BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut European Society of Cardiology (ESC), gagal jantung ialah suatu istilah yang
dipergunakan dalam mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan cepat
dan perburukan dari gejala serta tanda dari gagal jantung (Ponikowski et al., 2016b). Gagal
jantung adalah suatu kondisi berbahaya dan dapat mengancam jiwa, untuk itu diperlukan
penanganan segera, termasuk perawatan rawat inap (Jessup et al., 2009). Mayoritas kasus gagal
jantung akut adalah akibat dari suatu perburukan kondisi pasien yang sebelumnya telah
terdiagnosis gagal jantung, termasuk gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah atau Heart
Failure with Reduced Ejection Fraction (HFREF) serta gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang
baik atau Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF) (Ponikowski et al., 2016b,
Terdapat enam kategori klinis yang dapat muncul sebagai presentasi klinis pasien
dengan gagal jantung yang dapat memberikan gambaran kondisi dan klasifikasi gagal jantung.
Kategori tersebut antara lain (Ponikowski et al., 2016b, Nunez et al., 2015):
perburukan pada pasien yang sebelumnya telah mempunyai riwayat gagal jantung
kronis dalam pengobatan, serta terdapat bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner.
Tekanan darah rendah saat masuk biasanya berhubungan dengan prognosis yang
jelek.
11
• Edema paru akut: munculnya distress pernafasan, takipneu dan ortopneu, ronki
basah halus seluruh lapang paru pada pasien disertai dengan saturasi oksigen
arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi oksigen.
• Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai
peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi.
Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan
datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai kongesti sistemik. Respons
terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat kematian dirumah sakit biasanya
rendah.
koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik
ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan
cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria
(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti hipoperfusi
• Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah jantung
(low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan
vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri
yang rendah.
• Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan
gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari
sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut memiliki
12
tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut tersebut
Penyakit gagal jantung dikarakteristikan dengan gejala (seperti sesak nafas, bengkak
pada ankle, dan kelelahan) dan tanda klinis (seperti peningkatan tekanan vena jugular, edema
paru, dan edema tungkai perifer) yang dapat disebabkan Karena gangguan structural atau
fungsional kardiak yang menjadi peningkatan tekanan intrakardiak atau penurunan curah
jantung pada saat istirahat maupun saat aktivitas atau stress. Terdapat beberapa mekanisme
• Ventrikel kiri yang mengalami peningkatan tekanan saat fase diastolik mengakibatkan
kongesti pulmonal dan sistemik yang berujung pada curah jantung yang menurun atau
tanpa mengalami penuruan curah jantung. Presentasi tersebut ialah presentasi utama
dari penyakit gagal jantung akut (Ponikowski et al., 2016b). Peningkatan tekanan baji
kapiler paru atau Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP) akan mengakibatkan
kongesti pada paru, dikarenakan terdapat edema intersitial serta alveolar paru. Hal
tersebut akan berpengaruh secara sistemik, ditandai dengan adanya distensi vena
jugularis dengan atau tanpa edema perifer, kemudian untuk jangka panjang biasanya
terdapat peningkatan berat badan secara gradual. Kongesti paru akut dipresipitasi oleh
peningkatan tekanan darah, terutama pada pasien yang telah mengalami disfungsi
ukuran dari ventrikel kiri yang disebutkan dengan terminology cardiac remodeling,
13
seluruh hal tersebut akan berujung pada katup mitral yang mengalami insufisiensi
(Gheorghiade et al., 2006). Selain hal tersebut, gagal jantung dapat menyebabkan
sindrom kardio renal (SKR) (Sheerin et al., 2014, Jessup et al., 2009).
Tanda klinis yang dapat digunakan adanya kongesti pada pasien gagal jantung ialah
berat badan. Terdapat banyak studi yang menyimpulkan adanya hubungan kompleks
antara berat badan pasien gagal jantung dengan kongesti dan outcome penyakit gagal
• Cedera pada jantung dalam hal ini miokard dapat muncul sebagai akibat dari berbagai
penyakit pada sistem kardiovaskular. Kehilangan sel-sel miosit dan peningkatan strain
pada miokardiak dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi tipe eksentrik pada miosit
jantung yang tersisa, kedua hal tersebut akan mengalami proses neurohumoral aktivasi,
terjadinya fibrosis, secara progresis menuju dilatasi ventrikel kiri, perubahan bentuk
ventrikel kiri dari bentuk eliptikal menjadi sperikal, dan seringkali mengalami
pada miokardiak dan penurunan efisiensi kontraksi pada miokardiak (Braunwald, Shah
terjadinya retensi sodium renal, overload cairan, dan edema. Disfungsi renal
menyebakan outcome yang lebih buruk pada pasien dengan gagal jantung (Damman et
al., 2013, Damman and Testani, 2015). Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi,
perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan gagal
jantung akut. Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan fungsi
14
• Penyakit katup jantung adalah salah satu penyebab terjadinya gagal jantung akut. Gagal
jantung dengan kondisi ini dapat terjadi karena akibat langsung dari pemuatan cairan
berlebihan hingga memaksa jantung melebihi kapasitas fungsional yang normal, atau
cairan dalam waktu jangka panjang (Bean, 1963). Insufisiensi katup akut dari katup
aorta atau katup mitral, akan menyebabkan volume ventrikel kiri meningkat mendadak
yang kemudian harus mengalami pengolahan dalam setiap siklus jantung. Hubungan
tekanan / volume ventrikel kiri ditentukan dengan peningkatan tekanan yang akan
terjadi dalam situasi tersebut. Akibatnya pada struktur miokardium dan pericardium di
sekitarnya akan relatif mengalami penurunan komplians. Jadi, pada tahap awal baik
aorta insufisiensi atau regurgitasi mitral, ventrikel kiri memiliki kapasitas terbatas
normal atau tekanan yang normal. Pada regurgitasi mitral, masalahnya ditekankan oleh
fakta bahwa selama fase sistolik, ventrikel kiri dapat mengeluarkan darah ke aorta atau
atrium kiri. Hambatan pada aliran di atrium jauh lebih rendah daripada sirkulasi
sistemik, sehingga bila lesi katup parah, regurgitasi akan langsung mengalirkan darah
dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistolik yang kemudian akan menyebabkan
konsekuensi dari insufisiensi katup hanya terbatas. Peningkatan volume ventrikel kiri
maksimal pada kondisi yang normal, efek ini tidak dapat dikompensasi sepenuhnya
dikarenakan reduksi pada volume sekuncup yang disebabkan oleh lesi regurgitant pada
bagian kiri jantung. Reduksi volume sekuncup akan menyebabkan penurunan Cardiac
Output dan tanda serta gejala kongestif (gagal jantung) akan muncul (Christian, 1922).
15
Gambar 1. Skema dari abnormalitas miokardiak pada gagal jantung ejeksi fraksi normal
jangka waktu yang lama dan lambat. Pada kasus mitral stenosis, yang pada umumnya
disebabkan oleh penyakit jantung rematik atau stenosis aorta kongenital (AS) biasanya
memerlukan waktu yang cukup lama hingga menimbulkan gejala. Hal ini disebakan
karena katup bikuspid dapat berkembang selama beberapa dekade sebelum manifestasi
klinis menjadi jelas. Pada penyakit stenosis aorta peningkatan beban pada ventrikel kiri
dikarenakan beban tekanan pada LV, mengalami rangsangan yang kuat yang pada
akhirnya berujung pada hipertrofi ventrikel (Thomas et al., 1990). Berbeda dengan
Ventrikel kiri secara keseluruhan mengalami peningkatan jumlah massa otot dan rasio
massa/volume secara nyata. Hipertrofi ventrikel kiri yang muncul karena keadaan
kelebihan muatan kronis, memberikan massa otot tambahan untuk mendorong aliran
darah melalui lubang katup stenotic dan berfungsi penting membantu menormalkan
stress pada dinding ventrikel. Hal ini bisa dicontohkan dalam situasi kronis dimana
ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan sistolik dari 300 mmHg atau lebih dalam
juga akan menyebabkan kenaikan tekanan stress yang sangat besar pada dinding.
dinding dalam menghadapi beban tekanan dalam ruang jantung (Hosenpud and
Greenberg, 2007).
• Pada gagal jantung dengan ejeksi fraksi normal terdapat mekanisme yang menjadi dasar
terjadinya penyakit tersebut. Salah satu mekanisme kimiawi yang mendasari HFPEF
seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Pada gambar tersebut, sisi kiri menunjukkan
komponen jalur β-adrenergik (β-AR) dari reseptor ke adenil siklase (AC) dan
tersebut terlibat dalam modifikasi saluran kalsium tipe-L (LTCC), fosfolamban (PLN),
titin, dan protein filamen tipis pengatur lainnya (misalnya troponin I, TnI),
kekakuan titin dan responsase β-AR yang tertekan. Pada bagian tengah gambar
(PLC), dan mitogen-activated kinases (MAPk), yang terlibat dalam aktivasi profibrotik
dan hipertrofik. cascades Di sebelah kanan adalah jalur nitrat oksida sintase (NOS)
yang menghasilkan aktivasi nitrat oksida (NO) dari guanylate cyclase terlarut (sGC),
generasi guanosin siklo monofosfat (cGMP), dan aktivasi protein kinase G (PKG). Di
tengahnya adalah spesies oksigen reaktif (ROS) yang diaktifkan oleh sinyal TGFβ-, β-
melalui reseptor ryanodin (RyR2) lebih bersifat promiscuous. ROS dan CamKII juga
peran modulasi matriks oleh sitokin / radang dan interaksi dua arah dari faktor-faktor
• Terapi statin pada pasien dengan gagal jantung dapat memberikan efek protektif.
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa statin
dan antiproliferatif (Spite and Serhan, 2010, József et al., 2002, Carlo et al., 2013).
dikonversi via 5-LOX sampai 15-epi-LXA4 (Gambar 6). Pengobatan dengan statin
dalam hal ini atorvastatin secara signifikan meningkatkan sintesis 15-epi-LXA4 di tikus
miokardium melalui S-nitrosilasi COX-2 (Birnbaum et al., 2006). Pada hewan model
polimorfonuklear dan jalan nafas manusia sel epitel prima dengan sitokin (Planagumà
et al., 2010).
• Terapi loop diuretik merupakan terapi utama pada penyakit gagal jantung yang
bertujuan untuk mengurangi kongestif pada pasien gagal jantung. Efek tidak langsung
obat. Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan gejala
fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena dengan dosis besar berhubungan
dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan gagal jantung. Namun, hal ini
mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal jantung itu sendiri, dibandingkan
19
miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang sering
hipoperfusi miokardium dan ginjal sehingga menyebabkan cedera (Nunez et al., 2015).
Retensi cairan dan natrium menjadi mekanisme yang paling utama dalam galga jantung
sehingga pemberian terapi diuretik dapat memberikan keuntungan langsung pada pasien
dengan gagal jantung. Telaah riwayat medis pasien merupakan bagian penting dalam
penegakan diagnosis pasien, dikarenakan penyakit gagal jantung tidak akan terjadi tanpa
adanya riwayat medis yang relevan dengan gagal jantung (Ronco et al., 2012, Shrestha et al.,
2012).
Mengenali tanda dan gejala gagal jantung secara cepat dapat memberikan keuntungan
dalam penegakan diagnosis serta pemberian inisasi terapi pasien dengan gagal jantung.
Disetiap tanda dan gejala gagal jantung yang muncul pada pasien berkaitan dengan mekanisme
tertentu sehingga muncul pada pasien gagal jantung seperti yang ditampilkan pada tabel 2.1
(Ponikowski et al., 2016a). Dalam proses evaluasi perkembangan pasien dengan gagal jantung
gejala dan tanda merupakan hal penting yang diawasi sebagai respon terapi dan tanda
kestabilan pasien dengan gagal jantung. Tidak jarang pasien dengan gagal jantung mempunyai
20
gejala yang menetap sehingga diperlukan suatu terapi tambahan sesegera mungkin untuk
menghindari perburukan dari pasien, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis
yang lebih serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung serta mekanisme hingga
Tabel 2.1. Tanda dan gejala serta mekanisme yang mendasarinya (Ponikowski et al., 2016a)
Gejala Mekanisme
abnormalitas kemoreseptor
supinasi
pernafasan pusat
terlibat
Tanda
2.1.3.2. Diagnostik
Penegakan diagnosis gagal jantung selain mengetahui tanda dan gejala klinis,
pemeriksaan penunjang memegang peranan penting dalam diagnostik dan evaluasi perawatan
serta paska perawatan. Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan ialah pemeriksaan
EKG menjadi pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien dengan yang dicurigai
mempunyai masalah pada kardiak. EKG dapat membantu memberikan informasi irama jantung
dan konduksi elektrik, seperti pada pasien dengan gangguan pada sinoatrial, terdapat blok pada
22
pemeriksaan ini. Selain itu, pemeriksaan dengan menggunakan EKG dapat menggambarkan
adanya hipertrofi ventrikel kiri atau kondisi miokardiak yang tidak viable (digambarkan
dengan hilangnya gelombang Q pada EKG). Informasi yang diberikan oleh EKG dapat
dipergunakan untuk menentukan tatalaksana pada pasien gagal jantung, sehingga dapat
memperoleh hasil luaran yang baik pada pasien. Pemeriksaan penunjang ekokardiografi
menyajikan informasi yang segera mengenai volume ruang jantung, fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup (Palazzuoli et al., 2012). Informasi ini
penting dalam menentukan terapi yang pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin
converting enzyme (ACE) dan penyekat beta untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk
EKG dan ekokardiografi dapat memberikan diagnosis serta penatalaksanaan yang baik pada
pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan lain yang dapat membantu berikutnya ialah
dipergunakan untuk mampu memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh
saat ini telah mampu memberikan informasi prognostik yang baik, sehingga mampu
memprediksi nilai luaran pada pasien gagal jantung. Namun pemeriksaan biokimiawi di negara
berkembang seperti Indonesia, keberadaannya masih terkendala oleh masalah akses terhadap
agen biokimiawi tersebut atau masalah biaya yang relatif mahal untuk sekali pemeriksaan.
Pemeriksaan hematologi rutin seperti pemeriksaan darah lengkap, di satu sisi mampu
memberikan gambaran ada atau tidaknya anemia pada pasien, karena keadaan tersebut dapat
memperburuk kondisi pada pasien gagal jantung (Jessup et al., 2009). Pemeriksaan darah
23
lengkap saat ini juga mampu memberi nilai prognostik yang baik, banyak studi yang telah
dikembangkan untuk menilai komponen pada pemeriksaan darah lengkap tersebut yang
Didalam penegakan diagnosis gagal jantung modalitas pencitraan dengan foto thoraks
memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis pada pasien dengan gagal jantung.
Pemeriksaan ini memberikan keuntugan pada kasus gagal jantung yang telah melibatkan
kongesti pada vena pulmonalis atau edema paru. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada foto thoraks
Neutrofil mempunyai peran penting di dalam proses inflamasi, hubungan neutrofil telah
banyak dijabarkan hubungannya dengan penyakit jantung terutama pada sindroma koroner
akut. Telah banyak studi dilakukan membuktikan hubungan tersebut, penelitian pada hewan
coba dan manusia didapatkan bahwa disfungsi dari sel-sel endotel pada bagian permukaan
pembuluh darah arteri. Paparan stimulus iritatif akan menyebabkan disfugsi endotel, yang
termasuk dalam stimulus iritatif antara lain hiperlidemia, shear sress, dan pelepasan dari
sitokin-sitokin inflamasi. Adhesi pada leukosit akan mudah terjadi dikarenakan adanya
adhesion molecule-1) yang mampu menangkap dan mengikat leukosit. Permeabilitas endotel
kemudian akan berubah secara simultan, serta komposisi matriks ekstraseluler bagian bawah
endotel menyebabkan deposisi Low Density Lipoprotein (LDL) pada pembuluh darah arteri
24
yang terlibat. Molekul LDL yang telah teroksidasi akan meningkatkan migrasi leukosit dan
monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag yang berujung pada pembentukan foam cell.
Studi-studi lain juga menunjukkan adanya peran neutrofil yang berkaitan dengan interaksi
dengan endotel pada lesi aterosklerosis, interaksi pada sel endothelial ini akan menyebabkan
aktivasi yang tidak wajar dan kemungkinan akan meningkatkan ekspresi mediator inflamasi
Sementara studi lain menunjukkan adanya hubungan antara luas lesi aterosklerosis dengan
jumlah neutrofil yang beredar di dalam sirkulasi (Soehnlein, 2012). Peningkatan agregasi
neutrofil dan aktivitas oksidasi juga ditunjukkan pada pembuluh darah koroner jantung pasien
yang terbukti memilki penyakit jantung koroner secara pemeriksaan angiografi koroner dan
angina stabil. Sel-sel inflamasi tidak hanya memegang peranan penting pada inisiasi dan
progresi dari aterosklerosis, tetapi juga dalam destabilisasi plak, sehingga dapat mengubah
proses kronik aterosklerosis menjadi kejadian iskemik akut (Selcuk et al., 2012). Proses
inflamasi yang muncul tersebut akan menimbulkan cedera pada miokard jantung, sehingga
limposit yang dapat dipergunakan sebagai nilai prognostic pada pasien gagal jantung kronis
dan akut (Huehnergarth et al., 2005, Acanfora et al., 2001, Rudiger et al., 2006, Horne et al.,
2005). Nilai prognostik jangka pendek dan jangka panjang jumlah relatif limposit yang rendah
(limpopenia) pada pasien dengan gagal jantung, jika dibandingkan jumlah sel darah putih
ditemukan bermakna secara signifikan, namun mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan
antara rendahnya limposit dengan peningkatan resiko terjadinya gagal jantung belum dapat
dijelaskan secara sempurna, namun pada studi sebelumnya terdapat hipotesa bahwa jumlah
25
Gambar 3. Menunjukkan peran leukosit dalam respon inflamasi pada pasien dengan infark miokard
Terdapat hubungan antara nilai jumlah relative limposit yang rendah dan peningkatan kortisol.
Peningkatan kortisol diketahui sering dijumpai pada respon stress akut. Observasi pada studi
tersebut menimbulkan pertanyaan apakah leukosit dan reaksi spesifik inflamasi terlibat dalam
pathogenesis terjadinya gagal jantung atau hanya sebagai penanda severitas dari penyakit gagal
jantung. Pada studi tersebut limposit kemungkinan besar hanya sebagai penanda severitas dari
gagal jantung yang mempunyai hubungan relatif sedikit pada penanda tingkat keparahan yang
dasar seperti denyut nadi, laju pernafasan, tekanan darah, saturasi oksigen atau nilai
Gambar 4. Deskripsi skematik peran aktivasi faktor imun-inflamasi dalam perkembangan gagal
jantung. Regulatory T cells (Treg) dengan sifat anti-inflamasi digambarkan dalam skema diatas.
Perhatikan respon sistemik terhadap peradangan kronis yang terjadi secara bersamaan dengan
Pada studi ekstensif untuk menjawab peran inflamasi membuat suatu identifikasi subset unik
pada kaskade imun yang kemungkinan memiliki peran protektif pada gagal jantung. Termasuk
di dalamnya adalah kelompok sel CD4+ regulatory T cells (Tregs). Sel-sel tersebut adalah
bagian dari respon imun adaptif dari tubuh dalam hal ini dipicu oleh limposit T yang rendah,
dan dibagi menjadi natural serta sel Tregs adaptif. Pada studi lain disampaikan, terdapat suatu
sinyal dari reseptor beta adrenergic di jantung dan sel limposit di perifer pada saat kondisi
fisiologis dan gagal jantung. Secara fisiologis stimulasi dari beta adrenergic oleh katekolamin
menghasilkan disoasi stimulasi subunit protein G yang merangsang adenilat siklase untuk
sarkolema, dan myofibrillar sehingga mengerahkan efek seluler dari aktivasi reseptor pada
jantung untuk kronotropik, inotropic dan lusitropik. Pada sirkulasi limposit perifer adenilat
siklase mengaktifkan reseptor beta 2 adrenergik yang berhubungan dengan kedua subunit alpha
G dan inhibitor subunit alpha G yang kemudian mengatur aktivasi sel-T secara positif dan
negative.
Gambar 5. Menunjukkan perbedaan regulasi sinyal reseptor beta adrenergic dan limposit perifer pada
Pada pasien gagal jantung tingkat adenilat siklase yang beredar meningkat dan menghasilkan
kinase (GRK)2 di jantung maupun pada limposit perifer. GRK2 menginduksi fosfatilasi
Banyak studi telang menunjukkan hubungan penanda inflamasi dengan penyakit jantung (Ates
et al., 2011, Aviles et al., 2003, Danesh et al., 1998). C-Reactive Protein (CRP) salah satu dari
penanda infeksi yang telah diteliti secara luas dan terbukti mempunyai nilai prognostik pada
banyak studi (Buckley et al., 2009, Ridker et al., 2008). Di negara berkembang seperti
Indonesia, keberadaan agen tersebut masih cukup sulit didapatkan dan mempunyai harga yang
relatif mahal. Jumlah sel darah putih, di satu pihak telah diteliti dalam dua dekade terakhir dan
dengan jumlah yang tinggi tidak hanya mampu menjadi faktor resiko independen, namun juga
dapat menjadi nilai prognostik luaran terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah (Ates et
al., 2011, Danesh et al., 1998, Guasti et al., 2011). Karena temuan-temuan tersebut, jumlah sel
darah putih menjadi biomarker potensial dalam menilai resiko pada penyakit jantung (Pearson
et al., 2003).
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan fokus penelitian biomarker jumlah sel
darah putih. Turunan sel darah putih dan tipe sel darah putih yang dikatakan mampu menjadi
prediktor lebih kuat dibandingkan jumlah sel darah putih ialah neutrofil, limposit, dan monosit.
Salah satu studi menyampaikan bahwa, peran neutrofil sendiri mampu untuk menjadi faktor
prognostik independen pada penyakit jantung akut atau kronis (Guasti et al., 2011). Pada studi-
studi terakhir menunjukkan bahwa, rasio neutrofil limposit mampu memberikan nilai prediksi
yang lebih baik dibandingkan neutrofil sendiri atau jumlah sel darah putih, serta temuan tesebut
secara perlahan tapi pasti mampu muncul sebagai parameter prognostik yang yang berguna
pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (Horne et al., 2005, Papa et al., 2008).
Superioritas rasio neutrofil limposit kemungkinan disebabkan beberapa alasan, salah satunya
ialah rasio neutrofil limposit tidak dipengaruhi oleh kondisi fisiologis seperti dehidrasi dan
29
latihan. Alasan yang penting berikutnya ialah rasio ini mempunyai jalur imun yang berbeda
namun komplementer, kemudian integrase dua hal tersebut mampu menghapus efek neutrofil
yang bertanggung jawab atas adanya inflamasi non spesifik dan limpopenia, hal tersebut erat
hubungannya dengan kondisi kesehatan buruk dan stress fisiologis (Azab et al., 2010). Rasio
neutrofil limposit mengalami peningkatan pada pasien penyakit jantung koroner stabil, serta
pada beberapa studi merupakan prediktor yang signifikan terhadap angka mortalitas (Horne et
al., 2005, Papa et al., 2008, Tsai et al., 2007). Horne dan kawan-kawan adalah yang pertama
kali menyampaikan hubungan rasio neutrofil limposit terhadap penyakit jantung koroner stabil.
Pada penelitian tersebut membuktikan rasio neutrofil limposit sebagai bagian dari total jumlah
sel darah putih mampu untuk menjadi prediktor independen mortalitas atau kejadian infark
miokard akut pada pasien dengan penyakit jantung koroner, serta mempunyai nilai prediktor
yang lebih baik atau mirip jika dibandingkan dengan prediktor High Sensitive C-Reactive
Protein (HsCRP) (Horne et al., 2005). Studi kohort di Asia pada pasien dengan resiko tinggi
(diabetes dan sindorma metabolic), rasio neutrofil limposit mempunyai hubungan akan terjadi
sindroma metabolic dan penyakit jantung iskemik (Tsai et al., 2007). Sebuah studi di Korea,
menjabarkan hubungan antara rasio neutrofil limposit dengan penanda tidak langsung dari
penyakit jantung koroner yang telah diakui seperti Coronary Calcium Score (CCS) pada 800
pasien. Tingkat aterosklerosis atau kekakuan arteri, yang diukur menggunakan brachial-ankle
pulse wave velocity dan CCS, ditemukan berhubungan dengan rasio neutrofil limposit yang
tinggi (>2.5) dengan nilai p<0.001 untuk brachial-ankle pulse wave velocity dan nilai p=0.032
Rasio neutrofil limposit juga mampu memberikan nilai prognostik pada pasien dengan
sindroma koroner akut. Nilai rasio neutrofil limposit lebih rendah pada pasien dengan nyeri
dada atipikal (3 + 6), diikuti nilai yang lebih tinggi pada pasien angina tidak stabil (3.6 + 2.9),
non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) (4.8 +3.7), dan untuk STEMI mempunyai
30
nilai rasio neutrofil limposit tertinggi (6.9 +5.7) (p < 0.0001). Pada penelitian tersebut
disampaikan nilai titik potong (cut off point) diatas 5.7 dilaporkan memiliki spesifisitas 91%
dan odd ratio 4.51 untuk diagnosis final pada pasien dengan sindroma koroner akut
dibandingkan dengan kelompok rasio neutrofil limposit dengan nilai < 3.0 (p<0.0001) (Zazula
et al., 2008). Menjadi suatu penanda biokimiawi yang murah dan mudah untuk direproduksi,
rasio neutrofil limposit menjadi relevan saat mengevaluasi nyeri dada pada pasien dengan
kecurigaan sindroma koroner akut. Peningkatan CRP dan rasio neutrofil limposit mampu
sebagai penanda fase inflamasi akut yang mengindikasikan pembentukan thrombus pada infark
miokardiak akut. Dibandingkan pada pasien infark miokard akut tanpa thrombus, nila HsCRP,
total jumlah neutrofil, dan rasio neutrofil limposit secara substansial lebih tinggi (p<0.05) pada
pasien dengan infark miokard akut dengan pembentukan thrombus (Li et al., 2009). Stratifikasi
resiko dan prediksi nilai luaran yang buruk dapat ditunjukkan pada nilai rasio neutrofil limposit
yang tinggi (Suliman et al., 2010). Tingkat mortalitas saat rawat inap dan enam bulan paska
serangan juga ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada nilai jumlah rasio neutrofil
limposit yang tinggi dibandingkan nilai rasio yang rendah (Tamhane et al., 2008).
Hubungan rasio neutrofil limposit dengan kejadian aritmia juga disampaikan pada beberapa
studi. Terdapat hubungan antara inflamasi dan fibrilasi atrial telah diketahui secara luas (Aviles
et al., 2003). Walaupun banyak penanda inflamasi yang telah diasosiasikan dengan insiden,
rekurensi, dan nilai luaran dari fibrilasi atrium, hubungan antara rasio neutrofil limposit tidak
terlalu ditonjolkan pada kelompok ini. Demikian juga dengan hubungan antara inflamasi dan
penanda inflamasi terhadap aritmia lain, terutama fibrilasi ventrikel, belum dapat dijelaskan
dengan baik, serta bukti-bukti yang ada saat ini masih berupa data yang minimal serta
bertentangan satu sama lain (Blangy et al., 2007, Konstantino et al., 2007). Pada suatu studi
retrospektif pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP), melaporkan adanya
peningkatan jumlah sel leukosit preprosedur, neutrofilia, dan peningkatan nilai rasio neutrofil
31
limposit yang secara signfikan pada pasien yang mengalami aritmia ventrikel (Chatterjee et al.,
2011). Pada studi tersebut seluruh pasien yang mengalami aritmia ventrikel saat IKP
dibandingkan dengan kelompok acak, secara signfikan memiliki nilai leukosit (p=0.0004),
jumlah neutrofil (p<0.0001), dan nilai rasio neutrofil limposit yang tinggi (p,0.0001), namun
bukti studi ini belum cukup untuk menghubungkan rasio neutrofil limposit dan berbagai
Gagal jantung merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan curah
jantung yang dapat disebabkan oleh banyak hal terutama penyakit jantung koroner. Peran rasio
neutrofil limposit pada beberapa studi mempunyai hubungan yang signifikan seperti yang telah
dengan peningkatan insiden rawat inap dan mortalitas (Cooper et al., 1999, Engström et al.,
2009). Pada studi lain, neutropilia mempunyai hubungan dengan peningkatan insiden gagal
jantung dekompensata pada pasien yang sedang mengalami infark miokardiak akut (Arruda-
Olson et al., 2009). Dalam suatu studi retrospektif 92.5% pasien infark miokardiak akut
dengan 45% kasus yang tidak berkembang menjadi gagal jantung kongestif. Untuk rasio
neutrofil limposit, terdapat studi kohort yang menyebutkan penanda tersebut secara signifikan
menunjukkan frekuensi dekompensasi dan mortalitas jangka panjang pada pasien dengan gagal
jantung kongestif. Dalam 26 bulan follow up pada lebih dari 1000 pasien dengan gagal jantung
akut dekompensata, terdapat kecenderungan positif diantara kematian dan rasio neutrofil
limposit yang diobservasi dengan persentasi 32.8, 23.2, dan 14.2% kematian muncul pada
pasien dengan nilai rasio neutrofil limposit secara respektif9.6 (7.6-13.1), 5.1 (4.5-5.8) dan 2.8
(2.2-3.8) (p<0.001). Pada penelitian yang sama, pasien dengan gagal jantung dekompensata
mempunyai nilai rasio neutrofil limposit (>7.6) mempunyai kemungkinan readmisi rawat inap
32
dalam waktu 30 hari lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rasio neutrofil limposit rendah
Neutrofil dan limposit merupakan komponen penanda inflamasi secara umum, sehingga
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruihi jumlah nilai absolut pada penanda ini.
Sehingga hal tersebut dapat muncul sebagai faktor perancu dalam studi yang memiliki nilai
luaran mortalitas dan kejadian kardiovaskular mayor. Beberapa faktor tersebut ialah:
- Jenis kelamin: terdapat studi yang memiliki nilai rasio neutrofil limposit yang lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tesebut dikaitkan dengan tingkat
respon kortisol pada perempuan terhadap stress fisik yang dihadapi lebih tinggi
- Usia: berperan dalam proses inflamasi kronis, didapatkan peningkatan jumlah neutrofil
dan limposit seiring dengan bertambahnya usia (Azab et al., 2014, Dixon and EO'Brien,
2006). Hal ini dimungkinkan karena probabilitas seseorang memiliki satu atau lebih
dikarenakan terdapat kerusakan vaskuler yang berujung pada disfungsi endotel. Hal ini
berlangsung terus menerus dan dapat memicu adanya perubahan rasio neutrofil
- Indeks Massa Tubuh: nilai yang tinggi dapat menjadi tanda munculnya sindroma
metabolik. Hal ini dapat memicu adanya inflamasi sitemik derajat rendah yang
- Infeksi: individu yang secara konstan terpapar oleh mikroba, dan sebagian besar
infeksi. Sistem imun pada manusia berevolusi, terspesialisasi, dan bertanggung jawab
dalam melindungi dari pathogen serta secara efektif dapat mencegah terjadinya infeksi.
Sel-sel ini membentuk pertahanan lini pertama dalam melawan pathogen beserta
bermigrasi secara aktif dari pembuluh darah ke area infeksi. Tugas utama dari neutrofil
telah diketahui secara luas adalah melibatkan penangkapan sel pathogen, internalisasi,
dan proses eliminasi pada ruang dari sel neutrofil (Underhill and Ozinsky, 2002).
Mekanisme tersebut disamping mempunyai efikasi yang tinggi dan efek samping yang
minimal terhadap host, dapat terjadi insufisiensi di dalam melawan infeksi bakteri yang
massif atau serangan sel pathogen. Salah satu mekanisme alternatif ialah melibatkan
Extracellular Traps (Zawrotniak et al., 2017). Walaupun banyak reseptor yang terpapar
pada permukaan neutrofil dan menyebabkan terjadinya aktivasi silang dalam memicu
proses NET (Neeli et al., 2009, Geijtenbeek and Gringhuis, 2009), karena itu jalur
netosis lengkap hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun, beberapa kunci mediasi
telah disampaikan terlibat dalam pembentukan NET dan disimpulkan secara skematik
dalam gambar 4, walaupun proses spesifik dapat bervariasi tergantung dari tipe pemicu
yang muncul.
- Penyakit autoimun: penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematous (SLE), atau
rheumatoid arthritis (RA) serta vaskulitis pembuluh darah kecil, mempunyai hubungan
dengan adanya pelepasan tidak terkontrol dan klirens yang inefektif dari NET (Sangaletti et
al., 2012, Kessenbrock et al., 2009). Jumlah NET yang tinggi dan DNA bebas di sirkulasi
34
DNA dan protein yang berhubungan dengan NET seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.
Gambar 6. Mekanisme molecular pembentukan NET. CLRs, C‐type lectin receptors; CR, complement
receptors; ERK1/2, extracellular signal‐regulated kinases; HTNV, Hantaan virus; ICS, immune
PMA, phorbol myristate acetate; RSV, respiratory syncytial virus; Src, Src kinase; Syk, spleen tyrosine
- Sroke: dalam perjalanan penyakit stroke, telah diketahui bahwa penyakit ini mampu
Gambar 7. Mekanisme pembentukan NET. ALI, acute lung injury; ARDS, acute respiratory distress
elastase; PAD4, protein arginine deiminase 4; RA, rheumatoid arthritis; SLE, systemic lupus
Gambar 8. Stroke menginduksi perekrutan PMN dari sumsum tulang dan limpa. a: Setelah iskemia
serebral, kadar plasma G-CSF, CXCL-1, IL-6 serta PMNsecreted MMP-9 meningkat dan menarik PMN
lebih lanjut dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. b: Rekrutmen PMN didahului dengan fosforilasi
NFkB p65 dan p38 MAPK, mengaktifkan PMN yang berangkat c: Setelah membangun gradien
kemokin, splenosit (makrofag, sel monosit, sel T, sel NK dan PMN) juga dilepaskan ke dalam sirkulasi
dan merupakan populasi sel pro-inflamasi yang memasuki jaringan otak yang meradang. d: Peningkatan
apoptosis splenocyte dan menghambat kapasitas proliferasi sel T e: Cerebral iskemia menghasilkan
peningkatan ekspresi FoxP3 dan jumlah sel T yang menyebabkan imunosupresi limpa disertai dengan
penurunan ekspresi sinyal pro-inflamasi. protein (misalnya IFN-g, TNF-a dan IL-6). Singkatan: CXCL-
1: motif Chemokine (C-X-C) ligan-1; CXCR-2: CXC kemokin reseptor-2; FoxP3: Kotak Forkhead P3;
G-CSF: Granulocytecolony faktor stimulasi; IFNg: Interferon gamma; IL-6: Interleukin-6; MAPK:
kappalight- penambah rantai sel B aktif; Sel NK: Sel pembunuh alami; TNF-a: Tumor necrosis factor-