Anda di halaman 1dari 13

Nama : Madyline Victorya Katipana

NIM : 1971101005

Konsiderasi Anestesi pada Laparoskopi

Laparoskopi adalah metode invasive yang minimal yang digunakan dalam diagnosis
kelainan intra-abdominal melalui inspeksi langsung organ-organ intraabdominal. Laparoskopi
juga bisa digunakan untuk biopsy jaringan, kultur jaringan dan beberapa intervensi lainnya.
Teknik laparoskopi menawarkan beberapa keuntungan bagi pasien, diantaranya ukuran insisi
yang kecil dengan rasa nyeri yang tidak seberat laparotomi, waktu pemulihan yang singkat,
dan rendahnya insiden infeksi luka pasca operasi.
Pada laparoskopi digunakan sebyah alat laparoscope yang merupakan perangkat kabel
fiber optic, yang dimasukkan melalui trocar atau canuula. Abdomen akan diinsuflasi atau
dikembungkan dengan gas CO2 terlebih dahulu untuk mengelevasi dinding abdomen di atas
organ-organ internal, sehingga membuat ruang untuk inspeksi dan bekerja, dikenal sebagai
pneumoperitoneum.
Laparoskopi memiliki risiko yang terutama diakibatkan oleh Teknik laparoskopi
sendiri atau akibat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pneumoperitoneum. Oleh
sebab itu, dilakukan Teknik anestesi yang sesuai dalam mengantisipasi risiko-risiko tersebut.

Indikasi Laparoskopi
Laparoskopi sering dilakukan pada pasien dengan nyeri abdomen akut yang
diagnosisnya belum bisa ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi atau laboratorium, karena
dengan laparoskopi bisa dilakukan visualisasi dari seluruh ringga abdomen, penentuan lokasi
patologi dalam abdomen, pengambilan cairan peritoneal untuk kultur, dan irigasi rongga
peritoneal untuk mengurangi kontaminasi. Laparoskopi diagnostic sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi pasien trauma dengan hemodinamik stabil, dimana laparoskopi mampu
memberikan diagnosis yang akurat dari cidera intra-abdominal, sehingga mengurangi
pelaksanaan laparotomi dan komplikasinya.
Pada pasien-pasien di ICU sering juga dilakukan bedside diagnostic laparoscopy
dengan indikasi seperti sepsis. Bedside diagnostic laparoscopy, yang bisa dilakukan di dalam
ICu dengan menggunakan anestesia local atau obat sedasi IV biasanya dilakukan pada pasien
ICU dengan patologi intra-abdominal, dimana pasien biasanya tidak stabil dengan
memerlukan ventilator atau bantuan inotropic atau vasopressor sehingga cukup berisiko jika
dibawa ke ruang operasi atau pemeriksaan radiologi.

Kontraindikasi Laparoskopi
Tindakan laparoskopi dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik, penyakit katup, disfungsi renal, atau penyakit respirasi end stage. Harus
diperimbangkan antara risiko komplikasi pembedahan dan efek fisiologis dari
pneumoperitoneum pada laparoskopi dengan kelebihannya berupa waktu pemulihan pasca
operasi yang singkat. Kontraindikasi relative dari laparoskopi adalah peningkatan tekanan
intracranial, hypovolemia, dan kehamilan. Kontraindikasi absolut meliputi :
 Obstruksi intestinal akut, dengan dilatasi usus > 4 cm
 Ileus, peritonitis
 Perdarahan intraperitoneal
 Hernia diafragmatika
 Koagulopati yang belum diobati
 Distensi abdomen
 Trauma dengan hemodinamik tidak stabil

Perubahan Fisiologi pada Laparoskopi


Dampak fisiologi berhubungan dengan campuran beberapa efek yang meliputi :
insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitoneum,
perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh refleks peningkatan
tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia. Laparoskopi intra abdominal
membutuhkan dilakukannya pneumoperitoneum dengan gas CO2 yang diinsuflasikan.
Seiring dengan bertambahnya volume abdomen, komplians dinding abdomen berkurangm
dan tekanan intra abdomen (IAP) bertambah. Ketika tekanan intra abdomen melewati
ambang fisiologis, system-sistem organ akan mulai terganggu dan berpotensi meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pasien.

Efek pada system kardiovaskular


Prinsip respon fisiologis ini adalah meningkatnya resistensi vascular sistemik (SVR),
tekanan pengisian miokardium, bersamaan dengan penurunan awal cardiac index (CI) dengan
sedikit perubagan dan denyut jantung (HR). karakteristik respons hemodinamik dijelaskan
sebagai berikut : diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas
CO2 intra peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Perubahan hemodinamik
terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada beberapa factor :
 Faktor Pasien
Pada pasien dengan penyakit jantung, pneumoperitoneum menyebabkan perubahan
hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload,
yang akhirnya akan menurunkan curah jantung. SVR meningkat akibat kompresi mekanikal
pada aorta abdominal dan akibat dihasilkannya factor neurohumoral. Kompresi pada vena
cava inferior menurunkan preload dan dapat menyebabkan menurunnya curah jantung, begitu
juga tekanan arterial, terlebih lagi pada pasien hipovolemik.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi-difusi, dan dengan
adanya pneumoperitoneum, CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien
membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi
untuk mencapai normocarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang
lebih besar.
Pada pasien hipovolemik yang sebelum pneumoperitoneum memiliki cardiac output
yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta tekanan arteri rata-rata (MAP) yang tinggi,
dengan pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang
lebih besar.
 Efek pneumoperitoneum
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan gas CO2 menghasilkan pneumoperitoneum,
peningkatan tekanan intraabdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah vena
yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan
penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan biasanya
secara yata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac index biasanya menurun dan besarnya
penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intrabdominal. Sebagian besar peneliti
mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10-30% selama insuflasi
peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Batas tekanan intra abdomen selama
insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah < 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena
sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan
oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen
masuk ke dalam thoraks
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O / 18 mmHg) cenderung membuat
kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran
darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada
beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan
pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head
down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan
pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages.
Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan
vasodilatasi seperti isoflurane atau obat vasodilator seperti nitrogliserin atau nicardipine.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan dexmedetomidine dan obat β
blocker mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara signifikan.
Penggunaan dosis tinggi remifentanil hamper secara komplit bisa mencegah perubahan
hemodinamik.
 Efek dari Posisi Pembedahan
Insuflasi intraperitoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi dilakukan
dengan pasien pada posisi horizontal atau 15-20 o Trendelenburg. Posisi pasien kemudian
berubah ke posisi reverse Trendelenburg dengan ditekan ke lateral kiri untuk memfasilitasi
retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi
pada pasien dengan pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang
signifikan.
Pada posisi reverse Trendelenburg terjadi penurunan tekanan akhir diastolic ventrikel
kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena atau preload, cardiac
output, dan MAP. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Peningkatan
tekanan intra abdominal dan posisi head up menyebabkan penurunan aliran darah vena
femoralis, stasis pada vena-vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan
fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli.
Walaupun posisi trendelendburg meningkatkan tekanan vena sentral, namun MAP
dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hall ini merupakan respon paradoksikal yang
dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan
vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan
yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri coroner (CAD), khususnya yang disertai
dengan fungsi ventrikel yang buruk menyebabkan perburukan secara potensial dan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Posisi Trendelenburg ini juga mempengaruhi
sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intracranial yang rendah dan
mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular yang bisa menyebabkan perburukan pada
pasien dengan glaucoma akut.
 Efek absorpsi sistemik gas CO2
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbsi CO2.
Hiperkapnia menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai
ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya
dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro
humoral dengan pengeluaran katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk
mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan
tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan
tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan
penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
 Respon neurohumoral
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi
pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin
angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan menemukan peningkatan
vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada
konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan
selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi
mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
Efek Respirasi
 Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada
laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan
4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan
emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru,
penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway
pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV.
Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan
posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan
perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi
ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway
pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama
laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC,
atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas
dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC,
volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi
atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun
pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko
hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas,
sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama
kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.
 Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah
terbakar seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan
dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan
resiko efek samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari
udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan
dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas
daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2
tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan
peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis)
daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya
penurunan pH darah dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama
pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan
airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi
CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA
III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama
insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian
paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah
mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi
ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up.
Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan
anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi
umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari
hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan
yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam
waktu 15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan
nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen
yang rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :
1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.
2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi abdomen,
posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output.
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi yang
terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam ruang
tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum
CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan
tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan
ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam
rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi
khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah
dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar.

Efek Pada Sistem Lain


 Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk
terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan
tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus
sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan
tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.
 Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh darah
kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis organ-organ
abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor
yang turut mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.
 Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan
vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler
mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan
splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta
sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode
postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali
glandula adrenal.
 Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis
yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan
aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga
mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.
 Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal
lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan
intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf
pusat dan hal ini juga turut meningkatkan tekanan intrakranial.

Anestesi pada Laparoskopi


Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi
Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan
laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil,
dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt,
dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien
dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek
terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma.
Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus
ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal,
pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan
hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat
nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan
dengan laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini
harus dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum
dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan
tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea
dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten
mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan
insuflasi ataukonversikan ke prosedur terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-
molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau
Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length
graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten
pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum
pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk
pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat
mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan
respon stress intraoperasi dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi
anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,
khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung
kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami
komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi.
Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan
resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

Teknik Anestesi
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal
dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik
anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain,
anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman
untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba
perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun
pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan
visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian
penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan
spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada
operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan
adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi.
Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot
yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan
manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya
resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi;
perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang
tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan
karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah
pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi
karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan
pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ
visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan
pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan
teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum
intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan
PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan
ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih
dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan
pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar
dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti
nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik
pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit
jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk
mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg.
Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi.
Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine
harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan
ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti
sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli
bedah dan pasiennya tidak obesitas.
Manajemen jalan nafas
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik
untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat
pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway
(LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro
seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day
care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal
mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan
menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan
dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan
meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal
mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung.

Pelumpuh otot
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek
samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin
meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi
dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse
ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan
dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi
yang direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan
insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit
menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak
memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh
otot.

Nitrous Oxide (N2O)


Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan
N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan
pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak
signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada
Nitrogen (N2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2.
Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4
jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi
kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2
pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka
bakar pada operasi lebih dari 2 jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam
studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila
tidak menggunakan N2O.
Obat Induksi
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya
yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi


Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila
terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang baru
seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih
rendah dan kurang aritmogenik.

Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum
untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl
bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan
interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi
karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi
yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan
nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal,
namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu
setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan
anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek
samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan
tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian
obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan
mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang
diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan
nyeri visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang
dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)


PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan
gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan
merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit
setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden
PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV.
Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa menurunkan
insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif
sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain
mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai
antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian
ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan
dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV
bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5
HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai
dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani
prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu
ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan
intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada
pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,
perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan
monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa
gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA
II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea
bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi
paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan
memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia
selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun
dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan
dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen
menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan
tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi.
Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan
frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk
dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien
dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri
seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor
PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan
penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2
pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat
secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi
peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba
selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan
laparoskopi.

Pemulihan dan Pemantauan Pasca Operasi


Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan,
ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih
cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.
Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena
tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas.
Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang
dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi
setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO2
masih rendah setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi
setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada
pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama
pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen yang berasal dari kandung
empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari
nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan
kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital
capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah
pembedahan terbuka.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO2 dari
pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.
Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena
yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal
setelah laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi
terbuka yaitu 0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode
perioperasi dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang
minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan
pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan
untuk memberikan obat profilaksis.
Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering terjadi
nyeri dan ikterus.

Referensi
1. Hayden P, Cowman S. Anesthesia for laparoscopic surgery. Contin Educ Anesth Crit Care
Pain. 2011;11(5):177-180
2. Cunningham AJ, Nolan C. Anesthesia for minimally invasive procedures. Clinical
Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28.
3. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition
2002;23;522 – 24

Anda mungkin juga menyukai