SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
CIREBON
2020
Skenario
Benjolan di Leher
Benjolan di Leher Seorang perempuan berusia 65 tahun, datang ke Poli RS
dengan keluhan benjolan di leher sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai
mengantuk pada siang hari, konsentrasi menurun, mudah kedinginan dan mudah
lelah. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan namun berat badannya naik
sebanyak 8 Kg dalam 3 bulan terakhir. Pasien tinggal bersama suaminya di daerah
pegunungan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit pucat, puffy face, edema
periorbital. Teraba massa di leher kanan, difuse, konsistensi kenyal dan ikut
bergerak saat menelan. Dokter menduga adanya kelainan hormon dan disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium kadar TSH, Free T3 dan Free T4 untuk
penatalaksanaan lanjutan.
Mindmap
/
Step 5 – Sasaran Belajar
1. Fisiologi metabolisme tiroid
2. Etiologi, Faktor Risiko, dan Patomekanisme pada gangguang tiroid
3. Penegakan diagnosis gangguan tiroid
4. Diagnosis banding gangguan tiroid
5. Penatalaksanaan gangguan tiroid
Refleksi Diri
Alhamdulillah pada Skenario 2 ini berjalan dengan lancar, semoga ilmu yang
sudah didapatkan bermanfaat.
Step 6
Belajar Mandiri
Step 7 – Pembahasan
1. Fisiologi dari hormone tiroid
o Regulasi sekresi hormon tiroid
Thyroid-stimulating hormone (TSH), hormon tropik tiroid
dari hipofisis anterior, adalah regulator fisiologik terpenting sekresi
hormon tiroid. TSH bekerja dengan meningkatkan Adenosin
monofosfat siklik (cAMP) di tirotrop. Hampir setiap tahap dalam
sintesis dan pelepasan hormon tiroid dirangsang oleh TSH. Selain
meningkatkan sekresi hormon tiroid, TSH juga mempertahankan
integritas struktural kelenjar tiroid. Tanpa adanya TSH, tiroid
mengalami atrofi (ukurannya berkurang) dan mengeluarkan hormon
tiroid dalam jumlah sangat rendah. Sebaliknya, kelenjar mengalami
hipertrofi (peningkatan ukuran setiap sel folikel) dan hiperplasia
(peningkatan jumlah sel folikel) sebagai respons terhadap TSH yang
berlebihan. 1
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) hipotalamus, melalui
efek tropiknya, "menyalakan" sekresi TSH oleh hipo-fisis anterior,
sementara hormon tiroid, melalui mekanisme umpan-balik negatif,
"memadamkan" sekresi TSH dengan menghambat hipofisis anterior
dan hipotalamus. TRH berfungsi melalui jalur caraka kedua
diasilgliserol (DAG) dan inositol trisfosfat (IP3). Seperti lengkung
umpan-balik negatif lainnya, mekanisme antara hormon tiroid dan
TSH ini cenderung mempertahankan kestabilan sekresi hormon tiroid.
Umpan-balik negatif antara tiroid dan hipofisis anterior melaksanakan
regulasi kadar hormon tiroid bebas sehari-hari, sementara hipotalamus
memerantarai penyesuaian jangka-panjang. Tidak seperti kebanyakan
sistem hormon lainnya, hormonhormon di aksis hipotalamus-hipofisis
anterior tiroid pada orang dewasa tidak mengalami perubahan sekresi
yang mendadak dan besar. Sekresi hormon tiroid yang relatif tetap
sesuai dengan respons lambat dan berkepanjangan yang diinduksi oleh
hormonini; peningkatan atau penurunan mendadak kadar hormon
tiroid plasma tidak memiliki manfaat adaptif. Satu-satunya faktor yang
diketahui meningkatkan sekresi TRH (dan karenanya, sekresi TSH dan
hormon tiroid) adalah pajanan ke cuaca dingin pada bayi baru lahir,
suatu mekanisme yang sangat adaptif. Peningkatan drastis sekresi
hormon tiroid yang menghasilkan panas membantu mempertahankan
suhu tubuh sewaktu terjadi penurunan mendadak suhu lingkungan saat
lahir ketika bayi keluar dari tubuh ibunya yang hangat ke udara
lingkungan yang lebih dingin. Respons TSH serupa terhadap pajanan
dingin tidak terjadi pada orang dewasa, meskipun secara fisiologis
masuk akal dan memang terjadi pada banyak hewan. Beberapa bukti
mengisyaratkan bahwa pada jangka waktu yang lebih panjang selama
aklimatisasi ke lingkungan dingin, konsentrasi hormon-hormon dalam
aksis ini meningkat dalam upaya untuk meningkatkan laju
metabolisme (LMB) produksi panas. Berbagai jenis stress, termasuk
stres fisik, kelaparan, dan infeksi, menghambat sekresi TSH dan
hormon tiroid, mungkin melalui pengaruh saraf pada hipotalamus,
meskipun makna adaptif inhibisi ini masih belum jelas. 1
d. Penegakan Diagnosis
Anamnesis :
Lelah
Gemetar
Tidak tahan panas
Keringat berlebih
BB turun sementara nafsu makan meningkat
Diare
Riwayat keluarga
Penyakit yang berhubungan sama autoimun. 3
Pemeriksaan fisik :
Oftalmopati (mata melotot, fissure melebar, kedipan
berkurang, kelopak mata lambat dalam mengikuti gerakan
mata)
Goiter difus
Palpitasi
Suhu badan meningkat
Tremor
Takikardi. 3
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas
atau FT41 (free thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang
meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH
serum, test penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine
uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).Gold
standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.
Pada pemeriksaan laboratorium hipertiroidisme menunjukan kadar
tiroksin dan triyodotironin bebas dan total dalam serum yang tinggi
serta kadar TSH serum yang rendah. Ambilan dari RAI (reactive
iodium uptake) dari tiroid meningkat. 3
e. Penatalaksanaan
Terdapat tiga pilihan untuk mengobati hipertiroidisme yaitu obat
anti tiroid (OAT), ablasi yodium radioaktif, dan pembedahan.
Metimazole (10-30 mg sehari atau 1x5mg u/initial dose)
PTU 300mg PTU dengan dosis terbagi (3x50mg-3x100mg)
2) HIPOTIROID
Hipotiroid merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya
sintesis hormon yang rendah di dalam tubuh. Berbagai keadaan dapat
menimbulkan hipotiroid baik yang melibatkan kelenjar tiroid secara
langsung maupun tidak langsung. Mengingat bahwa hormon ini
sangat berperan pada setiap proses dalam sel termasuk dalam otak,
menurunnya kadar hormon ini dalam tubuh akan menimbulkan akibat
yang luas pada seluruh tubuh. 7
a. Etiologi
Penyebab terjadinya hipotiroid dapat dikelompokkan menjadi
beberapa golongan. 7
a) Hipotiroid Primer
Penyakit Autoimun
Pada beberapa orang, sistem imun yang seharusnya
menjaga atau mencegah timbulnya penyakit justru
mengenali secara salah sel kelenjar tiroid dan berbagai yang
disintesis di kelenjar tiroid, sehingga akibatnya hanya
tersisa sedikit sel atau enzim yang sehat dan tidak cukup
untuk mensintesis hormon tiroid dalam jumlah yang cukup
untuk kebutuhan tubuh. Hal ini lebih banyak timbul pada
wanita dibandingkan pria. Tiroiditis otoimun dapat timbul
memdadak atau timbul secara perlahan. Bentuk yang paling
sering dijumpai adalah tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis
atrofik. 7
Hipotiroid Kongenital
Beberapa bayi baru lahir dengan kelenjar tiroid yang tidak
terbentuk atau hanya memiliki kelenjar tiroid yang
terbentuk sebagian. Beberapa yang lain kelenjar tiroid
terbentuk ditempat yang tidak seharusnya (ektopik) atau
sel-sel kelenjar tiroidnya tidak berfungsi. Terdapat juga
enzim yang berperan pada sintesis hormon bekerja dengan
tidak baik. Pada keadaan demikian ini akan terjadi
gangguan produksi sehingga kebutuhan hormon tiroid tidak
tercukupi dan timbul hipotiroid. 7
b) Hipotiroid Sekunder
Tiroiditis
Infeksi tiroid oleh virus sering diikuti terjadinya proses
keradangan kelenjar tiroid. Pada awalnya akan terjadi
peningkatan sintesis hormon, akan tetapi sebgaia akibat
proses yang berlanjut akan terjadi kerusakan sel kelenjar
yang kemudiaan diikuti penurunan sintesis hormon dan
mengakibatkan terjadinya hipotiroid. 7
c) Hipotiroid Tersier
Kerusakan kelenjar hipofise
Tumor, radiasi atau tindakan bedah dapat
menimbulkan kerudakan pada hipofisis. Bila hal ini terjadi
maka sintesis hormon TSH (thyroid stimulating hormone)
yang memicu kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid
akan berkurang. Sebagai akibatnya akan terjadi penurunan
sintesis hormon tiroid. 7
Meskipun sangat jarang, beberapa penyakit dapat
menyebabkan terjadinya hipotiroid. Pada penyakit
sarkoidosis dapat terjadi penumpukan granuloma pada
kelenjar tiroid, sedangkan pada amiloidosis dapat terjadi
penumpukan protein amilod pada kelenjar. Demikian juga
pada hemokromatosis dapat terjadi penumpukan besi pada
jaringan kelenjar. Kesemuanya akan menimbulkan ganggua
pada fungsi kelenjar tiroid dalam mensintess hormon. 7
b. Patomekanisme
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid
atau gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid.
Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :
Hipotalamus membuat “Thirotropin Releasing Hormone
(TRH)” yang merangsang hipofisis anterior
Hipofisis anterior mesintesis thyrotropin ( Thyroid Stimulating
hormone = TSH ) yang merangsang kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid mensintesis hormon tiroid ( triiodothyronin =
T3 dan tetraiodothyronin = T4 = thyroxin ) yang merangsang
metabolism jaringan yang meliputi : konsusmsi oksigen,
produksi panas tubuh, fungsi saraf, metabolism protein,
karbohidrat, lemak dan vitamin, serta kerja daripada hormon –
hormon lain.
Kelenjar tiroid memproduki hormone tiroid dan kalsitonin,
diproduksii dari dua tipe sel yaitu, sel folikel tiroid dan para
folikuler. Meskipun gangguan hipotalamus atau hipofisis dapat
mempengaruhi fungsi tiroid, penyakit lokal dari kelenjar tiroid
yang menghasilkan penurunan produksi hormon tiroid adalah
penyebab paling umum dari hipotiroidisme. Dalam keadaan
normal, tiroid melepaskan 100-125nmol T4 setiap hari dan hanya
sebagian kecil T3. Waktu paruh dari T4 adalah sekitar 7-10 hari.
Pada awal proses penyakit, mekanisme kompensasi terjadi untuk
mempertahankan tingkat T3. Penurunan produksi T4 menyebabkan
peningkatan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis. TSH merangsang
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar tiroid dan aktivitas 5'-
deiodinase, sehingga meningkatkan produksi T3. Kekurangan
hormon tiroid memiliki berbagai efek. Efeksi stemik adalah hasil
dari salah satu terjadinya penurunan proses metabolisme atau efek
langsung oleh infiltrasi miksedematous (yaitu akumulasi
glukosaminoglikan dalam jaringan). Perubahan hipotiroid di hasil
jantung membuat kontraktilitas menurun, pembesaran jantung,
efusi perikardial, penurunan denyut nadi, dan penurunan curah
jantung. Pubertas tertunda, anovulasi, ketidakteraturan menstruasi,
dan infertilitas yang umum. Skrining TSH harus menjadi bagian
rutin dari penyelidikan atas ketidakteraturan menstruasi atau
infertilitas. Penurunan efek hormon tiroid dapat menyebabkan
peningkatan kadar kolesterol total dan low density
lipoprotein(LDL) kolesterol dan perubahan dalam high-density
lipoprotein (HDL) kolesterol karena terjadi perubahan metabolik.
Selain itu, hipotiroidisme dapat menyebabkan peningkatan
resistensi insulin.
c. Manifestasi Klinis
a) Hipotiroid Kongenital
Riwayat dan gejala pada neonatus dan bayi :
Fontanella mayor yang lebar dan fontanella posterior yang
terbuka
Suhu rectal <35,50C dalam 0 – 45 jam pasca lahir
Berat badan lahir >3500 gram, masa kehamilan >40
minggu
Icterus prolongatum
Hernia umbilicalis
Miksedema
Makroglosi
Riwayat BAB pertama >20 jam setelah lahir dan sembelit
Kulit kering, dingin, dan “motling” (berbercak-bercak,
terutama tungkai)
Letargi
Gangguan minum dan menghisap
Bradikardia ( <100/menit )
Hipotonia
Tidur yang berlebihan, sedikit menangis, tidak selera
makan, biasanya lamban
Hipertelorism
Gejala pada anak :
Dengan goiter maupun tanpa goiter
Gangguan pertumbuhan (kerdil)
Gangguan perkembangan motorik, mental, gigi, tulang, dan
pubertas
Gangguan perkembangan mental permanen terutama bila
onset terjadi sebelum umur 3 tahun
Aktivitas berkurang, lambat
Kulit kering
Miksedema
Tekanan darah rendah, metabolism rendah
Intoleransi terhadap dingin
b) Hipotiroid Didapat
Perlambatan pertumbuhan
Miksedema
Konstipasi
Intoleransi dingin
Mudah lelah
Selalu mengantuk
Maturasi tulang terlambat
Punertas prekoks
Nyeri kepala
Galaktorea
Terjadi pembesaran hiperplastik kelenjar pituitary
d. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan melakukan beberapa
pendekatan, seperti:
Melakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang timbul.
Gejala hipotiroid timbul secara perlahan dan tidak spesifik. Hal
ini menyebabkan kesulitan deteksi dini keadaan hipotiroid.
Beberapa keadaan atau penyakit lain dapat memberikan gejala
yang sama dengan hipotiroid. Hanya pada keadaan hipotiroid
yang berat gejala yang timbul lebih mudah dikenali. 7
e. Penatalaksanaan
Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan
melihat manifestasi klinis pada penderita.
Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata dan disertai
dengan penurunan T4 bebas dan kenaikan TSH (hipotiroid klinis)
memerlukan terapi levotiroksin (T4). Pada umumnya dosis yang
diperlukan sebesar 1.6 ug/kaB/hari (total: 100-150 ug/hari). Pada
pasien dewasa <60 tahun tanpa disertai penyakit jantung dan
pembuluh darah, pemberian levotiroksin dimulai dengan dosis
rendah (50 ug/hari). Kadar TSH diukur 2 bulan dihitung dari mulai
awal terapi. 7
Peningkatan dosis levotiroksin dilakukan secara perlahan
apabila kadar TSH belum mencapai batas normal. Penambahan
sebesar 12.5-25 ug/hari dilakukan setiap 2 bulan (sesuai dengan
pemeriksaan kadar TSH), Penumnan dosis sebesar 12.5 25 ug/hari
juga dilakukan apabila kadar TSH menurun dibawah normal
sebagai akibat adanya penekanan produksi TSH. Pada pasien
dengan penyakit Grave yang mengalami hipotiroid setelah
pengobatan, pada umumnya membutuhkan dosis levotiroksin yang
lebih kecil. Hal ini mengingat masih ada sebagian jaringan tiroid
yang otonom dan menghasilkan hormon. 7
Levotiroksin mempunyai masa paruh yang panjang (sampai 7
hari), sehingga apabila pasien lupa minum sekali, maka dosis yang
seharusnya diminum hari itu ditambahkan pada dosis hari
berikutnya. Adanya kelainan mal-absorbsi, pemberian berbagai
macam obat (kalsium oral, estrogen, kolesteramin, golongan statin,
antasida, rifampisin, amiodaron, karbamazepin, sulfas ferosus)
dapat menggangu penyerapan maupun sekresi levotiroksin.
Sehingga pada pasien yang mendapat terapi obat tersebut harus
mendapatkan perhatian khusus.
Tabel 1.3 Guidelines dosis levothyroxine untuk hipotiroidisme pada
pasien dewasa. 8
Efek klinis terapi levotiroksin tidak segera terlihat. Pasien
baru merasakan hilangnya gejala 3-6 bulan setelah kadar TSH
mencapai kadar normal. Hal ini perlu diberitahukan kepada pasien
agar tidak menghentikan program pengobatan yang memang
memerlukan waktu yang panjang. 7 Apabila kadar TSH telah dapat
dipertahankan dengan dosis levotiroksin tertentu, maka pemberian
levotiroksin tetap dipertahankan pada dosis tersebut. Selanjutnya
pemeriksaan kadar TSH dapat dilakukan setiap 1-2 tahun sekali. 7
Pada pasien hipotiroid sub-klinis belum ada kesepakatan
rekomendasi terapi levotiroksin. Hipotiroid sub-klinis merupakan
keadaan dimana pada pasien tidak didapatkan gejala hipotiroid,
kadar T4 bebas dalam batas normal namun kadar TSH telah
meningkat. Pada umumnya terapi levotiroksin belum diberikan
apabila kadar TSH masih < 10 mU/L Terapi baru diberikan apabila
peningkatan TSH berlangsung lebih dari 3 bulan yang diketahui
dari beberapa kali pemeriksaan kadar TSH. Kecenderungan
menjadi hipotiroid klinis pada kelompok ini semakin besar pada
pasien yang disertai dengan hasil TPO-Ab yang positif. Pemberian
levotiroksin selalu dimulai dengan dosis yang rendah dan
dinaikkan secara bertahap. Pada pasien yang tidak memerlukan
terapi levotiroksin (TSH <10 mU/L), pemeriksaan kadar TSH perlu
dilakukan setiap tahun. 7
3) TIROIDITIS
Tiroiditis adalah merupakan radang pada kelenjar tiroid yang ditandai
oleh beberapa bentuk radang tiroid. Jenis-jenis tiroiditis secara umum
dapat dibagi menjadi kategori nyeri dan tanpa nyeri.
nyeri yaitu tiroiditis subakut dan supuratif dan tiroiditis yanh
diinduksi oleh yodium radioaktif
tanpa nyeri seperti tiroiditis hashimoto yang merupakan jenis
paling umum dari penyakit tiroid kronis
Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses
autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik.
Jika jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa dibawah mikro
skop maka akan tampak gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel
limfosit.
Patogenesis
Infiltrasi dari sel T dan sel B dari kelenjar tiroid yang reaktif terhadap
antigen tiroid
Sel B yang teraktivasi mengeluarkan autoantibodi tiroid, termasuk
diantaranya antibodi terhadap tiroglobulin (anti-TG), tiroid
peroksidase (Anti-TPo) dan tirotropin
Sel T sitotoksik mengakibatkan kerusakan dari parenkim tiroid, yang
berakibat pada terjadinya tirotoksikosis yang akhirnya menjadi
hipotiroidisme.
Proses inflamasi ini berakibat pada tampilan histopatologis dari TH ini,
berupa agregasi limfosit dengan sentral germinal, folikel-folikel tiroid
kecil dengan koloid yang jarang, dan fibrosis
Gambaran Klinis
Secara klinis tiroiditis Hashimoto menunjukkan pembesaran tiroid
tanpa nyeri, biasanya berhubungan dengan hipotiroidisme, pada wanita
usia menengah. Pembesaran kelenjar biasanya simetris dan difus,
namun kadang-kadang dapat terbatas sehingga menimbulkan
kecurigaan akan suatu neoplasma. Secara klinis hipotiroidisme
biasanya berkembang bertahap. Namun, pada beberapa kasus dapat
diawali oleh tirotoksikosis semeniara (transient) yang disebabkan oleh
kerusakan folikel tiroid serta pelepasan hormon tiroid (hashitoksikosis)
yang sekunder. Selama fase ini, kadar T4 dan T3 bebas meningkat,
TSH berkurang dan uptake yodium radioaktif menurun. Saat terjadi
hipotiroidisme, kadar T4 dan T3 berkurang secara progresif, diikuti
oleh peningkatan TSH kompensatorik. Pasien tiroiditis Hashimoto
sering menderita penyakit autoimun lainnya dan memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk berkembang menjadi limfoma non-Hodgkin sel B,
yang secara khas terjadi di dalam kelenjar tiroid. Hubungan antara
penyakit Hashimoto dan kanker epitelial tiroid masih tetap
kontroversial. Beberapa penelitian molekuler dan morfologik
menghubungkannya dengan predisposisi menjadi karsinoma papiler. 6
c. Penegakan Diagnosis
Anamnesis :
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa
berupa benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun
gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika
pasienmengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali
lebih jauh apakah pembesaran terjadisangat progresif atau lamban,
disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-
gejala hiper dan hipofungsi darikelenjer tiroid. Perlu juga
ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik.
Sebaliknya jika pasien datangdengan keluhan ke arah gejala-gejala
hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauhke arah
hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.
Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang
paling pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah
pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda gangguan
pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.Pada
palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut
benar adalahkelenjar tiroid atau kelenjar getah bening.
Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika
benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat
menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher. 10
1. Guyton dan Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Singapore;
Elsevier; 2014.
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-8. Jakarta: EGC;
2014.
3. Harrison,I., Wilson, B.W., & Kasper, M.F. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. edisi 13 volume 3. EGC : Jakarta ; 2012
4. Kravets I. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment. New York: American
Family Physician; 2016.
5. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC; 2018.