Anda di halaman 1dari 34

TUGAS BACA

MANAJEMEN NYERI DAN PONV POST OPERATIVE

Pembimbing :

dr. Dian Novitasari, Sp. An

Penyusun :

Asfi Raihan 030.15.033

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi

RSUD Budhi Asih


Periode 29 April – 3 Juni 2019

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

MANAJEMEN NYERI DAN PONV POST OPERATIVE

Oleh:

Asfi Raihan 030.15.033

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode 29 April – 3 Juni 2019

Jakarta, Mei 2019

dr. Dian Novitasari, Sp. An.


BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh.1 Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit dan tidak nyaman pasien dengan efek samping seminimal mungkin.
Pereda nyeri pasca operasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini
dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat
dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal. Pada analisa akhir,
ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pasca operasi adalah persepsi pasien
itu sendiri terhadap rasa sakit.2

Efektivitas dari pereda rasa nyeri pasca operasi adalah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini
awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan
adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan
menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan pasca
operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat
mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.2
Post operative nausea and vomiting (PONV), atau mual dan muntah paska operasi adalah
efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi, terjadi pada 24 jam pertama paska
operasi dan terjadi sebanyak 30% pasien rawat inap dan meningkat angkanya angkanya sampai
70% pada pasien rawat inap dengan resiko tinggi. Walaupun PONV hampir selalu hilang sendiri
dan tidak fatal, namun menunjukkan angka morbiditas yang signifikan, dimana bisa terjadi
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, jahitan menjadi tegang dan terbuka, hipertensi vena dan
perdarahan, ruptur esofageal, dan keadaan yang membahayakan jiwa pada jalan nafas, walaupun
komplikasi yang lebih berat lebih jarang. Setiap kejadian muntah akan memperlama keluarnya
pasien dari ruang pemulihan selama kurang lebih 20 menit.

Pada penelitian yang dilakukan sebelum operasi, pasien memposisikan emesis atau muntah
sebagai keadaan yang paling tidak diinginkan dan nausea di urutan ke empat keadaan yang paling
tidak diinginkan dari 10 akibat negatif paska operasi; dimana nyeri merupakan urutan ketiga dari
studi ini. Karena pasien mengganggap PONV keadaan yang sangat tidak diinginkan, telah
diusulkan untuk membuat managemen PONV, sama seperti managemen nyeri.. ASPAN’s
(American Society of Perianesthesia Nurse) guideline for prevention and/or management of
PONV/PDNV skor Apfel dan skor Koivuranta digunakan dalam menilai golongan pasien
berdasarkan resikonya terhadap PONV.
BAB II

NYERI

2.1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan
tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat
berbeda dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi
(transien, intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus).
Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang
digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar dan
perubahan output otonom.3

Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang mencium bau
harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya merupakan persepsi panca indera
dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca indera,
karena stimulus nyeri merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau yang
berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan.3

2.2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :

1. Menurut onset stimulus timbulnya nyeri


A. Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan memiliki
awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang
bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera
menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.
B. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode
tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker
tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai
kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang
mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau
keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan
respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab
utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi
membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu
yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah
tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom
atau nyeri karena kanker.

2. Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri
non nosiseptif.1.

1. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan disebabkan kerusakan
jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung lokasinya nyeri dapat digolongkan nyeri somatic dan
nyeri visera.

2. Nyeri non nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan saraf
sentral maupun perifer. Kerusakan saraf dapat disebabkan oleh infeksi /inflamasi, proses
metabolic(diabetes mellitus), trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.

 Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat corda spinalis atau
thalamus misalnya differentiation pain atau central pain.
 Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya nyeri pada polineuropati dan
causalgia ( sympathetic dystrophy pain)

3. Menurut berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang, berat. Tingkatan
ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang dijelaskan pada penilaian skala nyeri.
2.3. Penilaian Nyeri

Pendekatan untuk memperoleh riwayat detail dari seorang pasien sebaiknya menggunakan
kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengetahui masalah pasien. Selain itu, perhatikan juga faktor-faktor seperti menentukan tempat
ketika melakukan wawancara, menunjukkan sikap yang suportif dan tidak menghakimi,
memperhatikan tanda-tanda verbal dan nonverbal, dan meluangkan waktu yang cukup untuk
melakukan wawncara. Penggunaan mnemonik PQRST juga akan membantu untujk mengumplkan
informasi vital yang berikaitan dengan proses nyeri pasien.4

MNEMONIK PQRST UNTUK EVALUASI NYERI

P Paliatif atau penyebab nyeri 


O Quality / kualitas nyeri

R Regio (daerah)lokasi atau penyebaran nyeri 


S Subjektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya

T Temporal atau periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri 


Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan skala assesment nyeri
tunggal atau multidimensi.4

 Uni-dimensional
I. Hanya mengukur intensitas nyeri
II. Cocok (appropriate) untuk nyeri akut

III. Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian analgetik 


IV. Skala assessment nyeri uni-dimensional 


 Visual Analog Scale (VAS)



Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri.
Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami
seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda
pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan
deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa
nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga
dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/ reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8
tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana.
Namun, untuk periode pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.4

 Verbal Rating Scale 


Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri. Dua
ujung ekstrem juga digunakan pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri.
Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami
verbal/kata-kata tidak terlal mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal
menggunakan katakata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala
yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat
dinyataka sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri
hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat
membedakan berbagai tipe nyeri.4

 Numeric Rating Scale 


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan
perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,
kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat

jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik 



 Wong Baker Pain rating Scale 


Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas
nyerinya dengan angka.4

 Multi-dimensional

I. Mengukur intensitas dan afektif (un-pleasentness) nyeri

II. Diaplikasikan untuk nyeri kronis 


III. Dapat dipakai untuk outcome assessment klinis 


 McGill Pain Questionnaire 


Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI), (3) pertanyaan pertanyaan
mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya; dan (4) indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. PRI
terdiri dari 78 kata sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam 20 kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6
kata yang menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10
menggambarkan kualitas sensorik nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal).
Kelompok 11 sampai 15 menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-sifat
otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok 17 sampai 20 untuk
keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata spesifi k untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan
angka diberikan untuk setiap kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka berdasarkan
pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total (PRI(T)).4

 The Brief Inventory (BPI)
 Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri.

Awalnya digunakan 
 untuk mengassess nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga untuk nyeri

kronik. 


 Memorial Pain Assessment Card.4 



Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas dan pengobatan nyeri kronis
secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri,
deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan mood.2

Secara umum, nyeri dibedakan antara nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik. Untuk membedakan
antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik dapat digunakan Pain Quality Assessment Tools

ID Pain dan LANNS (The Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs Pain Scale).
Untuk membedakan nyeri neuropatik atau nosiseptik juga dapat digunakan instrumen LANNS
tersebut, yang tingkat sensitivitasnya 82-91% dan spesifisitas 80- 94%. Terdiri atas kuesioner nyeri
yang harus dijawab oleh pasien dan tes sensoris. Bila skor >=12 mungkin pasien menderita nyeri
neuropatik.4

2.4. Anatomi dan Fisiologi Nyeri

Nyeri dikonduksi melalui 3 jalur neuronal yang mentrasmisi stimulus “bahaya” dari perifer ke
kortex cerebri. Badan sel dari neuron aferen primer terletak di akar ganglia dorsal, yang terletak di
foramen vertebral pada setiap tingkat medula spinalis. Setiap neuron memiliki akson tunggal yang
bercabang, mengirim satu ujung ke jaringan perifer yang diinervasinya dan yang lainnya ke dalam
tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang. Pada tanduk dorsal, neuron aferen primer bersinaps
dengan neuron orde kedua dimana aksonnya melintasi garis tengah dan naik di traktus
spinotalamikus kontralateral untuk mencapai talamus. Neuron urutan kedua bersinaps di nukleus
thalamus dengan neuron orde ketiga, yang pada gilirannya mengirim proyeksi stimulus melalui
kapsul internal dan korona radiata ke gyrus post central dari korteks serebral.5
NEURON ORDE PERTAMA

Terletak pada ganglion radix posterior ganglion spinale (anglion adalah sel saraf yg terletak diluar
susunan saraf pusat) dimana dendrite dari selsaraf tersebut datang dari reseptor, sedangkan axon-
nya pergi memasuki medulla spinalis untuk bersinaps pada neuron orde kedua.2
NEURON ORDE KEDUA

Saat serabut afferent memasukin medulla spinalis, mereka akan memisah sesuai dengan
ukuran, serabut dengan ukuran besar dan ber myelin menuju ke medial dan serabut ukuran kecil
dan tidak ber myelin akan menuju ke lateral. Serabut nyeri dapat naik atau turun menuju 1-3
segmen medulla spinal di traktur lissauer sebelum bersinaps dengan neuron orde kedua di gray
matter ipsilateral tanduk dorsal. Pada cornu posterius medulla spinalis, axon-nya dapat menyilang
garis tengah atau langsungdalam columna lateralis pada sisi yang sama, selanjutnya dari medulla
spinalis naik ke atas untuk bersinapsis pada neuron orde ketiga
NEURON ORDE KETIGA

Neuron orde ketiga terletak pada thalamus, dimana axon-nyaakan menuju pusat sensorik
sadar pada gyrus postcentralis (area pusat sensorik-area brodmann 3,2,1). Persepsi dan lokalisasi
dari nyeri terletak pada area kortikal ini. Meskipun banyak neuron pda nucleus thalamus lateral
menuju korteks somatosensory. Neuron dari intralaminar dan nucleus medial menuju ke gyrus
cingulate anterior dan ikut dalam mediasi komponen dari nyeri.

FISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.5

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Klasifikasi nosiseptor didasarkan pada
klasifikasi ujung serabut saraf terminal. Ada dua jenis serabut saraf:4

1. Diameter kecil, saraf tidak bermielin yang menghantarkan impuls lambat (2 m/sek=7.2
km/jam) , disebut serabut C.
2. Diameter besar, saraf yang bermielin yang menghantarkan impuls saraf dengan cepat (20
m/sek = 72 km/jam), disebut serabut A delta.

Nosiseptor Serat C merespon berbagai stimulus panas, mekanis, dan kimia, dan serat A
delta merespon dua jenis stimulus yakni mekanis dan mekanis panas. Ini baik diketahui bahwa
sensasi nyeri itu dapat dibuat dalam dua kategori, yang munculnya cepat, tajam (epikritik) dan
kedua nyeri lambat, tumpul, sangat lama (protopatik). Pola ini dapat dijelaskan dengan perbedaan
pada kecepatan perambatan dari impuls saraf pada dua tipe serabut saraf yang dijelaskan diatas.
Impuls serabut saraf penghantarannya cepat A delta menghasilkan sensasi yang tajam, nyeri cepat
sementara nosiseptor serabut saraf C menghasilkan sensai yang lambat, dan nyeri tumpul.6

Aktivasi perifer dari nosiseptor (transduksi) dimodulasi oleh jumlah substansi kimia yang
diproduksi atau dihasilkan ketika terdapat kerusakan sel. Mediator-mediator ini mempengaruhi
derajat aktifitas saraf dan karena itu intensitas nyeri, dapat disensasikan. Stimulasi berulang
biasanya menyebabkan sensasi dari serabut-serabut saraf perifer, menyebabkan penurunan
ambang rasa sakit dan nyeri spontan, mekanisme itu dapat dialami sebagai hipersensitifitas
kutaneus seperti area kulit dengan terbakar sinar matahari.5

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.6

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral
seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya
tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.6

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan oleh
neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar
menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan
epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut
saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang
tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf
tak bermielin (serabut C).5,6

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu5,6

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor


nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak, bradikinin
dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf.
Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

2. Transmisi


Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama,
dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus
selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron

ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri. 


3. Modulasi


Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat


 mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan


 faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri. 


4. Persepsi 


Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang

subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. 


2.5. Respon Fisiologi Terhadap Nyeri

Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya akan menimbulkan
respon terhadap tubuh. Respon tubuh terhadap nyeri merupakan terjadinya reaksi endokrin berupa
mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang secara umum disebut
sebagai respon stress.7

Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan


hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH, ACTH, GH dan Glukagon,
sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan
menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses
glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis.

Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH
menyebabkan terjadinya retensi NA dan air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga
intensitas nyeri bertambah sehingga terjadilah siklus vitrousus.7 Sirkulus vitiosus merupakan
proses penurunan tekanan O2 di arteri pulmonalis (PaO2) yang disertai peningkatan tekanan CO2
di arteri pulmonalis (PCO2) dan penurunan pH akan merangsang sentra pernafasan sehingga
terjadi hiperventilasi.8 Respon nyeri memberikan efek terhadap organ dan aktifitas. Berikut
beberapa efek nyeri terhadap oragan dan aktifitas:

a. Efek nyeri terhadap kardiovaskular

Pelepasan katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi Angiostensin II akan


mennimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormonhormon ini mempunyai efek langsung pada
miokardium atau pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiostensin II
menimbulkan vasikontriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan otot jantung dan
resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat
menimbulkan iskemia miokard. Jika retensi Na dan air bertambah makan akan timbul resiko gagal
jantung.7
b. Efek nyeri terhadap respirasi

Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan menimbulkan kelainan ventilasi perfusi.
Nyeri didaerah dada atau abdomen akan menimbulkan peningkatan otot tonus di daerah tersebut
sehingga muncul risiko hipoventilasi, kesulitan bernafass dalam mengeluarkan sputum, sehingga
penderita mudah hipoksia dan atelectasis.7

c. Efek nyeri terhadap sistem oragan lain

Peningkatan aktifitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi saluran cerna. Gangguan
pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi immunologik, nyeri akan
menimbulkan limfopenia, dan leukositosis sehingga menyebabkan resistensi terhadap kuman
patogen menurun.7

d. Efek nyeri terhadap psikologi

Pasien yang menderita nyeri akut yang berat akan mengalami gangguan kecemasan, rasa takut dan
gangguan tidur. Hal ini disebabkan karena ketidaknyamanan pasien dengan kondisinya, dimana
pasien menderita dengan rasa nyeri yang dialaminya kemudian pasien juga tidak dapat
beraktivitas. Bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien dapat mengalami gangguan depresi,
kemudian pasien akan frustasi dan mudah marah terhadap orang sekitar dan dirinya sendiri.
Kondisi pasien seperti cemas dan rasa takut akan membuat pelepasan kortisol dan katekolamin,
dimana hal tersebut akan merugikan pasien karena dapat berdampak pada sistem organ lainnya,
gangguan sistem organ yang terjadi kemudian akan membuat kondisi pasien bertambah buruk dan
psikologi pasien akan bertambah parah.2

e. Efek nyeri terhadap mutu kehidupan

Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, susah tidur, tidak enak
makan, cemas, gelisah, putus asa tidak mampu bernafas dan batuk dengan tidak baik. Keadaan
seperti ini sangat mengganggu kehidupan pernderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat
rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat. Penatalaksanaan
nyeri pada hakikatnya tidak tertuju pada mengurangi rasa nyeri melainkan untuk menjangkau
peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga dapat kembali menikmat i kehidupannya.
Sementara kualitas hidup pasien menurun karena pasien tidak bisa beristirahat dan beraktivitas.2,7

BAB III

Manajemen Nyeri pasca Operasi

3.1 Managemen Farmakologis Nyeri Pasca Operasi

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)


Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat
dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat.
Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat
yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan
penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia
yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di
perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.9

Gambar 1. WFSA Analgesic Ladder

Tabel 2 : Pilihan Obat-Obatan untuk .Manajemen Nyeri4


Tabel 3: Manajemen Nyeri Pasca bedah berdasarkan jenis pembedahaa.4

 Analgesik Non-Opioid


Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah aspirin,
paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.9
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat ini
dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang
memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat
memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika
bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran
pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief
pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.9
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan antiinflamasi.
Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase
yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator
utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada
gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna

bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.9


Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan. Jika
rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka dipilih obat
dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan
dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam
mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek samping.6
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat ulkus
peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang
banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif
untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara
klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan
OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute
lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai
supositoria dan diserap dengan baik.9
 Opioid Lemah
1. Codein

Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang
aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan
efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan
parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan
bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4
jam dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan
dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan
dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus
diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg
setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan
yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit
yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan

digunakan:
 Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai

maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral
dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat
digunakan.9

2. Tramadol

Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat
diulang setiap 4- 6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.10

 Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan opioid kuat
sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari
pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat
efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian
lain harus dilakukan.9
 Morfin


Morfin paling larut dalamair dibandingkan golongan opioid lainnya dan kerja analgesinya cukup
panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP)
yaitu depresi (analgesi, sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi
(stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi
hormon anti diuretik / ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi
pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronko kontriksinya. Efek
sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan
secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran untuk
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan, intra muskular dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai
kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4
mg epidural atau 0,05-0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.10

 Petidin


Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin,
tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang mendekati asma. Perbedaan dengan morfin
adalah sebagai berikut:

 Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air.
 Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat

dan asam normeperidinat. 


 Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan
takikardi.
 Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan.
 Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak ada hubungan
dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
 Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.10

 Fentanil 


Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali morfin, lebih larut dalam lemak
dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan
efek analgesiknya. Dosis 1-3 μg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.10

3.2. Managemen Non-Farmakologis Nyeri Pasca Operasi 


Tindakan non farmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan
berdasarkan.11

a. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:

1) Stimulasikulit 


Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan
pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu

memblok atau menurunkan impuls nyeri 


2) Stimulasielectric(TENS)

Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan
endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan pijat, mandi air hangat,
kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical
nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan
yang dihantarkan melalui elektroda luar.

3) Akupuntur


Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri.
Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung
pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.

4) Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik
dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan
sebagainya.

b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:

1)Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan, antara
lain:

1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stress
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain 


6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri 


Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:12

1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru 


2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan


 betapa nyaman hal tersebut 


3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu 


4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan, pada saat ini


 biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk mengkonsentrasikan

fikiran 
 pada kakinya yang terasa ringan dan hangat. 



5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung dan kelompok


 otot-otot lain 


6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri menjadi


 hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat. 


2) Umpanbalikbiologis


Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri
fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk
mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.

3) Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

4) Distraksi


Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual
(melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase,
memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.

5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)


Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini


memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari pasien. Apabila pasien mengalami
kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan
tidak sedang nyeri akut.

BAB IV

POST OPERATIVE NAUSEA AND VOMITING


4.1 DEFINISI
Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) tidak
mengenakkan bagi pasien dan potensial mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur
mendeskripsikan PONV sebagai ‘the big little problem’ pada pembedahan ambulatory 13.

Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan
keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus
yang bisa mecetuskan mual dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik.
Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan
faktor– faktor lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas
yang dalam, penutupan glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu berkontraksi
dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal
ini menyebabkan isi lambung keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut 14.

4.2 FAKTOR RESIKO

Etiologi muntah pada PONV terdiri dari banyak faktor. Faktor – faktornya bisa diklasifikasi
berdasarkan frekuensi terjadinya PONV pada pasien yaitu 15 :

1. Faktor – faktor pasien


a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42-51 % pada
umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa.
b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih mungkin
dibandingkan laki – laki, kemungkinan karena hormon perempuan.
c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik
karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat – obat anestesi atau
produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.
d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena
PONV
e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan
menambah resiko terjadinya PONV
f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV

2. Faktor – faktor preoperatif

a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan 
 meningkatkan insiden

PONV
b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah

c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, 
 obstruksi saluran

pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan 
 kemoterapi.

d. Pre medikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus


esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal
ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel chromaffin dan
terlepasnya ADH.

3. Faktor – faktor intraoperatif

a. Faktor anestesi
1. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah
2. Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker
bisa menyebabkan muntah
3. Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular.
4. Obat – obat anestesi : opioid adalah obat penting yang berhubungan dengan PONV.
Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.
5. Agen anestesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi
karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka
kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan dalam terjadinya PONV.
Mekanisme terjadinya muntah karena nitrous oksida karena kerjanya pada reseptor opioid
pusat, nitrous oksida juga masuk ke rongga-rongga pada operasi telinga dan saluran cerna,
yang dapat mengaktifkan sistem vestibular dan meningkatkan pemasukan ke pusat muntah.
6. Status hidrasi dan hipotensi selama induksi dan operasi adalah resiko tinggi untuk
terjadinya PONV
b. Tehnik anestesi: Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila
dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih
rendah pada emesis intra dan postoperatif. Namun bila terjadi hipotensi dapat menyebabkan
iskemia batang otak dan saluran cerna, dimana hal ini dapat meningkatkan PONV.
c. Faktor pembedahan :

1. Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan 
 PONV.

Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah 
 plastik, bedah optalmik

(stabismus), bedah THT, bedah ginekologi.

2. Durasi operasi ( setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV 
 meningkat sampai

60%) 16.

4. Faktor – faktor paska operatif

Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat 5. Terjadinya PONV sangat kompleks tapi
faktor – faktor tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif yang
berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi
lambung, riwayat sebelumnnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post
operatif adalah tekhnik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid,
intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan bahwa penggunaan opioid
menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu
pemberiannya 17
4.3 PATOFISIOLOGI

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah.
Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor
Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang
kedua pusat muntah dan CTZ. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan
dapat juga merangsang pusat muntah. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual
muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran
15
billiaris, saluran cerna dan saluran kemih dan sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah 18.

Reseptor seperti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK- 1) dapat dijumpai di
CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin,
histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor- reseptor ini mengirim pesan ke pusat
muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah.
Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot
perut untuk melakukan refleks muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah
otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ .

4.4 JENIS OPERASI yang MENYEBABKAN PONV


Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan
dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba – tiba dari kepala pasien setelah
bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV.
Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat
muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika
adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa,
penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata
yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor
15
.

Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa sekunder terhadap ileus paralitikus,
obstruksi usus halus mekanik, abses dan peradangan intraabdomen (terutama jika dalam
epigastrium) serta pemberian berbagai obat yang lazim diberikan pada pasien bedah. Anestesi
umum dan analgesik opiat tersering dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang disebabkan
oleh ileus paralitikus dan obstruksi usus memerlukan pendekatan terapi yang lebih agresif..
Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan penyimpangan metabolik dini yang dominan,
yang akhirnya bisa memerlukan koreksi jika tetap muntah 16.

4.5 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan farmakologikal PONV Morgan Jr. dan Wallenborn J. et al 19,20:

a) Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan 
 keamanannya

diantara golongan –golongan Antagonist reseptor Serotonin tersebut, seperti


Ondansetron, Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat
ini efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan
obat ini seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari
pada anti mual.
b) Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ, bila reseptor ini
dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin tersebut seperti:Benzamida
(Metoklopramide dan Domperidon), Phenotiazine (Clorpromazine dan
Proclorpromazine), dan Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol).
c) Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan Reseptor
muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam penatalaksanaan PONV
yang berhubungan dengan aktivasi sistem vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil
untuk muntah yang dirangsang langsung di CTZ .
d) Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide atau Scopolamin) mencegah
rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor
muskarinik di sistem vestibular.
e) Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah deksametason. Deksametason
berguna sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin.
Efek samping pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supressi
adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada pemakaian dosis
tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat
muntah, efek samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi
urine, mulut kering, drowsiness.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari referat ini yaitu :

1. Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
2. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi : menurut onset dan stimulus penyebabnya yakni
akut, kronik, dan menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
nosiseptif dan nyeri non nosiseptif.
3. Ada beberapa skala yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yaitu : Mnemonik
Rating Scale, Verbal Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan Visual Analogue
Scale,Wong Baker Pain Rating Scale,Mcqill pain Questionnare, BPI, Memorial PAIN
Assesetment Card.
4. Manajemen nyeri pada pasien dengan pasca operasi terdiri atas terapi farmakologis dan
non farmakologis.
5. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah obat analgesik yang dapat dibagi menjadi
3 kelompok : analgetik nonopioid, opioid dan adjuvant.
6. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan yaitu penanganan fisik dan intervensi

perilaku kognitif. 

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2005: 5-11
2. Butterworth JF et al. Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology 5th edition. McGraw-


 Hill Education. United States. 2013. 


3. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri. Jurnal Bidang Kedokteran dan Kesehatan.


 2017;(13)1:8. 


4. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. Kalbemed CDK-226.


 2015;(42)3:214-34. 


5. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC, 1997: 760-
765
6. Patel, NB. Physiologi of Pain. 2010. [cited 20 November 2016]. Available from URL:
https://sbs.uonbi.ac.ke/npatel/files/chapter_3_physiology_of_pain_.pdf
7. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks. Jakarta

Barat. 2010. hal 217-232. 


8. Wibisono Jusuf M, Winariani, Hariadi Slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.

Cetakan III. Surabaya: Airlangga University press, 2011. Hal 9- 27. 


9. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of

Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm 


10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 


11. Institute for Clinical System Improvement (ICSI). Health care Guideline: Assesment and
Management of chronic pain. 5th Edition.ICSI;2011.
12. Demir Y. Non Pharmacological therapies in pain management. [cited 19 November 2018]
Available from URL: http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/26152.pdf
13. Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarroug AW., 2003. Postoperative nausea and vomiting
in diagnostic gynaecological laparoscopic procedures: Comparison of the efficacy of the
combination of dexamethasone and metoclopramide with that of dexamethasone and
ondansetron. J Postgrad Med 49:302–6.

14. Honkavaara, P., 1995. Effect of ondansetron on nausea and vomiting after middle ear
surgery during general anaesthesia. British Journal 76: 316-8.

15. Sabiston, D.C., 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

16. Gan TJ. Evidence-based management of postoperative nausea and vomiting. Can J Anesth
2003; 50:6.

17. Saeeda I, Jain PN. Post operative nausea and vomiting (PONV) : a review article. Indian J
Anaesth 2004;48(4):253 – 8.

18. Macario A, Weinger M, Carney S, Kim A. Which clinical anesthesia outcome sare
important to avoid? The perspective of patients. Anesth Analg 1999;89:652– 8.

19. Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:
Mcgraw-Hill Companies.

20. Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea and
vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomized double blind
multicenter trial. BMJ.;1 – 6.

Anda mungkin juga menyukai