Anda di halaman 1dari 39

TUGAS CLINICAL REASONING

SKENARIO I

NAMA : FITRI RAMADHANI MILANIA


NPM : 118170070
KELOMPOK: 9A
BLOK : 4.1

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI


FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2020
SKENARIO CR-1
Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke poliklinik Rumah Sakit dengan keluhan sesak
nafas dan mudah lelah.

STEP 1
Keluhan utama sesak nafas dan mudah Lelah

STEP 2
Diagram vein

Sesak Nafas
1. Penyakit Jantung Sesak Nafas &
Mudah Lelah Mudah Lelah
Hipertensi
2. Asma Bronkhial 1. Gagal Jantung
3. Miokarditis 2. Angina 1. Anemia
Pectoralis 2. Fibromyalgia
4. Stenosis Mitral 3. Sindrom
5. Edema paru Koroner Akut
6. Syndrome vena cava superior 4. Kardiomiopati

STEP 3
5. Gagal Jantung
a. Pengertian :
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan sesak napas
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung dan ketidakmampuan jantung
kiri untuk memompa darah memenuhi cardiac output.
b. Etiologi :
Disebabkan oleh banyak hal, seperti :
1) Usia
2) Jenis kelamin

3) Konsumsi garam berlebihan


4) Stress
5) Merokok
6) Obesitas
7) Olahraga tidak teratur
8) Hipertensi
9) Konsumsi alcohol berlebihan
c. Patogenesis :

Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan
pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Aktivasi
sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi
perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II
plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi
miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri
dan kardiomiopati hipertrofik. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan
disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
d. Manifestasi Klinis :

1) Sesak napas dan fatique


2) Nyeri kepala
3) Mual
4) Muntah
5) Edema paru
6) Penurunan curah jantung
7) Hepatomegali
8) Splenomegali
9) Tekanan kapiler paru meningkat
10) Efusi pleura

e. Diagnosis :

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Kriteria framingham dapat dipakai untuk mendiagnosis gagal jantung,
seperti :

Kriteria Major :

1) Edema paru akut


2) Kardiomegali
3) Gallop S3
4) Distensi vena leher
5) Refluks hepatojugularh

Kriteria Minor :

1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Takikardia (lebih dari 120 menit)
4) Efusi pleura
5) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

f. Pemeriksaan Penunjang :

1) Foto thoraks ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic 


50%).
2) EKG didapatkan gambaran abnormal pada penderita gagal jantung seperti
gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium.
3) Darah rutin untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernapas , dan
mengetahui adanya suatu penyakit dasar serta komplikasi.
4) Ekokardiografi menunjukkan gambaran objektif mengenai struktur dan fungsi
jantung.
5) Pemeriksaan radionuklide untuk mengetahui ejection fraction, laju pengisian
sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.

g. Penatalaksanaan :

1) Diuretik oral maupun parenteral tujuan utuma untuk pengobatan gagal jantung.
2) Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya).
3) Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien
dengan hipokalemia.
4) Pemakaian alat bantu seperti Cardiac Resychronization Therapy (CRT), dan
pembedahan.
5) Pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) untuk mencegah awalnya gagal
jantung.

2. Kardiomiopati

a. Pengertian :

Penyakit yang berhubungan dengan miokardium atau otot jantung di mana


terdapat kelainan pada otot jantung secara struktur dan fungsi tanpa adanya penyakit
jantung koroner, hipertensi, atau kelainan katup jantung. Kardiomiopati bersifat
reversibel.
b. Etiologi :
Etiologi kardiomiopati belum diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar
kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat produksi berbagai
macam toksin, zat metabolik atau infeksi. Disebabkan juga karena penggunaan
alkohol, kehamilan, penyakit tiroid, dan keadaan takikardia kronik yang tidak
terkontrol.
c. Patogenesis :
Karena adanya gangguan atau kerusakan miokardium maka sebagai
kompensasi otot jantung, hipertrofi dan rongga jantung membesar. Jaringan ikat
berproliferasi dan menginfiltrasi otot. Miosit jantung yang mengalami kerusakan atau
kematian yang membuat miokard kehilangan fungsinya yang kemudian dapat
mengakibatkan terjadinya gagal jantung, aritmia bahkan kematian mendadak.
d. Manifestasi Klinis :
1) Nyeri dada
2) Dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan sampai tahun
3) Emboli sistemik
4) Aritmia
5) Sesak napas
6) Lelah
7) Nyeri kepala ringan
8) Pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki
e. Diagnosis :
Diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Seperti :
1) Pemeriksaan Fisik :
Pada jantung dapat ditemukan seperti
- Prekordium bergeser ke arah kiri
- Impuls pada ventrikel kanan
- Split pada bunyi jantung kedua
- Gallop ventrikular S3 terdengar bila terjadi dekompensasi jantung
- Gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar presistolik
gallop S4
2) Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat dilatasi
ventrikel kiri
- EKG menunjukkan gambaran sinus takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia
ventrikel, abnormalitas ventrikel kiri
- Ekokardiografi menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding
jantung atau bahkan normal dan menipis
- Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner untuk menyingkirkan
penyakit jantung iskemia dan akan terlihat dilatasi, hipokinetik.
f. Tata Laksana :
1) Pemberian diuretik untuk mengurangi gejala
2) Digoksin pengobatan lini kedua dengan dosis 0,5-0,8 ng/dl.
3) Diet
4) Latihan fisik

3. Penyakit Jantung Hipertensi


a. Pengertian :
Istilah untuk penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventrikel
hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung
kronis (CHF) yang disebabkan oleh peningkatan karena tekanan darah baik secara
langsung maupun tidak langsung.
b. Etiologi :
1) Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung dan menyebabkan
penebalan otot jantung.
2) Stroke
3) Penyakit jantung iskemik
c. Patogenesis :
Secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
neurohormonal terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan tekanan darah dan
tekanan darah malam hari dalam 24jam sebagai faktor dalam berbagai jenis patologi
jantung.
1) Hipertrofi ventrikel kiri :
Sebagai penambahan massa pada ventrikel kiri, dan respon miosit terhadap
berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit
dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan
mekanik dan neurohormonal menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot
jantung.
2) Abnormalitas atrium kiri :
Peningkatan afterload membebani atrium kiri lewat peningkatan tekanan end
diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan untuk meningkatkan tekanan darah yang
menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan
penebalan atrium kiri.
d. Manifestasi Klinis :
1) Nyeri kepala
2) Mimisan
3) Lelah
4) Tekanan darah meningkat
5) Aritmia
6) Sulit tidur
e. Diagnosis :
Diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Seperti :
1) Pemeriksaan Fisik :
- Periksa tekanan darah pasien
- Mengetahui tinggi badan dan berat badan
2) Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan funduskopi
- Tes laboratorium
f. Tata Laksana :
1) Perubahan gaya hidup untuk mencegah hipertensi
2) Menjaga pola makan dan pola hidup

4. Asma Bronkhial
a. Pengertian :
Suatu penyakit dengan meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas
dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
b. Etiologi :
1) Genetik
2) Alergen
3) Stress
4) Aktivitas berat
5) Lingkungan kerja / tempat tinggal
c. Patogenesis :
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan susah bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut, seorang yang alergi mempunyai
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah
besar dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya. Pada asma antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat. Diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema
lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucul yang kental dalam
lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.Pada asma, diameter bronkiolus
lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan
tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena
bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kerusakan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan
barrel chest.
d. Manifestasi Klinis :
1) Batuk
2) Dispnea
3) Rasa nyeri pada dada
4) Gelisah
5) Bernapas dengan cepat
Ada beberapa tingkatan pada asma, yaitu :
1) Tingkat 1 :
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru. Timbul
bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi
bronkial di laboratorium.
2) Tingkat II :
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan
adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
3) Tingkat III :
Tanpa keluhan. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
4) Tingkat IV:
Pasien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing. Pemeriksaan
fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5) Tingkat V :
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat berupa serangan asma akut yang
berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Asma
pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada
asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan,
cyanosis, gangguan kesadaran, takikardia.
e. Diagnosis :
Diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Seperti :
1) Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan sputum
- Pemeriksaan darah berupa AGD, SGOT, LDH, dan IgE.
- Pemeriksaan radiologi untuk menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-
paru yaitu radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun.
- Elektrokardiografi
f. Tata Laksana :
1) Pemberian obat simpatomimetik/adrenergik, seperti fenoterol, terbutalin,
orsiprenalin.
2) Pemberian obat ketolifen, kromalin
3) Memberikan penyuluhan
4) Menghindari faktor pencetus
5) Pemberian cairan

5. Syndrome vena cava superior


a. Definisi :
Sindrom Vena cava superior adalah sekumpulan gejala akibat pelebaran pembuluh
darah vena yang membawa darah dari bagian tubuh atas menuju ke jantung,
Penghambatan aliran darah ini (oklusis) melewati vena ini dapat menyebabkan
sindrom vena cava superior (SVCS).
b. Etiologi :
Lebih dari 95% dari semua kasus sindrom vena cava superior (SVCV) melibatkan
kanker pada thorax bagian atas, dan yang paling berhubungan dengan sindrom vena
cava superior adalah kanker paru, hampir mendekati 80% dari semua kasus sindrom
vena cava superior dan limfoma. Kanker yang sudah bermetastase ke paru seperti
metastase kanker payudara dan metastase kanker testis juga sebagai penyebab
terjadinya SVCS. Penyebab non maligna adalah fibrosis mediastinum, penyakit
pembuluh darah seperti aneurisma aorta, vaskulitis, fistul arteria-vena, infeksi seperti
histoplasmosis, TBC, sifilis dan aktinomikosis, tumor jinak (teratoma, kistik higroma,
timoma dan trombosis).
c. Patofisiologi :
Vena cava superior merupakan pembuluh darah yang besar yang menerima darah dari
kepala, leher dan ekstremitas atas dan bagian thorak atas. Vena cava superior teletak
di tengah–tengah mediastinum dan dikelilingi oleh struktur yang sangat rapuh seperti
sternum, trakea, bronkus kanan, aorta, arteri pulmonalis dan limfonodus parahiler dan
paratrakea. Vena cava superior terbentang dari hubungan antara vena inominata kanan
dan kiri menuju ke atrium kanan, panjangnya mencapai 6 – 8 cm. Dengan dinding
yang tipis dan tekanan yang lemah. Dinding pembuluh darah vena cava superior ini
sangat mudah tertekan karena vena ini melintang di daerah mediastinum. Obsruksi
dari VCS mungkin disebabkan oleh invasi neoplastik dari dinding vena yang
berhubungan dengan trombosis intravaskular atau lebih sederhana oleh karena
tekanan ekstrinsik dari masa tumor. Pada pemeriksaan postmortem diketahui bahwa
obstruksi total dari vena cava superior dihasilkan dari kombinasi trombosis vena cava
dengan kompresi ekstena. Obstruksi vena cava superior sebagian lebih sering
disebabkan oleh penekanan atau kompresi intrinsik tanpa trombosis vena. Obstruksi
vena cava superior mengawali aliran balik vena kolateral dari setengah bagian tubuh
bagian atas menuju ke jantung melewati 4 jalur utama. Jalur Pertama dan yang paling
penting adalah sistem vena azygos, termasuk vena azygos, vena hemiazygos, dan
vena–vena interkostal. Jalur kedua adalah sistem vena mamaria interna dan cabang –
cabangnya serta hubungan sekunder ke vena epigastrik superior dan inferior, Sistem
vena toraksik yang panjang, dengan hubungannya menuju vena femoralis dan vena
vertebralis, yang menyediakan jalur kolateral ketiga dan keempat. akibat terjadinya
perubahan jalur vena tersebut maka aliran vena hampir selalu meningkat pada bagian
atas jika obstruksi vena cava superior terjadi, dimana tekanan vena cava tersebut
dapat mencapai 200 – 500 cmH2O pada SVCS berat. Dengan menggunakan
venografi, Standford dan Doty telah menggambarkan empat pola yang berhubungan
dengan aliran vena ditentukan dari derajad obstruksi dari vena cava superior.
Obstruksi vena cava superior dibawah batas insersi dari vena azigos akan
menyebabkan peningkatan aliran ke vena azigos sebagai salah satu cabang mayor
jalur kolateral, dengan aliran balik dan drainase menuju vena cava inferior. obstruksi
diatas insersi vena azigos akan meningkatkan aliran menuju jalur alternatif, terutama
pleksus cervical dan paravertebral. Pembuluh darah kolateral yang menuju ke sistem
vena azigos akan mengalir balik ke vena cava inferior. Beberapa sistem vena kolateral
mungkin muncul saat vena cava superior dan vena besar mengalami trombosis.
Perkembangan dari obstruksi vena cava superior menentukkan keganasan dari
sindrom dan perubahannya yang berhubungan dengan perubahan aliran vena.
Strangulasi dari aliran vena besar (Seperti vena cava, vena inominata, atau vena
azigos) merangsang timbulnya aliran balik menuju vena–vena yang lebih kecil.
Prosesnya selalu berkembang menjadi proses yang subakut atau kronis yang
berkembang lebih cepat daripada kemampuan tubuh untuk mengalirkannya ke vena
kolateral untuk mencegah terjadinya kongesti. Aliran darah vena yang tinggi tepat
diatas pusat obstruksi akan menyebabkan aliran berubah ke pleksus yang tekanannya
lebih rendah dan venula-venula. Dalam hitungan minggu atau bulan maka akan
memaksa terjadinya pelebaran pembuluh darah kolateral menjadi lebar. Ketika terjadi
peningkatan aliran vena maka akan terjadi gambaran sianosis pada pasien, odema juga
sering terjadi pada pasien dengan SVCS karena adanya peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler, kondisi ini sangat dipengaruhi oleh derajad aliran kolateral untuk
mengurangi tekanan vena. Perubahan anatomis dan fisiologis juga terjadi sebagai
akibat dari kongesti yang terjadi seperti plethora pada wajah, odema rigan pada wajah,
dan kemerahan pada wajah dan ekstremitas dan dilatasi dari vena kulit. Ketika
obstruksi yang terjadi akut atau subakut maka perubahan fisiologis dari vena – vena
kolateal tidak dapat terjadi secara cepat dan cukup untuk mengkompensasi, maka
gejala klinis yang muncul akan bertambah hebat seperti odema pada wajah, leher, dan
tangan, sakit kepala, sesak, bengkak pada periorbita dan eritema pada wajah.
d. Gejala Klinis :
SVCS mempunyai tanda dan gejala tertentu, tanda yang ditemui pada pasien
dengan SVCS adalah pelebaran vena leher, plethora pada wajah, odema yang muncul
pada lengan ,dan sianosis. Sedangkan gejala yang dijumpai pada pasien adalah sakit
kepala, sesak, batuk, sesak pada posisi tidur, dan sulit menelan, sebagai akibat dari
obstruksi aliran darah yang melewati vena cava superior menuju atrium kanan.
e. Diagnosis :
1) SVCS merupakan diagnosa klinis, gejala dan tanda yang didapat biasanya
mudah untuk dikenali, konfirmasi dengan pemeriksaan radiologis tidak diperlukan
tetapi diagnosis histologi sangat diperlukan sebagai langkah awal dalam melakukan
penanganan.
2) USG( Ultrasonogrfi)
Pemeriksaan USG sangat bernilai dalam menilai keadaan dari vena jugularis,
subclavia, dan vena aksilaris sangat aman cepat dan bersifat non invasive. Sebagai
screning awal untuk mengevaluasi adanya obstruksi patologis, pengukuran aliran
Doppler sangat mudah dan akurat tetapi dibatasi oleh ketidakmampuan untuk melihat
vena intratorak secara adekuat, penilaian lebih modern terhadap sistem vena
intrathorak dapat dinilai dengan Transesofageal Echocardiografi (TEE), yang telah
menunjukan hasil yang memuaskan dalam mengevaluasi vena cava superior dan
struktur sekitarnya.
3) Radionuclide Venography
4) Nuclear scientigraphy merupakan metode yang noninvasive dan relative akurat
dalam melihat gambaran system vena, gambaran yang dihasilkan tidak sebaik
gambaran pada kontras venografi yang dapat melihat anatomis vena dengan jelas.
tetapi technetium-99m DPTA dapat mengkonfirmasi kehadiran dari SVCS,
mengikuti alur letak obstruksi, memperlihatkan daerah aliran kolateral, menilai
pola sirkulasi asesorius dan mengidentifikasi area emboli paru, jika evaluasi
sistem vena diharapkan untuk kearah tindakan pembedahan maka kontras
venografi yang harus dilakukan.
5) Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging (CT/MRI)
6) CT – scan menyediakan informasi yang banyak tentang kejadian SVCS ,CT-scan
memperlihatkan secara detail anatomis dari thorak, termasuk tumor yang terletak
proksimal dari vena cava superior, jantung, trakea dan struktur mayor lainnya,
memperlihatkan oklusi vena cava, termasuk trombosis “kolateral loop” dari
hubungan vena intratorak.
7) Raptopoulus telah mengidentifikasi lima kategori dari kompresi vena cava
superior yang berhubungan dengan derajad keganansan yang bermanifestasi pada
gejala klinis yang muncul.
8) Tipe Ia merupakan penyempitan vena cava superior yang sedang tanpa aliran
kolateral atau peningkatan ukuran vena azigos
9) Tipe Ib merupakan penyempitan vena cava superior yang berat dengan aliran
retrograde ke vena azigos.
10) Tipe II merupakan obstruksi vena cava superior diatas lengkung azigos dengan
aliran retrograde ke vena torakal, vertebral,dan vena perifer lainnya.
11) Tipe III merupakan obstruksi vena cava superior dibawah lengkung azigos dengan
aliran retrograde melewati lengkung azigos ke vena cava inferior.
12) Tipe IV merupakan obtruksi vena cava superior pada lengkung azigos dengan
peningkatan aliran kolateral yang multiple dan tidak terlihatnya vena azigos.
Gambaran radioopaque dari vena kolateral torak oleh CT scan sering merupakan
suatu SVCS, tetapi gambaran radioopaque pada saluran subkutaneous torak
anterior merupakan indikator yang paling baik terhadap adanya oklusi vena cava
superior.
13) Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI mampu mendiagnosa obsruksi vena torak sangat baik dengan sensitifitas
94% dan 100%, kelemahan dari MRI memerlukan waktu yang lama dan biaya
yang besar.
14) Contrast Venography
Venacavography merupakan prosedur yang penting ketika akan dilakukan
intervensi bedah pada pasien. Pemeriksaan ini mampu mengetahui lokasi yang
tepat dan derajad obstruksi dari vena cava, letak pembuluh darah besar yang
mengalami sumbatan, derajad yang berhubungan dengan trombosis dan adanya
kolateralisasi, yang merupakan informasi yang penting untuk perencanaan operasi,
venography dapat dilakukan dengan menggunakan injeksi vena antekubital
bilateral atau dengan injeksi kateter konvensional, tergantung sumbatan yang
terjadi.
15) Sputum Cytology, Fine-Needle Aspiration, and Lymph Node Biopsy
16) Metode yang sangat sederhana dalam mendapatkan diagnosis histologis dengan
analisa sputum. FNAB juga merupakan pemeriksaan diagnostik yang mampu
memberikan informasi yang penting pada kebanyakan kasus. Perdarahan atau
hematum bisa terjadi pada saat melakukan tindakan ini.
17) Transluminal Radiographic Biopsy
Metode lain adalah dengan menggunakan metode tranluminasi biopsy dengan
panduan fluoroscopy. Metode ini dapat mengevaluasi keadaan sistem vena dengan
baik tetapi jarang dikerjakan, metode ini sangat baik digunakan apabila
menemukan kesulitan dalam melakukan diagnostik, metode ini juga mampu
mengidentifikasi apabila terjadi tumor intraluminal
18) Mediastinoscopy
Metode ini masih dipertanyakan penggunaannya dalam klinis karena ada beberapa
center mengatakan metode ini merupakan kontraindikasi dalam penggunaanya,
karena ditakutkan tejadinya perdarahan, hematum ,distres pernafasan perioperatif
dan infeksi.
1) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kirschner tidak menemukan adanya
komplikasi pada pasien yang melakukan mediastinoskopi, Callejas and
colleagues mengatakan tindakan ini sangat berguna dan reliable dalam
mendiagnosa tumor yang menyebabkan timbulnya SVCS.
2) Ketika akan melakukan pemeriksaan mediastinoskopi pada pasien dengan
SVCS , ahli bedah harus mengetahui fisiologis dari SCVS dan memilih
metode yang tepat untuk menurunkan kejadian perdarahan pada pasien,
menempatkan pasien dalam posisi trendelenburg akan menurunkan hipertensi
pada vena tubuh bagian atas.
f. Penatalaksanaan :
Penanganan SVCS tegantung pada derajad dari SVCS, penyebab dari obstruksi, tipe
hitologi dari tumor. Penatalaksanaan SVCS ada 2 yaitu penanganan medis dan
penanganan pembedahan. Tujuan dari penanganan dengan penatalaksanaan medis
SVCS adalah menurunkan gejala dan penanganan penyakit primer yang ada. Hanya
sebagian kecil saja dari pasien dengan obstruksi vena cava superior yang terkena
komplikasi. Pasien dengan SVCS sering mendapatkan gejala klinis dengan
penanganan medis seperti meninggikan posisi kepala dan pemberian suplement
oksigen, tindakan emergensi diindikasikan pada pasien dengan odema otak,
penurunan COP (Cardiac Output) atau odema saluran pernafasan atas. Kortikosterosid
dan diuretik sering digunakan untuk menangani odema yang terjadi, walaupun masih
dipertanyakan. Radioterapi juga dilakukan sebagai penanganan standar pada
kebanyakan pasien dengan SVCS. Radioterapi ini dilakukan sebagai penanganan awal
jika diagnosis histologis tidak dapat ditegakkan dan klinis pasien sangat buruk, namun
beberapa pendapat mengatakan sangat jarang membutuhkan tindakan emergensi pada
pasien dengan obstruksi SVCS tanpa diagnosa yang spesifik.
1) Radioterapi
Penggunaan radioterapi pada paisen dengan SVCS tidak menunjukan hasil
yang memuaskan. Pada pasien dengan SVCS dan SCLC walaupun telah diberikan
radioterapi hasil yang diberikan akan lebih baik dikombinasi dengan kemoterapi,
pada beberapa kasus tidak ada perbedaan antara kedua terapi tersebut namun
kemoterapi memberikan keuntungan dalam mengatasi penyakit secara sistemik
dan menurunkan jumlah radiasi yang diterima jantung dan paru. 43% dari 100%
kasus penurunan gejala akan dicapai pada tujuh sampai 10 hari. Dalam studi yang
melibatkan pasien dengan SVCS dan SCLC pasien tidak mendapatkan keutungan
dengan radioterapi, tetapi pada pasien dengan SVCS dan NSCLC pasien
radioterapi memegang peranan penting, dosis yang dianjurkan adalah 300 – 400
Gy sebanyak 2-4 seri, namun waktu, dosis dan jumlah dari radioterapi untuk
SVCS masih belum pasti, dan tidak ada bukti klinis yang dapat menentukan
jumlah dosis yang diperlukan untuk menimbulkan respon klinis pada pasien
dengan SVCS. Secara umum pada NSCLC total dosis yang digunakan adalah 60
GY, dimana dosis pada limfoma dan neoplasma yang radiosensitif dosis yang
sering dipakai adalah 20 – 40 Gy. Dosis dari radioterapi dapat sangat bervariasi
tidak hanya tergantung jenis histologi dari tumor, tetapi juga apakah dikombinasi
dengan kemoterapi atau tidak dan apakah terapinya paliatif atau kuratif.
3) Kemoterapi
Pada pasien dengan SVCS yang disebabkan oleh tumor yang bersifat
kemosensitif seperti limfoma atau SCLC, kemoterapi dapat digunakan sebagai
terapi primer atau dikombinasi dengan radioterapi, dalam kemoterapi
histologis dari kanker sendiri harus sudah tegak, dalam dekade terakhir,
perkembangan dengan terapi kombinasi telah digunakan untuk pasien SVCS
dengan SCLC. Pada suatu penelitan 7 pasien diterapi dengan kemoterapi
(lomustine, cyclophosphamide dan MTX ) perkembangannya Sangat cepat,
studi yang berbeda juga mengatakan hal yang sama dimana pada penelitian
dengan menggunakan 22 sampel diterapi secara kombinasi dengan kemoterapi
perkembangan yang didapat sangat cepat dimana resolusi total pada 21 pasien
tersebut didapat pada hari ke 14. Pada suatu penelitian di RS. M.D Anderson
ditemukan pada 18 pasien diterapi dengan radioterapi dan 18 lagi diterapi
dengan kemoterapi dan 7 pasien dengan terapi kombinasi antara kemoterapi
dan radioterapi, semua modalitas terapi yang diberikan dapat memberikan
perbaikan secara cepat pada pasien dengan gejala obstruksi vena cava
superior. Namun penggunaan kemoterapi berhubungan dengan kematian
prematur yang besar.
Kemoterapi juga bisa digunakan pada pasien dengan limfoma atau
kanker yang kemosensitif. Pada penelitian 30 pasien SVCS dengan limfoma
diterapi dengan menggunakan radioterapi sebanyak 8 pasien dan kemoterapi
pada pasien yang lain serta kombinasi keduanya pada 12 pasien. Setelah 2
minggu didapatkan hasil yang sama sama efektif antara kemoterapi dan
radioterapi dalam menurunkan gejala SVCS. Kemoterapi diindikasikan pada
pasien dengan dengan tumor yang lebih besar dari 10 cm dan secara histologis
diindikasikan untuk Limfoma, kemoterapi ini diikuti oleh radiasi pada daerah
mediastinum.Kemoterapi juga dipertimbangkan untuk radiasi pada pasien
dengan tumor yang kemosensitif pada tahun 1983, Maddox melaporkan 59
pasien dengan SCLC yang menimbulakan SVCS, dengan terapi radiasi
didapatkan 9 pasien (56%) dari 16 pasien dan 23 pasien (100%) dari 23 pasien
dengan kemoterapi dan 5 pasien (83%) dari 6 pasien yang menerima terapi
kombinasi.
4) Pembedahan
Tindakan pembedahan ada 2 yaitu bypass vena cava superior dan
pemasangan stent, tindakan ini berguna pada pasien dengan terapi paliatif,
dalam hal ini tindakan bedah ini diambil jika terapi radiasi dan kemoterapi
gagal dikerjakan.
5) Pemasangan Stent
Terdapat beberapa model dari stent yang dapat digunakan dalam
penanganan SVCS, karena adanya pelebaran diameter dari Vena cava
superior, stent yang digunakan juga harus berdiameter lebar ( dari 12 -14 mm).
Stent Gianturco merupakan jenis stent pertama yang diperkenalkan dan
digunakan dalam penanganan SVCS, merupakan stent yang mampu
menyesuaikan dengan besarnya lumen, dimana stent ini terbuat dari besi
stainless dan dianyam secara zigzag dan berbentuk silinder. Diemater yang
disarankan oleh para klinisi adalah 1,25 sampai 1,5 kali diameter pembuluh
darah. Kateter digunakan mempunyai diameter 8 – 16 Gambar. Pemasangan
gianturco stent pada salah satu Vena pasien dengan SVCS Stent Wallstent
juga merupakan Auto-expandable stent, yang terbuat dari besi stainless dan
berbentuk silinder, kateter yang digunakan 7 – 9 F. Stent Wallstent tersedia
dalam berbagai jenis ukuran mulai dari 10 – 24 mm, sampai saat ini ukuran 16
merupakan yang terbesar yang pernah digunakan. Lebih lentur sehingga
mampu mengikuti bentuk dari pembuluh darah. Panjangnya dapat berkurang
sampai 30% ketika mengalami peregangan komplit. Palmaz stent, merupakan
balon yang dapat dikembangkan yang tebuat dari stainless dan berbentuk
silinder, studi experimental dari metalic stent tersebut pada binatang dapat
menimbulkan endotelisasi komplit dalam kurang lebih 4 minggu setelah
pemasangan.

6. Stenosis Mitral
a. Definisi :
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari
atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral.1
Penyebab stenosis mitral paling sering demam rematik, penyebab lain adalah
karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis, mukopolisakaridosis dan
kelainan bawaan
b. Patofisiologi :
Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2. Adanya
obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang dari 2 cm2 ,
darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika didorong oleh
gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara abnormal, tanda
hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral berkurang sampai 1 cm2,
tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan untuk mempertahankan curah
jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan atrium kiri yang meningkat,
selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi
daya kembang (compliance) paru dan menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan
tenaga (exertional dyspnea, dyspnea d’ effort). Serangan pertama dispnea biasanya
dicetuskan oleh kejadian klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui
orifisium mitral, yang selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk
menilai beratnya obstruksi, penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler
maupun kecepatan aliran. Gradien tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung
tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek diastolik secara
proporsional lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran
yang melalui katup mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah jantung tertentu,
takikardia menambah tekanan gradien transvalvuler dan selanjutnya meningkatkan
tekanan atrium kiri.
c. Manifestasi klinis :
Berdebar (takikardia/ AF),Batuk darah, Sesak nafas saat aktivitas, Orthopnea
atau kesulitan bernafas saat berbaring terlentang, Paroxysmal nocturnal dyspnee,
Cepat lelah, dan denyut jantung tak teratur, Gejala karena tromboemboli seperti batuk
darah, Mitral facies karena sianosis atau darah yang kurang oksigen.
d. Pemeriksaan fisik :
Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising mid
diastolik yang bersifat kasar, bising menggenderang, aksentuasi presistolik dan bunyi
jantung satu yang mengeras. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti
katup masih relatif lemah sehingga waktu terbuka mendadak saat diastol
menimbulkan bunyi yang menyentak seperti tali putus. jarak bunyi jantung kedua
dengan opening Snap memberikan gambaran beratnya stenosis. makin pendek jarak
ini berarti makin berat derajat penyempitannya.
Komponen pulmonal bunyi jantung kedua dapat mengeras disertai bising
sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal
maka dapat terdengar bising diastolik Dini dari katup pulmonal. penyakit penyakit
penyerta bisa terjadi pada katup katup lain, misalnya stenosis aorta, insufisiensi aorta,
stenosis trikuspid atau insufisiensi trikuspid.
e. Pemeriksaan penunjang :
1) Elektrokardiogram
2) Foto Torak
Gambaran foto thorax pada stenosis mitral dapat berupa pembesaran Atrium
kiri pelebaran Arteri pulmonal karena peninggian tekanan, aorta yang relatif kecil
pada penderita penderita dewasa dan fase lanjut penyakit, dan pembesaran
ventrikel kanan. kadang-kadang terlihat perkapuran pada daerah katup mitral atau
perikard. Pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena.
3) Laboratorium
Tidak ada gambaran yang khas, pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk
membantu penentuan adanya reaktivasi rheuma.
f. Tata laksana :
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional 3
keatas. Intervensi dapat bersifat bedah (seperti kommissurotomy atau penggantian
katup) dan non bedah (seperti valvulotomi dengan dilatasi balon) pengobatan
farmakologis hanya diberikan Apabila ada tanda-tanda gagal jantung, aritmia ataupun
reaktivasi Rheuma. Profilaksis rheuma pada stenosis mitral harus diberikan sampai
umur 25 tahun walaupun sudah dilakukan intervensi. bila sesudah umur 25 tahun
masih terdapat tanda-tanda reaktivasi, maka profilaksis diteruskan lagi selama 5
tahun.

7. Angina Pectoralis
a. Pengertian :
1) Angina pektoris adalah suatu syndrome klinis yang ditandai dengan episode atau
perasaan tertekan di depan dada akibat kurangnya aliran darah koroner,
menyebabkan suplai oksigen ke jantung tidak adekuat atau dengan kata lain,
suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
2) Angina pektoris adalah suatu sindrom kronis dimana klien mendapat serangan
sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang seringkali
menjalar ke lengan kiri. Sakit dada tersebut biasanya timbul pada waktu pasien
melakukan suatu aktivitas dan segera hilang bila pasien menghentikan
aktivitasnya
3) Angina pektoris adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis
rasa tidak nyaman yang biasanya terletak dalam daerah retrosternum.
b. Etiologi :
1) Ateriosklerosis
2) Spasme arteri koroner
3) Anemia berat
4) Artritis
5) Aorta Insufisiensi
c. Faktor risiko :
Dapat Diubah (dimodifikasi)
1) Diet (hiperlipidemia)
2) Rokok
3) Hipertensi
4) Stres
5) Obesitas
6) Kurang aktifitas
7) Diabetes Mellitus
8) Pemakaian kontrasepsi oral
Tidak dapat diubah
1) Usia
2) Jenis Kelamin
3) Ras
4) Herediter
Faktor Pencetus Serangan
Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan antara lain :
1) Emosi atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, mengakibatkan
frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya
tekanan darah, dengan demikian beban kerja jantung juga meningkat
2) Kerja fisik terlalu berat dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung
3) Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah mesentrik untuk
pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah untuk suplai jantung. (pada
jantung yang sudah sangat parah, pintasan darah untuk pencernaan membuat nyeri
angina semakin buruk).
4) Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokonstriksi dan peningkatan
tekanan darah, disertai peningkatan kebutuhan oksigen.
d. Patofisiologi :
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan
suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan
penyempitan lumen arteri koroner (aterosklerosis koroner). Tidak diketahui secara
pasti apa penyebab aterosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang
bertanggungjawab atas perkembangan aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan
penyakir arteri koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu
jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan
meningkat pada jantung yang sehat maka artei koroner berdilatasi dan mengalirkan
lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner
mengalami kekauan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik
(kekurangan suplai darah) miokardium. Berkurangnya kadar oksigen memaksa
miokardium mengubah metabolisme yang bersifat aerobik menjadi metabolisme yang
anaerobik. Metabolisme anaerobik dengan perantaraan lintasan glikolitik jauh lebih
tdak efisien apabila dibandingkan dengan metabolisme aerobik melalui fosforilasi
oksidatif dan siklus Kreb. Pembentukan fosfat berenergi tinggi mengalami penurunan
yang cukup besar. Hasil akhir metabolisme anaerobik ini, yaitu asam laktat, akan
tertimbun sehingga mengurangi pH sel dan menimbulkan nyeri. Kombinasi dari
hipoksia, berkurangnya jumlah energi yang tersedia serta asidosis menyebabkan
gangguan fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang terserang
berkurang; serabut-serabutnya memendek sehingga kekuatan dan kecepatannya
berkurng. Selain itu, gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi
abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel
berkontraksi.Berkurangya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung mengubah
hemodinamika. Respon hemodinamika dapat berubah-ubah, sesuai dengan ukuran
segmen yang mengalami iskemia dan derajat respon refleks kompensasi oleh system
saraf otonom. Berkurangnya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung
dengan mengurangi volume sekuncup (jumlah darah yang dikeluarkan setiap kali
jantung berdenyut).Angina pectoris adalah rasa sakit dada yang berkaitan dengan
iskemia miokardium. Mekanismenya yang tepat bagaimana iskemi menimbulkan rasa
sakit masih belum jelas. Agaknya reseptor saraf rasa sakit terangsang oleh metabolik
yang tertimbun atau oleh suatu zat kimia antara yang belum diketahui atau oleh sters
mekanik lokal akibat kontraksi miokardium yang abnormal. Jadi secara khas rasa
sakit digambarkan sebgai suatu tekanan substernal, kadang-kadang menyebar turun
kesisi medial lengan kiri. Tetapi banyak pasien tak pernah mengalami angina yang
pas; rasa sakit angina dapat menyerupai rasa sakit karena maldigesti atau sakit gigi.
Pada dasarnya angina dipercepat oleh aktivitas yang meningkatkan miokardium akan
oksigen, seperti latihan fisik. Sedangkan angina akan hilang dalam beberapa menit
dengan istirahat atau nitrogliserin.
e. Klasifikasi :
Angina Pektoris Stabil
- Awitan secara klasik berkaitan dengan latihan atau aktifitas yang
- meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
- Nyeri segera hilang dengan istirahat atau penghentian aktifitas.
- Durasi nyeri 3 – 15 menit.
Angina stabil dibedakan menjadi 3 yaitu :
1) Angina nocturnal
Nyeri terjadi malam hari, biasanya pada saat tidur tetapi ini dapat dikurangi
dengan duduk tegak. Biasanya angina noctural disebabkan oleh gagal ventrikel
kiri.
2) Angina decubitus
- Angina yang terjadi saat berbaring.
- Iskemia tersamar
Terdapat bukti objektif iskemia ( seperti tes pada stress ) tetapi pasien tidak
menunjukan gejala.
3) Angina Pektoris Tidak Stabil
- Sifat, tempat dan penyebaran nyeri dada dapat mirip dengan angina pektoris
stabil.
- durasi serangan dapat timbul lebih lama dari angina pektoris stabil.
- Pencetus dapat terjadi pada keadaan istirahat atau pada tigkat aktifitas ringan.
- Kurang responsif terhadap nitrat.
- Lebih sering ditemukan depresi segmen ST.
- Dapat disebabkan oleh ruptur plak aterosklerosis, spasmus, trombus atau
trombosit yang beragregasi.
4) Angina Prinzmental (Angina Varian)
- Sakit dada atau nyeri timbul pada waktu istirahat, seringkali pagi hari.
- Nyeri disebabkan karena spasmus pembuluh koroneraterosklerotik.
- EKG menunjukkan elevasi segmen ST.
- Cenderung berkembang menjadi infaark miokard akut.
- Dapat terjadi aritmia.
f. Gejala klinis :
1) Nyeri dada substernal ataru retrosternal menjalar ke leher, tenggorokan daerah
inter skapula atau lengan kiri.
2) Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa panas, kadang-
kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort).
3) Durasi nyeri berlangsung 1 sampai 5 menit, tidak lebih daari 30 menit.
4) Nyeri hilang (berkurang) bila istirahat atau pemberian nitrogliserin.
5) Gejala penyerta : sesak nafas, perasaan lelah, kadang muncul keringat dingin,
palpitasi, dizzines.
6) Gambaran EKG : depresi segmen ST, terlihat gelombang T terbalik.
7) Gambaran EKG seringkali normal pada waktu tidak timbul serangan.
g. Pemeriksaan diagnostik :
1) Enzim atau isoenzim jantung,biasanya DBM : meningkat,menunjukkan
kerusakan miokard.
2) EKG : biasanya normal bila pasien istirahat tetapi datar atau depresi pada
segmen ST gelombang T menunjukkan iskemia.
3) Foto Dada : biasanya normal, namun infiltrat mungkin ada menunjukkan
dekompensasi jantung atau komplikasi paru.
4) PCO2 kalium dan laktatmiokard : mungkin meningkat selama serangan angina.
5) Kolestrol / trigliserida serum : mungkin meningkat.
6) Kateterisasi jantung dengan angiografi : diindikasikan pada pasien dengan
iskemia yang diketahui dengan angina atau nyeri dada tanpa kerja, pada pasien
dengan kolesterolemia dan penyakit jantung keluarga yang mengalami nyeri dada
dan pasien dengan EKG istirahat abnormal.
h. Tata laksana :
Terapi Farmakologi
1) Nitrogliserin
Senyawa nitrat masih merupakan obat utama untuk menangani angina
pektoris. Nitrogliserin diberikan untuk menurunkan konsumsi oksigen jantung
yang akan mengurangi iskemia dan mengurangi nyeri angina.Nitrogliserin adalah
bahan vasoaktif yang berfungsi melebarkan baik vena maupun arteria sehingga
mempengaruhi sirkulasi perifer. Dengan pelebaran vena terjadi pengumpulan
darah vena diseluruh tubuh. Akibatnya hanya sedikit darah yang kembali ke
jantung dan terjadilah penurunan tekanan pengisian (preload). Nitrat juga
melemaskan anter terjadi pengumpulan darah vena diseluruh tubuh. Akibatnya
hanya sedikit darah yang kembali ke jantung dan terjadilah penurunan tekanan
pengisian (preload). Nitrat juga melemaskan anteriol sistemik dan menyababkan
penurunan tekanan darah (afterload). Semuanya itu berakibat pada penurunan
kebutuhan oksigen jantung,menciptakan suatu keadaan yang lebih seimbang
antara suplai dan kebutuhan.Nitrogliserin biasanya diletakkan dibawah lidah
(sublingual) atau di pipi (kantong bukal) dan akan menghilangkan nyeri iskemia
dalam 3 menit.
2) Penyekat Beta-adrenergik.
Obat ini merupakan terapi utama pada angina. Penyekat beta dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan cara menurunkan frekwensi
denyut jantung, kontraktilitas , tekanan di arteri dan peregangan pada dinding
ventrikel kiri. Efek samping biasanya muncul bradikardi dan timbul blok
atrioventrikuler. Obat penyekat beta antara lain : atenolol, metoprolol,
propranolol, nadolol.
3) Nitrat dan Nitrit
Merupakan vasodilator endothelium yang sangat bermanfaat untuk
mengurangi symptom angina pectoris, disamping juga mempunyai efek
antitrombotik dan antiplatelet. Nitrat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
melalui pengurangan preload sehingga terjadi pengurangan volume ventrikel dan
tekanan arterial. Salah satu masalah penggunaan nitrat jangka panjang adalah
terjadinya toleransi terhadap nitrat. Untuk mencegah terjadinya toleransi
dianjurkan memakai nitrat dengan periode bebas nitrat yang cukup yaitu 8 –
12jam. Obat golongan nitrat dan nitrit adalah : amil nitrit, ISDN, isosorbid
mononitrat, nitrogliserin.
4) Kalsium Antagonis
Obat ini bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium melalui saluran
kalsium, yang akan menyebabkan relaksasi otot polos pembulu darah sehingga
terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah epikardial dan sistemik. Kalsium
antagonis juga menurunkan kabutuhan oksigen miokard dengan cara menurunkan
resistensi vaskuler sistemik. Golongan obat kalsium antagonis adalah amlodipin,
bepridil, diltiazem, felodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin,
verapamil.
Terapi Non Farmakologis
Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan oksigen
jantung antara lain : pasien harus berhenti merokok, karena merokok
mengakibatkan takikardia dan naiknya tekanan darah, sehingga memaksa jantung
bekerja keras. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk mengurangi
kerja jantung. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin yang dapat
menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah. Pengontrolan gula darah. Penggunaan
kontra sepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif atau ambisius.

8. Miokarditis
a. Definisi :
Miokarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. Pada
umumnya miokarditis disebabkan penyakit-penyakit infeksi tetapi dapat sebagai
akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toksik bahan-bahan kimia radiasi.
Miokarditis dapat disebabkan infeksi, reaksi alergi, dan reaksi toksik. Pada
miokarditis, kerusakan miokardium disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan basil
miosit. Toksin akan menghambat sintesis protein dan secara mikroskopis akan
didapatkan miosit dengan infiltrasi lema, serat otot mengalami nekrosis hialin.
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya
disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi
terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi.
b. Etilogi :
Pada banyak kasus, penyebab miokarditis tidak diketahui. Namun ada
beberapa penyebab miokarditis seperti:
1) Bakteri : Beberapa bakteri yang bisa menyebabkan miokarditis adalah
staphylococcus, streptococcus, dan bakteri penyebab penyakit difteri serta
penyakit lyme.
2) Jamur : Beberapa infeksi jamur kadang bisa menyebabkan miokarditis.
3) Virus : Banyak virus yang bisa menyebabkan miokarditis, yang paling umum
adalah adenovirus dan Coxsackie B. Virus lain yang bisa menyebabkan
miokarditis adalah echoviruses, influenza, Epstein-Barr, rubella, varicella, cacar,
campak, dan lain-lain.
4) Parasit : Toksoplasma yang umumnya terdapat pada hewan peliharaan merupakan
salah satu parasit penyebab miokarditis.
5) Obat-obatan : Obat yang termasuk dalam kelompok antibiotik dan obat-obatan
terlarang bisa memicu reaksi alergi dan keracunan seperti miokarditis.
6) Bahan kimia atau radiasi : Paparan beberapa bahan kimia dan radiasi kadang bisa
menyebabkan munculnya miokarditis.
7) Penyakit lainnya : Misalnya lupus, granulomatosis Wegener, arteritis sel raksasa
dan arteritis Takayasu.
c. Patofisiologi :
Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar:
1) Invasi langsung ke miokard.
2) Proses immunologis terhadap miokard.
3) Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium.
Proses miokarditis viral ada dua tahap, yaitu:
1) Fase pertama (akut) berangsung kira-kira 1 minggu (pada tikus) di mana terjadi
invasi virus ke miokardium, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk
neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya
dengan bantuan makrofag dan neutral killer cell (sel NK).
2) Fase kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan sistem imun akan
diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap miokardium, akibat
perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokardium dan yang
minimal sampai yang berat.
Enterovirus sebagai penyebab miokarditis viral juga merusakkan sel-sel endotel dan
terbentuknya antibodi endotel, diduga sebagai penyebab spasme mikrovaskular.
Walaupun etiologi kelainan mikrovaskular belum pasti, tetapi sangat mungkin berasal
dari respon imun atau kerusakan endotel akibat infeksi virus.
Jadi pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro yang menyebabkan proses berulang
antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan larutnya matriks miokardium dan
habisnya otot jantung secara fokal menyebabkan rontoknya serabut otot, dilatasi
jantung, dan hipertrofi miosit yang tersisa. Akhirnya proses ini mengakibatkan
habisnya kompensasi mekanis dan biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung.
d. Manifestasi Klinis :
Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai
terjadi syok kardiogenik. Tergantung pada tipe infeksi, derajat kerusakan miokardium,
kemampuan miokardium memulihkan diri. Gejala bisa ringan atau tidak ada sama
sekali. Gejala bisa ringan atau tidak sama sekali, biasanya : Kelelahan dan dispneu,
Demam, Nyeri dada, Palpitasi.
Gejala klinis mungkin memperlihatkan :
Gejala klinis tidak khas, kelainan ECG pada segmen ST dan gelombang T.
1) Takikardia, peningkatan suhu akibat infeksi menyebabkan frekuensi denyut nadi
akan meningkat lebih tinggi.
2) Bunyi jantung melemah, disebabkan penurunan kontraksi otot jantung Katub-
katub mitral dan trikuspid tidak dapat ditutup dengan keras
3) Auskultasi: gallop, gangguan irama supraventrikular dan ventrikular.
4) Gagal jantung (Dekompensasi jantung) terutama mengenai jantung sebelah kanan.
e. Pemeriksaan penunjang :
1) Pemeriksaan EKG : tidak khas
ST-T changes inferior, gangguan konduksi jantung.
2) Foto thorax : tidak khas
Pembesaran jantung dengan efusi perikard dan pleura
3) Ekokardiografi
Pembesaran jantung kiri
f. Tata laksana :
1) Istirahat, bed rest
2) Diet
3) Medikamentosa
Obat pertama :
- Pengobatan infeksi
- Kortikosteroid pada kasus berat.

9. Edema Paru
a. Definisi :
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru
yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia.
Edema paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan alveolus.
Penyebab edem paru :
1) Kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamik. Kausa: infark
miokars, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/
diastolik dan lainnya.
2) Nonkardiogenik/ edem paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI dan ARDS.
b. Etiologi :
Edema paru non kardiogenik Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari
transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang
interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung.
Walaupun edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam
tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.
Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab,
diantaranya seperti :
Penyebab edeme paru non kardiogenik
1) Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
- Secara langsung : Aspirasi asam lambung, Tenggelam, Kontusio paru,
Pnemonia berat, Emboli lemak, Emboli cairan amnion, Inhalasi bahan kimia,
Keracunan oksigen.
- Tidak langsung : Sepsis, Trauma berat, Syok hipovolemik, Transfusi
darah berulang, Luka bakar, Pankreatitis, Koagulasi intravaskular diseminat,
Anafilaksis.
2) Peningkatan tekanan kapiler paru
- Pemberian cairan yang berlebih
- Transfusi darah
- Gagal ginjal
3) Sindrom kongesti vena
4) Edema paru neurogenik
5) Edema paru karena ketinggian tempat (Altitude)
6) Penurunan tekanan onkotik
7) Sindrom nefrotik
8) Malnutrisi
9) Hiponatremia
c. Patogenesis :
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru
1) Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruangan interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling
dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
2) Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial
peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium
alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika
kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas
dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas
sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem
limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika
terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam
jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai
konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh
darah akan terkompresi.

Edema Paru Kardiogenik


Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural
maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak
permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edem ayng meninggalkan
sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal
akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.
Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di
perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri
meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru,
membanjiri alveolus.
Edema paru nonkardiogenik
edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam
interstisial paru dan alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh
moleku besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edem tergantung pada luasnya
edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute lung
injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar.
d. Manifestasi Klinis :
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium :
1) Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup
saat inspirasi
2) Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor
interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi
ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
3) Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati.
e. Penegakkan diagnosis :

Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronik. Edem
paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru
secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang yang menakutkan bagi
pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam. Khas
pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan penyakit ini berbeda-
beda , tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita sering sekali mengeluh
tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada.
Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah
muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita
tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan).
Takikardia, hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi
duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat
respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural
yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna
kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing.
Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4.
Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis (sda). Dan pada edem paru
non kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi
terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan
bergelembung pada bagian bawah dada.
Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan labolatorium
2) Radiologi
3) Eochocardiografi
4) EKG
5) Katerisasi pulmonal
f. Tata laksana :
Penatalaksanaan edem paru non kardiogenik
1) Supportif Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah :
- support kardiovaskular
- terapi cairan
- renal support
- pengelolaan sepsis
2) Ventilasi
Menggunakan ventlasi protective lung atau protocol ventilasi ARDS net
Penatalaksanaan edem paru kardiogenik
Sasarannya adalah mencapai oksigenasi adekuat, memelihara stabilitas hemodinamik
dan mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan afterload.
1) Posisi setengah duduk
2) Oksigen terapi
3) Morphin IV 2,5 mg
4) Diuretik
5) Nitroglyserin
6) Inotropik

10. Sindrom Koroner Akut


a. Definisi :
Sindrom koroner akut merupakan suatu kondisi gawat darurat yang terjadi
akibat berkurangnya atau berhentinya aliran darah yang menuju ke jantung secara
tiba-tiba.
b. Etiologi :
Sindrom koroner akut terjadi akibat adanya penyempitan pembuluh darah koroner
yang berperan dalam mengalirkan darah yang kaya oksigen ke otot jantung. Kondisi
ini disebabkan oleh aterosklerosis, yaitu suatu plak kolesterol yang terbentuk pada
dinding bagian dalam arteri koroner, yang dapat menyumbat aliran darah. Plak ini
terbentuk dalam sebuah proses yang panjang selama bertahun-tahun. Selain itu,
terdapat juga beberapa kondisi lain yang dapat memicu sumbatan pada arteri koroner,
seperti:

1) Bekuan darah dari organ tubuh lain, yang terbawa dan terjebak pada arteri
koroner.
2) Komplikasi dari operasi jantung.
3) Konsumsi kokain, yang dapat menyebabkan spasme arteri koroner.
4) Luka tusuk pada jantung.
5) Peradangan pada arteri koroner.

c. Patofisiologis :
d. Penegakan Diagnosis :
Anamnesis

Gejala yang dirasakan oleh pengidap sindrom koroner akut, antara lain:

1) Nyeri dada timbul secara tiba-tiba.


2) Nyeri dada yang khas, seperti tertindih benda berat.
3) Nyeri menjalar dari bagian dada ke leher, bahu kiri, lengan kiri, dan rahang.
4) Sesak napas.
5) Mual atau muntah.
6) Lemas hingga pingsan.
7) Keluar keringat dingin.
8) Kelelahan yang parah.
9) Detak jantung cepat atau tidak teratur.

Pemeriksaan Penunjang

1) Elektrokardiogram (EKG) untuk menilai gangguan pada jantung.


2) Pemeriksaan darah untuk mengukur peningkatan enzim jantung.
3) Rontgen dada untuk menilai gambaran jantung.
4) Echocardiografi untuk mengevaluasi fungsi kerja jantung.
5) Angiografi untuk menilai sumbatan pada arteri koroner.
e. Tata Laksana :

Pemberian obat-obatan:

1) Obat vasodilator, seperti Nitrogliserin untuk melebarkan pembuluh darah jantung,


memperbaiki aliran darah ke jantung, serta meredakan nyeri dada.
2) Obat antikoagulan, seperti Aspirin, Clopidogrel, dan antikoagulan lainnya untuk
mencegah pembekuan darah.
3) Obat golongan opioid, seperti Morfin atau Fentanil untuk meredakan nyeri dada
yang parah.
4) Obat golongan beta blocker untuk mengurangi beban kerja jantung.
5) Obat antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah.
6) Obat penurun kolesterol untuk mencegah robeknya plak aterosklerosis, yang dapat
menyumbat pembuluh darah.

Prosedur operasi:

1) Operasi angioplasti koroner untuk memasang cincin (stenting) jantung.


2) Operasi bypass jantung untuk memperbaiki aliran darah ke jantung.

11. Anemia
a. Definisi :
Penyakit anemia merupakan kondisi ketika jumlah sel darah merah lebih
rendah dari jumlah normal. Selain itu, anemia terjadi ketika hemoglobin di dalam sel-
sel darah merah tidak cukup, seperti protein kaya zat besi yang memberikan warna
merah darah.
Berikut adalah beberapa jenis anemia yang dapat terjadi:

1) Anemia defisiensi B12.


2) Anemia defisiensi folat.
3) Anemia defisiensi besi.
4) Anemia karena penyakit kronis.
5) Anemia hemolitik.
6) Anemia aplastik.
7) Anemia megaloblastik.
8) Anemia pernisiosa.
9) Anemia sel sabit.
10) Talasemia.

b. Etiologi :

1) Konsumsi obat-obatan tertentu.


2) Adanya eliminasi yang terjadi lebih awal dari biasanya pada sel darah merah,
yang disebabkan oleh masalah kekebalan tubuh.
3) Memiliki riwayat penyakit kronis, seperti kanker, ginjal, rheumatoid arthritis,
atau ulcerative colitis.
4) Mengidap beberapa bentuk anemia, seperti talasemia atau anemia sel sabit, yang
bisa diturunkan.
5) Sedang hamil.
6) Memiliki masalah kesehatan dengan sumsum tulang seperti limfoma, leukemia,
anemia aplastik atau myelodysplasia, dan multiple myeloma.

c. Patofisiologis :

d. Penegakan Diagnosis :
Anamnesis
Gejala :
1) Selalu merasa mudah marah.
2) Tubuh lebih sering merasa lemah atau lelah atau saat berolahraga.
3) Sakit kepala.
4) Mengalami masalah sulit berkonsentrasi atau berpikir.

Akan muncul kondisi seperti berikut, apabila penyakit semakin parah:

1) Warna biru hingga putih pada mata.


2) Kuku menjadi rapuh.
3) Muncul keinginan untuk makan es batu, tanah, atau hal-hal lain yang bukan
makanan (disebut “pica”).
4) Pusing ketika berdiri.
5) Warna kulit pucat.
6) Sesak napas.
7) Lidah terasa sakit.

Pemeriksaan Penunjang

Tes darah untuk mengetahui jenis umum dari anemia yang terdiri dari:

1) Kadar zat besi, vitamin B12, asam folat, dan vitamin dan mineral lainnya.
2) Jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin.
3) Jumlah retikulosit.

e. Tata Laksana :

1) Transfusi darah.
2) Pemberian obat yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh.
3) Pemberian obat dengan tujuan untuk memperbanyak sel darah dalam tubuh.
4) Mengonsumsi suplemen zat besi, vitamin B12, asam folat, vitamin, serta mineral
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 2. Halaman 819. EGC: Jakarta:


2015.
2. Setiati s, Alwi Idrus, Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
VI. Interna Publishing: Jakarta: 2014.

3. Joseph L, HARRISON Pulmonologi dan Penyakiti Kritis. Edisi 2. EGC : Jakarta ;


2015.

Anda mungkin juga menyukai