Oleh:
FENTI DIAH HARIYANTI
115070201111002
Kelompok 14
sistolik
maupun
diastolik,
abnormalitas
irama
jantung,
atau
3) Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung saat
ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea,
fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
4) Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul
saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap.
Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4 kelas
berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional yaitu :
1) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik.
2) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa
nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau
angina dengan aktivitas biasa.
3) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa
nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau
angina dengan aktivitas biasa ringan.
4) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas fisik
apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang
paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau
hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler
dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi
penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar
10% dan kardiomiopati sebanyak 10% (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,
McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 208)
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung
secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal dengan ketiadaan penyakit
jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya]
yang berperan terjadinya abormalitas miokard (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,
McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 2008).
Menurut Joseph (2009) penyebab umum ADHF biasaya berasal dari ventrikel
kiri, disfungsi diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery Disease (CAD), dan
abnormalitas valvular. Meskipun sebagian pasien ADHF adalah pasien dengan
riwayat Heart Failure (HF) dan jatuh pada kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya
yang dinyatakan ADHF tidak memiliki diagnosa HF sebelumnya.
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure tahun 2008, penyebab umum gagal jantung karena penyakit otot jantung
adalah sebagai berikut :
Penyakit Jantung Koroner
Hipertensi
Banyak Manifestasi
Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kanan
Kardiomiopati
Obat obatan
Toksin
Endokrin
arsenik)
Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism, Cushing
syndrome, adrenal insufficiency, excessive growth
Nutrisional
hormone, phaeochromocytoma
Defisiensi thiamine, selenium, carnitine. Obesitas,
Infiltrative
kaheksia
Sarcoidosis,
Lainnya
amyloidosis,
infeksi
haemochromatosis,
HIV,
peripartum
Faktor risiko :
Faktor presipitasi kardiovaskular
a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
b. Sindroma koroner akut
Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang bertambah
luas dan disfungsi sistemik
Komplikasi kronik IMA
Infark ventrikel kanan
c. Krisis Hipertensi
d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia
supraventrikuler, dll).
e. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi
f.
g. Tamponade jantung
h. Diseksi aorta
i. Kardiomiopati pasca melahirkan
Faktor presipitasi non kardiovaskuler
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Volume overload
Infeksi terutama pneumonia atau septikemia
Severe brain insult
Pasca operasi besar
Penurunan fungsi ginjal
Asma
Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol
Feokromositoma
(Putra, 2012)
4. PATOFISIOLOGI
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung
kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi
pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi
ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini
beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan
pada jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi
remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan
disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga
menurunkan curah jantung (Price, 2005).
Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme
neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini
melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan
menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya
telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar
tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai
ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga
muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF
(Price, 2005).
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi
miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan
penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan
kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri)
akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena
penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran
balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru paru. B
endungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru
sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan
pertukaran gas di paru paru (Price, 2005).
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh
akan melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA
untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh
tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan
memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan
aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin
angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak
diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi,
sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer (Price,
2005).
Sedangkan menurut Mc.Bride BF, White M, dalam Acute Decompensated
Heart
Failure:
Pathophysiology
tahun
2010
patofisiologi
ADHF
yakni
Gejala
Tanda
Dominan
Edema perifer/ kongesti
Edema
Anoreksia
peningkatan
Perifer,
vena
jugularis,
edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
Edema pulmonal
(kongesti), kaheksia
Crackles atau rales pada
saat istirahat
Konfusi,
kelemahan,
output syndrome)
Takikardia,
takipnea
Perfusi
perifer
buruk,
Systolic
Pressure
90mmHg,
Tekanan
darah
(gagal
tinggi
Sesak napas
jantung
yang
oliguria
Biasanya
peningkatan
Blood
(SBP)
anuria
<
atau
terjadi
tekanan
hipertensif)
kiri
Bukti disfungsi ventrikel
perifer,
kongesti
usus.
Menurut
The
Consensus
Guideline
in
The
Management
of Acute
Reflex hepatojugular
j.
Asites
k. Edema perifer
Hipoperfusi
a. Kelelahan
b. Perubahan status mental
c. Penyempitan tekanan nadi
d. Hipotensi
e. Ekstremitas dingin
f.
sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat badan.
Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas karena
darah
tidak
dapat
mencapai
jaringan
dan
organ
(perfusi
rendah)
untuk
Lelah
Angina
Cemas
penurunan aktifitas GI
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain :
Dyspnea
Batuk
Orthopnea
Rales paru
Edema perifer
jantung
dan
peningkatan
kontraksi.
Tonus
simpatis
membantu
2. Retensi air dan natrium >> Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume
darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan menahan natrium dan air
dengan cara demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central dan
aliran balik vena.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
1) Laboratorium :
SGPT.
Gula darah.
Kolesterol, trigliserida.
Analisa Gas Darah
Edema alveolar.
Edema interstitials.
Efusi pleura.
Pelebaran vena pulmonalis.
Pembesaran jantung.
Echocardiogram menggambarkan ruang ruang dan katup jantung
Radionuklir.
Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.
Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
4) Pemantauan
Hemodinamika
(Kateterisasi
Arteri
Pulmonal
Multilumen)
bertujuan untuk :
ventrikel kiri).
Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri coroner)
5) Echocardiogram - Menggambarkan ruang ruang dan katup jantung
(Putra, 2012)
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Tirah Baring
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap
akut dan sulit disembuhkan.
2) Pemberian diuretik
Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon
pembatasan aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran
balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat.
4) Terapi vasodilator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal
jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki pengosongan ventrikel dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat
diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.
5) Terapi digitalis
Digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas
(inotropik) jantung dan memperlambat frekuensi ventrikel serta peningkatam
efisiensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkan seperti : peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah, dan peningkatan diuresis
yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema.
6) Inotropik positif
Dopamin >> Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alphaadrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan
keluarnya
katekolamin
dari
sisi
penyimpanan
saraf.
Memperbaiki
Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan komterpulasi balon intra
aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner,
memperbaiki isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel
kiri.
Menurut Heart Failure Society of America tahun 2010, terapi untuk pasien ADHF
dapat berangkat dari goal treatment di bawah ini :
Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika pasien dapat
memenuhi kriteria di bawah ini :
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak
pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ;
Takikardia , Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi
secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4
dapat, terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan
diastolic, Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ;
pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ;
pembesaran/dapat teraba, Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ;
mungkin dependen, umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
signifikan,
pembengkakan
pada
ekstremitas
bawah,
3) INTERVENSI
No.
1.
Diagnosa
keperawatan
Penurunan
hasil
Intervensi
NIC :
Pump Cardiac Care
curah jantung
1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,lokasi, durasi)
effectiveness
berhubungan
2. Catat adanya disritmia jantung
2. Circulation
3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
dengan
Status
4. Monitor status kardiovaskuler
Perubahan
3. Vital Sign Status 5. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal
kontraktilitas
miokardial/peru
bahan
inotropik.
NOC :
1. Cardiac
jantung
diberikan 6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan perfusi
7. Monitor balance cairan
asuhan
8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
keperawatan selama 9. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
.x. diharapkan
antiaritmia
10.
Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari
tanda vital dalam
Setelah
batas
kelelahan
11. Monitor toleransi aktivitas pasien
(disritmia 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
atau 13. Anjurkan untuk menurunkan stress
yang
diterima
terkontrol
dapat
Bersihan
jalan NOC :
NIC :
nafas
tidak 1. Respiratory
Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
berhubungan
Ventilation
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
2. Respiratory
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
dengan
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
status : Airway
penurunan
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
patency
reflek
batuk,
memfasilitasi suksion nasotrakeal
3. Aspiration
6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
penumpukan
Control
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
secret.
Setelah
diberikan
kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
asuhan keperawatan 8. Monitor status oksigen pasien
9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction
selama
.x.
10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
diharapkan
klien
menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
dapat menunjukkan
Airway Management
keefektifan
jalan
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust
napas
bila perlu
Kriteria Hasil :
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
1. Mendemonstrasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas
kan batuk efektif
buatan
dan suara nafas 4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
yang
bersih,
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
tidak
ada 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
sianosis
dan
9. Berikan bronkodilator bila perlu
dyspneu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
(mampu
12. Monitor respirasi dan status O2
mengeluarkan
efektif
status
sputum, mampu
bernafas dengan
mudah, tidak ada
pursed lips)
2. Menunjukkan
jalan nafas yang
paten (klien tidak
merasa tercekik,
irama
nafas,
frekuensi
pernafasan
dalam
rentang
nafas
abnormal)
3. Mampu
mengidentifikasik
an
dan
mencegah factor
yang
dapat
menghambat
jalan nafas
3.
Gangguan
pertukaran gas
berhubungan
dengan edema
paru
NOC :
1. Respiratory
NIC :
Airway Management
1. Pasang mayo bila perlu
Status : Gas
2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
exchange
3. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
2. Respiratory
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
5. Lakukan suction pada mayo
Status
:
6. Berika bronkodilator bial perlu
ventilation
7. Berikan pelembab udara
3. Vital Sign Status 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Setelah diberikan 9. Monitor respirasi dan status O2
asuhan
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata rata, kedalaman, irama dan usaha
keperawatan
selama
.x.
diharapkan
otot
gangguan
pertukaran
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
gas
teratasi
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasi
tambahan,
retraksi
otot
supraclavicular
dan
intercostals
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
bersih,
tidak
ada
sianosis
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan
sputum, mampu
bernafas dengan
mudah, tidak ada
pursed lips)
4. Tanda tanda vital
dalam
rentang
normal
4.
Kelebihan
volume
cairan
berhubungan
dengan
menurunnya
laju
filtrasi
glomerulus,
meningkatnya
produksi
dan
ADH
retensi
natrium/air.
NOC :
1. Electrolit
NIC :
and Fluid management
1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
acid
base
2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
balance
3. Pasang urin kateter jika diperlukan
2. Fluid balance
4. Monitor hasil Lab yang sesuai dengan retensi cairan
3. Hydration
(BUN, Hmt , osmolalitas urin )
5. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP,
Setelah
diberikan
dan PCWP
asuhan
6. Monitor vital sign
keperawatan selama 7. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP ,
edema, distensi vena leher, asites)
.x. diharapkan
8. Kaji lokasi dan luas edema
keseimbangan
9. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori
volume cairan dapat
harian
10.
Monitor status nutrisi
dipertahankan
11. Berikan diuretik sesuai interuksi
Kriteria hasil
12. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi
1. Terbebas
dari
dengan serum Na < 130 mEq/L
edema,
anaskara
2. Bunyi
memburuk
nafas
Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
eliminasi
2. Tentukan
ortopneu
3. Terbebas
dari
distensi
faktor
resiko
dari
ketidak
vena
jugularis,
kemungkinan
reflek 3.
4.
hepatojugular (+)
5.
4. Memelihara
6.
tekanan
vena 7.
sentral, tekanan
jantung
8. Monitor parameter hemodinamik infasif
paru,
9. Catat secara akutar intake dan output
jantung 10. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan
kapiler
output
dan
vital
dalam
sign
penambahan BB
11. Monitor tanda dan gejala dari edema
batas
12. Beri obat yang dapat meningkatkan output urin
normal
5. Terbebas
dari
kelelahan,
kecemasan atau
kebingungan
6. Menjelaskan
indikator
kelebihan cairan
5.
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
NOC :
1. Energy
Conservation
2. Self Care : ADLs
dengan
kelemahan
Setelah
diberikan
NIC :
Energy Management
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas
2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap
keterbatasan
3.
Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
asuhan
4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
keperawatan selama 5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
.x. diharapkan
secara berlebihan
6.
Monitor respon kardiovaskuler terhadap aktivitas
terjadi peningkatan
7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
toleransi pada klien
setelah
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
dilaksanakan
tindakan
aktivitas
tanpa
dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai
4.
disertai
aktivitas
hari
sehari
(ADLs)
penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
secara mandiri
4) IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilaksanakan.
5) EVALUASI
Dx 1
: tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol/hilang)
Dx 2
: kepatenan jalan nafas pasien terjaga
Dx 3
: dapat mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat
Dx 4
: keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan
Dx 5
: terjadi peningkatan toleransi pada klien
FOTO THORAX
A. Definisi Foto thorax
Foto thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu proyeksi
radiografi dari thorax untuk mendiagnosis kondisi-kondisi yang mempengaruhi thorax, isi
dan struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax menggunakan radiasi terionisasi dalam
bentuk x-ray. Dosis radiasi yang digunakan pada orang dewasa untuk membentuk
radiografi adalah sekitar 0.06 mSv.
Foto thorax digunakan untuk mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan
dinding thorax, tulang thorax dan struktur yang berada di dalam kavitas thorax termasuk
paru-paru, jantung dan saluran-saluran yang besar. Pneumonia dan gagal jantung
kongestif sering terdiagnosis oleh foto thorax. CXR sering digunakan untuk skrining
penyakit paru yang terkait dengan pekerjaan di industri-industri seperti pertambangan
dimana para pekerja terpapar oleh debu.
Secara umum kegunaan foto thorax/ CXR adalah:
misalnya jantung dan pembuluh darah besar, serta pernapasan berupa diafragma
dan aerasi paru-paru.
2. Rontgenography
Adalah pembuatan foto rontgen thorax, yang biasanya dibuat dengan arah
postero-anterior (PA) dan lateral bila perlu. Agar distorsi dan magnifikasi yang
diperoleh menjadi sekecil mungkin, maka jarak antara tabung dan film harus 1,80
meter dan foto dibuat sewaktu penderita sedang bernapas dalam (inspirasi
maksimal).
3. Bronchography
Adalah pemeriksaan percabangan bronkus, dengan cara mengisi saluran
bronchial dengan salah satu bahan kontras yang bersifat opaque (menghasilkan
bayangan putih pada foto). Bahan kontras tersebut biasanya mengandung jodium
(lipiodol, dionosil, dsb).
Indikasi pemeriksaan ini misalnya pada bronkiektasis untuk meneliti letak,
luas, dan sifat bagian-bagian bronkus yang melebar dan pada tumor yang terletak
dalam lumen bronkus (space occupying lesions), yang mungkin mempersempit
bahkan menyumbat sama sekali bronkus bersangkutan.
4. Tomography
Istilah lainnya adalah Plannigrafi, Laminagrafi, atau Stratigrafi. Pemeriksaan
lapis demi lapis dari rongga dada, biasanya untuk evaluasi adanya tumor atau
atelektase yang bersifat padat.
7. Angiocardiography
Adalah pemeriksaan untuk melihat ruang-ruang jantung dan pembuluh darah
besar dengan sinar rontgen (fluoroskopi atau rontgenografi), dengan menggunakan
suatu bahan kontras radioopaque, misalnya Hypaque 50% dimasukkan dalam salah
satu ruang jantung melalui kateter secara intravena.
C. Indikasi Pemeriksaan Foto Thorax
Indikasi dilakukan antara lain :
1. Infeksi traktus respirasi bawah (TBC Paru, Bronkitis, Pneumonia)
2. Batuk kronis / berdarah
3. Trauma dada
4. Tumor
5. Nyeri dada
6. Metastase neoplasma
7. Penyakit paru kerja
8. Aspirasi benda asing
9. Persiapan pasien pre-operasi
10. Pemeriksaan berkala (follow up) yang objektif
Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan supaya
scapula tidak menutupi parenkim paru.
2. Posisi AP (Antero Posterior)
Dilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang tidak koorperatif. Film
diletakkan dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim paru. Jantung
juga terlihat lebih besar daripada posisi PA.
Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah proyektil lateral
kiri kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di sebelah kanan, maka dibuat
proyeksi lateral kanan, berarti sebelah kanan terletak pada film. Foto juga dibuat
dalam posisi berdiri
4. Posisi lateral decubitus
Foto ini hanya dibuat pada keadaan tertentu, yaitu bila klinis diduga ada cairan
bebas dalam cavum pleura, tetapi tidak terlihat pada posisi PA atau lateral. Penderita
terbaring pada satu sisi (kanan atau kiri). Film diletakkan di punggung penderita dan
diberikan sinar dari depan arah horizontal.
Foto ini dibuat pada foto PA bila menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
pada daerah kedua apex paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya hanya dibuat setelah
foto rutin diperiksa dan bila ada kesulitan menginterpretasikan suatu lesi di apex.
6. Foto Oblique Iga
rutin diperiksa dan bila ada kesulitan dalam menginterpretasikan suatu lesi di apeks
paru.
7. Posisi ekspirasi
Adalah foto thorax PA atau AP yang diambil pada saat penderita dalam
ekspirasi penuh.
Hanya dibuat
pneumothorax yang diduga secara klinis atau suatu benda asing yang terinhalasi.
E. Kriteria Kelayakan Foto
Kriteria foto thorax yang baik harus memenuhi :
1.
2.
3.
4.
5.
terlihat jelas
6. Inspirasi maksimum, kosta VI memotong diafragma ditengah ditengah
7. Film harus kontras, ada perbedaan hitam dan putih sehingga ada gradasi densitas
tulang dan jaringan lunak
Foto thorax harus memenuhi beberapa criteria tertentu sebelum dinyatakan layak
baca. Di antara lain :
1. Faktor Kondisi
Yaitu faktor yang menentukan kualitas sinar-X selama di kamar rontgen (tempat
expose). Faktor kondisi meliputi hal-hal berikut yang biasa dinyatakan dengan menyebut
satuannya.
Cukup / normal
Dalam membuat foto thorax ada dua kondisi yang dapat sengaja dibuat, tergantung
bagian mana yang ingin diperiksa yaitu :
a. Kondisi pulmo (kondisi cukup) foto dengan kV rendah
Inilah kondisi standard pada foto thorax, sehingga gambaran parenkim dan
corakan paru dapat terlihat. Cara mengetahui apakah suatu foto rontgen pulmo
kondisinya cukup atau tidak :
2. Inspirasi Cukup
Foto thorax harus dibuat dalam keadaan inspirasi cukup. Cara mengetahuinya adalah :
a. Foto dengan inspirasi cukup :
Diafragma setinggi VTh X (dalam keadaan expirasi diafragma setinggi VTh VIIVIII)
3. Posisi Sesuai
Seperti telah diterangkan di atas, posisi standard paling banyak dipakai adalah
PA dan lateral. Foto thorax biasanya diambil dalam posisi erect.
Cara membedakan foto thorax posisi AP dan PA adalah :
Pada foto AP scapula terletak dalam bayangan thorax sementara pada foto PA
scapula terletak di luar bayangan thorax
Untuk foto PA label terletak sebelah kiri foto sementara pada foto AP label terletak di
sebelah kanan foto
Supine
4. Simetris
Jarak antara sendi sternoklavikularis dekstra dan sinistra terhadap garis median
adalah sama. Jika jarak antara foto kanan dan kiri berbeda maka foto tidak simetris.
5. Foto thorax tidak boleh terpotong.
F. Interpretasi Foto Thorax
Cara sistematis membaca foto thorax antara lain :
Cek apakah sentrasi foto sudah benar dan foto dibuat saat penderita inspirasi penuh.
Foto yang dibuat pada waktu ekspirasi bisa menimbulkan keraguan karena bisa
menyerupai suatu penyakit misalnya kongesti paru, kardiomegali, atau mediastinum
melebar. Kesampingkan bayangan yang terjadi karena rambut, pakaian, atau lesi kulit.
Cek apakah eksposure sudah benar (bila sudah diperoleh densitas yang benar, maka
jari yang diletakkan di belakang daerah hitam pada foto tepat dapat terlihat). Foto
Setelah dibuat garis-garis seperti di atas selanjutnya kita hitung menggunakan rumus
perbandingan :
Apex cordis terangkat lepas dari diafragma pada pembesaran ventrikel kanan
4. Pada Pulmo :
a. Oedema Paru
TB Paru
Pneumonia
Tampak perselubungan homogen pada lapangan paru sebelah kiri yang menutupi
batas kiri jantung, diafragma, dan sinus disertai dengan shift midline ke kiri.
-
Pada kolaps keseluruhan paru tampak opaque dan ada pergeseran hebat pada
mediastinum dan trakea
f.
Bayangan garis
- Biasanya tidak lebih tebal dari garis pensil, yang terpenting adalah garis septal,
dapat terlihat pada limfangitis Ca.
g. Sarkoidosis
- Terlihat limfadenopati hilus dan paratrachealis
- Bayangan retikulonodularis pada paru.
h. Fibrosis paru
- Bayangan kabur pada basis paru yang menyebabkan kurang jelasnya garis bentuk
pembuluh darah,kemudian terlihat nodulus berbatas tak jelas dengan garis
-
penghubung.
Volume paru menurun, sering jelas, dan translusensi sirkular terlihat memberikan pola
yang dikenal sebagai paru sarang tawon, kemudian jantung dan arteria pulmonalis
membesar karena semakin parahnya hipertensi pulmonalis.
i.
Neoplasma
Bayangan bulat dengan tepi tak beraturan berlobulasi dan tepi infiltrasi
5. Pada Pleura :
a. Efusi Pleura
Terlihat cairan mengelilingi paru, lebih tinggi di lateral daripada medial, juga
dapat berjalan ke dalam fissure terutama ke ujung bawah fissure oblique
b. Fibrosis Pleura
- Penampilannya serupa dengan cairan pleura, tetapi selalu lebih kecil daripada
bayangan asli. Sudut costophrenicus tetap terobliterasi.
c. Kalsifikasi Pleura
- Plak kalsium tak teratur, dapat terlihat dengan atau tanpa disertai penebalan pleura
d. Pneumothorax
Garis pleura yang membentuk tepi paru yang terpisah dari dinding dada,
e.
Hematothorax
Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber darah mungkin
dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Meskipun beberapa
penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit setidaknya 50% diperlukan untuk
membedakan hematotoraks dari efusi pleura berdarah, sebagian besar tidak setuju
pada setiap perbedaan yang spesifik. Biasanya akibat dari trauma tumpul atau
penetrasi. Lebih jarang, mungkin merupakan komplikasi dari penyakit, dapat induksi
iatrogenik, atau mungkin berkembang secara spontan.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. 2005. In-hospital mortality in patients with acute
decompensated heart failure requiring intravenous vasoactive medications: an analysis
from the Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE). J Am Coll
Cardiol. 2005 ;46:5764.
Armstrong Peter, L.Wastie Martin. 1989. Pembuatan Gambar Diagnostik. Jakarta : EGC.
Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. 2006. Applying Consensus Guidelines in the
Management of acute decompensated heart failure. California : 41st ASHP Midyear
Clinical Meeting. www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al. 2008. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008.
European
Journal
of
Heart
Failure
[serial
on
the
internet].
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH. Diakses
pada tanggal 24 Oktober 2015.
Hanafiah, A. 2006. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Heart Failure Society of America. 2010. Evaluation and management of patients with acute
decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart failure practice
guideline. J Card Fail. 2010;16:e134-e156.
Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. 2009. Acute decompensated heart failure:
contemporary medical management. Tex Heart Inst J. 2009 ;36:510520.
Kirk JD. 2004. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification
Aand Treatment. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of
Pennsylvania. www.emcreg.org. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Lindenfeld J. 2010. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart
Failure.
Journal
of
Cardiac
Failure.
http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guideline_se
c_12.pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Mc.Bride BF, White M. 2010. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology. Journal of
Medicine. http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3. Diakses pada tanggal 24
Oktober 2015.
Nasuution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Jakarta: EGC
Palmer P.E.S, Cockshott W.P, Hegedus V, Samuel E. 1995. Manual of Radiographic
Interpretation for General Practitioners (Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum).
Jakarta : EGC,Pinto DS, Lewis S. 2012. Pathophysiology of acute decompensated heart
failure. In: Basow DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate
Price A.S Wilson L.M. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit-edisi 6. Jakarta :
ECG.
Putra, Semara. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF. Jakarta : ECG.
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Rusdi Gazali,Malueka. 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
Sjahriar, Rasad . 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tallaj JA, Bourge RC. 2003. The Management of Acute Decompensated Heart Failure.
Birmingham : University of Alabama. http://www.fac.org.ar. Diakses pada tanggal 24
Oktober 2015.