Anda di halaman 1dari 27

10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Akut

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut

Menurut European Society of Cardiology (ESC), gagal jantung ialah suatu istilah yang

dipergunakan dalam mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan cepat

dan perburukan dari gejala serta tanda dari gagal jantung (Ponikowski et al., 2016b). Gagal

jantung adalah suatu kondisi berbahaya dan dapat mengancam jiwa, untuk itu diperlukan

penanganan segera, termasuk perawatan rawat inap (Jessup et al., 2009). Mayoritas kasus gagal

jantung akut adalah akibat dari suatu perburukan kondisi pasien yang sebelumnya telah

terdiagnosis gagal jantung, termasuk gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah atau Heart

Failure with Reduced Ejection Fraction (HFREF) serta gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang

baik atau Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF) (Ponikowski et al., 2016b,

Jessup et al., 2009).

Terdapat enam kategori klinis yang dapat muncul sebagai presentasi klinis pasien

dengan gagal jantung yang dapat memberikan gambaran kondisi dan klasifikasi gagal jantung.

Kategori tersebut antara lain (Ponikowski et al., 2016b, Nunez et al., 2015):

• Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: terdapat kondisi

perburukan pada pasien yang sebelumnya telah mempunyai riwayat gagal jantung

kronis dalam pengobatan, serta terdapat bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner.

Tekanan darah rendah saat masuk biasanya berhubungan dengan prognosis yang

jelek. 

11

• Edema paru akut: munculnya distress pernafasan, takipneu dan ortopneu, ronki

basah halus seluruh lapang paru pada pasien disertai dengan saturasi oksigen

arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi oksigen. 


• Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai

peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang

masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi.

Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan

datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai kongesti sistemik. Respons

terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat kematian dirumah sakit biasanya

rendah.

• Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya


hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya

koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik

ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan

cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria

(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti hipoperfusi

organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat. 


• Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah jantung

(low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan

vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri

yang rendah. 


• Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan

gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari

sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut memiliki
12

tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut tersebut

biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, fibrilasi atrium

atau takikardi ventrikel). 


2.1.2 Pathogenesis Gagal Jantung Akut

Penyakit gagal jantung dikarakteristikan dengan gejala (seperti sesak nafas, bengkak

pada ankle, dan kelelahan) dan tanda klinis (seperti peningkatan tekanan vena jugular, edema

paru, dan edema tungkai perifer) yang dapat disebabkan Karena gangguan structural atau

fungsional kardiak yang menjadi peningkatan tekanan intrakardiak atau penurunan curah

jantung pada saat istirahat maupun saat aktivitas atau stress. Terdapat beberapa mekanisme

patofisiologi gagal jantung akut diantaranya:

• Ventrikel kiri yang mengalami peningkatan tekanan saat fase diastolik mengakibatkan

kongesti pulmonal dan sistemik yang berujung pada curah jantung yang menurun atau

tanpa mengalami penuruan curah jantung. Presentasi tersebut ialah presentasi utama

dari penyakit gagal jantung akut (Ponikowski et al., 2016b). Peningkatan tekanan baji

kapiler paru atau Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP) akan mengakibatkan

kongesti pada paru, dikarenakan terdapat edema intersitial serta alveolar paru. Hal

tersebut akan berpengaruh secara sistemik, ditandai dengan adanya distensi vena

jugularis dengan atau tanpa edema perifer, kemudian untuk jangka panjang biasanya

terdapat peningkatan berat badan secara gradual. Kongesti paru akut dipresipitasi oleh

peningkatan tekanan darah, terutama pada pasien yang telah mengalami disfungsi

diastolik. Lebih lanjut, tekanan diastolik yang mengalami peningkatan akan

memberikan kontribusi kepada tingkat progesifitas dari gagal jantung dengan

mengaktivasi neurohormoal, iskemik subendokardiak, dan perubahan bentuk serta

ukuran dari ventrikel kiri yang disebutkan dengan terminology cardiac remodeling,
13

seluruh hal tersebut akan berujung pada katup mitral yang mengalami insufisiensi

(Gheorghiade et al., 2006). Selain hal tersebut, gagal jantung dapat menyebabkan

peningkatan tekanan vena sistemik yang akan memberikan kontribusi terjadinya

sindrom kardio renal (SKR) (Sheerin et al., 2014, Jessup et al., 2009).

Tanda klinis yang dapat digunakan adanya kongesti pada pasien gagal jantung ialah

berat badan. Terdapat banyak studi yang menyimpulkan adanya hubungan kompleks

antara berat badan pasien gagal jantung dengan kongesti dan outcome penyakit gagal

jantung (McCullough and Jefferies, 2015).

• Cedera pada jantung dalam hal ini miokard dapat muncul sebagai akibat dari berbagai

penyakit pada sistem kardiovaskular. Kehilangan sel-sel miosit dan peningkatan strain

pada miokardiak dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi tipe eksentrik pada miosit

jantung yang tersisa, kedua hal tersebut akan mengalami proses neurohumoral aktivasi,

terjadinya fibrosis, secara progresis menuju dilatasi ventrikel kiri, perubahan bentuk

ventrikel kiri dari bentuk eliptikal menjadi sperikal, dan seringkali mengalami

regurgitasi katup mitral. Perubahan tersebut akan meningkatkan konsumsi oksigen

pada miokardiak dan penurunan efisiensi kontraksi pada miokardiak (Braunwald, Shah

and Mann, 2011)

• Aktivasi neurohormonal akan menyebabkan gangguan pada ginjal dikarenakan

terjadinya retensi sodium renal, overload cairan, dan edema. Disfungsi renal

concomitan akan mengakibatkan penurunan respon terhadap diuretik dan akan

menyebakan outcome yang lebih buruk pada pasien dengan gagal jantung (Damman et

al., 2013, Damman and Testani, 2015). Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi,

diabetes dan arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan, dan

perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan gagal

jantung akut. Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan fungsi
14

ginjal segera setelah pasien dipulangkan (Leelahavanichkul et al., 2016).

• Penyakit katup jantung adalah salah satu penyebab terjadinya gagal jantung akut. Gagal

jantung dengan kondisi ini dapat terjadi karena akibat langsung dari pemuatan cairan

berlebihan hingga memaksa jantung melebihi kapasitas fungsional yang normal, atau

terjadinya disfungsi miokardiak yang berkembang sebagai konsekuensi dari pemuatan

cairan dalam waktu jangka panjang (Bean, 1963). Insufisiensi katup akut dari katup

aorta atau katup mitral, akan menyebabkan volume ventrikel kiri meningkat mendadak

yang kemudian harus mengalami pengolahan dalam setiap siklus jantung. Hubungan

tekanan / volume ventrikel kiri ditentukan dengan peningkatan tekanan yang akan

terjadi dalam situasi tersebut. Akibatnya pada struktur miokardium dan pericardium di

sekitarnya akan relatif mengalami penurunan komplians. Jadi, pada tahap awal baik

aorta insufisiensi atau regurgitasi mitral, ventrikel kiri memiliki kapasitas terbatas

untuk mengakomodasi peningkatan tekanan diastolik volume pada kondisi pengisian

normal atau tekanan yang normal. Pada regurgitasi mitral, masalahnya ditekankan oleh

fakta bahwa selama fase sistolik, ventrikel kiri dapat mengeluarkan darah ke aorta atau

atrium kiri. Hambatan pada aliran di atrium jauh lebih rendah daripada sirkulasi

sistemik, sehingga bila lesi katup parah, regurgitasi akan langsung mengalirkan darah

dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistolik yang kemudian akan menyebabkan

peningkatan tekanan yang dramatis. Mekanisme kompensasi yang terjadi sebagai

konsekuensi dari insufisiensi katup hanya terbatas. Peningkatan volume ventrikel kiri

akan meningkatkan volume sekuncup. Namun, peregangan sarkomer akan mendekati

maksimal pada kondisi yang normal, efek ini tidak dapat dikompensasi sepenuhnya

dikarenakan reduksi pada volume sekuncup yang disebabkan oleh lesi regurgitant pada

bagian kiri jantung. Reduksi volume sekuncup akan menyebabkan penurunan Cardiac

Output dan tanda serta gejala kongestif (gagal jantung) akan muncul (Christian, 1922).
15

Gambar 1. Skema dari abnormalitas miokardiak pada gagal jantung ejeksi fraksi normal

• Perkembangan stenosis katup pada umumnya mengalami proses yang memerlukan

jangka waktu yang lama dan lambat. Pada kasus mitral stenosis, yang pada umumnya

disebabkan oleh penyakit jantung rematik atau stenosis aorta kongenital (AS) biasanya

memerlukan waktu yang cukup lama hingga menimbulkan gejala. Hal ini disebakan

karena katup bikuspid dapat berkembang selama beberapa dekade sebelum manifestasi

klinis menjadi jelas. Pada penyakit stenosis aorta peningkatan beban pada ventrikel kiri

akan mengalami peningkatan secara progresif. Peningkatan bertahap tersebut

dikarenakan beban tekanan pada LV, mengalami rangsangan yang kuat yang pada

akhirnya berujung pada hipertrofi ventrikel (Thomas et al., 1990). Berbeda dengan

situasi overload volume dimana eksentrik Hipertrofi dominan, kelebihan tekanan


16

menyebabkan replikasi paralel sarcomeres dan perkembangannya hipertrofi konsentris.

Ventrikel kiri secara keseluruhan mengalami peningkatan jumlah massa otot dan rasio

massa/volume secara nyata. Hipertrofi ventrikel kiri yang muncul karena keadaan

kelebihan muatan kronis, memberikan massa otot tambahan untuk mendorong aliran

darah melalui lubang katup stenotic dan berfungsi penting membantu menormalkan

stress pada dinding ventrikel. Hal ini bisa dicontohkan dalam situasi kronis dimana

ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan sistolik dari 300 mmHg atau lebih dalam

beberapa keadaan. Menurut hubungan Laplace dimana ketegangan dinding

berhubungan langsung dengan tekanan ruang, meningkatnya pada tekanan tersebut

juga akan menyebabkan kenaikan tekanan stress yang sangat besar pada dinding.

Namun, Karena ketegangan dinding bervariasi dan berbanding terbalik dengan

ketebalan dinding, perkembangan hipertrofi LV adalah sarana normalisasi tekanan

dinding dalam menghadapi beban tekanan dalam ruang jantung (Hosenpud and

Greenberg, 2007).

• Pada gagal jantung dengan ejeksi fraksi normal terdapat mekanisme yang menjadi dasar

terjadinya penyakit tersebut. Salah satu mekanisme kimiawi yang mendasari HFPEF

seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Pada gambar tersebut, sisi kiri menunjukkan

komponen jalur β-adrenergik (β-AR) dari reseptor ke adenil siklase (AC) dan

pembangkitan cAMP kemudian aktivasi protein kinase A (PKA). Dimana aktivasi

tersebut terlibat dalam modifikasi saluran kalsium tipe-L (LTCC), fosfolamban (PLN),

titin, dan protein filamen tipis pengatur lainnya (misalnya troponin I, TnI),

mempengaruhi kekakuan myofilamen dan aktivasi kontraktil. Bukti tersebut

menunjukkan kekurangan jalur pensinyalan ini di HFpEF, dengan peningkatan

kekakuan titin dan responsase β-AR yang tertekan. Pada bagian tengah gambar

menunjukkan perubahan faktor pertumbuhan β (TGFβ) - dan sinyal Gq-protein-


17

coupled receptor (GqPR) yang melibatkan faktor transkripsi (Smad), phospholipase C

(PLC), dan mitogen-activated kinases (MAPk), yang terlibat dalam aktivasi profibrotik

dan hipertrofik. cascades Di sebelah kanan adalah jalur nitrat oksida sintase (NOS)

yang menghasilkan aktivasi nitrat oksida (NO) dari guanylate cyclase terlarut (sGC),

generasi guanosin siklo monofosfat (cGMP), dan aktivasi protein kinase G (PKG). Di

tengahnya adalah spesies oksigen reaktif (ROS) yang diaktifkan oleh sinyal TGFβ-, β-

AR-, dan GqPR-coupled, yang menghambat generasi NOS-cGMP dan dengan

demikian aktivitas PKG, menstimulasi kalsium-calmodulin activated activase kinase II

(CamKII), yang kemudian menghasilkan pelepasan kalsium retak sarkoplasma (SR)

melalui reseptor ryanodin (RyR2) lebih bersifat promiscuous. ROS dan CamKII juga

berdampak titin untuk mempengaruhi kekakuan. Terakhir, kanan atas menggambarkan

peran modulasi matriks oleh sitokin / radang dan interaksi dua arah dari faktor-faktor

ini dengan miokard (Sharma and Kass, 2014).

• Terapi statin pada pasien dengan gagal jantung dapat memberikan efek protektif.

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa statin

mengurangi peradangan dengan merangsang sintesis 15-epi-lipoxin A4 (15-epi-

LXA4), yang memiliki pro-resolutory, anti-inflamasi, antioksidan, sifat vasodilatasi

dan antiproliferatif (Spite and Serhan, 2010, József et al., 2002, Carlo et al., 2013).

Sintesis 15-epi-LXA4 dari asam arakidonat melibatkan aksi sekuensial siklooksigenase

2 (COX-2) dan 5-lipoxygenase (5-LOX). Statin menginduksi ekspresi dan S-nitrosilasi

COX-2, menghasilkan sintesis 15 Rhydroxyeicosatetraenoic asam, yang kemudian

dikonversi via 5-LOX sampai 15-epi-LXA4 (Gambar 6). Pengobatan dengan statin

dalam hal ini atorvastatin secara signifikan meningkatkan sintesis 15-epi-LXA4 di tikus

miokardium melalui S-nitrosilasi COX-2 (Birnbaum et al., 2006). Pada hewan model

peradangan jalan nafas, pengobatan dengan lovastatin juga menginduksi pembentukan


18

15-epi-LXA4 dan nyata mengurangi peradangan paru akut. Selanjutnya, in-vitro

lovastatin meningkatkan produksi 15-epi-LXA4 selama interaksi antara sel

polimorfonuklear dan jalan nafas manusia sel epitel prima dengan sitokin (Planagumà

et al., 2010).

Gambar 2. Statins dan sintesis 15-epi-lipoxins: memberikan efek protektif.

• Terapi loop diuretik merupakan terapi utama pada penyakit gagal jantung yang

bertujuan untuk mengurangi kongestif pada pasien gagal jantung. Efek tidak langsung

obat. Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan gejala

kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan tersebut behubungan dengan

abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan perburukan

fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena dengan dosis besar berhubungan

dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan gagal jantung. Namun, hal ini

mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal jantung itu sendiri, dibandingkan
19

dianggap sebagai penyebab peningkatan mortalitas. Dobutamin, milrinon dan

levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik, namun efek ini berhubungan

dengan peningkatan tingkat konsumsi oksigen miokard (takikardia dan peningkatan

kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan

perfusi koroner yang berhubungan dengan hipotensi akan mengakibatkan cedera

miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang sering

memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia. Hipotensi yang

berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan

hipoperfusi miokardium dan ginjal sehingga menyebabkan cedera (Nunez et al., 2015).

2.1.3 Diagnosis Gagal Jantung Akut

2.1.3.1. Tanda dan gejala


Retensi cairan dan natrium menjadi mekanisme yang paling utama dalam galga jantung

sehingga pemberian terapi diuretik dapat memberikan keuntungan langsung pada pasien

dengan gagal jantung. Telaah riwayat medis pasien merupakan bagian penting dalam

penegakan diagnosis pasien, dikarenakan penyakit gagal jantung tidak akan terjadi tanpa

adanya riwayat medis yang relevan dengan gagal jantung (Ronco et al., 2012, Shrestha et al.,

2012).

Mengenali tanda dan gejala gagal jantung secara cepat dapat memberikan keuntungan

dalam penegakan diagnosis serta pemberian inisasi terapi pasien dengan gagal jantung.

Disetiap tanda dan gejala gagal jantung yang muncul pada pasien berkaitan dengan mekanisme

tertentu sehingga muncul pada pasien gagal jantung seperti yang ditampilkan pada tabel 2.1

(Ponikowski et al., 2016a). Dalam proses evaluasi perkembangan pasien dengan gagal jantung

gejala dan tanda merupakan hal penting yang diawasi sebagai respon terapi dan tanda

kestabilan pasien dengan gagal jantung. Tidak jarang pasien dengan gagal jantung mempunyai
20

gejala yang menetap sehingga diperlukan suatu terapi tambahan sesegera mungkin untuk

menghindari perburukan dari pasien, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis

yang lebih serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung serta mekanisme hingga

munculnya tanda dan gejala tersebut.

Tabel 2.1. Tanda dan gejala serta mekanisme yang mendasarinya (Ponikowski et al., 2016a)

Gejala Mekanisme

Kongesti paru dikarenakan peningkatan

Sesak napas tekanan atrial kiri, otot respiratorik, dan

abnormalitas kemoreseptor

Peningkatan aliran balik vena dan

Ortopneu kongesti paru saat tubuh dalam posisi

supinasi

Menyerupai mekanisme diatas namun

Paroksismal nocturnal dispneu disertai dengan depresi sistem

pernafasan pusat

Hipoperfusi pada otot skeletal dan


Kelelahan
abnormalitas metabolik

Terdapat takiaritmia dan penurunan


Palpitasi
tolerasi latihan

Edema tungkai Retensi cairan

Retensi cairan, peningkatan tekanan


Rasa cepat kenyang dan perut kembung
atrial

Retensi cairan dengan hipoperfusi


Anoreksia, depresi, dan merasa bingung
serebral

kahexia Kongesti intestinal, aktivasi jalur


21

inflamasi beserta seluruh sitokin yang

terlibat

Tanda

Terdapat peningkatan tekanan atrial


Peningkatan tekanan jugular vena
kanan

Denyut apex yang melebar Dilatesi dari ventrikel kiri

Holosistolik murmur Mitral atau triskupid regurgitasi

Suara jantung ketiga (irama gallop) Peningkatan tekanan atrial kiri

Suara rhonki pulmonal bilateral Peningkatan tekanan atrial kiri

(diperiksa dalam posisi duduk) sehingga menyebabkan kongesti paru

Efusi pleura bilateral (diperiksa dalam Retensi cairan, peningkatan tekanan

posisi duduk) atrial

hepatomegali Peningkatan tekanan atrial kanan

Refluks hepatojugular Peningkatan tekanan atrial kanan

Retensi cairan, peningkatan tekanan


Ascites
atrial kanan

Edema perifer Retensi cairan

2.1.3.2. Diagnostik

Penegakan diagnosis gagal jantung selain mengetahui tanda dan gejala klinis,

pemeriksaan penunjang memegang peranan penting dalam diagnostik dan evaluasi perawatan

serta paska perawatan. Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan ialah pemeriksaan

dengan menggunakan elektrokardiografi (EKG) dan Ekokardiografi. Pemeriksaan penunjang

EKG menjadi pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien dengan yang dicurigai

mempunyai masalah pada kardiak. EKG dapat membantu memberikan informasi irama jantung

dan konduksi elektrik, seperti pada pasien dengan gangguan pada sinoatrial, terdapat blok pada
22

atrioventricular, atau masalah pada bagian interventrikular dapat terdeteksi melalui

pemeriksaan ini. Selain itu, pemeriksaan dengan menggunakan EKG dapat menggambarkan

adanya hipertrofi ventrikel kiri atau kondisi miokardiak yang tidak viable (digambarkan

dengan hilangnya gelombang Q pada EKG). Informasi yang diberikan oleh EKG dapat

dipergunakan untuk menentukan tatalaksana pada pasien gagal jantung, sehingga dapat

memperoleh hasil luaran yang baik pada pasien. Pemeriksaan penunjang ekokardiografi

menyajikan informasi yang segera mengenai volume ruang jantung, fungsi sistolik dan

diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup (Palazzuoli et al., 2012). Informasi ini

penting dalam menentukan terapi yang pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin

converting enzyme (ACE) dan penyekat beta untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk

stenosis aorta). (Jessup et al., 2009).

Keseluruhan informasi yang dikumpulkan melalui pemeriksaan gejala, tanda klinis,

EKG dan ekokardiografi dapat memberikan diagnosis serta penatalaksanaan yang baik pada

pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan lain yang dapat membantu berikutnya ialah

pemeriksaan hematologi dan biokimiawi. Pemeriksaan biokimiawi saat ini banyak

dipergunakan untuk mampu memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh

pemeriksaan klinis, EKG, atau pemeriksaan dengan ekokardiografi. Pemeriksaan biokimiawi

saat ini telah mampu memberikan informasi prognostik yang baik, sehingga mampu

memprediksi nilai luaran pada pasien gagal jantung. Namun pemeriksaan biokimiawi di negara

berkembang seperti Indonesia, keberadaannya masih terkendala oleh masalah akses terhadap

agen biokimiawi tersebut atau masalah biaya yang relatif mahal untuk sekali pemeriksaan.

Pemeriksaan hematologi rutin seperti pemeriksaan darah lengkap, di satu sisi mampu

memberikan gambaran ada atau tidaknya anemia pada pasien, karena keadaan tersebut dapat

memperburuk kondisi pada pasien gagal jantung (Jessup et al., 2009). Pemeriksaan darah
23

lengkap saat ini juga mampu memberi nilai prognostik yang baik, banyak studi yang telah

dikembangkan untuk menilai komponen pada pemeriksaan darah lengkap tersebut yang

mampu memberikan nilai prognostik yang baik.

2.1.3.3. Foto Thoraks

Didalam penegakan diagnosis gagal jantung modalitas pencitraan dengan foto thoraks

memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis pada pasien dengan gagal jantung.

Pemeriksaan ini memberikan keuntugan pada kasus gagal jantung yang telah melibatkan

kongesti pada vena pulmonalis atau edema paru. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik

ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada foto thoraks

(Ponikowski et al., 2016b).

2.1.4 Penanda Biokimiawi dalam Penyakit Jantung

2.1.4.1 Peran Neutrofil dalam Gagal Jantung

Neutrofil mempunyai peran penting di dalam proses inflamasi, hubungan neutrofil telah

banyak dijabarkan hubungannya dengan penyakit jantung terutama pada sindroma koroner

akut. Telah banyak studi dilakukan membuktikan hubungan tersebut, penelitian pada hewan

coba dan manusia didapatkan bahwa disfungsi dari sel-sel endotel pada bagian permukaan

pembuluh darah arteri. Paparan stimulus iritatif akan menyebabkan disfugsi endotel, yang

termasuk dalam stimulus iritatif antara lain hiperlidemia, shear sress, dan pelepasan dari

sitokin-sitokin inflamasi. Adhesi pada leukosit akan mudah terjadi dikarenakan adanya

ekspresi dari molekul-molekul adhesi pada endotel (E-selectin, P-selectin, intracellular

adhesion molecule-1) yang mampu menangkap dan mengikat leukosit. Permeabilitas endotel

kemudian akan berubah secara simultan, serta komposisi matriks ekstraseluler bagian bawah

endotel menyebabkan deposisi Low Density Lipoprotein (LDL) pada pembuluh darah arteri
24

yang terlibat. Molekul LDL yang telah teroksidasi akan meningkatkan migrasi leukosit dan

monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag yang berujung pada pembentukan foam cell.

Studi-studi lain juga menunjukkan adanya peran neutrofil yang berkaitan dengan interaksi

dengan endotel pada lesi aterosklerosis, interaksi pada sel endothelial ini akan menyebabkan

aktivasi yang tidak wajar dan kemungkinan akan meningkatkan ekspresi mediator inflamasi

lain (Tousoulis et al., 2005, Colombo et al., 2005, Soehnlein, 2012).

Sementara studi lain menunjukkan adanya hubungan antara luas lesi aterosklerosis dengan

jumlah neutrofil yang beredar di dalam sirkulasi (Soehnlein, 2012). Peningkatan agregasi

neutrofil dan aktivitas oksidasi juga ditunjukkan pada pembuluh darah koroner jantung pasien

yang terbukti memilki penyakit jantung koroner secara pemeriksaan angiografi koroner dan

angina stabil. Sel-sel inflamasi tidak hanya memegang peranan penting pada inisiasi dan

progresi dari aterosklerosis, tetapi juga dalam destabilisasi plak, sehingga dapat mengubah

proses kronik aterosklerosis menjadi kejadian iskemik akut (Selcuk et al., 2012). Proses

inflamasi yang muncul tersebut akan menimbulkan cedera pada miokard jantung, sehingga

pasien pada akhirnya dapat mengalami gagal jantung.

2.14.2 Peran Limposit dalam Gagal Jantung

Studi-studi dalam beberapa tahun belakangan, telah mendemonstrasikan jumlah relatif

limposit yang dapat dipergunakan sebagai nilai prognostic pada pasien gagal jantung kronis

dan akut (Huehnergarth et al., 2005, Acanfora et al., 2001, Rudiger et al., 2006, Horne et al.,

2005). Nilai prognostik jangka pendek dan jangka panjang jumlah relatif limposit yang rendah

(limpopenia) pada pasien dengan gagal jantung, jika dibandingkan jumlah sel darah putih

ditemukan bermakna secara signifikan, namun mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan

antara rendahnya limposit dengan peningkatan resiko terjadinya gagal jantung belum dapat

dijelaskan secara sempurna, namun pada studi sebelumnya terdapat hipotesa bahwa jumlah
25

relatif limposit merefleksikan aktivasi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis (Mooren et al.,

2002, Yamaji et al., 2009), yang mampu menghasilkan kortisol.

Gambar 3. Menunjukkan peran leukosit dalam respon inflamasi pada pasien dengan infark miokard

Terdapat hubungan antara nilai jumlah relative limposit yang rendah dan peningkatan kortisol.

Peningkatan kortisol diketahui sering dijumpai pada respon stress akut. Observasi pada studi

tersebut menimbulkan pertanyaan apakah leukosit dan reaksi spesifik inflamasi terlibat dalam

pathogenesis terjadinya gagal jantung atau hanya sebagai penanda severitas dari penyakit gagal

jantung. Pada studi tersebut limposit kemungkinan besar hanya sebagai penanda severitas dari

gagal jantung yang mempunyai hubungan relatif sedikit pada penanda tingkat keparahan yang

dasar seperti denyut nadi, laju pernafasan, tekanan darah, saturasi oksigen atau nilai

laboratorium seperti kreatinin (Milo-Cotter et al., 2010).


26

Gambar 4. Deskripsi skematik peran aktivasi faktor imun-inflamasi dalam perkembangan gagal

jantung. Regulatory T cells (Treg) dengan sifat anti-inflamasi digambarkan dalam skema diatas.

Perhatikan respon sistemik terhadap peradangan kronis yang terjadi secara bersamaan dengan

perkembangan gagal jantung (Mehta and Pothineni, 2016).

Pada studi ekstensif untuk menjawab peran inflamasi membuat suatu identifikasi subset unik

pada kaskade imun yang kemungkinan memiliki peran protektif pada gagal jantung. Termasuk

di dalamnya adalah kelompok sel CD4+ regulatory T cells (Tregs). Sel-sel tersebut adalah

bagian dari respon imun adaptif dari tubuh dalam hal ini dipicu oleh limposit T yang rendah,

dan dibagi menjadi natural serta sel Tregs adaptif. Pada studi lain disampaikan, terdapat suatu

sinyal dari reseptor beta adrenergic di jantung dan sel limposit di perifer pada saat kondisi

fisiologis dan gagal jantung. Secara fisiologis stimulasi dari beta adrenergic oleh katekolamin

menghasilkan disoasi stimulasi subunit protein G yang merangsang adenilat siklase untuk

menghasilkan cAMP untuk mengaktifkan protein kinase A, regulasi substrat intraselular,


27

sarkolema, dan myofibrillar sehingga mengerahkan efek seluler dari aktivasi reseptor pada

jantung untuk kronotropik, inotropic dan lusitropik. Pada sirkulasi limposit perifer adenilat

siklase mengaktifkan reseptor beta 2 adrenergik yang berhubungan dengan kedua subunit alpha

G dan inhibitor subunit alpha G yang kemudian mengatur aktivasi sel-T secara positif dan

negative.

Gambar 5. Menunjukkan perbedaan regulasi sinyal reseptor beta adrenergic dan limposit perifer pada

kondisi fisiologis dan gagal jantung (Brodde et al., 1986)

Pada pasien gagal jantung tingkat adenilat siklase yang beredar meningkat dan menghasilkan

hiperstimulasi reseptor adrenergic serta peningkatan protein G-protein–coupled receptor

kinase (GRK)2 di jantung maupun pada limposit perifer. GRK2 menginduksi fosfatilasi

reseptor adrenergic, sehingga memulai downregulation dan desentisisasi di jantung serta

desentisisasi pada limposit (Rengo et al., 2012).


28

2.1.4 Peran Rasio Neutrofil Limfosit

Banyak studi telang menunjukkan hubungan penanda inflamasi dengan penyakit jantung (Ates

et al., 2011, Aviles et al., 2003, Danesh et al., 1998). C-Reactive Protein (CRP) salah satu dari

penanda infeksi yang telah diteliti secara luas dan terbukti mempunyai nilai prognostik pada

banyak studi (Buckley et al., 2009, Ridker et al., 2008). Di negara berkembang seperti

Indonesia, keberadaan agen tersebut masih cukup sulit didapatkan dan mempunyai harga yang

relatif mahal. Jumlah sel darah putih, di satu pihak telah diteliti dalam dua dekade terakhir dan

dengan jumlah yang tinggi tidak hanya mampu menjadi faktor resiko independen, namun juga

dapat menjadi nilai prognostik luaran terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah (Ates et

al., 2011, Danesh et al., 1998, Guasti et al., 2011). Karena temuan-temuan tersebut, jumlah sel

darah putih menjadi biomarker potensial dalam menilai resiko pada penyakit jantung (Pearson

et al., 2003).

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan fokus penelitian biomarker jumlah sel

darah putih. Turunan sel darah putih dan tipe sel darah putih yang dikatakan mampu menjadi

prediktor lebih kuat dibandingkan jumlah sel darah putih ialah neutrofil, limposit, dan monosit.

Salah satu studi menyampaikan bahwa, peran neutrofil sendiri mampu untuk menjadi faktor

prognostik independen pada penyakit jantung akut atau kronis (Guasti et al., 2011). Pada studi-

studi terakhir menunjukkan bahwa, rasio neutrofil limposit mampu memberikan nilai prediksi

yang lebih baik dibandingkan neutrofil sendiri atau jumlah sel darah putih, serta temuan tesebut

secara perlahan tapi pasti mampu muncul sebagai parameter prognostik yang yang berguna

pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (Horne et al., 2005, Papa et al., 2008).

2.1.4.1 Peran Rasio neutrofil limposit dalam Penyakit Jantung

Superioritas rasio neutrofil limposit kemungkinan disebabkan beberapa alasan, salah satunya

ialah rasio neutrofil limposit tidak dipengaruhi oleh kondisi fisiologis seperti dehidrasi dan
29

latihan. Alasan yang penting berikutnya ialah rasio ini mempunyai jalur imun yang berbeda

namun komplementer, kemudian integrase dua hal tersebut mampu menghapus efek neutrofil

yang bertanggung jawab atas adanya inflamasi non spesifik dan limpopenia, hal tersebut erat

hubungannya dengan kondisi kesehatan buruk dan stress fisiologis (Azab et al., 2010). Rasio

neutrofil limposit mengalami peningkatan pada pasien penyakit jantung koroner stabil, serta

pada beberapa studi merupakan prediktor yang signifikan terhadap angka mortalitas (Horne et

al., 2005, Papa et al., 2008, Tsai et al., 2007). Horne dan kawan-kawan adalah yang pertama

kali menyampaikan hubungan rasio neutrofil limposit terhadap penyakit jantung koroner stabil.

Pada penelitian tersebut membuktikan rasio neutrofil limposit sebagai bagian dari total jumlah

sel darah putih mampu untuk menjadi prediktor independen mortalitas atau kejadian infark

miokard akut pada pasien dengan penyakit jantung koroner, serta mempunyai nilai prediktor

yang lebih baik atau mirip jika dibandingkan dengan prediktor High Sensitive C-Reactive

Protein (HsCRP) (Horne et al., 2005). Studi kohort di Asia pada pasien dengan resiko tinggi

(diabetes dan sindorma metabolic), rasio neutrofil limposit mempunyai hubungan akan terjadi

sindroma metabolic dan penyakit jantung iskemik (Tsai et al., 2007). Sebuah studi di Korea,

menjabarkan hubungan antara rasio neutrofil limposit dengan penanda tidak langsung dari

penyakit jantung koroner yang telah diakui seperti Coronary Calcium Score (CCS) pada 800

pasien. Tingkat aterosklerosis atau kekakuan arteri, yang diukur menggunakan brachial-ankle

pulse wave velocity dan CCS, ditemukan berhubungan dengan rasio neutrofil limposit yang

tinggi (>2.5) dengan nilai p<0.001 untuk brachial-ankle pulse wave velocity dan nilai p=0.032

(Park et al., 2011).

Rasio neutrofil limposit juga mampu memberikan nilai prognostik pada pasien dengan

sindroma koroner akut. Nilai rasio neutrofil limposit lebih rendah pada pasien dengan nyeri

dada atipikal (3 + 6), diikuti nilai yang lebih tinggi pada pasien angina tidak stabil (3.6 + 2.9),

non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) (4.8 +3.7), dan untuk STEMI mempunyai
30

nilai rasio neutrofil limposit tertinggi (6.9 +5.7) (p < 0.0001). Pada penelitian tersebut

disampaikan nilai titik potong (cut off point) diatas 5.7 dilaporkan memiliki spesifisitas 91%

dan odd ratio 4.51 untuk diagnosis final pada pasien dengan sindroma koroner akut

dibandingkan dengan kelompok rasio neutrofil limposit dengan nilai < 3.0 (p<0.0001) (Zazula

et al., 2008). Menjadi suatu penanda biokimiawi yang murah dan mudah untuk direproduksi,

rasio neutrofil limposit menjadi relevan saat mengevaluasi nyeri dada pada pasien dengan

kecurigaan sindroma koroner akut. Peningkatan CRP dan rasio neutrofil limposit mampu

sebagai penanda fase inflamasi akut yang mengindikasikan pembentukan thrombus pada infark

miokardiak akut. Dibandingkan pada pasien infark miokard akut tanpa thrombus, nila HsCRP,

total jumlah neutrofil, dan rasio neutrofil limposit secara substansial lebih tinggi (p<0.05) pada

pasien dengan infark miokard akut dengan pembentukan thrombus (Li et al., 2009). Stratifikasi

resiko dan prediksi nilai luaran yang buruk dapat ditunjukkan pada nilai rasio neutrofil limposit

yang tinggi (Suliman et al., 2010). Tingkat mortalitas saat rawat inap dan enam bulan paska

serangan juga ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada nilai jumlah rasio neutrofil

limposit yang tinggi dibandingkan nilai rasio yang rendah (Tamhane et al., 2008).

Hubungan rasio neutrofil limposit dengan kejadian aritmia juga disampaikan pada beberapa

studi. Terdapat hubungan antara inflamasi dan fibrilasi atrial telah diketahui secara luas (Aviles

et al., 2003). Walaupun banyak penanda inflamasi yang telah diasosiasikan dengan insiden,

rekurensi, dan nilai luaran dari fibrilasi atrium, hubungan antara rasio neutrofil limposit tidak

terlalu ditonjolkan pada kelompok ini. Demikian juga dengan hubungan antara inflamasi dan

penanda inflamasi terhadap aritmia lain, terutama fibrilasi ventrikel, belum dapat dijelaskan

dengan baik, serta bukti-bukti yang ada saat ini masih berupa data yang minimal serta

bertentangan satu sama lain (Blangy et al., 2007, Konstantino et al., 2007). Pada suatu studi

retrospektif pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP), melaporkan adanya

peningkatan jumlah sel leukosit preprosedur, neutrofilia, dan peningkatan nilai rasio neutrofil
31

limposit yang secara signfikan pada pasien yang mengalami aritmia ventrikel (Chatterjee et al.,

2011). Pada studi tersebut seluruh pasien yang mengalami aritmia ventrikel saat IKP

dibandingkan dengan kelompok acak, secara signfikan memiliki nilai leukosit (p=0.0004),

jumlah neutrofil (p<0.0001), dan nilai rasio neutrofil limposit yang tinggi (p,0.0001), namun

bukti studi ini belum cukup untuk menghubungkan rasio neutrofil limposit dan berbagai

macam aritmia jantung.

Gagal jantung merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan curah

jantung yang dapat disebabkan oleh banyak hal terutama penyakit jantung koroner. Peran rasio

neutrofil limposit pada beberapa studi mempunyai hubungan yang signifikan seperti yang telah

disampaikan diatas. Peningkatan leukosit dalam beberapa studi menunjukkan hubungannya

dengan peningkatan insiden rawat inap dan mortalitas (Cooper et al., 1999, Engström et al.,

2009). Pada studi lain, neutropilia mempunyai hubungan dengan peningkatan insiden gagal

jantung dekompensata pada pasien yang sedang mengalami infark miokardiak akut (Arruda-

Olson et al., 2009). Dalam suatu studi retrospektif 92.5% pasien infark miokardiak akut

berkembang menjadi gagal jantung kongestif mempunyai relative neutropilia dibandingkan

dengan 45% kasus yang tidak berkembang menjadi gagal jantung kongestif. Untuk rasio

neutrofil limposit, terdapat studi kohort yang menyebutkan penanda tersebut secara signifikan

menunjukkan frekuensi dekompensasi dan mortalitas jangka panjang pada pasien dengan gagal

jantung kongestif. Dalam 26 bulan follow up pada lebih dari 1000 pasien dengan gagal jantung

akut dekompensata, terdapat kecenderungan positif diantara kematian dan rasio neutrofil

limposit yang diobservasi dengan persentasi 32.8, 23.2, dan 14.2% kematian muncul pada

pasien dengan nilai rasio neutrofil limposit secara respektif9.6 (7.6-13.1), 5.1 (4.5-5.8) dan 2.8

(2.2-3.8) (p<0.001). Pada penelitian yang sama, pasien dengan gagal jantung dekompensata

mempunyai nilai rasio neutrofil limposit (>7.6) mempunyai kemungkinan readmisi rawat inap
32

dalam waktu 30 hari lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rasio neutrofil limposit rendah

(Uthamalingam et al., 2011).

2.1.4.2 Faktor lain yang Berpengaruh Terhadap Rasio neutrofil limposit

Neutrofil dan limposit merupakan komponen penanda inflamasi secara umum, sehingga

terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruihi jumlah nilai absolut pada penanda ini.

Sehingga hal tersebut dapat muncul sebagai faktor perancu dalam studi yang memiliki nilai

luaran mortalitas dan kejadian kardiovaskular mayor. Beberapa faktor tersebut ialah:

- Jenis kelamin: terdapat studi yang memiliki nilai rasio neutrofil limposit yang lebih

tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tesebut dikaitkan dengan tingkat

respon kortisol pada perempuan terhadap stress fisik yang dihadapi lebih tinggi

dibandingkan laki-laki (Azab et al., 2010)

- Usia: berperan dalam proses inflamasi kronis, didapatkan peningkatan jumlah neutrofil

dan limposit seiring dengan bertambahnya usia (Azab et al., 2014, Dixon and EO'Brien,

2006). Hal ini dimungkinkan karena probabilitas seseorang memiliki satu atau lebih

faktor risiko kardiovaskular seiring dengan bertambahnya usia.

- Merokok: aktivitas merokok diketahui memiliki kemampuan memicu inflamasi kronik

dikarenakan terdapat kerusakan vaskuler yang berujung pada disfungsi endotel. Hal ini

berlangsung terus menerus dan dapat memicu adanya perubahan rasio neutrofil

limposit (Azab et al., 2014).

- Indeks Massa Tubuh: nilai yang tinggi dapat menjadi tanda munculnya sindroma

metabolik. Hal ini dapat memicu adanya inflamasi sitemik derajat rendah yang

mengaktivasi neutrofil dan limposit (Azab et al., 2014).

- Infeksi: individu yang secara konstan terpapar oleh mikroba, dan sebagian besar

diantaranya adalah mikroorganisme patogenik yang dapat menyebabkan terjadinya


33

infeksi. Sistem imun pada manusia berevolusi, terspesialisasi, dan bertanggung jawab

dalam melindungi dari pathogen serta secara efektif dapat mencegah terjadinya infeksi.

Sel-sel ini membentuk pertahanan lini pertama dalam melawan pathogen beserta

komponennya (Borregaard, 2010). Neutrofil adalah sel pagositik yang mampu

bermigrasi secara aktif dari pembuluh darah ke area infeksi. Tugas utama dari neutrofil

adalah menangkap pathogen, mengurangi area infeksi, dan inflamasi dengan

melakukan eliminasi terhadap mikroorganisme (Zawrotniak et al., 2017).Untuk

memenuhi tugas ini, neutrofil menggunakan beberapa mekanisme. Mekanisme yang

telah diketahui secara luas adalah melibatkan penangkapan sel pathogen, internalisasi,

dan proses eliminasi pada ruang dari sel neutrofil (Underhill and Ozinsky, 2002).

Mekanisme tersebut disamping mempunyai efikasi yang tinggi dan efek samping yang

minimal terhadap host, dapat terjadi insufisiensi di dalam melawan infeksi bakteri yang

massif atau serangan sel pathogen. Salah satu mekanisme alternatif ialah melibatkan

struktur yang menyerupai jaring dilepaskan ke ruang ekstraseluer, disebut Neutrofil

Extracellular Traps (Zawrotniak et al., 2017). Walaupun banyak reseptor yang terpapar

pada permukaan neutrofil dan menyebabkan terjadinya aktivasi silang dalam memicu

proses NET (Neeli et al., 2009, Geijtenbeek and Gringhuis, 2009), karena itu jalur

netosis lengkap hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun, beberapa kunci mediasi

telah disampaikan terlibat dalam pembentukan NET dan disimpulkan secara skematik

dalam gambar 4, walaupun proses spesifik dapat bervariasi tergantung dari tipe pemicu

yang muncul.

- Penyakit autoimun: penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematous (SLE), atau

rheumatoid arthritis (RA) serta vaskulitis pembuluh darah kecil, mempunyai hubungan

dengan adanya pelepasan tidak terkontrol dan klirens yang inefektif dari NET (Sangaletti et

al., 2012, Kessenbrock et al., 2009). Jumlah NET yang tinggi dan DNA bebas di sirkulasi
34

menyebabkan produksi dari Antineutrofil Cytoplasmic Anribodies (ANCAs) melawan

DNA dan protein yang berhubungan dengan NET seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 6. Mekanisme molecular pembentukan NET. CLRs, C‐type lectin receptors; CR, complement

receptors; ERK1/2, extracellular signal‐regulated kinases; HTNV, Hantaan virus; ICS, immune

complexes; IRAK, interleukin‐1receptorassociated kinase; LPS, lipopolysaccharide; PI3K,

phosphoinositide 3‐kinase; PIP3, phosphatidylinositol (3,4,5)‐ trisphosphate; PKC, protein kinase C;

PMA, phorbol myristate acetate; RSV, respiratory syncytial virus; Src, Src kinase; Syk, spleen tyrosine

kinase; TLRs, toll‐like receptors (Zawrotniak et al., 2017)


35

- Sroke: dalam perjalanan penyakit stroke, telah diketahui bahwa penyakit ini mampu

meningkatkan perekrutan polymorphonuclear neutrofil dari sumsum tulang dan limpa.

Mekanisme peran neutrofil dalam stroke seperti ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 7. Mekanisme pembentukan NET. ALI, acute lung injury; ARDS, acute respiratory distress

syndrome; ANCA, antineutrofil cytoplasmic antibodies; MPO, myeloperoxidase; NE, neutrofil

elastase; PAD4, protein arginine deiminase 4; RA, rheumatoid arthritis; SLE, systemic lupus

erythematosus; SVV, small vessel vasculitis (Zawrotniak et al., 2017)


36

Gambar 8. Stroke menginduksi perekrutan PMN dari sumsum tulang dan limpa. a: Setelah iskemia

serebral, kadar plasma G-CSF, CXCL-1, IL-6 serta PMNsecreted MMP-9 meningkat dan menarik PMN

lebih lanjut dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. b: Rekrutmen PMN didahului dengan fosforilasi

NFkB p65 dan p38 MAPK, mengaktifkan PMN yang berangkat c: Setelah membangun gradien

kemokin, splenosit (makrofag, sel monosit, sel T, sel NK dan PMN) juga dilepaskan ke dalam sirkulasi

dan merupakan populasi sel pro-inflamasi yang memasuki jaringan otak yang meradang. d: Peningkatan

apoptosis splenocyte dan menghambat kapasitas proliferasi sel T e: Cerebral iskemia menghasilkan

peningkatan ekspresi FoxP3 dan jumlah sel T yang menyebabkan imunosupresi limpa disertai dengan

penurunan ekspresi sinyal pro-inflamasi. protein (misalnya IFN-g, TNF-a dan IL-6). Singkatan: CXCL-

1: motif Chemokine (C-X-C) ligan-1; CXCR-2: CXC kemokin reseptor-2; FoxP3: Kotak Forkhead P3;

G-CSF: Granulocytecolony faktor stimulasi; IFNg: Interferon gamma; IL-6: Interleukin-6; MAPK:

Mitogen-activated protein kinase; MMP-9: Matriks metallopeptidase-9; NF-kB: Faktor nuklir

kappalight- penambah rantai sel B aktif; Sel NK: Sel pembunuh alami; TNF-a: Tumor necrosis factor-

a (Strecker et al., 2016)

Anda mungkin juga menyukai