Anda di halaman 1dari 46

Tinjauan Pustaka

ANEMIA PADA NEONATUS

Oleh

Sanjaya Halim, S.Ked

1830912310091

Pembimbing

Prof. Dr. dr. Ari Yunanto, Sp.A(K). SH.

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah........................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................... 3

1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 3

1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 4

BAB II ANEMIA PADA NEONATUS ..................................................... 5

2.1. Definisi.................................................................................... 5

2.2 Epidemologi ............................................................................. 7

2.3. Etiologi.................................................................................... 8

2.4. Patogenesis .............................................................................. 12

2.5. Manifestasi Klinis .................................................................... 14

2.6. Diagnosis................................................................................. 15

2.7. Komplikasi .............................................................................. 17

ii
BAB III TATALAKSANA, DAN PENCEGAHAN ANEMIA

PADA NEONATUS ...................................................................... 19

3.1. Tatalaksana .............................................................................. 19

3.3. Pencegahan .............................................................................. 33

BAB IV PENUTUP..................................................................................... 38

4.1. Simpulan ................................................................................. 38

4.2. Saran ....................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 salah

satunya yaitu kesehatan bayi yang berkaitan dengan menurunkan Angka Kematian

Ibu (AKI) hingga di bawah 70/100.000 kelahiran hidup dan menurunkan Angka

kematian Bayi (AKB) hingga 12/1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.1

Angka Kematian Neonatal (AKN) dan Angka Kematian Bayi (AKB)

merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu Negara.

Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKN tahun

2012 yaitu 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini masih dibawah target

tahun 2015 yaitu 14 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Tingginya AKN akan

berpengaruh pada 59% kematian bayi (Kemenkes, 2015). Kematian bayi terjadi

pada umur 0 bulan sebesar 60% dan 80% umur 0-11 bulan.2

Tujuan Milenium Development Goal’s (MDGs) adalah menekan kematian

bayi dari 90 kematian per 1000 kelahiran hidup di tahun 1990 menjadi 23 kematian

per 1000 kelahiran di tahun 2015. Namun saat ini, AKB masih 32 kematian per

1000 kelahiran hidup. Sehingga, upaya penurunan kematian bayi dan balita masih

menjadi prioritas Sustainable Development Goals (SDGs) di tahun 2030, yaitu

penurunan AKN 14 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKBa)

25 per 1.000 kelahiran hidup.2

1
Salah satu penyebab kematian pada neonatus dan bayi adalah anemia pada

neonatus. Anemia pada neonatus didefinisikan sebagai keadaan kadar konsentrasi

hemoglobin dibawah nilai rata-rata hemoglobin yang normal menurut usia

neonatus.3 Anemia dapat ditetapkan jika kadar hemoglobin pada darah yang

diambil dari vena sentral sebesar < 13 g/dL, atau jika diambil dari kapiler sebesar

<14,5 g/dL.4

Segera setelah kelahiran, semua bayi baru lahir (BBL) secara universal

mengalami penurunan hemoglobin (Hb) yang menghasilkan berbagai tingkat

anemia. Hal ini dikarenakan pada bayi baru lahir (BBL) mengalami transisi dari

kondisi relatif hipoksia dalam kandungan menjadi hiperoksia pada saat lahir.

Oksigenisasi jaringan yang lebih baik ini akan menghentikan produksi eritropoetin

(EPO) dan proses eritropoesis.5

Saat lahir kadar hemoglobin pada BBL cukup bulan normal berkisar antara

14-20 g/dL, dengan rerata 17 g/dL, nilai MCV eritrosit rata rata adalah 107 fl. Nilai

retikulosit antara 3-7 % pada darah tali pusar. Setelah 1 minggu pasca lahir, terjadi

penurunan kadar Hb yang mencapai titik terendah (10-11 g/dL) pada usia 6-10

minggu dan berlangsung hingga usia 1 tahun.6 Anemia pada BBL ini berkembang

dengan tingkat kecepatan yang bervariasi. Tingkat keparahan anemia pada BBL

ditentukan oleh kombinasi beberapa faktor fisiologis dan non-fisiologis.7

Berbeda dengan anemia pada umumnya, interpretasi abnormalitas

hematologi pada neonatus dibuat berdasarkan interaksi genetik, penyakit bawaan

dan faktor maternal dengan gangguan pada eritrosit fetus. Untuk menilai apakah

kadar Hb/Ht pada neonatus sudah cukup rendah hingga dapat disebut anemia, harus

2
diperhatikan juga kondisi berat lahir, usia gestasi dan usia kronologis neonatus

tersebut. Juga perlu mempertimbangkan spesifikasi eritropoesis neonatal, kondisi

klinis dan risiko juga manfaat yang tersedia pada masing-masing pilihan

pengobatan.8

Dibandingkan dengan masalah kesehatan lain pada neonatus, anemia

neonatus merupakan penyakit yang memiliki problema klinis yang unik. Pada

anemia neonatus harus dibedakan apakah merupakan proses fisiologis atau karena

ada penyebab mendasar. Hal ini memerlukan pengetahuan dan pengamatan yang

cermat terhadap tanda dan gejala anemia pada neonatus untuk pertimbangan terapi

agar tidak terjadi hipoksia jaringan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam tinjauan

pustaka ini adalah apa saja penyebab anemia pada neonatus dan bagaimana

penanganan anemia pada neonatus ?

1.3. Tujuan

Tujuan dari tinjauan pustaka adalah untuk mengetahui anemia pada

neonatus, secara khususnya adalah

1. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, dan komplikasi dari anemia pada

neonatus.

2. Mengetahui diagnosis, penatalaksaanaan, dan pencegahan anemia pada neonatus.

3
1.4. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

anemia pada neonatus.

2. Manfaat Praktis

Bagi penulis, tinjauan pustaka ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam

mengenali dan mengetahui mengenai anemia pada neonatus. Berdasarkan

pentingnya anemia pada neonatus sebagai faktor penyebab kematian neonatus dan

kematian bayi di Indonesia sehingga dapat menurunkan Angka Kematian Neonatal

(AKN) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Bagi institusi, tinjauan pustaka ini

diharapkan dapat menjadi sumber pustaka mengenai anemia pada neonatus.

4
BAB II

ANEMIA PADA NEONATUS

2.1. Definisi

Anemia pada neonatus didefinisikan sebagai keadaan kadar konsentrasi

hemoglobin dibawah nilai rata-rata hemoglobin yang normal menurut usia

neonatus.3 Anemia dapat ditetapkan jika kadar hemoglobin pada darah yang

diambil dari vena sentral sebesar < 13 g/dL, atau jika diambil dari kapiler sebesar

<14,5 g/dL.4 Nilai normal hematologi pada neonatus cukup bulan dan neonatus

kurang bulan dapat dilihat pada tabel 2.11 dan tabel 2.24

5
Setelah lahir, bayi cukup bulan memiliki nilai hemoglobin yang lebih tinggi

dari pada anak-anak dan dewasa. Namun demikian pada usia satu minggu terjadi

penurunan nilai hemoglobin yang cepat kemudian menetap selama 4 – 6 minggu.

Saat lahir kadar hemoglobin pada BBL cukup bulan normal berkisar antara 14-20

g/dL, dengan rerata 17 g/dL, nilai MCV eritrosit rata rata adalah 107 fl. Nilai

retikulosit antara 3-7 % pada darah tali pusar. Dengan adanya pernafasan setelah

lahir, oksigen mengikat hemoglobin, sehingga saturasi oksihemoglobin meningkat

50-95%. Meningkatnya oksigen dalam darah menyebabkan down regulation

produksi EPO, sehingga terjadi supresi eritropoiesis.9

Semua neonatus mengalami penurunan kadar hemoglobin selama minggu-

minggu awal kehidupan. Setelah 1 minggu pasca lahir, terjadi penurunan kadar Hb

yang mencapai titik terendah (10-11 g/dL) pada usia 6-10 minggu dan berlangsung

hingga usia 1 tahun. Hal ini sebagai akibat dari berbagai faktor fisiologi dan non

fisiologi.10

Pada bayi aterm, nilai hemoglobin paling rendah jarang mencapai dibawah

10 g/dl pada usia 10-12 minggu. Pada bayi prematur terjadi hal sebaliknya,

penurunan nilai hemoglobin terjadi lebih cepat yaitu pada usia 4-6 minggu dan

turunnya nilai hemoglobin lebih rendah terjadi pada bayi prematur, yaitu 8 g/dl pada

bayi dengan berat badan kurang dari 1500 gram dan 7 g/dl pada bayi dengan berat

badan lahir kurang dari 1000 gram.11

Penurunan nilai hemoglobin pada neonatus cukup bulan dapat ditoleransi

dengan baik dan tidak memerlukan terapi, oleh karena itu disebut anemia fisiologi.

Sedangkan penurunan nilai hemoglobin pada bayi prematur disertai tanda dan

6
gejala serta memerlukan transfusi eritrosit. Hal ini disebut dengan anemia pada bayi

prematur.13

2.2 Epidemiologi

Menurut studi cohort terhadap bayi baru lahir yang dilakukan di US pada

tahun 2016, saat lahir, 21% dari neonatus mengalami anemia (Hb <13,0 g / dl) dan

25% memiliki simpanan zat besi yang rendah (ferritin <76 µg / l). Konsentrasi

feritin serum korda tidak signifikan terkait dengan usia kehamilan (GA) saat lahir

di kisaran 37-42 minggu. Neonatus yang lahir dari ibu dengan ferritin <12 µg / l

memiliki ferritin yang lebih rendah secara signifikan (P = 0,003) dibandingkan

dengan rekan mereka.12

Risiko anemia pada bayi prematur berbanding terbalik dengan kematangan

umur gestasional dan berat lahir. Nyaris separuh dari bayi dengan umur gestasi

kurang dari 32 minggu mengalami anemia pada bayi prematur.5 Di Amerika

Serikat, diperkirakan 10.000 bayi dilahirkan secara prematur dengan 600 bayi

diantaranya termasuk golongan BBLSR. Nyaris 90% dari BBLSR ini akan

mendapatkan setidaknya satu kali transfusi eritrosit. Dalam data yang terdapat di

studi retroprospektif selama 5 tahun, nilai rata-rata selama tahun 2000 hingga 2005

mengenai transfuse eritrosit yang diberikan pada setiap BBLSR adalah 5.4 per bayi

dibandingkan terhadap 1.1 per bayi untuk bayi prematur dengan berat lahir yang

lebih besar (1001 - 1500 gram).13 Di Indonesia, data mengenai angka kejadian

anemia pada bayi prematur masih belum tersedia.

7
2.3. Etiologi

Secara umum anemia pada bayi baru lahir dapat dibagi menjadi:15

Anemia karena perdarahan

Anemia karena kegagalan produksi eritrosit.

Anemia karena proses hemolitik

Anemia karena perdarahan

Anemia karena perdarahan dapat terjadi pada waktu sebelum, saat atau

sesudah persalinan.15 Beberapa tipe perdarahan pada bayi baru lahir adalah sebagai

berikut :

1. Perdarahan tersembunyi (okulta) sebelum persalinan

Perdarahan ini dapat terjadi akibat perdarahan fetus masuk ke sirkulasi

maternal atau dari fetus yang satu ke fetus yang lain pada kehamilan ganda.15

a. Perdarahan fetomaternal

8
Eritrosit fetus dalam jumlah kecil masuk kedalam sirkulasi maternal pada

sebagian besar kehamilan. Adanya komplikasi kehamilan, abortus, preeklamsi,

operasi sesar atau komplikasi persalinan meningkatkan risiko perdarahan

fetomaternal. Diagnosis perdarahan fetomaternal dapat dipastikan dengan

penemuan darah fetal dalam sirkulasi maternal dengan pemeriksaan aglutinasi

diferensial, teknik antibody fluoresens serta pewarnaan sel fetal (Rosette

screen). Test ini berdasarkan resistensi oleh hemoglobin fetal terhadap media

asam (Kleihauer-Betke Stain).16

b. Transfusi feto-fetal (twin-twintransfusion)

Transfusi feto-fetal adalah suatu kondisi kehamilan kembar dimana sirkulasi

dari satu bayi dengan bayi yang lain dihubungkan melalui anastomosis

plasenta. Transfusi feto-fetal ini hanya ditemukan pada kembar monokhorionik

dengan kembar monokhorionik.15 Diagnosa transfusi feto-fetal ini ditegakkan

dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada pemeriksaan akan tampak

perkembangan bayi yang tidak seimbang antara kedua bayi dan akan tampak

perbedaan ukuran kantong amnion.18

2. Perdarahan Internal

Perdarahan internal yang menyertai trauma persalinan diketahui

menyebabkan anemia neonatus, meskipun perbaikan pelayanan obstetrik dan

meningkatnya tindakan operasi sesar untuk mengatasi persalinan dengan

komplikasi sulit telah menurunkan komplikasi ini.16

1. Perdarahan ekstrakranial, perdarahan ekstrakranial sering menyertai

persalinan yang sulit atau persalinan dengan ekstraksi vakum.

9
2. Perdarahan intrakranial, perdarahan intrakranial dapat terjadi pada

intraventrikuler atau subarahnoid.

3. Perdarahan intra abdomen, perdarahan adrenal dan ginjal kadang-kadang

menyertai persalinan letak sungsang.

4. Perdarahan pada saat persalinan, perdarahan pada saat persalinan dapat

disebabkan oleh komplikasi obstetrik seperti plasenta previa atau trauma

plasenta pada saat seksio sesaria.

Anemia karena penurunan / kegagalan produksi eritrosit

Anemia karena penurunan produksi eritrosit sering disebut dengan pure red

cell aplasia (PRCA). Anemia ini ditandai dengan adanya gambaran anemia

normositik berat, retikulositopenia dan tidak adanya eritroblas pada sumsum

tulang.20 Anemia ini dapat digolongkan menjadi jenis diwariskan ( inherited )

seperti anemia Diamond-Blackfan dan jenis didapat ( acquired ) seperti anemia

karena adanya infeksi seperti infeksi parvovirus B19, sitomegalovirus,

toksoplasmosis, sifilis kongenital, rubella dan herpes simpleks.3

Anemia karena proses hemolitik

Anemia karena proses hemolitik dapat dibagi menjadi anemia hemolitik

karena proses autoimun dan non imun.

1. Anemia hemolitik autoimun/alloimun

Anemia hemolititik autoimun merupakan akibat interaksi abnormal antara

eritrosit dan sistem imun. Hal ini terjadi setelah antibodi dan komponen komplemen

mengikat antigen permukaan sel eritrosit dan mengawali pengrusakan sel eritrosit

10
melalui sistem fagosit mononuklear. Autoimun hemolitik anemia (AIHA) ditandai

dengan produksi antibodi melawan sel eritrosit. Sedangkan alloimun anemia

hemolitik mengikuti paparan terhadap sel eritrosit nonself antigen.19

a. Inkompatibilitas Rhesus

Ibu dengan Rhesus (-) dapat terpapar dengan antigen Rhesus melalui 2 cara

transfusi fetomaternal dan transfusi darah. Risiko terjadinya transfusi

fetomaternal meningkat pada abrupsi plasenta, abortus, toksemia, seksio

sesaria kehamilan ektopik serta beberapa prosedur seperti amniosintesis dan

kardiosintesis. Meskipun bisa dicegah, penyakit hemolisis masih merupakan

penyebab paling sering anemia berat. Comb test positif kuat dan retikulosit

meningkat setelah bayi lahir. Anemia yang terjadi bervariasi dari ringan sampai

dengan berat.3

b. Inkompatibilitas ABO

Inkompatibilitas maternal-fetal ABO adalah terjadi pada 15-20% dari seluruh

kehamilan. Sensitisasi maternal pada ibu dengan golongan darah O oleh

antigen A atau B janin akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang

dapat menembus plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan

hemolisis. Ibu dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B

berupa IgM, yang tidak dapat menembus plasenta. Kondisi ini sering

merupakan penyebab hiperbilirubinemia.4,22 Test antiglobulin direk hanya

positif lemah. Diagnosis dapat ditegakkan dengan apusan sel darah tepi dengan

didapatkan gambaran mikrosferosit.3

2. Anemia hemolitik non-imun

11
Anemia hemolitik non-imun dapat terjadi karena kelainan membran eritrosit

herediter dan defek enzim eritrosit.

a. Kelainan membran eritrosi therediter, kelainan membran eritrosit herediter

meliputi sferositosis herediter, eliptositosis herediter dan xerosis herediter.

Semua kelainan ini bermanifestasi pada periode neonatal.16

b. Defek enzim eritrosit

Kelainan yang paling umum pada kelainan enzim eritrosit adalah defisiensi

glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Defisiensi G6PD diturunkan secara

X-linked dan dapat ditemukan pada etnis tertentu seperti Afrika, Mediterania

dan Asia.15

2.4. Patogenesis

Perkembangan hematopoiesis dalam rahim terbagi tiga periode yaitu

mesoblastik, hepatik dan myeloid. Periode mesoblastik dimulai pada masa gestasi

dua minggu saat itu sel-sel darah merah dibentuk di indung telur (yolk salk). Pada

periode hepatik sel-sel normoblas dibentuk di hati dan terjadi pada masa gestasi 6

sampai 24 minggu. Pada masa gestasi 6 sampai 7 bulan dan selanjutnya adalah

periode myeloid, yaitu sumsum tulang merupakan tempat eritropoiesis dan satu-

satunya sumber sel darah baru selama masa anak.11

Semua neonatus, baik pada BCB maupun bayi prematur, mengalami

penurunan sirkulasi eritrosit selama 8 hingga 10 minggu setelah kelahiran dan juga

terdapat penurunan konsentrasi Hb secara gradual dan progresif. Pada BCB, titik

nadir hemoglobin jarang turun di bawah 10g/dL pada umur 10 hingga 12 minggu.

12
Oleh karena itu, penurunan level hemoglobin pada BCB ditolerasi dengan baik dan

tidak memerlukan terapi. Anemia ini sering disebut dengan istilah "anemia

fisiologis neonatal". Kondisi fisiologis tersebut terjadi karena beberapa faktor.

Faktor utamanya dipercayai karena peningkatan oksigenasi jaringan akibat proses

transisi dari ketergantungannya terhadap plasenta kepada ketergantungan terhadap

paru-paru untuk pertukaran oksigen.11

Setelah kelahiran, ketergantungan berpindah dari plasenta menuju paru-

paru. Tedapat peningkatan yang tiba-tiba dan mendadak pada tekanan oksigen yang

terjadi saat Hb di arteri tersaturasi penuh terhadap oksigen. Sebaliknya, penurunan

bersifat lebih tajam (titik nadir pada minggu 4-6) dan konsentrasi hemoglobin turun

bahkan lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara prematur- hingga mencapai

nilai 8 g/dL pada bayi dengan berat lahir 1 hingga 1,5 kg dan 7g/dL pada bayi

dengan berat lahir di bawah 1 kg. Akibatnya, karena penurunan konsentrasi

hemoglobin yang banyak terjadi di BBLSR itu sering dihubungkan dengan gejala

klinis dan kebutuhan terhadap transfusi eritrosit allogenik. Oleh karena itu, anemia

pada bayi prematur dapat dianggap sebagai proses yang patologis yang

berbahaya.10,11

Faktor fisiologis banyak berperan pada proses patogenesis anemia pada bayi

prematur. Karena BBLSR dilahirkan sebelum trimester ketiga dari gestasi, sebagian

besar dari besi yang dimiliki diambil dari ibu dan sangat berperan dalam

eritropoiesis fetalintrauterin. Pertumbuhan badan ekstrauterin terjadi sangat cepat

saat bulan-bulan pertama kehidupan dan produksi eritrosit di sumsum tulang

neonatus pun harus meningkat. Telah diterima secara luas bahwa rentang hidup

13
eritrosit neonatal di dalam sirkulasi lebih pendek daripada eritrosit dewasa oleh

karena beberapa perbedaan perkembangan pada proses metabolik dan karakteristik

membran di eritrosit neonatal apabila dibandingkan dengan eritrosit dewasa. Pada

dewasa sehat, ukuran tubuh stabil sehingga volume darah lebih konstan.20

Terdapat penemuan bahwa intake protein yang inadekuat juga memegang

peranan penting dalam kejadian anemia pada bayi prematur. Hal ini

didokumentasikan pada penelitan dimana BBLSR yang ditangani dengan atau

tanpa r-HuEPO, walaupun suplementasi protein tampak memberikan kesan yang

lebih penting pada bayi dengan r-HuEPO daripada yang tidak diberi r-

HuEPO.Ro ̈nnholm dan Siimes merupakan yang pertama kali menunjukkan bahwa

penurunan normal paska lahir pada tingkat Hb dapat diatenuasi hingga 1.0 sampai

1.5 g/dL (0.62 hingga 0.93 mmol/L) pada BBLSR yang menerima3.5 to 3.6 g/kg

protein per hari dibandingkan dengan kelompok yang hanya menerima 1.8 hingga

1.9 g/kg per hari. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa intake protein yang

lebih rendah bersifat inadekuat untuk produksi eritrosit dan EPO yang optimal.11

2.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis secara umum pada anemia akut pada neonatus adalah

pucat. Dapat juga ditemukan tanda tanda syok, perfusi perifer yang buruk, distres

pernafasan, takikardi, pucat, letargi dan hipotensi. Pada anemia hemolitik

didapatkan ikterus yang disertai dengan hepatosplenomegali. Manifestasi klinis

yang ditemukan disebabkan karena anemia pada bayi prematur namun kebanyakan

tidak bersifat spesifik maupun diagnostik. 6

14
2.6. Diagnosis

Diagnosis anemia pada neonatus dapat dimulai dengan evaluasi riwayat

bayi meliputi riwayat kelahiran, diet, perdarahan, transfusi, dan riwayat sakit

sebelumnya. Riwayat anggota keluarga anemia, ikterik, kolestasis atau

splenektomi. Riwayat maternal meliputi diet dan minum obat selama kehamilan.

Umur saat anemia timbul mempunyai nilai diagnostik. Anemia yang timbul saat

lahir dapat diakibatkan oleh perdarahan atau alloimmunisasi berat. Anemia yang

timbul selama 2 hari pertama kehidupan sering disebabkan oleh perdarahan

eksternal dan internal. Anemia yang timbul pada 48 jam pertama kehidupan

biasanya karena hemolitik dan biasanya disertai dengan ikterik.4

Pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda anemia seperti kulit pucat,

konjungtiva anemis, bisa juga ditemui ikterik, splenomegali, dan hepatomegali

pada kondisi tertentu seperti anemia hemolitik. Pada pemeriksaan fisik perlu

dievaluasi komplikasi yang mungkin sudah muncul pada saat pemeriksaan fisik

seperti distres pernafasan, letargis, serta tanda tanda syok.

Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah lengkap, retikulosit

dan apusan darah tepi, selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

disesuaikan dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik seperti berikut :

- Darah tepi lengkap

- Hitung retikulosit, meningkat pada perdarahan kronis dan hemolitik, menurun

pada infeksi dan kelainan produksi sel darah merah

- Hapusan darah tepi, apusan darah tepi penting untuk menilai morfologi sel

darah merah dan konfirmasi jumlah serta morfologi trombosit.

15
- Coombs test dan kadar bilirubin

- Pemerikasaan enzim G6PD

- Tes Apt digunakan untuk mengenyampingkan darah maternal.

- Ultrasonografi pada kepala dan abdomen

- TORCH bila diperlukan

Algoritma diagnostik (Gambar 2.3) dapat digunakan untuk membantu

mengidentifikasi penyebab anemia.5

16
Data yang ada saat ini menunjukkan dengan nilai hematokrit dibawah 20%

memiliki oksigenasi jaringan yang mencukupi, sedangkan nilai hematokrit yang

lebih tinggi dapat ditemukan pada bayi yang mengalami hipoksia. Sehingga

hemoglobin / hematokrit menunjukkan prediktor yang buruk untuk menentukan

hipoksia jaringan pada anemia neonatus. Parameter hipoksia jaringan yang lain

telah banyak diteliti. Nilai asam laktat dan fractional oxygen extraction dapat

menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan pada anemia neonatus. Kedua parameter

ini memiliki respon yang cepat terhadap hipoksia pada anemia. Namun perubahan

hemodinamik dapat meningkatkan nilai kedua parameter ini. Peningkatan jumlah

hitung retikulosit yang terjadi pada anemia pada bayi prematur merupakan indikator

pertama bahwa kejadian anemia mendekati fase resolusi.9

2.7. Komplikasi

Komplikasi anemia pada neonatus biasanya dapat timbul bersamaan dengan

gejala klinis dan biasanya merupakan penyebab dari gejala klinis yang muncul,

gejala tersebut termasuk sebagai berikut:3,4

• Buruknya kenaikan berat badan walaupun intake kalori yang adekuat

• Gejala kardiorespratori termasuk takikardia, takipneu dan bising jantung

• Pengurangan aktivitas, lethargi dan sulitnya pemberian makan secara oral

• Metabolik asidemia - Peningkatan asam laktat yang terjadi secara sekunder

akibat peningkatan metabolisme anaerob seluler sebagai respon terhadap

keadaan jaringan yang hipoksia

17
• Kenaikan episode apneu , bradikardia dan periodik napas yang memburuk

ketika mekanisme kompensasi mengalami kegagalan hingga berakibat pada

kematian.

18
BAB III

PENATALAKSANAAN, DAN PENCEGAHAN ANEMIA PADA


NEONATUS

3.1. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terhadap anemia pada neonatus tergantung dari penyebab

dan derajat keparahannya. Secara umum tatalaksananya dibagi menjadi prenatal

dan postnatal.9

A. Prenatal

Pemeriksaan anemia pada fetus jarang dilakukan, namun pada kondisi

tertentu seperti pada anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis pada fetus

selama kehamilan contohnya inkompabilitas rh dan infeksi, diperlukan transfusi

intrauterin (IUT) untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas janin.21

Transfusi intra uterin diperkenalkan oleh Liley pada 1963. Sel darah merah

donor ditransfusikan ke Peritonial cavity janin yang nantinya akan diabsorbsi dan

masuk ke dalam sirkulasi darah janin. Resiko transfusi intra uterin sangat besar,

sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak

diinginkan, maka para ahli lebih memilih Intravasal transfusion, yaitu dengan

melakukan cordosentesis ( fungsi tali pusat perkuatan). Transfusi dilakukan

beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26-34 dengan menggunakan PRC (Packed

Red Cell) golongan darah O Rh negatif sebanyak 50-100 ml. Pemeriksaan cocok

serasi antara darah ibu dengan darah dono harus kompatibel. Induksi partus

dilakukan pada minggu ke 36 dan bayi dibantu transfusi tukar 1x setelah partus.

Pada umumnya, pemeriksaan amniocentesis dilakukan pada kehamilan minggu ke

19
24-30 untuk mengetahui kadar bilirubin. Bila sudah ada indikasi, lakukan transfusi

intra uterin dalam pengawasan USG.22

B. Postnatal

a. Transfusi darah

Tatalaksana transfusi darah kepada neonatus masih kontroversial.

Kurangnya pendekatan universal ini disebabkan oleh masih terbatasnya

pemahaman akan biologi molekuler dan seluler dari proses eritropoiesis selama

periode perinatal dan tidak lengkapnya pengetahuan mengenai respon proses

fisiologi yang terjadi saat transisi dari lingkungan fetus.21 Pemberian transfusi

produk darah secara umum lebih jarang pada neonatus dan anak dibandingkan

dengan dewasa. Populasi pasien anak yang umumnya mendapatkan transfusi adalah

anak yang dirawat di ruang rawat intensif, yang akan menjalani prosedur

pembedahan jantung, dengan penyakit herediter yang membutuhkan transfusi rutin

seperti thalassemia mayor, dan yang sedang menjalani kemoterapi intensif untuk
22
keganasan darah atau kanker organ tertentu. Pada praktik klinik, pelayanan

transfusi pada neonatus dan anak memiliki banyak kesamaan dengan pelayanan

transfusi pada dewasa. Namun, terdapat beberapa perbedaan penting serta keadaan
23
khusus yang perlu diperhatikan. Potensi risiko dan manfaat dalam melakukan

tindakan transfusi harus selalu dipertimbangkan dalam membuat keputusan untuk

melakukan transfusi pada anak, dan dapat disesuaikan dengan penelitian serta
22
pedoman transfusi yang sudah tersedia.

Sebelum pemberian transfusi darah, seluruh produk darah dari donor harus

dilakukan uji saring untuk mendeteksi adanya infeksi menular lewat transfusi darah

20
(IMLTD), yang mencakup human immunode cency virus (HIV), hepatitis B,

hepatitis C, dan si lis. Pemeriksaan terhadap penyakit tersebut dilakukan dengan

metode nucleic acid test (NAT). Selain itu, pemeriksaan golongan darah ABO dan

rhesus serta uji kompatibilitas harus juga dilakukan. Fasilitas yang menyediakan

layanan transfusi darah harus mematuhi tata cara penyimpanan, pemantauan suhu,

dan transportasi komponen darah, untuk menjamin pelayanan transfusi darah yang

aman dan berkualitas.25

Transfusi biasanya dilakukan untuk mencegah anemia berat pada bayi

berisiko tinggi atau bayi prematur Transfusi sel darah merah pada bayi prematur

telah disarankan untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung,

meningkatkan parameter pertumbuhan, menurunkan kadar laktat, atau mengurangi

episode apneic pada bayi stabil. Manfaat yang disarankan yang tersisa belum

dibuktikan dalam studi yang memadai. Selain itu, kecukupan pengiriman oksigen

jaringan sulit untuk ditentukan secara klinis, dan tanda-tanda klinis seperti apnea

atau pernapasan tidak teratur, takikardia, menyusu kurang dan penambahan berat

badan yang tidak memadai, lesu, dan peningkatan kadar laktat bukanlah manifestasi

realibel dari oksigenasi jaringan yang tidak memadai akibat dari anemia. Selain itu,

tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa transfusi sel darah merah

meningkatkan hasil klinis yang penting pada bayi berisiko tinggi yang stabil.21

Salah satu indikasi pemberian transfusi pada anemia neonatus adalah

kehilangan darah atau syok. Sekitar waktu kelahiran, kehilangan darah akut dapat

terjadi dalam hubungan dengan vasa previa, abruptio plasenta, kecelakaan tali

pusat, transfusi feto-maternal atau kondisi lainnya. Syok hipovolemik yang

21
dihasilkan mungkin memerlukan transfusi darurat. Untuk mempertahankan tekanan

perfusi, volume darah yang bersirkulasi dapat diperluas kembali dengan larutan

kristaloid atau koloid. Namun, penurunan yang signifikan dalam hematokrit

biasanya membutuhkan transfusi sel darah merah. Transfusi darurat dan volume

tinggi harus melibatkan penggunaan darah yang berumur kurang dari lima hari.

Pertimbangan transfusi dapat dilihat dari nilai hematokrit seperti berikut :3

• Ht < 35% dengan penyakit kardiopulmoner parah, misalnya IPPV dengan MAP >

6 cm H20

• HT < 30% dengan penyakit kardiopulmoner ringan hingga sedang (FiO2 > 35%

dan memakai CPAP), Apnea yang bermakna, Penambahan berat badan < 10 g/hari,

Denyut jantung > 180/menit selama 24 jam, dan jika akan menjalani tindakan

pembedahan

• HT < 21% dengan hitung retikulosit yang rendah

Untuk menghitung keperluan transfusi PRC digunakan rumus sebagai

berikut;

Volume PRC = (Target Hct – Hct saat ini) x berat badan (kg) x 90 cc/kg

(RBC Hct – Hct saat ini)

Secara umum, transfusi PRC diberikan untuk menjaga tingkat hemoglobin

darah atau hematokrit. Terapi ini diyakini bekerja optimal untuk setiap kondisi

klinis neonatus. Kebanyakan transfusi yang diberikan berbentuk volume kecil (10-

20mL/kg berat badan) dengan level hematokrit sekitar 55 hingga 60 persen.21

22
- Darah lengkap/whole blood (WB)

Pemberian transfusi WB pada umumnya dilakukan sebagai pengganti sel

darah merah pada keadaan perdarahan akut atau masif yang disertai dengan

hipovolemia, atau pada pelaksanaan transfusi tukar. Di dalam WB, masih terdapat

seluruh komponen darah manusia, termasuk faktor pembekuan, sehingga dapat


23
digunakan pada kasus perdarahan masif.

- Transfusi sel darah merah pekat/packed red cells (PRC)

Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diin- dikasikan pada kadar Hb

<7,0 g/dL, terutama pada keadaan anemia akut. Transfusi juga dapat dilakukan pada

kadar Hb 7,0-10,0 g/dL, apaapabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang

bermakna secara klinis dan laboratorium. Transfusi jarang dilakukan pada kadar Hb

>10,0 g/dL kecuali terdapat indikasi tertentu, seperti penyakit yang membutuhkan

kapasitas transpor oksigen lebih tinggi. Sebagai contoh, pada anak dengan anemia

defisiensi besi, transfusi pada umumnya tidak dilakukan jika tidak terdapat keluhan

dan anak dalam kondisi klinis baik. Sebaliknya, pada pasien anak yang

membutuhkan transfusi rutin, transfusi diberikan pada kadar Hb pra-tansfusi 9,0-

10,0 g/dL, untuk mempertahankan tumbuh kembang mendekati tumbuh kembang


23
pada anak normal.

Pada bayi prematur, transfusi PRC diindikasikan apaapabila kadar Hb <7,0

g/dL. Pada keadaan infant respiratory distress syndrome (IRDS), transfusi

diberikan pada kadar Hb <12,0 g/dL untuk bayi yang membutuhkan oksigen, atau

< 10.0 g/dL untuk bayi yang tidak membutuhkan oksigen. Pada bayi prematur

23
dengan tanda dan gejala anemia ringan seperti takikardia atau peningkatan berat

badan yang tidak adekuat, transfusi diberikan apaapabila kadar Hb <10,0 g/dL.

Namun, apabila terjadi tanda dan gejala

- Darah lengkap/whole blood (WB)

Pemberian transfusi WB pada umumnya dilakukan sebagai pengganti sel

darah merah pada keadaan perdarahan akut atau masif yang disertai dengan

hipovolemia, atau pada pelaksanaan transfusi tukar. Di dalam WB, masih terdapat

seluruh komponen darah manusia, termasuk faktor pembekuan, sehingga dapat

digunakan pada kasus perdarahan masif.

- Transfusi sel darah merah pekat/packed red cells (PRC)

Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diin- dikasikan pada kadar Hb

<7,0 g/dL, terutama pada keadaan anemia akut. Transfusi juga dapat dilakukan pada

kadar Hb 7,0-10,0 g/dL, apaapabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang

bermakna secara klinis dan laboratorium. Transfusi jarang dilakukan pada kadar Hb

>10,0 g/dL kecuali terdapat indikasi tertentu, seperti penyakit yang membutuhkan

kapasitas transpor oksigen lebih tinggi. Sebagai contoh, pada anak dengan anemia

defisiensi besi, transfusi pada umumnya tidak dilakukan jika tidak terdapat keluhan

dan anak dalam kondisi klinis baik. Sebaliknya, pada pasien anak yang

membutuhkan transfusi rutin, transfusi diberikan pada kadar Hb pra-tansfusi 9,0-

10,0 g/dL, untuk mempertahankan tumbuh kembang mendekati tumbuh kembang

pada anak normal.

Pada bayi prematur, transfusi PRC diindikasikan apaapabila kadar Hb <7,0

g/dL. Pada keadaan infant respiratory distress syndrome (IRDS), transfusi

24
diberikan pada kadar Hb <12,0 g/dL untuk bayi yang membutuhkan oksigen, atau

< 10.0 g/dL untuk bayi yang tidak membutuhkan oksigen. Pada bayi prematur

dengan tanda dan gejala anemia ringan seperti takikardia atau peningkatan berat

badan yang tidak adekuat, transfusi diberikan apaapabila kadar Hb <10,0 g/dL.

Namun, apabila terjadi tanda dan gejala anemia berat seperti apnea, hipotensi, atau
24,25
asidosis, transfusi PRC dapat diberikan pada kadar Hb <12,0 g/dL.

Pada bayi aterm di bawah usia 4 bulan, transfusi diberikan apabila terdapat

manifestasi klinis anemia seperti apnea, takikardia, atau peningkatan berat badan

yang tidak adekuat apabila kadar Hb <7,0 g/dL. Transfusi PRC juga dapat diberikan

pada bayi dengan anemia perioperatif yang memiliki kadar Hb < 10.0 g/ dL, atau

pada kondisi perdarahan akut yang melebihi 10% dari volume darah total yang tidak

menunjukkan respon terhadap terapi lain. Transfusi PRC juga dapat diberikan pada

pasien pasca operasi dengan tanda dan gejala anemia dan kadar Hb <10,0 g/dL,

serta pasien yang menderita penyakit kardiopulmonal berat dengan kadar Hb <12,0
25,26
g/dL.

Dosis yang digunakan untuk transfusi PRC pada anak adalah 10-15

mL/kgBB/hari apabila Hb >6,0 g/dL, sedangkan pada Hb <5,0 g/dL, transfusi PRC

dapat dilakukan dengan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam pertama. Pada keadaan

darurat sisa darah yang masih ada pada kantong dihabiskan dalam 2-3 jam

selanjutnya, asalkan total darah yang diberikan tidak melebihi 10-15

mL/kgBB/hari. Namun, apabila jumlah transfusi yang dibutuhkan hanya sedikit,

dianjurkan untuk menggunakan kantong kecil/ pediatrik. Dosis transfusi PRC pada

neonatus 20 mL/ kgBB, dan disarankan untuk menggunakan kantong pediatrik

25
dengan kapasitas ±50 mL/kantong. Pada anak, pemberian PRC 4 mL/kgBB dapat

meningkatkan kadar Hb sekitar 1 g/dL. Rumus untuk menghitung kebutuhan PRC

adalah [DHb (target Hb – Hb saat ini) x berat badan x 4], sementara kebutuhan per

hari adalah 10-15 kg/BB/hari.23

- Sel darah merah miskin leukosit/ leucodepleted packed red cells (LD-PRC)

American Academy of Blood Banks (AABB) men- de nisikan LD-PRC

sebagai komponen darah PRC yang memiliki jumlah leukosit <5x106 per unit

kantong darah.Teknologiyangdigunakanuntukmenghasilkan leukodeplesi

mencakup proses sentrifugasi dan pembekuan, ltrasi, dan apheresis. Istilah lain

yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan LD-PRC adalah leucoreduced PRC


27
atau leucopoor PRC. Palang Merah Indonesia (PMI) menggunakan pengertian
28
yang sedikit berbeda, seperti tertera pada Tabel 1.

Untuk mengurangi jumlah leukosit dalam produk darah, terdapat dua

pilihan prosedur yakni prestorage lter atau poststorage lter/bedside lter. Secara

umum, prestorage lter memiliki keuntungan yaitu mengura- ngi akumulasi dari

metabolit yang timbul akibat degra- dasi dari leukosit serta mengurangi

pengeluaran sitokin in amasi yang berada di dalam leukosit, alloimunisasi HLA,

dan trombositopenia refrakter sebelum sel darah merah lisis. Sedangkan, pada

penggunaan bedside lter, reaksi transfusi dapat terjadi akibat pengeluaran sitokin
28,29
dan interleukin dari sel darah merah yang pecah selama penyimpanan.

Indikasi mutlak penggunaan transfusi LD-PRC pada pasien neonatus

transfusi rutin, seperti pada thalassemia mayor dan anemia aplastik, dan pre-/ pasca-

26
transplantasi organ. Transfusi LD-PRC dapat menurunkan risiko penularan infeksi

cytomegalovirus (CMV) dan mencegah febrile nonhemolytic transfusion reactions

(FNHTR) pada pasien yang sebelumnya pernah mengalami reaksi berupa demam

setelah transfusi dua kali atau lebih sebelumnya. Dosis pemberian transfusi LD-

PRC sama dengan dosis transfusi PRC secara umum. 29

- Sel darah merah teriradiasi/irradiated packed red cells (I-PRC)

Pembuatan produk I-PRC dilakukan dengan pro- ses iradiasi gamma dari

produk darah selular. Penggunaan I-PRC secara umum ditujukan untuk mencegah

transfusionassociated graftversushost disease (TAGvHD), yaitu sel limfosit dari

darah donor yang masuk ke dalam sistem sirkulasi resipien menimbulkan tanda dan

gejala berupa demam, ruam kulit, diare, dan pansitopenia. Pasien

immunocompromised seperti pasien pasca-transplantasi dan sebagainya, cenderung


29
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami TAGvHD.

- Sel darah merah cuci/washed erythrocytes (WE)

Indikasi dan rekomendasi pemberian transfusi WE serupa dengan PRC.

Transfusi WE dapat diberikan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi atau demam

pada episode transfusi sebelumnya, hiperkalemi, de siensi IgA, atau memiliki alergi

terhadap protein plasma. Dosis WE pada anak untuk transfusi masif adalah 10-15

mL/kgBB, bergantung pada keadaan umum saat pemeriksaan. Pada pasien anak

secara umum, pemberian WE 8 mL/kg dapat meningkatkan kadar Hb sekitar 1


23
g/dL.

27
Perbedaan WE dan LD-PRC berdasarkan de nisi yang dianut oleh PMI

adalah dari jumlah leukosit yang ada per unit kantong darah, WE mengandung 107

leukosit per unit kantong darah, sedangkan LD- PRC mengandung <106 per unit
25
kantong darah. Keuntungan penggunaan WE adalah komponen

plasma/supernatant berkurang yang umumnya merupakan salah satu penyebab

reaksi transfusi. Kerugian penggunaannya membutuhkan tenaga kerja yang intensif

dan waktu yang lama sehingga tertunda. Selain itu, produk WE juga kadaluwarsa
23
dalam 24 jam setelah pembuatan.

- Transfusi trombosit konsentrat/thrombocyte concentrate (TC)

Transfusi TC dapat diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan

akibat trombositopenia, atau sebagai pro laksis pada keadaan tertentu. Pada pasien

dengan trombositopenia, transfusi TC profilaksis dapat diberikan pada kadar

trombosit <50.000/mL, namun sebagian institusi menggunakan kesepakatan untuk

memberikan pada kadar trombosit <20.000/mL. Namun, hal ini juga harus

mempertimbangkan kondisi klinis pasien. Pasien yang dijadwalkan untuk prosedur

invasif juga dapat diberikan transfusi TC pro laksis apabila kadar trombosit

<50.000/mL.25

Pada pasien dengan trombositopenia dengan perdarahan aktif, pemberian

transfusi TC dibenarkan pada kadar trombosit berapapun. Transfusi TC juga dapat

diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif yang memiliki defek trombosit

kualitatif (trombopati). Selain itu, pada pasien anak dengan kadar trombosit

<20,000/mL yang akan menjalani tindakan prosedur invasif sebaiknya diberikan

28
transfusi trombosit sebagai pro laksis walaupun tanpa perdarahan aktif. Satu

kantong TC dianggap dapat meningkatkan kadar trombosit 5.000-10,000/mL.


26
Dosis pemberian TC pada anak dan neonatus adalah 10-20 mL/kgBB/ hari.

Apheresis adalah prosedur yang digunakan untuk memisahkan komponen

yang diinginkan dari kom- ponen lainnya pada produk darah donor. Apheresis dapat

digunakan untuk beberapa komponen darah tertentu, salah satunya adalah

trombosit. Apheresis yang dilakukan untuk mendapatkan trombosit dari darah

donor disebut plateletpheresis/thrombopheresis. Adapun keuntungan dari

penggunaan produk apheresis adalah produk darah yang digunakan berasal dari satu

donor, sehingga kemungkinan terjadi reaksi transfusi dan penularan infeksi dapat
26
dicegah. Bentuk lain dari sediaan komponen trombosit yang tersedia di PMI

adalah pooled unit TC, yang merupakan produk TC yang berasal dari 4-6 orang

donor, yang kemudian dimasukkan ke dalam satu kantong. Setelah pooled unit TC
23
disiapkan, harus segera ditransfusikan, karena adanya risiko proliferasi bakteri.

- Transfusi granulosit/bu y coat

Bu y coat adalah suspensi leukosit konsentrat, yang mengandung komponen

sel darah putih dan trombosit dari suatu sampel darah. Indikasi transfusi granulosit

pada pasien dengan neutropenia, leukemia, penyakit keganasan lain, serta anemia

aplastik dengan jumlah hitung leukosit <2.000/mm3 dengan suhu >39,0°C. Jumlah

pemberian transfusi granulosit pada umumnya 1–2x109/kgBB setiap transfusi

untuk neonatus, 1–2x1010/kgBB untuk bayi dan anak yang lebih besar, dan 2–

29
3x1010/kgBB untuk remaja. Satu unit granulosit mengandung 1 x 1010 granulosit.
29
Namun, saat ini transfusi granulosit sudah jarang digunakan.

- Plasma segar beku/fresh frozen plasma (FFP)

Tujuan dari transfusi FFP untuk mengganti de siensi faktor koagulasi,

terutama faktor IX pada pasien dengan hemo lia B dan faktor inhibitor koagulasi,

baik yang didapat atau bawaan apabila tidak tersedia komponen konsentrat dari

faktor spesi k atau faktor kombinasi. Dosis pemberian transfusi FFP pada anak dan

neonatus 10-20 mL/kgBB/hari.1 Pemberian transfusi FFP dapat bermanfaat pada

populasi anak yang mengalami disseminated intravascular coagulation (DIC)

dengan koagulopati yang signifikan (PT/ APTT >1,5 titik tengah dari rentang nilai

normal atau brinogen <0,1 g/dL) yang dikaitkan dengan perdarahan yang signi kan
23
secara klinis atau sebelum prosedur invasif.

- Kriopresipitat

Tujuan dari transfusi kriopresipitat untuk mengganti de siensi faktor VIII

pada pasien hemo lia A, penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau

tidak menunjukkan respon terhadap pemberian desmopresin asetat, serta akan

menjalani operasi/tindakan invasif. Kriopresipitat juga dapat digunakan sebagai

profrilaksis pada pasien dengan de siensi brinogen yang akan menjalani prosedur
23
invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

Sebagai pengganti brinogen, penggunaan satu unit kriopresipitat per 5 kg

berat badan secara umum dapat meningkatkan konsentrasi brinogen 100 mg/ dL,

kecuali pada kasus DIC atau perdarahan masif. Transfusi yang dilaksanakan harus

30
berdasarkan pada kondisi klinis, dengan tujuan mencapai dan mempertahankan

konsentrasi brinogen pada 100 mg/dL, sebagaimana diindikasikan secara klinis.

Secara umum, penghitungan jumlah kantong dapat menggunakan rumus 0,2 x berat

badan dalam kg untuk meningkatkan konsentrasi brinogen 100 mg/ dL. Dalam

praktiknya, dapat diberikan 10-20 unit/ kgBB/12 jam, karena waktu paruh

kriopresipitat 12 jam. Satu kantong kriopresipitat berisi sekitar 30-40 mL, dan
27,28
mengandung faktor VIII 70-75 unit.

- Reaksi transfusi

Berdasarkan tipe, reaksi transfusi dapat dibagi menjadi dua kategori,

• Reaksi transfusi imunologis, dibagi menjadi

Reaksi cepat, yang mencakup reaksi hemolitik akut, destruksi trombosit, demam

non-hemolitik, reaksi alergi, reaksi ana laktik, serta transfusionrelated acute lung

injury (TRALI).

Reaksi lambat, yang mencakup reaksi hemolitik lambat, aloantibodi, purpura pasca-

transfusi transfusionassociated graft versus host disease (TAGvHD).

• Reaksi transfusi non-imunologis, mencakup infeksi yang ditularkan melalui

darah, sepsis, transfusionassociated circulatory overload (TACO), dan gangguan


29
metabolik.

Berdasarkan keluhan dan tanda, reaksi transfusi dapat dikelompokkan

menjadi 3 kategori,

• Kategori I (reaksi ringan), berupa demam dengan

suhu >38,0°C atau kenaikan suhu 1-2°C dari suhu tubuh pra-transfusi, pruritus,

ruam ringan, transient urticaria, atau ushing.

31
• Kategori II (reaksi sedang), di samping demam dengan suhu tubuh >39,0°C atau

kenaikan suhu >2°C dari suhu tubuh pra-transfusi, disertai menggigil, rasa kaku,

mual/muntah, mialgia, angioedema, mengi, urtikaria, serta ruam kulit, tanpa

gangguan pada sirkulasi dan pernapasan.

• Kategori III (reaksi berat), terjadi hipotensi atau gangguan sirkulasi, sesak napas,
29
mengi, stridor berat, serta ana laksis.

Pemberian profilaksis untuk mencegah reaksi transfusi dapat diberikan pada

kasus yang pernah mengalami riwayat reaksi transfusi sebelumnya, terutama saat

pemberian produk darah yang me- ngandung plasma. Namun, penggunaan pro

laksis umumnya tidak dilakukan di negara yang sudah menggunakan prestorage

lter untuk setiap produk darahnya.

b. Pemberian Eritropoeitin Rekombinan

Pemberian terapi ini didasari dari terjadinya rendahnya level EPO plasma

dan sel progenitor eritrosit yang responsif pada bayi prematur . Tidak cukupnya

kuantitas EPO plasma merupakan penyebab utama terjadinya anemia maka amat

logis bila diperkirakan bahwa r-HuEPO dapat mengoreksi defisiensi EPO dan

secara efektif menangani anemia pada bayi prematur. Namun, secara umum,

penggunaan r-HuEPO masih tidak secara luas dipakai karena efikasinya tidak

lengkap. Selain itu, r-HuEPO dan besi secara efektif menstimulasi erithropoiesis in

vivo sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil laboratorium yaitu meningkatnya

jumlah retikulosit. Sayangnya, penggunaan terapi r-HuEPO masih belum dapat

menggantikan peran transfusi RBC. Walaupun begitu, beberapa laporan

menyebutkan bahwa r- HuEPO berhasil menjaga tingkat hematokrit lebih dari 30%

32
tanpa diperlukan transfusi PRC. Karena sedikitnya manfaat dari pemberian terapi

EPO dan kemungkinan meningkatnya risiko kejadian retinopati prematuritas,

pemberian EPO tidak begitu dianjurkan.20

C. Pencegahan

Berikut merupakan strategi pencegahan anemia pada bayi prematur:9

• Mengurangi kehilangan darah akibat flebotomi

Anemia iatrogenik akibat berulangnya pengambilan darah untuk keperluan

laboratorium sangat sering terjadi pada bayi prematur. Pada minggu-minggu awal

paska kelahiran ketika kesakitan kardiorespiratori pada puncaknya, tindakan ini

makin intens sehingga kehilangan darah akibat flebotomi secara tipikal merupakan

kontributor paling penting bagi kejadian anemia pada bayi prematur dan sebab

utama dibutuhkannya transfusi.10 Strategi untuk mengurangi kehilangan akibat

flebotomi termasuk microsampling, batching blood labs, pengambilan sampel dari

darah tali pusar untuk pemeriksaan laboratorium segera (misal crossmatch,

golongan darah), hanya melaksanakan prosedur pemeriksaan yang benar-benar

dibutuhkan, secara hati-hati memonitor kehilangan darah akibat flebotomi dan

penggunaan alat tes darah yang dioperasikan secara bedside atau point of care.

Masing-masing dapat menurunkan rata-rata volume tranfusi hingga sebanyak 43%

dan 46% pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1 kg. Penggunaan in line

umbilical arthery catheter analyser juga secara signifikan mengurangi jumlah

eritrosit yang diambil apabila dibandingkan dengan bayi yang diperiksa dengan

metode laboratorium reguler pada minggu pertama kehidupan. Namun, strategi ini

33
sangat bergantung pada alat-alat yang canggih dan terbatas pada kondisi ekonomi

sehingga hanya dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan yang sudah sangat maju.13

• Meningkatkan transfusi plasenta

Metode utama untuk meningkatkan transfusi plasenta ialah dengan

menunda penjepitan tali pusar dan umbilical cord milking. Perbedaan utama antara

keduanya terdapat pada mekanisme perpindahan darah ke bayi. Penundaan

penjepitan tali pusar merupakan mekanisme transfer pasif volume darah tambahan

pada laju yang rendah, seringnya diakibatkan oleh kontraksi rahim sedangkan

umbilical cord milking (UCM) merupakan transfer aktif volume darah tambahan

yang terjadi pada laju cepat dan waktu yang singkat.12

• Penundaan penjepitan tali pusar

Diantara penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil yang bervariasi

dari definisi penundaan penjepitan tali pusat. Mcdonnel tahun 1997 menyebutkan

waktu penundaan adalah 31 detik, menurut Rabe tahun 2000 adalah selama 45

detik, dan menurut Hoffmeyr tahun 1993 adalah selama 60 detik sampai dengan

120 detik. Sampai saat ini waktu yang tepat untuk menunda penjepitan tali pusat

masih diperdebatkan oleh beberapa ahli.30

Penjepitan dan pemotongan tali pusat bayi baru lahir merupakan intervensi

yang perlu dilakukan, namun waktu optimal untuk melakukan penjepitan tali pusat

ini masih kontroversial. Belum ada panduan resmi dalam praktik, namun

kebanyakan praktisi melakukan pemotongan tali pusat segera setelah lahir. Pada

penelitian yang dilakukan Ceriani Cernades et al pada tahun 2006 dinyatakan

bahwa pemotongan tali pusat dalam rentang waktu 15 detik, lebih dari 1 menit, dan

34
lebih dari 3 menit tidak memiliki perbedaan bermakna dalam 6 jam pertama tetapi

didapatkan peningkatan angka hematocrit lebih dari 65% pada pemotongan lebih

dari 3 menit dan setelah 24-48 jam kelahiran bayi prevalensi anemia meningkat

tajam pada pemotongan tali pusat dalam rentang 15 detik dibandingkan dengan

grup lainnya.1 Pada penelitian Mercer et al, penundaan penjepitan tali pusat selama

45 detik pada bayi preterm secara signifikan menurunkan kejadian perdarahan

intraventrikuler dan sepsis awitan lambat. Penelitian terbaru menyatakan bahwa

penjepitan tali pusat segera (5 – 10 detik) menimbulkan penurunan volume 20 – 40

ml darah perkilogram berat badan yang setara dengan 30 – 35 mg zat besi.

Sedangkan, Penundaan penjepitan tali pusat 30 – 45 detik akan meningkatkan

volume darah 2 – 16 mL/kg BB setelah persalinan caesar dan 10 – 28 ml/kgBB

setelah persalinan pervaginam.31,32 Berdasarkan dari referensi di atas maka dapat

dihitung potensi kehilangan volume darah pada penjepitan tali pusat segera yaitu

sebesar 68 ml/kgBB (40 ml/kgBB + 28 ml/kgBB). Sedangkan, perkiraan volume

darah total janin dan plasenta 105-110 ml/kg BB. Contoh, bila berat bayi lahir 3 kg

maka kurang lebih volume darah yang hilang atau yang tidak didapatkan oleh bayi

lahir yaitu 204 ml dan volume darah total janin dan plasenta yaitu 330 sehingga

bayi baru lahir ini akan kehilangan darah 61%. Meta-analisis terbaru

menyimpulkan penjepitan tali pusat tertunda (30 detik atau lebih) berhubungan

dengan volume darah dan penyimpanan zat besi 2 lebih besar untuk neonatus,

penurunan kejadian anemia, transfusi sel darah merah yang lebih sedikit, serta

penurunan efek perdarahan intraventrikular yang tidak diinginkan. Komplikasi lain

yang dikhawatirkan seperti skor APGAR yang rendah, polisitemia, ikterus, dan

35
gangguan pernapasan, tidak secara bermakna terjadi pada penundaan penjepitan tali

pusat.31

Selain itu, penjepitan tali pusat segera dicurigai sebagai penyebab utama

anemia pada bayi baru lahir. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti

merekomendasikan penundaan penjepitan tali pusat sebagai intervensi yang murah

dan sederhana untuk mengurangi kejadian anemia pada 6 bulan pertama

kehidupan.31,32 Penundaan penjepitan tali pusat ini mampu memperbaiki perfusi

jaringan dan mengurangi kecenderungan hipotensi. Adanya tekanan darah yang

lebih tinggi, peredaran oksigen dan nutrisi akan lebih lancar, jaringan yang nekrosis

akan berkurang, sehingga kebutuhan penggunaan oksigen tambahan pada bayi juga

menurun. Penjepitan tali pusat segera memicu penurunan kecepatan aliran darah di

vena cava superior sehingga menyebabkan terjadinya intraventricular haemorrhage

(IVH). Efek langsung dari penjepitan tali pusat segera adalah untuk mengurangi

respirasi plasenta dan transfusi yang menyebabkan asfiksia hingga paru baru

berfungsi dan kehilangan 30-50% dari volume total. Kombinasi hipoksia dan

hipovolemi / iskemia menyebabkan kerusakan otak hipoksia-iskemia. Bayi yang

mendapatkan tranfusi plasenta secara penuh memiliki besi yang cukup untuk

mencegah anemia selama 1 tahun pertama, tetapi kehilangan darah pada neonatus

dikarenakan penjepitan tali pusat segera menjadi bukti terjadinya anemia.32

American College of Obstetrician and Gynecologists merekomendasikan 30

hingga 60 detik penundaan dalam penjepitan tali pusar pada semua kelahiran

prematur karena manfaatnya, diantaranya peningkatan volume darah, penurunan

kebutuhan transfusi dan penurunan insidensi IVH pada bayi prematur.30 Hal ini juga

36
dianjurkan oleh European Consensus Guideline on Resuscitation of the Preterm

Infant. Beberapa penelitian menunjukan bahwa praktik ini dapat menyebabkan

resusitasi yang terlambat dan kehilangan panas pada bayi dengan berat lahir lebih

rendah atau umur gestasi yang lebih singkat. Namun, sudah diketahui secara luas

bahwa bayi yang memerlukan resusitasi juga memerlukan transfusi plasenta lebih

tinggi dari bayi lahir sehat. World Health Organization (WHO) sendiri kini

mengeluarkan pedoman terkait penjepitan dan pemotongan tali pusat bayi baru

lahir. Penundaan penjepitan tali pusat lebih dari 1 menit direkomendasikan untuk

meningkatkan kesehatan dan nutrisi bayi. Namun masih banyak penulis yang

melakukan penelitian terkait hal ini baik pada bayi preterm maupun aterm.33,34

• Umbilical cord milking

Merupakan terapi alternatif selain penundaan penjepitan tali pusar, dimana

pelaksanaannya yaitu tali pusar yang belum dijepit diremas dan darah didorong ke

arah bayi beberapa kali sebelum akhirnya dijepit. Walaupun begitu, penggunaan

rutin UCM pada BBLSR tidak dianjurkan karena kekhawatiran mengenai

keamanannya karena cepatnya perubahan volume darah dapat berakibat buruk

kepada bayi tersebut.13

• Lotus birth

Metode tali pusat tidak dijepit merupakan metode dimana plasenta tetap

terhubung pada bayi sampai tali pusat mengering dan lepas secara alami dari

umbilikus. Dalam dunia barat hal ini dikenal sebagai lotus birth. Lotus birth ini

berasal dari nama ibu hamil yaitu Clair Lotus Day.35

37
Lotus birth merupakan bagian dari penjepitan tali pusat tertunda. Pada

metode tali pusat tidak dipotong, tali pusat tetap dibiarkan meskipun pulsasi

sudah berhenti, kemudian ditunggu sampai terjadi nekrosis lalu terlepas dengan

sendirinya dalam kurun waktu 3 – 10 hari. Tidak ada bukti medis tentang

manfaat yang didapatkan pada metode lotus birth. Penjelasan mengenai risiko

potensial tentang metode lotus birth harus diberikan kepada ibu, terutama risiko

infeksi dan kesehatan bayi. UK Royal College of Obstetricians and

Gynecologist (RCOG) pada tahun 2012 menyarankan dilakukannya persalinan

normal kemudian menyerahkan semua keputusan pada ibu, untuk menentukan

metode yang tepat pada tali pusat bayi.35

Jika tali pusat dibiarkan untuk jangka waktu tertentu setelah melahirkan,

berisiko timbulnya infeksi pada tali pusat, yang akibatnya bisa menyebar ke

bayi. Tali pusat sangat rentan terhadap infeksi karena mengandung darah.

Dalam waktu singkat setelah lahir bayi, saat tali pusat berhenti berdenyut,

plasenta tidak memiliki sirkulasi sehingga jaringan akan mati. Jika seorang ibu

memilih untuk melakukan lotus birth, RCOG sangat menganjurkan

dilakukannya pemantauan secara hati-hati pada bayi terhadap tanda-tanda

infeksi. UK Royal College of Obstetricians and Gynecologist pada tahun 2013

mengingatkan risiko potensial untuk praktik tidak memotong tali pusat. Tidak

diketahui secara pasti apakah meningkatkan risiko pada waktu paska persalinan

atau komplikasi pada neonatus. Infeksi dapat menyebar ke bayi karena pada

paska kelahiran, plasenta tidak memiliki sirkulasi dan mudah terkena infeksi.35

38
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Semua neonatus mengalami penurunan kadar hemoglobin selama minggu-

minggu awal kehidupan. Penting untuk dibedakan anemia pada neonatus

merpakan anemia fisiologis atau patologis. Untuk itu diagnosa yang cermat dan

penatalaksanaan yang tepat sangat membantu dalam mencegah komplikasi yang

muncul.

Penegakkan diagnosa terdiri dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium sederhana dan lengkap serta

pemeriksaan canggih lainnya. Dari anamnesa ditanyakan riwayat bayi meliputi

riwayat kelahiran, diet, perdarahan, transfusi, dan riwayat sakit sebelumnya.

Riwayat anggota keluarga anemia, ikterik, kolestasis atau splenektomi. Riwayat

maternal meliputi diet dan minum obat selama kehamilan. Pemeriksaan fisik perlu

dicari tanda-tanda anemia seperti kulit pucat, konjungtiva anemis, bisa juga

ditemui ikterik, splenomegali, dan hepatomegali pada kondisi tertentu seperti

anemia hemolitik. Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi komplikasi yang

mungkin sudah muncul pada saat pemeriksaan fisik seperti distres pernafasan,

letargis, serta tanda tanda syok. Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan

darah lengkap, retikulosit dan apusan darah tepi,

Untuk pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan untuk menentukan secara

pasti etiologi dari anemia pada neonatus. Pemeriksaan lebih lanjut disesuaikan

38
dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik seperti darah tepi lengkap, hitung

retikulosit, hapusan darah tepi, coombs test, kadar bilirubin, pemerikasaan enzim

G6PD, tes Apt digunakan untuk mengenyampingkan darah maternal,

Ultrasonografi pada kepala dan abdomen, dan pemeriksaan TORCH bila

diperlukan.

B. Saran

Penatalaksanaan neonatus dengan anemia perlu pertimbangan yang

matang. Tatalaksana transfusi darah kepada neonatus masih kontroversial. Pada

neonatus dengan anemia, kecukupan oksigenasi jaringan akibat anemia sulit untuk

ditentukan secara klinis. Oleh karena itu kita dituntut untuk lebih cermat dalam

memahami patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana pada bayi dengan anemia

sehingga dapat melakukan penanganan yang benar.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Sustainable development goals: Paduan untuk pemerintah daerah. Jakarta :


International NGO Forum on Indonesian Development; 2016.
2. Riskesdas. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2018.
3. Hafidh Y, Hidayah D, Sunyataningkamto. Anemia pada bayi baru lahir.
Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi, Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia,2008. h. 199-201.
4. Yunanto A. Pedoman Penatalaksanaan Medis Neonatologi, Edisi ke-1.
Banjarmasin: Pustaka Banua, 2011. h. 139-40.
5. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology: Anemia
during neonatal periode. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011. p. 33-7.
6. Moeslichan MZ, Windiastuti E. Anemia pada neonatus. Dalam: Permono
B,Sutaryo Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting.
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2006. h. 24-9.
7. Strauss RG. Anemia of prematurity: pathofisiology and treatment. Blood
Rev. 2010;24:221-5.
8. Tschirch E, Weber B, Kohne P, Guthmann F, Gise A. Vascular endothelial
growth factor as a marker for tissue hypoxia and transfusion need in
anemic infants : a prospective clinical study. Pediatrics. 2009;123:784-90.
9. Alkalay A, Galvis S, Ferry D, Simmons C, Krueger R. Hemodinamic
change in anemic premature infants: are we allowing the hematocrits to
fall too low?. Pediatrics. 2003;112:838-45.
10. Alan S, Saadet A. Prevention of the anemia of prematurity. International
Journal of Pediatrics and Adolescent Medicine. 2015;2:99-106.
11. Christensen R, Ohls R. Development of the hematopoietic system. Dalam:
Kliegman R, Stanton B, Schor N, Geme J, Behrman R, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatric. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.
56-62
12. Sunmin L, Ronnie G, Elizabeth MC, Mark W, Mark O, Tera K, et al.
Prevalence of anemia and associations between neonatal iron status,
hepcidin and maternal iron status among neonates born to pregnant
adolescents, Pediatric Research. 2015;12:122-5
13. Tschirch E, Weber B, Kohne P, Guthmann F, Gise A. Vascular endothelial
growth factor as a marker for tissue hypoxia and transfusion need in
anemic infants : a prospective clinical study. Pediatrics. 2009;123:784-90.

40
14. Carrero J, Bárány P, Yilmaz MI, Qureshi AR, Sonmez A, Heimburger O,
et al. Testosterone deficiency is a cause of anaemia and reduced
responsiveness to erythropoiesis-stimulating agents in men with chronic
kidney disease. Nephrology, dialysis, transplantation : official publication
of the European Dialysis and Transplant Association - European Renal
Association. 2011;27:709-15.
15. Gibson B, Halsey C. Nonimmune neonatal anemias. Dalam: Arceci R,
Hann I, Smith O, penyunting. Pediatric Hematology. Edisi ke-3. Victoria:
Blackwell Publihing Ltd 2006. p. 131-48.
16. Moeslichan M, Windiastuti E. Anemia Hemolitik. Dalam: Permono B,
Sutaryo, Ugrasena I, Windiastuti E, penyunting. Buku Ajar Hemato
Onkologi Anak. Edisi ke-3. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010. h. 134-8.
17. Sawada K, Fujishima N, Hirokawa M. Acquired pure cell aplasia: updated
review of treatment. Br J Hematol. 2008;142:505-14.
18. Singh A, Radhakrishnan N, Seth T, Mishra P, Mahapatra M. Diamond
blackfan anemia: tertiary care center experience. Mediterr J Hematol
Infect Dis. 2013;5:1-9.
19. Glader. Immune hemolytic anemias. Dalam: Arceci R, Hann I, Smith O,
penyunting. Pediatric Hematology. Edisi ke-3. Victoria: Blackwell
Publishing Ltd. 2006. p. 151-67
20. Saeidi R, Banihashem A, Hammoud M, Gholami M. Comparison of oral
recombinant erythropoietin and subcutaneous recombinant erythropoietin
in prevention of anemia of prematurity. Iran Red Crescent Med J.
2012;14:178-81.
21. Abdelghaffar S, Mansi Y, Ibrahim R, Mohammed D. Red blood
transfusion in preterm infants: Change in glucose, electrolyte and acid
base balance. Asian J Transfus Sci. 2012;6:36-41.
22. Schonewille H, Prinsen-Zander KJ, Reijnart M, et al. Extended matched
intrauterine transfusions reduce maternal Duffy, Kidd, and S antibody
formation. Transfusion 2015; 55:2912.
23. New HV, Berryman J, Bolton-Maggs PHB, Stanworth SJ. Guidelines on
transfusion for fetuses, neonates and older children. British Committee for
Standards in Hematology; 2014.
24. Joint United Kingdom (UK) Blood Transfusion and Tissue
Transplantation Services Professional Advisory Committee. 2013.
Guidelines for the blood transfusion services in the United Kingdom.
London, JPAC.
25. Clarke G, Charge S. Clinical guide to transfusion medicine. Canadian
Blood Services; 2013.

41
26. Hume HA, Limoges P. Perioperative blood transfusion therapy in pediatric
patients. American J Ther 2002;9:396-405.
27. Roseff SD, Luban NL, Manno CF. Guidelines for assessing
appropriateness of pediatric transfusion. Transfusion 2002;42:1398-413.
28. Singh S, Kumar A. Leukocyte depletion for safe blood transfusion.
Biotechnol J 2009;8:1140-51.
29. Wahidiyat PA, Rahmartani LD, Putriasih SA. Pemakaian klinis produk
darah pada kasus transfusi berulang. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Panduan pelayanan transfusi darah. Jakarta; 2015. h. 65-8
30. Elimian A, Goodman J, Escobedo M, Nightingale L, Knudtson E,
Williams M. Immediate Compared With Delayed Cord Clamping in the
Preterm Neonate. J Obstetrics and Gynecology 2014:124 (6). 1075-79.
31. Chiruvolu A, Tolia VN, Qin H, Stone GL, Rich D, Conant RJ, et al. Effect
Of Delayed Cord Clamping On Very Preterm Infants. American Journal of
Obstetric and Gynecology 2015; 213:674–9.
32. Kaempf JW, Tomlinson MW, Kaempf AJ, Wu Y, Wang EL, Tipping N, et
al. 2008. Delayed Umbilical Cord Clamping in Premature Neonates. J
Obstetrics and Gynecology 2012;120:325-30.
33. WHO. 2012. Guidline for optimal timing of cord clamping for the
prevention of iron deficiency anaemia in infants. Geneva, World Health
Organization
34. WHO. 2014. Guideline: Delayed umbilical cord clamping for improved
maternal and infant health and nutrition outcomes. Geneva, World Health
Organization
35. RCOG. 2013. RCOG statement on umbilical non-severance or lotus birth.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. London, RCOG.

42

Anda mungkin juga menyukai