Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF),


DI RUANG INTENSIVE CARDIOLOGY CARE UNIT (ICCU)
RSUDZA BANDA ACEH

Disusun Oleh :

Ade Sausan
1912101020034

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR (K3S)


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)
A. Pengertian
Gagal jantung akut (GJA) adalah kejadian atau perubahan cepat tanda dan
gejala gagal jantung. Kondisi ini dapat mengancam jiwa dan harus ditangani
segera, biasanya perlu perawatan di rumah sakit. GJA dapat berupa gambaran
klinis gagal jantung pertama kali atau sering merupakan perburukan gagal
jantung kronis, disebabkan disfungsi kardiak primer atau faktor ekstrinsik.
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan disfungsi sistolik atau diastolik,
kelainan pada irama jantung, atau ketidak seimbangan preloaddan afterload.
Hal ini sering mendapatkan terapi seumur hidup dan membutuhkan perawatan
segera. AHF dapat hadir sendiri sebagai akut de novo (onset baru gagal jantung
akut pada pasien tanpa disfungsi jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut
gagal jantung kronis (Purwowiyoto, 2018).
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung
akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat dari gejala-gejala atau
tanda-tanda akibat fugsi jantung yang abnormal. ADHF dapat berupa serangan
baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi
dari gagal jantung kronik yang telah dialami sebelumnya. ADHF merupakan
perburukan keadaan dari simtom HF yang biasanya disebabkan oleh edema
pulmonal kardiogenik dengan akumulasi cairan yang cepat pada paru (Putra,
2012).
Gejala kongesti yang terdapat pada pasien ADHF berhubungan dengan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri atau kanan. Dyspnea akibat kerja
fisik ringan, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) merupakan
indikasi peningkatan tekanan pengisian jantung kiri. Keluhan rasa tidak nyaman
di perut, mual dan muntah dapat disebabkan oleh kelebihan cairan pada jantung
kanan (Sumantra, 2014).
Terdapat lima subtipe GJA, yaitu (Purwowiyoto, 2018) :
1. Acute Decompesated Heart Failure (de novo atau sebagai dekompensasi
gagal jantung kronis) dengan tanda dan gejala gagal jantung akut, yang
ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema paru
atau krisis hipertensi.
2. Hipertensi AHF: Tanda dan gejala gagal jantung yang disertai dengan
tekanan darah tinggi dan yang disertai dengan penurunan fungsi ventrikel
kiri dengan rontgen dada edema paru akut
3. Edema paru diverifikasi oleh dada x-ray disertai dengan gangguan
pernapasan berat, dengan crackles paru-paru atas dan ortopneu, dengan
saturasi O2 biasanya <90%
4. Syok kardiogenik: syok kardiogenik didefinisikan sebagai bukti
hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh gagal jantung setelah koreksi
preload. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan tekanan darah
berkurang (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan arteri
rata-rata >30 mmHg) dan atau urin output rendah (<0,5 ml / kg / jam),
diikuti denyut nadi >60 bpm dengan atau tanpa bukti organ kongesti.
5. High Output Failure yang ditandai dengan curah jantung yang tinggi,
biasanya dengan detak jantung yang tinggi (yang disebabkan oleh aritmia,
tirotoksikosis, anemia, penyakit Paget, latrogenik atau dengan mekanisme
lain), dengan perifer yang hangat kongesti paru, dan kadang-kadang
dengan BP rendah seperti pada syok septik .
6. Gagal Jantung Kanan ditandai dengan sindrom output yang rendah dengan
peningkatan tekanan vena jugularis, peningkatan ukuran hati dan hipotensi

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan
neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan oleh jejas pada miokard
dan/ ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan karena iskemia,
hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti insufisiensi
ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan. Beberapa mekanisme pathogenesis
gagal jantung akut diantaranya adalah (Joseph, et al, 2009).
1. Kongesti
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti
pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun
merupakan presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung
akut. Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis
(peningkatan tekanan baji kapiler paru/ pulmonary capillary wedge
pressure (PCWP)) dan akan berakibat edema interstisial dan alveolar paru.
Kongesti sistemik bermanifestasi secara klinis dengan distensi vena
jugularis dengan atau tanpa edema perifer dan peningkatan berat badan
secara gradual sering ditemukan. Biasanya, kongesti paru berat yang terjadi
secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan tekanan darah (afterload),
terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik. Gangguan ginjal,
abmormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial, gangguan diet dan
beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS) juga
berkontribusi terhadap kelebihan cairan (McCullough dan Jefferies, 2015).
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan
berkontribusi terhadap progresifitas dari gagal jantung lebih lanjut dengan
aktivasi neurohormonal, iskemia subendokardial dan/ atau perubahan
ukuran dan bentuk dari ventrikel kiri (remodelling) yang pada akhirnya
berakibat pada insufisiensi katup mitral. Peningkatan tekanan vena sistemik
(tekanan atrium kanan bagian atas), lebih sering disebabkan karena tekanan
jantung kiri yang tinggi/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP),
yang akan berkontribusi pada terjadinya sindroma kardio renal (SKR).
2. Cedera miokard
Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung akut
terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Hal ini nampaknya
merefleksikan adanya cedera miokard, yang berhubungan dengan
abnormalitas hemodinamik dan/ atau neurohormonal atau sebagai akibat
dari kejadian iskemia. Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya
tekanan diastolik ventrikel kiri, yang kemudian akan mengaktivasi
stimulasi neurohormonal dan inotropik sehingga berakibat kepada
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
3. Gangguan ginjal
Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan menyebabkan
retensi natrium dan air. Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi,
diabetes dan arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan,
dan perburukan fungsi ginjal. Perburukan selama perawatan atau setelah
pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian diuretik
dosis tinggi.
4. Efek tidak langsung obat
Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk
meringankan gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan
tersebut behubungan dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi
neurohormonal yang lebih lanjut dan perburukan fungsi ginjal. Pemberian
loop diuretik intravena dengan dosis besar berhubungan dengan keluaran
yang buruk pada pasien dengan gagal jantung. Namun, hal ini mungkin
suatu penanda dari keparahan dari gagal jantung itu sendiri, dibandingkan
dianggap sebagai penyebab peningkatan mortalitas. Dobutamin, milrinon
dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik, namun efek ini
berhubungan dengan peningkatan tingkat konsumsi oksigen miokard
(takikardia dan peningkatan kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan
dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi koroner yang berhubungan
dengan hipotensi akan mengakibatkan cedera miokard, terutama pada
pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang sering memiliki
miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia. Hipotensi yang
berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan
hipoperfusi miokardium dan ginjal sehingga menyebabkan cedera.
Faktor Resiko
1. Faktor presipitasi kardiovaskular
a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada
b. Sindroma koroner akut
 Infark miokardial/unstable angina pectoris dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi sistemik
 Kompikasi kronik IMA
 Infark ventrikel kanan
c. Krisis hipertensi
d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventricular, fibrilasi atrial,
takikardia supraventrikuler
e. Regurgitasi valvular/endokarditis/rupture korda tendinae, perburukan
regurgitasi supraventrikuler
f. Stenosis katup aorta berat
g. Tamponade jantung
h. Diseksi aorta
i. Krdiomiopati pasca melahirkan
2. Faktor presipitasi non kardiovaskuler
a. Volume overload
b. Infeksi terutama pneumonia atau septicemia
c. Pasca operasi besar
d. Penurunan fungsi ginjal
e. Asma
f. Penyalahgunaan obat, penggunaan alcohol
g. Feokromositoma (tumor yang mensekresi hormone yang dapat terjadi
pada kelenjar adrenal)
(Putra, 2012).

C. Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology
(ACC) dan American Heart Association (AHA) 2008 :
1. Stage A : Resiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung
structural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini
termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolic,
penyakit arteriosklerosis atau obesitas
2. Stage B : Penyakit jantung structural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling,
fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup
jantung asimptomatik
3. Stage C : Gagal jantung simtomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung
saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung structural,
dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas
4. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan
rawat inap.

D. Patofisiologi
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal
jantung kronik asimtomatik yang mengalami deompensasi akut atau dapat juga
terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya.
Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non
kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan
menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh
proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan
katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi
gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila
curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme
neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme
ini melibatkan system adenergik, rennin angiotensim dan aldosteron sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi
natrium dan air (Price & Wilson 2005).
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme
kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimtomatik
dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih
bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolism dalam tubuh.
Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini
akan terkompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel
yang terkena sehingga muncul ADHF. Prosees remodeling maupun iskemia
miokard akan menyebabkan kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk
memompa darah. Hal ini akan meimbulkan penurunan stoke volume dan
akhirnya terjadi penurunan curah jantung (Price & Wilson, 2005).
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh
akan melakukan kompensasi melalui perangsangan system adrenergic dan RAA
untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh
tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan
memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh
system rennin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif
karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses
dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada
edema perifer (Price & Wilson, 2005).
E. Tanda dan Gejala
Gejala utama mayoritas pasien mengalami sesak napas memberat yang
akut sehingga membutuhkan pertolongan segera. Perburukan gejala gagal
jantung kronis, ditandai dengan sesak napas yang makin memberat, edema
tungkai, ortopnea, ronki basah halus; rontgen dada biasanya normal. Dapat
dibagi berdasarkan profil hemodinamiknya (perfusi-hangat, dingin dan
kongesti-basah, kering) (Purwowiyoto, 2018).
Tanda dan gejala berdasarkan Laksono (2018) yaitu :
1. Sesak nafas yang memberat
2. Edema tungkai
3. Ortopnea
4. Ronkhi basah halus
5. Rotgen dada biasanya normal
Gejala Tanda
Tipikal Lebih spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Ortopneu  Reflek hepatojuguler
 Paroksimal nocturnal dispneu  Bunyi jantung 3 (gallop)
 Penurunan toleransi aktivitas  Impuls apical yang bergeser
 Kelelahan, letih dan kebutuhan kelateral
waktu yang lebih banyak  Bising jantung
untuk istirahat setelah aktivitas
 Edema tungkai
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute
Decompensated Heart Failure (2006) manifestasi klinik ADHF antara lain:
Volume overload Hipoperfusi
 Dypsneu saat melakukan  Kelelahan
aktivitas  Perubahan status mental
 Orthopnea  Penyempitan tekanan nadi
 Paroxymal norturnal dyspnea  Hipotensi
(PND)  Ekstremitas dingin
 Ronchi  Perburukan fungsi ginjal
 Cepat kenyang
 Mual dan muntah
 Hepatosplenomegali,
hepatomegali atau
splenomegaly
 Distensi vena jugular
 Reflex hepatojugular
 Asites
 Edema perifer
F. Komplikasi
Berikut komplikasi yang dapat terjadi dari ADHF (Price & Wilson, 2005)
antara lain :
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis
darah
2. Syok kardiogenik akibat disfungsi nyata
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006) :
1. Echocardiogram, Menggambarkan ruang-ruang dan katup jantung
2. Laboratorium :
 Hematologi : Hb, Ht, Leukosit
 Elektrolit : K, Na, Cl, Mg
 Enzim jantung (CK-MB), troponin, LDH)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, kreatinin, urine lengkap,
SGOT, SGPT
 Gula darah
 Kolesterol
 Analisa gas darah
3. Elektrokardiografi untuk melihat adanya :
 Penyakit jantung koroner : iskemik, infark
 Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy)
 Aritmia
 Perikarditis
4. Foto rontgen thoraks, untuk melihat adanya :
 Edema alveolar
 Edema intersitials
 Efusi pleura
 Pelebaran vena pulmonalis
 Pembesaran jantung
 Echocardiogram menggambarkan ruang-ruang dan katup jantung
 Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri
 Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
5. Pemantauan hemodinamika (kateterisasi artei pulmonal multilumen)
bertujuan untuk :
 Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru
 Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
 Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung
 Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent
 Mengetahui beratnya lesi katup jantung
 Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner
 Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel,
fungsi ventrikel kiri)
 Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenisus arteri koroner)

H. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal adalah mengatasi gejala kongesti dan perfusi serta
tentukan jenis GJA. Terapi GJA sesuai alur profil hemodinamiknya; jika dingin
dan basah berikan inotropik atau vasopresor hingga menjadi hangat dan basah.
Pada profil hangat dan basah dapat diberikan diuretik loop intravena atau drip.
Untuk jenis dingin dan kering mungkin syok hipovolemik, sehingga pemberian
cairan merupakan pilihan yang tepat.
Tatalaksan awal GJA
Pada jenis basah dan hangat diberikan furosemid bolus 2-4 ampul, dapat
dilanjutkan dengan drip 5-20 mg/jam (pantau luaran urin dan elektrolit serta
fungsi ginjal), serta dikombinasi dengan dobutamin 2,5 mcg/kg/ menit
(beberapa kepustakaan menunjukkan tidak berbeda bermakna jika diberi
dobutamin dosis rendah). Jika disertai tekanan darah tinggi berikan
nitrogliserin 5-200 mcg/menit (hati-hati hipotensi).
Dosis inotropik/vasopresor:
 Dobutamin 2-20 mcg/kg/menit
 Dopamin 3-5 mcg/kg/menit (beta +); >5 mcg/kg/menit (beta +, vasopresor
alfa+)
 Norepinefrin: 0,2-1 mcg/kg/menit
 Epinefrin: 0,05-0,5 mcg/kg/menit
Dosis vasodilator:
 Nitrogliserin mulai 10-20 mcg/menit, dinaikkan sampai 200 mcg/menit,
hatihati hipotensi dan nyeri kepala
 Isosorbid dinitrat mulai 1 mg/jam,
dinaikkan sampai 10 mg/jam

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway : kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan
nafas, adanya benda asing, adanya suara nafas tambahan
2) Breathing : Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas,
retraksi dada, adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru,
auskultasi suara nafas, kaji adanya suara nafas tambahan
3) Circulation : Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output
serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik,
warna kulit, nadi.
4) Diagnostik, Drug, dan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan
5) Equipment : alat bantu yang sudah terpasanga
b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat
b. Tanda : gelisah, perubahan status mental missal: letargi, tanda vital
berubah pada aktivitas
2) Sirkulasi
a. Gejala : RIwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya,
penyakit jantung, bedah jantung, endokarditis, anemia, syok septic,
bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen
b. Tanda : TD ; mungkin rendah ( gagal pemompaan), tekanan nadi ;
mungkin sempit, irama jantung ; disritmia, frekuensi jantung ;
takikardia, nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah,
posisi secara inferior ke kiri, bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah
diagnostic, S4 ; dapat, terjadi S1 dan S2 mungkin melemah, murmur
sistolik dan diastolic, warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianosis,
bunyi nafas; krekels, ronkhi, edema ; mungkin dependen, khususnya
pada ekstremitas
3) Eliminasi
a. Gejala : penurunan berkemih, urine berwarna gelap, berkemih
malam hari (nokturia), diare/konstipasi
4) Nutrisi
a. Gejala : kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, diet tinggi
garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic
b. Tanda : penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen
(asites) serta edema
5) Hygiene
a. Gejala : keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas perawatan
diri
b. Tanda : penampilan menandakan kelalaian perawatan personal
6) Nyei/kenyamanan
a. Gejala : nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan
atas dan sakit pada otot
b. Tanda : tidak tenang, gelisah, focus menyempit, dan perilaku
melindungi diri
7) Pernafasan
a. Gejala : dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengan /tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit kronis, penggunaan bantuan pernafasan
b. Tanda :
 Pernafasan : takipneu, nafas dangkal, penggunaan otot aksesori
pernafasan
 Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
meneurs dengan /tanpa pembentukan sputum
 Sputum : mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
 Bunyi nafas : mungkin tidak terdengar
 Fungsi mental : mungkin menurun, letargi, kegelisahan
 Warna kulit : pucat dan sianosis

B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik

C. Perencanaan
Diagnosa NOC (Tujuan / criteria NIC (Intervensi)
hasil)
Penurunan Tujuan : Cardiac care :
curah jantung Efektivitas pompa jantung 1. Evaluasi adanya nyeri
dada (PQRST)
Kriteria hasil : 2. Catat adanya tanda
1. Tanda vital dalam dan gejala penurunan
rentang normal cardiac output
2. Tidak ada edema paru, 3. Monitor status
perifer, dan tidak ada pernafasan yang
asites menandakan gagal
3. Tidak ada penurunan jantung
kesadaran 4. Monitor adanya
dyspneu, fatigue,
takipneu dan ortpneu

Vital sign monitoring:


1. Monitor TD, nadi, RR
dan suhu
2. Catat adanya fluktasi
tekanan darah
3. Monitor jumlah dan
irama jantung
4. Auskultasi suara paru

DAFTAR PUSTAKA

Heart Failure Society of America. (2010). Evaluation and management of patients


with acute decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart
failure practice guideline. J Card Fail, 16, 134-156
Hanafiah. (2006). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Joseph, et al. (2009). Acute dekompensated heart failure : contemporary medical
management. Tex Heart Inst L, 36, 510-520
Laksono, P. (2018). Gagal janttung akut: defenisi, patofisiologi, gejala klinis
Ponikowski, et al. (2016). European society of cardiology (ESC) guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
Price, A.S., & Wilson. (2005). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
edisi 6. Jakarta : EGC
Purwowiyoto, S.L. (2018). Gagal jantung akut: definisi, patofisiologi, gejala klinis,
dan tatalaksana. Jurnal CDK, 45(4), 310-312
Putra, S. (2012). Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF. Jakarta : EGC
Sumantra, I.G. (2014). Tantangan diagnostic dan pengelolaan gagal jantung akut dari
subset hemodinamik untuk pengobatan yang tepat. Jurnal Ilmiah Kedokteran,
3(2), 14-25

Anda mungkin juga menyukai