Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang


dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Berdasarkan
International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
adanya kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan atau keadaan
yang menunjukkan suatu kerusakan jaringan (Mangku dan Senapathi, 2018).
Nyeri yang berkepanjangan dapat mengganggu kualitas hidup pasien serta
dapat memperlama penyembuhan serta pemulihan pada pasien pasca operasi.
Analgetik biasanya diberikan secara intravena pada pasien rawat inap dan
dilanjutkan dengan per oral. Saat ini terdapat metode yang efektif dan aman untuk
mengatasi nyeri yang melibatkan pasien secara aktif dalam memanajemen nyeri
yang dirasakannya. Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan suatu metode
interaktif dan mutakhir dalam penanganan nyeri, dimana pasien diikutsertakan
secara aktif dalam menentukan jumlah analgetik yang diberikan yang sesuai untuk
dirinya sendiri. Konsep PCA secara luas adalah pasien segera mendapat analgetik
sesuai nyeri yang dirasakannya, baik melalui intravena, epidural, inhalasi,
transkutan maupun oral. Dalam konteks saat ini, penanganan nyeri dengan PCA di
rumah sakit menggunakan suatu mesin alat infus elektronik dengan pompa dan
dilengkapi dengan tombol kontrol untuk memasukkan sejumlah dosis analgesia.
Obat analgesia akan masuk bila pasien menekan tombol dengan dosis analgesia
yang telah terprogram sebelumnya (Jeremy, 2006).
Penggunaan mesin PCA adalah salah satu metode pemberian analgetik yang
memungkinkan untuk kontrol nyeri dengan cepat dan efektif, namun
penggunaannya perlu dokter dan tenaga medis yang terlatih serta edukasi pasien
yang baik agar keefektifitasan penggunaannya dapat maksimal (Jeremy, 2006).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Patient Controlled Analgesia (PCA)


Patient Controlled analgesia (PCA) adalah pemberian analgesia secara on-
demand, intermiten, dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu, sesuai kebutuhan
pasien yang dikendalikan oleh pasien sendiri. PCA bertujuan untuk memberikan
analgesik yang adekuat dan dapat mengoptimalkan pemberian analgesik opioid dan
meminimalkan efek variabilitas farmakokinetik dan farmakodinamik, tanpa
menimbulkan efek samping obat yang membahayakan (Marcos, et al, 2016).
Melalui PCA, pasien dapat menentukan kapan dan berapa banyak obat yang mereka
terima, untuk setiap dosis bolus sendiri sudah ditentukan dan terdapat waktu atau
berhentinya alat PCA untuk mencegah terlalu banyaknya analgesik yang diberikan
dalam waktu yang singkat. Prinsip-prinsip farmakologi yang membentuk dasar
untuk IV PCA telah ditetapkan oleh Austin et al pada tahun 1980 menggunakan
konsep konsentrasi minimum analgesik yang efektif (MEAC). Konsentrasi opioid
paling rendah di mana nyeri menghilang adalah disebut konsentrasi analgesi
minimum yang efektif (Xuan, et al, 2019).
Konsep dari PCA tidak dibatasi untuk satu kelas analgetik saja atau rute
tunggal atau satu cara administrasi, setiap analgesik yang diberikan melalui rute
apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau transdermal) dapat
dianggap sebagai PCA jika diberikan segera atas permintaan pasien dan cukup
secara kuantitas. Sampai saat ini, rute intravena adalah yang paling umum
dipertimbangkan, metode ini juga disebut dengan Patient Controlled Analgesia-
Intravena (PCA-IV). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa efikasi dari PCA-
IV lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian secara IM. Selain itu, studi juga
menunjukkan bahwa PCA-IV memberikan kepuasaan pasien tertinggi bila
dibandingkan dengan metode lainnya (Marcos, et al, 2016). Jenis analgesia yang
paling umum digunakan adalah morfin, hydromorphone, fentanyl, sufentanil dan
tramadol. Morfin merupakan pilihan utama yang biasanya digunakan pada PCA,
demand dose yang direkomendasikan untuk morfin adalah 1-2 mg dengan lockout
period 6-10 menit dan dosis kontinyu 0-2 mg per jam (Purnomo, et al, 2015).

2
B. Metode Administrasi Patient Controlled Analgesia (PCA)
Alat PCA bervariasi, mulai dari yang sederhana atau kompleks, secara mekanik
ataupun elektronik, yang biasanya bersifat disposibel dan ringan serta mobilitas
pasien bisa maksimal. Namun demikian alat PCA secara mekanik kurang fleksibel
dibandingkan yang elektronik karena membutuhkan waktu untuk pengaturan dosis
bolus dan lock out time (Purnomo, et al, 2015). Beberapa mode yang umum
digunakan untuk pompa infus PCA elektronik, yaitu:
a. Mode demand dosing: alat hanya memasukkan sejumlah obat bila
diinginkan.
b. Mode continuous infusion plus demand dosing: alat secara terus menerus
memberikan sejumlah obat, tetapi sekaligus dapat menambahkan dosis
tertentu atas permintaan penderita sesuai dengan yang ditentukan oleh
dokter sebelumnya.
Selain dua mode diatas yang umum digunakan, terdapat beberapa mode lainnya
seperti infusion demand (pemberian analgesia secara terus menerus dengan infus),
preprogrammed variable-rate infusion plus demand dosing (pemberian demand
dosing disertai dengan pemberian analgesia dengan infus yang perubahan
kecepatannya telah diatur sebelumnya), variable-rate feedback infusion plus
demand dosing (kecepatan pemberian analgesia dengan infus dan demand dosing
ditentukan oleh sebuah mikroprosesor) (Grass, 2005).
Sebelum digunakan oleh pasien, beberapa variabilitas dalam PCA perlu
diprogram terlebih dahulu seperti loading dose (satu dosis bolus yang diberikan
pada awal PCA yang biasanya lebih besar dari dosis bolus PCA, dosis awal ini
dibutuhkan untuk membangun analgesia), dosis bolus (jumlah obat yang diberikan
oleh pompa PCA ketika pasien menekan tombol), lockout interval (yaitu jarak
waktu minimal ulangan pemberian obat) dan four hour dose limit yaitu jumlah obat
maksimal yang boleh diterima oleh pasien dalam waktu 4 jam (Purnomo, et al,
2015).
Dosis bolus optimal adalah dosis yang menyediakan analgesia memuaskan
tanpa efek samping yang berlebihan. Dosis morfin optimal adalah 1 mg, namun
apabila dengan dosis ini masih dirasa belum membaik, ukuran dosis bolus mungkin
perlu disesuaikan berdasarkan skor nyeri. Waktu setelah pengiriman dosis bolus

3
dimana tidak ada obat lebih lanjut akan disampaikan oleh perangkat PCA disebut
lockout interval. Lockout interval harus cukup lama untuk memungkinkan pasien
mengukur apakah rasa sakit telah memadai. Panjang lockout interval dipengaruhi
oleh obat yang digunakan, dosis bolus, dan rute administrasi. Pada umumnya,
lockout interval adalah antara 5 dan 10 menit, namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara variasi lockout
interval tersebut (Xuan, et al, 2019).
Pada mode PCA + Continous Pump digunakan background continuous
infusion yang memberikan infus analgesia konstan (dapat dilengkapi dengan
demand dose). Dosis kontinyu ini jarang digunakan karena adanya peningkatan
insiden depresi napas dan programming errors. Selain itu, dosis bolus maksimal
juga dirasa telah adekuat dalam mengurangi nyeri pada mayoritas pasien (Ellen, et
al, 2018).
Keputusan untuk menghentikan PCA idealnya dibuat oleh ahli anestesia.
Semua pasien self-wean off PCA setelah nyeri yang mereka rasakan berkurang,
tanggal dan waktu penghentian PCA harus dicatat pada kartu pemberian PCA.
Opioid oral/rectal dapat diberikan segera setelah PCA dihentikan dan jika pasien
diprogram untuk analgesia oral, dosis pertama diberikan 1 jam sebelum PCA
dihentikan (Purnomo, et al, 2015).

C. Indikasi dan Kontraindikasi Patient Controlled Analgesia (PCA)


Saat ini, walaupun penggunaan PCA menunjukkan banyak manfaat, efek
samping dari PCA juga perlu mendapat perhatian khusus. Pemilihan pasien yang
tepat disertai dengan monitoring kondisi pasien baik selama penggunaan maupun
pasca penggunaan PCA diharapkan dapat mengurangi efek samping dari PCA.
Indikasi penggunaan PCA antara lain pasien menyetujui penggunaan PCA dan
mengerti cara menggunakannya, pasien dengan nyeri akut derajat sedang sampai
berat, serta pasien yang tidak dapat diterapi dengan analgesia oral. PCA
memerlukan kerja sama dan pemahaman dari pasien, pasien harus secara fisik
mampu menggunakan alat (dalam hal ini mampu menekan tombol), memiliki
kemampuan kognitif dalam menilai derajat nyeri mereka sehingga tepat dalam
menggunakan alat, dan kemampuan dalam memahami arahan yang dijelaskan.

4
Penggunaan PCA untuk nyeri kronis dengan eksaserbasi akut (contoh pada pasien
kanker, sickle cell crisis) juga direkomendasikan (Janet, et al, 2009; Inoue, et al,
2010).
Kontraindikasi penggunaan PCA meliputi pasien menolak, pasien tidak
mampu memahami teknik penggunaan seperti hambatan bahasa, usia yang ekstrim
(terlalu muda atau terlalu tua). Penggunaan PCA juga perlu diperhatikan pada
masalah respirasi (COPD berat), masalah jantung yang berat, gagal ginjal, pasien
dengan gangguan mental atau confused dan alergi terhadap morfin atau obat yang
digunakan. Beberapa pasien dengan kekhawatiran overdosis, kecanduan,
kurangnya pengawasan dengan perawat, dan disfungsi mesin maka diperlukan
konseling pra operasi dalam penggunaan PCA, (Benjamin, et al, 2009).

D. Keuntungan dan Kerugian Patient Controlled Analgesia (PCA)


Keuntungan dari penggunaan PCA adalah efek onset cepat (5-10 menit),
waktu yang lebih pendek antara persepsi nyeri yang terjadi dan penanganan nyeri,
sedasi yang ringan selama pemberian obat, mengatasi nyeri dengan penggunaan
obat-obatan yang minimal, mengurangi komplikasi pulmoner post operatif,
menurunkan insiden infeksi, pemulihan fungsi usus lebih cepat terjadi, kembalinya
aktivitas fisik dan rehabilitasi lebih dini, mempercepat pemberian obat-obatan
secara oral. Kerugian dari penggunaan PCA adalah perangkat infus mahal, jarum
suntik dan tubing, pasien lansia mungkin kurang mengerti prosedur pelaksanaan,
maupun kesalahan dalam memprogram pompa PCA (Nemati, 2015; Purnomo, et
al, 2015).

E. Jalur Pemberian Patient Controlled Analgesia (PCA)


Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan suatu metode interaktif dan
mutakhir dalam penanganan nyeri, dimana pasien diikutsertakan secara aktif dalam
menentukan jumlah analgetik yang diberikan yang sesuai untuk dirinya sendiri.
Konsep PCA secara luas adalah pasien segera mendapat analgetik sesuai nyeri yang
dirasakannya, baik melalui intravena, epidural, inhalasi, transkutan maupun oral
(Brian, et al, 2009; Igor, 2009).

5
1. Oral
Pemberian analgesi oral merupakan hal yang sangat lumrah dilakukan
sehari-hari, contoh pemberian analgesik apabila seseorang sakit kepala dapat
ditingkatkan dosisnya dengan penyesuaian (Brian, et al, 2009; Igor, 2009).
2. Epidural
Pemberian melalui epidural yang disebut Patient Controlled Epidural
Analgesia (PCEA) Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) merupakan
sebuah metode yang efektif dalam mengontrol nyeri dengan pemberian obat
analgesik kuat dan anestesi lokal melalui sebuah kateter yang dimasukan ke
ruang epidural yang dihubungkan dengan sebuah pompa yang akan
mengirimkan dosis kecil obat tersebut langsung menuju saraf spinal.
Dikarenakan dosis obat yang rendah untuk terbebas dari rasa nyeri, efek samping
seperti mual, sedasi, dan depresi nafas dapat diminimalkan. Penggunaan metode
ini biasanya pada prosedur obstetrik, nyeri pasca operasi tubuh bagian bawah
dan juga digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien kanker stadium
lanjut atau nyeri kronik non-kanker.
Administrasi obat secara epidural didistribusikan melalui tiga jalur utama,
antara lain melalui proses difusi melalui dura menuju cairan likuor
serebrospinalis, kemudian menuju ke medulla spinalis atau akar saraf. Kedua
melalui pengambilan oleh pembuluh darah pada ruang epidural menuju sirkulasi
sistemik. Dan terakhir pengambilan oleh lemak pada ruang epidural, membentuk
suatu kumpulan obat dimana obat tersebut bisa masuk menuju cairan likuor
serebrospinalis atau sirkulasi sistemik (Brian, et al, 2009; Igor, 2009).
3. Intravena
Jalur pemberian analgetik dengan mesin PCA umumnya dan paling sering
melalui intravena, yang disebut dengan Patient Controlled Analgesia-
Intravena (PCA-IV). Pada seting rumah sakit cara ini paling banyak
ditemukan, seringkali dijadikan manajemen nyeri paska operasi atau
manajemen nyeri pada pasien kanker stadium akhir (Brian, et al, 2009; Igor,
2009).

6
4. Inhalasi
Inhaler sekali pakai yang memungkinkan pemberian sendiri uap
methoxyflurane untuk analgesia. Karena kesederhanaan Analgizer dan
karakteristik farmakologi dari methoxyflurane, mudah bagi pasien untuk
mengelola obat sendiri dan cepat mencapai tingkat analgesik yang dapat
dipelihara dan disesuaikan seperlunya selama periode waktu yang berlangsung,
dari beberapa menit sampai beberapa jam (Brian, et al, 2009; Igor, 2009).
5. Nasal
Patient Controlled Intranasal Analgesia (PCINA or Nasal PCA) adalah
jenis PCA model spray dengan fungsi sama dan dapat dikontrol dosisnya
berdasarkan jumlah semprotan yang dibutuhkan (Brian, et al, 2009; Igor,
2009).
6. Transkutaneus
Sistem pemberian transkutan, termasuk sistem iontophoresis, telah
tersedia. Metode ini adalah sering digunakan untuk pemberian opioid seperti
fentanil, atau anestesi lokal seperti lidokain. Iontocaine adalah salah satu
contoh sistem tersebut (Brian, et al, 2009; Igor, 2009; Madeira, 2008).

Gambar 1. Pompa Infus PCA; biasanya digunakan untuk pemberian analgesik


pasca operasi melalui jalur epidural.

7
Gambar 2. Pompa Infus PCA melalui jalur intravena.
F. Obat-obat yang digunakan pada Patient Controlled Analgesia (PCA)
Banyak parameter yang harus dipilih dan ditentukan ketika meresepkan
PCA seperti obat, dosis, dan cara pemberian, salah satu dari hal tersebut bisa
menjadi penyebab kesalahan dalam meresepkan obat. Selain dari pada itu
kurangnya pengetahuan dokter akan alergi obat, jalur pemberian, dan bahaya
konsentrasi obat dan penilaian terhadap nyeri pada pasien yang tidak akurat juga
menjadi sebuah permasalahan. Morfin merupakan obat utama yang digunakan
dalam PCA, obat ini lebih aman dikarenakan kebanyakan dokter telah paham akan
efek sampingnya sehingga nyaman dalam meresepkan dan memberikan morfin
pada pasien. Apabila seorang dokter tidak paham akan alergi akan morfin, obat
sekunder seperti hydromorphone atau fentanyl biasanya dipilih pada pasien
dengan risiko tinggi alergi (Huma, et al, 2018; Grass, 2005).
Adapun bebebrapa jenis opioid yang digunakan dengan baik untuk PCA-IV
diantaranya Morfin, Hydromorfin, Fentanil, Sufentanil, dan Tramadol dimana
morfin merupakan jenis opioid yang paling banyak diteliti. Opioid parenteral
memiliki 3 sifat dalam berikatan dengan reseptor µ opiate: agonis murni, agonis-
antagonis dan agonis parsial (Tabel 2) (Huma, et al, 2018; Grass, 2005).

8
Tabel. 1 Varian Dosis PCA untuk Dewasa

µ-agonist Agonist-antagonist Partial


agonist
Morfin Butorphanol Buprenorphine
Fentanil Nalbuphine Dezocine
Hydromorfin Pentazocine
Meperidine
Sufentanil
Alfentanil
Remifentanil

Tabel 2. Opioid Parenteral


µ-agonist merupakan andalan dalam penatalaksanaan nyeri akut karena
memberikan ikatan penuh pada µ-reseptor dan tidak ada batas maksimal analgesia
(titrasi opioid lebih lanjut akan memberikan efek pengurangan rasa nyeri yang lebih
baik). Namun, terdapat "batas maksimal klinis" yang menimbulkan efek samping
seperti sedasi, depresi pernapasan, dan sering membatasi penambahan dosis

9
sebelum mencapai analgesia yang adekuat. μ agonis sama-sama efektif pada dosis
equianalgesic (misalnya, 10 mg morfin = 2 mg hidromorfon = 100 mg meperidin).
Semua agonis μ mengurangi aktivitas mendorong dan koordinasi usus, yang
berkontribusi terhadap munculnya ileus pasca operasi (Huma, et al, 2018; Grass,
2005).
Opioid agonis-antagonis mengaktivasi reseptor ĸ dan antagonis terhadap
reseptor μ. Meskipun mereka dipasarkan dengan memiliki efek batas maksimal
terhadap depresi pernafasan, sehingga memberikan margin keselamatan yang lebih
besar, efek ini muncul hanya pada dosis sangat besar jika dibandingkan secara
relatif terhadap agonis μ. Yang terpenting, agonis-antagonis memiliki batas
maksimal efek analgetik, sehingga golongan ini kurang memberikan sifat analgesia
jika dibandingkan dengangolongan agonis μ (Huma, et al, 2018; Grass, 2005).
Morfin tetap merupakan gold standar untuk PCA - IV, paling banyak dipelajari
dan paling sering digunakan sebagai regimen PCA - IV di Amerika Serikat. Penting
untuk dicatat bahwa morfin memiliki metabolit aktif, morphine-6-glukuronide
(M6G), yang juga memberikan efek analgesia, sedasi, dan depresi pernapasan.
Morphine dimetabolisme utama di hati, mengalami konjugasi untuk membentuk
morphine yang larut dalam air dan morphine-6-glucuronides (M6G Morfin
tereliminasi terutama oleh glucuronidasi, dimana metabolit aktif ini eliminasinya
bergantung terutama pada ekskresi ginjal. Depresi nafas yang dalam dan
berkepanjangan dengan onset yang lambat telah dilaporkan terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal yang menerima morfin parenteral. Beberapa penulis
menyarankan menghindari morfin untuk PCA-IV (dan menghindari pengulangan
dosis kumulatif morfin parenteral) pada pasien dengan serum kreatinin > 2,0 mg/dL
(Huma, et al, 2018; Grass, 2005).
Hidromorfon merupakan pilihan alternatif yang baik untuk pasien yang intoleran
terhadap morfin atau mereka yang dengan kegagalan fungsi hati karena
hidromorfon dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam bentuk metabolit
glukonat yang tidak aktif. Potensi hidromorfon kira-kira enam sampai kali lebih
besar dibandingkan dengan morfin, oleh karena itu demand dose 0,2 mg
hidromorfon memiliki efek analgesik setara dengan 1,0 mg morfin (Huma, et al,
2018; Grass, 2005).

10
Fentanil itu sendiri dikatakan memiliki potensi 80 – 100 kali lebih kuat jika
dibandingkan dengan pethidin apabila diberikan dalam dosis tunggal atau jika
diberikan dalam periode singkat. Namun, fentanil memiliki durasi yang singkat.
Sebuah penelitian double blind PCA – IV menunjukan dosis 25 – 30 µg fentanil
setara dengan 1 mg morfin sebagai demand dose PCA – IV. Fentanil memiliki sifat
lipofilik, oleh karena itu fentanil memiliki onset yang lebih cepat daripada morfin
sehingga fentanil juga merupakan salah satu alternatif yang sangat baik untuk
pasien dengan morfin intoleran dan cocok untuk pasien dengan gagal ginjal karena
eliminasinya tidak bergantung pada ekskresi ginja (Huma, et al, 2018; Grass, 2005).
Meperidin merupakan opioid µ agonis kedua yang paling sering diresepkan
untuk PCA-IV, akan tetapi penggunaannya secara rutin sebagai PCA-IV sangat
tidak dianjurkan karena memiliki metabolit yang bersifat neurotoksik serta
diekskresikan di ginjal. Sehingga meperidine dikontraindikasikan untuk PCA – IV
pada pasien dengan disfungsi ginjal, gangguan kejang dan yang sedang mendapat
pengobatan monoamine oksidase inhibitor karena berpotensi untuk menyebabkan
sindrom hiperpireksia maligna yang mematikan. Dosis yang dianjurkan untuk
penggunaan meperidin adalah 10 mg/kg meperidine per hari sebagai dosis yang
aman untuk PCA – IV dan tidak digunakan lebih dari 3 hari. Meperidine memiliki
potensi 1/10 morfin dan demand dose 10 mg setara dengan 1 mg morfin (Huma, et
al, 2018; Grass, 2005).

G. Monitoring pasien dengan Patient Controlled Analgesia (PCA)


Monitoring pada pasien pengguna PCA harus selalu dilakukan, agar penyedia
layanan mengetahui setiap permasalahan teknis ataupun efek samping yang diderita
oleh pasien dalam penggunaan PCA. Semua vital sign, gejala – gejala klinis,
respiratory score, sedation score, penilaian nyeri, dan durasi pemakaian PCA pada
pasien harus dimonitoring (Pratt, 2008).
a. Tanda vital dan gejala klinis
Tanda - tanda vital dan keluhan - keluhan harus dinilai secara regular dan
kontinu. Penilaian tersebut menggambarkan status generalis dari pasien.
Penilaian gejala – gejala klinis pada penggunaan PCA digunakan untuk
menilai efek samping dari analgetik yang dipakai.

11
b. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri yang dilakukan dengan Visual Analogue Scale (VAS)
ataupun Pain Faces Scale. Penilaian nyeri harus dilakukan setiap saat, untuk
mengetahui efektivitas dari terapi yang dilakukan. Penilaian nyeri dilakukan
dengan menggunakkan skala, agar pasien dapat dengan mudah
mendeskripsikan seberapa berat nyeri yang dia rasakan dan seberapa baik
perkembangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan penilaian.
c. Penilaian Sedasi
Sedasi akan mendahului depresi pernapasan akibat penambahan dosis untuk
memproduksi efek opioid yang diinginkan. Penilaian sedasi sangat penting
dilakukan pada penggunaan PCA. Rekomendasi skala penilaian derajat
sedasi yang digunakan adalah RASS (Richmond Agitation Sedation Scale).
RASS dipakai karena singkat, mudah dipergunakkan dan menggabungkan
sedasi dan agitasi menjadi satu skala. Dasar pemilihan RASS adalah untuk
melihat seberapa besar jumlah stimulasi yang dipergunakkan untuk
memunculkan respon dan evaluasi sedasi. Beberapa peneliti juga
mempergunakkan Pasero scale untuk penilaian spesifik terhadap sedasi
yang diinduksi oleh opioid.

Tabel 3 & 4. Richmond Agitation Sedation Scale dan Pasero Scale


H. Efek Samping PCA dan Penatalaksanaannya
Efek samping dan risiko penggunaan PCA dengan opioid yaitu mual, muntah,
pruritus, retensi urine dan depresi respirasi. Efek samping yang paling sering terjadi
pada penggunaan opioid berupa mual, muntah, gatal dan ileus. Hampir semua
overdosis yang berkaitan dengan PCA terjadi dari kesalahan parameterprogram.

12
Malfungsi mekanik pada peralatan PCA telah dilaporkan tetapi sangat jarang
terjadi.
Penyebab post operative nausea and vomiting (PONV) adalah multifaktorial.
Opioid juga dapat menginduksi PONV yang membutuhkan terapi dengan
antiemetik. Secara epidemiologi, kejadian mual muntah yang berhubungan dengan
PCA adalah sekitar 20%. Sejumlah strategi telah digunakan untuk mengurangi
insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV), termasuk menambahkan
antiemetik ke PCA infus. Prometazin, cyclizine, droperidol, ondansetron,
granisetron merupakan pilihan antiemetik yang sering digunakan.
Pruritus merupakan hasil dari aktivasi reseptor opioid dalam spinal cord.
Biasanya pasien merasa tidak nyaman ditandai dengan gosokan dan garukan pada
lengan, leher dan muka. Monitor tanda-tanda reaksi alergi seperti peningkatan
temperatur, dyspnea, atau edema. Pruritus merupakan efek samping yang relatif
umum, mempengaruhi 14% dari pasien yang menerima PCA. Pruritus pada tiap
pasien bervariasi dalam tingkat keparahan, bisa sulit untuk mengelola, dan mungkin
resisten terhadap pengobatan konvensional seperti antihistamin. Antagonis opioid
seperti nalokson dan naltrexone, serta nalbuphine dan droperidol, efektif dalam
mencegah pruritus.
Hipotensi dapat terjadi selama pemberian PCA, hal ini ditandai dengan
peningkatan nadi, penurunan urine output, hilangnya turgor kulit, dan mulut kering
merupakan indikasi penggantian volume cairan. Administrasi morfin baik melalui
PCA dan intramuskular analgesia, serta melalui analgesia epidural, dapat
menghasilkan penurunan tekanan darah (hipotensi). Namun, hipotensi mungkin
hasil dari faktor-faktor lain selain teknik analgesik. Hipotensi telah didefinisikan
sebagai penurunan tekanan darah sistolik lebih besar dari 20% sampai 30% dari
nilai pra operasi, dengan nilai absolut tekanan darah sistolik kurang dari 80 hingga
100 mm Hg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 90/60 mmHg. Insiden
hipotensi dengan PCA < 1%, kejadian ini lebih rendah pada teknik PCA
intramuskular dan epidural. Jika tekanan darah sistolik ≤85 mmHg, maka hentikan
infus PCA, posisikan pasien tidur terlentang dengan kaki ditinggikan, berikan O2 4
lt/menit.

13
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin Sherman. Ikay Enu. Raymond S. Sinatra. (2009). Patient Controlled
Analgesia Devices and Analgesic Infusion Pump: Acute Pain
Management. Cambridge University Press. 302-209.
Brian, M., N. Winnie, H. Rodney, G. Josh, S. Jeff. (2009). The Rate and Costs
Attributable to Intravenous Patient Controlled Analgesia Errors. Hosp
Pharm. 44: 312-324.
Ellen, S. dan Liu, S. (2018). Patient-Controlled Analgesia. Essentials of Pain
Medicine, 4th ed, Philadelphia: Elsevier.
Grass, J. (2005). Patient Controlled Analgesia. Anesthesia and Analgesia. 101:S44
–S61
Huma, H., Basharath, U., Deepthi, V. (2018). Patient Controlled Analgesia.
European Journal of Pharmaceutical and Medical Research. 11:251-254.
Igor, K. (2009). Patient Controlled Analgesia Analgesimetry and Its Problems.
Anesth Analg. 108: 1945-1949.
Inoue S. Taira K. Seo N. Indications for Postoperative Intravenous Patient-
Controlled Analgesia. The Journal of Japan Societyfor Clinical
Anesthesia. 2010. 30(4):676-682.
Jeremy N. Chasman. (2006). Patient-Controlled Analgesia. An Evidence-Based
Guide To Practice. Saunders Elsevier.Philadephia: Mechanisms of
Postoperative Pain-Nociceptive. 157-161.
Madeira, I. (2008). Morphine Patient Controlled Analgesia for Postoperative
Analgesia in Patient Who Have Transplanted Cadaver Donor Kidneys.
Oporto Hospital Centre. 125-130.
Mangku, G. dan Senapathi, T. (2018). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
3rd ed. Jakarta: Indeks.
Marcos, TPF., Hernandes F.B., de Almeida T.N. (2017). Patient-Controlled
Analgesia (PCA) in Acute Pain: Pharmacological and Clinical Aspects.
Pain Relief - From Analgesics to Alternative Therapies, Cecilia
Maldonado, IntechOpen, DOI: 10.5772/67299.
Moss Janet. (2009). Failure Mode and Effects Analysis in Reducing Error with
Patient-Controlled Analgesia. Institute for Safe Medication Practices.

14
Nemati, MH. (2015). The evaluation of the benefits of pain control by patients using
PCA pump compared to medicine injection to ease the pain by nurses.
Journal of Medicine and Life. 8(4):144-149
Pratt, N. (2008). Patient Controlled Analgesia (PCA) Guidelines of Care. San
Diego.
Purnomo, D. P., Mahmud, Uyun, Y. (2015). Patient Controlled Analgesia (PCA)
Post Operation. Jurnal Komplikasi Anestesi. 2(2):95-111.
Xuan, X., Cui, H., Cao, Y. (2015). Current Status and application of patient
controlled analgesia: a literature review. International Journal of Clinical
and Experimental Medicine. 12(3):2633-2641.

15

Anda mungkin juga menyukai