart failure lebih tepat digunakan daripada
congestive heart failure. Disfungsi ventrikel mungkin terjadi tanpa
keluhan sesak dan tidak ada hubungan antara beratnya sesak dengan
derajat disfungsi ventrikel.
Pada gagal jantung kronis derajat penyakit secara klinis
fungsional dapat dikategorikan berdasarkan criteria New York Heart
Association (NYHA) Functional Clasification. (14)
NYHA I Penyakit jantung namun tidak ada gejala atau keterbatasan
dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa misalnya berjalan,
naik tangga dan sebagainya
NYHA II Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ atau angina) serta
terdapat keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-
hari biasa
NYHA III Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat
gejala gagal jantung pada tingkatan yang lebih ringan
misalnya berjalan 20-100 meter. Pasien hanya merasa
nyaman saat istirahat.
NYHA Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya
IV gejala muncul saat istirahat.
3.2.7 Prinsip Penatalaksanaan
1. Terapi Jangka Pendek
Pemilihan terapi akut didasarkan pada dua hal berikut : volume overload
(‘wet’ atau ‘dry’) yang menunjukan peningkatan pengisian ventrikel kiri
serta tanda-tanda penurunan curah jantung (‘cold’ and ‘warm’)
o Profil A menunjukan hemodinamik normal. Gejala kardiopulmonal
dapat muncul akibat kelainan parenkim paru atau iskemia miokard
yang bersifat transien
o Profil B dab C menggambarkan edema paru akut. Profil B
membutuhkan diuretic dan / atau vasodilator sedangkan profil C
membutuhkan diuretic dan / atau vasodilator ditambah inotropik
o Profil L menunjukan kondisi deplesi cairan berat atau fungsi jantung
yang sangat terbatas tanpa adanya tanda overload cairan misalnya

24
dilatasi ventrikel kiri dan regurgitasi katup mitral. Profil L
membutuhkan terapi ekspansi cairan.(13)

PROFIL B
PROFIL A Warm and Wet
Warm and Dry
Diuretik dan/ atau
Vasodilator

PROFIL L PROFIL C
Cold and Dry Cold and Wet
Diuretik dan/atau
Ekspansi cairan Vasodilator
Inotropik

2. Terapi Jangka Panjang


Penanganan gagal jantung sangat bervariasi dan tergantung faktor-faktor
yang mendasari. Berikut adalah garis besar pengobatan gagal jantung:
o Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik)
memerlukan penghambat ACE atau ARB bila tidak ada kontraindikasi
seperti kelaian ginjal berat
o Semua pasien gagal jantung baik sistolik maupun diastolik
memerlukan penyekat beta mulai dari dosis kecil bila tidak ada kontra
indikasi.
o Pasien gagal jantung NYHA III-IV yang belum membaik dengan
penghambat ACE/ARB dan penyekat beta dapat dipertimbangkan
dosis kecil antagonis aldoteron seperti spironolakton
o Kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan diuretic regular dosis
rendah untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Permulaan dapat menggunakan diuretik kuat
atau tiazid yang kemudian disesuaikan sesuai hasil terapi dan
kebutuhan pasien
o Pasien dengan fraksi ejeksi <30% atau dengan atrial fibrilasi sebaiknya
diberikan antikoagulan untuk mencegah emboli kardiak. Pemberian
digitalis bermanfaat untuk gagal jantung dengan atrial fibrilasi dan
fraksi ejeksi rendah (<30%)

25
o Bila penyebab gagal jantung berat adalah penyakit jantung koroner
maka pemberian simvastatin dan aspirin bermanfaat secara jangka
panjang
o Obat-obatan yang harus dihindari pada pasien gagal jantung
simptomatik NYHA kelas II-IV
 Golongan tiazolidinedion (glitazon) karena memperburuk gejala
gagal jantung
 Golongan CCB kecuali amlodipin dan felodipin karena memiliki
efek inotropik negative
 OAINS dan penghambat COX-2 sebaiknya dihindari karena
menyebabkan retensi air dan natrium serta memperburuk fungsi
ginjal dan gejala gagal jantung.
 Kombinasi ARB (atau rennin inhibitor) dengan penghambat ACE
dan antagonis mineralokortikoid tidak direkomendasikan karena
memperburuk fungsi ginjal dan menyebabkan hiperkalemia.
o Sesuai etiologinya pasien gagal jantung perlu mendapat terapi yang
sesuai, baik itu revaskulasasi (pembalonan, stent atau operasi)
pemasangan pacu jantung (cardiac resynchrinization therapy),
perbaikan katup dan sebagainya.
o Intervensi gaya hidup :
 Diet rendah garam 2 g (setengah sendok teh) pada gagal
jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan
1,5 Liter/hari pada gagal jantung berat.
 Berhenti merokok dan alcohol (terutama pada kardiomiopati)
 Aktivitas fisik rutin misalnya berjalan kaki 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20
menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada
gagal jantung ringan dan sedang
 Istirahat tirah baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut. (13)

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.


KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
of Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl. 2013. 3:1-150.
2. Ketut Suwitra, Aru WS, Bambang S, Idrus A, et al. . Penyakit Ginjal Kronik.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3
3. Tanto C, Husrini N.M. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. P. 644-7.
4. Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
5. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al.
A predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney
failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9
6. Hand L. Antihypertensives May Delay Kidney Disease Progression.
Medscape Medical News. Dec 16 2013.
7. Arora P. Chronic Kidney Disease. [update] 2018 July 17. [cited 2018
September 09]. Available from: URL:
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview.
8. Daurgidas J.T, Bernando A.A (2012). Hemodialysis, effect on platelet count
and function and hemodialysis-associated thrombocytopenia. Kidney
International. 82:147-157.
9. Aris, S. 2007. Mayo Clinic. Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. PT.
Intisari Mediatama : Jakarta.
10. Adamson, Longo, 2010. Anemia and Polychythemia. In Harrison’s
Hematology and Oncology. China: The McGraw-Hill Companies. 10-21.
11. Glassman AB, 2002. Anemia Diagnosis and Clinical Considerations. In
(Denise MH). Clinical Hematology and Founderation of Hemostatis. Fourth
Edition. Company. 165-185.
12. Wheeler D, Brown A, Trison C. Evaluation of anemia of CKD. Clinical
Practice Guidelines : Anemia of CKD. 2010(3): 25-35.
13. Congestive Heart Failure. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing. 2009.

27
14. Liwang F, Wijaya IP. Gagal Jantung.In: Kapita Selekta Kedokteran. 4 th
edition. Jakarta: Media Aesculapius. 2014

28

Anda mungkin juga menyukai