Anda di halaman 1dari 22

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI

PENDAHULUAN

Penggunaan teknik laparoskopi menjadi hal yang umum pada praktek klinis, operasi yang
dulunya memerlukan rawat inap yang lama sekarang telah berubah menjadi lebih singkat.
Awalnya, teknik laparoskopi ini digunakan untuk prosedur operasi yang singkat, diagnostik
ginekologi pada wanita muda dan sehat, namun sekarang telah berkembang pada berbagai
prosedur operasi intraabdominal dan juga digunakan pada pasien lanjut usia yang memiliki
penyakit penyerta seperti penyakit jantung dan paru.1 - 8

Perkembangan prosedur laparoskopi ini berhubungan dengan perkembangan teknologi


optic endoskopi, video kamera, peralatan endoskopi lainnya. Keunggulan dari insisi yang kecil,
berkurangnya nyeri dan ketidaknyamanan pasca operasi, singkatnya rawat inap dirumah sakit,
cepatnya pergerakan dan dapat kembali bekerja menyebabkan peningkatan dari popularitas
prosedur laparoskopi.1-4,7,9

Walaupun prosedur ini dikatakan minimal invasif pada pasien, namun prosedur ini
menyebabkan perubahan fisiologis yang signifikan dan merupakan hal yang khusus untuk
prosedur ini. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi ahli bedah dan ahli
anestesi untuk mengerti tentang patofisiologi, penatalaksanaan, potensi masalah, dan komplikasi
yang berhubungan dengan prosedur laparoskopi.1,3,4,10-14

Efek fisiologi dari laparoskopi

Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi


insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium,
perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh refleks peningkatan
tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

1. Efek kardiovaskular 1-4,7,14,15


2. Efek respirasi 1-5,15

Efek kardiovaskular

Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik
(SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal cardiac index
(CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR).

Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan


terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO 2 intra peritoneum dan selanjutnya
diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index

1
(30 – 40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position),
selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Respon
hemodinamik terhadap pneumoperitoneum yang serupa juga diamati oleh Branche dkk.
menggunakan pemeriksaan ekokardiografi. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi
intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.

Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi


beberapa faktor 2,4 :

1. Faktor penderita
2. Tekanan intraabdomen
3. Posisi pasien
4. Absorbsi sistemik gas CO2
5. Respon neurohumoral
1.1 faktor penderita 2,4,16
faktor – faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah
ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya
prosedur laparoskopi.
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum
menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR
sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang lebih
besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan
adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien ini
juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang
lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac
output yang lebih besar.
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta
tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi
peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang lebih besar.

1.2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) 1,2,4,14


Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus vagal
yang bisa berkembang menjadi aritmia. Insuflasi peritoneum yang menghasilkan tekanan
intra abdomen yang lebih besar dari 10 mmHg dapat menyebabkan perubahan
hemodinamik yang signifikan.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah
vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan

2
dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan
biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya
menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal.
Pada pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun
maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara
pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya
penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi
head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas tekanan intraabdomen
selama insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena
sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini
diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar
dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH 2O/18 mmHg) cenderung membuat
kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran
darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada
beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan
tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien
sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah
dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic
bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika
tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi
dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat
penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara
signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa mencegah
perubahan hemodinamik.
Nilai saturasi oksigen vena (SvO2) intraoperasi dan konsentrasi laktat normal
diduga oleh karena perubahan cardiac output yang terjadi selama pneumoperitoneum
dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat.

1.3. Efek dari posisi pasien 1,2,4,7,11,14-16


Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO 2 pada laparoskopi kolesistektomi
dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi pasien
kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan
ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan

3
meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan
pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena
(venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi ejeksi
ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan
tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan
pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan
tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena
femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi
dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload),
namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon
paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang
menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan
perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD),
khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan
secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg
ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians
intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular yang bisa
menyebabkan perburukan pada pasien dengan glaucoma akut.

1.4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2 1,2,4,14,16


Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO 2.
Hiperkapni menyebabkan penurunan konyraktilitas miokardium dan menurunkan nilai
ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya
dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro
humoral dengan pengeluaran katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk
mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan
meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan
peningkatan tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada
pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume
intravaskular.

1.5. Respon neurohumoral 1,2,4,16


Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama pneumoperitoneum
adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan
4
stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian
melaporkan adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk.
menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum.
Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan
peningkatan MAP.
Peningkatan SVR dimediasi oleh faktor mekanik dan neurohumoral. Kembalinya variable
hemodinamik kenilai dasar secara bertahap dan terjadi dalam beberapa menit, diyakini
melibatkan faktor neurohumoral. Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya
vasopressin semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan
peningkatan pengeluaran vasopressin.

↑Tekanan intra-abdomen

Pooling Kompresi ↑tekanan Stimulasi Resistensi


darah vena ↑resistensi intra reseptor vaskular
di kaki cava vena thoraks peritoneum organ
infra
abdomen

↓venous ↓inotropism Pengeluaran faktor – faktor


return neurohumoral (vasopressin,
katekolamin)

↓cardiac ↑resistensi
output vaskular
sistemik

↑tekanan arteri
Gambar 1. Skema mekanisme yang menyebabkan penurunan cardiac output selama
pneumoperitoneum pada laparotomi 2,5

EFEK RESPIRASI 1-4,15

Efek Mekanik

5
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi,
mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi
respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.

Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru,
penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure).
Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan
kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang
dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO 2 dan perpindahan ke sefalad
diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure). Peningkatan tekanan
intraabdomen sampai 14 mmHg dengan posisi head up atau head down 10 - 20º tidak signifikan
merubah ruang rugi fisiologis atau pintasan pada pasien tanpa masalah kardiovaskular.

Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama
laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis,
gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat
merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.

Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC,


volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi
atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada
pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia.
Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa
endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran
trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.

Setelah insuflasi posisi pasien biasanya diubah menjadi head up position untuk
memfasilitasi diseksi pembedahan. Posisi ini berefek pada respirasi dengan peningkatan FRC
dan penurunan kerja pernafasan.

Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 2,4

CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO 2 tidak mudah terbakar
seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan
helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek
samping emboli gas. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2),
yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.

Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah
absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2 tinggi, maka
terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan
PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada

6
innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO 2 tidak dapat diprediksi, khususnya
pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah
dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini
membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi.
Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO2
masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat
dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru
berat.

Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru
menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.

Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah


mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi
ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up.
Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi
lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum
dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari
hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan
yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam
waktu 15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas
spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang
rendah.

Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :

1. absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.


2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi
abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output.
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi yang
terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam ruang
tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.

Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum CO2
lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan
intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga
bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. Nilai PaO2 dan pintasan intrapulmoner tidak berubah
secara signifikan selama laparoskopi. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis
dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti emfisema

7
subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 –
25% ventilasi alveolar. Pengukuran secara langsung dari eliminasi CO 2 (VCO2) dengan
menggunakan monitor metabolik yang dikombinasi dengan pemeriksaan pertukaran gas
menunjukkan peningkatan 20 – 30% VCO 2 tanpa perubahan yang bermakna dalam ruang rugi
fisiologis pada pasien sehat yang menjalani laparoskopi pelvis (tekanan intraabdomen 12 – 14
mmHg) pada posisi head down atau yang menjalani laparoskopi kolesistektomi pada posisi head
up.

EFEK PADA SISTEM LAIN1,2,4,14

Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk terjadinya
sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan intragastrik
karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior
jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi
regurgitasi.

Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada peningkatan IAP,
sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh darah kapiler dan vena-
vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi
reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut
mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.

Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP dapat memperburuk perubahan-perubahan vaskuler yang terjadi. Peningkatan
IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik pada pembuluh darah
abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan vasopressin) selama
pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga
mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20
mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan
disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan
suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula adrenal.

Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan-perubahan pada curah
jantung dan efek langsung pada aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis
yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas

8
rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler


Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal
dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan intrakranial
dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal
ini juga turut meningkatkan tekanan intrakranial.

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI 1-3,5

Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus


mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi
selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan
anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur
laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

EVALUASI PASIEN PREOPERASI DAN PREMEDIKASI 1,2,5,8,16

Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi


telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas
morbid.

Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan


intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan
peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan
shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap
tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas
dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.

Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien
dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik
selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien
dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena
disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan
resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan
pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.

Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan
tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan
asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin

9
memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi
ataukonversikan ke prosedur terbuka.

Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-
molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau
Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length
graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten
pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum
pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.

Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan
cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca
operasi dan penggunaan opioid. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon
stress intraoperasi dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik
(benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.

Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,
khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif
yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak
daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini
keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam
menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

TEKNIK ANESTESI 1,2,4-6,15

Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan
sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi
tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.

Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba
perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun
pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi
organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik
anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.

Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal.
Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi
laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya
pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini
membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk
mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan,

10
namun pasien obesitas yang disertai penyakit paru tidak dapat meningkatkan ventilasi spontan
untuk mempertahankan normokarbia saat pencapaian blok regional pada leve yang tinggi (T2)
selama insuflasi dan pada posisi trendelenburg 20º. Kerugian yang lain dari teknik regional
adalah adanya nyeri alih ke bahu akibat iritasi diafragma. Anestesi umum merupakan pilihan
teknik anestesi pada pasien ini.

Prosedur laparoskopi diagnostik dalam anestesi spinal, dan laparoskopi kolesistektomi


dalam anestesi epidural kontinyu berhasil dilakukan pada pasien dengan penyakit respirasi kronis
seperti fibrosis kistik. Dibutuhkan denervasi simpatis level tinggi, seringnya perubahan posisi
pasien dan adanya pneumopritoneum berhubungan dengan gangguan ventilasi dan sirkulasi
sehingga membutuhkan menejemen pasca operasi yang baik.

Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai
pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya resiko
regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya
ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara
relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan
insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien
yang tidak diinginkan. Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung
selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars.
Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi
organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan
keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi.
Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya
pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.

Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan


PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan
ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih
daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan
pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan
menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin,
agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum
dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.

Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk


mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg.
Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena
kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus
disediakan untuk injeksi jika diperlukan.

11
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan
ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti sterilisasi
perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan
pasiennya tidak obesitas.

Manajemen jalan nafas 2,4,16

Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik
untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat
pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway (LMA)
telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil
digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC).
Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk
esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA.
Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan dengan tekanan
intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan meningkatkan resiko
regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi
asam lambung karena refluk isi lambung.

Pelumpuh otot 2,17

Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek samping
obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin meningkatkan
terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan
pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang
lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin,
khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan,
penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV.
Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang
harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan
resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.

Nitrous Oxide (N2O) 2,3,4

Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan


N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan
pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan
pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N2), ruang
udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan
adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N 2O.
keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk.
mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari
29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.

12
Walaupun N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV, Muir dkk. menemukan
tidak ada hubungan antara penggunaan N2O dan kejadian PONV pada laparoskopi
kolesistektomi. Didapatkan bahwa laparoskopi kolesistektomi atau pelvis laparoskopi yang
dilakukan tanpa menggunakan N2O gagal mengurangi kejadian PONV pasca operasi. Dengan
kejadian ini disimpulkan bahwa efek N2O pada kejadian nual muntah pasca operasi kurang.
Lomie dan Harper dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi
17% bila tidak menggunakan N2O.

Obat Induksi 2

Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang baik.
Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi 2

Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi
hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang baru seperti
isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan
kurang aritmogenik, hal ini penting oleh karena adanya potensi untuk terjadinya hiperkarbia
akibat insuflasi CO2.

Analgesia 2,3,4

Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk prosedur
laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan
intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil
kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi karena penggunaan
opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh
opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan nalokson.

Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal, namun


tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah operasi.
Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi
sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat
anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak melibatkan blok
neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal
bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang
terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur
intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa
tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan pemberian 80 ml
bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

13
Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV) 1,2,3,5

PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejala yang
sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan merupakan faktor yang
paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan
opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase
isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan
analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT,
ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi
laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan
siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu
yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir
pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah
PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis
5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai
dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

Monitoring 1,2,4,16

Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur
dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG,
Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal,
pulmonary airway pressure. Joris dkk. pada penelitiannya mendapatkan Pulse rate, NIBP, ECG
kurang baik dalam menggambarkan besarnya perubahan hemodinamik yang diakibatkan oleh
pneumoperitoneum. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV untuk
memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk
memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO 2 dan saturasi
oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut.
Walaupun mean gradient (Δa-ETCO2) antara PaCO2 dan tekanan end tidal CO2 (PetCO2) tidak
berubah selama insuflasi CO2 intraperitoneum, terjadi variasi perbedaan data secara individual
selama pneumoperitoneum. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II –
III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Data ini menunjukkan
kurangnya korelasi antara PaCO2 dan PETCO2 pada pasien sakit, khususnya pasien dengan
gangguan eskresi CO2 dan pada pasien dengan gangguan kardiopulmoner akut. Pemeriksaan
analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien
tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan
sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan
ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi.
Diasumsikan gradient yang konstan antara CO 2 arteri dan ETCO2 yang umumnya valid pada
pasien sehat yang menjalani laparoskopi. Asumsi ini tidak akan dapat digunakan jika ruang rugi
alveolar berubah selama pembedahan, misalnya penurunan perfusi paru yang signifikan

14
meningkatkan ruang rugi alveolar, dilusi oleh gas ekspirasi CO 2, dan tidak adanya pengukuran
ETCO2. Penurunan perfusi paru ini terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena
tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau
terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang
besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan
pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan
volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan
sampel gas alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO 2. Nilai ETCO2 tidak bisa
dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi.
Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi
hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada
pasien dengan penyakit kardiopulmoner.

Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2 pada
pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara
bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.

Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan
IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan
tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang
dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.

KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK 1,2,4

Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum CO 2


meliputi :

1. Trauma vaskular 2,3,4,8,16


Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama
veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas
± 0,03 – 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan.
Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai
pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding
abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom
retroperitoneum, biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat
oleh karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya
hipotensi yang tidak bisa diterangkan. Ahli anestesi sangat memegang peranan
penting dalam diagnose awal dari komplikasi fatal laparoskopi ini. Perdarahan yang
tidak bisa dikontrol memerlukan prosedur tindakan terbuka segera untuk mengontrol
perdarahan,dan memperbaiki trauma vaskular.
2. Trauma Gastrointestinal 2,3,4,8

15
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar
meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa
menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma
gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi
yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3. Aritmia jantung 2,3,4,6
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab
meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan peningkatan
reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan
manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan
aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan
insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)
4. Emfisema Subkutis 1,2,3,4,5,12,14,15
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang
disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis)
dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum
pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil
subumbilikus. Insuflasi CO2 ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum
ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi.
Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%.
Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai abdomen,dada, leher, dan paha.
Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding
abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO2
dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis
karena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi
veress needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi
mengurangi insiden komplikasi ini.
5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium 1-6,12,14-16
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau
ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang
mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek
diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada
laparoskopi kolesistektomi, pneumothorak dapat terjadi saat insersi veress needle dan
trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi kandung empedu. Diduga mekanisme terjadinya
pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus esophagus
diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura.
Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada
hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak
16
pernah ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan dengan defek
diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension
pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi
intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan
jalan nafas yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah,
atau jika tension pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala
hipotensi yang berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara
klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan
abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya
penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen
bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang
terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat
diterapi secara konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah
pengempisan abdomen dan tidak memerlukan pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur
laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan
terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan
hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum dan observasi ketat
harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.
6. Emboli Gas CO2 1-6,12,14-16
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur
laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol
setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi
penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO 2 kedalam
pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi,
atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu.
Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap
kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill
wheel murmur’, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2
meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan
aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten foramen
ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal
sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi, tetapi tanpa efek
kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada
100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi dengan menggunakan
Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat
menghasilkan deteksi dini dan mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
1. Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum
17
2. Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal
berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan
kaudal outflow ventrikel kanan.
3. Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk
memperbaiki hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan
dampak emboli gas.
4. Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan
seperlunya dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.
5. Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter
vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
6. Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar
mungkin bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung
yang kecil.

PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI 1,2,5

Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidak
adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas. Prosedur
laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan
dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling
tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO2 masih rendah
setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi
laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab
disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh
karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding
abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi
paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30
– 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48%
setelah pembedahan terbuka.

Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO 2 dari pasien
yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.

Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena


yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah
laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu
0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat
mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisa
memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.

18
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan
pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan
untuk memberikan obat profilaksis.

Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering terjadi
nyeri dan ikterus.

SIMPULAN

Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan,


berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan
rumah sakit lebih pendek.

Pneumoperitoneum CO2 mengakibatkan perubahan ventilasi dan respirasi.


Pneumoperitoneum menurunkan komplians torakopulmonal. PaCO2 meningkat sekitar 15 – 25%
disebabkan oleh absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.kapnografi dapat diandalkan untuk menilai
peningkatan ini, yang plateu setelah 20 – 30 menit.

Pada pasien dengan gangguan kardiorespirasi memperbesar peningkatan PaCO 2 dan


memperbesar gradient antara PaCO2 dan PETCO2.

Pada peningkatan PETCO2 lebih dari 25% dan atau terjadi lebih lambat dari 30 menit
setelah terjadinya insuflasi CO2 peritoneum harus dicurigai adanya emfisema CO2 subkutis, yang
merupakan komplikasi respirasi yang paling sering selama laparoskopi.

Insuflasi peritoneum menyebabkan perubahan hemodinamik, yang ditandai dengan


penurunan cardiac output, peningkatan tekanan arterial, dan peningkatan SVR dan paru.
Perubahan hemodinamik bertambah besar pada pasien resiko tinggi penyakit jantung.

Patofisiologi perubahan hemodinamik dapat dikurangi atau dicegah dengan


mengoptimalkan preload sebelum pneumoperitoneum dan dengan obat – obat vasodilatasi,
antagonis reseptor α2-adrenergik, opioid dosis tinggi, dan penghambat β.

Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi
umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi
laparoskopi.

Pengetahuan yang cukup terhadap dampak intraoperasi laparoskopi akan memungkinkan


manajemen pasien dengan penyakit kardiorespirasi yang berat lebih aman. Yang selanjutnya
memberikan manfaat pasca operasi dengan teknik ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

20
1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery 2003;65;232 –
40
2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah Anestesi dan
Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia 2002;49;6;1
–5
4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures. Clinical
Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28
5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 – 17.
6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 – 9.
7. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition
2002;23;522 – 24
8. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy. Canadian
Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 - 87
9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia in
Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta – Analysis. International
Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 - 87
10. Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology - Problem Oriented Patient
Management, fourth Edition 1998; 39; 732 - 59
11. Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic extrapritoneal and
laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy. Journal Compilation 2006; 508 – 13.
12. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker
Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19
13. Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available at
mehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 - 8
14. Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005; 40; 217 –
23.
15. Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of
Anesthesiology 2005; 167 - 8
16. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic
Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.
17. Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for muscle
relaxation during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986; 69; 553 – 55

Efek regional hemodinamik ( aliran darah splanknik, renal, serebral ) 1,2,4,14

Peningkatan tekanan intra abdomen dan posisi head up menyebabkan stasis vena
ekstremitas bawah. Aliran darah vena femoralis menurun secara progresif dengan peningkatan
tekanan intra abdomen dan tidak terjadi adaptasi terhadap penurunan aliran dara balik vena

21
femoralis ini bahkan pada prosedur operasi yang lama. Kondisi ini bisa menjadi predisposisi
untuk berkembangnya komplikasi tromboemboli.

Pneumoperitoneum,perubahan posisi pasien, penurunan cardiac output, dan absorbsi


sistemik CO2 mempengaruhi aliran darah splanknik, renal, serebral selama pembedahan
laparoskopi. Konsekuensi klinis dari perubahan ini tergantung dari status kesehata pasien. Efek
mekanik langsung dari pneumoperitoneum dalam penurunan sirkulasi splanknik bisa diimbangi
dengan efek vasodilatasi langsung pembuluh darah splanknik oleh CO 2. Efek pneumoperitoneum
pada sirkulasi splanknik secara klinis tidak signifikan. Efek penekanan mekanik dari
pneumoperitoneum bisa menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus lebih dari 50%, aliran darah
renal, dan penurunan produksi urine selama operasi laparoskopi kolesistektomi. Produksi urine
meningkat setelah pengurangan pneumoperitoneum. Aliran darah serebral dan tekanan
intrakranial meningkat selama pneumoperitoneum oleh CO2 sebagai respon terhadap
peningkatan PaCO2, dengan implikasi pada pasien lesi massa intrakranial yang akan menjalani
pembedahan laparoskopi. Jika normokarbia dipertahankan, pneumoperitoneum disertai dengan
posisi headdown tidak menyebabkan perubahan yang berbahaya pada dinamik intrakranial.

Tekanan intraokular tidak terpengaruh oleh pneumoperitoneum pada pasien yang tidak
memiliki sakit mata. Pada model binatang dengan penyakit glaucoma, pneumoperitoneum hanya
sedikit meningkatkan tekanan intraokular.

22

Anda mungkin juga menyukai