NIM : 1971101005
Laparoskopi adalah metode invasive yang minimal yang digunakan dalam diagnosis
kelainan intra-abdominal melalui inspeksi langsung organ-organ intraabdominal. Laparoskopi
juga bisa digunakan untuk biopsy jaringan, kultur jaringan dan beberapa intervensi lainnya.
Teknik laparoskopi menawarkan beberapa keuntungan bagi pasien, diantaranya ukuran insisi
yang kecil dengan rasa nyeri yang tidak seberat laparotomi, waktu pemulihan yang singkat,
dan rendahnya insiden infeksi luka pasca operasi.
Pada laparoskopi digunakan sebyah alat laparoscope yang merupakan perangkat kabel
fiber optic, yang dimasukkan melalui trocar atau canuula. Abdomen akan diinsuflasi atau
dikembungkan dengan gas CO2 terlebih dahulu untuk mengelevasi dinding abdomen di atas
organ-organ internal, sehingga membuat ruang untuk inspeksi dan bekerja, dikenal sebagai
pneumoperitoneum.
Laparoskopi memiliki risiko yang terutama diakibatkan oleh Teknik laparoskopi
sendiri atau akibat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pneumoperitoneum. Oleh
sebab itu, dilakukan Teknik anestesi yang sesuai dalam mengantisipasi risiko-risiko tersebut.
Indikasi Laparoskopi
Laparoskopi sering dilakukan pada pasien dengan nyeri abdomen akut yang
diagnosisnya belum bisa ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi atau laboratorium, karena
dengan laparoskopi bisa dilakukan visualisasi dari seluruh ringga abdomen, penentuan lokasi
patologi dalam abdomen, pengambilan cairan peritoneal untuk kultur, dan irigasi rongga
peritoneal untuk mengurangi kontaminasi. Laparoskopi diagnostic sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi pasien trauma dengan hemodinamik stabil, dimana laparoskopi mampu
memberikan diagnosis yang akurat dari cidera intra-abdominal, sehingga mengurangi
pelaksanaan laparotomi dan komplikasinya.
Pada pasien-pasien di ICU sering juga dilakukan bedside diagnostic laparoscopy
dengan indikasi seperti sepsis. Bedside diagnostic laparoscopy, yang bisa dilakukan di dalam
ICu dengan menggunakan anestesia local atau obat sedasi IV biasanya dilakukan pada pasien
ICU dengan patologi intra-abdominal, dimana pasien biasanya tidak stabil dengan
memerlukan ventilator atau bantuan inotropic atau vasopressor sehingga cukup berisiko jika
dibawa ke ruang operasi atau pemeriksaan radiologi.
Kontraindikasi Laparoskopi
Tindakan laparoskopi dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik, penyakit katup, disfungsi renal, atau penyakit respirasi end stage. Harus
diperimbangkan antara risiko komplikasi pembedahan dan efek fisiologis dari
pneumoperitoneum pada laparoskopi dengan kelebihannya berupa waktu pemulihan pasca
operasi yang singkat. Kontraindikasi relative dari laparoskopi adalah peningkatan tekanan
intracranial, hypovolemia, dan kehamilan. Kontraindikasi absolut meliputi :
Obstruksi intestinal akut, dengan dilatasi usus > 4 cm
Ileus, peritonitis
Perdarahan intraperitoneal
Hernia diafragmatika
Koagulopati yang belum diobati
Distensi abdomen
Trauma dengan hemodinamik tidak stabil
Teknik Anestesi
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal
dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik
anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain,
anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman
untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba
perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun
pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan
visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian
penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan
spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada
operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan
adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi.
Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot
yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan
manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya
resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi;
perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang
tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan
karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah
pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi
karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan
pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ
visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan
pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan
teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum
intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan
PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan
ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih
dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan
pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar
dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti
nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik
pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit
jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk
mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg.
Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi.
Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine
harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan
ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti
sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli
bedah dan pasiennya tidak obesitas.
Manajemen jalan nafas
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik
untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat
pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway
(LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro
seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day
care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal
mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan
menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan
dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan
meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal
mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung.
Pelumpuh otot
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek
samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin
meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi
dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse
ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan
dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi
yang direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan
insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit
menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak
memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh
otot.
Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum
untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl
bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan
interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi
karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi
yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan
nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal,
namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu
setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan
anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek
samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan
tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian
obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan
mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang
diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan
nyeri visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang
dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.
Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani
prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu
ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan
intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada
pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,
perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan
monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa
gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA
II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea
bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi
paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan
memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia
selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun
dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan
dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen
menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan
tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi.
Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan
frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk
dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien
dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri
seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor
PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan
penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2
pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat
secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi
peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba
selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan
laparoskopi.
Referensi
1. Hayden P, Cowman S. Anesthesia for laparoscopic surgery. Contin Educ Anesth Crit Care
Pain. 2011;11(5):177-180
2. Cunningham AJ, Nolan C. Anesthesia for minimally invasive procedures. Clinical
Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28.
3. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition
2002;23;522 – 24