Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

ANESTESI UMUM PASIEN TONSILEKTOMI PADA ANAK

Penyusun:
Asfi Raihan 03015033

Pembimbing:
dr. Dian Novitasari. Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 29 APRIL - 3 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Anestesi Umum pada
Pasien Tonsilektomi Anak”. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Dian Novitasari, Sp.An Selaku pembimbing, yang telah memberikan pengarahan
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang telah memberi saran dan kritik
dalam pembuatan laporan kasus ini. Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
penulisan dalam laporan kasus ini serta penulis mengharapkan agar laporan kasus ini dapat
bermanfaat di kemudian hari.

Jakarta, Mei 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

BAB I ILUSTRASI KASUS..................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................11


2.1. Anestesi Umum.....................................................................................17
2.1.1 Definisi.........................................................................................17
2.1.2 Stadium-stadium anestesi.............................................................17
2.1.3 Manajemen Perioperatif/ Perianestesia........................................18
2.2. Endotrakeal tube ..................................................................................21
2.2.1 Definisi.........................................................................................21
2.2.2 Indikasi.........................................................................................21
2.2.3 langkah-langkah Intubasi dengan ETT........................................22
2.2.4 Tube (Ukuran)..............................................................................22
2.2.5 Teknik intubasi.............................................................................22
2.2.6 Jenis-jenis ETT............................................................................25
2.2.7 Teknik Ekstubasi..........................................................................26
2.3. Obat-obatan yang digunakan ...............................................................30
2.3.1 Premedikasi .................................................................................30
2.3.2 Anestesi Inhalasi dan Gas ...........................................................33
2.3.3 Anestesi Intravena .......................................................................34
2.3.4 Pelumpuh Otot ............................................................................36
2.3.5 Analgesik .....................................................................................37
2.3.6 Obat-obat pressor ........................................................................40
2.4 Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan ....................................41

BAB III ANALISA KASUS...................................................................................45

DAFTAR PUSTAKA………….............................................................................48

2
3
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : An. EP
Usia : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 29 Januari 2005
Alamat : Pondok Kelapa RT/RW 06/05
Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa
Tinggi badan : 155cm
Berat badan : 40 kg
Tanggal MRS : 06/05/2019
Nomor Rekam medik : 01163105

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 Mei 2019 pukul 08:00
WIB di Ruang tunggu.

a. Keluhan Utama : Amandel sejak 1 tahun yang lalu


b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli THT RSBA dengan keluhan amandel sejak 1 tahun yang lalu
hilang timbul. Sering timbul disertai dengan nyeri menelan sejak 2 bulan SMRS. Tidak
disertai dengan demam dan batuk pilek. Pasien mengeluhkan adanya batuk berdahak 1 hari
SMRS.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit mata : Tidak ada sakit mata glaucoma, katarak, dan
tidak
ada neuropatik DM, tidak menggunakan
kacamata
- Riwayat hipertensi : Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes melitus : Riwayat DM disangkal
- Riwayat penggunaan alat bantu dengar : Tidak ada penggunaan alat bantu dengar
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : Tidak ada sakit gagal jantung dan tidak ada sakit.
jantung bawaaan
- Penyakit Ginjal : Tidak ada sakit ginjal
- Penyakit saraf : Tidak ada rasa baal maupun kesemutan, tidak ada
kelemahan anggota gerak tubuh
- Riwayat Hepatitis : Tidak memiliki riwayat hepatitis A, B, maupun
hepatitis C
- Riwayat Penyakit Pernapasan : Memiliki riwayat TBC dengan pengobatan tuntas
6 bulan, memiliki riwayat asma
4
- Riwayat operasi sebelumnya : Tidak memiliki riwayat operasi
- Riwayat Anestesi : Tidak memiliki riwayat anestesi

- Riwayat Obat yang diminum : Theosal 1 tablet jika sesak


d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat diabetes mellitus : Disangkal

- Riwayat hipertensi : Kakek memiliki riwayat hipertensi

- Riwayat asma, TBC, PPOK : Disangkal

- Riwayat jantung : Disangkal

- Penyakit ginjal : Disangkal

- Penyakit saraf : Disangkal

- Riwayat operasi : Disangkal

e. Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : Disangkal

- Riwayat alergi minuman : Disangkal

- Riwayat alergi obat : Disangkal

- Riwayat alergi cuaca : Memiliki riwayat alergi pada dingin

- Riwayat alergi Debu : Memiliki riwayat alergi pada debu

1.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 07 Mei 2019, didapatkan hasil yaitu :
1) Tanda Vital
a. Kesadaran : Compos Mentis
b. Tekanan Darah : 114/73 mmHg
c. Nadi : 100 kali/menit
d. Respirasi : 20 kali/menit
e. Saturasi : 98%
5
f. Suhu : 36,8 oC
2) Status Generalis
a. Kepala
 Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-) Pupil isokor 3 mm/3 mm, reflex cahaya
lansung (+/+), reflex cahaya tidak lansung (+/+)
 Telinga : Sekret (-/-),
 Mulut : Oral Candidiasis (-), uvula deviasi, Tonsil (T4 – T4)
faring tampak hiperemis, Gigi Geligi : Caries dentis (-), gigi goyang (-), gigi
palsu (-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-/-)
c. Toraks
 Paru
Inspeksi : Pergerakkan dinding dada simetris.
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri seimbang
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-) ,Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat; Thrill (-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline Clavicula sinistra
Perkusi : Pekak (Batas jantung dalam batas normal)
Auskultasi : BJ I&II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Datar, Supel, Jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal 3x/menit
 Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik
Edema : Tidak ada edema
 Genitalia : Tidak ada kelainan. Dalam batas normal.

6
1.4 Pemeriksaan Pra Anestesi :
Ruang Asal : Bedah /THT/ Obs. Gyn/ Mata/Bedah Mulut/Ruang Rawat
Uraian Ya Tidak Keterangan
Apakah anda pernah dibius ? - √
Kapan 2018 untuk operasi Debridement digiti - √
pedis sinistra
Apakah anda menderita alergi obat - √
Apakah anda penderita asma? - √
Apakah anda menderita penyakit pada system - √
saraf?
Apakah anda menggunakan kaca mata? - √
Apakah anda menggunakan alat bantu dengar? - √
Apakah anda menggunakan gigi palsu? - √
Apakah anda pernah menderita penyakit paru - √
kronis?
Apakah anda merokok > 10 batang/ hari? - √
Apakah anda menderita penyakit jantung? - √
Apakah anda menggunakan alat pacu jantung? - √
Apakah anda menderita tekanan darah tinggi? - √
Apakah anda menderita penyakit ginjal ? - √
Apakah anda menderita penyakit infeksi saluran - √
kencing ?
Apakah anda menderita penyakit kuning ? - √
Apakah anda menderita penyakit kencing manis ? - √
Apakah anda menderita penyakit rhematik - √
Apakah anda saat ini sedang terserang flu ? - √
Apakah anda saat ini sedang terserang flu/batuk? - √
Apakah anda terbiasa minum alcohol/sejenisnya ? - √
Apakah anda terbiasa menggunakan obat-obatan - √
tertentu ?
Apakah anda suka mengalami perdarahn - √
padagusi dan hidung?

 Pemeriksaan fisik :
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 114/73 mmHg
- Nadi : 100 kali/menit
- Respirasi : 20 kali/menit
- Saturasi : 98%
- Suhu : 36,8 oC
- Kepala : Dalam batas normal
7
- Leher : Dalam batas normal
- Jantung : Dalam batas normal
- Paru : Dalam batas normal
- Abdomen : Dalam batas normal
- Ekstremitas : Dalam batas normal
- USG/Echo :-
- EKG : Irama Sinus dan tidak tampak ada kelainan
- Thorak Foto : CTR < 50% kesan jantung dan paru dalam batas normal
 Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium terlampir
Darah Rutin : hb 14.0
Kesan ASA :12345E
 Saran
- Puasa mulai jam : 00.00 hari operasi
- Infus : Venflon No. 20 RF 20 tpm
- Obat :-
- Perawatan pasca operasi : Rawat inap

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Uji Hematologi Rutin (06 Mei 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI
Hematologi Rutin 2
Leukosit (WBC) 9,7 ribu/ul 3,8 – 10,6
Eritrosit (RBC) 4,9 Juta/ul 4,4 – 5,9
Hemoglobin (HGB) 13,9 g/dL 13,2 – 17,3
Hematokrit 39 % 40 – 52
Trombosit 339 ribu/uL 150 – 400
MCV 80,7 fL 80 – 100
MCH 28,5 Pg 26 – 34
MCHC 35,3 g/dL 32 – 36
RDW 13,1* % <14
FAAL HEMOSTASIS
Protombin Time (PT)
Kontrol 14,10 Detik
Pasien 15 Detik 12 – 17
Masa Tromboplastin (APTT)

8
Kontrol 33,4 Detik
Pasien 29,3 Detik 20 – 40
KIMIA KLINIK
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 88 mg/dL < 110

1.4 Kesan Anastesi


Anak perempuan 14 tahun menderita tonsillitis kronik dengan ASA 2

1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yaitu :
 Intravena fluid drip (IVFD) RF 20 tpm, mengalir lancar
 Pro TE
 Informed Consent Operasi
 Sikap Anestesi : Dilakukan puasa dari jam 00.00 hari operasi . pemasangan venflon No.
20 cairan RF 40cc/jam.
 Acc Anestesi dengan general anastesi
 Post operasi : Perawatan diruang rawat inap

1.6 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
 Diagnosis pre operatif : Tonsillitis kronik
 Status Operatif : ASA 2, Asma
 Jenis Pembedahan : TE
 Jenis Anastesi : General anastesi dengan pemasangan endotrakeal tube
(ETT)
1.7 Laporan Anastesi
 Diagnosis Pra Bedah : Tonsilitis kronik
 Diagnosis Pasca Bedah :
 Penatalaksanaan Pre Operatif : Infus Ringerfundin 500 cc
 Penatalaksanaan Anastesi :
a. Jenis Pembedahan : TE
b. Jenis Anastesi : General anastesi dengan pemasangan Endotracheal tube
(ETT)
c. Teknik Anastesi : Pasien tidur terlentang, dilanjutkan dengan pemasangan
alat monitor dan diberikan pre oksigenasi  5 menit, O2 2 liter per menit, kemudian
dilakukan premedikasi midazolam 2,5 mg dan phentanyl 50mg i.v. Kemudian
melakukan evaluasi terhadap EKG, TD, Nadi, Nafas, pergerakan dinding dada,
saturasi O2. Apabila hasil evaluasi dalam batas aman, kemudian pasien diberikan

9
induksi Propofol 100 mg i.v dan melakukan evaluasi kesadaran pasien dengan
memanggil nama pasien atau dengan cek reflex bulu mata. Tunggu pasien sampai
berada dalam keadaan hipnotik sembari diberikan O2 dan N2O dengan perbandingan
50%:50% dan diberikan sevoflurane 0,6% dan dilakukan bagging sampai pasien
benar relax dan tidak sadar dan dilanjutkan dengan pemasangan ETT No.6, setelah
yakin ETT masuk ke trakea melalui pita suara, tube langsung dihubungkan dengan
connector ke mesin ventilator yang akan mengalirkan udara pernapasan dengan
campuran gas O2, N2O, dan sevoflurane XX%. Selanjutnya melakukan evaluasi
kedalaman tube ETT dengan menggunakan stetoskop untuk mendengan suara napas
di kedua lapang paru, dilakukan penilain apakah suara napas pada paru kanan dan
paru kiri sama. Selanjutnya lakukan pemberian tanda garis bibir pada tube
menggunakan plester atau hypafix untuk menandai kedalaman tube akan tetapi tidak
dilakukan fiksasi tube karena pada prosedur pembedahan akan dilakukan eksisi
tonsil kanan dan kiri. Ambu terus dipompa sampai pasien bernafas secara spontan
dan dilakukan observasi TTV per 5 menit melalui monitor.
d. Mulai Anastesi : 7 mei 2019, pukul 08:30 WIB
e. Mulai Operasi : 7 mei 2019, pukul 08:40 WIB
f. Premedikasi : - midazolam 2,5 mg iv
- Phentanyl 50mg i.v.
g. Induksi : Propofol 100 mg i.v
h. Anti-fibrinolitik : - Asam Traneksamat 500mg iv
- Carbazochrome Na Sulfonate 50 mg iv drip
i. Anti-dotum : - Asam Sulfate 0,25 mg iv
- Prostigmin 0,5 mg iv
j. Analgetic : Ketorolac 30 mg i.v
k. Muscle relaxant : Esmeron 20mg i.v
l. Maintenance tek. darah : Phentanyl 100mg i.v
m. Posisi : Terlentang
n. Cairan Durante Operasi : RF 500 mL
o. Selesai operasi : 09:45 WIB

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Umum
2.1.1 Definisi
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).1 Komponen dalam anesthesia umum adalah
hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (Hilangnya reflex-
refleks motorik tubuh , memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan
prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien
selama menjalani prosedur).2
2.1.2 Stadium-stadium Anestesi
Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether yang merupakan zat anestetik volatil
poten. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi : 2
1. Stadium 1 (stadium induksi)
Merupakan periode yang berlangsung sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya
kesadaran, ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium 2 (stadium eksitasi)
Stadium selanjutnya setelah kesadaran hilang adalah eksitasi dan delirium. Pernafasan
menjadi irregular. Pada stadium ini terjadi REM, muncul gerakan involuntary kadang
spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium
ini kejadian aritmia dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis.
Stadium 2 adalah stadium yang memiliki risiko tinggi.
3. Stadium 3
Disebut juga stadium pembedahan , dibagi atas empat plana, yaitu :
- Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
- Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
- Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
- Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan dangkal
Pada stadium ini otot-otot skeletal akan releks, pernafasan menjadi teratur. Prosedur
pembedahan dapat dimulai.

4. Stadium 4
Merupakan stadium overdosis obat anestetik akibat anesthesia terlalu dalam. Terjadi depresi
berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Stadium ini bersifat letal.

11
Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha untuk memperbaiki teknik
anesthesia. Anestesia modern telah berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan
keselamatan pasien. Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampai stadium 2. Sekarang
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan (maintenance) dan
emergence.2

2.1.3 Manajemen Preoperatif/ Preanestesia


a. Anamnesis
- Identitas pasien penting untuk menghindari kesalahan memberikan tidakan pada pasien
sehingga diperlukan konfirmasi identitas pasien.
- Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga ditanyakan
alergi, baik alergi makanan maupun obat-obatan.
- Riwayat tindakan operasi dan jenis anestesi yang didapatkan. Ditanyakan juga
bagaimana respon tubuh pasien terhadap anestesi yang diberikan.
- Gaya hidup dan kebiasaan, seperti kebiasaan merokok, minum alcohol atau penggunaan
obat-obat rekreasional (misalnya metamfetamin, heroin, kokain)
b. Pemeriksaan Fisik
- Pada tahapan pemeriksaan fisik di poli anestesi, tidak hanya melakukan penilaian fisik
yang berkaitan dengan kondisi medis pasien, akan tetapi juga mencakup pemeriksaan
fisik yang sekiranya akan menjadi hambatan dalam proses anestesi. Kemungkina
kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk wajah. Leher pendek dan
kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang protrusive, gigi geligi yang goyah
termasuk penggunaan gigi palsu. Selain itu, kemungkinan kesulitan dalam melakukan
intubasi juga dapat dinilai menggunakan skor Mallampati (Grade 1-4).
- Termasuk pemeriksaan tanda-tanda vital dan gambaran fungsi organ vital secara umum.

c. Pemeriksaan Tambahan
- Pemeriksaan tambahan harus sesuai indikasi dari masing-masing individu pasien.
Pemeriksaan tambahan yang biasa dilakukan mencakupi pemeriksaan darah rutin dan
EKG serta X-Ray thorax. Pada pasien yang akan melakukan operasi yang besar, tidak

12
jarang juga dilakukan pemeriksaan tambahan seperti fungsi ginjal, fungsi hepar, HIV,
dan HbsAg. 2

d. Klasifikasi Status Fisik


Status fisik menggambarkan tingkat kebugaran pasien untuk mendapatkan tindakan
anestesia. Klasifikasi status fisis yang disusun American Society of Anesthesiologist (ASA)
adalah sebagai berikut:.
- ASA I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi

- ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa pembatasan
aktivitas

- ASA III: Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat yang membatasi aktivitas rutin

- ASA IV:Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan ketidakmampuan


melakukan aktivitas rutin , yang mengancam nyawanya setiap waktu

- ASA V: Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan diperkirakan
meninggal dalam 24 jam

- ASA VI : Seorang pasien yang dinyatakan mati otak yang organnya diambil untuk
tujuan donor.3

e. Puasa
Puasa sebelum tindakan operasi bertujuan untuk mencegah refluks saluran cerna
terutama dari lambung yang mengakibatkan komplikasi aspirasi pada tindakan anestesi. Puasa
dilakukan minimal 6 jam sebelum tindakan operasi dengan tujuan memberikan rentang waktu
untuk pengosongan lambung dari makanan padat4.

f. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan sebelum melakukan induksi
anestetik yang bertujuan untuk:
1. Meredakan kecemasan

2. Mengurangi nyeri

3. Mengurangi kebutahan obat-obat anestetik


13
4. Mengurangi sekresi saluran pernafasan

5. Menyebabkan amnesia

6. Mengurangi kejadian mual-muntah pasca operasi

7. Mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan4

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi anestetik yang bertujuan untuk membuat pasien
dalam keadaan tertidur. Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuscular,
maupun perektal5

Setelah memberikan induksi, selanjutnya dilakukan pemasangan alat bantu napas


menggunakan face mask, laryngeal mask airway, atau endotrakeal tube untuk memberikan
kepatenan jalan napas bagi pasien selama tindakan operasi dilakukan5.

2.2 Intubasi
1.Pengertian Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. 3

Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal.
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.4 Intubasi nasotrakeal yaitu
tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum
laryngoscopy.6

2. Tujuan Intubasi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung,
dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea.6 Tujuan dilakukannya intubasi yaitu
sebagai berikut :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung

14
penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut 7

3.Indikasi dan kontraindikasi Intubasi


Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko
aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi
dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi,
memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar
dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran
napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan
mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi.6

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani


operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh
karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada
saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan
tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila
urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal
secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih
bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea.
Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam
laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis
cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan
trombolisis.6

15
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan
intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya
kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi
leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi
(gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.6
4.Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. 8
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi
seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada
visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.9,10

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil


Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10
16
2.2 Endotrachealtube (ETT)
2.2.1 Definisi
Endotrachealtube (ETT) meupakan alat bantu jalan napas yang paling paten karena
dapat melindungi jalan napas secara langsung(miller)

2.2.2 Indikasi
Indikasi penggunaan ETT diantaranya adalah1:
- Pada pasien yang dicurigai tidak dapat mengamankan maupun mempertahankan jalan
napas akibat adanya obstruksi jalan napas
- Pada pasien yang akan membutuhkan ventilator maupun terapi oksigen, terutama pada
pasien dengan gagal napas
- Pasien yang akan mendapatkan tindakan pembedahan di daerah kepala, leher, dan
thorax, serta pada tindakan operasi yang membutuhkan waktu lama

2.2.3 Langkah-langkah intubasi menggunakan ETT


Adapun persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan intubasi adalah:
1. Scope: laringoskop, blade laringoskop dipilih sesuai dengan ukuran mulut pasien.
Stetoskop diperlukan untuk mendengarkan suara napas setelah pipa endotrakeal
dimasukkan melewati pita suara ke trakea.
2. Tubes: pipa endotrakeal, disediakan dalam 3 ukuran
3. Airway: alat yang digunakan untuk membebaskan jalan napas, baik orotrakeal
airway (Guedel) maupun nasotrakeal airway
4. Tape: plaster untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong ataupun tercabut
5. Intriducer: mandarin atau stilet untuk mempermudah masukknya tube ke trakea
6. Connector: penyambung pipa/tube ke mesin anestesi
7. Suction: alat penyedot lender maupun darah, untuk mencegah risiko aspirasi jalan
napas.
Setelah memastikan semua alat-alat yang dibutuhkan dalam keadaan siap
digunakan, maka langkah selanjutnya adalah:
1. Memastikan ventilasi pasien dalam keadaan aman
2. Memilih ukuran tube dan blade laringoskop yang sesuai dengan ukuran pasien
3. Cek lampu laringoskop dan tes kepatenan tube

20
4. Masukkan stilet jika diperlukan kedalam tube, dan berikan lubricant pada ujung
tube
5. Lakukan preoksigenasi selama 5 menit dengan memberikan O2 dengan kecepatan
2L/menit. Sambil di evaluasi apakah ada obstruksi jalan napas dan relaksasi otot-
otot leher
6. Posisikan pasien dalam keadaan ekstensi kemudian pegang laringoskop
menggunakan tangan kiri, masukkan dari sudut kanan mulut pasien, sisihkan lidah
ke sisi kiri dan nilai visualisasi epiglottis
7. Jangkat epiglotis hingga tampak gambaran vocal cords
8. Masukkan ET tube melalui vocal cords hingga kedalaman tertentu sesuai dengan
jenis kelamin pasien
9. Dengarkan suara napas menggunakan stetoskop di kedua lapang paru, jika
terdengar sama maka kembangkan cuff untuk fiksasi tube di trakea
10. Fiksasi tube di pinggir kanan/kiri mulut pasien menggunakan plester
11. Lanjutkan memberikan ventilasi dan oksigenasi melalui ET tube

2.2.4 Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea

mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar

polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang

pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di

bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk

dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak

menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya

tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat
trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.11
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube
21
tidak memungkinkan, misalnya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi
akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan
farktur basis kranii.

Tabel Pipa Trakea dan peruntukannya (Endotracheal Tube (Breathing Tube)) Cara memilih pipa
trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

2.2.5 Teknik Ekstubasi ETT


Pada akhir pembedahan, ETT tetap pada posisinya sampai pasien sadar dan efek kerja
anestetik perlahan mulai turun sehingga pasien mampu mempertahankan jalan napasnya sendiri.

22
11
Sebelum melakukan ekstubasi, harus dilakukan proses denitrogenisasi yaitu mengalirkan O 2
murni ke paru-paru dengan tujuan untuk mencegah hipoperfusi akibat turunnya kadar N2O dalam
sistem respirasi. Kemudian, lakukan penghisapan menggunakan mesin suction, untuk mencegah
aspirasi mucus maupun darah dari aspirasi saluran pernapasan. Disamping itu, penghisapan ini
juga akan membangkitkan reflex batuk pasien, sehingga bisa menjadi tanda bahwa efek anestetik
dalam tubuh telah mencapai kadar minimal. Ekstubasi dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
peralihan antara anestesi dan sadar. Jika ekstubasi dilakukan pada saat pasien masih dalam
keadaan anestesi, akan membahayakan jalan napas pasien akibat belum timbulnya pernapasan
spontan. Akan tetapi, jika ekstubasi dilakukan pada saat pasien sadar penuh, maka akan
menyebabkan laringospasme10. Setelah melakukan ekstubasi, pasien diberikan O2 menggunakan
nasal kanul hingga pasien sampai di ruang peralihan (recovery room).

2.2.6 Jenis-jenis Endotrakealtube (ETT)


1.Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan
digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung
phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan
jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar hidung,
dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan
pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa
secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung
distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat
diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma
wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial. 12
2. Intubasi endotrakeal

23
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. mulut. Gagang diangkat ke atas
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak
aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf
V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.
Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan
auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu
dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri,
kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa
lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua
paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang
keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan

2.3 Obat-Obatan yang Digunakan


1. Premedikasi
24
Tabel 2.5 Obat-obatan yang Sering Digunakan untuk Premedikasi 5
Golongan Nama Obat Dosis (mg) Rute
Benzodiazepine Diazepam 5-20 Oral
Flurazepam 15-30 Oral
Lorazepam 2-4 Oral, IM
Midazolam 2-5 IM/ IV
Triazolam 0,125 – 0,250 Oral
Transquilizer Droperidol 0,626-2,5 IM/IV
Antihistamin Difenhidramin 25-75 Oral, IM/IV
Hidroksizin 50-100 IM
Opioid Fentanil 0,05-0,2 IM/IV
Hidromorfon 1-2 IM/IV
Morfin 5-15 IM/IV
Meperidin 50-100 IM/IV
Antikolinergik Atropin 0,2-0,6 IM/IV
Glikopirolit 0,2-0,6 IM/IV
Skopolamin/ hyosin 0,2-0,4 IM/IV

Gastrokinetik Metoklopramid 10-20 Oral, IM/IV


H2 Antagonis Simetidin 300 Oral, IM/IV
Alfa 2-agonis Klonidin 0,2-0,4 Oral
5-HT antagonis Ondansentron 4-8 IM/IV

- Benzodiazepine
Golongan obat ini mempunyai berbagai manfaat dansangat berguna untuk
premedikasi. Efek yang dapat dihasilkan antara lain ansiolisis, sedasi dan amnesia.
Efeknya dari obat ini sangat tergantung dari respon individual masing-masing
pasien.11
Diazepam adalah obat golongan ini yang pertama dan cukup sering digunakan,
meskipun sekarang lebih memilih temazepam (10-30mg) karena durasi aksinya lebih
pendek. Lorazepam (1-5 mg) menghasilkan efek amnesia lebih besar dibandingkan
obat lainnya. 11
Benzodiazepine menghasilkan efek ansiolisis pada dosis yang tidak menyebabkan
sedasi yang eksesif dan ini bermanfaat pada pasien dengan fungsi respirasi yang
terganggu, meskipun tetap harus diberikan secara intramuscular, tetapi hasil
penelitian menyebutkan bahwa pemberian secara oral member hasil yang lebih baik.

25
Untuk menghilangkan efek sedasi yang berat dari benzodiazepine dapat digunakan
phiostigmin atau spesifik antagonis golongan ini yaitu flumazenil. 11
- Butirofenon
Dari dua macam obat golonga ini yaitu haloperidol dan droperidol, hanya
droperidol yang popular pada praktek anestesi. Obat ini mempunyai efek neuroleptik
(yang bermanifestasi sebagai withdrawl dan seklusi), aksi α-blocking dan efek
anitiemetik. Tetapi droperidol dapat menyebabkan reaksi dose-dependent disphoric
dan efek ekstra pyramidal.11
Butirofenon mempunyai masa kerja yang panjang dan dapat menyebabkan
terlambat bangun setelah anestesi utamanya pada pasien tua. Efek yang paling sering
diambil dari droperidol adalah antiemetik dengan dosis 2,5 mg intravena sebagai
premedikasi dan 1,25 mg atau kurang secara intravena selama anestesi. 11
- Phenothiazines
Obat ini sangat bermanfaat sebagai obat premedikasi oleh karena mempunyai efek
sebagai berikut : aksi antiemetic sentral, sedasi, ansiolisis, antagonis H2-reseptor,
antagonis α-adrenergik, antikolinergik, potensiasi dengan opioid analgesia. 11
Kekurangannya adalah efek ekstrapiramidal, sinergisme dengan opioid yang dapat
menyebabkan terlambat bangun pasca anestesi dan potensiasi efek hipotensi dengan
agen anestesi inhalasi. Pasca operasi (utamanya pada anak yang mendapat
tromeprazine) dapat kelihatan pucat dengan takikardia dan hipotensi, seperti
menandakan terjadi hipovolemia. 11
- Obat anti kolinergik
Obat antikolinergik yang sering digunakan pada praktek anestesi adalah atropine,
hyosin, dan glikopironium. Atropine dan hyosin adalah amin tersier yang dapat
menembus sawar otak, sedangkan glikopironium adalah amin kuartener yang tidak
menembus sawar otak dan tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal. Penyerapan
atropine pada TGI tergantung pada isi lambung , pH, dan motilitas. 11
Secara klinis, obat-obat antikolinergik digunakan untuk mendapatkan efek sebagai
berikut ini : efek antisialagogue (glikopironeum dan hyosin lebih paten
dibandingkanatropin. Obat ini menghambat sekresi ketika gas anestesi digunakan dan
mengurangi sekresi eksesif dan bradikardia yang berhubungan dengan pemberian

26
suksinilkoli ulangan atau secara infuse), efek sedasi dan amnesik, pecegahan refleks
bradikardi. 5
Efek samping dari penggunaan obat antikolinergik antara lain adalah sebagai
berikut ini : toksisitas dari SSP, takikardia, midriasis, dan pireksia. 11
- β blocker
Penggunaan obat β blocker (misalnya atenolol) selamat periode perioperatif akan
membatasi respon hemodinamik pada stimulasi nociceptive seperti intubasi
endotrakea dan pembedahan serta menghambat respon stress neuroendokrin.
Penggunaan obat golongan ini pada penderita dengan risiko penyakit arteri koroner
dapat berhubungan dengan outcome yang lebih baik. Penggunaan pada pasien dengan
keterbatasan fungsi ventrikel kiri hendaknya dipertimbangkan secara hati-hati. 5
- Klonidin dan deksmedetomidin
Obat ini adalah golongan α2-agonis yang potensi sebagai obat anestesi adalah
dengan menurunkan aktivitas notadrenergik sentral. Deksmedetomidin lebih spesifik
untuk α2 reseptor dan mempunyai efek yang lebih besar sebagai obat premedikasi.
Pemberiannya mengakibatkan kebutuhan akan agen anestesi inhalasi atau propofol
menjadi lebih kecil, meskipun dapat terjadi terlambat bangun. Obat ini diduga juga
mempunyai peranan dalam melemahkan respon simpatoadrenal pada saat induksi
anestesi.11
2. Anestesi Inhalasi dan Gas
- Nitrous Oxide (N2O)
Memiliki daya analgesik yang kuat tetapi daya anestesinya lemah, harus diberikan
bersama-sama dengan oksigen yang cukup, konsentrasi tertinggi yang dianjurkan
adalah 70%, bila lebih dari itu terjadi hipoksia. Nitrous Oxide dengan konsentrasi
25% dalam oksigen setara dengan morphin 10mg, beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Adapun MAC
(Minimal Alveolar Concentration) N2O yaitu 105,2 vol%.13
- Sevoflurane
Baunya tidak menyengat dan peningkatan konsentrasi di alveolar yang cepat
membuatnya sebagai pilihan yang baik untuk induksi inhalasi pada pasien pediatrik
atau orang dewasa. Adapun MAC sevoflurane yaitu 2,05 vol %.13
- Isoflurane
27
Merupakan cairan volatile yang tidak mudah terbakar dengan bau ether yang
menyengat. Reflex faring dan laring dengan cepat hilang sehingga memudahkan
tindakan intubasi endotrakeal. Adapun MAC isflurane yaitu 1,12 vol %. 14
- Enflurane
Merupakan cairan volatile dengan bau yang menyenangkan seperti ether, suatu
larutan sodium methexide-methanol normal. Reflex faring dan laring dengan cepat
hilang sehingga memudahkan tindakan intubasi endotracheal. Adapun MAC
enflurane yaitu 1,68 vol %.14
- Halotane
Merupakan alkaline berhalogen, cairan bening tidak berwarna dan berbau harum.
Tidak merangsang jalan napas. MAC =0,72 vol %. 15
3. Anestesi Intravena
Indikasi anestesi intravena :
- Alternatif dari anestesi inhalasi
- Sedasi pada anestesi regional
- ODS (one Day Surgery), karena diperlukan pemulihan cepat dan lengkap
- Situasi sulit dilaksanakan anestesi inhalasi karena tidak ada N2O. 15
Anestesi intravena yang ideal, adalah :
- Larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan
- Mulai kerja cepat, lama kerja pendek
- Tanpa efek eksitatori
- Punya efek amnesia dan analgesia
- Menghasilkan pemulihan yang cepat
- Tanpa efek samping (mual dan muntah)
- Depresi respirasi dan kardiovaskuler minimal pada dosis klinis. 13
Tabel 2.6 Obat Anestesi Intravena 15
Obat Fungsi Dosis Onset Of Duration Of
Action Action
(OOA) (DOA)
Propofol Induksi 2-2,5 mg/kg 30” 5-10 menit
Maintenance 6-10 mg/kg/jam
Sedasi 25-100
µg/kg/menit
Thiopental Induksi 4-6 mg/kg 10” 5-15 menit
Maintenance 1-3 mg/kg/jam
Sedasi 0,2-0,4 mg/kg
28
Ketamin Induksi IV 1-3 mg/kg 30” 10-20 menit
IM 9-11 mg/kg
Midazolam Premedikasi 0,03-0,04 mg/kg 30” 15-80 menit
Sedasi 0,5-2,5 mg/kg
Induksi 0,2-0,4 mg/kg
Infus 4-6 mg/jam
Diazepam Sedasi 0,04-0,2 mg/kg 30”-60” 10-15 menit
Induksi 0,3-0,6 mg/kg 45” 15-30 menit

- Propofol
 Onset cepat, DOA pendek
 Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme
 Tidak ada komplikasi pada tempat suntikan
 Diduga menghasilkan efek sedative hpnotik melalui interaksi dengan GABA
(gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.
 Dapat elewati plasenta tapi dapat dikeluarkan dengan cepat dari sirkulasi neonatus
 Dimetabolisme dalam liver ke dalam konjugasi glucoronide dan di buang melalui
ginjal
 Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB iv
 Kontraindikasi pemberian : pasien yang diketahui pernah mengalami alergi
dengan propofol, anak-anak dibawah umur 3 tahun, sedasi pada perawatan
intensive dibawah umur 16 tahun.15
- Golongan barbiturat
Contoh disini adalah pentothal. Pentothal atau sodium thiopenton adalah obat
anestesi intravena golongan barbiturate yang bekerja cepat (short acting). Mudah larut
di dalam air dan alcohol. Indikasi : sebagai induksi pada anestesi umum, untuk
tindakan bedah kecil, suplemen anestesi regional, pengendalian kejang-kejang pada
eklamsi, epilepsy, tetanus. Kerugian pemakaian penthotal : depresi pernapasan dan
sirkulasi, cenderung mudah terjadi spasme laring, dengan dosis yang aman tidak
terjadi relaksasi otot, depresi sirkulasi sangat fatal pada pasien lemah, dan bisa terjadi
gerakan otot yang tak terordinasi. 15
- Ketamin
Ketamin adalah derivate fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan keteleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus

29
lambat. Pada saat yang sama, pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan
analgesia yang sangat baik. Disebut juga dengan anestesi disosiatif yang
menyebabkan terjadi delirium dan halusinasi. Meningkatkan tekanan darah sistolik
23% dari base line, heart rate meningkat, menyebabkan hipersekresi. 15
Adapun indikasi pemberian ketamin yaitu pembedahan singkat dan indikasi pada
penderita dengan tekanan darah yang rendah, penderita yang berisiko asma, dan
untuk analgesik dan anestesi pada obstetrik. 15
Ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), reseptor
opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarik, dan saluran voltage sensitive ion
kalsium. Ketamin tidak berinteraksi dengan GABA. 15
4. Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot yang ideal, adalah :
- Onset cepat, DOA yang pendek
- Recovery cepat, potensi yang tinggi
- Tidak akumulasi, metabolite tidak aktif
- Efek kardiovaskular tidak ada
- Tidak histamine release. 15
Tanda- tanda kekurangan obat pelumpuh otot:
- Cegukan (hiccup)
- Dinding perut kaku
- Ada tahanan pada inflasi paru. 15
Tabel 2.7 Obat-obat Pelumpuh Otot 15
Obat Dosis (mg/kg) OOA (menit) DOA (menit)
Succinylcholine 1-1,5 0,5-1 5-10
Atracurium 0,5 2,5 30-45
Vecuronium 0,08-0,12 2,5 45-60
Recuronium 0,6-1,0 1-1,5 30-45
Pancuronium 0,08-0,12 3 120

5. Analgesik
Terbagi menjadi 2 : 15,16
a. Analgesik Opioid
Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat,
terutama yang pada bagian viseral.
- Fentanil
30
Obat analgesik yang sangat kuat yang berupa cairan isotonic steril
untuk penggunaan secara IV, zat sintetik seperti pethidin dengan
kekuatan 100 kali morfin. Awitan yang cepat dan lama, aksi yang
singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar. Daya kerja
analgesia yaitu 45 menit-2 jam. Penggunaan :
Dosis rendah: 2µg/kgBB (bermanfaat dalam bedah minor tapi
menimbulkan rasa sakit), dosis sedang: 2-20 µg/kgBB untuk
pembedahan yang sulit, dosis tinggi: 20-60 µg/kgBB untuk bedah besar
dan lama.
Untuk usia lanjut dan sakit berat dosis dikurangi. Untuk induksi
dan maintenance pada umur 2-12 tahun dianjurkan penurunan dosis
menjadi 2-3 µg/kgBB.
- Morfin
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
daya kerja analgesianya cukup panjang 3-5 jam. Morfin merupakan analgetik kuat yang
bekerja secara sentral dengan meninggikan nilai ambang nyeri, mempengaruhi emosi
(sehingga dapat merubah respon pada nyeri) dan menimbulkan keadaan seperti tidur
(sehingga tidak mudah terangsang nyeri).
Untuk penggunaan klinis, dosis dewasa: 0,15 mg/kg atau 10-15 mg, untuk
premedikasi 10 mg pada orang dewasa. Pada orang tua dan anak dosis dikurangi dan
jangan diberikan pada anak umur 5 tahun ke bawah karena membahayakan.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang( 0,1-0,2
mg/kgBB, SC, IM dapat diulang tiap 4 jam), nyeri hebat (dewasa 1-2 mg IV dan dapat
diulang sesuai yang diperlukan), untuk mengurangi nyeri pasca bedah atau nyeri
persalinan (dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 intratekal dan dapat diulang antara 6-12
jam).
- Pethidin
Adalah obat narkotik-analgesik golongan opium yang memiliki efek yang lebih
rendah dari morfin kira-kira 1/10 dari morfin.
31
Penggunaan klinis untuk premedikasi (dosis 25-100 mg atau 0,5-1 mg/kg IM),
untuk analgesik paska bedah (50-100 mg IM atau per infuse 0,5-1mg/kg), untuk
analgesik selama anestesi inhalasi (N2O-O2-relaksan dengan dosis 10 mg secara
berulang). Dosis maksimum yang dianjurkan 1g/hari (20mg/kg/hari), dosis spinal 1-2
mg/kgBB.
Pethidin mempunyai efek puncak : IV (5-2o menit), IM 30-50 menit, epidural/
spinal 30 menit.
- Tramadol
Adalah campuran rasemik dari dua isomer, salah satu obat analgesik opiate (mirip
morfin), termasuk golongan aminocyclohexanol yang bekerja secara sentral pada
penghambat pengambilan kembali noradrenergic dan serotonin neurotransmission. dan,
dapat diberikan peroral, parenteral, intravena, intramuscular. Opiat analog dengan kodein
yang bereaksi menghambat nyeri pada reseptor.
Dosis tramadol hendaknya dititrasi menurut intensitas rasa nyeri dan respon
masing-masing pasien, dengan 50-100 mg 4 kali biasanya untuk memberikan
penghilangan rasa nyeri yang memadai. Total dosis harian sebanyak 400mg biasanya
cukup. Tramadol dapat digunakan pada anak-anak dengan dosis sebesar 1 hingga
2mg/kg. Dapat diberikan secara oral, IM, IV dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang
setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk kapsul atau tablet, tramadol
akan muncul di dalam plasma selama 15-45 menit, mempunyai onset setelah 1 jam yang
mencapai konsentrasi plasma pada manusia selama 2 jam.
b. Analgesik Non-Opioid
Analgesik Non-opioid digunakan untuk mengurangi nyeri ringan sampai sedang
dan berat pada keadaan tertentu. Diantaranya :
- Ketorolak
Merupakan obat anti inflamasi non steroid yang memperlihatkan aktifitas
analgesik, anti inflamasi dan antipiretik yang bekerja pada jalur siklooksigenase,
menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di
SSP, dengan aktifitas analgesik yang kuat secara perifer maupun sentral.
32
Obat ini dapat mengatasi nyeri ringan sampai berat pada kasus-kasus emergensi,
nyeri musculoskeletal, pasca bedah minor atau mayor, klik ginjal dan nyeri pada kanker,
baik untuk dewasa maupun anak-anak.
Indikasi dari pemberian ketorolak adalah untuk manajemen rasa sakit akut yang
berat jangka pendek sampai 5 hari. Untuk dosis pemberian tidak boleh lebih dari 5 hari
baik secara IM, maupun IV. Sebelum pemberian obat ini, pasien harus normovolemik.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam, sesuai dengan kebutuhan.
Dosis IM awal 30-60 mg, rumatan 15-30 mg setiap 6 jam. Dosis IV awal 15-30 mg,
rumatan 15mg setiap 6 jam. Suntikan bolus IV diberikan dalam waktu 15 detik.
Bioavalibilitas oral obat ini adalah 80-100%. Di metabolism di liver dan dibuang
melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi terminal obat ini rata-rata 5 jam. Pada usia lanjut,
penyerapan dan kadar protein tidak berpengaruh tetapi waktu pembersihannyya sedikit
memanjang kira-kira 6-7 jam. Pada pasien gangguan ginjal terjadi penurunan
pembersihan obat ini sehingga waktunya memanjang kira-kira 9-10 jam.
- Asam mefenamat
Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, sakit
gigi, dismenore primer, termasuk nyeri karena trauma, nyeri otot, dan nyeri pasca
operasi.
Dosis pemberian : 500 mg 3 kali sehari sebaiknya setelah makan; selama tidak lebih
dari 7 hari.
- Ibuprofen
Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada
penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala artritis
reumatoid, gejala osteoartritis, gejala juvenile artritis reumatoid, menurunkan
demam pada anak.
Untuk dewasa, dosis yang dianjurkan 200-250 mg 3-4 kali sehari. Anak 1-2
tahun, 50 mg 3-4 kali sehari. 3-7 tahun, 100-125 mg 3-4 kali sehari. 8-12 tahun, 200-
250 mg 3-4 kali sehari. Tidak boleh dipergunakan pada anak dengan berat badan
kurang dari 7 kg. Sebaiknya diminum setelah makan. Osteoartritis, artritis
reumatoid. 1200 mg – 1800 mg 3 kali sehari. Eksaserbasi akut. Dosis maksimum
2400 mg/hari, jika kondisi sudah stabil selanjutnya dosis dikurangi hingga
maksimum 1800 mg/hari.
33
- Parasetamol
Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut
gigi, pireksia.
Dosis oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari; anak–anak
umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3
bulan (hanya dengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3 bulan–
1 tahun 60 mg–120 mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg, dosis ini
dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali dosisdalam 24 jam),
infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anak–anak dengan berat badan lebih
dari 50 kg, 1 gram setiap 4–6 jam, maksimum 4 gram per hari, dewasa dan anak–
anak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap 4–6 jam, maksimum 60
mg/kg bb per hari.
6. Obat- obat pressor
a. Ephedrine
Obat ini adalah stimulator langsung α dan β-adrenergik dan membebaskan katekolamin
(adrenalin dan noradrenalin) dari tempat reseptor. Berperan sebagai vasopresor dan
bronkodilator. Dosis : 5-20 mg (100-200 µg/kg) IV, IM 25-50 mg.
b. Adrenaline
Obat ini adalah stimulator langsung α dan β reseptor. Sebagai vasopresor dan
bronkodilator. Dosis : dosis standar bolus IV 1 mg atau 0,02 mg/kg (10ml atau 0,02 mg/kg
larutan 1:10.000), pengeceran untuk infuse 3 mg dalam 250 ml larutan D5W atau NS (12
µg/ml)
2.4 Monitoring Pasien Intra-operatif
Selain melakukan tonsilektomi dengan benar dan tepat bagi menyembuhkan pasien, harus
memastikan kelancaran jalan nafas, mengontrol anestesi memadai untuk pasien dan tidak
berlebihan, memonitor tanda-tanda vital pasien selama operasi dan memastikan kebutuhan
cairan pasien.
a. Manajemen jalan nafas pasien
Pemeriksaan Jalan Nafas:10
Look : Perubahan status mental = Agitasi atau gelisah : Hipoksemia, Obtundasi atau teler :
Hiperkarbia. Gerak napas = Normal, See saw atau Rocking. Retraksi, Deformitas, Debris =
Darah atau secret, Muntahan, Gigi. Sianosis
34
Listen : Ada suara tambahan = Snoring : lidah, Gurgling : cairan, Stridor atau Crowing :
penyempitan
Feel : Hawa nafas, Krepitasi, Deviasi trakea, Hematoma, Getaran di leher
b. Manajemen cairan
Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan
preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative (darah, redistribusi dari cairan
dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan
perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran
cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer
Laktat biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus
digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan
intravascular.
Standar Monitoring
Sesuai standar ASA: Oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan temperatur sehingga
membutuhkan penggunaan pulse oxymeter, capnography, minute ventilation, EKG, tekanan
darah dan pengiraan suhu dengan thermometer sekiranya perlu. Tambahan yang boleh digunakan
adalah arterial line, CVP dan Neuromuscular Blocking Agent (NMBA) monitor.10

Tanda klinis dan simptom abnormalitas perfusi:


a. Central Nervous System: perubahan status mental, defisit neurologis
b. Central Venous Pressure: nyeri dada, shortness of breath, abnormalitas EKG
c. Ginjal: penurunan keluaran urin, peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin
d. Gastrointestinal: Nyeri abdomen, penurunan bowel sounds, perdarahan
e. Perifer: cool limbs, poor capillary refill, diminished pulses.

Yang harus dimonitor dalam sistem kardiovaskular pasien10:


- Penghantaran oksigen ke seluruh tubuh
- Cardiac output = Heart rate x Stroke volume
- EKG untuk mendeteksi dan mendiagnosis dysrhytmia
- Manual Blood Pressure (BP = CO x SVR)
Palpasi normal pada:
 Arteri radial (80 mmHg)
 Arteri femoral (60 mmHg)

35
 Arteri karotid (50 mmHg)
- Mean Arterial Pressure (Normal MAP: 60-70 mmHg)
- Arterial Blood Pressure (sesuai indikasi: pasien memerlukan kontrol tekanan darah
yang ketat, pasien yang tidak stabil dan arterial blood sampling)
- Central Venous Pressure
 Antara komplikasi yang dapat disebabkan oleh monitoring CVP adalah:
 Infeksi
 Pneumotoraks, hemotoraks
 Emboli udara
 Thrombosis
- Central Venous Catheter dan Pulmonary Artery Catheter insertion
- Pulmonary Artery Pressure
 Normal sistolik: 15-30 mmHg, Normal diastolik: 5-12 mmHg
 Peningkatan tekanan pulmonary artery menandakan terjadinya:
 left-to-right cardiac shunt
 hipertensi arteri pulmonal
 emfisema atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
 edem atau embolus pulmonal
 kegagalan ventrikel kiri
- Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP or PAOP)
 Normal: 5-12 mmHg

Yang harus dimonitor pada sistem respiratori pasien10:


- Pulse oxymetry
Normal: 96% - 99%
Pada pasien dengan kelainan paru, 88% masih boleh dianggap normal
- Capnography untuk menilai ventilasi pasien dan konfirmasi intubasi endotrakeal
Biasanya (normal) PetCO2 2-5 mmHg lebih rendah daripada arterial PCO2, sehingga
dibawah anestesia umum didapatkan nilai sekitar 30-40 mmHg
- Suhu tubuh (N: 36,5-37,5 oC)
Peningkatan suhu menandakan terjadi peningkatan produksi CO2
- Produksi urin
Pada dewasa: 0,5-1 cc/kg/jam
Pada anak-anak: 1-2 cc/kg/jam
- Pemantauan sistem saraf dengan menggunakan EEG
Tingkat anestesi terletak pada nilai 40-60;
Pada pasien sadar penuh akan terlihat nilai 100
- Train of Four
Mengukur tingkat blokade oleh pelumpuh otot dengan cara memberikan empat
stimulus berturutan dengan frekuensi 2 Hz selama 2 detik

36
Lain-lain seperti lampu meja operasi, posisi meja operasi, kenyamanan ruang operasi dan
kebersihan ruang operasi juga harus dipastikan oleh dokter yang memonitor pasien.

2.5 Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan


Monitoring utama pasien di ruang pemulihan berkaitan dengan komplikasi pernapasan dan
sirkulasi, sehingga diperlukan evaluasi terhadap kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, dan
saturasi oksigen setiap 5-15 menit sekali di ruang pemulihan. Penilaia yang digunakan terhadap
kondisi pemulihan pasien di ruang pemulihan mengunakan skor Aldrete score. Pasien dapat
dipindahkan ke ruang rawat apabila total skor Aldrete lebih dari 8.

Adapun beberapa komplikasi post operasi, yaitu : 15


a. Lambat bangun
Terjadi bila ketidaksadaran selama 60-90 menit setelah anestesi umum. Hal ini
biasanya disebabkan oleh terlalu dalamnya anestetik yang diberikan atau akibat kondisi
preanestesi pasien seperti penggunaan alcohol kronik.
37
b. Permasalahan jalan nafas
a. Obstruksi jalan nafas atas
Biasanya ditandai dengan penurunan saturasi oksigen dan adanya bunyi napas
abnormal seprti snoring atau gurgling. Hal ini biasa disebabkan oleh jatuhnya lidah ke
hipofaring, adanya laringospasme, edema jalan napas akibat iritasi penggunaan alat
bantu pernapasan selama pembedahan, maupun akibat adanya sumbatan langsung ke
trakea seperti gumpalan darah atau hematoma.

b. Hipoventilasi
Ditandai dengan PaCO2 lebih dari 45mmHg. Sering disebabkan oleh residu
muscle relaxant yang digunakan selama pembedahan. Penanganan yang biasa
diberikan sesuai dengan penyebabnya:
 Bila penyebab gol. Opiate : nalokson 0,2 mg
 Bila penyebab gol. Pelumpuh otot : physostikmint 2 mg
 Bila penyebab gol benzodiazepine : flumazeni 0,5 mg
 Bila penyebab nyeri :analgesi adekuat
 Bila penyebab bronkospasme : steroid, simpatomimetik (epinefrin) dan
aminofilin.
 Bila penyebab pneumothorax oleh karen aoperasi, maka dikerjakan : ventilasi
O2 100% dan suntik dengan jarum no. 14-16 pada interkostal II garis
midklavikula dan diaspirasi udaranya.
c. Kardiovaskular
a. Hipertensi
Kedaan ini biasanya disebabkan oleh adanya neuroendokrin stress respon akibat
rangsangan nyeri yang berlebihan maupun akibat adanya distensi pada vesical
urinaria. Pada pasien dengan riwayat hipertensi, penghentian obat anti-hipertensi akan
memicu hipertensi pasca operasi.
b. Aritmia
- Takikardi, terjadi akibat adanya rangsangan nyeri, hipovolemi, demam, maupun
efek obat-obat anestetik seperti penggunaan agen antikolinergik
- Bradikardi, terapi dengan pemberian sulfas atropinterjadi akibat efek residu dari
penggunaan kolinesterase inhibitor, opioid, dan beta-adrenergik bloker.
d. Hiperpireksia maligna

38
Suatu keadaan dimana produksi panas melebihi kehilangan panas dari tubuh akibat
peningkatan suhu tubuh sedikitnya 2oC/ jam. Penanganan yang diberikan pada pasien
dengan hiperpireksia maligna pasca operasi :
- Hiperventlasi dengan O2 100%
- Asidosis dikoreksi dengan bikarbonas natrikus
- Bila terjadi hiperkalemia diberi infus glukosa 5% + 10 unit insulin
- Panas diturunkan dengan kompres es
- Beri kortikosteroid 30mg/kg BB iv
e. Reaksi anafilaksis, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang harus ditangani
dengan cepat menggunakan:
- Oksigenasi
- Tinggikan kaki
- Adrenalin bolus 50-100 µg, bla perlu ulang dengan dosis 1 mg
- Infuse kristaloid/ koloid dengan cepat paling sedikit 2 liter
- Bronkodilator : aminofilin bolus 250-500 mg pelan, anti histamine, steroid dan
bikarbonas bila asidosis.

39
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang pasien perempuan berusia 14 tahun datang ke poli THT RSUD Budhi Asih
dengan keluhan amandel hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Sering timbul disertai
dengan nyeri menelan sejak 2 bulan SMRS. Tidak disertai dengan demam dan batuk pilek.
Pasien mengeluhkan adanya batuk berdahak 1 hari SMRS.
Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 114/73 mmHg, nadi
100x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu afebris. Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran
tonsil T4/T4.
Dapat disimpulkan pada pasien ini termasuk dalam ASA 2 yaitu Pasien dengan penyakit
sistemik ringan atau sedang, tanpa pembatasan aktivitas. Pada pasien ini digunanakan teknik
general anestesi dengan pemasangan ETT No. 6. Sebelum melakukan pemasangan ETT,
dilakukan preoksigenisasi selama  5 menit untuk menjaga saturasi pada pasien selama
melakukan manipulasi jalan napas pemasangan pipa ETT. Penggunaan ETT dipilih karena
pasien ini akan melakukan pembedahan eksisi tonsil kanan dan kiri, sehingga penggunaan
ETT tidak akan mengganggu proses pembedahan. Pasien diberikan premedikasi premedikasi
midazolam 2,5 mg iv yang berguna sebagai sedasi sehingga membuat pasien lebih tenang
dan mengantuk, dan obat ini bermanfaat pada pasien dengan fungsi respirasi yang terganggu
selanjutnya diberikan phentanyl 50mg i.v sebagai analgetik selama tindakan pembedahan
berlangsung.
Induksi anastesi dilakukan menggunakan propofol 100mg. kemudian diberikan face
mask dengan aliran O2 dan N2O dengan perbandingan 50%:50% dan diberikan sevoflurane
0,6% sampai reflex bulu mata pasien hilang, atau berada pada stadium 1 anestesi. Kemudian
dilanjutkan dengan pemasangan ETT No.6 dengan garis bibir 14 tanpa fiksasi plaster
dikarenakan tindakan pembedahan yang dilakukan adalah eksisi tonsil kanan dan kiri. Fiksasi
hanya diberikan plaster pada tube untuk memberikan tanda garis bibir agar tube tidak
bergeser terlalu dalam atau tercabut ke luar.
Selama operasi berlangsung, pasien diberikan ketorolac 30mg i.v sebagai analgetik, dan
esmeron 20mg i.v sebagai pelemas otot (muscle relaxant). Selama proses pembedahan
berlangsung, pasien diberikan Asam Traneksamat 500mg iv sebagai anti-fibrolitik yang

40
bekerja dengan membantu bekuan darah normal untuk mencegah dan menghentikan
pendarahan berkepanjangan dan Carbazochrome Na Sulfonate 50 mg iv drip sebagai
hemostatik. Lalu diberikan Asam Sulfate 0,25 mg iv dan prostigmin 0,5 mg iv sebagai anti-
dotum dari pelumpuh otot.
Operasi selesai pukul 09:45 dengan pemberian cairan Ringerfundin 500cc. Pembedahan
selesai dengan pemantauan akhir tekanan darah: 100/66, nadi: 71x/menit, SpO2: 99%.
Operasi dilakukan selama 40 menit dengan durasi anestesi selama 50 menit. Setelah pasien
dipastikan memiliki kepatenan jalan napas, ventilasi dan oksigenisasi yang adekuat, dan
hemodinamik yang stabil, pasien dipindahkan menuju ruang pemulihan (recovery room/RR).
Selama berada diruang pemulihan dilakukan pemantauan kesadaran, pernapasan, sirkulasi,
saturasi, dan aktivitas yang dilakukan setiap 10 menit. Berdasarkan Aldrete score sebelum
operasi didapatkan pasien dengan kesadaran composmentis (score 2), pernafasan 20x/menit
(score 2), saturasi 98% (score 2), tekanan darah 114/73 (score 2), aktifitas dapat
menggerakkan keempat ekstremitas (score 2), sehingga total Aldrete score sebelum operasi
adalah 10. Kemudian score setelah operasi dalam 10 menit pertama kesadaran belum sadar
penuh namun ketika dirangsang nyeri pasien ada rangsang nyeri E2M5V2 sehingga Aldrete
score untuk kesadaran 1, pernafasan spontan dan 20x/menit dengan score 2, saturasi 98%
score 2, tekanan darah 110/66 mmHg dengan score 2, aktifitas belum bisa menggerakkan ke
empat extremitas dengan score 1, sehingga total score Aldrete untuk 10 menit pertama adalah
8. Kemudian dilakukan pemantaun di 10 menit kedua didapatkan hasil kesadaran mata
seperti mengantuk/ mata terbuka saat adanya rangsangan suara namun setelah mendengar
pasien memejamkan matanya kembali, motorik dapat mengikuti perintah namun masih terasa
berat, verbal masih seperti orang kebingungan sehingga score 1, tekanan darah 115/70
dengan score 2, pernafasan 20x/menit score 2, saturasi 99% dengan score 2, aktifitas sudah
dapat menggerakkan extremitas namun masih terasa sulit dengan score 1, total Aldrete score
10 menit ke dua adalah 8. Kemudian dilakukan pemantauan selama 10 menit kembali,
didapatkan hasil mata sudah mulai membuka spontan, sudah dapat diajak komunikasi dengan
mengetahui nama dan lokasi saat ini sedang di rumah sakit, kemudian sudah bias
menggerakan extremitasnya sehingg didapatkan score 2, pernafasan 20x/menit score 2,

41
saturasi 100% score 2, tekanan darah 120/80 score 2, extremitas dapat digerakkan namun
masih terasa sulit score 1, sehingga total score Aldrete 9. Kemudian dilakukan pemantauan
kembali selama 10 menit didapatkan hasil kesadaran compos mentis score 2, pernafasan
20x/menit score 2, saturasi 99% score 2, tekanan darah 124/80 score 2, dan sudah dapat
menggerakkan extremitasnya score 2, total score 10 menit keempat 10. Namun tetap
dilakukan pemantauan 10 menit selanjutnya dan didapatkan hasil kesadaran compos mentis
score 2, pernafasan 20x/menit score 2, saturasi 100%% score 2, tekanan darah 117/70 score
2, dan sudah dapat menggerakkan extremitasnya score 2, total score 10 menit kelima 10.
Kemudian pasien dipindahkan ke ruangan biasa/bangsal dikarekan kondisi hemodinamik dan
kesadaran pasien sudah mulai membaik.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko H. Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. 2013. Hal 106-23, 360-70
2. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal 197-8, 292-99
3. ASA House of Delegates. ASA Physical Status Classification System. 2014. Available
at https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classification-
system
4. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. Hal
39-41
5. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217
6. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. 2005. Available at
https://www.wfsahq.org/components/com_virtual_library/media/8c7c945ffb1348b7dd29
8772ec867cfb-Laryngeal-Mask-Airway--Update-20-2005-.pdf
7. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask ( LMA ) and laryngeal tube ( LT ) with the
new perilaryngeal airway ( CobraPLA ) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 :
234 – 238
8. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter 42, . Elsivier : 2005 :
page 1617.
9. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies.
2006 : 98.
10. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217
11. Soerasdi H. Obat-Obat Anesthesia Sehari-Hari. Keperawatan Anestesi dan Gawat Darurat
Medik. Bandung. 2010. Hal 1-102
12. Pusat Informasi Obat Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Analgesik. 2015. Available at http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-pusat/47-
analgesik
13. Meriwijanti. Evaluasi efek analgesi pemakaian ketoprofen dan ketorolak intravena pasca
tonsilektomi (tesis). Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2001.

14. Kumar KH, Elavarasi P. Definition of pain and classification of pain disorders. J Adv
Clin Res Insights. 2016;3:87-90.

15. Brahmi NH, Sutiyono D. Ketamin and peritonsiller infiltration as post operative
tonsillectomi pain management in children. Jurnal Anestesiologi Indonesia.
2015;VII(2):114-9.

16. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of

43
Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm

44

Anda mungkin juga menyukai