Anda di halaman 1dari 39

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI,

PERAWATAN INTESIF DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS REFARAT II
HASANUDDIN Maret 2019

MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA KELAINAN


TULANG BELAKANG “SKOLIOSIS”

Oleh:
Muhammad Rezza
Nim :
C113214103

Konsulen Pembimbing:
Dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An, KMN, KNA

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
A. PENDAHULUAN
Prosedur bedah pada tulang belakang dan spinal cord adalah umum dan dilakukan untuk
berbagai kondisi. Rentang kompleksitasnya, dari minimal invasif, dekompresi satu tingkat,
hingga rekonstruksi ekstensif multi-tahap yang sangat kompleks. Prosedur operasi untuk
penyakit tulang belakang degeneratif dan herniasi diskus paling sering terjadi pada mereka
yang berusia di bawah 60 tahun, sedangkan mereka yang berusia di atas 60 tahun paling
sering menjalani operasi tulang belakang untuk penyakit stenosis tulang belakang.[1]
Pelayanan anestesi akan semakin merawat pasien yang menjalani operasi tulang
belakang seiring pertambahan populasi dan inovasi klinis serta kemajuan teknologi. Hal ini
akan membahas evaluasi pra operasi dan manajemen intraoperatif pasien dewasa yang
menjalani operasi tulang belakang elektif. Pemilihan pasien dan pilihan perawatan bedah
dibahas lebih luas dalam topik lain.[1]

B. SKOLIOSIS
1. Definisi
Skoliosis adalah deviasi lateral tulang belakang >100 (didefinisikan oleh Scoliosis
Research Society). Tujuh puluh persen kasus adalah idiopatik. Insidensinya sekitar 2-4%
dan wanita lebih sering terkena. Ini mengakibatkan kerusakan paru restriktif dan, pada
keadaan berat, dapat menyebabkan hipertensi jantung paru bahkan gagal jantung. Sudut
Cobb adalah ukuran kelengkungan tulang belakang maksimum.[2]
Kelengkungan lateral tulang belakang pada skoliosis, seringkali disertai dengan
elemen rotasi. Kelainan bentuk ini biasanya muncul pada akhir masa kanak-kanak dan
mungkin postural atau struktural. Skoliosis postural muncul sebagai mekanisme
kompensasi untuk masalah di luar tulang belakang, seperti kaki pendek atau kemiringan
panggul abnormal. Skoliosis struktural adalah deformitas tetap dan selalu disertai dengan
kelainan tulang. Skoliosis idiopatik remaja adalah bentuk paling umum, muncul pada
kelompok usia 10-15 tahun. Perawatan operasi untuk skoliosis diindikasikan untuk
kelengkungan lebih dari 40 °, kemungkinan dengan operasi kompleks dan menantang.[3]
2. Epidemiologi
Prevalensi dari AIS berhubungan dengan letak geografis. AIS memiiliki prevalensi
lebih tinggi di bagian utara dari garis lintang. Prevalensi pasien dengan sudut Cobb lebih
dari 100 adalah 1.34% dengan prevalensi dengan sudut Cobb lebih dari 200 sebesar 0.22%.
Sedangkan prevalensi pasien dengan skoliosis yang telah menjalani operasi atau
menggunakan back braces sebesar 0.07%. [2]

1
3. Klasifikasi
Skoliosis idiopatik dapat diklasifikasikan lebih lanjut dan disubklasifikasikan menurut
kriteria berikut:
Jenis patologis
• Struktural
• Fungsional, yang tanpa kelainan anatomi yang dapat dibuktikan pada tulang belakang
Usia onset
• Infantil, usia 0–3 tahun
• Masa kecil, usia 4-9 tahun
• Remaja (skoliosis idiopatik remaja), usia 10 tahun sampai tertutupnya lempeng
pertumbuhan. Ini adalah jenis skoliosis yang paling umum
• Dewasa, ≥18 tahun
• Selain itu, istilah skoliosis onset dini digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika
kurva tulang belakang terjadi sebelum usia 10 tahun dan skoliosis onset lambat
digunakan untuk menggambarkan kondisi yang dimulai setelah usia 10 tahun.
Besarnya kurva
• Diukur menggunakan metode Cobb pada radiografi tulang belakang standar untuk
menghasilkan sudut Cobb
Tingkat kurva dan puncak
• Apakah servikal, toraks, torakolumbalis atau lumbar
• Dapat juga merupakan kombinasi seperti torakal kanan atau thoracolumbar dan
kelengkungan utama lumbar (lihat gambar 1)

2
Gambar 1. Skoliosis berdasarkan lokasi kurvatura. A. torakal, B. torakolumbar, C. lumbar [2]

4. Patofisiologi
AIS terdapat 6 teori mengenai terjadinya kondisi tersebut, antara lain genetil, sistem
saraf pusat, pertumbuhan skeletal dari tulang belakang, dan metabolisme tulang,
metabolic, biomekanik, dan penyebab lainnya. Patomekanisme dari AIS dapat terjadi
secara primer ataupun sekunder yang menyebabkan pembentukan dari kurva spinal.
Konsep klasik yang menyebabkan skoliosis seperti ketidakstabilan rotasi aksial,
biomekanikal, dan faktor neuromuskular, pertumbuhan yang relative berlebihan dari spinal
anterior, dan asinkronisasi dari pertumbuhan neuro-osseus spinal (pertumbuhan medula
spinalis gagal menyamai kecepatan pertumbuhan dari kolumna vertebralis menyebabkan
tulang belakang menjadi melengkung, modulasi pertumbuhan biomekanikal sebagai hasil
dari kompresi mekanikal yang tidak simetis dan pengurangan muatan, yang dikenal
dengan nama efek Hueter-Volkmann.[2]

3
Gambar. 2 Konsep Cascade untuk patogenesis AIS berdasarkan pada temuan Clark et al. yang menempatkan
jaringan adiposa dan kontrol energi dalam kaitannya dengan kecenderungan AIS. Diperkirakan bahwa leptin terkait
dengan perkembangan sistem saraf pusat manusia, mekanisme pertumbuhan neuro-osseous asinkron, dan mekanisme
pergeseran dorsal. NCS = neurocentralsynchondrosis, GP = growth plate.[4]

5. Gejala Klinis dan Diagnosis


Skoliosis didefinisikan sebagai deformitas struktur dari tulang belakang dengan dasar
pengukuran kurva mayor sebagai penentu deformitas. Diagnosis skoliosis ditegakkan jika
didapatkan sudut Cobb >100. Selain itu pasien juga disertai dengan tubuh dan ekstremitas
yang tidak simetris. Adolescents Idiopathic Skoliosis (AIS) adalah bentuk paling umum
dari skoliosis, kondisi ini dimulai pada awal masa pubertas dengan persentase 1-4% dari
remaja dan lebih banyak dialami oleh perempuan. Skoliosis idiopatik tidak memiliki
etiologi yang jelas, berbeda dengan skoliosis yang dikarenakan kongenital, neuromuskular
atau tipe lainnya yang sudah memiliki mekanisme yang jelas. AIS diklasifikasikan
berdasarkan beberapa kriteria termasuk usia saat onset dan lokasi dari kurva maksimal
tulang belakang. Salah satu manajemen dari skoliosis adalah melalui tindakan
pembedahan. Tujuan utama pembedahan pada skoliosis adalah untuk mencegah progresi
dari skoliosis dengan artrodesis spinal atau fusi dari regio tulang belakang yang
mengalami skoliosis. Pembedahan dilakukan pada pasien yang memiliki risiko
peningkatan progresivitas dari kurva selama usia dewasa, pasien dengan sudut Cobb pada
foto posteroanterios >40-450 di regio torakolumbal dan >500 di regio torakal.[2]

4
C. EVALUASI PREOPERATIF
1. Evaluasi paru-paru
Manajemen jalan nafas untuk pasien menjalani operasi tulang belakang mungkin sulit,
terutama ketika operasi pada tulang torakal bagian atas atau servikal direncanakan. Pasien-
pasien ini dapat disertai dengan penyakit yang menggaanggu anatomi jalan nafas atau
membatasi pergerakan leher atau rahang, seperti osteoartritis, rheumatoid arthritis,
ankylosing spondylitis, kelainan kelainan neuromuskuler, dan radiasi kepala atau leher
sebelumnya. Selain itu, pasien-pasien ini mungkin memiliki ketidakstabilan tulang
belakang leher, yang akan mempengaruhi pilihan teknik intubasi.[1]
Tanda-tanda dan gejala klinis gangguan pernapasan yang signifikan meliputi dispnea
dengan aktivitas atau saat istirahat dan ketidakmampuan untuk batuk. Berkurangnya recoil
dinding dada mungkin disebabkan penyakit paru restriktif. Pengujian fungsi paru (PFT)
dapat mendiagnosis defisit paru restriktif dengan menunjukkan penurunan volume ekspirasi
paksa dalam satu detik (FEV1), penurunan kapasitas vital paksa (FVC) dengan rasio FEV1
/ FVC normal. Kapasitas paru total (TLC) juga menurun pada pasien dengan penyakit paru
restriktif. Volume residu umumnya dipertahankan pada pasien ini.[5]
X-ray dada dan pencitraan radiografi lainnya dapat membantu dalam menilai tingkat
keparahan penyakit serta kebutuhan untuk pembedahan. Sudut Cobb adalah ukuran
kelengkungan tulang belakang terbesar, dan operasi umumnya ditunjukkan jika sudutnya
lebih besar dari 45-50 derajat. Pada pasien dengan skoliosis idiopatik, fungsi paru dapat
tetap normal sampai kelengkungan mencapai 65 derajat. Namun, pada pasien dengan
penyebab skoliosis kongenital dan neuromuskuler, disfungsi paru kemungkinan terjadi
pada sudut yang lebih rendah. Kurva ≥ 100 derajat cenderung menyebabkan disfungsi
jantung dan pernapasan yang parah.[5]

Sudut Cobb 30o-60o 60o-90o >90o


Kapasitas volume ↓ 25% ↓ 50% ↓ 70%
Kapasitas paru total ↓ 27% ↓ 37% ↓ 50%
Tabel 1. Proporsi gangguan pernapasan dengan sudut kelengkungan lateral (dikutip dari Jaffe et al.)

Gambaran restriktif: ↓ TLC (kapasitas paru total) + ↓ ↓ VC (kapasitas volume), jika


diperkirakan VC > 70%, cadangan pernapasannya adekuat. Jika diperkirakan VC < 40%,
ventilasi pasca operasi biasanya diperlukan.

5
Gambar 3: Penilaian sudut Cobb untuk tingkat kelengkungan skoliosis[5]

Pasien yang dijadwalkan untuk prosedur tulang belakang mungkin memiliki kondisi
yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru. Kelainan bentuk tulang belakang yang
signifikan dapat menyebabkan fisiologi pernapasan yang restriktif, dengan penurunan
kapasitas vital dan kapasitas paru-paru total, dan dalam beberapa kasus menyebabkan
hipertensi paru dan kor pulmonal. Meskipun jarang diperlukan, selain penilaian rutin
pernapasan pra operasi, tes fungsi paru dan analisis gas darah arteri dapat diindikasikan
untuk pasien dengan operasi tulang belakang yang kompleks, terutama untuk prosedur
tulang belakang torakal yang membutuhkan tindakan torakotomi dan penggunaan
endotrakeal tube lumen ganda. Hasil ini dapat membantu memprediksi efek dari satu
ventilasi paru-paru dan dengan demikian membantu merencanakan pendekatan bedah
yang dilakukan.[1]

2. Evaluasi kardiovaskular
Efek kardiovaskular mungkin berasal dari operasi tulang belakang yang sedang
dilakukan, seperti hipertensi paru pada pasien dengan kyphoscoliosis berat. Selain itu,
banyak pasien yang menjalani operasi tulang belakang tidak dapat berolahraga dan tidak
dapat memberikan penilaian fungsional. Evaluasi jantung pra operasi harus
mempertimbangkan baik faktor pasien dan operasi invasif yang direncanakan. Ketika
mengevaluasi risiko perioperatif untuk jantung, sebagian besar operasi tulang belakang
yang melibatkan tindakan fusi dan instrumentasi harus diklasifikasikan sebagai prosedur

6
dengan risiko sedang. Dekompresi satu atau dua tingkat tanpa fusi diklasifikasikan sebagai
risiko rendah.[1]
Kebanyakan operasi tulang belakang dilakukan dalam posisi prone, yang
berhubungan dengan pengurangan indeks jantung dari 12 menjadi 24 persen dibandingkan
dengan posisi supine, hasil dari pengurangan aliran balik vena dan pemenuhan ventrikel
kiri pada posisi prone. Oleh karena itu, derajat disfungsi jantung yang sudah ada
sebelumnya dapat mempengaruhi keputusan tentang teknik anestesi dan pemantauan.[1]
Kondisi komorbid spesifik, terutama hipertensi paru dan gagal jantung kongestif,
sangat terkait dengan efek samping perioperatif setelah operasi tulang belakang, dan
pengawasan untuk kondisi ini harus dilakukan dalam evaluasi pra operasi.[1]

3. Evaluasi musculoskeletal
Beberapa pasien yang menjalani operasi tulang belakang memiliki kondisi yang
sebelumnya yang membuat posisi untuk prosedur bedah menjadi sulit. Pasien harus
ditanyakan tentang luas gerakan sendi sebelum anestesi, karena keterbatasan dapat
memengaruhi keputusan tentang penentuan posisi. Kulit harus diperiksa dan memar atau
tanda-tanda cedera dicatat sebelum operasi.[1]
Operasi yang membutuhkan pendekatan gabungan (anterior-posterior) dari tulang
belakang biasanya durasinya lebih lama dan berhubungan dengan kehilangan darah yang
signifikan dan peningkatan komplikasi pasca operasi jika dibandingkan dengan prosedur
yang hanya dengan pendekatan anterior atau posterior. Tergantung pada prosedur yang
direncanakan, prosedur anterior dapat termasuk prosedur stenting ureter, laparotomi,
mobilisasi kolon dan vaskular, bone exposure, dan osteotomi. Sedangkan prosedur
posterior, dapat mencakup reseksi tumor dan prosedur stabilisasi tulang belakang.[1]
Bagian anterior dan posterior dari prosedur ini dapat dilakukan secara berurutan
selama satu anestesi atau dapat dibagi dengan dua pendekatan yang dilakukan beberapa
hari terpisah. Literatur membandingkan hasil selama dan setelah prosedur tulang belakang
bertahap atau berurutan memiliki hasil yang berbeda. Perencanaan untuk prosedur yang
berpotensi lama dan rumit membutuhkan kolaborasi antara pembedahan dan anestesi,
termasuk rencana perawatan pasca operasi, memberikan pertimbangan untuk menentukan
prosedur tulang belakang dalam upaya mengurangi prosedur berkepanjangan dan
kehilangan darah yang signifikan. Pendekatan kolaboratif telah didukung oleh American
Society of Anesthesiologists dan American North Neuro-Ophthalmology Society dan
didukung oleh North American Spine Society.[1]

7
4. Evaluasi neuromuscular
Defisit neurologis sensoris dan motorik yang ada harus diperiksa dan dicatat sebelum
operasi. Informasi tentang defisit yang ada sangat penting untuk pengawasan yang akurat
dan diagnosis defisit baru pasca operasi. Defisit motorik yang sudah ada dapat
memengaruhi pilihan obat penghambat neuromuskuler dan penilaian sejauh mana lokasi
blokade neuromuskuler.[1]
5. Evaluasi laboratorium
Komorbiditas yang sudah ada dan prosedur invasif, diantisipasi dengan evaluasi
laboratorium pra operasi. Penilaian laboratorium biasanya tidak diperlukan untuk prosedur
dekompresi satu tingkat yang dilakukan pada pasien dengan penyakit komorbid terbatas.
Dilakukan penilaian hemoglobin awal, jumlah trombosit, kreatinin serum, dan tipe darah
serta skrining, untuk prosedur bedah yang melibatkan lebih dari dua level vertebra, fusi
dan / atau instrumentasi vertebra, atau memerlukan tindakan osteotomi. Jika diperkirakan
terjadi kehilangan darah yang signifikan, konsultasi dengan bank darah mungkin
diperlukan sebelum operasi untuk uji silang.[1]

D. PILIHAN TEKNIK ANESTESI


1. Anestesi Umum
Agen induksi - Agen induksi yang ideal memiliki aksi yang cepat, efek kardiopulmoner
yang minimal atau efek samping lainnya, dan bersihan dari aliran darah dengan cepat
sehingga pemulihannya cepat. Tidak ada agen induksi yang ideal untuk semua pasien, dan
semua memiliki efek samping. Usia dan penyakit yang ada berdampingan mempengaruhi
pemilihan agen anestesi dan induksi, serta perkiraan dosis yang aman dan efektif dari masing-
masing agen.[6]
Untuk meminimalkan dosis total dari setiap agen anestesi dan mengurangi efek samping,
biasanya diberikan beberapa agen untuk mencapai induksi anestesi, termasuk satu atau lebih
agen adjuvan, dan agen neuromuskuler blocking (NMBA) jika direncanakan intubasi
endotrakeal. Berbagai kombinasi obat efektif, dan baik rute pemberian IV atau inhalasi, atau
keduanya, dapat digunakan.[6]
Ketika neuromonitoring dibuat untuk operasi tulang belakang, agen inhalasi dapat secara
signifikan mengurangi amplitudo dan meningkatkan latensi respons potensial yang
ditimbulkan. Agen inhalasi harus digunakan dengan hati-hati, jika harus, hanya digunakan
untuk induksi anestesi pada kasus yang membutuhkan pemantauan neurofisiologis.[1]

8
Induksi anestesi dengan intravena — untuk pasien dewasa biasanya memiliki akses
intravena (IV) dan lebih disukai induksi dengan agen IV. Agen induksi sedatif-hipnotik IV
yang biasa digunakan dan agen IV adjuvan (misalnya, opioid dan / atau lidokain) digunakan
untuk melengkapi efek anestesi dari agen induksi sedatif-hipnosis.[6]
Induksi anestesi dengan obat IV cocok untuk sebagian besar pasien yang akan menjalani
operasi tulang belakang elektif. Kadang-kadang, induksi dilakukan dengan inhalasi anestesi
volatil. Teknik ini digunakan pada orang dewasa dengan akses intravena yang sulit atau
ketika lebih memilih untuk menjaga ventilasi spontan. Agen induksi IV yang paling umum
digunakan untuk mencapai ketidaksadaran dan apnea adalah propofol, ketamin, dan etomidat.
Metohohital, barbiturat kerja pendek, dapat digunakan dalam keadaan tertentu (misalnya,
untuk pasien dengan alergi telur). [1]
Dosis awal dari agen sedatif-hipnotik dan adjuvant intravena (IV) yang dipilih untuk
menginduksi anestesi umum secara individual; dosis tambahan dititrasi untuk efek. Faktor-
faktor yang mempengaruhi dosis termasuk variasi pasien individu dalam farmakodinamik dan
farmakokinetik, efek samping yang tergantung pada dosis (misalnya, hipotensi), dan
pemberian bersama obat-obatan ajuvan.[7]
Propofol adalah agen induksi IV pilihan bagi kebanyakan pasien karena onset dan offset
yang cepat, sifat menguntungkan, dan efek samping yang relatif jinak. Keuntungan propofol
termasuk sifat antiemetik, antipruritus, bronkodilator, dan antikonvulsan, sesuai untuk pasien
dengan insufisiensi ginjal dan / atau hati, dan kemampuan untuk menurunkan tekanan
intrakranial (TIK). Efek samping potensial propofol termasuk hipotensi tergantung dosis dan
depresi pernapasan, nyeri saat injeksi, dan risiko kontaminasi.[7]
Etomidate sering dipilih pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil karena
penyebab apa pun, karena tidak mengubah tekanan darah (BP), cardiac output (CO), atau
denyut jantung (HR). Keuntungan etomidat termasuk stabilitas hemodinamiknya, sifat
antikonvulsan, dan kemampuan untuk menurunkan TIK. Efek samping potensial etomidat
termasuk insufisiensi transien adrenal akut, mual dan muntah yang lebih tinggi dibandingkan
agen induksi lainnya, nyeri saat injeksi, tidak adanya efek analgesik, gerakan mioklonik
involunter, dan sedikit peningkatan resistensi jalan nafas.[7]
Ketamin dapat dipilih untuk induksi anestesi pada pasien dengan hipotensi berat aktual
atau potensial karena pemberian biasanya meningkatkan HR, TD, dan CO. Keuntungan
tambahan ketamin termasuk bronkodilatasi, sifat analgesik yang dalam, pemeliharaan refleks
jalan nafas dan dorongan pernapasan, dan rute pemberian intramuskuler (IM) jika akses IV
tidak memungkinkan. Potensi efek kardiovaskular yang merugikan dari ketamin termasuk

9
peningkatan HR, BP, CO, dan tekanan arteri pulmonal (PAP) yang mungkin merugikan pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik atau hipertensi sistemik atau paru. Jarang, efek
depresan miokard langsung yang ringan merugikan pasien dengan cadangan katekolamin
yang berkurang (misalnya, syok hipovolemik, septik, atau kardiogenik). Potensi efek
neurologis yang merugikan termasuk insiden yang tinggi dari efek psikotomimetik,
peningkatan aliran darah otak (CBF) dan TIK, dan efek electroencephalographic (EEG) yang
unik yang dapat menyebabkan kesalahan interpretasi terhadap nilai EEG yang diproses.[7]
Methoheksital terutama digunakan sebagai agen induksi untuk pasien yang menjalani
terapi elektrokonvulsif (ECT) karena mengaktifkan fokus kejang. Obat ajuvan seperti opioid,
lidokain , dan / atau midazolam biasanya diberikan selama induksi untuk menumpulkan
respon stres simpatik dan refleks batuk selama laringoskopi dan intubasi, untuk
meminimalkan rasa sakit akibat injeksi agen induksi anestesi, dan untuk menambah sedasi.
Pengurangan dosis agen induksi sedatif-hipnosis lebih bijaksana karena efek sinergis ketika
agen ini dikombinasikan.[7]

10
Efek psikotomimetik
(halusinasi, mimpi
buruk, mimpi jelas)
Meningkatkan CBF
dan ICP;dapat
meningkatkan CMRO
2
Efek EEG yang unik
dapat menyebabkan
kesalahan
interpretasi BIS dan
nilai EEG lainnya
yang diproses
Efek lainnya
Meningkatkan air liur

Metohohital Induksi untuk terapi 1,5 mg / kg Menurunkan ambang Persediaan terbatas


elektrokonvulsif (ECT) kejang, memfasilitasi Hipotensi tergantung
karena mengaktifkan ECT dosis
fokus kejang Mengurangi CMRO2 Depresi pernapasan
, CBF, dan ICP tergantung dosis
Gerakan mioklonik
yang tidak disengaja
Nyeri saat injeksi
Kontraindikasi pada
pasien dengan
porfiria

Tabel 2. Agen induksi anestesi intravena (dikutip dari King: Agen induksi anestesi intravena)

Induksi anestesi inhalasi — Dibandingkan dengan induksi IV, waktu induksi inhalasi
lebih lama, biasanya membutuhkan beberapa menit ventilasi. Oleh karena itu, teknik ini tidak
cocok untuk rapid sequence induction and intubation (RSII).[6]

11
Induksi anestesi inhalasi membutuhkan konsentrasi tinggi dari agen anestesi volatil,
dengan atau tanpa nitro oksida (N2O). Perkembangan anestesi volatil yang tidak iritan yang
memiliki onset cepat, terutama sevoflurane, telah menjadikan induksi anestesi inhalasi
dengan sungkup menjadi pilihan yang lebih disukai dan bisa dibandingkan dengan agen
inhalasi yang lebih lama.[6]
Teknik pemberian yang dimodifikasi dapat digunakan untuk memfasilitasi kecepatan
induksi anestesi. Sebagai contoh, dengan sirkuit pernapasan dipersiapkan dengan konsentrasi
sevoflurane yang tinggi (misalnya, 8%) ditambah N2O. Kemudian pasien diinstruksikan
untuk mengambil napas kapasitas vital (ekspirasi lengkap diikuti oleh inspirasi lengkap),
diikuti oleh periode apnea dengan paru-paru yang mengembang (yaitu, "menahan napas").
Biasanya teknik napas tunggal ini mencapai konsentrasi sevoflurane alveolar 2% yang
diperlukan untuk mentoleransi prosedur nyeri seperti sayatan bedah.[6]
Keuntungan untuk induksi anestesi umum yang digunakan bersama oleh semua agen
anestesi volatil termasuk bronkodilatasi yang sangat baik, penurunan dosis untuk tonus otot,
dan penurunan tingkat metabolisme oksigen pada konsumsi oksigen otak (CMRO2).
Kerugian dari semua agen volatil termasuk depresi pernapasan, vasodilatasi sistemik, dan
penurunan tekanan darah (BP); ini juga tergantung dosis. Juga, semua agen volatil yang kuat
dapat memicu hipertermia ganas.[6]
 Sevoflurane - adalah agen inhalasi yang paling sering digunakan untuk induksi anestesi.
Sevoflurane memiliki banyak karakteristik agen induksi yang ideal, termasuk onset yang
relatif cepat karena kelarutan darah dan jaringan yang rendah, yang juga mengakibatkan
pembersihan cepat dari aliran darah dan pemulihan yang cepat. Waktu untuk sedasi
mungkin hanya 60 detik jika sevoflurane konsentrasi tinggi (misalnya, 4-8%) diberikan
secara singkat melalui sungkup. Ini adalah agen inhalasi kuat yang paling umum
digunakan karena bau minimal, kurang tajam, dan karakteristik bronkodilatasi yang
kuat.[6]
 Halotan - adalah gas berbau manis dengan ketajaman yang sedang. Halotan tidak lagi
tersedia secara komersial di Amerika Utara karena efek sampingnya (terutama
kemungkinan terjadinya hepatitis halotan), dan pengembangan agen inhalasi yang lebih
baru yang telah menggantikannya, khususnya sevoflurane. Juga, halotan memiliki onset
paling lambat selama induksi anestesi dibandingkan dengan semua agen inhalasi kuat
lainnya karena jaringan tinggi dan kelarutan darah. Kerugian lain termasuk depresi
miokardia yang signifikan pada dosis yang lebih tinggi dan risiko aritmia karena

12
sensitisasi miokardium menjadi katekolamin (baik epinefrin atau norepinefrin yang
diberikan secara endogen atau eksogen). Namun, halotan masih banyak digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi umum di banyak negara dengan sumber daya terbatas
karena biaya rendah dan ketersediaan luas.[6]
 Desflurane - tidak digunakan untuk induksi anestesi melalui sungkup karena paling
menyengat dan memiliki insiden tertinggi iritasi saluran napas (batuk, salivasi, menahan
nafas, laringospasme) pada konsentrasi tinggi. Juga, desflurane dapat menyebabkan
stimulasi simpatik, takikardia, dan hipertensi ketika diberikan dalam konsentrasi yang
tinggi atau meningkat secara tiba-tiba. Karena setiap agen inhalasi harus dengan cepat
ditingkatkan untuk menghasilkan konsentrasi tinggi selama induksi anestesi umum pada
pasien, sifat desflurane ini membatasi penggunaannya sebagai agen induksi.[6]
 Isoflurane - yang paling kuat dari anestesi volatil, tidak ideal untuk digunakan sebagai
agen induksi tunggal karena relatif tajam dan memiliki onset yang lambat (dan
pemulihan) dibandingkan dengan sevoflurane.[6]
Agen penghambat neuromuskuler - Agen penghambat neuromuskuler (NMBA)
biasanya diberikan untuk memudahkan intubasi endotrakeal setelah induksi anestesi. Pilihan
NMBA untuk intubasi dan relaksasi selama operasi harus mempertimbangkan
neuromonitoring, jika dapat dilakukan.[1]
 NMBAs Nondepolarisasi - NMBAs nondepolarisasi yang biasa digunakan
contohnya seperti rocuronium, vecuronium, atracurium, dan cisatracurium dengan
durasi kerja menengah. Onset dan durasi tergantung pada dosis, tetapi untuk dosis
khusus intubasi, onset anestesi terjadi dalam 3-5 menit, dan waktu pemulihan hingga
25 persen dari dosis awal terjadi dalam 30 hingga 45 menit (tabel 2). Jika
neuromonitoring tidak direncanakan, NMBA nondepolarisasi dapat digunakan untuk
intubasi, untuk memudahkan posisi bedah, dan untuk relaksasi otot selama operasi.[1]
 NMBA Depolarisasi - Suksinilkolin adalah NMBA depolarisasi dengan onset aksi
dosis intubasi (1 mg / kg IV) dalam waktu 60 detik, dan meskipun waktu pemulihan
bervariasi, fungsi neuromuskuler yang cukup besar, pulih dalam enam hingga delapan
menit. Ketika neuromonitoring direncanakan, suksinilkolin dapat digunakan untuk
intubasi, tanpa pemberian NMBA lebih lanjut, untuk memungkinkan dalam pengujian
motorik dasar beberapa menit setelah intubasi. Namun, suksinilkolin merupakan
kontraindikasi untuk beberapa pasien operasi tulang belakang, seperti pasien dengan
beberapa gangguan neuromuskuler (misalnya, distrofi otot) dan lesi denervasi yang

13
signifikan. Penggunaan suksinilkolin pada pasien tersebut dapat menyebabkan
hiperkalemia yang berat dan berpotensi mengancam jiwa. Durasi kerja suksinilkolin
dapat secara nyata diperpanjang pada pasien dengan konsentrasi serum
pseudocholinesterase yang atipikal atau rendah, yang merupakan enzim plasma yang
memetabolisme suksinilkolin.[1]
 Intubasi dengan Remifentanil - Remifentanil, merupakan golongan narkotika kerja
singkat, sangat berguna untuk intubasi untuk kasus dengan kontraindikasi
suksinilkolin dan ketika tidak ingin menggunakan NMBA nondepolarisasi karena
durasi kerja panjangnya. Untuk intubasi dengan remifentanil dosis tinggi, pemberian
propofol (2 mg / kg IV) ditambah remifentanil (4-5 mcg / kg IV) dapat memberikan
kondisi intubasi yang baik dalam 2,5 menit setelah induksi. Dosis ini harus
disesuaikan untuk pasien yang lebih tua dan yang memiliki komorbiditas. Dapat
diberikan efedrin (10 mg IV) bersama dengan propofol untuk jenis induksi ini untuk
menghindari bradikardia yang dalam dan hipotensi yang mungkin terjadi karena dosis
remifentanil.[1]

14
Vecuroniu Rocuroniu Pancuroniu Atracuriur Cisatracuri
Obat* Mivacurium Succinyicholine
m m m n um
Tipe Non- Non- Non- Non- Non-
Non-depolarizing Depolarizing
(struktur) depolarizing depolarizing depolarizing depolarizing depolarizing
Tipe(durasi) Sedang Sedang Lama Singkat Sedang Sedang Sangat singkat
Potensi -
ED95 0.04 0.30 0.07 0.08 0.21 0.04 to 0.05 0.25 to 0.30
(mg/kg)
Dosis 0.60 to 1.00
Intubasi 0.10 to 0.20 (1.20 with 0.08 to 0.12 0.20 0.50 to 0.60 0.15 to 0.20 0.60 to 1.50
(mg/kg) RSII dose)
Onset time
3 to 4 1 to 2 2 to 3 3 to 4 3 to 5 4 to 6 1
(min)
Waktu
30 to 50 (60
untuk 25%
20 to 35 to 80 dengan 60 to 120 15 to 20 20 to 35 30 to 60 5 to 10
pemulihan
dosis RSII)
(menit)
Eliminasi waktu paruh (menit)
Fungsi
Normal 50 to 60 60 to 100 100 to 130 2 to 2.5 21 23 to 30 <1
organ
Gangguan Peningkatan Peningkatan
100 to 300 Meningkat x2 3 to 4 21 <1
ginjal ringan ringan
Gangguan Peningkatan
120 to 400 Meningkat x2 3 to 6 21 23 to 30 <1
hati Signifikan
Dosis
Pemelihara 0.01 0.10 0.02 0.10 0.10 0.01 N/A
an (mg/kg)
Dosis Infus 20 to 40 (tidak
(mcg/kg/mi 1 to 2 5 to 12 direkomendasik 5 to 8 10 to 20 1 to 3
n) an)
Plasma Ginjal 10%; Butyrylcholinester
Rute Hoffman 30%;
Ginjal 10 - Ginjal 40 to cholinesterase Hoffman ase (plasma
Eliminasi/ Ginjal 30%; ester
50%; 70%; (70% dari 30%; cholinesterase,
metabolism hati 70% hydrolysis
Hati 30 -50% hati 20% succinylcholine hydrolisis pseudocholinester
e 609+0
rate) ester 60% ase)
17- 3-OH-
Tidak ada
Metabolit 3-desacetyl- desacetyl- pancuronium; Tidak ada Tidak ada Tidak ada metabolit
metabolit
aktif vecuronium rocuronium 17-0H- metabolit aktif metabolit aktif aktif
aktif
(minimal) pancuronium
Myalgia;
Pelepasan bradycardia/
Vagal Vagal black histamin; Tidak ada; asystole pada
Efek blockade (tachycardia), Pelepasan produksi pelepasan anak atau dosis
Minimal
samping dengan dosis pelepasan histamin laudanosine histamin pada berulang; dual
besar katekolamin dan dosis tinggi blok (phase II,
acrylates competitive);
anafilaksis
Kontraindik Tidak ada Tidak ada Prosedur bedah Defisiensi Ketidakstabil Tidak ada High K-'; MH;

15
asi (selain singkat (60 pseudocholinester an muscular
alergi min); tidak ase hemodinami dystrophy;
spesifik) direkomendasik k karena children;
an untuk infus pelepasan pengaturan up-
kontinyu histamin regulation
reseptor;
Defisiensi
pseudocholinester
ase
Tidak untuk
pemberian
ICU yang
berkepanjang
an Nyeri saat
(myopathy); injeksi; Pembalikan oleh
reversible reveribel inhibitor
Akumulasi yang
dengan dengan cholinesterase; Pelepasan
signifikan,
sugammadex sugammadex campuran 3 histamin yang
rentan terhadap Onset tercepat,
; eliminasi ; eliminasi isomer (cis-cis kurang berarti;
blok residu Elminasi NMBA paling
waktu paruh waktu paruh minimal); tingkat
Keterangan (metabolit 3-OH bergantung andal untuk
pada berkepanjang edrophonium laudanosine
memiliki pada organ intubasi trakea
kehamilan an pada untuk dan akrilat
aktivitas cepat
lanjut; pasien ICU; antagonisme plasma
pancuronium
metabolit 3- metabolite lebih efektif minimum
50%)
desacetyl 17- desacetyl selama blok
mempunyai memiliki dalam
60% dari aktivitas 20%
potensi
senyawa
induk

ED95: dosis efektif untuk mencapai 95% depresi pada kontraksi otot da sar; NMBA: age n pe nghambat ne uromuskuler; RSI I: i nduksi
dan int ubasi urutan c epat; K +: potas ium; MH: malignant hiper termia; ST: single twi tch ; ICU: uni t p erawatan intensif.

Tabel 3: Jenis agen blok neuromuskular (dikutip dari Michael J. Brown et al)

2. Anestesi regional
Anestesi regional telah digunakan untuk lumbal disektomi dan laminektomi. Meskipun
anestesi epidural kadang-kadang digunakan, anestesi spinal yang lebih umum adalah
alternatif yang dapat diterima untuk pasien tertentu tanpa kontraindikasi untuk dilakukan, dan
ketika ahli bedah setuju. Kontraindikasi untuk anestesi spinal termasuk penolakan pasien,
stenosis spinal yang berat, riwayat hipertensi intrakranial, koagulopati, infeksi sistemik atau
infeksi di lokasi penempatan jarum, arachnoiditis, dan hipovolemia berat.[1]
Anestesi tulang belakang untuk operasi lumbal dapat dilakukan dengan berbagai teknik
dan obat-obatan. Ini dapat dilakukan dalam posisi duduk atau posisi lateral menggunakan

16
anestesi lokal isobarik atau hiperbarik, dengan atau tanpa penambahan narkotika atau
epinefrin. Praktik sehari-hari yang biasa dilakukan adalah:[1]
 Anestesi spinal dipertimbangkan untuk pasien yang akan tahan posisi prone selama
operasi setelah menilai tingkat kecemasan pasien dan luas gerak leher, bahu, dan
lengan.
 Umumnya menghindari anestesi spinal untuk pasien yang diantisipasi untuk
mengalami manajemen jalan napas yang sulit; Jika terjadi kedaruratan jalan napas,
pasien mungkin harus supine dan jalan napas diamankan dengan cepat.
 Setelah monitor rutin dipasang, anestesi spinal dilakukan seperti biasa dengan teknik
steril menggunakan pencil point spinal needle (mis. 25 gauge Whitacre, 24 gauge
Sprotte) pada posisi duduk, meskipun posisi lateral dekubitus dapat digunakan dalam
beberapa kasus.
 Injeksi 3 mL bupivacaine 0,5% tanpa epinefrin dalam 5-10 detik, dengan dosis
dimodifikasi sesuai dengan faktor pasien (misalnya, tinggi, usia, indeks massa
tubuh).
 Pasien diposisikan prone dengan penyangga dada, lengan di papan lengan, diberikan
bantalan dan abduksi <90 derajat.
 Sebagian besar pasien sedikit dibius dengan midazolam dosis kecil (1-2 mg) dan
fentanyl atau propofol jika diperlukan, dengan tujuan untuk menghindari depresi
pernapasan.
 Tingkat anestesi yang adekuat dikonfirmasi sebelum persiapan untuk kulit yang
memungkinkan perubahan dalam rencana anestesi jika diperlukan.
 Jika perlu, ahli bedah dapat menambah anestesi dengan injeksi subarachnoid 1 mL
0,5% isobarik bupivacaine menggunakan pencil point spinal needle di bawah
pengawasan langsung selama operasi.

Jenis analgesia yang diperlukan akan bervariasi, tergantung pada besarnya operasi.
Prosedur minor (mis. Mikrodisektomi) dapat diberikan dengan NSAID saja, Kebanyakan
prosedur memerlukan opioid. PCA morfin efektif setelah loading IV yang adekuat.
Penggunaan analgesia regional ketika tidak perlu menilai fungsi neurologis, dan penggunaan
analgesia epidural dan paravertebral untuk prosedur besar seperti koreksi skoliosis.[8]
Beberapa uji acak telah membandingkan anestesi regional dengan anestesi umum pada
prosedur mikrodisektomi atau laminektomi lumbal. Tidak ada perbedaan yang jelas untuk
tingkat morbiditas atau mortalitas, meskipun beberapa manfaat jangka pendek dari anestesi

17
regional ditunjukkan. Sebuah tinjauan literatur dari 11 percobaan yang membandingkan
anestesi umum dengan anestesi regional untuk operasi lumbal menunjukkan berkurangnya
kejadian hipertensi dan takikardia, nyeri pasca operasi, dan mual dan muntah pasca operasi.
Demikian pula, meta-analisis dari delapan uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan operasi tulang belakang lumbal anestesi spinal dengan anestesi umum
dilaporkan terjadi pengurangan kejadian hipertensi intraoperatif dan takikardia, kebutuhan
analgesik di unit perawatan pasca anestesi, dan mual dan muntah dalam 24 jam pasca operasi
pertama, dengan anestesi spinal.[1]
Penggunaan anestesi spinal disarankan untuk operasi tulang belakang lumbal pada pasien
kardiovaskular yang berisiko tinggi, lebih aman dan memungkinkan stabilitas hemodinamik
perioperatif yang baik yang sehingga komplikasi terkait anestesi, yang lebih sedikit serta
membantu melewati PACU atau mempersingkat durasi tinggal PACU. Ini bisa berdampak
positif pada biaya perawatan kesehatan.[9]
Kesimpulan umum dari literatur yang ada bahwa anestesi spinal setidaknya lebih aman
dan mungkin lebih aman daripada anestesi umum pada pasien yang menjalani operasi tulang
belakang dan mengurangi hal terkait pasca operasi seperti, mual, muntah, penggunaan
analgesik, dan waktu operasi dibandingkan dengan anestesi umum. Operasi yang berhasil
dapat dilakukan bersamaan dengan salah satu bentuk anestesi, bahkan ketika prosedur bedah
berlangsung lama. Pengamatan ini menunjukkan bahwa anestesi spinal, banyak digunakan
sebagai pilihan dalam perawatan bedah operasi pinggul dan lutut, mungkin kurang
dimanfaatkan pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang. Anestesi umum paling
umum digunakan untuk operasi tulang belakang, tetapi anestesi regional merupakan pilihan
untuk operasi satu atau dua tingkat lumbal laminektomi atau operasi diskus.[1,10]
3. Pengaturan Posisi
Posisi pasien dalam operasi tulang belakang tergantung pada level tulang belakang dan
pendekatan bedah. Dalam perencanaan bedah mungkin memerlukan reposisi selama
prosedur. Tujuan penentuan posisi adalah menghindari cedera pada mata, saraf perifer, dan
tulang yang menonjol, serta mempertahankan tekanan vena yang rendah pada lokasi operasi.
Jika evaluasi neuromonitoring dengan motor evoked potential akan digunakan, penahan
gigitan bilateral harus ditempatkan di antara gigi geraham setelah intubasi, memastikan lidah
dan bibir tidak akan terluka dengan penahan rahang. Penahan gigitan harus ditempatkan dan
diperiksa ulang setelah pasien diposisikan prone. Selimut penghangat bisa digunakan jika
lokasi bedah memungkinkan.[1]

18
 Operasi tulang belakang servikal - Lengan pasien biasanya terselip di samping
untuk prosedur operasi tulang belakang servikal. Bagian anterior biasanya dilakukan
dengan kepala pasien di atas sandaran kepala. Bagian servikal posterior atau untuk
prosedur yang memerlukan traksi intraoperatif, Mayfield device dengan skull pin
sering digunakan. Endotrakeal tube harus dengan aman ditempatkan di luar dari lokasi
operasi. Mata harus dilindungi dari tekanan dan ditutup dengan padding atau
selotip.[1]
Ketika lengan akan terselip di samping, baik dalam posisi supine atau prone, jalur IV
harus adekuat sebelum penentuan posisi akhir. Klem IV dari plastik harus dilepas, dan
konektor tabung IV yang rigid harus diberi bantalan di bawah lengan yang terselip.
Setelah lengan terselip, cek aliran IV. Lengan dan tangan harus diberikan bantalan
dalam posisi anatomis dengan gel atau busa, memastikan tidak ada tekanan pada
sulkus ulnaris pada siku.[1]
Prosedur tulang belakang servikal jarang dilakukan dalam posisi duduk. Jika
direncanakan dengan posisi duduk, pasien harus dipantau untuk kemungkinan terjadi
emboli udara vena dengan Doppler prekordial atau ekokardiografi transesofagus, dan
kateter vena sentral harus disiapkan untuk kemungkinan aspirasi udara.[1]
 Operasi tulang belakang Torakal - Pendekatan bagian anterior untuk operasi tulang
belakang yang menjalani torakotomi dengan pasien dalam posisi lateral. Endotrakeal
tube double-lumen mungkin diperlukan untuk memungkinkan pengempisan satu paru
untuk prosedur bedah. Operasi tulang belakang torakal posterior dilakukan dalam
posisi prone dengan kepala pada busa atau gel sandaran kepala, di sisa sandaran
kepala bisa digunakan Mayfield device, atau skull pin. Tergantung pada level operasi,
lengan akan terselip di sisi atau ditempatkan dengan bahu membentuk sudut 90
derajat dengan lengan.[1]
 Operasi tulang belakang lumbal - Pendekatan untuk prosedur anterior tulang
belakang lumbal yaitu laparotomi dan pada posisi supine, sedangkan prosedur
posterior dengan posisi prone.[1]
 Posisi prone - Prosedur bagian posterior tulang belakang biasanya dilakukan dengan
posisi prone. Sebagian besar pasien dianestesi di bed dalam posisi supine dan
kemudian digulingkan ke posisi prone ke meja operasi setelah intubasi. Sebelum
diputar, mata ditutup dengan plester atau perban plastik bening, penahan gigitan dan
alat pemeriksa suhu oral ditempatkan, dan juga orogastrik tube, jika perlu. Jika kepala

19
pasien harus ditopang pada sandaran busa, sandaran harus ditempatkan di atas wajah
pasien saat posisi supine, memastikan bahwa mata dan hidung bebas sebelum diputar.
Setelah diputar ke posisi prone, selama operasi, mata, hidung, dan daerah periorbital
harus rutin diperiksa untuk memastikan mereka tidak tertekan.[1]
Untuk mengantisipasi saat diputar, dapat diberikan oksigen 100 persen untuk
mencegah desaturasi saat ventilasi terganggu. Jalur intravena dan alat transduser arteri
harus diposisikan di samping sisi pasien untuk menghindari terlepasnya saat diputar.
Kabel monitor dapat dilepas saat diputar tetapi harus dipasang sesegera mungkin.
Pemantauan baik saturasi atau tekanan darah selama diputar dan pengaturan posisi
bila memungkinkan.[1]
Mengubah pasien harus dikomunikasikan antara penyedia anestesi, ahli bedah, dan
individu lain yang membantu memposisikan pasien. Jalur pernapasan harus
dilepaskan jika memungkinkan dan sesingkat mungkin. Selama diputar, leher pasien
harus dijaga dalam posisi netral. Lengan arah pasien berguling harus berada di
sepanjang sisi pasien untuk mencegah cedera.[1]
Posisi prone dapat menyebabkan berbagai efek pada fungsi kardiovaskular. Paling
umum, ada penurunan curah jantung, yang dikaitkan dengan pengurangan aliran balik
vena ke jantung dan berkurangnya penyesuaian ventrikel kiri mengakibatkan
peningkatan tekanan intrathorakal. Kompresi perut pada posisi prone dapat
menyebabkan kompresi vena cava, menyebabkan hipotensi karena pengurangan aliran
balik vena, stasis vena, dan peningkatan tekanan pada pleksus vena epidural.[1]
Penurunan tekanan intraabdominal berkorelasi langsung dengan berkurangnya
kehilangan darah selama operasi tulang belakang. Ada sejumlah cara pemberian
bantalan, susunan meja, dan meja operasi yang digunakan untuk posisi prone.
Terlepas dari jenis susunan yang digunakan, yang baik adalah pengaturan posisi
sehingga perut bebas dari tekanan, dan mempertahankan atau mengurangi tekanan
intraabdominal atau kandung kemih terkait dengan berkurangnya kehilangan darah.[1]
Posisi pasien untuk operasi bervariasi tergantung pada tingkat tulang belakang yang
akan dioperasi dan sifat operasi yang diusulkan. Reposisi mungkin diperlukan secara
intraoperatif. Saraf perifer, mata, alat kelamin dan titik tulang harus empuk dan
dilindungi. Pencitraan intraoperatif sering diperlukan, oleh karena itu lokasi bedah
harus ditempatkan jauh dari area pusat dukungan tabel. Posisi tengkurap
membutuhkan perut yang tidak terkompresi. Pendekatan anterior terhadap tulang

20
belakang toraks dilakukan melalui torakotomi dengan pasien ditopang pada posisi
lateral. Pendekatan anterior ke tulang belakang lumbar membutuhkan laparotomi.[11]

E. PEMELIHARAAN ANESTESI
Akses intravena - Operasi tulang belakang dapat menyebabkan kehilangan darah dalam
jumlah besar. Untuk operasi fusi tulang belakang multilevel, penggunaan instrumentasi, dan
operasi tumor, disarankan penggunaan dua kateter besar intravena (IV) (ukuran 14 atau 16)
atau kateter infus cepat. Penggunaan penghangat cairan pada kateter IV yang besar.[1]
Pemantauan hemodinamik – Pemantauan dasar (tekanan darah, oksimetri,
elektrokardiogram, end expired carbon dioxide, dan suhu) digunakan untuk semua pasien
dengan anestesi umum. Keputusan untuk menggunakan teknik pemantauan yang lebih maju
tergantung pada status medis pasien, perkiraan lama operasi, dan perkiraan kehilangan darah.
Kateter arteri dapat ditempatkan untuk pemantauan tekanan darah ketat atau untuk
pengambilan sampel darah berulang dan digunakan untuk sebagian besar prosedur operasi
tulang belakang utama, seperti fusi multilevel dan operasi tumor.[1]
Pemasangan kateter vena sentral atau yang jarang kateter arteri pulmonal, mungkin
diperlukan untuk pasien yang membutuhkan pemantauan jantung yang ketat atau pada
pemberian obat vasoaktif sentral.[1]
Seperti banyak prosedur bedah lainnya, pendekatan anestesi seimbang yang terdiri dari
anestesi volatil atau intravena dengan pemberian opioid intravena aman dan efektif untuk
operasi tulang belakang. Penggunaan pemantauan neurofisiologis dapat menentukan pilihan
obat anestesi.[1]
Pemantauan neurofisiologis - Cedera neurologis perioperatif merupakan komplikasi
yang diwaspadai dari kebanyakan operasi tulang belakang. Neuromonitoring multimodal
intraoperatif (IONM), termasuk motor evoked potential (MEP), somatosensory evoked
potensial (SSEP), dan electromyography (EMG), sering digunakan untuk memantau fungsi
spinal cord selama operasi pada medula spinalis atau tulang vertebra. IONM multimodal
direkomendasikan untuk operasi tulang belakang di mana spinal cord atau nerve root
dianggap berisiko.[1]
Wake-up test: menilai integritas jalur motorik di ventral cord. Pergerakan pasien yang
tidak terkontrol selama tes ini dapat mengakibatkan ekstubasi atau pelepasan alat monitoring
tulang belakang secara tidak sengaja. Upaya inspirasi yang tidak terkendali dapat memicu
emboli udara vena. Ahli anestesi harus siap untuk dengan cepat melakukan anestesi ulang
pada pasien.[12]

21
Tes wake-up pertama kali dijelaskan oleh Vauzelle, Stagnara et al pada tahun 1973. Ini
adalah tes kasar fungsi motorik tulang belakang dan tetap menjadi penilaian yang paling
dapat diandalkan menilai intak dari tulang belakang karena beberapa alasan. Agen anestesi
dapat menekan sinyal SSEP, kondisi pasien tertentu seperti degenerasi neuromuskuler dapat
membuat SSEP menjadi sulit untuk dinilai; dan cedera cord anterior mungkin sulit terdeteksi
meskipun dengan pemantauan SSEP. Tes wake-up harus direncanakan jauh sebelumnya dan
didiskusikan dengan pasien pada kunjungan pra-anestesi. Karena masalah neuromonitoring,
biasanya digunakan nitrooksida dan narkotika. Anestesi sofvolatile dosis kecil, jika
digunakan, harus dihentikan satu jam sebelum tes wake-up dilakukan. Setelah penghentian
nitro oksida dan ventilasi dengan oksigen 100%, pasien harus dapat mengikuti perintah untuk
menggerakkan jari kakinya dalam waktu 10 menit. Tidak disarankan untuk membalikkan
blokade neuromuskuler atau narkotika untuk mempercepat tes wake-up karena ini dapat
mengakibatkan gerakan kasar yang dapat merusak alat atau melukai pasien. Juga pelepasan
simpatik yang menyertai pembalikan narkotika dapat lebih lanjut mengganggu aliran darah
sumsum tulang belakang. Segera setelah pergerakan yang diinginkan diamati, anestesi
kembali dilanjutkan. Tes wake-up yang berhasil menunjukkan korteks dan sumsum tulang
belakang yang intak.[11]
Tes ini dilakukan dengan:[12]
 Kurangi agen anestesi.
 Relaksan otot punggung
 Target BIS dalam 50 detik.
 Sekitar 10 menit sebelum pengujian, hentikan anestesi.
 ↓ infus remifentanil hingga 0,05 mcg / kg / menit atau kurang.
 Jika menggunakan tabung LITA, berikan 3–4 mL 1% lidokain ke dalam trakea.
 Mulailah berbicara dengan pasien.
 Instruksikan untuk menggerakkan keempat anggota badan secara berurutan.
 Perhatian: Emboli udara, perpindahan instrumen tulang belakang, ekstubasi yang
tidak disengaja.

22
Somatosensory evoked potential - Teknik monitoring lain yang dapat dikerjakan adalah
menggunakan Somatosensory evoked potentials (SEP’s) yang dapat memberikan gambaran
secara terus menerus selama operasi. Stimulus listrik diberikan pada ekstremitas bawah dan
elektroda dapat mencatat evoked potentials pada cortical (SCEP) atau spinal (SSEP).[13]
SSEP memantau integritas kolom dorsal (jalur sensorik proprioseptif) dan juga
memberikan penilaian objektif sistem saraf pusat dan perifer. Dalam pemantauan SSEP,
rangsangan listrik intensitas rendah berulang (2-5 Hz) diterapkan pada saraf perifer aferen
dan respons listrik dicatat di perifer (ekstremitas), subkortikal (tulang belakang), dan kortikal
(korteks serebral).[14]
SSEP kortikal memonitor seluruh jalur sensorik; secara elektrik lebih dapat diandalkan
daripada SSEP subkortikal tetapi peka terhadap efek anestesi. SSEP subkortikal relatif
resisten terhadap efek anestesi inhalasi dan berguna untuk membedakan antara rangsangan
kortikal dan spinal. Lokasi rekaman periferal mendeteksi masalah periferal (iskemia atau
kompresi saraf) dan membantu membedakan antara masalah perifer dan masalah sentral.
Peristiwa periferal mengakibatkan hilangnya impuls distal hingga proksimal, oleh karena itu
respons lokasi rekaman memudar dan akhirnya menghilang. Kejadian di medula spinalis, di
sisi lain, tidak memengaruhi lokasi perifer karena stimulasi dan pencatatan terjadi di bawah
level cedera.[14]
Saraf perifer yang umum distimulasi adalah saraf median dan ulnaris (pergelangan
tangan), saraf peroneum yang umum (lutut), dan saraf tibialis posterior (pergelangan kaki).
Umumnya, pemantauan saraf median (C6-T1) atau saraf ulnaris (C8-T1) digunakan untuk
prosedur tulang belakang servikal; nervus tibialis posterior (L4-S2) atau peroneal yang umum
(L4-S1) SSEP diindikasikan untuk pemantauan tulang belakang torakal. Namun, itu adalah
praktik yang baik untuk memantau SSEP di keempat ekstremitas, karena respons tungkai
berfungsi sebagai kontrol untuk membedakan cedera fokus dari faktor sistemik atau masalah
teknis; mis., data ekstremitas atas tidak terpengaruh oleh manipulasi bedah selama operasi
yang melibatkan toraks ke tingkat sakral dan karenanya memberikan ukuran yang baik dari
fungsi sistemik. Jika data ekstremitas bawah memenuhi kriteria bahaya, pemeriksaan data
ekstremitas atas untuk setiap perubahan dengan cepat mengesampingkan masalah teknis atau
fisiologis.[14]
SSEP mengidentifikasi rangsangan mekanis dan iskemik pada cord posterior dan telah
dilaporkan mengurangi morbiditas saraf hingga 50-80%; menjadi standar perawatan virtual
selama prosedur koreksi kelainan tulang belakang. SSEP juga mendeteksi masalah terkait
penentuan posisi, terutama cedera pleksus brakialis, dan rangsangan fisiologis, misalnya,

23
hipotensi [tekanan arterial rata-rata (MAP) <70 mm Hg, penurunan amplitudo, dan
peningkatan latensi] dan hipotermia (peningkatan latensi).[14]
Motor evoked potential - MEP memonitor descending motor system yang terletak di
traktus kortikospinalis anterior dan lateral, dan dapat diperoleh dengan stimulasi elektrikal
atau magnetik transcranial. (tce-MEP). MEP didasarkan pada area yang dapat tereksitasi di
korteks yang menimbulkan kontraksi otot segmental dari stimulasi elektrikal. Elektroda
diletakkan di kepala (SCALP) untuk menstimulasi korteks motorik dengan pulsasi dengan
voltase tinggi dan sinyal berdurasi pendek. tceMEP dapat mengevaluasi secara langsung
traktus piramidalis medula spinalis untuk mendapatkan informasi motorik. Pengukuran dapat
juga dilakukan pada celah epidural atau sebagai aksi potensial otot pada effector muscle.[13]
SSEP: Fungsi dorsal cord saja. MEP: Fungsi ventral cord. SSEP dan MEP digunakan
secara rutin. Hindari perubahan dalam kondisi anestesi (kedalaman anestesi, agen, MAP,
PCO2, PO2). Peningkatan latensi (> 10%) atau penurunan amplitudo (≥ 50%) biasanya
menunjukkan cedera saraf tulang belakang karena perusakan perangkat keras, peregangan
atau kompresi kabel, atau hipoperfusi. Dokter bedah dan ahli anestesi harus segera bertindak
jika potensi yang ditimbulkan berubah. Perubahan unilateral pada sinyal MEP / SSEP dapat
mengindikasikan masalah posisi.[12]
Selain itu cedera neurologis dapat menyebabkan perubahan dalam sinyal potensi yang
direkam, faktor-faktor lain dapat mengganggu interpretasi. Faktor perancu yang dapat terjadi
selama operasi termasuk anestesi inhalasi, hipotermia, hipotensi, hipoksia, anemia, dan lesi
neurologis yang sudah ada sebelumnya. Anestesi inhalasi seperti isoflurane, sevoflurane, dan
nitrous oxide dapat mengurangi amplitudo dan memperpanjang latensi SSEP dan dapat
sepenuhnya menghilangkan sinyal MEP. Agen penghambat neuromuskuler (NMBAs) juga
menghapus sinyal MEP dan tidak dapat digunakan saat monitoring. Anestesi intravena seperti
propofol, barbiturat, dan opioid memiliki sedikit efek pada monitoring, meskipun dengan
kondisi anestesi yang sangat dalam, bahkan hanya dengan propofol, dapat mempengaruhi
bentuk gelombang.[1]
Elektromiografi - EMG (spontan atau dipicu) mencatat potensi listrik (EP) yang
dihasilkan oleh serat otot dan memberikan umpan balik instan dari kemungkinan cedera atau
iritasi akar saraf atau saraf perifer selama operasi. Ini banyak digunakan untuk memantau
radiks saraf lumbar dan servikal; Namun, ini tidak terlalu berguna untuk pemantauan
myotome thorakal. Perekaman dilakukan dengan elektroda jarum berpasangan yang
dimasukkan secara transdermal ke dalam atau di dekat otot-otot yang menarik. Perbedaan
aktivitas listrik antara dua elektroda ditampilkan pada monitor; aktivitas ini juga dapat

24
dimainkan dalam pengeras suara untuk memberikan umpan balik yang dapat didengar.
Biasanya, EMG dalam keadaan sunyi (tidak aktif) dengan anestesi; selama anestesi ringan,
aktivitas amplitudo rendah yang terus-menerus dapat dicatat dan terdengar sebagai suara
yang terus menerus. Iritasi saraf karena stimulasi mekanis (diseksi terdekat, aspirasi atau
pengeboran ultrasonik), retraksi saraf, atau iritasi termal (pemanasan dari electrocautery,
irigasi, dll.) menghasilkan penembakan spontan dan akibatnya, aktivasi myotome yang sesuai
(kelompok otot yang dipersarafi) oleh akar saraf / saraf), dan "pola ledakan neurotonik"
terkait pada EMG, yang terdengar sebagai suara "blurp" pendek.[14]

Somatosensory Evoked Potentials Motor Evoked Potentials Electromiography


Monitoring Dorsal column dan jalur lemniscus Fungsi jalur motorik Keutuhan dan fungsi dari
medial Antterolateral column saraf tepi
Stimulasi Saraf sensori tepi Elektroda scalp Berjalan bebas: tidak ada.
transkranial Dipicu: Stimulasi bipolar
pada struktur spesifik
Merekam Lokasi peripheral, subcortical, Otot ekstremitas (otot Spesifik miotome
cortical tenar, tibialis anterior)
Sensitifitas/ 92%/98% 100%/96% 46–100%/23–100%
Spesifitas
Tanda > 50% penurunan amplitudo Semua atau tidak dari Manipulasi saraf tepi
bahaya (tegangan respons) atau kriteria: Kehilangan menghasilkan pelepasan
> 10% penurunan latensi (waktu dari sinyal total. neurotonik
stimulasi hingga timbulnya respons Kriteria amplitudo: Aktivitas berkelanjutan
puncak) atau Pengurangan amplitudo (>2 detik)
Kehilangan total bentuk gelombang potensial aksi gabungan
80% dari nilai dasar.
Kriteria ambang batas:
Meningkat 100 V di atas
ambang batas, yang
bertahan lebih dari satu
jam dan bukan karena
faktor sistemik.
Respons gelombang D:
50% penurunan
amplitudo dari baseline
dan / atau perpanjangan
latensi 10% dari nilai
baseline

25
Kelebihan Spesifik dan peka terhadap defisit Spesifik dan peka Memungkinkan korelasi
sensorik Pemantauan berkelanjutan terhadap defisit motorik. bedah dengan akar saraf
Amplitudo sinyal besar, tertentu. Pemantauan
umpan balik seketika berkelanjutan Umpan balik
instan
Kekurangan Defisit motorik atau kejadian iskemik Pemantauan intermiten Peka terhadap relaksan
di wilayah arteri spinal anterior, (gangguan dalam operasi otot
kemungkinan akan terlewatkan diperlukan) Peka terhadap Hanya memonitor akar
(kolom dorsal disuplai oleh arteri pelemas otot, anestesi saraf
spinal posterior, yang memasok darah inhalasi
ke hanya 25% dari medula spinalis).
detik hingga menit)
Tabel 4. Teknik Neuromonitoring dalam Bedah Tulang Belakang (dikutip dari Hemanshu Prabhakar: Essentials of
Neuroanesthesia)

Agen Anestesi Efek pada SSEP Efek pada MEP


Isoflurane +++ +++
Sevoflurane +++ +++
Nitrous Oxide ++ ++++
Barbiturat +++ +++
Benzodiazepin ++ ++
Propofol ++ ++
Ketamin +/- +/-
Fentanyl Tidak mempunyai efek Tidak mempunyai efek
Remifentanil Tidak mempunyai efek Tidak mempunyai efek
Tabel 5: Pengaruh berbagai agen anestesi pada sinyal neuromonitoring yang digunakan dalam koreksi skoliosis (dikutip
dari Kynes et al)

F. KEHILANGAN DARAH SELAMA OPERASI TULANG BELAKANG


Kebanyakan operasi tulang belakang dapat menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan dan besar. Tingkat keparahan kehilangan darah meningkat dengan meningkatnya
jumlah tulang belakang yang dikerjakan, usia di atas 50 tahun, obesitas, operasi untuk tumor,
peningkatan tekanan intraabdominal pada posisi prone, dan ketika dilakukan osteotomi
transpedikuler. Sejumlah organisasi telah mengembangkan pedoman untuk transfusi untuk
berbagai skenario klinis, termasuk periode perioperatif.[1]

26
Transfusi perioperatif - Keputusan untuk melakukan transfusi harus
mempertimbangkan komorbiditas pasien dan situasi klinis di ruang operasi, termasuk tingkat
kehilangan darah. Untuk sebagian besar pasien, lebih sering menggunakan strategi transfusi
restriktif (yaitu, memberikan lebih sedikit darah, transfusi pada kadar Hgb yang lebih rendah,
dan ditujukan untuk target kadar Hgb yang lebih rendah) daripada strategi transfusi liberal
(yaitu, memberikan lebih banyak darah dan mentransfusi pada kadar Hgb lebih tinggi). Untuk
sebagian besar pasien bedah yang stabil secara hemodinamik, disarankan mempertimbangkan
transfusi pada Hgb 7 hingga 8 g / dL . Beberapa pasien dapat mentoleransi kadar Hgb yang
lebih rendah. [1]
Potensi kehilangan darah yang signifikan selama operasi tulang belakang menentukan
akses intravena yang diperlukan untuk prosedur ini, memengaruhi pemantauan yang
digunakan, dan memengaruhi persiapan pra operasi untuk tindakan konservasi darah. Dengan
menggunakan dua kateter intravena ukuran besar dan kateter arteri untuk kebanyakan pasien
yang menjalani fusi tulang belakang bertingkat atau operasi tumor. Strategi konservasi
perdarahan selama operasi termasuk untuk mengurangi kehilangan darah dan yang
mengurangi transfusi darah alogenik ketika perdarahan terjadi.[1]
Mengurangi kehilangan darah - Kehilangan darah intraoperatif dapat dikurangi dengan
pengaturan posisi secara hati-hati untuk menghindari kongesti vena di lokasi operasi, dengan
teknik operasi yang cermat, menggunakan agen antifibrinolitik, dan dengan hemodilusi
intraoperatif. Hipotensi yang diinduksi tidak lagi direkomendasikan untuk pasien yang
menjalani operasi tulang belakang.[1]
Antifibrinolitik - Antifibrinolitik telah berhasil digunakan selama beberapa dekade di
banyak operasi. Pada pasien bedah ortopedi, penggunaan lisin analog asam tranexamat
(TXA) dan asam epsilon-aminocaproic (EACA) efektif bila diberikan dalam dosis tunggal
dan bila digunakan dalam regimen dosis ganda (yaitu, dengan bolus atau bolus dan infus).
Literatur mengenai penggunaan obat ini dan dosis regimennya dalam operasi tulang belakang
masih terbatas, dan manfaat antifibrinolitik terkait dengan obat yang diberikan dan dosis
regimennya hanya pada prosedur bedah spesifik. Rekomendasi yang disajikan di sini
didasarkan pada meta-analisis yang tersedia dan sifat farmakokinetik dari obat
antifibrinolitik.[1]
Pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang, baik TXA dan EACA telah terbukti
secara konsisten mengurangi kejadian kehilangan darah, kebutuhan transfusi, dan jumlah
total darah yang ditransfusikan ketika dibandingkan dengan kontrol. Tidak ada bukti yang
cukup untuk merekomendasikan waktu yang ideal untuk menghentikan pemberian (akhir

27
penutupan kulit atau lanjutan ke periode pasca operasi). Gambaran efek samping untuk kedua
obat ini belum terbukti menyebabkan morbiditas substansial atau meningkatkan risiko
kejadian tromboemboli. Pada operasi fusi tulang belakang, dapat diberikan asam tranexamat
atau asam epsilonaminokaproat, sebagai berikut:[1]
 Asam traneksamat : bolus 10 mg / kg IV, diikuti dengan infus 2 mg / kg / jam IV,
dihentikan pada akhir prosedur, dosis maintenance dikurangi untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal.
 Asam Epsilon-aminocaproic: bolus 100 mg / kg IV, diikuti dengan infus 10 hingga
15 mg / kg / jam, dihentikan pada akhir prosedur operasi.
Tidak memberikan antifibrinolitik untuk pasien yang akan menjalani anastomosis
vaskular (misalnya, penutup lipatan luka) atau pencangkokan fibula bebas, atau pasien
dengan hiperkoagulasi.[1]
Hemodilusi intraoperatif - Tidak secara rutin penggunaan hemodilusi intraoperatif
untuk operasi tulang belakang. Hemodilusi normovolemik akut adalah teknik konservasi
darah yang memerlukan pengambilan darah dari pasien segera setelah induksi anestesi,
dengan maintenance normovolemia menggunakan kristaloid dan / atau koloid. Jumlah darah
yang dikeluarkan bervariasi antara satu dan tiga unit (450 hingga 500 mL merupakan satu
unit), meskipun volume yang lebih besar dapat dikeluarkan dengan aman dalam keadaan
tertentu. Darah diinfuskan ke pasien selama atau segera setelah prosedur operasi.[1]
Prinsip di balik hemodilusi intraoperatif adalah bahwa lebih sedikit sel darah merah yang
hilang selama operasi karena hemoglobin dari darah yang hilang selama operasi lebih rendah.
Teknik ini paling aman bila digunakan pada orang dewasa muda yang sehat dengan kadar
hemoglobin awal yang relatif tinggi dan dapat mentolerir anemia. Berguna untuk pasien
Jehovah’s Witness yang mungkin menyetujui teknik ini jika darah dipertahankan dalam
sistem sirkuit tertutup.[1]
Induksi Hipotensi - Penggunaan hipotensi secara terkontrol tidak dianjurkan pada
pasien yang menjalani operasi tulang belakang. Hipotensi yang diinduksi secara historis telah
dianjurkan sebagai mekanisme untuk mengurangi kehilangan darah selama berbagai prosedur
bedah. Mengurangi aliran darah karena luka sebagai akibat dari tekanan darah arteri yang
lebih rendah telah menjadi mekanisme yang dipikirkan untuk mengurangi kejadian
kehilangan darah. Namun, yang merupakan penentu penting dari kehilangan darah pada
operasi tulang belakang adalah tekanan pleksus vena epidural dan tekanan intraosseous, tidak
tergantung pada tekanan darah arteri.[1]

28
Alasan paling penting untuk menghindari penggunaan hipotensi yang diinduksi adalah
potensi iskemia organ distal. Secara khusus, untuk pasien dengan stenosis tulang belakang
yang berat beresiko untuk iskemia spinal cord dan harus dipertahankan di sekitar tekanan
darah yang biasa selama anestesi. Selain itu, instrumentasi dan gangguan tulang belakang
dapat mengurangi perfusi medula spinalis dan menyebabkan iskemia. Oleh karena itu,
tekanan darah arteri yang memadai harus dipertahankan selama operasi tulang belakang
sebagai bagian untuk menghindari defisit neurologis.[1]
Selain itu, kehilangan penglihatan adalah komplikasi yang jarang namun berpotensi
terjadi pasca operasi tulang belakang dengan posisi prone. Neuropati optik iskemia adalah
penyebab paling umum dari kehilangan penglihatan pasca operasi terkait dengan operasi
tulang belakang. Meskipun penyebab neuropati optik iskemia belum sepenuhnya dijelaskan,
diperkirakan karena edema jaringan dengan penurunan perfusi ke saraf optik. Untuk hipotensi
yang diinduksi belum dikaitkan dengan perkembangan kehilangan penglihatan pasca operasi;
Namun, optimalisasi hemodinamik dengan maintenance tekanan perfusi ke saraf optik
disarankan.[1]

G. PERAWATAN POSTOPERATIF
1. Ekstubasi
Indikasi yang paling umum untuk unit perawatan intensif (ICU) setelah operasi tulang
belakang adalah kebutuhan untuk dukungan ventilasi. Edema jalan nafas dan wajah
biasanya terjadi selama prosedur operasi yang lama dalam posisi prone dan dengan
pemberian cairan intravena dalam volume besar. Pasien dengan edema jalan nafas yang
signifikan beresiko untuk obstruksi jalan nafas setelah ekstubasi. Keputusan untuk
melakukan ekstubasi harus mempertimbangkan durasi operasi, kehilangan darah dan
penggantian cairan, prosedur bedah dilakukan karena berkaitan dengan potensi masalah
jalan napas, dan faktor-faktor pasien seperti obesitas atau sleep apnea yang membuat
penyumbatan jalan napas lebih mungkin terjadi.[1]
Meskipun faktor pasien dan operasi tertentu memengaruhi keputusan untuk
melakukan ekstubasi, secara umum pendekatan kami terhadap ekstubasi setelah operasi
tulang belakang adalah sebagai berikut:[1]
 Pasien yang telah menjalani prosedur anestesi umum untuk dekompresi satu atau
dua level dengan posisi prone biasanya diekstubasi pada akhir prosedur.[1]
 Pasien yang telah menjalani operasi selama >4 jam dalam posisi prone dievaluasi
setelah memutar posisi ke supine pada akhir prosedur. Jika ada edema wajah yang

29
signifikan, ekstubasi mungkin tertunda, bahkan untuk waktu yang singkat di ruang
operasi. Pasien diposisikan dengan kepala elevasi hingga 30 derajat untuk
mengurangi edema. Ketika diekstubasi, dengan adanya edema yang signifikan,
dilakukan ekstubasi dengan tube changer.[1]
 Pasien yang telah menjalani operasi pada posisi prone dengan kehilangan banyak
darah (> 2000 mL); resusitasi volume besar dengan kristaloid, koloid, dan darah;
atau yang yang menjalani operasi tulang belakang anterior-posterior tetap diintubasi
dan menerima perawatan pasca operasi di ICU.[1]
Studi retrospektif telah menunjukkan korelasi antara durasi operasi, penggantian
volume intravaskuler, obesitas, dan jumlah level operasi tulang belakang dan keputusan
untuk menunda ekstubasi pada akhir operasi. Sebagian besar pasien yang mengalami
ekstubasi yang tertunda setelah prosedur fusi tulang belakang akan diekstubasi dalam 24
jam pertama pasca operasi. Namun, walaupun periode ventilasi mekanik yang pasca
operasi dikaitkan dengan kejadian pneumonia pasca operasi yang lebih tinggi.[1]
Beberapa prosedur dengan risiko tinggi terjadi edema jalan nafas pasca operasi,
seperti operasi tulang belakang leher anterior-posterior. Prosedur ini biasanya
berlangsung lebih dari delapan jam, dengan sebagian besar prosedur dilakukan dengan
pasien dalam posisi prone. Selain itu, prosedur ini dapat menyebabkan kehilangan darah
>1000 mL dan melibatkan operasi dan diseksi jaringan pada struktur di sekitar jalan
napas. Semua faktor ini membuat edema jalan napas lebih mungkin terjadi.[1]
2. Disposisi pasca operasi
Pasien dengan penyakit komorbid yang terbatas yang menjalani prosedur dekompresi
tanpa komplikasi dapat diberikan perawatan jangka pendek atau bahkan rawat jalan.
Pasien yang menjalani operasi tulang belakang yang lebih kompleks memerlukan rawat
inap, dan dalam beberapa kasus memerlukan perawatan pasca operasi di ICU. Morbiditas
dan setelah operasi fusi tulang belakang mencapai 23% dan mortalitas 0,5% dan hingga
10% pasien yang menjalani operasi fusi tulang belakang lumbal akan memerlukan
perawatan di ICU. Faktor independen terkait dengan peningkatan morbiditas setelah
operasi tulang belakang termasuk usia lanjut, laki-laki, dan peningkatan beban
komorbiditas. Kondisi komorbid spesifik yang sangat terkait dengan efek samping
perioperatif termasuk hipertensi paru, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan
koagulopati preoperatif.[1]
Operasi yang lama (>5 jam), gabungan operasi tulang belakang anterior / posterior ,
dan beberapa operasi yang hanya melibatkan tulang belakang anterior, terutama operasi
30
torakal anterior, dikaitkan dengan peningkatan komplikasi perioperatif dan mortalitas bila
dibandingkan dengan prosedur tulang belakang posterior.[1]
3. Analgesia untuk operasi tulang belakang skoliosis
Nyeri setelah prosedur dekompresi satu atau dua tingkat dapat dikontrol dengan
opioid dosis relatif rendah bersama dengan analgesik lainnya, tetapi operasi tulang
belakang multilevel mungkin memerlukan regimen kontrol nyeri pasca operasi intensif.
Selain itu, banyak dari pasien ini hanya toleran terhadap opioid, membuat kontrol nyeri
pasca operasi lebih menantang. Untuk sebagian besar pasien yang menjalani operasi
tulang belakang, kami merekomendasikan pendekatan multimodal untuk pengendalian
nyeri perioperatif.[1]
Penggunaan analgesia multimodal, dengan pemberian celecoxib dan pregabalin pra
operasi, pemberian morfin intratekal oleh ahli anestesi setelah induksi atau oleh ahli
bedah setelah pemaparan tulang belakang, anestesi berdasarkan TIVA menggunakan
infus propofol dan remifentanil, dan pemberian intraoperatif dari acetaminophen
intravena pada awal kasus dan setiap 6 jam.[15]
Tim Manajemen Nyeri Pediatrik mengelola pasien pasca operasi. Regimen nyeri
pasca op meliputi analgesia yang dengan hidromorfon, pregabalin oral, asetaminofen
intravena, dan ketorolak jika output drain seperti yang diharapkan. Tim nyeri rawat inap
harus diberitahu oleh tim anestesi di akhir operasi saat penutupan luka dimulai.[15]
Selain pemberian golongan opioid intravena, komponen manajemen nyeri perioperatif
multimodal untuk operasi tulang belakang dapat meliputi:[1]
 Analgesia epidural - Analgesia epidural kontinyu dengan opioid dan / atau anestesi
lokal telah terbukti memberikan efek analgesik yang lebih baik dan mengurangi
kebutuhan opioid setelah kebanyakan operasi tulang belakang, dibandingkan dengan
analgesik yang diberikan dengan intravena. Kedua teknik kateter epidural tunggal dan
ganda telah dilaporkan, dengan teknik kateter ganda terbukti lebih efektif untuk
operasi tulang belakang multilevel. Konsentrasi, dosis, dan metode pemberian obat
epidural yang optimal belum ada ditetapkan.[1]
Pemberian anestesi lokal epidural dapat menyebabkan blok motorik, yang dapat
mempersulit penilaian neurologis pasca operasi. Ini mungkin memerlukan
pengurangan dosis anestesi lokal atau kecepatan atau penghentian infus.[1]
 Ketamin - Penggunaan ketamin sebagai analgesik tambahan telah terbukti
mengurangi kebutuhan opioid pasca operasi. Ketamin perioperatif paling bermanfaat

31
bagi pasien yang diperkirakan sulit untuk pengendalian nyeri pasca operasi (misalnya,
pasien yang hanya toleran terhadap opioid). Untuk pasien yang hanya toleran opioid
yang menjalani operasi fusi tulang belakang, dapat diberikan ketamin, 0,5 mg / kg
bolus intravena (IV), diikuti dengan infus 10 mcg / kg / menit . Sebuah studi
prospektif acak dari 102 pasien toleran opioid dengan nyeri kronis yang menjalani
operasi tulang belakang menemukan bahwa ketamin yang diberikan pada dosis ini
membuat berkurangnya konsumsi opioid jangka pendek dan jangka panjang (hingga
enam minggu) tanpa adanya peningkatan efek samping. Dalam uji coba terkontrol
acak lainnya, ketamin pasca operasi (0,2 mg / kg IV bolus, diikuti oleh infus 2 mcg /
kg / menit selama 24 jam) mengurangi pemberian opioid setelah kebanyakan operasi
tulang belakang utama pada pasien yang hanya toleran opioid ( hidromorfor 0,007 mg
/ kg / jam dibandingkan 0,011 mg / kg / jam), pada kadar yang sama dengan
pemberian opioid pada pasien hanya toleran opioid.[1]
 Gabapentinoid - Gabapentinoid (gabapentin, pregabalin) mengurangi nyeri pasca
operasi, konsumsi opioid, dan beberapa efek samping terkait opioid setelah operasi
ketika digunakan sebagai analgesik tambahan preoperatif. Namun, gabapentinoid
dikaitkan dengan peningkatan risiko sedasi, depresi pernapasan, dan potensi efek
depresi pernapasan karena opioid.[1]
Manfaat lebih dari opioid dan gabapentinoid dengan dosis efektif dapat bervariasi di
seluruh prosedur bedah. Dalam satu studi pasien yang menjalani dissektomi dan
dekompresi, gabapentin 600 mg dalam dua jam sebelum operasi dikaitkan dengan
penurunan visual analog skor dan konsumsi opioid. Studi menunjukkan bahwa dosis
gabapentin preoperatif yang lebih tinggi (900 hingga 1500 mg dibandingkan dengan
300 hingga 600 mg) dan pregabalin (150 mg dibandingkan dengan 75 mg) lebih
efektif dalam mengurangi konsumsi opioid pasca operasi dan skor nyeri setelah
operasi fusi tulang belakang. Pemberian yang berkelanjutan pada periode pasca
operasi cenderung lebih efektif daripada dosis tunggal pra operasi dari salah satu obat
ini.[1]
Pemberian gabapentin atau pregabalin sebagai bagian dari regimen analgesik standar
pra operasi tidak rutin untuk pasien yang toleran gabapentinoid. Untuk pasien yang
diberikan gabapentinoid secara lama, diberikan dosis awal sesuai dosisnya pada hari
operasi, dan memantau saturasi pasca operasi untuk pasien yang cenderung diberikan
opioid perioperatif, karena peningkatan potensi sedasi dan depresi pernapasan. Dosis

32
gabapentinoid harus mempertimbangkan komorbiditas dan pada pasien yang lebih
tua.[1]
 Asetaminofen - Asetaminofen, yang diberikan baik secara oral, rektal, atau
parenteral, dapat digunakan sebagai bagian dari regimen kontrol nyeri multimodal
setelah operasi tulang belakang. Sebuah meta analisis dari uji acak menemukan bahwa
penambahan asetaminofen (intravena atau oral) ke morfin setelah kebanyakan operasi
menghasilkan penurunan yang kecil, tetapi signifikan secara statistik, dalam
penggunaan morfin pasca operasi. Acetaminophen oral 1000 mg dapat diberikan
sebelum operasi dan dilanjutkan pasca operasi dapat diberikan asupan oral. Dosis
acetaminophen IV biasa untuk pasien di atas 50 kg adalah 650 mg setiap empat jam
atau 1000 mg setiap enam jam, dengan dosis tidak melebihi 4 g per hari.[1]
 Obat anti inflamasi non steroid intravena (NSAID) - ketorolak intravena (IV)
dapat digunakan sebagai bagian dari kontrol nyeri multimodal dalam 48 jam pertama
setelah operasi tulang belakang untuk pasien tanpa kontraindikasi penggunaannya,
dan yang tidak memiliki faktor risiko tambahan untuk non union (misalnya, merokok,
penggunaan NSAID jangka panjang), dan dalam konsultasi dengan ahli bedah.
Ketorolak dapat diberikan dengan dosis 15-30 mg IV setiap 6-8 jam hingga empat
dosis total tergantung pada fungsi ginjal, dan menghindari pemberian ketorolak untuk
pasien dengan kadar kreatinin ≥2 mg / dL . Untuk pasien ≥65 tahun, dosis dikurangi
menjadi 15 mg IV setiap enam hingga delapan jam, dosis harian maksimum 60 mg,
dengan durasi maksimum pengobatan selama 5 hari, dengan pemberian oral dan
parenteral.[1]
Ketorolak dapat diberikan dengan bolus intraoperatif dan post operatif dan sebagai
bagian dari regimen kontrol analgesik pasien dan telah terbukti mengurangi konsumsi
dan efek samping opioid pasca operasi. Namun, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa NSAID dapat mempengaruhi penyembuhan tulang.[1]
Tinjauan sistematis dan meta-analisis tahun 2010 terhadap 11 studi case-kontrol dan
kohort, yang membandingkan 2.067 pasien yang diberikan NSAID dengan 9984
kontrol yang tidak diberikan, menemukan bahwa tingkat risiko (odds rasio [OR]
untuk kejadian non union meningkat secara signifikan pada pasien yang diberikan
NSAID ketika baik penelitian pada fraktur pada tulang panjang dan penelitian operasi
fusi tulang belakang dianalisis bersama (OR 3.0, 95% CI 1.6-5.6). Namun, ketika
hanya penelitian berkualitas tinggi yang dinilai, peningkatan risiko yang signifikan

33
tidak diamati (OR 2,2, 95% CI 0,8-6,3). Tidak ada uji coba secara acak yang
memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam meta-analisis.[1]
Satu penelitian termasuk dalam tinjauan sistematis ini secara retrospektif
menganalisis penggunaan ketorolak sebagai analgesik tambahan setelah operasi fusi
tulang belakang, terbatas pada dosis 1,5 mg / kg / hari selama 48 jam. Tidak ada efek
signifikan pada hasil fusi akhir atau pseudoarthrosis setelah operasi tulang belakang
posterior.[1]

H. KOMPLIKASI
Kehilangan penglihatan setelah operasi tulang belakang - Kehilangan penglihatan
setelah operasi fusi tulang belakang adalah komplikasi yang jarang tetapi dapat berdampak
buruk dengan angka kejadian yang dilaporkan 0,017-0,1%. Penyebab utama kehilangan
penglihatan pada populasi pasien ini termasuk neuropati optik iskemik (ION), oklusi arteri
retina sentral (CRAO), dan oklusi vena retina (RVO). CRAO dan RVO dikaitkan dengan
emboli dan / atau kompresi bola mata secara langsung, menekankan perlunya melindungi
mata dari tekanan langsung saat berada dalam posisi prone.[1]
Pembedahan pada tulang belakang dilakukan dengan posisi prone memiliki beberapa
risiko, seperti peningkatan risiko postoperative visual loss (POVL), gangguan hemodinamik,
dan kerusakan saraf. Gangguan hemodinamik dapat terjadi saat akan dilakukan tindakan
anestesi, setelah pasien diposisikan prone, selama tindakan operasi pada tulang belakang. Hal
ini dikarenakan penurunan curah jantung dan tekanan darah arterial. Gangguan hemodinamik
berupa hipotensi biasanya dikarenakan terjadinya perdarahan yang masif durante operasi,
namun pada beberapa kasus, hipotensi masih dapat terjadi pada pasien tanpa perdarahan
masif.[2]
Pada tahun 2012, Kelompok studi Post Operative Visual Loss (POVL) melaporkan
temuan dari studi kasus kontrol multisenter mereka yang menggunakan data dari kasus-kasus
ION yang terdaftar di catatan POVL American Society of Anesthesiologists dan kasus kontrol
dari 17 pusat medis akademik Amerika Serikat. Faktor risiko independen untuk terjadinya
ION yaitu laki-laki, obesitas, penggunaan Wilson frame (kepala lebih rendah dari jantung),
waktu anestesi yang lebih lama, perkiraan kehilangan darah yang lebih besar, dan persentase
koloid yang lebih rendah dalam penggantian cairan selain darah. Dengan mengetahui faktor
risiko ini dan kejadian POVL yang dilaporkan dari ION dalam literatur, kelompok Studi
POVL membuat model prediksi risiko yang dapat membantu ahli bedah dan penyedia
anestesi memodifikasi rencana perawatan mereka dan menentukan risiko ION pada pasien.[1]

34
Strategi modifikasi risiko untuk ION setelah operasi tulang belakang posisi prone harus
mencakup posisi dengan ketinggian kepala sama dengan atau di atas jantung, meminimalkan
durasi anestesi dan kehilangan darah; penggunaan koloid dan kristaloid untuk penggantian
volume intravaskuler; memantau hemoglobin secara berkala pada kasus dengan kehilangan
darah yang signifikan; dan optimalisasi hemodinamik dengan mengontrol tekanan darah
dalam 20% dari nilai awal. Pasien yang menjalani operasi tulang belakang yang lama (>4jam)
dalam posisi prone diberitahu tentang risiko ION yang kecil tetapi dapat meningkat. Bila
memungkinkan, penentuan klasifikasi lama operasi harus dipertimbangkan.[1]
Komplikasi sistem pernafasan – Komplikasi paru pasca operasi dapat terjadi pada
koreksi skoliosis dan lebih mungkin pada penyakit yang lebih parah. Seorang pasien dengan
kapasitas vital pra operasi atau FEV1 <40% dari yang diharapkan mungkin memerlukan
ventilasi terkontrol pasca operasi, sedangkan VC atau FEV1 ≥ 70% harus memiliki cadangan
paru yang memadai untuk memungkinkan ekstubasi segera pasca operasi. Status pernapasan
harus dioptimalkan pasca operasi mencegah terjadinya atelektasis, hipoventilasi, retensi
sekresi, imobilisasi, dan obat analgesik semuanya dapat memperburuk penyakit paru yang
mendasarinya.[5]
Paralisis mungkin merupakan komplikasi yang paling berat dari operasi skoliosis.
Insiden kelumpuhan setelah operasi skoliosis berkisar dari 0,25-3,2%. Koreksi skoliosis yang
lebih sulit karena gangguan neuromuskuler lebih mungkin mengakibatkan komplikasi
neurologis. Zhang et al menemukan bahwa "... komplikasi paru pasca operasi meningkat
dengan penurunan fungsi paru pra operasi .... Jadi, fungsi paru pra operasi dapat berguna
untuk memprediksi komplikasi paru pasca operasi." Zhang dan rekannya lebih lanjut
menyimpulkan bahwa pendekatan bedah dapat berdampak pada kejadian komplikasi paru
pasca operasi karena terjadi pneumotoraks, hidrototoraks, dan atelektasis yang 18 kali lebih
tinggi ketika operasi dengan pendekatan transtorakal daripada pendekatan posterior.[13]
Sebuah studi retrospektif dari 1223 operasi thoraks dan lumbar anterior menemukan
tingkat komplikasi pernapasan sebesar 7% (sindrom gangguan pernapasan, pneumonitis,
atelektasis, infeksi), emboli paru 0,8%, kerusakan pembuluh darah otak 0,25%, dan kematian
0,33% (empat pasien): Penelitian skrining untuk komplikasi tromboemboli setelah operasi
tulang belakang telah mengutip berbagai insiden antara 0,395%-15,5%. Dalam satu penelitian
prospektif, emboli paru simtomatik terjadi pada 2,2% dari semua fusi tulang belakang, dan ini
lebih umum setelah kombinasi prosedur pendekatan anterior / posterior (6%), daripada
prosedur pendekatan posterior saja (0,5%).[16]

35
I. KESIMPULAN
 Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi tulang belakang. Anestesi
regional mungkin digunakan pada operasi dekompresi atau disektomi satu atau dua
level. Untuk pasien yang bisa dengan posisi prone, harus mengantisipasi kesulitan
manajemen jalan napas, dan dengan ahli bedah yang bersedia, kadang diberikan
anestesi spinal.
 Manajemen jalan napas mungkin sulit bagi pasien yang menjalani operasi tulang
belakang, yang mungkin mempunyai ketidakstabilan tulang belakang servikal,
penurunan ruang gerak leher, atau kondisi yang dapat mengganggu anatomi jalan
napas. Video laringoskopi, bronkoskopi fiberoptik fleksibel, dan, kadang-kadang,
intubasi secara sadar mungkin diperlukan.
 Agen anestesi dan agen penghambat neuromuskuler memengaruhi neuromonitoring
untuk operasi tulang belakang. Jika somatosensori dan motorik evoked potential
direncanakan, kami disarankan menggunakan anestesi total intravena daripada anestesi
inhalasi. Selain itu, juga digunakan suksinilkolin atau remifentanil untuk intubasi
daripada obat yang bekerja lebih lama untuk memungkinkan pemantauan dalam
beberapa menit setelah intubasi.
 Kehilangan darah mungkin signifikan atau bahkan masif untuk beberapa prosedur
tulang belakang. Memasang 2 kateter intravena ukuran besar atau kateter infus cepat
dan menggunakan pemantauan invasif (misalnya, jalur arteri) untuk prosedur yang
lama dan bagi mereka diantisipasi kehilangan darah yang signifikan. Untuk semua
pasien dengan operasi tulang belakang posisi prone, harus diposisikan untuk
meminimalkan tekanan intraabdominal sebagai langkah untuk mengurangi kehilangan
darah. Untuk pasien yang menjalani operasi fusi tulang belakang, disarankan
pemberian asam traneksamat atau asam epsilon aminocaproic dan penggunaan
pengamanan darah intraoperatif.
 Posisi untuk operasi harus cermat, menghindari kompresi abdominal dan tekanan pada
mata, penonjolan tulang, saraf tepi, payudara, dan genitalia. Kepala harus diposisikan
sejajar atau lebih di atas dengan level jantung bila memungkinkan untuk mengurangi
kongesti vena dan edema pada wajah, jalan napas, dan jaringan periorbital.
 Nyeri setelah prosedur dekompresi satu atau dua tingkat dapat dikontrol dengan opioid
dosis relatif rendah bersama dengan analgesik lainnya. Untuk pasien yang menjalani
kebanyakan operasi tulang belakang, rasa sakit mungkin berat dan mungkin

36
memerlukan pendekatan multimodal untuk mengendalikan rasa sakit. Dapat diberikan
acetaminophen sebelum operasi dan ketamin intraoperatif selain opioid. Dapat
diberikan ketorolak intravena, dengan berkonsultasi dengan ahli bedah.
 Rencana untuk perawatan pasca operasi untuk pasien yang menjalani kebanyakan
operasi tulang belakang termasuk ekstubasi yang tertunda dan perawatan intensif,
terutama setelah operasi yang lama dengan kehilangan darah yang signifikan dan
resusitasi cairan volume besar. Ekstubasi ditunda pada pasien yang berisiko mengalami
edema dan obstruksi jalan napas.
 Kehilangan penglihatan pasca operasi jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi dari
operasi fusi tulang belakang dengan posisi prone. Pasien harus diposisikan untuk
menghindari tekanan langsung pada mata. Juga disarankan tindakan pencegahan dalam
upaya untuk meminimalkan kehilangan penglihatan pasca operasi:
 Posisikan posisi kepala sejajar atau di atas level dengan jantung.
 Gunakan koloid dan kristaloid untuk mempertahankan euvolemia
 Pertahankan tekanan darah dalam 20% dari nilai awal
 Pantau hemoglobin secara berkala selama kasus dengan kehilangan darah yang
signifikan
 Pembagian dari operasi yang lama bila memungkinkan.

37
DAFTAR PUSTAKA
1. Michael J Brown M. Anesthesia for elective spine surgery in adults. 2019;1–19.
2. Cheng JC, Castelein RM, Chu WC, J. A, Danielsson, Dobbs, et al. Adolescent
idiopathic scoliosis. Macmillan Publ Limited 2015;371(9623):1527–37.
3. Crabb I. Anaesthesia for Spinal Surgery. Best Pract Res Clin Anaesthesiol
2003;17(3):323–34.
4. Burwell RG, Clark EM, Dangerfield PH, Moulton A. Adolescent idiopathic scoliosis
(AIS): A multifactorial cascade concept for pathogenesis and embryonic origin.
Scoliosis Spinal Disord 2016;11(1):1–7.
5. Kynes JM, Evans FM, Hodgetts V, Wilson K. Surgical Correction of Scoliosis
Anaesthetic Considerations. 2015;(July):1–7.
6. King A, Joshi GP, Nussmeier NA. General anesthesia: Induction. UpToDate 2018;1–
11.
7. King A, Joshi GP, Nussmeier NA. General anesthesia: Intravenous induction agents.
www.uptodate.com 2019;1–33.
8. Allman KG, Wilson IH, O’Donnell AM. Oxford Handbook of Anaesthesia. 4th ed.
Oxford University Press; 2016.
9. Finsterwald M, Muster M, Farshad M, Saporito A, Brada M, Aguirre JA. Spinal versus
general anesthesia for lumbar spine surgery in high risk patients: Perioperative
hemodynamic stability, complications and costs. J Clin Anesth 2018;46:3–7.
10. McLain RF, Kalfas I, Bell GR, Tetzlaff JE. Comparison of spinal and general
anesthesia in lumbar laminectomy surgery: a case-controlled analysis of 400 patients. J
Neurosurg Spine 2005;2:17–22.
11. Kulkarni AH, M A. Scoliosis andAnaesthetic Considerations. Indian J ofAnaesthesia
2007 2007;26(11):3508–14.
12. Jaffe RA, Schmiesing CA, Golianu B. Anesthesiologist ’ S Manual of Surgical
Procedures. 2014.
13. Gambral MA. Anesthetic implications for surgical correction of scoliosis. AANA J
2007;75(4):277–85.
14. Prabhakar H. Essentials of Neuroanesthesia. 2017.
15. Lucile Packard Children’s Hospital. Guidelines for the Anesthetic Management of
Patients with Scoliosis Undergoing Posterior Spinal Fusion Surgery.
16. Raw DA, Beattie JK, Hunter JM. Anaesthesia for spinal surgery in adults. Br J
Anaesth 2003;91(6):886–904.

38

Anda mungkin juga menyukai