Anda di halaman 1dari 4

Ratih Winaswari/ 13811180/A8

1. Etiologi:
a. Disfungsi sistolik (pengurangan massa otot)
Misalnya pada infark miokard, dilatasi kardiomiopati, hipertrofi ventrikuler yang dapat terjadi karena
tekanan yang berlebihan (hipertensi sitemik atau pulmoner) dan volume yang berlebihan.
b. Disfungsi diastolik
Dapat terjadi karena peningkatan kekakuan pembuluh darah akibat hipertrofi ventrikular (hipertrofi
kardiomiopati), penyakit miokardial (amiloidosis, sarcoidosis, fibrosis endomiokardial), serta infark
dan iskemia miokard. Penyebab lain dapat disebabkan karena stenosis katup trikuspidalis atau
mitral, penyakit perikardial (perikarditis)(1).
Patofisiologi :
Gagalnya mekanisme kompensasi jantung. Kompensasi ini meliputi:
a. takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sisitem syaraf simpatis,
b. mekanisme frank starling
c. vasokonstriksi
d. hipertrofi ventrikular dan remodelling.
Kompensasi ini dimaksudkan sebagai respon jangka pendek untuk mempertahankan sirkulasi
homeostasis setelah adanya pengurangan tekanan darah atau perfusi ginjal(1).
Tanda dan gejala :
dispnea, orthopneam paroxysmal nocturnal dispnea, tachypnea, batuk, kelelahan, hemoptisis, nyeri
abdomen, anoreksia, mual, nafsu makan berkurang, ascites, perubahan status mental, edema
pulmoner, efusi pleura, takikardi, kardiomegali, edema perifer, hepatomegali, berdasarkan tes
labortorium : BNP > 100 pg/ ml, elektrokardiogram bisa saja normal tetapi terdapat abnormalitas
perubahan gelombang ST-T akibat iskemia, atrial fibrilasis, bradikardi, hipertrofi ventrikel kiri, serum
kreatinin meningkat karena hipoperfusi(1).
Faktor resiko :
Riwayat penyakit arteri koroner, hipertensi, diabetes mellitus, arteriosklerosis, kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan kardiak (merokok, penggunaan alkohol, kokain, amfetamin)(2).
Diagnosis :
Tidak ada tes yang tersedia untuk memastikan diagnosis gagal jantung, karena sindrom gagal jantung
dapat disebabkan atau diperburuk oleh penyakit kardiak atau non kardiak.
Gejala dan tanda yang muncul tidak dapat dipastikan sebagai gagal jantung karena gejala tersebut
juga dapat muncul pada penyakit lain. Namun riwayat, uji fisik dan tes laboratotium dapat mendukung
diagnosis gagal jantung(1). Penegakan diagnosis gagl jantung juga dapat didukung dengan:
a. EKG
Adanya kenaikan segemen ST-T secara persisten dalam waktu 6 minggu atau lebih setelah infark
miokard menunjukkan adanya aneurime ventriculer, iskemia, hipertrofi atrial
b. Sonogram
Mampu mennjukkan perubahan dan fungsi/ struktur katub atau penurunan kontraktilitas ventricular.
c. Scan jantung
Memperkirakan pergerakan dinding jantung(2).
2. Klasifikasi gagal jantung:
Klasifikasi CHF menurut AHA (American Heart Association:
a. Stage A:
Pasien dengan resiko tinggi mengalami gagal jantung, biasanya pada orang yang mengalami
hipertensi, penyakit arteri koroner atau penyakit arterosklerosis vaskuler, diabetes, obesitas, dan
sindrom metabolik.
Terapi :
Kontrol faktor resiko, jika pasien merokok hentikan merokok, jika pasien memiliki hipertensi,
diabetes atau penyakit arterosklerosis dapat diterapi sesuai dengan penyakitnya  jika pasien
memiliki penyakit arterosklerosis (koroner, cerebral, periferal) arau diabetes dapat diberikan ACEi
atau ARB
b. Stage B :
Terjadi gangguan struktural jantung tapi belum ada tanda dan gejala gagal jantung, biasanya pada
pasien dengan riwayat infark miokard, hipertrofi ventrikular, disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Terapi:
Treatment seperti stage A, dilihat jika pasien pernah mengalami IM, remodelling ventrikel kiri
asimptomatik terapi ACEI atau ARB dan β- blocker, jika pasien intoleran terhadap ACEI diberikan
ARB
c. Stage C:
Terjadi gangguan struktural jantung dan pasien sudah menunjukkan tanda dan gejala, biasanya
terjadi disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Terapi :
Awali dan dititrasi ACEI dan β-blocker, jika ada retensi cairan gunakan diuretik, jika gejala membaik
maka monitoring jangka panjang, jika tidak dapat diberikan ARA, ARB, digoksin, hidralazin/ ISDN.
Selama terapi dilihat apakah ada kelebihan volume darah yang persisten, jika ya maka diberikan
terapi diuretik agresif, jika ada hipertensi persisten maka diberikan ARB, hidralazin, ISDN,
amlodipin atau felodipin, jika ada angina konkomitan gunakan nitratm amlodipin atau felodipin(1).
d. Stage D:
Gagal jantung refraktoru yang membutuhkan perlakuan khusus, tidak bisa terlepas dari alat
mekanis atau terapi inotropik.
Terapi:
Alat sirkulatori mekanik, terapi inotropik positif secara intravena, transplantasi jantung(1).
Klasifikasi CHF menurut NYHA (New York Heart Association) berdasarkan aktivitas fisik:
a. Kelas I
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan gejala. Tidak ada pembatasan untuk aktivitas fisik.
b. Kelas II
Aktivitas fisik biasa dapat menimbulkan gejala. Aktivitas fisik sedikit dibatasi.
c. Kelas III
Aktivitas fisik kurang dapat menimbulkan gejala. Aktivitas fisik sangat dibatasi
d. Kelas IV
Timbul gejala saat istirahat. Pasien tidak melakukan aktivitas fisik
Mekanisme kerja obat gagl jantung:
a. Diuretik
Menurunkan volume plasma dan selanjutnya menurunkan venous return ke jantung (preload). Ini
mengurangi beban kerja jantung dan oksigen. Diuretik juga menurunkan afterload dengan
mengurangi vulume plasma(3).
b. Vasodilator
Mengurangi preload (volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole) dan afterload (tekanan
yang harus dilakukan jantung ketika memompa darah) yang berlebihan
c. ACEI
Menghambat enzim dari angiotensin I membentuk angiotensin II, sehingga mengurangi aldosteron
dan terjadi penurunan retensi natrium dan air.
d. Obat-obat ionotropik
Meningkatkan kontraksi jantung dan meningkatkan curah jantung. Terdiri dari digitalis :
mempengaruhi aliran ion natrium dan kalsium dalam otot jantung sehingga meningkatkan miokard
arterial dan ventrikel, contoh : digoksin.
e. Agonis β-adrenergik
Memperbaiki kemampuan jantung dengan efek ionotropik spesifik dalam vasodilatasi, contoh :
dobutamin. Inhibitor fosfodiesterase : memacu konsentrasi intrasel siklik-AMP sehingga
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung, contoh amrinon dan
milrinon(3).
f. ARB
Memblok reseptor angotensin II, contoh : valsartan.
g. Antagonis aldosteron
Memblok reseptor mineralokortikoid, sehingga menghambat reabsorbsi natrium dan ekskresi
potassium/ kalium. Contoh : spironolakton.
h. Nitrat
Meningkatkan siklik guanosin monofosfat di otot polos pembuluh darah sehingga terjadi venodilator
dan menurunkan preload. Hidralazin : vasodilator langsung pada sebagian besar otot polos arteri
sehingga menurunkan SVR dan meningkatkan SV dan CO(1)
3. Mekanisme toksisitas digoksin:
a. Efek langsung
Pada sel atrium dan ventrikel, potensial aksi serta periode refrakter memendek karena peningkatan
Ca2+ intraselular menstimulasi kanal kalsium. Konsentrasi yang toksik menyebabkan depolarisasi
(akibat inhibisi pompa Na+), dan tampak oscillatory depolarizing afterpotentials setelah potensial
aksi normal (disebabkan oleh Ca2+ intraseluler yang meningkat). Bila afterpotential yang tertunda
mencapai ambang batas, maka akan terjadi potensial aksi dan menyebabkan “denyut ektopik”.
Dengan toksisitas yang meningkat, denyut ektopik tersebut selanjutnya membangkitkan denyut
lain, menyebabkan aritmia yang dipertahankan sendiri (takikardia ventrikular), yang bisa berlanjut
menjadi fibrilasi ventrikular
b. Efek tidak langsung
Digoksin meningkatkan aktivitas vagus sentral dan memfasilitasi transmisi muskarinik pada
jantung. Hal ini:
1) Memperlambat frekuensi jantung
2) Memperlambat konduktansi atrioventrikular
3) Memperpanjang periode refrakter nodus atrioventrikular
Penggunaan digoksin adalah karena efeknya pada fibrilasi atrium, namun pada kadar toksik terjadi
blok jantung(8).
Efek Toksin digoksin dan TDM:
Efek toksik digoksin dapat berupa kematian, aritmia, gangguan gastrointestinal, abnormalitas sistem
syaraf pusat. Toksisitas terjadi tidak hanya terkait dengan dosis tetapi juga terkait dengan terapi lain
(diuretik hemat kalium) atau kondisi tertentu (ketidakseimbangan renal. Iskemia, amiloidosis kardiak) (4).
Pemantauan kadar digoksin dilakukan untuk memantau kadar digoksin yang tepat diberikan kepada
pasien. Hal ini disebabkan digoksin memiliki range theurapetic sempit dan variasi farmakokinetik yang
besar pada masing- masing individu.
TDM (Therapetic Drug Monitoring) yang dilakukan adalah dengan menilai kepatuhan pasien,
monitoring toksisitas, mengetahui faktor- faktor yang dapat mengubah farmakokinetik digoksin
(terutama terkait fungsi ginjal dan toksisitas obat)(5).
4. Kriteria obat yang membutuhkan TDM :
a. Obat- obat yang memiliki indeks terapetik yang sempit, obat dengan variasi farmakokinetik
b. Obat- obat yang konsentrasi targetnya sulit untuk dimonitoring,
c. Obat yang diketahui dapat menyebabkan adverse effect(6).
Pentingnya dilakukannya TDM :
TDM dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi yang layak dari obat- obatan untuk
mengoptimalkan outcome klinis pada pasien dengan berbagai kondisi klinis(6).
5. Assessment DRP :
 Overdosis: digoksin
Dosis digoksin yang diberikan adalah 0,25 mg 1 kali sehari, dosisnya diturunkan menjadi 0,125
mg satu kali sehari.
Rute pemberian yang digunakan diubah dari intravena menjadi oral untuk menghindari
ketoksikan digoksin. Untuk sementara waktu digoksin dihentikan penggunaannya, setelah 8
hari dihentikan (hari ke-11 perawatan) digoksin dapat digunakan kembali(5,9).
 Reaksi efek samping: Captopril ,
Berdasarkan kasus, kadar kreatinin pasien sudah tinggi pada saat pertama kali masuk rumah
sakit, dan semakin tinggi pada pemeriksaan hari berikutnya. Captopril jangka panjang akan
menurunkan nilai GFR pasien, maka captopril diganti dengan golongan nitrat yaitu isosorbid
dinitrat (ISDN), digunakan 3-4 kali sehari dengan dosis 20 mg. ISDN tidak memiliki resiko
gangguan pada ginjal(10).
Assessment non DRP :
-
6. Care Plan:
Terapi :
a. Digoksin dosis 0,125 mg 1x1 hari per oral, diminum sebelum atau sesudah makan
b. Isosorbid dinitrat (ISDN) 20 mg 3x 1 hari digunakan saat perut kosong ½ jam sebelum makan
c. Bisoprolol tablet 5 mg 1 x 1, diberikan sebelum atau sesudah makan
d. Furosemida tablet 40 mg 1 x 1, diberikan sebelum atau sesudah makan
e. Aspar K 1 x 1.
Monitoring:
Efektivitas dan efek samping dari masing- masing obat yang diberikan. Terutama pada penggunaan
digoksin harus dimonitoring terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kemungkinan
terjadinya hipokalemia jika terjadi toksisitas digoksin pada pasien. Toksisitas yang dapat muncul
adalah takikardi, mual, muntah, gangguan penglihatan, kebingungan, hiperkalemia berat. Selain itu
perlu dimonitoring kadar terapetik digoksin agar tidak mencapai >2 ng (range terapetik digoksin 0,8-2)
karena dapat berakibat toksik(4,9).
KIE:
membatasi asupan garam dan air, membatasi makanan tinggi lemak, menurunkan berat badan,
membatasi aktivitas fisik dan hanya boleh melakukan aktivitas fisik yang sangat ringan, posisi
setengah duduk saat tidur.

Daftar Pustaka
1) Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matze, G.C., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, McGraw-Hill Companies, Inc.,
United States of America
2) American Heart Association., 2009., ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of
Heart Failure in Adults: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines, Circulation., United States of America
3) J.M., Mary, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Widya Medika, Jakarta
4) Gheorghiade, Mihai., Adams, Kirkwood F., Adams, Jr., Wilson, S., Colucci., 2004., Digoxin in the
Management of Cardiovascular Disease., Circulation, AHA journals, 2959-2964
5) Shaker, E., et all., 2013., Theurapetics Drug Monitoring and Popilation Pharmacokinetics of Digoxin
in Jordanian Patients., American Journal of Pharmacological Science, vol.1 no.2., 15-21
6) Kang, Ju seop., Lee, Min Ho., 2009., Overview of TheTheurapetic Drug Monitoring., Korean J
Intern Med: (2009) 24 (1): 1-10
7) Gopal, M., Karnath, B.,2009, Clinical Diagnosis of Heart failure, Hospital Physician, 10.
8) Neal, M.J.,2006., At A Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima., Penerbit Erlangga., Jakarta
9) Hakim, L., 2012, Farmakokinetik Klinik, Bursa Ilmu, Yogyakarta
10) Davies, M.K., Gibbs, G.R., 2000, ABC of Heart Failure: Management: Diuretics, ACE Inhibitors,
And Nitrates, BMJ, Vol: 320, 431

Anda mungkin juga menyukai