Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE


DI RUANG ICCU RSUDZA KOTA BANDA ACEH

Oleh:

Sri Wahyuni, S.Kep


2112501010048

Pembimbing:
Ns. Halimuddin, M.Kep., Sp.KMB

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR (K3S)


STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2022
KONSEP ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)

A. Definisi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) atau yang disebut juga gagal jantung
dekompensasi adalah suatu kondisi perburukan dengan latar belakang gagal jantung
kronik, yang dapat terjadi secara akut, subakut maupun indolen dengan gejala yang
memburuk secara bertahap dalam beberapa hari atau minggu, fraksi ejeksi bisa normal atau
menurun, namum curah jantung umumnya normal atau tekanan darah dalam batas normal.
(Yuniadi, 2017).
Pasien gagal jantung mengeluhkan berbagai jenis gejala, salah satunya yang
tersering adalah sesak nafas (dyspnea) yang semakin berat dan biasanya tidak hanya
dikaitkan dengan peningkatan tekanan pengisian jantung, tetapi juga mempresentasikan
keterbatasan curah jantung (Yuniadi, 2017). Pasien tidur dengan kepala yang dielevasi
untuk mengurangi dyspnea yang muncul secara spesifik dalam keadaan terlentang, terlebih
lagi dyspnea yang muncul dalam keadaan telentang pada sisi kiri (trepopnea), paroxysmal
nocturnal dyspnea adalah salah satu indicator yang paling dapat dipercaya dari gagal
jantung (Yuniadi, 2017).

B. Etiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan: (Wijaya & Putri, 2013) yaitu:
1. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Kegagalan miokard berkontraksi mengakibatkan isi sekuncup dan curah jantung
(cardiac output) terjadi menurun.
2. Beban tekanan berlebihan pembebanan sistolik (systolic overload)
Beban berlebihan pada kemampuan ventrikel menyebabkan pengosongan ventrikel
terhambat
3. Beban volum berlebihan pembebanan diastolic (diastolic overload)
4. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload) akan
menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel meninggi.
5. Gangguan pengisian (hambatan input)
Hambatan dalam pengisian ventrikel dikarenakan gangguan pada aliran masuk
ventrikel akan menyebabkan pengeluaran ventrikel yang berkurang sehingga curah
jantung terjadi penurunan.
6. Hipertensi Sistemik/Pulmonal
Peningkatan beban kerja jantung mengakibatkan pengecilan serabut otot jantung.
Efeknya (hipertrofi miokard) sebagai mekanisme kompensasi karena meningkatkan
kontraktilitas jantung.
7. Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade perikardium,
perikarditis konstruktif, stenosis katup AV.
Faktor-faktor penyebab dekompensasi akut pada pasien gagal jantung kronik
(Yuniadi, 2017) adalah:
1. Diet yang tidak teratur
2. Putus obat atau reduksi dosis yang tidak tepat untuk terapi gagal jantung
3. Iskemia miokard/infark
4. Aritmia (takikardia atau bradikardia)
5. Infeksi
6. Inisiasi terapi yang akan memperburuk gejala-gejala dari gagal jantung
7. Konsumsi alcohol
8. Kehamilan
9. Hipertensi yang semakin parah
10. Insufisiensi valvular
C. Patofisiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraksi jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Konsep curah jantung yaitu CO = HR X SV. Curah jantung atau cardiac output
adalah fungsi frekuensi jantung atau heart rate X volume sekuncup atau stroke volume
(Smeltzer, 2013).
Menurut Muttaqin (2010) bila cadangan jantung untuk berespons terhadap stres
tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, maka jantung gagal untuk
melakukan tugasnya sebagai pompa, akibatnya terjadilah gagal jantung.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis koroner, hipertensi
arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik/pulmonal (peningkatan
afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai
mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot
jantung menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya terjadi
gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara
terpisah. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah
ventrikel berpasangan/ sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan.
Gagal jantung dapat dimulai dari sisi kiri atau kanan jantung. Sebagai contoh,
hipertensi sitemik yang kronis akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan
melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan
mengalami hipertofi dan melemah. Letak suatu infark miokardium akan menentukan sisi
jantung yang pertama kali terkena setelah terjadi serangan jantung.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium, lalu ke
sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah bahwa gagal jantung kiri
akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan. Pada kenyataanya, penyebab utama
gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri. Karena tidak dipompa secara optimum
keluar dari sisi kanan jantung, maka darah mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil
akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya
tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung.
Menurut Muttaqin (2010) keluhan utama pada klien dengan gangguan system
kardiovaskular secara umum antara lain sesak nafas,nafas pendek, batuk, nyeri dada,
pingsan, berdebar-debar, cepat lelah, odema ekstremitas, dan sebagainya. Dispnea kardiak
terjadi secara khas pada pengerahan tenaga dan disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir
diastolic dari ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi
karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada waktu melakukan
kegiatan fisik.

D. Manifestasi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


Gejala dan tanda umum gagal jantung dekompensasi (Yuniadi, 2017):
 Dispnea (saat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, atau saat
istirahat) yang ditandai adanya ronci dan efusi paru.
 Takipnea
 Batuk
 Berkurangnya kapasitas aktivitas fisik
 Nokturia
 Peningkatan /penurunan berat badan
 Odema (ektremitas, skrotum atau daerah lainnya)
 Penurunan nafsu makan atau rasa kenyang yang cepat
 Nafas Cheyne- stokes
 Gangguan pada abdomen (kembung, begah atau sulit makan) yang ditandai dengan
asites/lingkar perut bertambah, kuadran kanan atas nyeri/tidak nyaman,
hepatomegaly/splenomegaly, sklera icterus, berat badan bertambah, tekanan vena
jugularis meningkat, bunyi jantung S3 meningkat
 Lelah yang ditandai dengan extremitas dingin
 Perubahan status mental, mengantuk disiang hari, kebingungan, sulit
berkonsentrasi yang ditandai dengan pucat, kulit agak kelabu, perubahan warna
kulit, hipotensi
 Pusing, hampir pingsan, pingsan
 Depresi
 Gangguan tidur
 Palpitasi

E. Pemeriksaan Penunjang Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus gagal
jantung kongestif di antaranya sebagai berikut:
1. Elektrokardiogram: Hiperatropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia,
disaritmia, takikardia, fibrilasi atrial.
2. Uji stres: Merupakan pemeriksaan non-invasif yang bertujuan untuk menentukan
kemungkinan iskemia atau infeksi yang terjadi sebelummnya.
3. Ekokardiografi
a. Ekokardiografi model M (berguna untuk mengevaluasi volume balik dan kelainan
regional, model M paling sering dipakai dan ditanyakan bersama EKG).
b. Ekokardiografi dua dimensi (CT scan) 13.
c. Ekokardiografi dopoler (memberikan pencitraan dan pendekatan transesofageal
terhadap jantung).
d. Katerisasi jantung: Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan dan kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Radiografi dada: Dapat menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah
abnormal.
f. Elektrolit yang terkait (Natrium,Kalium): Mungkin berubah karena perpindahan
cairan/penurunan fungsi ginjal terapi diuretic.
g. Oksimetri: Saturasi oksigen (SaO2) mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif akut menjadi kronis.
h. Analisa gas darah: Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratory ringan
(dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
i. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin: Peningkatan BUN menunjukkan
penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi.
j. Pemeriksaan tiroid: Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid
sebagai pencetus gagal jantung.

F. Penatalaksanaan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)


Penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung harus dilakukan agar tidak terjadi
perburukan kondisi. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan kerja otot jantung,
meningkatkan kemampuan pompa ventrikel, memberikan perfusi adekuat pada organ
penting, mencegah bertambah parahnya gagal jantung dan merubah gaya hidup (Black &
Hawks, 2014).
Penatalaksanaan dasar pada pasien gagal jantung meliputi dukungan istirahat untuk
mengurangi beban kerja jantung, pemberian terapi farmakologis untuk meningkatkan
kekuatan dan efisien kontraksi jantung, dan pemberian terapi diuretik untuk
menghilangkan penimbunan cairan tubuh yang berlebihan (Smeltzer, 2013).
1. Menurunkan Kerja Otot Jantung
Penurunan kerja otot jantung dilakukan dengan pemberian diuretik, vasodilator
dan beta-adrenergic antagonis (beta bloker). Diuretik merupakan pilihan pertama
untuk menurunkan kerja otot jantung. Terapi ini diberikan untuk memacu ekskresi
natrium dan air melalui ginjal (Smeltzer, 2013). Diuretik yang biasanya dipakai adalah
loop diuretic, seperti furosemid, yang akan menghambat reabsorbsi natrium di
ascending loop henle. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan volume sirkulasi,
menurunkan preload, dan meminimalkan kongesti sistemik dan paru (Black & Hawks,
2014). Efek samping pemberian diuretik jangka panjang dapat menyebabkan
hiponatremi dan pemberian dalam dosis besar dan berulang dapat mengakibatkan
hipokalemia (Smeltzer, 2013). Hipokalemia menjadi efek samping berbahaya karena
dapat memicu terjadinya aritmia (Black & Hawks, 2014). Pemberian vasodilator atau
obat-obat vasoaktif dapat menurunkan kerja miokardial dengan menurunkan preload
dan afterload sehingga meningkatkan cardiac output (Black & Hawks, 2014).
Sementara itu, beta bloker digunakan untuk menghambat efek system saraf simpatis
dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung (Black & Hawks, 2014). Pemberian terapi
diatas diharapkan dapat menurunkan kerja otot jantung sekaligus.
2. Elevasi Kepala
Pemberian posisi fowler/semi fowler bertujuan untuk mengurangi kongesti
pulmonal dan mengurangi sesak napas. Kaki pasien sebisa mungkin tetap diposisikan
dependen atau tidak dielevasi, meski kaki pasien edema, karena elevasi kaki dapat
meningkatkan venous return yang akan memperberat beban awal jantung (Black &
Hawks, 2014).
3. Mengurangi Retensi Cairan
Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan dengan mengontrol asupan natrium
dan pembatasan cairan. Pembatasan natrium digunakan digunakan dalam diet sehari-
hari untuk membantu mencegah, mengontrol, dan menghilangkan edema.
4. Meningkatkan Pompa Ventrikel Jantung
Penggunaan adrenergic agonist atau obat inotropik merupakan salah satu cara
yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan pompa ventrikel jantung. Obat-
obatan ini akan meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga meningkatkan volume
sekuncup. Salah satu inotropik yang sering digunakan adalah dobutamin. Dobutamin
memproduksi reseptor beta yang kuat dan mampu meningkatkan curah jantung tanpa
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung atau menurunkan aliran darah koroner.
5. Pemberian Oksigen dan Kontrol Gangguan Irama Jantung
Pemberian oksigen dengan nasal kanul bertujuan untuk mengurangi hipoksia,
sesak napas dan membantu pertukaran oksigen dan karbondioksida. Oksigenasi yang
baik dapat meminimalkan terjadinya gangguan irama jantung, salah satunya aritmia.
Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien gagal jantung adalah atrial fibrilasi (AF)
dengan respon ventrikel cepat. Pengontrolan AF dilakukan dengan dua cara, yakni
mengontrol rate dan rhythm (Black & Hawks, 2014).
6. Mencegah Miokardial Remodelling Angiotensin Converting Enzyme inhibitor atau
ACE inhibitor terbukti dapat memperlambat proses re-modeling pada gagal jantung.
ACE inhibitor menurunkan afterload dengan memblok produksi angiotensin, yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Selain itu, ACE inhibitor juga meningkatkan aliran
darah ke ginjal dan menurunkan tahanan vaskular ginjal sehingga meningkatkan
diuresis. Hal ini akan berdampak pada peningkatan cardiac output sehingga mencegah
remodeling jantung yang biasanya disebabkan oleh bendungan di jantung dan tahanan
vaskular. Efek lain yang ditimbulkan ACE inhibitor adalah menurunkan kebutuhan
oksigen dan meningkatkan oksigen otot jantung (Black & Hawks, 2014).
7. Merubah Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup menjadi kunci utama untuk mempertahankan fungsi
jantung yang dimiliki dan mencegah kekambuhan. Ketaatan pasien berobat,
pemantauan berat badan mandiri, asupan cairan, pengurangan berat badan, latihan
fisik, aktvitas seksual.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
2. Keluhan utama
- Sesak saat bekerja, dipsnea nokturnal paroksimal, ortopnea
- Lelah, pusing
- Nyeri dada
- Edema ektremitas bawah
- Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
- Urine menurun
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan pertanyaan
tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan gejala-gejala
kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya dispnea, ortopnea, batuk, dan edema
pulmonal akut.
4. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
5. Pengkajian data
- Aktifitas dan istirahat: adanya kelelahan, insomnia, letargi, kurang istirahat, sakit
dada, dipsnea pada saat istirahat atau saat beraktifitas.
- Sirkulasi: riwayat hipertensi, anemia, syok septik, asites, disaritmia, fibrilasi atrial,
kontraksi ventrikel prematur, peningkatan JVP, sianosis, pucat.
- Respirasi: dipsnea pada waktu aktifitas, takipnea, riwayat penyakit paru.
- Pola makan dan cairan: hilang nafsu makan, mual dan muntah.
- Eliminasi: penurunan volume urine, urin yang pekat, nokturia, diare atau konstipasi.
- Neuorologi: pusing, penurunan kesadaran, disorientasi.
- Interaksi sosial: aktifitas sosial berkurang.
- Rasa aman: perubahan status mental, gangguan pada kulit/dermatitis

6. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum: Kesadaran dan keadaan emosi, kenyamanan, distress, sikap dan
tingkah laku pasien.
- Tanda-tanda vital: Tekanan darah, nadi (bradikardi atau takikkardi), pernapasan
(respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat / aktivitas), suhu Badan
metabolisme menurun, suhu menurun
7. Head to toe examination:
- Kepala: bentuk, kesimetrisan
- Mata: konjungtiva: anemis, ikterik atau tidak
- Mulut: apakah ada tanda infeksi
- Telinga: kotor atau tidak, ada serumen atau tidak, kesimetrisan
- Muka; ekspresi, pucat
- Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
- Dada: gerakan dada, deformitas
- Abdomen: terdapat asites, hati teraba dibawah arkus kosta kanan
- Ekstremitas: lengan-tangan:reflex, warna dan tekstur kulit, edema, clubbing,
bandingakan arteri radialis kiri dan kanan
- Pemeriksaan khusus jantung:
a. Inspeksi: vena leher dengan JVP meningkat, letak ictus cordis (normal: ICS ke-
5)
b. Palpasi: PMI bergeser kekiri, inferior karena dilatasi atau hepertrofi ventrikel
c. Perkusi: batas jantung normal pada orang dewasa
- Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra
- Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
- Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
- Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra.
d. Auskulatsi: bunyi jantung I dan II
- BJ I: terjadi karena getaran menutupnya katup atrioventrikular, yang terjadi
pada saat kontraksi isimetris dari bilik pada permulaan systole.
- BJ II: terjadi akibat getaran menutupnya katup aorta dan arteri pulmonalis
pada dinding toraks. Ini terjadi kira-kira pada permulaan diastole. (BJ II
normal selalu lebih lemah dari pada BJ I)
8. Pemeriksaan penunjang
- Foto thorax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi
pleura yang menegaskan diagnosa CHF 30
- EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemi
(jika disebabkan AMI), ekokardiogram.
- Pemeriksaan laboratorium: Hiponatremia, hiperkalemia pada tahap lanjut dari gagal
jantung, Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin meningkat, peninkatan bilirubin
dan enzim hati.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantung, frekuensi, dan kontraktilitas
2. Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya napas
3. Hipervolemia b/d gangguan mekanisme regulasi dan aliran balik

C. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi
Hasil
1. Penurunan curah Setelah dilakukan Perawatan Jantung
jantung b/d intervensi keperawatan Observasi
perubahan irama selama 3x 24 jam curah - Identifikasi tanda gejala primer
jantung, penurunan curah jantung
frekuensi, dan jantung meningkat, - Identifikasi tanda gejala sekunder
kontraktilitas dengan kriteria hasil: penurunan curah jantung
1. Palpitasi menurun - Monitor tekanan darah
2. Takikardi menurun - Monitor intake dan output cairan
3. Gangguan EKG - Monitor saturasi oksigen
aritmia menurun - Monitor keluhan nyeri dada
4. Tanda tanda vital - Monitor EKG
membaik - Monitor aritmia (kelainan irama dan
5. Tanda gejala CHF frekuensi)
menurun - Monitor nilai laboratorium jantung
- Monitor fungsi alat pacu jantung

Terapeutik
- Posisikan pasien semi fowler/ fowler
- Berikan diet jantung yang sesuai
(batasi asupan kafein, natrium,
kolestrol)
- Fasilitasi pasien dan kluarga untuk
modifikasi gaya hidup sehat
- Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress
- Berikan oksigen unutk
mempertahankan saturasi O2 >94%
Edukasi
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
- Anjurkan aktivitas fisik bertahap
- Anjurkan untuk mengukur BB
harian
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia,
jika perlu
2. Pola napas tidak Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
efektif b/d asuhan keperawatan Observasi
hambatan upaya selama 3x 24 jam pola 1. Monitor frekuensi, irama,
nafas napas membaik dengan kedalaman dan upaya napas
(kelemahan otot kriteria hasil: 2. Monitor adanya sumbatan jalan
pernafasan) 1. Dispneu menurun napas
3. Monitor saturasi oksigen
4. Auskultasi bunyi napas
2. Penggunaan otot Terapeutik
bantu napas 1. Berikan oksigen jika perlu
menurun 2. Berikan posisi semi-fowler atau
3. Frekuensi napas fowler
membaik Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator
bila perlu
3. Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen hypervolemia
b/d gangguan intervensi keperawatan Observasi
mekanisme diharapkan 1. Periksa tanda gejala hypervolemia
regulasi dan keseimbangan cairan (mis. Ortopnea, dipsnea, edema,
aliran balik meningkat dengan jvp/cvp meningkat)
kriteria hasil: 2. Identifikasi penyebab hypervolemia
1. Haluaran urine 3. Monitor status hemodinamik (mis.
meningkat Frekuensi jantung, tekanan darah,
2. Edema menurun MAP, CVP, PAP, POMP, CO, CI)
3. Tekanan darah 4. Monitor intake dan output cairan
membaik 5. Monitor kadar hemokonsentrasi
4. Denyut nadi radial (mis, kadar natrium, bun, ht)
membaik 6. Monitor efeksamping diuretic
5. Tekanan arteri rata- Terapeutik
rata membaik 1. Timbang bb setiap hari pada waktu
6. Berat badan 2. Batasi asupan cairan dan
membaik garam’tinggikan kepala tempat tidur
30-40C
Edukasi
3. Anjurkan melapor jika haluaran urin
<0,5 ml/kg/jam dalam 6 jam
4. Anjurkan melapor jika bb bertambah
>1kg dalam sehari
5. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran cairan
6. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat diuretik
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil
Yang Diharapkan. Dialih Bahasakan Oleh Nampira R. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Ongkowijaya, J. & Wantani. F. (2016). Hubungan Hiperurisemia Dengan Kardiomegali Pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif. Jurnal E-Clinic Universitas Sam Ratulangi. 4(1), 1-
7.
Muttaqin, A. (2010). Buku Saku Gangguan Musculoskeletal Aplikasi Pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Yuniadi, Y. (2017). Waspada Febrilasi Atrium. In: Rilantono LL. Penyakit Kardiovaskuler
(PKV). Jakarta: Badan Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi & Indikator Diagnostik,
ED 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi & Kriteria Hasil
Keperawatan, ED 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi & Tindakan Keperawatan,
ED 1. Jakarta: DPP PPNI.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (ed. 8). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai