Anda di halaman 1dari 34

POSTERIOR CRUCIATE LIGAMENT AVULSION FRACTURE

PORTOFOLIO

Pembimbing

dr. Dwi Prayogi, Sp. OT

Disusun oleh

dr. ANDIKA GHIFARI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAWANG
KABUPATEN MALANG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan
laporan kasus dengan judul “Posterior Cruciate Ligament Avulsion Fracture”.
Laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan dalam Program Internsip Dokter
Indonesia. Selama proses kegiatan dalam Program Internsip Dokter Indonesia,
banyak sekali pengalaman yang didapatkan oleh penulis untuk berkarir sebagai
dokter di kemudian hari.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang


sebanyak-banyaknya kepada dr. Dwi Prayogi, Sp. OT selaku pembimbing dan
semua pihak yang telah membantu penulis selama proses penyusunan laporan
kasus ini. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam tulisan ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang terlah membantu. Semoga tulisan ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran.

Lawang, 30 April 2020


dr. Andika Ghifari

Program Internsip Dokter Indonesia i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
1. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1
2. STATUS PENDERITA........................................................................... 2
3. PEMBAHASAN....................................................................................... 9
4. PENUTUP................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

Program Internsip Dokter Indonesia ii


ABSTRACT
Ascites is the pathologic accumulation of fluid in the peritoneal cavity and is a common manifestation of
liver failure, being one of the cardinal signs of portal hypertension. The diagnostic evaluation of ascites
involves an assessment of its cause by determining the serum-ascites albumin gradient and the exclusion of
complications eg, spontaneous bacterial peritonitis. Although sodium restriction and diuretics remain the
cornerstone of ascites management, many patients require additional therapy when they become refractory
to such medical treatment. These include repeated large volume paracentesis and transjugular intrahepatic
portosystemic shunts

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 3


BAB 1
LAPORAN KASUS

A. Subjektif

I. Identitas Pasien
Nama : Ny SI
Nomor RM : 039806
Umur : 79 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa Kalirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 10-10-2020
Tanggal Periksa : 10 Oktober 2020 jam 12.00

Ruang : Anthurium

II. Anamnesa Umum

1. Keluhan Utama : Lemas

2. Keluhan tambahan : Sesak, perut


membesar

3. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Lawang denga keluhan lemas onset 7 hari SMRS memberat 2
hari SMRS. Lemas dirasa terus menerus, tidak membaik dengan istirahat. Kronologi keluhan
pasien awalnya bisa beraktivitas seperti biasa, kemudian perutnya bertambah membesar,
menyebabkan pasien mudah kenyang sehingga asupan makanan berkurang sehingga pasien
menjadi lemas.
Keluhan disertai dengan sesak onset 2 hari SMRS. Sesak dirasa terus menerus tidak disertai
pemicu seperti berjalan jauh. Sesak dirasa seperti ada yang menekan dada dari arah perut.
Keluhan sesak tidak membaik dengan beristirahat. Tidur dengan 2 bantal. Ngongsrong (+).

Keluhan disertai dengan perut membesar onset 7 hari SMRS. Perut bertambah membesar,
tidak sempat mengecil/kempes. Kadang disertai mual (+)

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 4


Keluhan muntah (-) muntah darah (-) BAB hitam (-) nyeri perut / ulu hati (-) BB menurun (+)
seminggu terakhir, 3 bulan sebelumnya normal, perdarahan (-) nyer kepala (-) nyeri dada (-)
BAB BAK normal (+).

4. Riwayat penyakit dahulu


Sirosis hepatis : + 1 bulan

Diabetes Mellitus :-

Hipertensi :-

TB :-

Asthma : disangkal

Alergi : disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga


Anggota keluarga tidak ada penyakit yang sama DM - , HT -

6. Riwayat pengobatan
Pasien tidak hafal nama obat..

III. Anamnesa Psikososial


• Pasien sudah tidak bekerja
• Pasien tidak merokok
• Pasien tidak mengomsumsi alkohol
• Pasien sering mengonsumsi makanan berlemak sewaktu muda
• Pasien sudah menikah
• Pasien beragama islam

IV. Anamnesa makanan


Pasien suka mengkonsumsi sayur dan buah.

B. Objektif

I. Keadaan Umum
- Pasien tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- GCS : 4-5-6

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 5


- A/I/C/D : -/-/-/-

II. Vital Sign


- Tekanan Darah : 115/74 mmHg
- Nadi : 83x/menit, regular
- RR : 24x/menit
- Suhu : 36,6°C axillar

III. Sistem Organ

a. Kepala
- A/I/C/D : -/-/-/-
- Rambut : Tidak mudah dicabut, warna hitam, lurus
- Mata : Edema palpebra (-)
Conjunctiva anemis (-)

Sclera icterus (-)


Pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm
Reflek cahaya (+/+)
- Telinga : Daun telinga simetris
Sekret (-)

- Hidung : Sekret (-)


Nafas cuping hidung (-)

- Mulut : Sianosis (-)


- Faring hiperemi (-)

b. Leher
- Pembesaran KGB (-)
- Pembesaran thyroid (-)
- Deviasi trakea (-)
- JVP tidak meningkat
c. Thorax Pulmo

- Inspeksi : Simetris bilateral


- Palpasi : Fremitus raba normal, sela iga tidak melebar

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 6


- Perkusi : Paru kanan sonor dan kiri redup
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh(-), Wh(-)

Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan ICS V Sternal Line Dextra
Batas jantung kiri ICS V Anterior Axillary Line Sinistra.
- Auskultasi: S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

d. Abdomen
- Inspeksi : membesar & melebar
Ascites

- Auskultasi: bising usus tidak terdengar


- Palpasi : nyeri tekan (-), Hepar dan organ lain sulit dievaluasi karena ada ascites
- Perkusi : timpani, redup
Shifting dullness (+) undulation (+)

e. Extremitas :
- Akral hangat
- Edema (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Tgl 10-10-2020

a. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan Normal
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
. .Hemoglobin L 11.2 g/dL 11.7 ~ 15.5

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 7


. .Eritrosit L 3.66 10^6/uL 3.8 ~ 5.2
. .Lekosit H 15,6 /uL 3,600 ~ 11,000
150,000 ~
. .Trombosit L 126 /uL 440,000
. .Hematokrit L 32.6 % 35 ~ 47
. .Index Eritrosit
. . . MCV 89.0 fL 80 ~ 100
. . . MCH 30.7 pg 26 ~ 34
. . . MCHC 34.5 % 32 ~ 36
. .RDW-CV 13.3 % 11.5 ~ 14.5
. .Hitung Jenis
. . . Eosinofil L 1.4 % 2~4
. . . Basofil H 1.9 % 0~1
. . . Neutrofil L 37.1 % 50 ~ 70
. . . Limfosit H 53.1 % 25 ~ 40
. . . Monosit 6.5 % 2~8
. .PDW H 20.0 fL 9.0 ~ 13.0
. .MPV 7.9 fL 7.2 ~ 11.1
. .PCT L 0.099 % 0.150 ~ 0.400

KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 179 /
Sewaktu IGD mg/dL < 200

KIMIA KLINIK
Creatinin
. .Kreatinin 0.90 mg/dL 0.55 ~ 1.02
. .eGFR 60.40 mL/menit >= 60
AST (SGOT) H 132.42 U/L 5 ~ 34
ALT (SGPT) H 87.24 U/L 0 ~ 55
Albumin L 1.48 g/dL 3.2 ~ 4.6
Ureum Na-K-Cl 24.61 mg/dL 21 ~ 43

. .Natrium (Na) 136.6 mmol/L 135 ~ 145


. .Kalium (K) L 3.04 mmol/L 3.5 ~ 5.2
. .Klorida (Cl) 96.4 mmol/L 95 ~ 110
b. EKG: Dbn

c. Foto Thorax PA: cardiomegaly + skelerosis aorta

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 8


Cor : Kardiomegalil

Pulmo : Dbn

Sinus costopherinicus kanan tajam

Tulang2 dinding thorax dan soft tissue: tampak klip ORIF pada costae 3-12,

Diafragma terdesak

3 Oktober 2020

a. USG Abdomen
Liver : Ukuran kecil. Intensitas parenkim heterogen Sudut

tumpul, tepi irregular.

V. Porta melebar, v. Hepatica menyempit

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 9


Intra/extra canal bile duct tidak melebar
Gall bladder : Membesar, penebalan dinding (+)

Batu (-)

Pankreas : Besar normal, intensitas parenkim homogeny

Lien : Besar normal, intensitas parenki homogeny

V. Lienalis normal

Ren D/S : Besar normal, intensitas cortex normal

Sistem pelviiocalyceal tidak melebar

Batu (-)

Batas medullacorex jelas

Buli-buli : Mukosa normal, batu (-)


Ascites permagna

Kesan: Sirosis hepatis dengan hipertensi portal (ascites permagna)

C. Assesment
Ascites et causa Sirosis Hepatis

D. Planning

I. Terapi IGD
- IVFD RA 1000cc/24 jam
- O2 NC 4 LPM
- Inj Pantoprazole 1x40mg IV
- Inj metoclopramide 3x10mg IV
- KIE perjalanan penyakit dan prognosis

II. Konsultasi dr. F SpPD:


- Inf Aminofusin 10 tpm
- Inj Pantoprazole 1x40mg IV
- Inj Metoclopramide 3x10mg IV
- Inj Ceftriaxone 2x1gr IV
- PO Lactulose 3x30cc

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 10


- PO Peptovell 3xC1
- Rillus 3x1 tab
- Heparmin 3x1 tab
- Cek albumin darah
- MRS Ruang biasa

III. Konsultasi dr. A SpRad:


- Kardiomegali
- Aortasklerosis

E. Follow Up

a. 10 Oktober 2020 Jam 15.00 WIB


S : pasien mengeluh badan lemas dan sesak O :
KU: Lemah, GCS E4V5M6 TTV:
Tensi : 110/70 mmHg

Suhu : 36.2C

Nadi : 80 bpm reguler

RR : 22 x/min

SpO2 : 98% NC 4 LPM Status


Generalis:
Kepala : A/I/C/D = (-)/(-)/(-)/(-)

Leher : Pembesaran thyroid (-), KGB (-)

Thorax : Cor = I = Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis kuat angkat +

P = Batas jantung melebar ke kiri

A = S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo = Inspeksi : dada kiri tertinggal

Palpasi : Fremitus raba menurun, sela iga kiri melebar

Perkusi : Paru kanan sonor dan kiri redup

Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh(+), Wh(-)

Abdomen : I = ascites

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 11


A = BU (sde)

P = Soepel

P = Shifting dullness (+), Undulation (+)

Extremitas : HKM +/+, Oe -/-, CRT < 2 detik A:


Ascites e.c Sirosis Hepatis P :
Planning terapi
- Transfusi plasbumin 25% 1cc per menit
- Evakuasi pungsi ascites
Planning monitoring
- Klinis
- TTV pre dan post pungsi
- HbsAg
Planning edukasi
- Bed rest
- Batasi konsumsi cairan
- Konsumsi obat secara rutin dan teratur
- Menjelaskan perjalanan penyakit dan prognosa pada keluarga pasien

b. 10 Oktober 2020 Jam 16.00 WIB Post Pungsi


Telah dilakukan evakuasi pungsi ascites di titik kontra McBurney dengan hasil pungsi +-
500cc S:
Nyeri di bekas tusukan O:
GCS 456 CM

TD 115/60 mmHg

N 93 bpm

RR 20 x/min

T.ax 35.9C

SpO2 97% dengan O2 NC 3 LPM

c. 11 Oktober 2020 Jam 07.00 WIB


S:
Pasien mengeluh badan lemas

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 12


O:
KU: Cukup GCS E4V5M6 TTV:
Tensi : 105/55 mmHg

Suhu : 36.6C

Nadi : 86 bpm

RR :20x/min

SpO2 : 98% dg O2 NC 3LPM

Status Generalis

Kepala : A/I/C/D = (-)/(-)/(-)/(-)

Leher : JVP Meningkat (-) Pembesaran thyroid (-), KGB (-)

Thorax : Cor = I = Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis kuat angkat +


P = Batas jantung melebar ke kiri

A = S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo = Inspeksi : dada kiri tertinggal

Palpasi : Fremitus raba normal, sela iga normal


Perkusi : Paru kanan sonor dan kiri sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh(-), Wh(-)

Abdomen : I = ascites

A = BU (-)

P = shifting dullness (+)

P = Supel, nyeri tekan(-) Hepar tidak teraba


Extremitas : HKM +/+, Oe -/-, CRT < 2 detik

Laboratorium :

Rapid Test: Non Reaktif


HBsAg POSITIF Negati
f

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 13


Anti HCV Negatif Negatif
A:
Ascites e.c Sirosis Hepatis P :
Planning terapi
- IVFD Aminofusin 10 tpm
- Inj Pantoprazole 1x40mg IV
- Inj Metoclopramide 3x10 mg IV
- Inj Ceftriaxone 2x1gr IV
- PO Rillus 3x1
- PO Heparmin 3x1
Planning monitoring
- Klinis
- TTV
Planning edukasi
- Bed rest
- Batasi konsumsi cairan
- Konsumsi obat secara rutin dan teratur
- Menjelaskan perjalanan penyakit dan prognosa pada keluarga pasien

d. 12 Oktober 2020 Jam 07.00 WIB


S:
Pasien mengeluh badan lemas

O:
KU: Cukup GCS E4V5M6

TTV

Tensi : 105/55 mmHg

Suhu : 36.6C

Nadi : 86 bpm

RR :20x/min

SpO2 : 98% dg O2 NC 3LPM Status


Generalis:

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 14


Kepala : A/I/C/D = (-)/(-)/(-)/(-)

Leher : Pembesaran thyroid (-), KGB (-)

Thorax : Cor = I = Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis kuat angkat +

P = Batas jantung melebar ke kiri

A = S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo = Inspeksi : dada kiri tertinggal

Palpasi : Fremitus raba normal, sela iga normal


Perkusi : Paru kanan sonor dan kiri sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh(-), Wh(-)

Abdomen : I = ascites

A = BU (+) N

P = timpani

P = Supel, nyeri tekan(-) Hepar tidak teraba

Extremitas : HKM +/+, Oe -/-, CRT < 2 detik A:


Ascites e.c Sirosis Hepatis P :
Planning terapi
- Acc KRS - Tx KRS:
• Spironolacton 1x100 mg
• Propanolol 3x10 mg
• Lactulosa 3xc1
• Heparmin 3x1
• Vip albumin caps 3x1
Planning edukasi
- KIE KRS
- Batasi konsumsi cairan
- Konsumsi obat secara rutin dan teratur
- Menjelaskan perjalanan penyakit dan prognosa pada keluarga pasien

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 15


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 16


2.1 Ascites

2.1.1 Definisi
Ascites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Ascites adalah manifestasi
kardial sirosis dan bentuk berat lain dari gangguan liver. Tertimbunnya cairan dalam rongga
peritoneum merupakan manifestasi dari kelebihan garam/ natrium dan air secara total dal tubuh
tetapi tidak diketahui secara jelas faktor pencetusnya.

2.1.2 Patofisiologi
Terbentuknya ascites merupakan suatu proses patofiologis yang kompleks dengan melibatkan
berbagai faktor dan mekanisme pembentukkannya diterangkan dalam 3 hipotesis berdasarkan
temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut:

1. Teori underfilling 9,11,12

Pada teori ini mengemukakan bahwa kelainan primer terbentuknya ascites adalah
terjadinya sekuestrasi cairan yang berlebihan dalam splanknik vascular bed disebabkan oleh
hipertensi portal yang meningkatkan tekanan hidrostatik dalam kapiler – kapiler splanknik
dengan akibat menurunnya volume darah efektif dalam sirkulasi. Menurut teori ini penurunan
volume efektif intravaskular (underfilling) direspon oleh ginjal untuk melakukan kompensasi
dengan menahan air dan garam lebih banyak melalui peningkatan aktifasi renin – aldosteron –
simpatis dan melepaskan anti diuretik hormon yang lebih banyak.

2. Teori overflow 9,11,12

Teori ini mengemukakan bahwa pada pembentukkan ascites, kelainan primer yang terjadi
adalah retensi garam air yang berlebihan tanpa disertai penurunan darah yang efektif . Oleh
karena itu, pada pasien sirosis hepatis terjadi hipervolemia bukan hipovolemia.

3. Teori vasodilatasi arteri perifer 9,11,12

Teori ini dapat menyatukan kedua teori diatas. Dikatakan bahwa hipertensi portal pada
sirosis hepatis menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah spanknik dan
perifer akibat peningkatan kadar nitric oxide (NO) yang merupakan salah satu vasodilator yang
kuat sehingga terjadi pooling darah dengan akibat penurunan volume darah yang efektif.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 17


Pada sirosis hepatis yang makin lanjut aktivitas neurohumoral meningkat, sistem renin –
angiotensin lebih meningkat, sensitivitas terhadap atrial peptide natriuretik menurun sehingga
lebih banyak air dan natrium yang di retensi. Terjadi ekspansi volume darah yang menyebabkan
overflow cairan ke dalam rongga peritoneum dan terbentuk ascites lebih banyak. Pada pasien
sirosis hepatis dengan ascites terjadi aktivitas sintesis NO lebih tinggi dibanding sirosis hepatis
tanpa ascites. Menurut teori vasodilatasi, bahwa teori underfilling prosesnya terjadi lebih awal,
sedangkan teori overflow bekerja belakangan setelah proses penyakit lebih progresif. 9,12,13

Gambar 1 : Skema teori pembentukkan ascites 14

Bebepara faktor yang turut terlibat dalam patogenesis ascites pada sirosis hepatis : (1)
hipertensi porta, (2) hipoalbuminemia, (3) meningkatnya pembentukan dan aliran limfe, (4)
retensi natrium, (5) gangguan ekskresi air.

1. Hipertensi portal 9,12,14

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang menetap
diatas nilai normal yaitu 6 – 12 cmH 2O. Tanpa memandang penyakit dasarnya mekanisme
primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui
hati, selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteri splangnikus. Kombinasi kedua faktor,
yaitu menurunnya aliran keluar vena melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 18


bersama – sama menghasilkan beban berlebihan pada system portal. Pembebanan berlebihan
sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik
(varises). Fungsi hati biasanya tidak terganggu pada obstruksi aliran prehepatik dan presinusoid
karena suplai darah terjamin oleh adanya mekanisme kompensasi meningkatnya aliran darah
arteri pada hati. Bila terjadi kerusakkan berupa obstruksi hati di sinusoidal, postsinusoidal dan
post hepatik bisa menyebabkan penyumbatan aliran darah di hati. Sebagai konsekuensi
terjadinya penyumbatan tersebut maka aliran limfe pada hepar yang kaya akan protein
terganggu dan menyebabkan peningkatan tekanan portal, terkadang hal ini bersinergi dengan
penurunan tekanan onkotik plasma yang disebabkan oleh kerusakkan hati (hipoalbuminemia),
mendorong cairan yang kaya protein masuk ke dalam rongga abdomen yang menyebabkan
terjadinya ascites.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 19


Gambar 2 : Skema penyebab dan akibat dari hipertensi portal 12

2. Hipoalbuminemia9,12,14

Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan oleh sel – sel hati
yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan turunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi
antara meningkatnya tekanan hidrostatik dengan menurunnya tekanan osmotik dalam jaringan
pembuluh darah intestinal menyebabkan transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang
interstisial sesuai dengan gaya Starling (ruang peritoneum pada kasus ascites).

3. Meningkatnya pembentukkan dan aliran limfe 7,8,9

Hipertensi portal meningkatkan pembentukan limfe hepatik yang “menyeka” dari hati ke
dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat turut menyebabkan tingginya kandungan
protein dalam cairan ascites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan
rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskular ke
ruang peritoneum.

4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air 9,13,14

Retensi natrium dan gangguan ekskresi air merupakan faktor penting dalam berlanjutnya
ascites retensi air dan natrium disebabkan oleh hiperaldosteronisme sekunder (penurunan
volume efektif dalam sirkulasi mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron).
Penurunan inaktivasi aldosteron sirkulasi oleh hati juga dapat terjadi akibat kegagalan
hepatoseluler.

Suatu tanda ascites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang sangat nyata
dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma meningkat. Dengan semakin banyaknya
penimbunan cairan peritoneum, dapat dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik
dengan pekak alih, gelombang cairan, dan perut yang membengkak.

Kadar albumin rendah terjadi bila kemampuan sel hati menurun. Globulin, konsentrasinya
meningkat pada sirosis, akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari sistem pora ke jaringan
limpoid, selanjutnya menginduksi produksi imonoglobulin. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun
kalau terjadi kerusakan sel hati. Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 20


hati. Pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakmampuan sel hati
membentuk glikogen. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan ascites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.

Gambar 3 : Skema patofisiologi dampak kerusakkan hati 13

2.1.3 Tatalaksana
Tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90
mmol perhari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat antidiuretik. Rata-rata diet di Amerika
Serikat mengandung 6 sampai 8 g natrium per hari dan jika pasien makan di restoran atau tempat
makan cepat saji, jumlah natrium dalam diet mereka dapat melebihi jumlah ini. Dengan demikian,
seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien untuk mengubah kebiasaan makan mereka untuk
mengonsumsi < 2g natrium/ hari yang merupakan jumlah yang dianjurkan. Seringkali rekomendasi
sederhana adalah mengonsumsi makanan segar atau beku, menghindari kaleng atau makanan olahan
yang biasanya diawetkan dengan natrium. Pada ascites sedang terapi diuretik biasanya diperlukan.
Spironolakton dengan dosis 100-200 mg / hari sebagai dosis tunggal. Respons diuretik dapat dimonitor
dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila ada edema
kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid 40-80 mg /hari

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 21


terutama pada pasien yang mengalami edema perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima
diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa mereka tidak
mematuhi diet rendah natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada
perubahan spironolaton dapat ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan furosemid meningkat menjadi
120-160 mg / hari. Jika pengobatan ascites belum adekuat dengan dosis diuretik di atas pada pasien
dengan diet rendah natrium maka mereka disebut ascites refrakter dan modalitas pengobatan alternatif
lainnya adalah paracentesis atau prosedur Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) harus
dipertimbangkan. Studi terbaru menunjukkan bahwa TIPS sambil mengelola ascites tidak meningkatkan
kelangsungan hidup pada pasien ini. Sayangnya TIPS sering dikaitkan dengan peningkatan frekuensi
ensefalopati dan harus dipertimbangkan secara hati-hati atas dasar kasus per kasus. Prognosis untuk
pasien sirosis dengan ascites sangat buruk dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa <50% pasien
bertahan hidup 2 tahun setelah terjadinya ascites. Dengan demikian harus ada pertimbangan untuk
transplantasi hati pada pasien dengan timbulnya ascites.

Parasentesis cairan ascites sebagai tindakan diagnostik maupun terapeutik sering dilakukan
pada pasien sirosis hati. Parasentesis terapeutik diindikasikan pada ascites yang tidak memperlihatkan
respons terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan ascites masif,
mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati dan radiofrequency
ablation. Prosedur parasentesis dapat dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara
berkala seperti pada kasus ascites refrakter. Parasintesis cairan ascites dapat dilakukan 5 – 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan ascites yang dikeluarkan.
Ternyata parasintesa dapat menurunkan lama perawatan pasien di rumah sakit. Prosedur ini tidak
dianjurkan pada Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3,
creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. Dikatakan sebagai parasentesis cairan ascites
volume besar (large volume paracentesis) jika satu kali tindakan mengeluarkan lebih dari 5 liter cairan.
Parasentesis volume besar telah menjadi prosedur rutin dan tercantum dalam konsensus
penatalaksanaan ascites pada sirosis bahkan merupakan terapi lini pertama bagi ascites refrakter.

Walaupun dianggap cukup aman parasentesis volume besar bukanlah tindakan tanpa risiko sama
sekali. Pengeluaran cairan dalam jumlah besar tanpa pemberian pengembang plasma akan berdampak
pada gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan volume darah arteri efektif. Kondisi ini
selanjutnya diikuti dengan aktivasi vasokonstriktor dan faktor antinatriuretik. Dampak klinis yang terlihat
adalah berupa rekurensi ascites yang cepat, komplikasi sindroma hepatorenal atau hiponatremia

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 22


dilusional sampai pemendekan kesintasan (survival). Pemberian pengembang plasma seperti koloid atau
albumin dianjurkan untuk mencegah komplikasi pada parasentesis volume besar. Uji klinis mengenai
penggunaan albumin pada tindakan ini telah dipublikasikan sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Penelitian
yang dilakukan Lucia Tito dan kawan-kawan terhadap 38 pasien sirosis dan dipublikasikan pada tahun
1990 merupakan salah satu publikasi yang menjadi acuan prosedur parasentesis volume besar. Dalam
penelitiannya Tito mengeluarkan cairan ascites sampai habis sehingga disebut parasentesis total. Rata-
rata cairan yang dikeluarkan sebanyak 10,7 liter dalam waktu 60 menit. Evaluasi terhadap beberapa
parameter yang sering terganggu akibat parasentesis dilakukan 48 jam dan 6 hari pasca tindakan.
Terbukti tidak didapatkan perubahan bermakna pada parameter penting yang diperiksa seperti kadar
kreatinin serum, kadar natrium dan kalium serum begitu juga pada tes fungsi hati seperti bilirubin dan
masa protrombin.

TIPS adalah pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap terapi standar (misalnya,
endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah menunjukkan manfaat dalam pengobatan ascites
refrakter yang berat. Teknik ini melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari
vena hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal. Peningkatan
ekskresi natrium ginjal dan kontrol ascites refrakter terhadap diuretik dapat dicapai dalam waktu sekitar
75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal
yang mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati hidrotoraks
(translokasi ascites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video torakoskopy dengan pleurodesis
menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS merupakan kontraindikasi. Komplikasi TIPS meliputi
ensefalopati pada 20-30% dari kasus, infeksi, shunt stenosis pada sampai dengan 60% kasus, dan shunt
oklusi pada 30% kasus. Patensi jangka panjang biasanya membutuhkan revisi shunt periodik. Dalam
kebanyakan kasus, patensi dapat dipertahankan oleh pelebaran balon, trombolisis lokal, atau
penempatan stent tambahan. Karena komplikasi yang terkait dengan TIPS dan ketidakpastian tentang
kemanjuran jangka panjang (dikurangi hati perfusi akibat TIPS dibayangkan dapat mempersingkat hidup
pasien) saat ini lebih disukai pada pasien yang memerlukan kontrol jangka pendek perdarahan varises
atau ascites sampai transplantasi hati dapat dilakukan sebagai lawan untuk pasien yang membutuhkan
kontrol definitif perdarahan atau ascites untuk pasien transplantasi hati tidak menjadi pertimbangan.
Pada pasien dengan ascites refrakter hasil TIPS di tingkat yang lebih rendah kekambuhan ascites dan
sindrom hepatorenal tetapi tingkat yang lebih tinggi daripada ensefalopati terjadi dengan berulang besar
volume paracentesis, manfaat dalam kelangsungan hidup telah dibuktikan dalam sebuah penelitian,

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 23


tetapi tidak pada orang lain atau meta -analisis. Insufisiensi ginjal, ensefalopati refrakter, dan
hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan kematian setelah TIPS.

Gambar 4 : Skema pengobatan ascites refrakter14

Albumin dan Terapi Diuretik 12,13,14

Albumin juga seringkali dipakai untuk meningkatkan respons terhadap diuretik pada pasien
sirosis dengan komplikasi ascites. Latar belakang teorinya adalah kekurangan albumin untuk mengikat
furosemid sehingga obat hanya beredar di plasma dan tidak berhasil mencapai nefron proksimal.
Akibatnya terapi diuretika tidak akan memberikan respons yang baik. Ketika ditambahkan albumin
volume distribusi akan menurun, obat akan diikat dan dibawa ke ginjal untuk kemudian keluar bersama
urin sehingga diuresis pun membaik. Penelitian pertama pada pasien sirosis hati dilakukan oleh
Wilkinson dan Sherlock dan dilaporkan dalam jurnal Lancet tahun 1962. Disebutkan bahwa kombinasi
albumin dan diuretika memberikan perbaikan keluhan subyektif. Setelah itu tercatat enam penelitian
lain berkaitan dengan manfaat pemberian albumin bersamaan dengan diuretika. Penelitian Romanelli,
et al membuktikan bahwa pemberiaan albumin jangka panjang menurunkan angka rekurensi terjadinya
ascites dan meningkatkan angka survival pasien. Akibat harga albumin yang mahal dipikirkan pemakaian
koloid sebagai alternatif pengembang plasma. Secara teori alternatif ini cukup menjanjikan, tetapi pada
prakteknya koloid tidak memberikan hasil sama baiknya dengan albumin. Terapi kombinasi
meggunakan albumin tidak menjadi protokol rutin dalam penatalaksanaan ascites akibat harganya yang
mahal, kecuali pada kasus tertentu seperti ascites masif, komplikasi hernia atau gangguan pernafasan.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 24


2.2 Sirosis Hepatis

2.2.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang
berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif.7 Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. 7 Menurut Sherlock, secara anatomis
sirosis hati ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentukya nodul-nodul pada semua
bagian hati, dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja. 8 Menurut Gall, sirosis ialah
penyakit hati kronis, dimana terjadi kerusakan sel hati yang terus-menerus, dan terjadi regenerasi
noduler serta proliferasi jaringan ikat yang difus untuk menahan terjadinya nekrosis parenkim atau
timbulnya inflamasi.8

Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yang berarti belum adanya
gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang
jelas.7,8 Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat
tidak terlihat perbedaannya secara klinis. 7,8 Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi
hati.7

2.2.2 Etiologi
Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh penyakit infeksi, seperti hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis
C, hepatitis D, dan sitomegalovirus), bruselosis, ekinokosus, skistosomiasis, toksoplasmosis; penyakit
keturunan dan metabolik, seperti defisiensi αantitripsin, Sindrom Fanconi, galaktosemia, Penyakit
Gaucher, penyakit simpanan glikogen, hemokromatosis, intoleransi fluktosa herediter, tirosinemia
herediter, Penyakit Wilson; obat dan toksin, seperti alkohol, amiodaron, arsenik, obstruksi bilier,
penyakit perlemakan hati non-alkoholik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis primer; penyebab lain
atau tidak terbukti, penyakit usus inflamasi kronik, fibrosis kistik, pintas jejunoileal, dan sarkoidisis.

2.2.3 Epidemiologi
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang
berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati
urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini
lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini, sirosis ditemukan waktu pemeriksaan
rutin kesehatan atau pada waktu otopsi. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per
100.000 penduduk. 6,7

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 25


Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan dari rumah sakit, seperti RS.
Dr. Sardjito Yogyakarta yaneg melaporkan jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang
dirawt di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu1 tahun (2004). Di Medan, dalam kurun waktu 4
tahun ditemukan 819 (4%) pasien sirosis
hepatis. 6,7

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum
wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.7

2.2.4 Klasifikasi 7,8


Berdasarkan etiologi, sirosis hepatis dibagi menjadi :

1. Sirosis Laennec.
Sirosis yang terjadi akibat mengkonsumsi minuman beralkohol secara kronis dan
berlebihan. Sirosis Portal Laenec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif..
Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis. Fibrosis perivenular berlanjut
menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang
berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang
pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti
jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat
mengelilingi massa kecil hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan
membentuk nodulus, Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya.
Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi
keras, terbentuk sirosis alkoholik.
2. Sirosis pascanekrotik
Sirosis yang terjadi akibat nekrosis massif pada sel hati oleh toksin. Pada beberapa kasus
sirosis ini diakibatkan oleh intoksikasi bahan kimia industry, racun, arsenik, karbon tetraklorida
atau obat-obatan seperti INH dan metildopa. Sirosis pascanekrotik, terdapat pita jaringan parut

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 26


yang lebar sebagai akibat lanjut hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Patogenesis
sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata. Dalam
keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus-menerus (misal:
hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan membentuk kolagen. Jika
proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata dan jaringan hati
yang normal akan diganti oleh jaringan ikat. Sekitar 25 hingga 75% kasus memiliki riwayat
hepatitis virus sebelumnya. Banyak pasien yang memiliki hasil uji HbsAgpositif sehingga
menunjukkan bahwa hepatitis kronis aktif agaknya merupakan peristiwa penting. Kasus HCV
merupakan sekitar 25% dari kasus sirosis.

3. Sirosis biliaris

Sirosis ini terjadi akibat sumbatan saluran empedu (obstruksi biliaris) pascahepatik yang
menyebabkan statisnya empedu pada sel hati. Statisnya aliran empedu menyebabkan
penumpukan empedu di dalam masa hati dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel-sel
hati. Pada sirosis bilier, pembentukan jaringan parut biasanya terjadi dalam hati sekitar saluran
empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

4. Sirosis kardiak

Sirosis ini merupakan sirosis sekunder yang muncul akibat gagal jantung dengan
kongesti vena hepar yang kronis.

Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu 8 :

1. Mikronodular

Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh lobul. Sirosis mikronodular besar
nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah menjadi
makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.

2. Makronodular

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 27


Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar didalamnya ada
daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.

3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)


Secara Fungsional Sirosis terbagi atas 7,8,9:

1. Sirosis hepatis kompensata

Sering disebut dengan sirosis hepatis laten. Pada stadium kompensata ini belum terlihat
gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.

2. Sirosis hepatis dekompensata

Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas,
misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

7,8,9
2.2.5. Manifestasi Klinis
Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala kegagalan hati
ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang masih berjalan bersamaan dengan sirosis
hati yang telah terjadi dalam proses penyakit hati yang berlanjut sulit dibedakan hepatitis kronik
aktif yang berat dengan permulaan sirosis yang terjadi (sirosis dini). 7,8,9

Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis yang lebih umum termasuk:

1. Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah
2. Asites, edema pada tungkai
3. Hipertensi portal
4. Kelelahan
5. Kelemahan
6. Kehilangan nafsu makan
7. Gatal
8. Mudah memar dari pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh hati yang sakit.
Sesuai dengan Konsensus Braveno IV sirosis hati dapat diklasifikasikan menjadi empat
stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan perdarahan varises 5 : Stadium 1:

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 28


tidak ada varises, tidak ada ascites, Stadium 2: varises, tanpa ascites, Stadium 3: ascites dengan
atau tanpa varises dan Stadium 4: perdarahan dengan atau tanpa ascites. Stadium 1 dan 2
dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, semetara stadium 3 dan 4 dimasukkan dalam
kelompok sirosis dekompensata.7,8,9

Fase kompensasi sempurna pada fase ini tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan
samar tidak khas seperti pasien merasa tidak bugar merasa kurang kemampuan kerja selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang diare atau konstipasi berat badan
menurun, pengurangan massa otot terutama pengurangannya masa daerah pektoralis mayor.

Pada sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya dengan bantuan
pemeriksaan klinis, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal dengan manifestasi seperti: eritema palmaris,
spider nevi, vena kolateral pada dinding perut, ikterus, edema pretibial dan ascites. 7,8 Ikterus
dengan air kemih berwarna seperti air kemih yang pekat mungkin disebabkan oleh penyakit yang
berlanjut atau transformasi ke arah keganasan hati, dimana tumor akan menekan saluran empedu
atau terbentuknya trombus saluran empedu intra hepatik. Bisa juga pasien datang dengan
gangguan pembentukan darah seperti perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, haid
berhenti. Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis dan melena, atau melena saja
akibat perdarahan varises esofagus. Perdarahan bisa masif dan menyebabkan pasien jatuh ke
dalam renjatan. Pada kasus lain, sirosis datang dengan gangguan kesadaran berupa ensefalopati,
bisa akibat kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut atau akibat perdarahan varises esofagus.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai cabang
(AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi (kompensasi
gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot
rangka berperan sebagai organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai
massa otot yang baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi
lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.

Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala yang lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur,
dan demam tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 29


gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan warna air kemih seperti teh pekat, muntah
darah dan atau melena, serta perubahan mental seperti lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi
sampai koma. 7,8

2.3.6 Tatalaksana
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari disesuaikan
dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan dengan sangat hati-
hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada
keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam.

BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang
berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Sirosis hepatis secara klinis dibagi
menjadi sirosis hepatis kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati
dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas misalnya ; ascites, edema dan
ikterus.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 30


Ascites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Terbentukknya ascites merupakan
suatu proses patofiologis yang kompleks dengan melibatkan berbagai faktor dan mekanisme
pembentukkannya diterangkan dalam tiga hipotesis berdasarkan temuan eksperimental dan klinis
sebagai berikut : teori underfilling, teori overflow, dan teori vasodilatasi arteri perifer. Selain ketiga teori
tersebut terdapat juga beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis ascites pada sirosis hepatis
antara lain; hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfe, retensi
natrium, dan gangguan ekskresi air.

Penatalaksanaan ascites berupa terapi non farmakologis dan farmakologis serta terapi intervensi. Terapi
non farmakologis berupa tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak
5,2 gram atau 90 mmol perhari. Terapi farmakologis berupa pemakaian Spironolakton dengan dosis
100-200 mg / hari sebagai dosis tunggal. Respons diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila ada edema kaki. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid 40-80 mg /hari terutama pada pasien
yang mengalami edema perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima diuretik sebelumnya,
kegagalan dosis yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah
natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada perubahan spironolaton dapat
ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan furosemid meningkat menjadi 120-160 mg / hari. Terapi
intervensi berupa parasentesis terapeutik diindikasikan pada ascites yang tidak memperlihatkan respons
terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan ascites masif
mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati dan radiofrequency
ablation. Prosedur parasentesis dapat dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara
berkala seperti pada kasus ascites refrakter. Parasintesis cairan ascites dapat dilakukan 5 – 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan ascites yang dikeluarkan.
Albumin dipakai untuk meningkatkan respons terhadap diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi
ascites. Selain parasintesis terapi intervensi lainnya adalah Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt (TIPS) merupakan pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap terapi standar
(misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah menunjukkan manfaat dalam pengobatan
ascites refrakter yang berat. Teknik ini melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara
cabang dari vena hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol ascites refrakter terhadap diuretik dapat dicapai dalam
waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 31


insufisiensi ginjal yang mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi ascites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video torakoskopy dengan
pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS merupakan kontraindikasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an overview. In:
Friedman LS and Keeffe EB, eds. Handbook of Liver Disease. 2 nd ed. China, Pa: Churchill
Livingstone; 2004:125-138
2. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, eds.
Schiff’s Diseases of the Liver. 9th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven;
2003:409-28

3. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center Program). Treatment


of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension Literature Review and Summary of
Recommended Interventions. Version 1 (October 2003). Available from URL:
www.va.gov/hepatitisc
4. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 1 Juli 2013. Available from URL:
http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm
5. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 1 Juli 2013. Available from URL:
http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada sirosis hati.
Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.

7. Nurdjanah K. Sirosis Hepatis. Dalam: Sudoyo S dkk, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
edisi 4, Jakarta, Pa: Balai Penerbit FKUI, 2007: 443-46.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 32


8. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis. Edisi keenam, Volume I. EGC,
Jakarta: 2005;1:493-501.
9. Akil HAM. Ascites. Dalam : Rasyad SB. Kumpulan Kuliah Hepatologi, Palembang. 2008. 365-70.
10. Guadalupe Garsia-Tsao et al. Prevention and Management of Gastroesophagal Varices and
Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. American Journal of Gastroenterology. United States of
America. 2007.
11. Pere Gines et al. Management of Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2004;350:1646-54.
12. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. 1st ed. Stuttgart. New York:
Thieme; 2000. 170-5.

13. Mcphee SJ, Papadakis MA. Hepatology. In Thierney LM, editor. Current Medical Diagnosis &
Treatment. San Francisco, California: McGraw – Hill ; 2008.

14. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In Harrison’s Principles of Internal
Medicine, ed by Fauci AS, Braunwald E et al., 17 th edition, McGraw – Hill Inc, New York, 2008:
1858-67.

Program Dokter Internsip Indonesia Halaman 33

Anda mungkin juga menyukai