Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

PENGARUH ANESTESIA TERHADAP PERUBAHAN


NEUROMONITORING INTRAOPERATIVE PADA OPERASI SPINAL
RISIKO TINGGI

Oleh :

dr. Muhamad Akbar Sidiq

pembimbing

dr. Buyung Hartiyo Laksono SpAn, KNA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Latar belakang

Penggunaan neuromonitoring intraoperative merupakan metode yang terbukti baik dalam


mendeteksi kerusakan neurologis pada operasi spine. Agen anestesi khususnya anestesi inhalasi,
mempengaruhi monitoring motor evoked potential (MEP). Tujuan dari studi ini adalah
membandingkan pengaruh dari Balanced anesthesia (anestesi inhalasi ditambah intravena) dengan
total intravenous anesthesia (TIVA) terhadap perubahan neuromonitoring intraoperatif, intervensi
yang dilakukan, serta outcome pasien setelah operasi spine risiko tinggi.

Metode

Dilakukan review retrospektif dari 155 pasien yang menjalani operasi spine serta dilakukan
monitoring MEP. Dikumpulkan data perubahan MEP dan/atau somatosensory evoked potential,
intervensi yang dilakukan, dan outcome neurologic post operasi. Pasien dipisahkan menjadi grup BA
dan TIVA serta dianalisis.

Hasil

Total 152 pasien masuk dalam kriteria penelitian (rerata usia 54 + 17, pria: wanita 45:55). Teknik BA
dilakukan pada 62% pasien dan TIVA 38% pasien. Desflurane dengan <0,5 MAC digunakan pada 85%
kasus BA. Perubahan neuromonitoring intraoperative terjadi sebesar 11,8% kasus. INtervensi
anesthesia dan surgical dilakukann pada 12 pasuen, dengan resolusi perubahan didapatkan pada
50% kasus (P + 0,455). Semua pasien dengan perubahan MEP persisten mengalami perburukan
deficit neurologis post operatif, 8 pasien mengalami perubahan MEP transien, dan 2 pasien
mengalami perburukan dari deficit neurologis yang ada.

Kesimpulan

Dari studi ini didapatkan monitoring neurofisiologi intraoperative dapat dilakukan baik dengan BA
maupun TIVA pada operasi spine risiko tinggi, tanpa perbedaan satatistik yang siginifikan pada
insidens perubahan monitoring intraoperatif.

Introduksi
Monitoring neurofisiologis intraoperative merupakan alat yang aman, sensitif, dan terbukti efektif
untuk mendeteksi kerusakan neurologis saat operasi spine. Motor evoked potential (MEP) dan
Somatosensory evoked potential (SEP) dimonitor selama proses operasi, dan adanya perubahan
signifikan dari baseline merupakan indikasi adanya gangguan pada jaras yang dimonitor.

Anestesi, khususnya anestesi inhalasi, muscle relaxant memiliki efek yang buruk terhadap amplitude
gelombang MEP. TIVA tanpa muscle relaxant post intubasi merupakan Teknik yang
direkomendasikan untuk tindakan tersebut. Akan tetapi, semakin banyak bukti menunjukkan bisa
dilakukannya monitoring MEP menggunakan kombinasi anestesi inhalasi dan intravena. Keuntungan
yang mungkin didapatkan dari kombinasi anestesi antara lain berkurangnya gerakan pasien,
stabilitas hemodinamik, dan pwmulihan pasien lebih cepat. Kesulitan yang mungkin terjadi dari
anestesi kombinasi antara lain berkurangnya amplitude gelombang MEP sehingga menguraing
akurasi monitoring dan meningkatkan kejadian false positif. Terdapat informasi yang terbatas
apakah Teknik BA menyebabkan peningkatan perubahan neuromonitoring intraoperatif, intervensi
anestesi dan bedah pada adanya perubahan neuromonitoring. Tujuan dari penelitian ini adalah
membandingkan efek dari BA dan TIVA pada insiden perubahan MEP dan/atau SSEP saat operasi
spine, tindakan anestesi dan bedah yang dilakukan, serta outcome neurologis pasien postoperasi.

Metode

Desain studi

Didapatkan persetujuan dari komite etik untuk penelitian retrospektif menggunakan data dari rekam
medis. DIlakukan penelitian retrospektif dari 155 pasien yang menjalani operasi spine menggunakan
monitoring MEP antara November 2011 dan Maret 2014.

Pengumpulan data

Data pasien elektronik di revieq untuk semua pasien teridentifikasi. Data yang dikumpulkan antara
lain demografi pasien, fungsi neurologis preoperative, informasi anestesi (tipe, hemodinamik,
variable fisiologis, dan intervensi yang dilakukan), data bedah ( prosedur, perdarahan, komplikasi),
detail dari neuromonitoring ( Teknik neuromonitoring dan perubahan kejadian), serta outcome
neurologis postoperasi.

Perlakuan anestesi perioperatif.

Semua pasien dilakukan general anestesi dengan monitoring standar lengkap (EKG, NIBP, saturasi
oksigen, etCO2, konsentrasi gas anestesi).
Induksi general anestesi dilakukan dengan fentanyl 2-3mcg/kg, propofol 2-3mg/kg, dan rcuronium
0,6mg/kg untuk intubasi. ANestesi inhalasi digunakan sampai dengan pasien diposisikan. ANestesi
kemudian diganti dengan TIVA ( propofol 75-160mcg/kg/min dan remifentanil 0,03-0,15mcg/kg/min)
dengan opsi penambahan anestesi inhalasi antara sevoflurane atau desflurane dengan MAC <0,5.
Konsentrasi anestesi dititrasi menggunakan bacaan Entropy sehingga bernilai 40-60. Tidak diberikan
muscle relaxant lebih lanjut kecuali atas permintaan dokter bedah. Pasien dikelompokkan menjadi
dua grup, BA atau TIVA, bergantung manajemen anestesi yang digunakan.

Selama maintenans anesthesia, tujuan utama adalah stabilitas hemodinamik dengan MAP >80
MmHg, suhu > 350 C, saturasi oksigen >95%, etCO2 <35 dan hemoglobin >90g/dL. Pasien mendapat
tambahan analgesi menggunakan bolus fentanyk 25-50mcg dan hidromorfon 0,2 -0,4 mg bergantung
prosedur bedah. Selama menutup luka operasi, monitoring MEP dihentikan atas persetujuan dokter
bedah. Pada saat ini, Teknik TIVA dihentikan dan diganti dengan anestesi inhalasi. Obat antiemetic
diberikan, dan bila diperlukan diberikan reversal neuroblockade dengan neostigmine 2,5mg dan
glycopyrrolate 0,4mg.

Pasien dibangunkan langsung dan diekstubasi setelah operasi bila tidak ada komplikasi maupun
kontraindikasi lainnya. Pasien dipindah ke PACU atau ICU postoperasi.

Neuromonitoring

Semua monitoring intraoperative dikerjakan berdasarkan guideline institusi oleh petugas terlatih.
MEP dan SSEP baseline didapatkan setelah perubahan posisi pasien. MEP dimonitoring
menggunakan antara dua alat yaitu Cadwell Cascade TCS-1 atau Natus Xltek Protektor 32. Kedua
mesin mengirimkan voltase tetap untuk merangsang compound muscle action potential (CMAP).
Deretan lima pulsasi, diaplikasikan selama masing-masing 0,05 milidetik, diberikan dengan interval
antar stimulus 2 milidetik (500 Hz) Elektrode dipasang sepanjang korteks motoric pada C3 dan C4.
Elektrode ground diletakkan pada sternum, Stimulasi pada ekstremitas atas dimulai dari 250 V
sementara untuk ekstremitas bawah 300 V. STimulasi kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga
MEP bisa terekam dan difiksasi pada baseline. Output maksimal dipasang pada 500 V. Perekaman
MEP diperoleh menggunakan electrode stainless steel ukuran 12mm hollow yang diinsersi pada
berbagai kelompok otot. Pada ekstremitas atas, CMAP direkam dari otot deltoid, bisep, trisep, dan
otot interossus dorsalis. Pada ekstremitas bawah, CMAP direkam dari quadriseps, tibialis anterior,
gastrocnemius, dan abductor hallucis. MEP baseline didapatkan baik sebelum insisi kulit atau ketika
blockade neuromuskuler yang diberikan saat intubasi sudah hilang.
Data SSEP didapatkan dari keempat ekstremitas. Digunakan elektroda subdermal untuk memeriksa
SSEP. Nervus ulnaris distimulasi pada 20 mA, dan pada ekstremitas bawah, nervus tibialis posterior
distimulasi pada 20mA. Durasi pulsasi adalah -,25 milidetik dengan frekuensi 2,79 Hz. Elektrode
perekam diinsersi sepanjang korteks sensoris C3 dan C4. Respon perifer, subkortikal dan kortikal
direkam selama prosedur bedah.

Berdasarkan pada guideline institusional, perubahan signifikan MEP atau SSEP adalah berkurangnya
amplitude dari CMAP sebsesar 50%. Perubahan diklasifikasikan sebgagai transien apabila amplitude
membaik hingga >50% setelah dilakukan intervensi maupun secara spontan. DIklasifikasikan
persisten apabila tidak ada perbaikan >50% dari baseline.

Semua intervensi intraoperative sebagai respon terhadap perubahan MEP dan atau SSEP dibagi
menjadi intervensi anestesi dan bedah. Intervensi anestesi antara lain hipertensi terinduksi,
penurunan atau penghentian agen inhalasi, dan transfuse darah. Intervensi bedah antara lain
perubahan perlengkapan, pemberian metilprednisolon, dan wake up test. Dalam satu prosedur bisa
saja didapatkan berbagai intervensi anestesi maupun bedah, dan intervensi dikatakan berhasil bila
terjadi reversal dari perubahan yang terjadi. Pasien dengan perubahan monitoring intraoperarif
kemudian diperiksa untuk adanya perburukan deficit neurologis dibandingkan dengan kondisi awal.

Analisis data

Data dianalisis untuk menentukan insidens perubahan nilai pada neuromonitoring dan perbedaan
antara kelompok BA dan TIVA. Selain itu, kesuksesan intervensi anestesi dan bedah yang dilakukan
sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi juga dianalisis. Analisis statistic dilakukan antara
kedua kelompok, BA dengan TIVA, menggunakan statistic deskriptif terhadap karakteristik klinis
dasar, data anesthesia, dan deficit neurologis pre dan postoperative.

Data kontinyu dipresentasikan dalam mean dan standar deviasi atau median dengan range, Chi
square, Fisher exact dan odds ratio digunakan untuk membandingkan katrgori non parametrik. T-
test digunakan untuk data parametrik. Suatu P < 0,05 dikatakan perbedaan bermakna untuk semua
data.

Hasil

Selama penelitian, 155 pasien melalui operasi bedah spine yang dimonitor dengan MEP maupun
SSEP. Dari 155 pasien, 3 pasien dieksklusi dari penelitian. SIsanya 152 pasien memenuhi kriteria
untuk subyek penelitian. Rerata usia pasien adalah 53,8 dengan 45% subyek berjenis kelamin pria.
Karakteristik pasien dan anestesi

Data demografis , status neurologis dan indikasi bedah ditampilkan pada table 1. Tidak ada
perbedaan antara kedua grup kecuali lebihtingginya insidens deficit sensoris pada kelompok TIVA.
Secara keseluruhan, 62% (n + 94) pasienmenjalani Teknik BA sementara 38% menjalani TIVA. Kondisi
intraoperative saat monitoring ditampilkan pada table 2. Pada kelompok BA, desflurane merupakan
gas anestesi yang digunakan pada 85% kasus (MAC < 0,3 pada 38%, MAC 0,3-0,5 pada 60% pasien,
serta MAC > 0,5 pada 1 pasien. Pada kelompok TIVA, 93% pasien mendapatkan infus propofol dan
remifentanil, sementara 4 pasien mendapatkan bolus propofol ditambah pemberian fentanyl
intermiten.
Insidens perubahan monitoring.

Insidens perubahan monitoring ditampilkan pada gambar 1. Perubahan MEP dan/atau SSEP yang
signifikan terekam pada 11,8% kasus. DI antara pasieng dengan perubahan nilai monitoring, 78%
dikerjakan dengan BA sementara sisa 22 % lainnya dikerjakan dengan TIVA. Selain itu, tidak ada
perbedaan pada kondisi fisiologis intraoperative pada kedua kelompok kecuali nilai entropi dan
etCO2 pada kelompok TIVA. Delapan pasien hanya mengalami perubahan MEP, lima pasien
mengalami perubahan SSEP saja, dan lima pasien mengalami kedua perubahan. Tidak ada
perbedaan secara statistic di antara kedua kelompok berkaitan dengan perubahan MEP dan SSEP.

Intervensi terhadap perubahan monitoring dan outcome

Dari 18 pasien yang mengalami perubahan monitoring, 12 (66%) pasien ( 10 BA, 2 TIVA) dilakukan
intervensi anestesi maupunbedah. Intervensi yang dilakuakn ditampilkan pada table 3. Secara
keseluruhan, 6 dari 12 pasien (4 BA dan 2 TIVA) yang dilakukan intervensi mengalami pemulihan dari
perubahan monitoring yang terjadi. Akan tetapi, pada 6 pasien lainnya perubahan monitoring yang
terjadi bersifat menetap walaupun sudah diintervensi. Pada 6 pasien ditemukan tidak dilakukan
intervensi, 3 dia antaranya terjadi perubahan transien sementara 3 lainnya terjadi perubahan
permanen. Hipertensi terinduksi (MAP>80) dilakukan pada 7 kasus dan pada 3 kasus terjadi resolusi
dari perubahan yang terjadi. DOsis anestesi inhalasi dikurangi atau dihentikan pada 5 kasus dan pada
2 kasus perubahan monitoring teresolusi. Transfusi darah dikerjakan pada 3 kasus dan menyebabkan
teresolusinya perubahan MEP pada satu kasus.

Intervensi bedah dilakukan pada 3 dari 18 kasus di mana terdapat perubahan monitoring. Pada satu
pasien hal tersebut berupa perubahan alat dan pemberian metilprednisolon namun tidak berhasil
meresolusi perubahan monitoring yang terjadi. Pada dua pasien lainnya, dikerjakan penggantian alat
dan perubahan MEP teresolusi. Pada satu dari pasien tersebut dilakukan intervensi lebih lanjut yaitu
transfuse darah dan wake up test, namun tidak terjadi resolusi dari perubahan monitoring.

Status neurologis dan outcome

Pada preoperative 71% (n=108) pasien memiliki deficit neurologis dengan insidens yang sama di
antara kedua grup. Perubahan MEP terekam pada 13 pasien. Pada 5 pasien yang mengalami
perubahan permanen sudah memiliki deficit neurologis preoperative yang memburuk setelah
postoperative. Hal ini dibandingkan dengan 8 pasien yang mengalami perubahan transien, hanya 2
pasien yang memiliki deficit neurologis baru atau perburukan postoperasi. Disimpulkan, semua
pasien yang mengalami perburukan atau defisit neurologis baru sudah memiliki defisit neurologis
preoperative.
Perubahan SSEP terekam pada 5 pasien. Perubahan tersebut bersifat persisten pada 4 kasus dan
transien pada pasien lainnya. Defisit neurologis preoperative didapatkan pada 3 dari 5 pasien
tersebut. Pada pasien tersebut, tidak ditemukan adanya defisit motoric baru postoperasi namun 3
pasien mengalami defisit sensorik baru. Tidak ada hubungan secara statistic antara perubahan SSEP
dengan outcome neurologis.

Diskusi

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa monitoring neurofisiologis intraoperasi dapat dikerjakan baik
menggunakan BA maupun TIVA. Kami tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
perubahan monitoring intraoperasi atau intervensi yang dikerjakan antara kedua kelompok. Secara
keseluruhan, perubahan signifikan MEP dan/atau SSEP terekam pada 11,8% kasus, dengan Teknik BA
dikerjakna pada 78% kasus tersebut. Intervensi dikerjakan pada 66% (12) pasien yang mengalami
perubahan monitoring, dan berhasil meresolusi perubahan tersebut pada 6 pasien. Hipertensi
terinduksi dan pengurangan gas anestesi merupakan intervensi anestesi tersering yang dikerjakan,
sementara perubahan alat merupakan intervensi bedah yang paling sering dikerjakan.

Efek anestesi pada perubahan MEP terdokumentasi dengan baik dengan pengurangan gelombang
MEP secara dose-dependent, yang mungkin menyulitkan pembacaan perubahan gelombang pada
monitoring. Untuk mengurangi perubahan perekaman neurofisiologis, Teknik TIVA sering
direkomendasikan karena efek propofol jauh lebih sedikit dibandingkan anestesi inhalasi.
Penggunaan anestesi inhalasi pada monitoring MEP sudah didokumentasikan berhasil dengan
menggunakan MAC <0,5. Pada satu penelitian yang membandingkan penggunaan
desflurane/remifentanil dan propofol/remifentanil pada pasien tanpa defisit neurologis preoperative
menemukan bahwa monitoring MEP dapat dikerjakan pada semua pasien. Akan tetapi, pada pasien
dengan gelombang baseline beramplitudo kecil, desflurane menyebabkna pengurangan amplitude
yang lebih hebat.

Pada penelitian sebelumnya dengan pasien yang mengalami pembedahan untuk scoliosis, insidens
perubahan neurofisiologis intraoperative dilaporkan terjadi dari 3,6% sampai 8,7%. Kami
menemukan peningkatan insidens yaitu 11,8% untuk perubahan monitoring intraoperative. Pada
penelitian ini, kami memeriksa pasien yang menjalankan operasi spine risiko tinggi di mana 71%
pasien memiliki defisit neurologis preoperative. Pada pasien yang mengalami perubahan nilai
monitoring, 78% (14/18) memiliki defisit neurologis preoperative. Adanya defisit neurologis
preoperative dapat mengganggu kemampuan monitoring karena gelombang MEP dan SSEP baseline
sudah memiliki amplitude yang kecil. Pada studi sebelumnyam pasien tidak memiliki defisit
preoperative atau informasinya terbatas.

Kami menemukan bahwa pasien yang dikerjakan dengan BA lebih banyak yang mengalami
perubahan MEP walaupun secara statistic tidak signifikan karena jumlah pasien yang sedikit. Kami
juga menduga kedua kelompok tidak sama karena adanya bias anestesiolog terhadap TIVA pada
pasien dengan defisit neurologis. Insidens perubahan MEP yang lebih rendah pada kelompok TIVA
yang memiliki defisit neurologis yang lebi berat juga menjadi pertanyaan adakah kontribusi BA
terhadap perubahan MEP intraoperative.

Intervensi anestesi yang dilakukan memiliki keberhasilan yang terbatas pada penelitian ini
disbanding dengan studi lainnya. Pada penelitian oleh Samdan et al, 36 pasien (5,3%) memiliki
perubahan MEP dengan 47 intervensi berbeda. Intervensi yang paling banyak dilakukan (61%)
adalah peningkatan tekanan darah (MAP>80). INtervensi yang dilakukan sama dengan intervensi
pada penelitian ini ditambah dengan wake up teset dan koreksi bedah. Pad apenelitian tersebut
didapatkan intervensi berhasil pada 94% pasien (34 dari 36) dibandingkan 50% pada penelitian ini.
Penelitian Samdani dikerjakan terhadap pasien yang menjalankan operasi scoliosis serta tidak ada
dokumentasi defisit neurologis preoperative. Adanya defisit neurologis preoperative merupakan
predisposisi peningkatan risiko kerusakan postoperative atau membuat monitoring intraoperative
lebih sulit. Alasan pertama terdokumentasikan pada studi ini di mana semua pasien yang mengalami
perburukan defisit neurologis maupun defisit baru sudah memiliki defisit neurologis preoperative.
Walaupun intervensi anesesi tidak terlalu berhasil pada pasien risiko tinggi tersebut, kegunaan
pengukuran tekanan darah post operasi setelah adanya perubahan monitor intraoperative tetaplah
harus dijalankan mengingat risiko besar terjadinya iskemia medulla spinalis pada pasein tersebut.

Penilaian insidens defisit neurologis postoperative dedefinisikan sebagai adanya defisit baru ataupun
perburukan dari defisit yang sudah ada sebelumnya. Pertanyaan mengenai hasil yang true dan false
postif serta negative pada monitoring MEP/SSEP sulit untuk didefinisikan. Karena jumlah sampel
yang sedikit pada penelitian ini, peran Teknik anestesi yang dipilih sulit untuk diteliti. Hasil false
positif dapat muncul dari berbagai sumber termasuk efek anesthesia amupun masalah teknis, Ketika
perubahan MEP bersifat transien namun menyebabkan defisit neurologis postoperative dapat
disimpulkan bahwa perubahan sinyal reversible tersebut terjadi saat adanya cedera intraoperative.
Kami menyimpulkan bahwa beberapa reversible signal change (RSC) dapat memprediksi defisit yang
akan terjadi dan pemulihan paska intervensi meningkatkan kemungkinan tetapnya status neurologis.

Keterbatasan studi

Keterbatasan yang paling penting dari studi ini adalah desainnya yang retrospektif, dan akibatnya
data pasien terbatas pada yang tercatat di rekam medis. Kedua, bisa saja terjadi bias seleksi oleh
anestesiolog mengenai pilihan teknik anestesi pada pasien dengan status neurologis yang buruk
preoperatif. Ketiga, implememntasi dari berbagai intervensi saat terjadinya perubahan monitoring
menyebabkan analisis outcome dan intervensi bedah menjadi sulit. Keempat, analisis status
neurologis pre dan post operatif terganggu oleh dokumentasi yang dilakukan tim dan berbagai jenis
grading motoric yang digunakan. Terakhir, jumlah sampe yang sedikit relative terhadap prevalensi
perubahan monitoring intraoperatof membatasi kekuatan dari penelitian ini, AKibatnya,
menemukan hasil yang signifikan secara statistic ketika membandingkan Teknik BA dan TIVA tidak
dapat dicapai.

Kesimpulan

Kami dapatkan bahwa monitoring neurofisiologis intraoperative daoat dikerjakan baik dengan BA
(MAC<0,5) maupun TIVA pada pasien yang menjalani operasi spine risiko tinggi. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan secara statistic pada kedua kelompok. Efek agen anestesi terhadap MEP
bersifat dosis dependen. Peran anestesiologis adalah waspada terhadap adanya perubahan dan
melakukan intervensi yang sesuai untuk menjamin outcome neurologis yang terbaik.
Critical Appraisal

1. Apakah studi memiliki tema yang terfokus? Ya

Agen anestesi khususnya anestesi inhalasi, mempengaruhi monitoring motor evoked potential
(MEP). Tujuan dari studi ini adalah membandingkan pengaruh dari Balanced anesthesia (anestesi
inhalasi ditambah intravena) dengan total intravenous anesthesia (TIVA) terhadap perubahan
neuromonitoring intraoperatif, intervensi yang dilakukan, serta outcome pasien setelah operasi
spine risiko tinggi.

2. Apakah subyek didapatkan dengan cara yang dapat diterima? Ya

Data pasien elektronik di review untuk semua pasien teridentifikasi. Data yang dikumpulkan antara
lain demografi pasien, fungsi neurologis preoperative, informasi anestesi (tipe, hemodinamik,
variable fisiologis, dan intervensi yang dilakukan), data bedah ( prosedur, perdarahan, komplikasi),
detail dari neuromonitoring ( Teknik neuromonitoring dan perubahan kejadian), serta outcome
neurologis postoperasi.

3. Apakah tindakan perlakuan dimonitoring dengan akurat untuk meminimalkan bias?Ya


4. Apakah hasil tindakan dimonitoring dengan akurat untukmeminimalkan bias? Ya

Semua monitoring intraoperative dikerjakan berdasarkan guideline institusi oleh petugas terlatih.
MEP dan SSEP baseline didapatkan setelah perubahan posisi pasien. MEP dimonitoring
menggunakan antara dua alat yaitu Cadwell Cascade TCS-1 atau Natus Xltek Protektor 32. Kedua
mesin mengirimkan voltase tetap untuk merangsang compound muscle action potential (CMAP).
Deretan lima pulsasi, diaplikasikan selama masing-masing 0,05 milidetik, diberikan dengan interval
antar stimulus 2 milidetik (500 Hz) Elektrode dipasang sepanjang korteks motoric pada C3 dan C4.
Elektrode ground diletakkan pada sternum, Stimulasi pada ekstremitas atas dimulai dari 250 V
sementara untuk ekstremitas bawah 300 V. STimulasi kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga
MEP bisa terekam dan difiksasi pada baseline. Output maksimal dipasang pada 500 V. Perekaman
MEP diperoleh menggunakan electrode stainless steel ukuran 12mm hollow yang diinsersi pada
berbagai kelompok otot. Pada ekstremitas atas, CMAP direkam dari otot deltoid, bisep, trisep, dan
otot interossus dorsalis. Pada ekstremitas bawah, CMAP direkam dari quadriseps, tibialis anterior,
gastrocnemius, dan abductor hallucis. MEP baseline didapatkan baik sebelum insisi kulit atau ketika
blockade neuromuskuler yang diberikan saat intubasi sudah hilang.

Data SSEP didapatkan dari keempat ekstremitas. Digunakan elektroda subdermal untuk memeriksa
SSEP. Nervus ulnaris distimulasi pada 20 mA, dan pada ekstremitas bawah, nervus tibialis posterior
distimulasi pada 20mA. Durasi pulsasi adalah -,25 milidetik dengan frekuensi 2,79 Hz. Elektrode
perekam diinsersi sepanjang korteks sensoris C3 dan C4. Respon perifer, subkortikal dan kortikal
direkam selama prosedur bedah.

Berdasarkan pada guideline institusional, perubahan signifikan MEP atau SSEP adalah berkurangnya
amplitude dari CMAP sebsesar 50%. Perubahan diklasifikasikan sebgagai transien apabila amplitude
membaik hingga >50% setelah dilakukan intervensi maupun secara spontan. DIklasifikasikan
persisten apabila tidak ada perbaikan >50% dari baseline.

Semua intervensi intraoperative sebagai respon terhadap perubahan MEP dan atau SSEP dibagi
menjadi intervensi anestesi dan bedah. Intervensi anestesi antara lain hipertensi terinduksi,
penurunan atau penghentian agen inhalasi, dan transfuse darah. Intervensi bedah antara lain
perubahan perlengkapan, pemberian metilprednisolon, dan wake up test. Dalam satu prosedur bisa
saja didapatkan berbagai intervensi anestesi maupun bedah, dan intervensi dikatakan berhasil bila
terjadi reversal dari perubahan yang terjadi. Pasien dengan perubahan monitoring intraoperarif
kemudian diperiksa untuk adanya perburukan deficit neurologis dibandingkan dengan kondisi awal.

5. Apakah penulis sudah mempertimbangkan factor lain yang mempengaruhi hasil studi?

Keterbatasan yang paling penting dari studi ini adalah desainnya yang retrospektif, dan akibatnya
data pasien terbatas pada yang tercatat di rekam medis. Kedua, bisa saja terjadi bias seleksi oleh
anestesiolog mengenai pilihan teknik anestesi pada pasien dengan status neurologis yang buruk
preoperatif. Ketiga, implememntasi dari berbagai intervensi saat terjadinya perubahan monitoring
menyebabkan analisis outcome dan intervensi bedah menjadi sulit. Keempat, analisis status
neurologis pre dan post operatif terganggu oleh dokumentasi yang dilakukan tim dan berbagai jenis
grading motoric yang digunakan. Terakhir, jumlah sampe yang sedikit relative terhadap prevalensi
perubahan monitoring intraoperatof membatasi kekuatan dari penelitian ini, AKibatnya,
menemukan hasil yang signifikan secara statistic ketika membandingkan Teknik BA dan TIVA tidak
dapat dicapai.

6. Apakah hasil dari studi tersebut?

Total 152 pasien masuk dalam kriteria penelitian (rerata usia 54 + 17, pria: wanita 45:55). Teknik BA
dilakukan pada 62% pasien dan TIVA 38% pasien. Desflurane dengan <0,5 MAC digunakan pada 85%
kasus BA. Perubahan neuromonitoring intraoperative terjadi sebesar 11,8% kasus. INtervensi
anesthesia dan surgical dilakukann pada 12 pasuen, dengan resolusi perubahan didapatkan pada
50% kasus (P + 0,455). Semua pasien dengan perubahan MEP persisten mengalami perburukan
deficit neurologis post operatif, 8 pasien mengalami perubahan MEP transien, dan 2 pasien
mengalami perburukan dari deficit neurologis yang ada.
7. Apakah hasil tersebut dapat diaplikasikan

Bisa digunakan, bila sudah ada penggunaan IOM rutin, penggunaan Teknik BA pada anestesi pasein
dengan IOM dapat dilakukan dengan menggunakan 0,5 MAC Anestesi inhalasi.

Anda mungkin juga menyukai