Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional. Komponen
emosional itu sendiri berbeda beda pada masing masing orang serta pada orang
yang sama berbeda pula dari waktu ke waktu. Nyeri itu sendiri menurut The
International Association for Study of Pain (IASP) didefinisikan sebagai bentuk
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan
atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan. [1] Nyeri adalah salah
satu alasan paling umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis dan
merupakan salah satu keluhan yang paling umum di Amerika Serikat. 9 dari 10
orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih, menderita nyeri minima sekali sebulan
dan 42% diantaranya merasakannya setiap hari. Akibatnya dokter dan praktisi lain
membutuhkan pendidikan untuk membantu dalam mengembangkan kemampuan
yang dibutuhkan untuk mengevaluasi dan mengelola pasien dengan nyeri.[2]
Nyeri itu sendiri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
didefinisikan sebagai sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata,
sedangkan pada nyeri kronis didapatkan perasaan yang sama tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan. Nyeri disamping menimbulkan penderitaan, juga berfungsi
sebagai proteksi, defensif dan penunjang diagnostik.[3] Nyeri akut apabila tidak
ditangani dapat menjadi nyeri kronis, sehingga pemahaman mengenai mekanisme
dan fisiologi nyeri sangatlah penting untuk menanggulangi nyeri yang diderita
oleh pasien. [1,2]
Penatalaksanaan nyeri itu sendiri baik nyeri akut maupun kronis tidaklah sama
satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan terhadap
penggunaan opiod serta faktor faktor psikososial lainnya. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk kontrol cepat terhadap nyeri adalah dengan
menggunakan Patient-Controlled Analgesia (PCA).[2] Teknologi PCA telah
digunakan sejak tahun 1970an. Pompa PCA memungkin pasien untuk memiliki

satu set dosis yang tersedia sesuai kebutuhan dalam menangani nyeri sesegera
mungkin.[4]
Hasil dari suatu studi meta-analisis menunjukan bahwa PCA memberikan hasil
yang lebih baik dalam penanganan nyeri dibandingkan dengan metode
konvensional. Intensitas nyeri pasien dengan menggunakan skala VAS (Visual
Analog Scale) lebih rendah pada pasien yang mendapat terapi PCA.[5]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Patient-Controlled Analgesia (PCA)


Patient-Controlled Analgesia (PCA) secara umum diasumsikan sebagai
pemberian opiod secara on-demand, intermiten, IV dibawah kendali pasien
(dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu). Teknik ini didasarkan pada
penggunaan dari pompa infus mikroprosesor canggih yang memberikan
opioid dengan dosis terprogram saat pasien menekan tombol permintaan
yang terdapat pada alat tersebut.[2,6] Penting untuk dicatat bahwa PCA
adalah konseptual kerangka kerja untuk administrasi analgesik. Konsep
yang lebih luas dari PCA tidak dibatasi untuk satu kelas analgetik saja atau
rute tunggal atau satu cara administrasi. Setiap analgesik yang diberikan
melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau
transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika diberikan segera atas
permintaan pasien dan cukup secara kuantitas.[2,6]

2.2

Metode Admistrasi PCA


PCA memiliki beberapa metode administrasi. Dua yang paling umum
digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan sesuai
permintaan secara intermitten) dan infus kontinyu yang ditambahkan
demand dosing (didukung dengan infus kontinyu ditambahkan dengan
dosis sesuai permintaan pasien). Hampir semua perangkat PCA modern
menawarkan kedua metode ini.[2,6]
Efek analgetik yang adekuat opioid didapatkan jika konsentrasi plasma
mencapai

kadar

MEAC.

MEAC

(Minimum

Effective

Analgesic

Concentration) merupakan konsentrasi suatu obat dalam plasma yang


memberikan efek analgesik yang efektif tanpa efek samping. Teknologi
PCA berguna untuk mengatur pemberian sehingga MEAC yang
didapatkan dapat dipertahankan selama diperlukan. Pompa PCA dapat
diprogram untuk dapat membatasi jumlah analgesik yang bisa pasien

dapatkan, sesuai dengan kebutuhan pasien menggunakan suatu sistem


lockout interval.[4,7]
Untuk semua mode PCA, ada beberapa variabel dasar : initial loading
dose (dosis awal), demand dose (dosis permintaan), lockout interval,
dukungan infus kontinyu. Initial loading dose memungkinkan titrasi dari
obat ketika diaktivasi oleh programmer (bukan pasien). Untuk mencegah
overdosis akibat permintaan yang berkelanjutan, semua alat PCA
menggunakan lockout interval atau delay, yang merupakan jarak waktu
dimana mesin tidak akan mengeluarkan obat sesuai demand dose (bahkan
jika pasien memencet tombol permintaan) setelah permintaan yang sukses
sebelumnya.[2,4,6]
2.3

Keunggulan dan Kelemahan PCA


Keunggulan PCA adalah respon terhadap nyeri cepat dan dosis analgesik
setiap pasien juga lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan pasien itu
sendiri secara individual, karena setiap pasien memiliki respon dosis
analgesia yang berbeda-beda terhadap opioid. Dengan penggunaan mesin
PCA, pemberian opioid akan lebih aman dan terkontrol sehingga dapat
menghindari depresi pernapasan dan efek-efek samping lainnya. Selain itu,
saat pasien menerima dosis opioid yang cukup dan mulai tersedasi opioid,
pasien diharapkan tidak akan menekan tombol untuk menerima opioid lagi .
[8]

Namun dibalik semua kelebihannya, PCA memiliki kelemahan, yaitu


diperlukan petugas medis yang yang terlatih untuk mengawasi PCA.
Kesalahan pemberian analgetik bisa terjadi apabila petugas medis tidak
terlatih ataupun tidak memahami dengan baik tentang pengoperasian
ataupun dalam memprogram mesin PCA tersebut. Edukasi kepada pasien
juga sangat penting agar pasien memahami dan mengerti instruksi
penggunaan tombol permintaan pada mesin PCA. Kedua hal ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan efektifitas dan keamanan pasien yang

sedang diberikan analgetik melalui mesin PCA. Selain hal tersebut,


penggunaan mesin PCA relatif lebih mahal dengan cara pemberian
analgetik lainnya, seperti infus dan peroral.[8]
2.4

PCA Intavena (PCA-IV)


Sebelum menerapkan penggunaan PCA, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sebagai berikut:[9]
a. Proses Pemilihan Pasien
Sebelum pasien diberikan obat melalui alat PCA, diharuskan untuk
memilih kandidat pasien yang tepat. Kesalahan dalam dalam
pemilihan pasien akan menempatkan pasien dalam posisi beresiko.
PCA memerlukan kerja sama dan pemahaman dari pasien, pasien
harus secara fisik mampu menggunakan alat (dalam hal ini mampu
menekan tombol), memiliki kemampuan kognitif dalam menilai
derajat nyeri mereka sehingga tepat dalam menggunakan alat, dan
kemampuan dalam memahami arahan yang dijelaskan.
b. Proses Peresepan Obat
Banyak parameter yang harus dipilih dan ditentukan dalam peresepan
PCA seperti obat, dosis, dan cara pemberian, salah satu dari hal
tersebut bisa menjadi penyebab

kesalahan dalam hal peresepan.

Selain dari pada itu kurangnya pengehtahuan dokter akan alergi obat,
jalur pemberian, dan bahaya konsentrasi obat dan penilaian terhadap
nyeri pada pasien

yang tidak akurat juga menjadi sebuah

permasalahan. Morphine merupakan obat utama yang digunakan


dalam PCA, obat ini lebih aman dikarenakan kebanyakan dokter telah
paham akan efek sampingnya sehingga nyaman dalam meresepkan
dan memberikan morphine pada pasien. Apabila seorang dokter tidak
paham

akan

alergi

akan

morphine,

obat

sekunder

seperti

hydromorphone atau fentanyl biasanya dipilih pada pasien dengan


resiko tinggi alergi.
Kurangnya pengetahuan akan cara pemberian obat melalui PCA juga
bisa menjadi masalah. Kebanyakan alat PCA memberikan pilihan
continous atau basal rate dalam kaitan dosis obat pasien. Tanpa

pengehtahuan khusus akan dosis basal atau continous rates (begitu


juga riwayat pengobatan nyeri pasien), pemilihan dosis basal rates
bisa menempatkan pasien dalam resiko keracunan opioid. Basal rate
tidak disarankan kecuali pasien memang benar toleran dalam
pemberian opioid. Ketidakakuratan akan penilaian nyeri juga menjadi
salah satu sumber masalah. Penilaian nyeri yang lengkap bukan hanya
melalui skala angka akan tetapi riwayat nyeri pasien dan penilaian
akan episode nyeri yang pasien alami sekarang akan menentukan
ketepatan penggunaan PCA.
Bentuk pemberian PCA yang menjadi standar termasuk pemantauan
terhadap parameter, penanganan efek samping, pemilihan obat
(morphine, hydromorphone, dan fentanyl) dan cara kerja alat. Dalam
hal pemilihan obat juga telah ditentukan konsentrasi standar dari tiap
obat yang digunakan pada PCA.
c. Proses Administrasi Obat
Proses utama dari pemberian PCA adalah administrasi obat, yang
melibatkan pompa infus dan keterlibatan perawat dan pasien dalam
pemakaiannya. Sesuai definisi, PCA hanya boleh digunakan oleh
pasien. Salah satu kesalahannya adalah perawat ikut menekan tombol
untuk pasien. Banyak pendapat jika perawat yang mengatur
pemberian analgesia dikatakan tidak aman saat menggunakan metode
pompa PCA, masalah ini juga bisa terjadi jika anggota keluarga ikut
campur dalam pemberian PCA dengan menekan tombol untuk orang
yang mereka sayangi. Apabila keluarga telah diberikan informasi
mengenai bahaya tersebut namun tetap ikut campur maka penggunaan
PCA pada pasien bisa dihentikan.
Tabel. 1 Varian Dosis PCA untuk Dewasa

2.4.1. Pemilihan Opioid


Adapun bebebrapa jenis opioid yang digunakan dengan baik untuk
PCA-IV diantaranya Morfin, Hydromorfin, Fentanil, Sufentanil,
dan Tramadol dimana morfin merupakan jenis opioid yang paling
banyak diteliti. Opioid parenteral memiliki 3 sifat dalam berikatan
dengan reseptor opiate : agonis murni, agonis-antagonis dan
agonis parsial (Tabel 2).[2,6]

Tabel 2. Opioid Parenteral

-agonist

Agonist-antagonist

Partial

Morfin

Butorphanol

agonist
Buprenorphin

Fentanil

Nalbuphine

Hydromorfin

Pentazocine

Dezocine

Meperidine
Sufentanil
Alfentanil
Remifentanil
-agonist merupakan andalan dalam penatalaksanaan nyeri akut
karena memberikan ikatan penuh pada -reseptor dan tidak ada
batas maksimal analgesia (titrasi opioid lebih lanjut akan
memberikan efek pengurangan rasa nyeri yang lebih baik). Namun,
terdapat "batas maksimal klinis" yang menimbulkan efek samping
seperti sedasi, depresi pernapasan, dan sering membatasi
penambahan dosis sebelum mencapai analgesia yang adekuat.
agonis sama-sama efektif pada dosis equianalgesic (misalnya, 10
mg morfin = 2 mg hidromorfon = 100 mg meperidin). Semua
agonis mengurangi aktivitas mendorong dan koordinasi usus,
yang berkontribusi terhadap munculnya ileus pasca operasi. [2,6]
Opioid agonis-antagonis mengaktivasi reseptor dan antagonis
terhadap reseptor . Meskipun mereka dipasarkan dengan memiliki
efek batas maksimal terhadap depresi pernafasan, sehingga
memberikan margin keselamatan yang lebih besar, efek ini muncul
hanya pada dosis sangat besar jika dibandingkan secara relatif
terhadap agonis . Yang terpenting, agonis-antagonis memiliki
batas maksimal efek analgetik, sehingga golongan ini kurang
memberikan sifat analgesia jika dibandingkan dengangolongan
agonis .[2,6]

Morfin tetap merupakan gold standar untuk PCA - IV, paling


banyak dipelajari dan paling sering digunakan sebagai regimen
PCA - IV di Amerika Serikat. Penting untuk dicatat bahwa morfin
memiliki metabolit aktif, morphine-6-glukuronide (M6G), yang
juga memberikan efek analgesia, sedasi, dan depresi pernapasan.
Morphine dimetabolisme utama di hati, mengalami konjugasi untuk
membentuk morphine yang larut dalam air dan morphine-6glucuronides

(M6G

Morfin

tereliminasi

terutama

oleh

glucuronidasi, dimana metabolit aktif ini eliminasinya bergantung


terutama pada ekskresi ginjal. Depresi nafas yang dalam dan
berkepanjangan dengan onset yang lambat telah dilaporkan terjadi
pada pasien dengan gagal ginjal yang menerima morfin parenteral.
Beberapa penulis menyarankan menghindari morfin untuk PCA-IV
(dan menghindari pengulangan dosis kumulatif morfin parenteral)
pada pasien dengan serum kreatinin > 2,0 mg/dL.[2,6]
Hidromorfon merupakan pilihan alternatif yang baik untuk pasien
yang intoleran terhadap morfin atau mereka yang dengan kegagalan
fungsi hati karena hidromorfon dimetabolisme di hati dan
diekskresikan dalam bentuk metabolit glukonat yang tidak aktif.
Potensi hidromorfon kira-kira enak kali lebih besar dibandingkan
dengan morfin, oleh karena itu demand dose 0,2 mg hidromorfon
memiliki efek analgesik setara dengan 1,0 mg morfin.[2,6]
Fentanil itu sendiri dikatakan memiliki potensi 80 100 kali lebih
kuat jika dibandingkan dengan morfin apabila diberikan dalam
dosis tunggal atau jika diberikan dalam periode singkat. Namun,
fentanil memiliki durasi yang singkat. Sebuah penelitian double
blind PCA IV menunjukan dosis 25 30 g fentanil setara
dengan 1 mg morfin sebagai demand dose PCA IV. Fentanil
memiliki sifat lipofilik, oleh karena itu fentanil memiliki onset
yang lebih cepat daripada morfin sehingga fentanil juga merupakan

salah satu alternatif yang sangat baik untuk pasien dengan morfin
intoleran dan cocok untuk pasien dengan gagal ginjal karena
eliminasinya tidak bergantung pada ekskresi ginja.[2,6]
Meperidin merupakan opioid agonis kedua yang paling sering
diresepkan untuk PCA-IV, akan tetapi penggunaannya secara rutin
sebagai PCA-IV sangat tidak dianjurkan karena memiliki metabolit
yang bersifat neurotoksik serta diekskresikan di ginjal. Sehingga
meperidine dikontraindikasikan untuk PCA IV pada pasien
dengan disfungsi ginjal, gangguan kejang dan yang sedang
mendapat pengobatan monoamine oksidase inhibitor karena
berpotensi untuk menyebabkan sindrom hiperpireksia maligna yang
mematikan. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan meperidin
adalah 10 mg/kg meperidine per hari sebagai dosis yang aman
untuk PCA IV dan tidak digunakan lebih dari 3 hari. Meperidine
memiliki potensi 1/10 morfin dan demand dose 10 mg setara
dengan 1 mg morfin.[2,6]
2.5

PCA Epidural
Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) merupakan sebuah metode
yang efektif dalam mengontrol nyeri dengan pemberian obat analgesik
kuat dan anestesi lokal melalui sebuah kateter yang dimasukan ke ruang
epidural yang dihubungkan dengan sebuah pompa yang akan mengirimkan
dosis kecil obat tersebut langsung menuju saraf spinal. Dikarenakan dosis
obat yang rendah untuk terbebas dari rasa nyeri, efek samping seperti
mual, sedasi, dan depresi nafas dapat diminimalkan. Penggunaan metode
ini biasanya pada prosedur obstetrik dan nyeri pasca operasi tubuh bagian
bawah. Dan juga digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien
kanker stadium lanjut atau nyeri kronik non-kanker.
Administrasi obat secara epidural didistribusikan melalui tiga jalur utama,
antara lain melalui proses difusi melalui dura menuju cairan likuor
serebrospinalis, kemudian menuju ke medulla spinalis atau akar saraf.

10

Kedua melalui pengambilan oleh pembuluh darah pada ruang epidural


menuju sirkulasi sistemik. Dan terakhir pengambilan oleh lemak pada
ruang epidural, membentuk suatu kumpulan obat dimana obat tersebut bisa
masuk menuju cairan likuor serebrospinalis atau sirkulasi sistemik.
Melalui penggunaan patient controlled epidural analgesia (PCEA)
memungkinkan pasien untuk berperan dalam menentukan kebutuhan akan
obat analgesik secara pribadi. PCEA bisa memberikan waktu untuk
terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik, kontrol terhadap nyeri, dan
menjadi keuntungan bagi pasien dan perawat untuk mengurangi waktu
yang diperlukan untuk mendapatkan dan memberikan bolus obat
analgesik. Apabila menggunakan obat anastesi lokal, lockout interval harus
minimal 15 menit untuk memberikan efek puncak dari dosis obat anestesi
lokal.
Berdasarkan pengalaman klinis disarankan penggunaan ropivacaine atau
bupivacaine dalam konsentrasi 0,1% atau kurang. Penambahan obat opioid
lipofilik akan menurunkan konsentrasi obat anestesi lokal yang digunakan
dan mengurangi blok motorik. Baik fentanyl (1-3 g/ml) atau sufentanyl
(0,2-0,3 g/ml) sama nilai efektivitasnya. Terdapat tiga parameter yang
harus diatur antara lain volume bolus, lockout interval, dan background
infusion. Beberapa dokter juga mengatur volume maksimum setiap periode
2 sampai 4 jam.
Pada pengaturan volume bolus dikarenakan seorang dokter tidak harus
selalu datang setiap kali pasien menerima dosis obat, volume bolus
haruslah cukup efektif dan aman bagi pasien. Dosis antara 3 sampai 5 mg
ropivacaine atau bupivacaine dapat menjadi pilihan (3,05,0 ml 0,1% atau
3,75- 6,25 ml 0,08%). Biasanya dimulai dengan 5-8 ml bolus 0,08%
bupivacaine dengan 2g/ml fentanyl. Lockout interval haruslah diatur agar
sesuai dengan waktu dimana dosis obat menjadi efektif. Contohnya pasien
merasakan peningkatan efek analgesia dalam 10 menit apabila
menggunakan bupivacaine. Oleh karena itu lockout interval harus diantara
10 sampai 15 menit agar tepat dengan efektivitas obat tersebut.

11

Menggunakan atau tidak menggunakan background infusion menjadi hal


kontroversial. Beberapa dokter yang berpengalaman dalam PCA IV
memilih tidak menggunakan background infusion. Akan tetapi dalam
penggunaan PCEA tidaklah sama dikarenakan dosis obat yang digunakan
lebih rendah. Apabila dosis background infusion terlalu tinggi, pasien akan
tidak terlalu memiliki kontrol terhadap obat yang mereka terima. Ini akan
mengakibatkan blok motorik sejalan peningkatan dosis total obat. Untuk
alasan ini dosis background infusion haruslah disesuaikan pada setiap
pasien. Kecepatan background infusion antara 5-10 ml/jam menjadi
pilihan paling tepat.
2.5.1 Tempat pemasangan
Pemasangan epidural kateter yang lebih sering pada segmen thorakal
dibandingkan segmen lumbal telah menjadi suatu perubahan besar
dalam 20 tahun terakhir dan telah digunakan pada kebanyakan studi
menunjukkan peningkatan untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih
adekuat. Teknik ini memiliki banyak keuntungan potensial saat
digunakan dalam pemberian kombinasi anestesi lokal dan opioid.
Teknik thorakal menyediakan administrasi obat opioid dalam dosis
lebih kecil dan meminimalisir blok saraf simpatis dan motorik pada
anggota gerak bawah.
2.5.2 PCEA dengan atau tanpa infus background
Memberikan pasien kewenangan dalam mengontrol obat analgesia
yang mereka terima telah menjadi sebuah prinsip yang penting
dalam penanganan nyeri akut. Kepentingan dari background infusion
saat penggunaan obat kombinasi anestesi lokal dan opioid pada
pasien dalam masa pemulihan dari gastrectomy saat penggunaan
PCEA saja kurang efektif dalam mengurangi rasa nyeri saat pasien
batuk dibandingkan dengan PCEA dengan background infusion.
2.5.3. Pilihan Adjuvant

12

Banyak obat-obat lain yang digunakan sebagai adjuvant untuk


meningkatkan efektivitas dari epidural analgesia. Obat-obat tersebut
antara lain ketamine (antagonis NMDA), midazolam (agonis
GABA), klonidin (2 agonist) dan adrenalin. Walaupun ketamine
400 g digunakan sebagai adjuvant pada infus epidural dosis kecil
morphine, bupivacaine dan adrenalin, efek peningkatan terbebas dari
rasa nyeri masih menjadi pertimbangan dikarenakan kurangnya studi
akan potensi neurotoksik dari ketamine. Begitu juga pada pemberian
klonidin 18-20 g pada epidural analgesia melalui thorakal menjadi
pertimbangan dikarenakan peningkatan kejadian hipotensi . tetapi
penggunaan epinephrine berhubungan dengan efek blok sensorik
yang lebih minimal, peningkatan dari rasa nyeri saat batuk, dan
penurunan konsentrasi serum fentanyl.
2.5.4 Keamanan
Terdapat beberapa komplikasi dari epidural analgesia, sebagian dari
komplikasi tersebut menjadi pertimbangan utama dikarenakan bisa
menyebabkan kerusakan neurologis permanen. Efek samping
berhubungan dengan pemasangan kateter, kedudukan kateter pada
ruang epidural atau kesalahan obat. Pengenalan Acute Pain Services
(APS) memungkinkan pendeteksian awal dari efek samping tersebut.
Pada studi kepada 50.000 pemasangan epidural analgesia hanya 3
pasien yang mengalami kelemahan tungkai permanen. Studi
retrospektif dari 170.000 pemasangan epidural analgesia di Finlandia
selama 10 tahun menunjukkan 9 komplikasi serius antara lain, 1
kasus paraparesis, 1 kasus cauda equina syndrome permanen, 1
kasus peroneal nerve paresis, 1 kasus defisit neurologis, 2 kasus
infeksi bakteri, 2 kasus reaksi akut toksin pada obat anestesi dan 1
kasus overdosis opioid epidural. Studi prospektif di Prancis
melibatkan 30.413 pemasangan epidural analgesia selama periode 5
bulan, menunjukkan kejadian komplikasi berat, 3 kasus cardiac
arrest, 4 kasus kejang, dan 6 kasus cedera saraf.

13

2.5.5 Teknik Pemasangan Kateter


Pemasangan kateter epidural harus dilakukan menggunakan teknik
aseptik antara lain seperti cuci tangan, sarung tangan steril, gown
steril , masker (dipakai untuk menutupi hidung), skin preparation,
dan sterile drapes disekitar tempat suntikan. Ujung dari kateter
epidural harus diposisikan pada posisi spinal sesuai dengan tempat
pembedahan.

Kateter

harus

difiksasi

untuk

meminimalisir

kemungkinan pergerakan kateter keluar ruang epidural. Pemasangan


dressing disesuaikan agar tidak menutupi tempat pemasangan
kateter.

Dikarenakan

resiko

infeksi

nosokomial

perlu

dipertimbangkan dalam pemberian profilaksis antibiotik. Terutama


bagi pasien dengan resiko terinfeksi seperti pasien dengan diabetes,
pasien yang mendapatkan terapi steroid atau immunosupresi dan
pasien yang telah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam dengan
penggunaan kateter epidural. Pemasangan kateter pada vertebra
bergantung pada lokasi nyeri, cedera atau jenis operasi. Lokasi yang
paling sering adalah:
Lokasi pembedahan atau

Lokasi kateter

cedera
Thorak

T6-T8

Abdomen bagian atas

T7-T10

Abdomen bagian bawah

T9-L1

Pinggang atau anggota gerak

L1-L4

bawah

Gambar 1. Ruang epidural

14

Gambar 2. Pemasangan epidural

Gambar 3. Pemasangan Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA)

15

2.5.6 Obat Pilihan


A. Anestesi lokal
Pemberian obat anestesi lokal saja pada epidural tidak digunakan
secara luas dalam penanganan nyeri pasca operasi dikarenakan
regresi blok sensorik, dan kejadian blok motorik dan sering
menyebabkan kejadian hipotensi. Studi terhadap pasien yang
mejalani pembedahan thorak, penggunaan bupivacaine 37,5-50 mg
yang diberikan secara epidural, 30% pasien membutuhkan
suplemen opioid dikarenakan efek analgetik yang tidak adekuat,
dan sekitar 80% pasien mengalami kejadian hipotensi.
B. Opioid
Penggunaan analgesia epidural untuk mengurangi rasa nyeri
menjadi populer setelah mulai penggunaan obat opioid secara
epidural akibat penemuan reseptor opioid pada kornu posterior
medulla spinalis. Opioid memiliki efek pada pre sinap dan post
sinap kornu posterior dan mempengaruhi modulasi terhadap
rangsangan nyeri yang masuk, tetapi tidak mengakibatkan blok
motorik dan saraf simpatis. Penggunaan obat opioid telah secara
luas digunakan di Amerika dan Australia yaitu pemberian bolus
obat seperti morphine, diamorphine, dan pethidine atau infus

16

kontinyu opioid lipofilik seperti fentanyl atau sufentanil. Walaupun


bolus obat opioid epidural memberikan efek analgetik yang lebih
lama dengan dosis kecil dibandikan dengan IM opioid. Tidak
ditemukan perbedaan hasil klinis yang signifikan antara pemberian
opioid lipofilik epidural (PCEA) dibandingkan dengan pemberian
opioid intravena (PCA IV). Akan tetapi pada pembedahan abdomen
bagian bawah dan thorak ditemukan pemberian fentanyl epidural
memberikan efek terbebas dari rasa nyeri yang lebih efektif
dibandingkan dengan PCA IV dengan obat morphine atau fentanyl.
Pada studi terhadap konsentrasi plasma obat, tidak ditemukan
perbedaan konsentrasi plasma pada kedua rute pemberian.
C. Kombinasi anestesi lokal dan opioid
Infus kontinyu epidural dengan menggunakan kombinasi anestesi
lokal dan opioid paling sering digunakan di Inggris dan Australia
oleh 97% dokter anestesi. Penggunaannya berdasarkan observasi
klinis kombinasi anestesi lokal dan opioid mengurangi efek blok
sensorik dibandingkan anestesi lokal saja dan meningkatkan
kualitas terbebas dari rasa nyeri. Survei di Inggris menunnjukan
40% departemen anestesi menggunakan diamorphine dan 51%
menggunakan fentanyl dikombinasikan dengan obat anestesi lokal.
Kebanyakan studi menunjukkan penggunaan kombinasi anestesi
lokal dan opioid berhubungan dengan terbebas dari rasa nyeri yang
lebih baik setelah pembedahan abdomen atas atau bawah, ortopedi,
dan thoraks. PCEA dengan kombinasi anestesi okal dan opioid
menunjukkan secara signifikan lebih baik dibandingkan PCA IV
dengan obat morphine dalam menangani nyeri pasca pembedahan
mayor abdomen. Dan juga kombinasi anestesi lokal dan opioid
secara signifikan menunjukkan pengurangan keperluan atau dosis
akan obat opioid. Banyak studi awal menggunakan konsentrasi
fentanyl 10 g pada penggunaan epidural tanpa kombinasi. Tetapi
dengan kombinasi levobupivacaine 0,125% konsentrasi optimal

17

fentanyl menjadi 4 g saja. Begitu juga terjadi penurunan pada


konsentrasi obat morphine dan diamorphine sekitar 50 g yang
efektif dalam penanganan nyeri. Dosis optimal dari anestesi lokal
pada studi menunjukkan konsentrasi dari bupivacaine 0,1% atau
kurang, yang diberikan dalam patient controlled epidural analgesia
(PCEA) tanpa infus background, dosis 4-12 mg bupivacaine yang
dikombinasikan dengan morphine 50 g atau diamorphine 80 g
atau fentanyl 10 g atau sufentanyl 1 g yang diberikan melaui
kateter epidural pada segmen thorak telah efektif untuk terbebas
dari rasa nyeri. Kemudian dengan adanya obat anestesi lokal yang
terbaru seperti levobupivacaine dan ropivacaine akan lebih sering
dipakai karena batas keamanan obat yang lebih baik. Obat
ropivacaine memiliki keuntungan potensial berupa efek blok pada
saraf motorik yang lebih sedikit.
2.6 Pedoman Aplikasi Klinis Pemakaian PCA
2.6.1 Indikasi
PCA digunakan untuk melakukan pengelolaan nyeri sedang sampai
berat

ketika analgetik oral ataupun bolus morphin intravena tidak

menghasilkan hasil terapi analgesi yang adekuat. Penggunaan PCA juga


dilakukan pada penanganan nyeri paska operasi, nyeri akut yang berat
(pancreatitis, Sickle cell disease, dll), eksaserbasi akut dari nyeri kronik,
nyeri kanker atau pasien yang tidak dapat meminum obat oral. Pasien
harus dipastikan kemampuan kognitifnya sudah dapat mengerti secara
keseluruhan kemampuan, cara penggunaan, dan konsep dari mesin PCA
sebagai self-management analgesia.[10]
Fungsi tidak normal dari tangan untuk melakukan penekanan pada
tombol administer mesin PCA tidak menjadi halangan dalam
penggunaan PCA, beberapa alternatif trigger untuk mengaktifkan
tombol PCA, seperti misalnya tiupan nafas dapat digunakan.[10]
2.6.2 Kontraindikasi
Kontraindikasi pemakaian PCA adalah pasien dengan kesadaran
menurun, bingung, riwayat trauma kepala, fungsi kognitif yang kurang

18

baik atau mempunyai kesulitan dalam belajar. Dan juga pasien dengan
pengetahuan yang kurang tentang PCA. Beberapa kondisi pasien harus
diberikan perhatian lebih dalam monitoring penggunaan PCA seperti
mempunyai riwayat penyakit obstruktif saluran nafas, gangguan cairan
elektrolit, ketergantungan opioid dan mempunyai riwayat timbulnya
efek samping dari pemakaian opioid sebelumnya. Pasien pediatri (<5
tahun) atau anak anak yang memiliki fungsi kognitif yang tidak baik,
diperhitungkan untuk tidak \ yang berubah posisi, disfungsi dan
diskoneksi dari mesin.[10]
2.6.3

Efek Samping dan Penanganannya


a. Mual dan Muntah
Insiden dari PONV (postoperative nausea and vomiting) dapat
terjadi berdasarkan banyak faktor yaitu jenis anestesi yang
digunakan, tipe dan durasi pembedahan dan juga jenis kelamin
pasien. Pemberian anti-emesis pada pasien digunakan untuk
melakukan pencegahan pada kejadian PONV. Pemberian antiemesis pada pasien harus selalu dilakukan evaluasi oleh perawat
ataupun dokter yang menangani. Pasien yang masih merasakan
mual 30 menit setelah pemberian, harus segera diberikan obat antiemesis yang lain. Obat pilihan pertama untuk anti-emesis yaitu
Cyclizine 50mg IV/IM/PO setiap 8 jam (maksimum 150 mg dalam
24 jam), obat pilihan kedua Ondansetron 4mg IV/IM/PO setiap 8
jam atau 8mg setiap 12 jam (maksimum 16 mg dalam 24 jam).[10]
b. Distress Nafas dan Over Sedasi
Jika frekuensi nafas <8 kali permenit dan skor sedasi 1 atau 2.
Hentikan

pengoperasian

alat

PCA

sendiri

oleh

pasien.

Pertimbangkan pemberian oksigen supplemental dan menjaga


saturasi oksigen pasien diatas 90%. Lakukan monitoring frekuensi
nafas, saturasi oksigen dan skor sedasi setiap 15 menit.5
Jika frekuensi nafas <6 kali permenit. Hentikan PCA, segera
berikan fraksi oksigen tinggi 10 15 liter dengan masker nonrebreathing. Lakukan monitoring frekuensi nafas, saturasi oksigen
dan skor sedasi setiap 15 menit. Segera persiapkan injeksi naloxone

19

(400mcg dilarutkan dalam 0,9% NaCl hingga 8ml). Berikan


100mcg/2ml setiap 2 menit dan perhatikan efek yang terjadi. Jika
skor sedasi masih menunjukkan nilai 3 atau frekuensi nafas <6,
pemberian naloxone diulang setiap 2 menit sehingga terjadi
perubahan frekuensi pernafasan >8. Pada pasien apnea segera
berikan naloxone dan segera lakukan Basic Life Support.[10]
2.6.4

Hal - Hal Yang Perlu Diperhatikan dan Dimonitoring


Monitoring pada pasien pengguna PCA harus selalu dilakukan,
agar penyedia layanan mengetahui setiap permasalahan teknis
ataupun efek samping yang diderita oleh pasien dalam penggunaan
PCA. Semua vital sign, gejala gejala klinis, respiratory score,
sedation score, penilaian nyeri, dan durasi pemakaian PCA pada
pasien harus dimonitoring.[10]
a. Vital sign dan gejala gejala klinis
Tanda tanda vital dan keluhan - keluhan harus dinilai secara
regular dan kontinu. Penilaian tersebut menggambarkan status
generalis dari pasien. Penilaian gejala gejala klinis pada
penggunaan PCA digunakan untuk menilai efek samping dari
analgetik yang dipakai.[10]
b. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri yang dilakukan dengan Visual Analouge Scale
(VAS) ataupun Pain Faces Scale. Penilaian nyeri harus
dilakukan setiap saat, untuk mengetahui efektivitas dari terapi
yang

dilakukan.

Penilaian

nyeri

dilakukan

dengan

menggunakkan skala, agar pasien dapat dengan mudah


mendeskripsikan seberapa berat nyeri yang dia rasakan dan
seberapa baik perkembangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan
penilaian.[10]
c. Penilaian Sedasi
Sedasi akan mendahului depresi pernapasan akibat penambahan
dosis untuk memproduksi efek opioid yang diinginkan.
Penilaian sedasi sangat penting dilakukan pada penggunaan
PCA. Rekomendasi skala penilaian derajat sedasi yang
digunakan adalah RASS (Richmond Agitation Sedation Scale).

20

RASS dipakai karena singkat, mudah dipergunakkan dan


menggabungkan sedasi dan agitasi menjadi satu skala. Dasar
pemilihan RASS adalah untuk melihat seberapa besar jumlah
stimulasi yang dipergunakkan untuk memunculkan respon dan
evaluasi sedasi. Beberapa peneliti juga mempergunakkan
Pasero scale untuk penilaian spesifik terhadap sedasi yang
diinduksi oleh opioid.[10]

21

Gambar.4 Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)


d. Penilaian Respirasi
Monitoring dari status respirasi pasien dan dipadukan dengan
penilaian sedasi sangat penting untuk mendeteksi depresi sistem
pernafasan pada pasien yang menggunakkan opioid pada PCA.
Penilaian respirasi meliputi frekuensi pernafasan dan kualitas dari
pernafasan. [10]
Penilaian frekuensi pernafasan didasarkan pada umur, jenis
kelamin, dan frekuensi pernafasan sebelumnya. Jika pernafasan <9
kali/menit perhatian perlu diberikan pada dosis penggunaan opioid
karena telah terjadi depresi pernafasan. Normalnya pemberian
opioid akan lanjut diberikan jika frekuensi pernafasan >10
kali/menit.[10]
Penilaian kualitas pernafasan

dinilai dari kedalaman ,

irama

pernafasan dan suara suara nafas yang abnormal. Pada beberapa


pasien diperlukan juga penilaian pulse oximetry (SpO2) dan
capnography (ETCO2). SpO2 diperlukan untuk melakukan
penilaian oksigenasi pasien. ETCO2 juga diperlukan untuk menilai
22

pernafasan yang terjadi, penilaian ini lebih sensitif dalam


mendeteksi
mendeteksi

hypercapnia.
apakah

Sehingg

pasien

praktisi

memerlukan

kesehatan
terapi

dapat
oksigen

supplemental.[10]
Penilaian status respirasi harus dibarengi juga dengan penilaian
sedasi dan penilaian nyeri. Penilaian status respirasi dari pasien
sangatlah penting. Masalah masalah yang timbul pada pernafasan
diharapkan dapat segera ditemukan dan segera ditangani. Sehingga
kualitas dari kesembuhan pasien dapat lebih ditingkatkan.[10]

BAB III
KESIMPULAN

Nyeri merupakan sensasi sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan.


Nyeri itu sendiri merupakan salah satu alasan yang paling umum bagi pasien

23

untuk mencari bantuan medis. Nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis. Pemahaman mengenai mekanisme dan fisiologi nyeri sangatlah penting
untuk menanggulangi nyeri yang diderita oleh pasien. Salah satu metode yang
dapat digunakan untuk kontrol cepat terhadap nyeri adalah dengan menggunakan
Patient-Controlled Analgesia (PCA). PCA secara umum diasumsikan sebagai
pemberian opiod secara on-demand, intermiten, IV dibawah kendali pasien
(dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu). Metode administrasi PCA yang
paling umum digunakana adalah demand dose dan infus kontinyu dengan demand
dose.
PCA itu sendiri memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan serta dalam
penggunaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu mulai dari proses
pemilihan pasien hingga proses administrasi obat. PCA itu sendiri jalur
pemberiannya bisa melalui intravena yang dikenal dengan PCA-IV atau melalui
epidural yang dikenal dengan istilah PCEA. Dalam penerapannya PCA itu sendiri
memiliki beberapa indikasi dan kontraindikasi serta ada hal hal yang perlu
diperhatikan dan dimonitoring.

DAFTAR PUSTAKA

1. M.R. Rajagopal. Pain Basic Consideration. Indian J. Anesth. 2006 ; 50


(5) : 331 334

24

2. Sinardja SP, Mahaalit IGN. Penatalaksanaan Nyeri Akut Pada Pasien


Dengan Patient Controlled Analgesia. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. RSUP Sanglah.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Dalam: Wiryana IM, Sudjana IBG, Sinardja
K, Budiartha IG, eds. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks,
2010.
4. Schneider PJ. Pain Management and.Patient-Controlled Analgesia:
Improving Safety and Quality of Care. Center for Clinical Safety and
Excellence. San Diego, CA. 2005
5. J Hudcova, ED McNicol, CS Quah, J Lau, DB Carr. Patient controlled
opioid analgesia versus conventional opioid analgesia for postoperative
pain (Review). The Cochrane Library. 2012
6. Grass A Jeffrey. Patient-Controlled Analgesia. Department of
Anesthesiology, Western Pennsylavania Hospital and Allegheny General
Hospital. 2005;101:S44-S61.
7. Nolan M. Patient-Controlled Analgesia: A Method for the Controlled Selfadministration of Opioid Pain Medications. PHYS THER. 2013;374-379
8. Jayadi Kusuma IGA. Pain Management dengan PCA (Patient-Controlled
Analgesia. http://www.idijembrana.or.id/index.php?
module=artikel&kode=17 diakses 9 April 2015
9. Moss Janet. Failure Mode and Effects Analysis in Reducing Error with
Patient-Controlled Analgesia. Institute for Safe Medication Practices.
2009
10. Nancy Pratt. Peg Tilley. Patient Controlled Analgesia (PCA) Guidelines of
Care. San Diego;2008

25

Anda mungkin juga menyukai