Anda di halaman 1dari 43

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Laporan Kasus
untuk memenuhi persyaratan
Program Dokter Internship Indonesia

Pembimbing:

dr. Rezki Tantular, Sp.P

dr. Budha Prahastita

Penyusun :

dr. Rut Setiawati

RUMAH SAKIT BALA KESELAMATAN BOKOR TUREN

KABUPATEN MALANG

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul laporan kasus “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS” telah


diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas untuk memenuhi
persyaratan Program Dokter Internship Indonesia

Mengetahui,

Pembimbing Pendamping

dr. Rezki Tantular, Sp.P dr. Budha Prahastita

Penyusun

dr. Rut Setiawati


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Semesta Alam atas

bimbingan-Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan portofolio

laporan kasus yang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)”.

Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Indrawati selaku direktur RSU Bokor Turen

2. dr. Budha Prahastita selaku dokter pendamping instalasi gawat darurat

3. dr. Rezki Tantular, Sp.P selaku spesialis pulmonologi.

4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis.

Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan

kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan

mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini

dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv
BAB I KASUS...................................................................................................5
I. IDENTITAS PASIEN...........................................................................5
II. ANAMNESA........................................................................................5
III. PEMERIKSAAN FISIK........................................................................7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................11
V. DIAGNOSA KERJA...........................................................................14
VI. PLANNING........................................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................18
A. Definisi....................................................................................................18
B. Epidemiologi...........................................................................................18
C. Faktor Risiko..........................................................................................19
D. Patofisiologi............................................................................................20
E. Gejala klinis PPOK.................................................................................24
F. Diagnosis................................................................................................25
G. Diagnosis Banding.................................................................................30
H. Klasifikasi...............................................................................................32
I. Tatalaksana.............................................................................................34
J. Pemantauan dan Follow Up....................................................................37
BAB IV PENUTUP..........................................................................................39
A. Kesimpulan.............................................................................................39
B. Saran......................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................40
BAB I

KASUS
A. SUBJEKTIF
I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. Y
 Umur : 80 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Guntaran, Gedog Wetan, Turen
 Pekerjaan : Pensiunan
 Status : Menikah
 Agama : Islam
 Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
 Tanggal MRS : 4 Mei 2021
 Tanggal dan Waktu Pemeriksaan : 4 Mei 2021 pukul 17.15 WIB

II. ANAMNESA
KELUHAN UTAMA
 Sesak nafas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas mulai pukul 14.00. Pasien
mengatakan sebelumnya belum pernah sesak nafas seperti ini. Sesak nafas
dirasa memberat terutama setelah beraktivitas, akan sedikit berkurang bila
pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan demam, sakit tenggorokan,
batuk jarang-jarang, pilek sejak 2 minggu lalu disertai badan sakit semua,
nafsu makan pasien menurun kurang lebih 1 bulan dan nyeri perut saat
batuk. BAB dan BAK dalam batas normal, tidak ada mual maupun muntah

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat batu ginjal (-)
Riwayat sakit liver (-)
Riwayat asam urat (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat sakit jantung (+)
Riwayat sakit paru (+)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat sakit liver (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi (-)

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT


Alergi obat disangkal

ANAMNESA PSIKOSOSIAL
 Pasien menikah
 Pasien adalah pensiunan
 Pasien beragama islam.

REVIEW OF SYSTEM

1. Sistem Saraf : Gangguan kesadaran (-), sakit kepala (-), kejang (-)
hemiparese (-) hemiplegi (-), pusing berputar (-)
2. CVS : DOE (-), orthopnea (-), takikardi (-), PND (-), nyeri dada (-)
3. Pulmonologi : sesak (+), batuk (+), hemoptoe (-)
4. Gastroenterologi : dispepsia (-), mual (-), muntah (-), diare (-), mata
cowong (-)
5. Hepatologi : icterus (-), hematemesis (-), melena (-), ascites (-)
6. Nefrologi : Hematuria (-), disuria (-), oligouria (-), nyeri pinggang (-),
nyeri BAK (-), anuria (-), proteinuria (-)
7. Endokrin dan metabolik : polidipsia (-), poliuria (-), exophtalmus (-),
struma (-)
8. Hematologi dan onkologi : lemah letih lesu (-), epistaxis (-), purpura
(-), gusi berdarah (-)
9. Rheumatologi : arthralgia (-), kaku sendi (-), bengkak sendi (-)
10. Alergi & imunologi : alergi obat-obatan (-), alergi makanan (-)

B. OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
1. Pasien tampak sakit berat
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. GCS : 4-5-6
4. Status Gizi
Tinggi badan : 155 cm

Berat badan : 50 kg

BMI : 20,83 kg/m2

Gizi : Normal

5. A / I / C / D :-/-/-/+

II. VITAL SIGN


a. Tekanan darah : 195/116 mmHg
b. Nadi : 150 x/menit isi cukup, reguler
c. Frekuensi Nafas : 30 x/menit
d. Suhu tubuh : 37oC axiller

III. SISTEM ORGAN


1. KEPALA
1) Rambut : bergelombang
2) Bentuk wajah : Bulat
3) Kerutan dahi : Simetris
4) Bentuk kepala : Normocephal
5) Alis : Simetris
6) Mata :
a. Konjungtiva : merah (-/-), Konjungtivitis : ( - / - )
b. Sklera : Ikterus ( - / - )
c. Exophtalmos : ( - / - )
d. Reflek cahaya positif
7) Telinga :
a. Daun Telinga : Simetris
b. Pendengaran : Tidak berkurang
c. Sekret : Negatif
d. Darah : Negatif
8) Hidung
a. Simetris : Positif
b. Deviasi Septum Nasi : Negatif
c. Sekret : Negatif
d. Epistaxis : Negatif
9) Mulut
a. Mukosa bibir : Sianosis ( - )
b. Pembesaran Tonsil( - )
c. Gusi Berdarah ( - )

2. LEHER
1) Pembesaran KGB ( - )
2) Pembesaran Kelenjar Tiroid ( - )
3) Bruit Carotis ( - )
4) Vena Bendung Jugularis ( - )
5) Deviasi Trakea ( - )

3. THORAX
1) Spider Nevi ( - )
2) Cor :
 Inspeksi : Pulsasi aorta, pulmonal, precordial, epigastrial,
Ictus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Pulsasi aorta, pulmonal, precordial tidak teraba.
Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
 Perkusi :
a. Batas kanan : ICS keempat parasternal kanan
b. Batas kiri : lateral midclavicular line kiri
 Auskultasi : S1S2 tunggal, Murmur ( - ), Gallop ( - )
3) Pulmo
 Inspeksi : Normochest, Simetris, gerakan otot bantu
pernapasan ( - )
 Palpasi :
o Gerak nafas
Depan / Belakang
D S
Simetris Simetris
Simetris Simetris
Simetris Simetris
Simetris Simetris

o Fremitus Raba
Depan / Belakang
D S
Simetris Simetris
Simetris Simetris
Simetris Simetris
Simetris Simetris

o Perkusi
Depan / Belakang
D S
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

o Auskultasi
Suara nafas
Depan / Belakang
D S
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

Suara nafas tambahan ( depan dan belakang )


Rhonk Wheezing
iD S D S
- - + +
- - + +
- - + +
- - + +

4. ABDOMEN
 Inspeksi : Flat, Simetris, Caput Medusae ( - ) kulit
mengkilat (-), kolateral (-)
 Auskultasi : Bising Usus ( + ) normal
 Palpasi : soepel, nyeri tekan epigastrium
- + -
- - -
- - -
, Hepar/ Lien/ Renal tak teraba, Undulasi ( - )
 Perkusi : Tympani semua kuadran
5. EKSTREMITAS ATAS
 Akral Hangat ( + / + )
 Oedema ( - / - )

6. EKSTREMITAS BAWAH
 Akral Hangat ( + / + )
 Edema ( - / - )

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Darah (tanggal 04/05/2021)
WBC : 7,7 (4 - 10 x 103 / uL)
Lymh# : 2,00 x 103 / uL (0,8 – 4 x 103 / uL)
Lymph% : 26,1 % (20 – 40 %)
Mon# : 0,20 x 103/mm3 0,20 - 1,50 x 103/mm3)
Mon% : 3,7% (2,0 – 10,0 %)
Gran# : 5,50 x 103/mm3 (2,00 – 9,00 x 103/mm3)
RBC : 4,85 x 103 /mm3 (4,50 – 6,50 x 103/mm3)
HGB : 12,6 g/dL (13 – 17 g/dL)
HCT : 39,5 % (40 – 54 % )
MCV : 81 µm3 (80 – 100 µm3)
MCH : 25,9 pg (27 – 32 pg)
MCHC : 31,8 g/dl (32 – 36 g/dl)
PLT : 303 x 103 / uL (150 – 500 x 103 / uL)

II. EKG
III. Foto Thorax

C. ASSESSMENT
1. RESUME
Pria berusia 80 tahun dengan keluhan sesak nafas mulai pukul
14.00. Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah sesak nafas
seperti ini. Sesak nafas dirasa memberat terutama setelah
beraktivitas, akan sedikit berkurang bila pasien beristirahat.Pasien
juga mengeluhkan demam, sakit tenggorokan, batuk jarang-jarang,
pilek sejak 2 minggu lalu disertai badan sakit semua, nafsu makan
pasien menurun kurang lebih 1 bulan dan nyeri perut saat batuk.
BAB dan BAK dalam batas normal, tidak ada mual maupun muntah

Pada pemeriksaan fisik didapatkan


 Keadaan umum tampak sakit berat
 Vital sign : tekanan darah 195/116 mmHg, nadi 150 x/menit
 Pulmo : auskultasi : Suara nafas tambahan ( depan dan
belakang )
Rhonk Wheezing
iD S D S
- - + +
- - + +
- - + +
- - + +
 Abdomen
Palpasi : soepel, nyeri tekan epigastrium
- + -
- - -
- - -

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan


Darah lengkap (4/5/2021)
HGB : 12,6 g/dL (13 – 17 g/dL)
HCT : 39,5 % (40 – 54 % )
MCH : 25,9 pg (27 – 32 pg)
MCHC : 31,8 g/dl (32 – 36 g/dl)
2. DIAGNOSA KERJA
 Observasi dyspneu ec suspek COPD
 Hipertensi grade II

D. PLANNING
 Planning Diagnosis :
Darah lengkap
Foto thorax
Spirometri
 Planning Terapi :
- Non medikamentosa
 Bed rest
- Medikamentosa :
 Infus NS 10 tpm
 Drip aminofilin 300 mg dalam NS 100 cc > drip aminofilin 3x1
 Injeksi ranitidin 25 mg > injeksi ranitidine 2x1
 Pasang O2 nasal canule 5 lpm
 Injeksi cefoperazone 2x1
 Injeksi dexamethasone 3x1
 Injeksi furosemide 40 mg – 0 – 0
 Planning Monitoring :
o Keadaan klinis
o Vital sign
o Darah lengkap
o Foto thorax
 Planning Edukasi :
o Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang
penyakit yang diderita
o Menyarankan kepada pasien untuk berobat rutin ke dokter
spesialis paru agar penyakit terkontrol
o Memberi tahu pasien untuk minum obat rutin
FOLLOW UP I
Pemeriksaan tanggal 5 Mei 2021
S : Pasien mengeluh sesak berkurang
O : Sakit ringan
GCS :4–5–6
Tensi : 128/89 mmHg
Suhu : 36,50 C
Nadi : 108 x/min
RR : 22 x/min
A/I/C/D :-/-/-/-
Ekstremitas : Akral Hangat (+)
Kepala, leher, abdomen dalam batas normal
Thorax : auskultasi : Suara nafas tambahan ( depan dan belakang )
Rhonk Wheezing
iD S D S
- - + +
- - + +
- - + +
- - + +

Pemeriksaan Urine
Albumin (-) Sedimen
Reduksi 0% (normal : 0%) Silinder (-) (0 – 1 %)
Bilirubin (-) Eritrosit 1 – 2 (0 – 1)
Urobilin (-) Leukosit 3 – 4 (0 – 2)
Keton (-) Epitel gepeng (+ gepeng)
Nitrit (-) Kristal (-)
Lain – lain + bakteri (-)
Gula darah 2jpp 134 mg/dl (<130 mg/dl)
Lemak Kolesterol 261 mg/dl (<200 mg/dL)
Trigliserida 96 mg/dl (<150 mg/dL)
HDL 55,5 mg/dl (>50 mg/dL)
LDL 186,3 mg/dl (<150 mg/dl)
Faal hati SGOT 21 U/L (</= 31 U/L)
SGPT 20 U/L (</=31 U/L)
Faal ginjal Ureum 32 mg/dl (20 – 50 mg/dl)
Kreatinin 1,36 mg/dl (<1,4 mg/dl)
Uric acid 6,4 mg/dl (2,4 – 7 mg/dl)

A : Obs dyspneu ec suspek COPD


Hipertensi grade II
P : - Non medikamentosa
 Bed rest
 Minum obat teratur agar penyakit terkontrol
- Medikamentosa
 Infus NS 10 tpm
 Drip aminofilin 300 mg dalam NS 100 cc > drip aminofilin 3x1
 Injeksi ranitidin 25 mg > injeksi ranitidine 2x1
 Pasang O2 nasal canule 5 lpm
 Injeksi cefoperazone 2x1
 Injeksi dexamethasone 3x1
 Injeksi furosemide 40 mg – 0 – 0
Monitoring:
 Keadaan klinis
 Vital sign

FOLLOW UP II
Pemeriksaan tanggal 6 Mei 2021
S : Pasien mengatakan sesak berkurang
O : rampak baik
GCS :4–5–6
Tensi : 125/85 mmHg
Suhu : 36,30 C
Nadi : 95 x/min
RR : 22 x/min
A/I/C/D :-/-/-/-
Kepala, Leher, Thorax dan Abdomen dalam batas normal
A : Obs dyspneu ec suspek COPD
Hipertensi grade II
P : - Non medikamentosa
 Bed rest
 Minum obat teratur agar penyakit terkontrol
- Medikamentosa
 Inf. NS 10 tpm
 Drip aminofilin 300 mg dalam NS 100 cc > drip aminofilin 3x1
 Injeksi ranitidin 25 mg > injeksi ranitidine 2x1
 Pasang O2 nasal canule 5 lpm
 Injeksi cefoperazone 2x1
 Injeksi dexamethasone 3x1

Monitoring:
 Keadaan klinis
 Vital sign
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Paru Obtruktif Kronis (PPOK)

A. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat
dicegah dan dapat diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang
persisten dan pembatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan jalan
napas dan atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau
gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara kronis yang khas PPOK disebabkan
oleh campuran penyakit saluran udara kecil (mis., Bronchiolitis obstruktif) dan
penghancuran parenkim (emfisema), kontribusi relatif bervariasi dari orang ke
orang.
Penyakit paru kronik ini tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif,
biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan
gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik.
Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah
rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.

B. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei,
kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi.
Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi
PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan
8,5% pada perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi.
C. Faktor Risiko
Di seluruh dunia, faktor risiko PPOK yang paling banyak ditemui adalah
merokok tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air)
dan ganja juga merupakan faktor risiko PPOK. Polusi udara di luar ruangan,
pekerjaan, dan dalam ruangan - yang terakhir dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar biomassa - merupakan faktor risiko PPOK utama lainnya.
Bukan perokok juga dapat mengembangkan PPOK. PPOK adalah hasil dari
interaksi kompleks dari keterpaparan kumulatif jangka panjang terhadap gas
dan partikel berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk
genetika, responsivitas saluran napas dan pertumbuhan paru yang buruk
selama masa kanak-kanak.
Seringkali, prevalensi PPOK terkait langsung dengan prevalensi merokok
tembakau, meskipun di banyak negara di luar ruangan, polusi udara kerja dan
ruangan (akibat pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah
faktor risiko utama. Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan
dari partikel-partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.

1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi daripada
orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada
“dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok
yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami
gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif
tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”. Merokok
selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko kepada janin,
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan perkembangan
janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun
dari janin tersebut.

2. Polusi tempat kerja


Debu organik, anorganik, zat kimia dan asap, merupakan faktor risiko PPOK
yang kurang diperhatikan.
3. Polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu
bakar ataupun bahan bakar biomasa lainnya sebagai penghasil energi untuk
memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya.

4. Polusi di luar ruangan


Gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan berkontribusi terhadap
jumlah beban total yang diinhalasi paru-paru, meskipun tampaknya memiliki
efek yang relatif kecil dalam menyebabkan PPOK.

5. Usia dan jenis kelamin


Usia yang lebih lanjut dan pada wanita meningkatkan terjadinya PPOK.

6. Status sosioekonomi dan status nutrisi


Terdapat bukti kuat bahwa risiko pengembangan PPOK berbanding terbalik
dengan status sosial ekonomi. Namun, tidak jelas apakah pola ini
mencerminkan eksposur terhadap polutan udara di dalam dan di luar ruangan,
berkerumun, gizi buruk, infeksi, atau faktor lainnya yang berkaitan dengan
rendahnya status sosial ekonomi.

7. Asma dan hiperreaktif saluran napas


Asma dapat menjadi faktor risiko dalam perkembangan dari hambatan saluran
pernapasan dan PPOK.

8. Pertumbuhan dan perkembangan paru


Setiap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru selama masa gestasi dan
masa kanak-kanak (berat lahir rendah, infeksi saluran pernapasan, dll.)
Berpotensi meningkatkan risiko terkena PPOK.

D. Patofisiologi
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan
inflamasi di saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK.
Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim
yang mengakibatkan emfisema), dan mengganggu mekanisme pertahanan
yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis
menyebabkan udara perangkap dan keterbatasan aliran udara progresif.
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari
respon inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme
untuk amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada
pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik
perubahan patologis PPOK.
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan
parenkim paru-paru.
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan
sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<
2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi
dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran
napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.

Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping


Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK,obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas
dibandingkan dengan FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara
yang terperangkap yang terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas
kecil akan menjadi hancur ketika penyakit menjadi lebih parah.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas
latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang
bekerja pada saluran napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga
mengurangi volume paru residu dan gejala serta meningkatkan dan kapasitas
berolahraga.

Mekanisme Pertukaran Gas


Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum,
pertukaran gas akan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat
keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA / Q).
Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA / Q,
dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang
sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon
dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah
paru akan lebih memperburuk kelainan VA / Q.

Hipersekresi lendir
Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah
gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran
udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala
hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang
meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa
sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok atau
agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang
hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.

Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respon inflamasi dalam
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi
pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi
ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale).

Gambaran Dampak Sistemik


Dari beberapa laporan penelitian, ternyata pasien PPOK memberikan pula
beberapa gambaran dampak sistemik, khususnya pada pasien dengan
penyakit berat, hal ini berdampak besar terhadap kualitas hidup dan penyakit
penyerta. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien dengan PPOK berat.
Disebabkan karena hilangnya massa otot rangka dan kelemahan sebagai
akibat dari apoptosis yang meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot
tersebut. Pasien dengan PPOK juga mengalami peningkatan proses
osteoporosis, depresi dan anemia kronis. Peningkatan konsentrasi mediator
inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, dan radikal bebas oksigen dengan
keturunannya, dapat beberapa efek sistemik. Peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).

Gambar 1 Konsep Patogenesis PPOK


E. Gejala klinis PPOK
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan batuk.
Adapun gejala yang terlihat seperti :
1. Sesak Napas : Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun.
Mula-mula ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Sesak napas bertambah berat mendadak menandakan adanya
eksaserbasi.
2. Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu
pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila
eksaserbasi.
3. Wheezing
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK. Bronkospasme
bukan satu-satunya penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi
saat pengerahan tenaga (exertion) mungkin karena udara lewat saluran
napas yang sempit oleh radang atau sikatrik.
4. Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran
napas yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.
5. Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek

F. Diagnosis
PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang menderita dispnea, batuk
kronis atau produksi sputum, dan / atau riwayat terpapar faktor risiko penyakit
ini. Riwayat medis rinci tentang pasien baru yang diketahui atau dicurigai
memiliki PPOK sangat penting. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis
dalam konteks klinis; kehadiran post-bronchodilator FEV1 / FVC <0.70
mengkonfirmasi adanya pembatasan aliran udara persisten dan dengan
demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang tepat dan eksposur yang
signifikan terhadap rangsangan berbahaya. Spirometri adalah ukuran
pembatasan aliran udara yang paling mudah direproduksi dan obyektif. Ini
adalah tes noninvasif dan mudah didapat. Meskipun memiliki kepekaan yang
baik, pengukuran arus ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan sebagai
satu-satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.
Diagnosis dibuat berdasarkan :
1. Gambaran klinis :

a. Anamnesis:
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
• Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
• Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip
nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit respirasi
lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
• Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
• Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
• Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
• Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.

b. Pemeriksaan fisik
Pada awal perkembangannya, pasien tidak menunjukkan kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan
bunyi mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda
hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi
otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada
pasien dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis
seperti muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak
merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK. Clubbing finger bukan tanda
yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan tanda ini maka klinisi harus
memastikan dengan pasti apa penyebabnya.
 Inspeksi
o Pursed lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
o Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
o Penggunaan otot bantu napas
o Hipertropi otot bantu napas
o Pelebaran sela iga
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
o Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
o Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma


rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
o Suara napas vesikuler normal, atau melemah
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
o Ekspirasi memanjang

o Bunyi jantung terdengar jauh


Keterangan:
Pink puffer gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing. Blue bloater Gambaran
khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer. Pursed-lips
breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

2. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan rutin:
a. Faal paru
Spirometri (FEV1, FVC, FEV1/FVC)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai FEV (%) dan atau FEV1/FVC (%).
Obstruksi : FEV1 < FVC = 0.7
- FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, PEF
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan PEF
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai FEV1 atau PEF, perubahan FEV1 atau PEF <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

b. Darah rutin
Hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit

c. Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
 Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
 Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru
Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian PEF kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2
minggu yaitu peningkatan FEV pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250
ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid.
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala diatas.

G. Diagnosis Banding
• PPOK
Onset pada usia pertengahan. Gejala progresif lambat. Lamanya riwayat
merokok. Sesak saat aktivitas Sebagian besar hambatan aliran udara
ireversibel.

• Asma
Onset awal sering pada anak. Gejala bervariasi dari hari ke hari. Gejala pada
malam / menjelang pagi. Disertai alergi, rinitis atau eksim . Riwayat keluarga
dengan asma. Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel

• Gagal Jantung kongestif


Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal. Foto toraks tampak jantung
membesar, edema paru. Uji fungsi paru menunjukkanrestriksi bukan obstruksi.

• Bronkiektasis
Sputum produktif dan purulen. Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar Foto toraks/CT-scan toraks menunjukkan
pelebaran dan penebalan bronkus.

• Tuberkulosis
Onset segala usia, foto toraks menunjukkan infiltrat diparu. Konfirmasi
mikrobiologi (sputum BTA) Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis.

• Bronkiolitis obliterans Onset pada usia muda, bukan perokok. Mungkin


memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan asap. CT-scan toraks pada
ekspirasi menunjukkan daerah hipodens.
• Panbronkiolitis diffusa Lebih banyak pada laki-lakibukan perokok. Hampir
semua menderita sinusitis kronis. Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan
nodul opak menyebar kecil dicentrilobular dan gambaran hiperinflasi

Gejala gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi


tidak terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yang tidak pernah
merokok dapat menderita PPOK (terutama di negara berkembang di mana
faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada merokok); asma dapat
berkembang di usia dewasa dan bahkan pasien lanjut usia.
H. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan spirometri
setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran
spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari
titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara yang
dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)),
dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC).

Tabel 1 Klasifikasi tingkat keparahan GOLD berdasarkan hasil pengukuran


spirometri

Pada Pasien dengan FEV1/FVC < 0.7


GOLD 1 Ringan Prediksi FEV1 ≥ 80%
GOLD 2 Sedang Prediksi 50% ≤ FEV1 <
80%
GOLD 3 Berat Prediksi 30% ≤ FEV1 <
50%
GOLD 4 Sangat Berat Prediksi FEV1 <30%

Combined COPD Assessment


Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap
masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang
dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi.
Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:
1. Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling
banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah
sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC
(modified Medical Research Council) grade 0-1.
2. Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling
banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah
sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC
grade ≥2.
3. Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi
sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit
akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
4. Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi
sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit
akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.

Gambar 2 Combined COPD Assesment


Gambar 3 COPD Assesment Test (CAT) dan mMRC

I. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
• Berhenti Merokok
• Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi
aktivitas.
• Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
• Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
• Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.

Terapi farmakologi
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1
atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot
polos pada jalan napas.
• β2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP
dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala.
Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang
telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti dan tidak
direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih.
Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas,
health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan, tapi
tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol
mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit. Indacaterol merupakan
Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara
signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien. Efek samping
adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia
saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor
somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi
lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja
lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan
hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan, serta memperbaiki
efektivitas rehabilitasi pulmonal. Efek samping yang bisa timbul akibat
penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan
gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan
kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada
pasien dengan FEV1<60% prediksi.

D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut,
diare, gangguan tidur dan sakit kepala.

Terapi Farmakologis Lain


• Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK
usia > 65 tahun
• Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal,
dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk
pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1
antitripsin.
• Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
• Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein,
carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala
eksaserbasi.
• Immunoregulators (immunostimulators, im- munomodulator)
• Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomen- dasikan.
• Vasodilator
• Narkotik (morfin)
• Lain-lain:Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan hemopati) juga
tidak ada yang efektif bagi pengobatan PPOK

Terapi non farmakologis lain:


1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi Lain
1. Terapi Oksigen
2. Ventilatory Support
3. Surgical Treatment (Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic
Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation, Bullectomy

J. Pemantauan dan Follow Up


Follow up rutin penting pada penatalaksaaan semua pasien termasuk PPOK.
Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan dengan pengobatan terbaik.
Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan aliran udara harus dimonitor
untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi
beberapa komplikasi yang bisa timbul.
Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi
• Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan sekurang-
kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT bisa dilakukan setiap 2
atau 3 bulan.
• Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan
terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq, keterbatasan aktivitas
dan gangguan tidur.
• Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan
terhadap rokok.
Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain
Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap
follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap
obat, kepatuhan terhadap regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi,
efektivitas regimen terbaru dalam mengontrol gejala dan efek samping terapi
harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk
menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan.

Pemantauan Riwayat Eksaserbasi


Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi.
Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum
purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan yang tidak
terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan penggunaan
fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa
diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau
kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah
sakit harus terdokumentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan, dan
penggunaan ventilasi mekanik.
Pemantauan Komorbid
Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK, memperbesar
ketidakmampuan yang berhubungan dengan PPOK dan potensial
menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.
PPOK sering hidup berdampingan dengan penyakit lain (komorbiditas) yang
mungkin memiliki dampak signifikan pada penyakit.
Secara umum, adanya komorbiditas tidak boleh mengubah pengobatan PPOK
dan komorbiditas harus ditangani sesuai standar yang biasa tanpa
memperhatikan adanya PPOK.
Kanker paru sering terlihat pada pasien PPOK dan merupakan penyebab
utama kematian.
Penyakit kardiovaskular adalah komorbiditas umum dan penting pada PPOK
Osteoporosis, depresi / kegelisahan, dan apnea tidur obstruktif sering terjadi,
komorbiditas penting pada PPOK, seringkali kurang terdiagnosis, dan terkait
dengan status kesehatan dan prognosis yang buruk.
Refluks gastroesophageal (GERD) dikaitkan dengan peningkatan risiko
eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih buruk.
Bila PPOK adalah bagian dari rencana perawatan multimorbiditas, perhatian
harus diarahkan untuk memastikan kesederhanaan pengobatan dan
meminimalkan polifarmasi.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan sebuah penyakit yang
menyerang paru-paru dan memiliki 2 tipe, yaitu emfisema dan bronkitis kronis.
PPOK disebabkan adanya pajanan dari beberapa hal yang bersifat toksik pada
paru seperti rokok, asap, polusi dan sebagainya. PPOK dapat didiagnosis
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan spirometri.
Penanganan pada pasien dengan PPOK bertujuan untuk mengurangi keluhan
pada penderita dan mencegah munculnya serangan yaitu eksaserbasi.
Penatalaksanaan pada pasien PPOK memiliki 2 cara yaitu penatalaksaan
dengan farmakologi dan non-farmakologi. PPOK tidak dapat disembuhkan,
penanganan hanya bersifat preventif dari eksaserbasi atau komorbiditas
penyakit paru lain.

B. Saran
1. Perlunya ditingkatkan kordinasi dan kerjasama dengan bagian lain dalam
penanganan pasien PPOK secara komprehensif.

2. Perlunya peningkatan pelayanan kesehatan khususnya bagi masyarakat


tingkat ekonomi rendah.

3. Perlunya ditingkatkan upaya preventif dan promotif dalam penanggulangan


PPOK.
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa Budhi Et al. 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta: PDPI (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia).

Agusti A, R.Et al.,2017. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
Pocket Guide to PPOK Diagnosis, Management and Prevention.

Soeroto AY dan Suryadinata H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J


Chrest and Emerg Med.Vol. 1, No. 2.

Oemiati R. 2013. Kajian Edidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).


Media Litbangkes. Vol. 23, No.2: 82-88.

Kusumawardani N. 2017. Hubungan Antara Keterpajanan Asap Rokok dan


Riwayat Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Indonesia. Jurnal
Ekologi Kesehatan. Vol. 15, No. 3: 160-166.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai