Anda di halaman 1dari 37

Referat

Beta Blocker pada Hipertiroid

Oleh:

Jannatul Fajriyah, S.Ked

1830912320139

Pembimbing

dr. Nanang Miftah Fajari, Sp.PD-KEM, FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

RSUD ULIN BANJARMASIN

Desember, 2019

0
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL

2. DAFTAR ISI 1

3. BAB I: PENDAHULUAN 2

4. BAB II: ANATOMI DAN FISIOLOGI 4

5. BAB III: HIPERTIROID 11

6. BAB IV: BETA BLOCKER PADA HIPERTIROID 30

7. DAFTAR PUSTAKA 38

1
BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan tiroid merupakan kelainan fungsi hormon endokrin yang ditandai

dengan perubahan hormonal dan metabolik sehingga menyebabkan perubahan

kompleks pada fungsi tiroid. Secara umum, kelainan tiroid dibagi menjadi dua,

yakni hipertiroid dan hipotiroid. Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana kelenjar

tiroid memproduksi hormon tiroid secara berlebihan, biasanya karena kelenjar

terlalu aktif. Kondisi ini menyebabkan beberapa perubahan baik secara mental

maupun fisik seseorang, yang disebut dengan thyrotoxicosis.¹

Hipertiroid dalam hal prevalensi merupakan penyakit endokrin yang

menempati urutan kedua setelah Diabetes Mellitus, yang merupakan kesatuan

penyakit dengan batasan yang jelas, dan penyakit Graves menjadi penyebab

utamanya.2 Bentuk yang umum dari penyakit ini adalah penyakit graves,

sedangkan bentuk yang lain adalah toksik adenoma, tumor kelenjar hipofisis yang

menimbulkan sekresi TSH meningkat, tiroditis subkutan dan berbagai bentuk

kanker tiroid.3
Menurut WHO jumlah penderita penyakit hipertiroid di seluruh dunia pada

tahun 2000 diperkirakan 400 juta, dan lebih sering terjadi pada wanita di

bandingkan laki-laki dengan perbandingan 5 : 1. Jumlah penderita hipertiroid

yang ada di Indonesia di perkirakan 25 juta. Angka kejadian hipertiroid yang

didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%-48,93% dari

seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok.4

2
Dalam banyak jaringan, hipertiroidisme dikaitkan dengan peningkatan

jumlah reseptor beta-adrenergik. Peningkatan selanjutnya dalam aktivitas beta-

adrenergik bertanggung jawab atas banyak gejala yang terkait dengan gangguan

ini. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa gangguan psikiatrik

seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan

pencernaan berupa diare, intoleransi panas hingga gangguan kardiovaskuler

berupa takikardi dan palpitasi. Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat

penyakit ini dapat mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Oleh karena itu

pemberian obat golongan beta blocker perlu diberikan pada kasus hipertiroidisme

segera setelah diagnosis hipertiroidisme dibuat, bahkan sebelum menentukan

penyebab hipertiroidisme.5

Dalam sebuah percobaan kecil dan acak, pasien yang menerima beta

blocker dengan methimazole, dibandingkan dengan pasien yang menerima

methimazole saja, memiliki detak jantung yang lebih rendah dan peningkatan

kelelahan, sesak napas, dan fungsi fisik setelah empat minggu terapi. 6 Propranolol

dalam dosis tinggi (di atas 160 mg / hari) juga perlahan-lahan menurunkan

konsentrasi serum triiodothyronine (T3) sebanyak 30 persen [4], melalui

penghambatan 5'-monodeiodinase yang mengubah tiroksin (T4) menjadi T3.7

Pemberian beta blocker memiliki hubungan bermakna terhadap perbaikan

klinis pada penderita hipertiroid. Oleh karena itu peneliti ingin menulis sebuah

referat yang membahas tentang penggunaan obat golongan beta blocker pada

kasus hipertiroid.

3
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Anatomi Kelenjar Tiroid


Makroskopik

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada

akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara

branchial pouch pertana dan kedua. Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher,

terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea

2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea

sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya

kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang

digunakan klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher berhubungan

dengan kelenjar tiroid atau tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong

4
berkuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar

tiroid dipengaruhi oleh berat badan masukan yodium. Pada orang dewas

beratnyab berkisar antara 10-20 gram.1


Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A tiroidea superior berasal

dari a.karotis komunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia

dan a.tiroid ima berasal dari a.brakiosefalik salah satu cabang dari arkus aorta.

Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,

sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang manyatu di

permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke

kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/menit, dalam keadaan

hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar

bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar1,2.

Mikroskopik

Gambar 2.2 Sel folikel tiroid


Sel pada kebanyakan organ endokrin menimbun produk sekresinya di

dalam sitoplasmanya. Kelenjar tiroid adalah organ endokrin unik karena sel-

selnya tersusun membentuk struktur bulat yang disebut folikel, bukan berupa

kelompok atau deretan seperti biasanya. Sel-sel yang mengelilingi folikel, yaitu

5
sel folikel, menyekresi dan menimbun produknya di luar sel, di dalam lumen

folikel sebagai substansi mirip gelatin yang disebut koloid. Koloid terdiri atas

tiroglobulin, yaitu suatu glikoprotein yang mengandung sejumlah asam amino

teriodinasi.
Hormon kelenjar tiroid disimpan di dalam folikel sebagai koloid terikat

pada tiroglobulin. Oleh karena itu, folikel adalah satuan struktural dan fungsional

kelenjar tiroid. Selain sel folikel, sel-sel parafolikel yang lebih besar juga terdapat

di kelenjar tiroid. Sel-sel ini terdapat di dalam epitel folikel atau dicelah anatar

folikel. Adanya banyak pembuluh darah di sekitar folikel memudahkan

pencurahan hormon ke dalam aliran darah.3


B. Fisiologi Hormon Tiroid
Efek Fisiologis
Efek Fisiolofis hormon tiroid membutuhkan waktu beberapa jam sampai

hari. Efek genomnya menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat,

pertumbuhan, maturasi otak dan susunan saraf yang melibatkan Na+K+ATPase

sebagian lagi karena reseptor beta adrenergik yang bertambah. Tetapi ada juga

efek yang nongenomik misalnya meningkatnya transpor asam amino dan glukosa,

menurunnya enzim tipe-2 5’-deyodinasi di hipofisis. Efek fisilogi dapat berupa2,4 :

1. Pertumbuhan Fetus. Sebelum mi 11 tiroid fetus belum bekerja, juga TSHnya.

Dalam keadaan ini karena DIII tinggi di plasenta hormon tiroid bebas yang

masuk fetus amat sedikit, karena di inaktivasi di plasenta. Meski amat sedikit

krusial, tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin

(retardasi mental dan cebol).

2. Efek pada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Kedua

peristiwa diatas dirangsang oleh T3 lewat Na+K+ATPase disemua jaringan

6
kecuali otak, testis dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid

menurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal bebas anion

superoksida meningkat.

3. Efek Kardiovaskular. T3 menstimulasi a). Transkripsi miosin hc-B dan

menghambat miosin hcB, akibatnya kontraksu otot miokard menguat. b).

Transkripsi Ca2+ ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus

diatolik. c). Mengubah konsentrasi protein G,b reseptor adrenergik, sehingga

akhirnya hormon tiroid ini punya efek yonotropik positif. Secara klinis

terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardi.

4. Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot

skelet, lemak dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor

adrenergik alfa miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi

pada hipertiroidsme dan sebaliknya pada hipotiroidsme.

5. Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidsme

menyebabkan eritopoesis dan produksi eritopoetin meningkat. Volume darah

tetap namun red cell turn over meningkat.

6. Efek Gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang

ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung

melambat. Hal ini dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.

7. Efek pada skelet. Turn over tulang meningkat resprbsi tulang lebih

terpengaruh dari pada pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan

osteopenia. Dalam keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia,

hiperkalsiuria dan penanda hidroksiprolin dan cross-link piridium.

7
8. Efefk neuromuskular. Turn over meningkat juga menyebabkan miopati

disamping hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta

relaksasi otot meningkat (hiperfleksia).

9. Efek Endokrin. Hormon tiroid meningkatkan metabolik turn-over banyak

hormon serta bahan farmakologik. Contoh : waktu paruh kortisol adalah 100

menit pada orang normal tetapi menurun jadi 50 menit pada pada

hipertiroidsme dan 150 menit pada hipotiroidsme. Untuk ini perlu diingat

bahwa hipertiroidsme dapat menutupi (masking) atau memudahkan

unmusking kelainan adrenal.

Efek Metabolik
Hormon tiroid memang satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua

proses tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau

hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain

seperti di bawah ini2,4 :

1. Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan

temperatur sub-optimal) dan kalorigenik

2. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi

dalam dosis besar bersifat katabolik

3. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabeto-genik, karena resorpsi intestinal

meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot

menipis dan degradasi insulin meningkat.

4. Metabolisme lipid. Meski t4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses

degradasi kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,

8
sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada

hipotiroidsm kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

5. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan

hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidsme dapat dijumpai karotenemia,

kulit kekuningan.

6. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatinin fosfat menyebabkan miopati,

tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering

terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi besi dan hipertiroidsm.

Regulasi Hormon Tiroid


Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh4 :

1. Autoregulasi

Seperti disebutkan di atas, hal ini lewat terbentuknya yodolipid pada

pemberian yodium banyak dan akut, dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Efek

ini bersifat selflimiting. Dalam beberapa keadaan mekanisme escape ini dapat

gagal dan terjadilah hipotiroidisme

2. TSH

TSH disintesis oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Efek pada tiroid akan

terjadi dengan ikatan TSH dengan reseptor TSH (TSHr) di membran folikel.

Sinyal selanjutnya terjadi lewat protein G (khusus Gsa). Dari sinilah terjadi

perangsangan protein kinase oleh cAMP untuk ekspresi gen yang penting untuk

fungsi tiroid seperti pompa yodium, Tg, pertumbuhan sel tiroid dan TPO, serta

faktor transkripsi TTF1, TTF2 dan PAX8. Efek klinisnya terlihat sebagai

perubahan morfologi sel, naiknya produksi hormon, folikel dan vaskularisasinya

bertambah oleh pembentukan gondok dan peningkatan metabolisme.

9
T3 intratirotrop mengendalikan sintesis dan keluarnya (mekanisme umpan

balik) sedang TRH mengontrol glikosilasi, aktivitas dan keluarnya TSH. Beberapa

obat bersifat menghambat sekresi TSH : somatostatin, glukokortikoid, dopamin,

agonis dopamin (misalnya bromokriptin), juga berbagai penyakit kronik dan akut.

Pada morbus Graves, salah satu penyakit autoimun, TSHr ditempati dan

dirangsang oleh imunoglobulin, antibodi-anti-TSH (TSAb = thyroid stimulating

antibody, TSI = thyroid stimulat-ing immunoglobulin), yang secara fungsional

tidak dapat dibedakan oleh TSHr dengan TSH endogen. Rentetan peristiwa

selanjutnya juga tidak dapat dibedakan dengan rangsangan akibat TSH endogen

3. TRH

TRH melewati median eminence, tempat ia disimpan dan dikeluarkan

lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya TSH

meningkat. Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya growth hormone dan

ACTH, tetapi TRH menstimulasi keluarnya prolaktin, kaddang-FSH dan LH.

Apabila TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid mengalami hiperplasi dan

hiperfungsi.

Sekresi hormon hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme

umpan balik), TSH, dopamin, hormon korteks adrenal dan somatostatin, serta

stres dan sakit berat (non thtoidal illness).

Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik ini banyak

memberi informasi klinis, sebagai contoh, naiknya TSH serum sering

menggambarkan produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang

memadai, sebaliknya respon yang rata (blunted response) TSH terhadap stimulasi

10
TRH eksogen menggambarkan supresi kronik ditingkat TSH karena kebanyak

hormon, dan sering merupakan tanda dini bagi hipertiroidisme ringan atau

subklinis.

BAB III

HIPERTIROID

A. Definisi

Menurut American Thyroid Association dan American Association of

Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi

berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh

kelenjar tiroid melebihi normal.3

Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya

kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah.

11
Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada jaringan-

jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang

terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses metabolisme tubuh.5

B. Etiologi

Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa

kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah

Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.4

a. Graves’ Disease

Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar

80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini

biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan

adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1.6

Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar

hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena

adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan

mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu

perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan

kadar hormon tiroid melebihi normal.6

TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan

antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell)

menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T

helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper

akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.

12
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada

pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh

puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino

pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada

orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine.7

Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease

perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin

et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis

Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan

bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb).

Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan

kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan

uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine

terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine

pada Graves’ disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan

hanya pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit

hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’

Disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi

dan tercapainya kondisi remisi pasien.7

Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat

berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika

Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien

Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan

13
operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian

pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi

hamil, dan kemungkinan kekambuhan.4

Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu mendapatkan

terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan

seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker

direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak.4

b. Toxic Adenoma

Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat

memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel

tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja

TSH. Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena

hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien dengan

nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul

tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering

muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat

terpapar radiasi. 8

Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala

atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian

besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan

kesehatan umum atau oleh pasien sendiri.8

Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat

benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun

14
apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu

dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan

pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana

terapi yang tepat.8

Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan

asupan iodine yang rendah. Iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar

hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal

ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada

penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada

reseptor TSH.8

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas,

ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan

pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar

tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3).

Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara

frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan

pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien.

Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk

mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA

dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau

malignant (kanker).8

15
Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma

adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan

dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi

dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid

(Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu

dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3

total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul.8

c. Toxic Multinodular Goiter

Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter

merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.

Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena

ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan,

namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat

dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi

ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.9

Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah

dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi

euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan

pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6 bulan. 9

d. Hipertiroidisme Subklinis

Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan

penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis

16
overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan

rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas.4

Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan

hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan

rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour

(2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada

pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis

yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. Prinsip pengobatan

hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism.4

C. Faktor Risiko

Secara umum, dilihat dari beberapa etiologi yang telah dijelaskan, faktor-

faktor risiko seseorang untuk terkena hipertiroidisme sebagai berikut:4

1. Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau

pernah menjalani operasi kelenjar tiroid.

2. Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan

gangguan hormonal.

3. Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.

4. Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.

5. Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti

amiodarone.

6. Berusia lebih dari 60 tahun.

Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme terutama

dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 – 70%. 7 Kekambuhan

17
pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi satu tahun setelah pengobatan

dihentikan hingga bertahun-tahun setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko

terjadi kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut:

1. Berusia kurang dari 40 tahun.

2. Ukuran goiter tergolong besar.

3. Merokok.

4. Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir

pengobatan dengan obat anti tiroid.

5. Faktor psikologis seperti depresi.

D. Patofisiologi

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi

berlebihan dri hormone tiroid yaitu tiroksin ( T4 ) dan triiodotirosin ( T3 ).

Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotirosin (T3 ) sebagai hasil

meningkatnya konversi tiroksin ( T4 ) di jaringan perifer.4

Patogenesis penyakit Graves masih belum jelas diketahui. Diduga

peningkatan kadar hormon tiroid ini disebabkan oleh suatu activator tiroid yang

bukan TSH yang menyebabkan kelenjar timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan

antibodi terhadap reseptor TSH, sehingga di sebut sebagai antibody reseptor TSH.

Antibodi ini sering juga disebut sebagai thyroid stimulating immnunoglobulin

( TSI ). Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita penyakit

Graves.6

Selain itu penyakit graves sering pula ditemukan antibody terhadap

tiroglobulin dan anti mikrosom. Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa kedua

18
antibody ini mempunyai peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid.

Antibodi mikrosom ini bias ditemukan hampir pada 60-70% penderita Graves

bahkan dengan pemeriksaan radoassay bias ditemukan pada hampir semua

penderita, sedangkan antibody tiroglobulinbisa ditemukan pada 50 % penderita.

Terbentuknya autoantibody tersebut diduga karena adanya efek dari control

immunologic ( immunoregulation ) defek ini dipengaruhi oleh faktor genetic

seperti dan faktor lingkungan seperti infeksi atau stres.6

Pada toxic nodular goiter peningkatan kadar hormon tiroid disebabkan

oleh autonomisasi dari nodul yang bersangkutan dengan fungsi yang berlebihan

sedangkan bagian kelenjar selebihnya fungsinya normal atau menurun.9

E. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Penderita hipertiroidisme yang sudah berkembang lebih jauh akan

memperlihatkan kelompok tanda dan gejala yang khas (yang kadang-kadang

disebut tirotoksikosis). Gejala yang ditemukan sering berupa kegelisahan.

Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel dan

terus merasa khawatir; mereka tidak dapat duduk diam; menderita palpitasi; dan

denyut nadi yang abnormal cepat ditemukan pada saat melakukan aktivitas

maupun beristirahat. Penderita tirotoksitosis tidak tahan napas dan terus

berkeringat secara tidak lazim; kulit penderita sering kemerahan (flushing) dengan

warna salmon yang khas dan cenderung terasa hangat, lunak serta basah. Namun

demikian, pasien yang berusia lanjut mungkin melaporkan kulit yang kering dan

pruritus yang menyebar. Tremor pada tangan dapat terlihat. Pasien dapat

19
memperlihatkan eksoftalmos (mata yang menonjol) yang menghasilkan ekspresi

wajah yang seperti orang terkejut.

Manifestasi lain mencakup peningkatan selera makan dan konsumsi

makanan, penurunan berat badan yang progresif, kelelahan otot yang abnormal,

amenore dan perubahan defekasi dengan konstipasi atau diare. Frekuensi denyut

nadi pasien berkisar secara konstan antara 90-160 kali/ menit; tekanan darah

sistolik, dan secara khas bukan tekanan diastolic, akan meningkat; fibrilasi atrium

dapat terjadi; dan dekompensasi jantung dalam bentuk kegagalan kongestif sering

dijumpai terutama pada pasien yang berusia lanjut. Osteoporosis dan fraktur juga

menyertai hipertiroidisme.

Efek pada jantung mencakup sinus takikardia atau aritmia jantung,

peningkatan tekanan nadi dan palpitasi; diperkirakan bahwa semua perubahan ini

berhubungan dengan peningkatan sensitifitas terhadap katekolamin atau dengan

perubahan pada turnover neurotransmiter. Hipertrofi dan gagal jantung dapat

terjadi jika hipertiroidisme tersebut berat dan tidak diobati.

Gejala hipertiroidisme dapat terjadi pada pelepasan hormone tiroid dengan

jumlah yang berlebihan sebagai akibat dari reaksi inflamasi setelah penyinaran

kelenjar tiroid atau penghancuran jaringan tiroid oleh tumor. Gejala semacam itu

dapat pula terjadi pada pemberian hormone tiroid yang berlebihan untuk

mengobati hipotiroidisme. Penggunaan hormone tiroid yang berlangsung lama

tanpa pemantauan yang ketat dapat menyebabkan timbulnya gejala

hipertiroidisme. Kemungkinan terjadinya osteoporosis premature dapat terlihat,

khususnya pada wanita.

20
Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves2
Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan Tanda
Umum Tak tahan hawa Psikis dan saraf Labil. Iritabel,

panas, tremor, psikosis,

hiperkinesis, nervositas,

capek, BB turun, paralisis periodik ,

tumbuh cepat, dispneu

toleransi obat,

youth fullness
Gastrointestinal Hiferdefekasi, Jantung hipertensi, aritmia,

lapar, makan palpitasi, gagal

banyak, haus, jantung

muntah, disfagia,

splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis,

limfatik anemia,

splenomegali,

leher membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis,

amenorea, libido epifisis cepat

turun, infertil, menutup dan nyeri

ginekomastia tulang
Kulit Rambut rontok,

berkeringat, kulit

basah, silky hair

dan onikolisis

21
Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium : TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar

leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)

↑TSH, ↓T4 Hipotiroidisme


↑ TSH, T4 normal Hipotirodisme yang telah diobati atau
hipotiroidisme subklinis
↑ TSH, ↑T4 Tumor penyekresi TSH atau resistensi
hormone tiroid
↑ TSH, ↑T4, atau ↓T3 Konversi lambat T4 menjadi T3
(Defisiensi deiodinase,
hipertiroksinemia eutiroid) atau artefak
antibody hormone tiroid.
↓ TSH, ↑ T4 atau ↑ T3 Hipertiroidisme
↓ TSH, T3 dan T4 normal Hipertiroidisme subklinis
↓ TSH , ↓T4 Hipotiroidisme sentral (gangguan
hipotalamus atau hipofisis)
↓TSH, ↓T4 dan ↓T3 Sick eutiroidism, atau penyakit
hipofisis
TSH normal, T4 abnormal Pertimbangkan adanya perubahan pada
globulin pengikat tiroid, gangguan
assay, konsumsi amiodarone, atau
tumor TSH hipofisis.
Tabel 3.1 Penilaian laboratorium tirotoksikosis

2. Sidik Tiroid/thyroid scan : terutama membedakan penyakit Plummer dari

penyakit Graves dengan komponen nodosa

3. EKG

4. Foto torak

Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis.

Untuk ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan

22
anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen pemeriksaan

penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi.6

23
F. Penatalaksanaan

Hipertiroid pada penyakit Graves di terapi dengan mengurangi sintesis

hormone tiroid menggunakan obat anti tiroid atau mengurangi jumlah jaringan

tiroid dengan radioidine (I131) atau dengan tiroidektomi.4

Obat antiroid utama adalah thionamides, seperti propylthiouracil,

carbimazole, dan metabolit aktif, yaitu methimazole. Semua bekerja untuk

menginhibisi fungsi TPO, mengurangi oksidasi, dan organifikasi iodine. Selain

itu, obat-obatan tersebut juga berfungsi dalam menurunkan kadar antibody tiroid

dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan, sehingga berpengaruh dalam

24
peningkatan remisi. PTU menginhibisi deiodinasi T4 menjadi T3. Namun, efek

tersebut masing memberikan efek yang minimal Hal ini disebabkan oleh karena

waktu paruh obat yang singkat (hanya 90 menit), dibandingkan dengan waktu

paruh methimazole, yaitu enam jam.4

Terdapat banyak variasi regimen obat antitiroid. Dosis inisial carbimazole

atau methimazole umumnya 10-20 mg per 8 atau 12 jam, namun dosis dapat

diturunkan menjadi sekali sehari jika keadaan sudah kembali menjadi

eutiroid.PTU diberikan dengan dosis 100-200 mg tiap 6-8 jam. Pemberian terapi

dengan dosis rendah dapat dilakukan jika dikombinasikan dengan intake iodine

yang rendah. 4

Tes fungsi tiroid dan menifestasi klinis dapat di evaluasi setiap 3-4 minggu

setelah terapi dimulai. Dosis dititrasi sesuai dengan kadar free T4, pada umumnya,

sebagian besar pasien belum mencapai kondisis eutiroid hingga minggu keenam

hingga kedelapan pasca terapi dimulai. Kadar TSH cenderung kembali menurun

pada beberapa bulan, sehingga sulit untuk menilai indeks respon terapi. Dosis

rumatan pada regimen titrasi umumnya carbimazole atau methimazole 2.5-10 mg

atau PTU dengan dosis 50-100 mg.4

Remisi maksmimal (pada lebih dari 30% hingga 50% populasi) cenderung

dicapai pada 18-24 bulan setelah terapi titrasi. Pasien dengan hipertiroidism berat

dan goiter yang besar sebagian besar mengalami relaps saat terapi dihentikan.

Seluruh pasien sebaiknya sering dievaluasi untuk kemungkinan relaps selama satu

tahun pertama terapi dan dievaluasi setiap tahunnya pasca terapi dimulai. 4

25
Efek samping tersering pada obat antitiroid adalah bercak-bercak

kemerahan, urticarial, demam, dan arthralgia (1-5% pasien) efek samping tersebut

dapat hilang dengan sendirinya atau dapat disarankan untuk mengganti terapi obat

antitiroid. Efek samping lain, namun jarang terjadi adalah hepatitis, SLE-like

syndrome, dan yang terpenting adalah agranulositosis (1%). Hal terpenting yang

harus diingat adalah jika pasien mengalami efek samping berat, maka pemberian

obat harus dihentikan dan tidak diulang kembali. Tanda-tanda terjadinya

agranulositosi adalah suara serak, demam, dan ulserasi pada mulut. 4

Radioiodine menyebabkan destruksi progresif sel tiroid dan dapat

digunakan sebagai terapi inisial atau untuk fase relaps setelah percobaan

penggunaan obat antitiroid. Terdapat risiko ringan terjadinya krisis tirotoksik

setelah terapi radioiodine, hal tersebut dapat diminimalisir dengan pemberian pre-

treatment dengan obat anti tiroid selama minimal 1 bulan sebelum terapi.

Carbimazole dan methimazole sebaiknya dihentikan minimal dua hari sebelum

pemberian radioiodine untuk mencapai uptake iodine optimal. PTU dapat

memperpanjang efek radio protektif sehingga sebaiknya dihentikan beberapa

minggu sebelum pemberian terapi radioiodine, atau akan membutuhkan dosis

radioiodine yang lebih tinggi.4

Dosis I131 umumnya berkisar antara 185 MBq (5mCi) hingga 555 MBq (15

mCi). Terapi yang tidak tuntas atau relaps dini lebih sering terjadi pada laki-laki

dan pasien usia <40 tahun. Pada umumnya, terdapat kemungkinan terjadinya nyeri

minimal dikarenakan tiroiditis radiasi pada 1-2 minggu pasca terapi, namun hal ini

jarang terjadi. Hipertiroid dapat menetap pada 2-3 bulan sebelum radioiodine

26
memberikan efek penuh. Oleh sebab itu, β-adrenergik blocker atau obat antitiroid

dapat dimanfaatkan untuk mengontrol gejala selama interval berikut. Hipertiroid

persisten dapat diterapi dengan dosis sekunder radioiodine, biasanya dilakukan

enam bulan setelah terapi iodine pertama. Risiko terjadinya hipotiroid pasca terapi

radioiodine bergantung pada dosis yang diberikan, namun cenderung muncul

paling sedikit 10-20% pada tahun pertama terapi dan 5% setaipa tahun setelahnya.

Pasien harus diberikan informasi mengenai kemungkinan tersebut sebelum

menjalan terapi radioiodine, selain itu perlu dilakukan follow up rutin selama

tahun pertama terapi, disertai dengan tes fungsi tiroid.4

Kehamilan dan menyusui merupakan kontraindikasi absolut dilakukannya

terapi radioiodine, namun pasien dapat merencanakan kehamilan secara aman

pada 6 bulan pasca terapi. Selain itu, jika terdapay ophthalmopathy berat, maka

disarankan untuk memberikan prednisone 40 mg/hari saat akan dilakukan terapi

radioiodine, diikuti dengan tapering off 2-3 bulan berikutnya untuk mencegah

eksaserbasi ophthalmopathy. Secara keseluruhan, terapi radioiodine pada dewasa

tidak meningkatkan risiko keganasan. Walau begitu, banyak ahli menghindari

untuk memberikan terapi radioiodine pada anak-anak dan dewasa muda karena

secara teori dapat meningkatkan risiko keganasan, namun beberapa penelitian

menjelaskan bahwa terapi radioiodine aman diberikan pada anak.4

Subtotal atau near-total thyroidectomy merupakan terapi pilihan pada

pasien yang mengalami relaps setelah pemberian obat antitiroid dan lebih memilih

terapi ini dibandingkan dengan terapi radioiodine. Beberap ahli

merekomendasikan pembedahan pada pasien dewasa muda, terutama jika goiter

27
yang diderita memiliki ukuran yang besar. Control rutin terhadap tirotoksikosis

dengan obat antitiroid, diikuti dengan pemberian potassium iodide (3 tetet per

oral) diperlukan pada awal pembedahan untuk menghindari terjadinya krisis

tirotoksis dan mengurangi vaskularisasi kelenjar. Komplikasi mayor yang dapat

terjadi saat pembedaha adalah perdarahan, edema laring, hipoparatiroid, dan

kerusakan nervus laringeus rekurens. 4

Pemberian obat antitiroid dengan titrasi sebaiknya digunakan untuk

menangani penyakit Grave pada kehamilan. Pemberian obat antitiroid pada pasien

hamil dapat menyebabkan hipotiroid pada janin. PTU biasanya digunakan karena

memiliki transfer transplasenta yang relative rendah dan memiliki kemampuan

untuk memblok konversi T4 menjadi T3. Selain itu, carbimazole dan methimazole

dikaitkan dengan kejadian aplasia cutia dan kelainan kongenital lain, seperti

choanal atresia. Terapi PTU harus diberikan dengan dosis optimal terendah, dan

sebaiknya dihentikan pada trimester ketiga karena kadar TSI menurun pada

kehamilan. Pemberian antitiroid pada ibu dapat digunakan untuk terapi pada janin,

dan dibutuhkan selama 1-3 bulan setelah kelahiran, hingga antibody maternal

menghilang pada sirkulasi bayi. Periode post partum merupakan waktu tersering

terjadinya relapse pada penyakit Graves. Menyusui masih aman dilakukan pada

pemberian obat antitiroid dengan dosis rendah. Penyakit Grave pada anak

umumnya dapat diterapi dengan obat anti tiroid. Radioidine dan pembedahan

dapat diindikasikan pada penyakit berat.4

BAB IV

28
BETA BLOCKER PADA HIPERTIROID

A. Definisi Beta Blocker

Obat-obat Beta Blocker, juga dikenal sebagai beta-adrenergic blocking

agents, adalah obat-obat yang menghambat norepinephrine dan epinephrine

(adrenaline) agar tidak berikatan dengan reseptor-reseptor beta. Ada tiga tipe

reseptor beta dan masing-masing mengontrol beberapa fungsi berdasarkan pada

lokasi mereka dalam tubuh.

1. Beta-1 receptors ditemukan di jantung, otak, mata, neuron adrenergik

perifer, dan ginjal.Reseptor β1 merupakan reseptor yang bertanggung

jawab untuk menstimulasi produksi katekolamin yang akan menstimulasi

produksi renin. Dengan berkurangnya produksi renin, maka cardiac

output akan berkurang yang disertai dengan turunnya tekanan darah.

2. Beta-2 receptors ditemukan dalam paru, saluran pencernaan, hati, rahim

(uterus), pembuluh darah, dan otot rangka.

3. Beta-3 receptors dapat ditemukan pada sel-sel lemak.

Beta blockers terutama menghambat reseptor-reseptor Beta-1 dan Beta-2.

Dengan menghambat efek dari norepinephrine dan epinephrine, beta blockers

mengurangi denyut jantung; mengurangi tekanan darah dengan memperlebar

pembuluh-pembuluh darah; dan mungkin menyempitkan jalan-jalan udara dengan

menstimulasi otot-otot yang mengelilingi jalan-jalan udara untuk berkontraksi.

B. Jenis Beta Blocker

29
Beta blockers berbeda dalam tipe dari beta receptors yang mereka halangi

dan, oleh karenanya, efek-efek mereka.

1. Non-selective beta blockers, contohnya, propranolol (Inderal),

menghalangi Beta-1 dan Beta-2 receptors dan, oleh karenanya,

mempengaruhi jantung, pembuluh-pembuluh darah, dan jalan-jalan udara.

2. Selective beta blockers, contohnya, metoprolol (Lopressor, Toprol

XL) terutama menghalangi Beta-1 receptors dan, oleh karenanya,

kebanyakan memengaruhi jantung dan tidak mempengaruhi jalan-

jalan udara.

3. Beberapa beta blocker, contohnya, pindodol (Visken) mempunyai

intrinsic sympathomimetic activity (ISA), yang berarti mereka meniru

efek-efek dari epinephrine dan norepinephrine dan dapat menyebabkan

peningkatan dalam tekanan darah dan denyut jantung. Beta blockers

dengan ISA mempunyai efek-efek yang lebih kecil pada denyut jantung

daripada agen-agen yang tidak mempunyai ISA.

4. Labetalol (Normodyne, Trandate) dan carvedilol (Coreg) menghalangi

beta dan alpha-1 receptors. Menghalangi alpha receptors menambah pada

pembuluh darah efek yang melebarkan dari labetalol (Normodyne,

Trandate) dan carvedilol (Coreg).

C. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Aspek Farmakodinamik Beta Blocker

Beta blocker menghambat efek obat adrenergik, baik NE dan epi endogen

maupun obat adrenergik eksogen. Beta blocker kardioselektif artinya mempunyai

30
afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 daripada beta-2. Propanolol,

oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol dan labetolol mempunyai

efek MSA (membrane stabilizing actvity) → efek anastesik lokal.

 Kardiovaskuler: mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard

 Menurunkan tekanan darah

 Antiaritmia: mengurangi denyut dan aktivitas fokus ektopik

 Menghambat efek vasodilatasi, efek tremor (melalui reseptor beta-2)

 Efek bronkospasme (hati-hati pada asma)

 Menghambat glikogenolisis di hati

 Menghambat aktivasi enzim lipase

 Menghambat sekresi renin → antihipertensi

Aspek Farmakokinetik Beta Blocker

 Beta bloker larut lemak (propanolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol dan

metoprolol) diabsorbsi baik (90%)

 Beta bloker larut air (sotolol, nadolol, atenolol) kurang baik absorbsinya

 Kardioselektif: asebutolol, metoprolol, atenolol, bisoprolol

 Non kardioselektif: propanolol, timolol, nadolol, pindolol, oksprenolol,

alprenolol

 Beta blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergic, baik

Norepinefrin dan Epinefrin endogen maupun obat adrenergic eksogen,

pada adrenoseptor beta.

31
Potensi hambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat

takikardia yang ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena

hambatan ini bersifat kompetitif reversible, maka dapat diatasi dengan

meningkatkan kadar obat adrenergic. Sifat kardioselektif artinya mempunyai

afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor beta 1 dari pada beta 2. Nonselektif

artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor beta1 dan beta2.

Tetapi, sifat kardioselektivitas ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi

beta blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor beta 2. Beta blocker

mempunyai aktivitas agonis parsial artinya, jika berinteraksi dengan reseptor beta

tanpa adanya obat adrenergik seperti epinefrin atau isoproterenol,

menimbulkanefek adrenergik yang lemah tetapi jelas, ini disebut juga aktivitas

simpatomimetik intrinsik.

Beta blocker juga mempunyai aktivitas stabilisasi membran artinya,

mempunyai efekstabilisasi membrane atau efek seperti anestetik lokal atau seperti

kuinidin. Ini disebut juga aktivitas anestetik lokal atau aktivitas seperti

kuinidin.Efek terhadap kardiovaskuler merupakan efek beta blocker yang

terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker mengurangi

denyut jantung dan kontraktilitasmiokard. Pemberian jangka pendek mengurangi

curah jantung; resistensi perifer meningkatakibat reflex simpatis merangsang

reseptor alfa pembuluh darah. Dengan beta blockernonselektif, terjadi hambatan

reseptor beta 2 pembuluh darah, yang juga meningkatkan resistensi perifer.

D. Beta Blocker pada Hipertiroid

32
Berdasarkan penelitian American Thyroid Association, maka

direkomendasikan untuk memberikan terapi beta-blocker pada pasien lansia

dengan tirotoksikosis atau pada pasien tirotoksik dengan resting heart rate lebih

dari 90 bpm atau dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Selain itu, pemberian

beta blocker direkomendasikan pada seluruh pasien dengan tirotoksikosis

simptomatis.7

Pemberian beta blocker pada pasien dapat menimbulkan penurunan heart

rate, penurunan tekanan darah sistolik, kelemahan otot, dan tremor. Gejala

tersebut dapat pula disertai dengan iritabilitas, labilitas emosi, dan intoleransi

aktivitas atau mudah lelah. Pemberian beta blocker juga di kontraindikasikan pada

pasien dengan bronkospasme. Namun, pada pasien dengan asma bronkospastik

ringan dan PPOK ringan yang memerlukan control heart rate maka pemberian

Nadolol dapat dipertimbangkan dengan pengawasan ketat selama pemberian.

Pemberian calcium-channel blocker (diltiazem dan verapamil) yang diberikan

secara oral menampakkan hasil efek control yang baik pada pasien yang tidak

toleransi atau kontraindikasi pada pemberian beta blocker.7

E. Dosis dan Sediaan Beta Blocker

Dosis

Pembagian dosis beta-blockers dilakukan berdasarkan tujuan terapi. Jika

digunakan untuk pengobatan hipertensi maka dosis beta-blockers harus dititrasi

menurut tekanan darah yang ingin dicapai. Sementara, jika beta-blockers

digunakan dalam jangka panjang seperti pada gagal jantung kronik atau pasca-

infark miokard, dosis harus dititrasi sesuai dengan dosis yang digunakan dalam uji

33
klinis. Penghentian terapi beta-blockers setelah pengobatan kronik dapat

menimbulkan beberapa gejala seperti hipertensi, aritmia, dan eksaserbasi angina.

Sediaan

1. Propanolol: tab 10 dan 40 mg, kapsul lepas lambat 160 mg

2. Alprenolol: tab 50 mg

3. Oksprenolol: tab 40 mg, 80 mg, tab lepas lambat 80 mg

4. Metoprolol: tab 50 dan 100 mg, tab lepas lambat 100 mg

5. Bisoprolol: tab 5 mg

6. Asebutolol: kap 200 mg dan tab 400 mg

7. Pindolol: tab 5 dan 10 mg

8. Nadolol: tab 40 dan 80 mg

9. Atenolol: tab 50 dan 100 mg

F. Efek Samping Beta Blocker

Beta blockers mungkin menyebabkan :

o Diare

o kejang-kejang perut,

o mual, dan muntah

o Ruam, penglihatan yang kabur, kejang-kejang otot, dan kelelahan mungkin

juga terjadi.

o Sebagai perluasan dari efek-efek mereka yang bermanfaat, mereka

memperlambat denyut jantung, mengurangi tekanan darah, dan mungkin

menyebabkan gagal jantung atau penghalangan jantung pada pasien-pasien

dengan persoalan-persoalan jantung.

34
o Beta blockers harus tidak diberhentikan dengan tiba-tiba karena penghentian

tiba-tiba mungkin memperburuk angina (nyeri dada) dan menyebabkan

serangan-serangan jantung atau kematian mendadak.

o Efek-efek sistem syaraf pusat dari beta blockers termasuk:

 sakit kepala,

 depresi,

 kebingungan,

 kepeningan,

 mimpi-mimpi buruk, dan

 halusinasi-halusinasi.

o Beta blockers yang menghalangi Beta-2 receptors mungkin menyebabkan

sesak napas pada penderita-penderita asma.

o Seperti dengan obat-obat lain yang digunakan untuk merawat tekanan darah

tinggi, disfungsi seksual mungkin terjadi.

o Beta blockers mungkin menyebabkan glukosa darah yang rendah atau tinggi

dan menyembunyikan gejala-gejala dari glukosa darah rendah (hypoglycemia)

pada pasien-pasien diabetik.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thyroid Association. Hyperthyroidsm. 2012; 1-4


2. Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006
3. Ereschenko, V. Atlas Histologi di Fiore. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta . 2003.
4. R. Djoko Moejianto. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan
Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III h.1993-
2009. Jakarta : Interna Publishing
5. Kementerian kesehatan Indonesia. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid.
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan Indonesia.

35
6. Sherwood, lauralee. 2009. Human physiology from cells to system 6th Ed.
Jakarta : EGC
7. Harrisons. 2012. Disorder of the Thyroid Gland. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 18th Ed p.5767- 5806. Mc Graw Hill
8. American Thyroid Association. Hyperthyroidsm. 2012; 1-4
9. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service.
Hyperthyroidsme. 2007; 573-582
10. Donangelo, Ines. Update on Subclinical Hyperthyroidsm. 2011; 934-938
11. Brand, Frans. A Critical Review and Meta-Analysis of The Association
Between Overt Hyperthyroidsm and Mortality. 2011; 491-497
12. Murray Longmore, et al. 2012. Buku Saku Oxford Kedokteran Klinis Ed 8.
Jakarta : EGC
13. Jeri R Reid dan Stephen Wheeler. 2005. Hyperthyroidism : Diagnosis and
Treatment. American Family Physician Vol 72, number 4; August 15,2005
14. Rebecca S Bahn, et al. 2011. Hypertiroidism and Other Causes Of
Thyrotoxicosis Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinology.
Hyperthyroidism Management Guidelines, Endocr Pract, May 24, 2011; 17
(No.3)
15. David S. Cooper, M.D. Antithyroid Drugs, N Engl J Med 2005;352:905-17
16. Elias S Siraj, MD. 2008. Update Diagnosis and Treatment of Hypertiroidism.
Department of Medicine, Section of Endocrinology, Diabetes, and
Metabolism, Temple Universitiy School of Medicine, Philladelphia; June
2008 JCOM Vol.15 No.6 p.298-307

36

Anda mungkin juga menyukai