Anda di halaman 1dari 6

2.

1 ADHF (ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE)


A. Definisi
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut
yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala
atau tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal.Disfungsi ini dapat
berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau
ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru
tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari
gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami
sebelumnya.ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan
gagal jantung akut yang diidefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset)
dari gejala-gejala atau tanda- tanda akibat fungsi jantung yang abnormal.Pasien
yang datang ke rumah sakit dengan ADHF dapat dikategorikan menjadi 4
himpunan bagian berdasarkan status cairan (euvolemik atau "kering" vs cairan
yang berlebihan atau "basah") dan fungsi jantung (curah jantung yang memadai
atau "hangat" vs hipoperfusi atau "dingin" ) (Dipiro et al 2014).
1. Faktor Resiko Tinggi
Factor resiko tinggi terkena penyakit ADHF, yaitu :
a) Orang yang menderita riwayat hipertensi
b) Obesitas
c) Pernah mengalami riwwayat gagal jantung
d) Perokok berat
e) Aktivitas sangat berlebihan dan mengkonsumsi alkohol

B. Etiologi dan pathogenesis


1. Etiologi
Ada bebrapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab
yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi
kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan
tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti
atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab
penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien
gagal jantung (Dickstein K et al 2011). Penyakit katup sekitar 10% dan
kardiomiopati sebanyak 10%. Kardiomiopati merupakan gangguan pada
miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi
abnormal dengan ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit
katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya yang berperan terjadinya
abnormalitas miokard (Dickstein K et al 2008)

2. Patofiologi
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal
jantung kronik asimtomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat
juga terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung
sebelumnya. Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun
non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya
akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan
oleh proses iskeemia miokard atau hipertrofi remodeling otot jantung atau
kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel
sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan
curah jantung. Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan
mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung.
Mekanisme ini melibatkan sistem adnergik, renin angiotensin dan aldosterone
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat vasokontriksi arteriol dan
retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme
kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik
dimana jantunggnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi
masik bisa dikompensasi agar tetap data mmpertahankan metabolism dalam
tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka
mekanisme ini dapat akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis
tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF. Proses
remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard
menurun dan tidak efektif ntuk mempompa darah. Hal ini akan menimbulkan
penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung.
Penurunan kontraktilitas miokard paada ventrikel kiri (apabila terjadi infark
didaerah ventrike kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri.
Hal ini disebabkan karena penurunan kontraktilitas miokard disertai dengan
peningkatan venous retur (aliran balik vena).
Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru paru. Bendungan
ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga
terjadilah edema paru. Edema ini tentunya akan menimbulkan gangguan
pertukaran gas di paru paru sedangkan apabila curah jantung menurun, maka
secara fisiologis tubuh akan melakukan kompensasi melalui perangsangan system
adrenergic dan RAA untuk mempertahankan curah jantung darah normal
sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka
penurunan curah jantung akan memicu penurunan alirah darah ke jaringan
berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi
garam dan air oleh sistem rein angiotensin aldosterone. Retensi ini akan menjadi
lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan
akibat proses dekompensasi sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang
berujung pada edema perifer.

C. Manifestasi Klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak nafas, kongesti, dan kelelahan yang
sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala-gejala ini juga
dapat disebabkan oleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung.
Komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala invariasi bentuk
penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru rekatif dan emboli
pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal
jantung (Lindenfeld 2010). Menurut The Consesus Gudilnie in The management
of Acute Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure anatara lain :
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF : Laboratorium : a)
hematologi : Hb, Ht, Leukosit. b) Elektrolit : K, Na, Cl, Mg. c) Enzim
Jantung (CK-MB, Troponin, LDH) d) Gangguan fungsi ginjal dan hati :
a) BUN, Creatinin, Urine Lengkap, SGOT, SGPT. e) Gula darah. F)
Kolesterol, trigiliserida. G) analisis gas darah.
b) Elektrokardiografi, untuk melihat adanya : a) penyakit jantung
koroner : iskemik, infark b) pembesaran jantung (LVH : Left
Ventricular Hypertrophy). c) aritmia, d) Perikarditis
c) Foto Rontgen Thoraks untuk melihat adanya a) edema alveolar, b)
edema interstitials c) efuusi pleura, d) pelebaran vena pulmonalis
e) pembesaran jantung f) echocardiogram menggambarkan ruang-
ruang dan katup jantung g) mengevaluasi fungsi ventrikel kiri

2. Penatalaksanaan
Berikut adalah algoritma pengobatan dari Acute Decompensated Heart
failure:
Keterangan : AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP, bi-level positive airway
pressure; BNP, B-type natriuretic peptide; CI, cardiac index; CPAP, continuous
positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion; HJR, hepatojugular reflex;
JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary wedge pressure; PND,
paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure; SCr, serum creatinine;
SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.

3. Pengobatan
Diuretik : Diuretik loop IV, termasuk furosemide, bumetanide, dan
torsemide, digunakan secara umum di manajemen ADHF, dengan furosemide
menjadi yang paling banyak dipelajari dan digunakan dalam pengaturan ini.
Pemberian diuretik bolus mengurangi preload dalam 5 hingga 15 menit dengan
venodilasi fungsional dan kemudian (>20 menit) melalui ekskresi natrium dan air,
sehingga meningkatkan kongesti paru (Dipiro et al 2014).
Resistensi diuretic : Kadang-kadang, pasien merespons dengan buruk pada
loop diuretik dosis besar, sebuah fenomena yang dikenal sebagai resistensi diuretik.
Pendekatan pertama, dosis yang lebih tinggi dari loop diuretik dapat diberikan untuk
mencapai konsentrasi. Meskipun dosis yang lebih tinggi menghasilkan diuresis yang
lebih besar, efek ini tidak terkait dengan hasil jangka panjang yang lebih baik dan
harus dipertimbangkan terhadap risiko memburuk fungsi ginjal. Pendekatan kedua
untuk mengatasi resistensi diuretik adalah penggunaan IV kontinu infus, walaupun
strategi ini telah menghasilkan hasil yang beragam dalam uji klinis. Pendekatan
ketiga untuk mengatasi resistensi diuretik adalah menambahkan diuretik kedua
dengan berbeda mekanisme aksi. Menggabungkan loop diuretik dengan blocker
tubulus distal seperti metolazon oral, oral hydrochlorothiazide (HCTZ), atau IV
chlorothiazide dapat menghasilkan efek diuretik yang sinergis. Strategi
nonfarmakologis untuk mengelola resistensi diuretik termasuk natrium dan cairan
tambahan pembatasan (mis., masing-masing kurang dari 1 g dan kurang dari 1 L)
dan ultrafiltrasi (Dipiro et al 2014).
Positive Inotropic Agents : Dua agen inotropik positif yang saat ini disetujui
untuk pengelolaan ADHF adalah dobutamin dan milrinon. Meskipun kedua obat
meningkatkan konsentrasi siklik intraseluler adenosine monophosphate (cAMP),
keduanya melakukannya dengan mekanisme yang sedikit berbeda. Dobutamine :
Efek dobutamin diamati dalam beberapa menit tetapi efek puncaknya mungkin
memakan waktu hingga 10 menit terjadi mengingat waktu paruh eliminasi 2 menit.
Dosis awal 2,5 hingga 5 mcg / kg / mnt mungkin ditingkatkan secara progresif
menjadi 20 mcg / kg / menit berdasarkan respons klinis dan hemodinamik.
Milrinone : dosis pembuatan biasa untuk milrinone adalah 50 mcg / kg diberikan
selama 10 menit, walaupun praktik ini jarang terjadi karena peningkatan risiko
hipotensi. Sebagian besar pasien mulai dengan infus pemeliharaan 0,1 hingga 0,3
mcg / kg / menit (hingga 0,75 mcg / kg / mnt), meskipun dosis awal yang lebih
rendah dapat dipertimbangkan. Milrinone diekskresikan tidak berubah dalam urin,
dan dengan demikian, laju infusnya harus dikurangi 50% hingga 70% pada pasien
dengan signifikan gangguan ginjal.
Vasodilator : Vasodilator biasanya diklasifikasikan berdasarkan tempat aksi paling menonjol
(mis., Arteri atau sirkulasi vena). Vasodilator arteri bertindak sebagai agen pengurang impedansi,
mengurangi afterload dan menyebabkan peningkatan reflektif pada curah jantung. Nitroprusside :
nitroprusside memiliki onset aksi yang cepat tetapi efeknya berlangsung kurang dari 10 menit,
mengharuskannya nitroprusside harus dimulai pada dosis rendah (0,1 hingga 0,2 mcg / kg / menit)
untuk menghindari kelebihan hipotensi dan meningkat sedikit demi sedikit (0,1 hingga 0,2 mcg / kg /
mnt) setiap 5 hingga 10 menit dibutuhkan dan ditoleransi. Dosis efektif biasanya berkisar antara 0,5
hingga 3 mcg / kg / menit. Nesiritide : Nesiritide adalah bentuk rekombinan dari BNP, yang
disekresikan oleh miokardium ventrikel dalam respons terhadap volume yang berlebihan (Dipiro et al
2014).

Anda mungkin juga menyukai