Anda di halaman 1dari 11

STATUS PASIEN DOKTER MUDA

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO-RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

1. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : Tn. R
 Umur : 24 Tahun
 Alamat : Jl. Sungai Wera, No. 46
 Pekerjaan : Swasta
 Agama : Islam
 Ruangan : Teratai
 Tanggal Pemeriksaan : 22 Januari 2015

2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Nyeri pada kaki kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluhan dirasakan sejak ± 3 bulan yang lalu setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien
mengalami kesakitan saat berjalan. Pasien tidak mengeluhkan sesak, jantung berdebar
debar, tremor dan sering berkeringat. Buang air besar dan air kecil normal, nafsu
makan baik.
 Riwayat Penyakit Sebelumnya :
Asma (-)
Hipertensi (-)
Diabetes Melitus (-)
 Riwayat alergi : tidak ada

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum :
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.50C
Kepala :
- Bentuk : Normocephal
- Rambut : Ikal, warna hitam distribusi padat
- Wajah : Simetris, deformitas (-), edema (-), tampak lemas

Mata : Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-), fungsi N.II (tidak
dilakukan pemeriksaan), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2 mm / 2 mm

Mulut : Bibir sianosis (-), pucat (+), tonsil T1/T1


Faring : faring dan uvula terlihat jelas,
palatum mole terlihat jelas
skor Mallampati 1

Leher : Pembengkakan kelenjar getah bening (-)


Pembesaran pada kelenjar tiroid (-)
JVP R5 + 2 cm H2O
Massa lain (-)

PS ASA I

Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Normochest, retraksi (-), massa (-), bentuk dada normal, ekspansi
paru simentris (+/+)
 Palpasi : nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan
 Perkusi : sonor (+) diseluruh lapang paru, batas paru hepar SIC VI dextra.
 Auskultasi : vesicular +/+ diseluruh lapang paru, bunyi tambahan (-).

Jantung
 Inspeksi : lctus cordis tidak tampak
 Palpasi : lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra

2
 Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Bentuk cembung, massa (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Perkusi : Timpani (+) diseluruh kuadran abdomen, ascites (-)
 Palpasi : Hepar tidak teraba
Spleen tidak teraba
Nyeri tekan (-)

Ekstremitas :
Atas : Edema (-/-), Akral hangat (+/+), kekuatan otot (5/5)
Bawah : Edema (-/-), Akral hangat (+/+), kekuatan otot (5 / sulit dinilai)

4. RESUME
Pasien laki-laki 24 tahun dengan keluhan nyeri pada kaki kanan yang dirasakan
sejak ± 3 bulan yang lalu setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien mengalami kesakitan saat
berjalan. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu
36.50C, skor Mallampati 1, PS ASA 1, pergerakan ekstremitas kanan bawah terbatas.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
x-ray : fraktur femur
Lab darah rutin
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 2,77 106/mm3 4,50-6,50
WBC 10,7 103/mm3 4,0-10,0
HGB 8,0 gr/dl 13,0-17,0
HCT 24,4 % 40,0-54,0
PLT 115 103/mm3 150-500
MCV 88 µm3 80-100

3
MCH 29,0 pg 27,0-32,0
MCHC 32,9 g/dl 32,0-36,0
RDW 13,5 % 11,0-16,0
MPV 9,2 µm3 6,0-11,0
PCT 0,106 % 0,150-0,500
PDW 17,3 % 11,0-18,0

6. Diagnosis
Fraktur femur dextra

7. Penatalaksanaan :
Ceftriaxone 2 x 1 gr

8. Anjuran
Orif femur
Spinal anestesi

LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah : Fraktur femur
2. Diagnosis Pasca Bedah : Post orif plate dan screw
3. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Orif femur dextra
b. Posisi : Supinasi
c. Jenis Anestesi : Regional anesthesia
d. Obat Anastesi : Bupivacaine
e. Teknik Anestesi : Subarachnoid block
f. Mulai Anestesi : 20 Januari 2015, pukul 09.45 WITA
g. Mulai Operasi : 20 Januari 2015, pukul 10.05 WITA
h. Pre Medikasi : Ondasentron 4 mg
i. Medikasi : Petidine 20 mg, Ephedrine 20 mg
j. Selesai Operasi : Pukul 12.55 WITA
k. Efek Anestesi Hilang : Pukul 12.55 WITA

4
Tekanan Darah (mmHg)
Jam Nadi (x/menit)
Sistol Diastol
09.45 130 60 68
09.50 120 90 68
09.55 128 62 68
10.00 130 70 68
10.05 120 70 70
10.10 120 60 69
10.15 138 62 60
10.20 138 62 60
10.25 130 62 70
10.30 140 58 68
10.35 140 60 60
10.40 138 62 60
10.45 130 60 60
10.50 130 60 60
10.55 128 60 60
11.00 124 62 62
11.05 130 70 62
11.10 120 62 68
11.15 120 70 68
11.20 120 68 62
11.25 128 62 70
11.30 130 62 60
11.35 130 60 62
11.40 120 68 80
11.45 120 68 90
11.50 120 70 90
11.55 120 68 100
12.00 110 60 128
12.05 110 60 128
12.10 100 60 130
12.15 100 58 110
5
12.20 90 50 100
12.25 123 68 90
12.30 130 72 100
12.35 125 75 82
12.40 110 70 92
12.45 100 74 94
12.50 120 72 96
12.55 120 72 96

Tabel 1. Evaluasi tekanan darah dan nadi selama operasi

6
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat diklasifikasikan dengan
ASA 1, yaitu pasien yang normal dan sehat, tidak ada penyakit lain selain penyakit yang akan
dioperasi. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal
anestesi subarachnoid block.
Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik
lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal juga disebut sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis →
subkutis → ligamentum supraspinosum → ligamentum interspinosum → ligamentum flavum
→ ruang epidural → duramater → ruang subarachnoid.

Gambar 1. Lokasi penusukan jarum pada anestesi spinal.

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetrik-
ginekologi, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi
ditidurkan dengan anestesi umum.

7
Kontraindikasi penggunaan anestesi spinal meliputi kontraindikasi mutlak dan
relative. Kontraindikasi mutlak yakni pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hypovolemia berat atau syok, koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intrakranial
meningkat. Sedangkan kontraindikasi relatif yakni kelainan neurologis, prediksi bedah yang
berjalan lama, penyakit jantung, hypovolemia ringan, nyeri punggung kronik.
Sebelum melakukan anastesi spinal terlebih dahulu harus mengatur posisi pasien.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Pada pasien ini anestesi dilakukan dengan posisi duduk oleh
karena pasien sulit melakukan posisi lateral decubitus karena pasien tidak miring kesamping
akibat nyeri pada kakinya. Lokasi penyuntikan dilakukan pada regio lumbal antara vertebra
L2-L3, L3-L4, L4-L5.

Gambar 2. Posisi lateral decubitus dan posisi duduk.

Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain: Posisi pasien
duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi
lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan
tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada dimeja operasi. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali,
yaitu di daerah antara vertebra lumbalis (interlumbal). Lakukan tindakan asepsis dan
antisepsis kulit daerah punggung pasien. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat

8
penusukan pada bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet
lalu cairan cerebrospinal akan menetes keluar. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah
disiapkan ke dalam ruang subaraknoid.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen,
lengkung tulang belakang, postur tubuh, tempat penyuntikan.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang
mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan
proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah.
Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali akan pulih.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik
Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas cairan
spinal. Barisitas menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena
gravitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan cenderung ke bawah. Obat-obat
lokal anestesi berdasarkan barisitas dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Hiperbarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat lebih besar
dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke
dasar akibat gaya gravitasi.
2. Hipobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat lebih rendah
dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke
atas dari area penyuntikan.
3. Isobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat sama dengan
berat jenis cairan serebrospinal, sehingga obat akan berada di tingkat yang sama di
tempat penyuntikan.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penggunaan anestesi spinal adalah hipotensi,
nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera
pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine
sebanyak 20 mg. Bupivakain disebut juga obat golongan amida yang digunakan pada anestesi
9
spinal. Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik. Larutan bupivakain
hiperbarik adalah larutan anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan
menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja larutan
hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat / larutan
yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu
tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai
barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan
bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik pada
anestesi spinal :
1. Gravitasi
Cairan serebrospinal mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika larutan hiperbarik yang
diberikan kedalam cairan serebrospinal makan akan bergerak oleh gaya gravitasi ke
tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah
dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai
dengan tempat injeksi.
2. Tekanan intra abdomen
Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh
darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah,
sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan
ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial.
3. Anatomi kolumna vertebralis
Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
4. Tempat penyuntikan
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi
5. Posisi tubuh
Tidak terdapat pengaruh penyebaran jenis obat larutan isobarik pada posisi tubuh,
sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.

:
10
DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton, T., Blogg, C., 2002. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.
2. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
3. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses dari: http://www.nlm.nih.
gov/medlineplus/ency/article/007413.htm
4. Mansjoer, A., et all. 2009. Anestesi Spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi III.
Media Aesculapius. Jakarta.
5. Siswo, H., 2006. Anestesi Regional, Aplikasi Klinis, dan Manfaat. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id

11

Anda mungkin juga menyukai