dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrien. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan jika terjadi gagal
1) Penyakit arteri koroner dan serangan jantung. Arteri yang memasok darah ke otot
bekuan darah yang akan menghalangi aliran darah ke area otot jantung,
permanen. Jika kerusakan yang signifikan, hal itu dapat menyebabkan otot jantung
melemah.
2) Hipertensi. Jika tekanan darah tinggi, jantung harus bekerja lebih keras dari
biasanya untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh Anda. Otot jantung dapat
menjadi lebih tebal untuk mengimbangi. Akhirnya, otot jantung menjadi terlalu
3) Katup jantung yang rusak. Sebuah katup yang rusak - karena cacat jantung,
penyakit arteri koroner atau infeksi jantung - menyebabkan jantung bekerja lebih
penyalahgunaan alkohol dan efek toksik obat, seperti kokain atau obat yang
mencegah jantung mendapatkan darah yang cukup untuk tubuh dan juga dapat
Faktor risiko :
- Serangan jantung
- Sleep apnea
- Obesitas
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral.
Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan
hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan
hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung
adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=
curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung
serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
arteriole.
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
aldosterone.
3) Troponin I atau T
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
4) Ekokardiografi
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik
5) Elektrokardiogram (EKG)
6) Foto Toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.
Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
7) Ekokardiografi transesofagus
8) Ekokardiografi beban
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard
farmakologis.
dan istirahat.
2.1.6.1 Terapi Farmakologi
meningkatkan aliran darah dan mengurangi beban kerja pada jantung. Contohnya
2) Angiotensin II receptor blockers. Obat ini, yang meliputi losartan (Cozaar) dan
valsartan (Diovan), memiliki banyak manfaat yang sama seperti inhibitor ACE.
3) Beta blocker. Kelas ini obat tidak hanya memperlambat denyut jantung dan
kerusakan pada jantung jika memiliki gagal jantung sistolik. Contohnya termasuk
jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah
menurun.
sampai berat.
5) Inotropik. Ini adalah obat intravena digunakan pada gagal jantung parah di rumah
sakit untuk meningkatkan fungsi pemompaan jantung dan menjaga tekanan darah.
6) Digoxin (Lanoxin). Obat ini, juga disebut sebagai digitalis, meningkatkan
kekuatan kontraksi otot jantung. Hal ini juga cenderung untuk memperlambat
detak jantung. Digoxin mengurangi gejala gagal jantung pada gagal jantung
sistolik. Ini mungkin lebih cenderung untuk diberikan kepada seseorang dengan
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti: diet
rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis,
1) Kerusakan ginjal atau kegagalan. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke
ginjal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak diobati.
Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat memerlukan dialisis untuk pengobatan.
2) Sasalah katup jantung. Katup jantung, mungkin tidak berfungsi dengan baik jika
jantung hipertrofi atau jika tekanan di dalam jantung sangat tinggi karena gagal
jantung.
3) Masalah irama jantung. masalah irama jantung (aritmia) dapat menjadi komplikasi
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cadangan cairan ini dapat
menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi jantung berfungsi
dengan baik.
Penyakit Jantung Rematik (RHD)
2.2.1 Definisi
2.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus
hemolitikus grup A.
Protein M pada kapsul karbohidrat bakteri yang mengalami proses mimikri dengan
glycoprotein pada katup jantung, sarcolema, dan miokardial yang menyebabkan cross-
reaction dengan antibodi.
2.2.3 Patofisiologi
Dalam perjalanan alamiah penyakit, Stenosis ini paling sering terjadi pada
katup Mitral dengan sebab yang belum jelas diketahui. Stenosis pada katup mitral
membuat orificium mitral menyempit seperti celah yang menyebabkan terjadinya
dilatasi dan hipertropi atrium kiri. Dalam keadaan ini terjadi dua kemungkinan, 1.
Terbentuknya thrombus mural yang dengan berjalannya waktu dapat menyebabkan
terjadinya emboli sistemik, atau 2. Terjadinya kongesti pasif kronis pada paru
sehingga paru menjadi padat dan berat serta hal ini berjalan dengan alamiahnya dapat
membuat dilatasi dan hipertropinya ventrikel serta atrium kanan.
Dalam waktu yang sama stenosis mitral dapat membuat terjadinya regurgitasi
mitral sebagai dampak akan terjadi retraksi daun katup mitral yang justru akan
semakin meningkatkan beban volume ventrikel kiri dan terjadilah dilatasi serta
hipertropi ventrikel kiri.
Dilain tempat secara kronis sering diikuti oleh terjadinya valvulitis pada katup
aorta yang berkaitan erat dengan kejadian mitral stenosis. Hal ini membuat ujung
katup aorta menebal, padat, melekat dan membuat orificium menjadi segitiga.
Terjadilah stenosis aorta dalam hal ini. Dampak yang ditimbulkan terjadi penigkatan
beban tekanan pada ventrikel kiri (yang hipertropik konsentrik) yang membuat
terjadinya gagal ventrikel kiri. Hal ini akan membuat dilatasi rongga jantung yang
dalam perjalanan alamiahnya akan terjadi gagal jantung kongesti.
Di lain tempat masih pada katup aorta akan terjadi fibrosis daun katup aorta.
Akan terjadi penarikan daun katup aorta kea rah dinding aorta yang akan
menyebabkan regurgitasi aorta. Sebagi dampaknya akan terjadi hipertropi dan dilatasi
ventrikel kiri kembali.
2.2.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi mayor
Karditis
Arthritis
Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan
tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot
wajah dan ektremitas.
Nodul subcutan
Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 2 cm, tidak
nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor
sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.
Eritema marginatum
Korea
Manifestasi minor
1. Pemeriksaan darah
a) LED meningkat
b) Lekositosis
c) Nilai hemoglobin dapat rendah
2. Pemeriksaan bakteriologi
a) Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
b) Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.
3. Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada jantung.
4. Pemeriksaan Echokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi
5. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Menunjukan interval P-R memanjang
2.2.6 Penatalaksanaan
MEDIKAMENTOSA
Antibiotik
Penicillin V 250 mg peroral 2 - 3 kali sehari (27 kg) atau 500 mg peroral 2 -
3 kali sehari (>27 kg) 10 hari.
Anti-Inflamasi
Arthritis, Athralgia dan Karditis : Aspirin 4- 8g/hari yang dibagi dalam 4
sampai 6 dosis.
Sydenham Chorea: Haloperidol
Demam: Aspirin
1. Diet
2. Tirah baring
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup
jantung, dan infark (kematian sel jantung).
1. Dekompensasi Cordis
2. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard
2.2.8 Prognosis
Istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal
dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi
perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk.
Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,
disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, dan regenerasi nodul hepatosit.
Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit
hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan
fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan
pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya
menyebabkan hipertensi portal.
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :
Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965
dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan
yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik
telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A.
Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau
degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-orang muda
dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin
pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit
ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga
dalam jaringan hati.
Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.
Sebab-Sebab Lain
Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler
Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan
dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-
50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang bukan
B atau C.
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hati atas:
a) Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis
toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak
terjadi jaringan nekrose.
b) Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c) Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Shiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
a) Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis alkoholik.
b) Sirosis postnekrotik
c) Sirosis biliaris.
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit
lain. Bila sirosis hati sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan deman tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Tanda Klinis
Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver
sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan
penyakit.
Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah
timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati
membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri
bila ditekan.
Hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas
nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran
darah melalui hati.
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis: gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoselular adalah
ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma
spidernevi, ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan
hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta
manifestasi sirkulasi kolateral lainnya. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi
kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal (Price & Wilson, 2005).
a) Manifestasi kegagalan hepatoselular Menurunnya ekskresi bilirubin
menyebabkan hiperbilirubin dalam tubuh, sehingga menyebabkan ikterus dan
jaundice. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas sirosis biliaris dan
terjadi jika timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu (kolangitis) (Price
& Wilson, 2005). Peningkatan rasio estradiol/testosteron menyebabkan
timbulnya angioma spidernevi yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi
beberapa vena kecil sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
Perubahan metabolisme estrogen juga menimbulkan eritema palmaris, warna
merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Ginekomastia berupa
proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat
peningkatan androstenedion (Sudoyo, 2007). Gangguan hematologi yang
sering terjadi adalah perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
Penderita sering mengalami perdarahan gusi, hidung, menstruasi berat dan
mudah memar. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya faktor pembekuan
darah. Anemia, leukopenia, trombositopenia diduga terjadi akibat
hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar tetapi juga aktif menghancurkan
sel-sel darah dari sirkulasi sehingga menimbulkan anemia dengan defisiensi
folat, vitamin B12 dan besi. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Hal ini dapat dikaji melalui
shifting dullness atau gelombang cairan. Faktor utama terjadinya asites ialah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi portal) dan
penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia (Price & Wilson,
2005). Edema terjadi ketika konsentrasi albumin plasma menurun. Produksi
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan
ekskresi kalium (Smeltzer & Bare, 2002).
b) Manifestasi hipertensi portal Akibat dari hati yang sirotik, darah dari organ-
organ digestif dalam vena porta yang dibawa ke hati tidak dapat melintas
sehingga aliran darah tersebut akan kembali ke sistem portal yaitu dalam
limpa dan traktus gastrointestinal. Adanya peningkatan resistensi terhadap
aliran darah melalui hati akan menyebabkan hipertensi portal (Smeltzer &
Bare, 2002). Hipertensi portal didefiniskan sebagai peningkatan tekanan vena
porta yang menetap di atas nilai normal yaitu 6-12 cmH2O (Price & Wilson,
2005). Pembebanan berlebihan pada sistem portal ini merangsang timbulnya
aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Obstruksi aliran
darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal dan
pemintasan (shunting) darah dari pembuluh darah portal ke dalam pembuluh
darah dengan tekanan yang lebih rendah (Smeltzer & Bare, 2002). Saluran
kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada
esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava
menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esofagus). Sirkulasi
kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen dan timbulnya
sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilikus (kaput
medusa). Sistem vena rektal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga
vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid
interna (Price & Wilson, 2005).
Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sirosis laennec, sirosis
pascanekrotik, dan sirosis biliaris. Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi alkohol
kronis, alkohol menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik
langsung terhadap hati yang akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan
asetaldehid yang akan merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan ikat
yang tebal dan nodul yang beregenerasi. Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus
hepatitis B, C, infeksi dan intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut,
berbentuk tidak teratur, terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan
parut dan diselingi oleh jaringan hati. Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan
empedu pada duktus intrahepatikum, autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu
hati. Dari ketiga macam sirosis tersebut mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati dan
kegagalan fungsi hati. Distorsi arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah
portal ke dalam hepar karena darah sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga
meningkatkan aliran darah balik vena portal dan tahanan pada aliran darah portal yang
akan menimbulkan hipertensi portal dan terbentuk pembuluh darah kolateral portal
(esofagus, lambung, rektum, umbilikus).
Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik di sirkulasi portal yang
akan mengakibatkan cairan berpindah dari sirkulasi portal ke ruang peritoneum
(asites). Penurunan volume darah ke hati menurunkan inaktivasi aldosteron dan ADH
sehingga aldosteron dan ADH meningkat di dalam serum yang akan meningkatkan
retensi natrium dan air, dapat menyebabkan edema. Kerusakan fungsi hati; terjadi
penurunan metabolisme bilirubin (hiperbilirubin) menimbulkan ikterus dan jaundice.
Terganggunya fungsi metabolik, penurunan metabolisme glukosa meingkatkan
glukosa dalam darah (hiperglikemia), penurunan metabolisme lemak pemecahan
lemak menjadi energi tidak ada sehingga terjadi keletihan, penurunan sintesis albumin
menurunkan tekanan osmotik (timbul edema/asites), penurunan sintesis plasma
protein terganggunya faktor pembekuan darah meningkatkan resiko perdarahan,
penurunan konversi ammonia sehingga ureum dalam darah menigkat yang akan
mengakibatkan ensefalopati hepatikum. Terganggunya metabolik steroid yang akan
menimbulkan eritema palmar, atrofi testis, ginekomastia. Penurunan produksi empedu
sehingga lemak tidak dapat diemulsikan dan tidak dapat diserap usus halus yang akan
meingkatkan peristaltik. Defisiensi vitamin menurunkan sintesis vitamin A, B, B12
dalam hati yang akan menurunkan produksi sel darah merah.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Penunjang
Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap
merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik, sirosis hati
dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi dan etiologi dari sirosis
berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma
hepatoseluler sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.
Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan volume
cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air dan natrium. Asites
dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat dengan jumlah cairan banyak
menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari
Tujuan pengobatan :
1. Mengurangi progresi penyakit
2. Menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati
3. Pencegahan dan penanganan komplikasi
Penanganan Umum
Diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000-3000 kkal/hari dan
protein (75-100 g/hari) atau bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan
diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan jika terdapat retensi cairan
dilakukan restriksi sodium. Jika terdapat encephalopathy hepatic (ensefalopati
hepatik), konsumsi protein diturunkan sampai 60-80 g/hari.
Syarat diet ini adalah katori tinggi, hidrat arang tinggi, lemak sedang, dan
protein disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara
berangsur-angsur disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien
terhadap pasien terhadap protein. Diet ini harus cukup mineral dan vitamin;
rendah garam bila ada retensi garam/air, cairan dibatasi bila ada asites hebat;
serta mudah dicerna dan tidak merangsang. Bahan makanan yang
menimbulkan gas dihindari.
Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua
makanan dan daging yang banyak mengandung lemak, seperti daging kambing
dan babi serta bahan makanan yang menimbulkan gas, seperti ubi, kacang
merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.
Mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung thiamine
100 mg dan asam folat 1 mg. Perbaiki defisiensi potasium, magnesium, dan
fosfat. Transfusi sel darah erah (packed red cell), plasma juga diperlukan.
Primer
Sirosis ini paling sering disebabkan oleh minuman keras, hepatitis B dan C.
Cara untuk mencegah terjadinya sirosis dengan tidak konsumsi alkohol, menghindari
risiko infeksi hepatitis C dan hepatitis B. Menghindari obat-obatan yang diketahui
berefek samping merusak hati. Vaksinasi merupakan pencegahan efektif untuk
mencegah hepatitis B.
Sekunder
Penyebab primernya dihilangkan,maka dilakukan pengobatan hepatitis dan
pemberian imunosupresif pada autoimun. Pengobatan sirosis biasanya tidak
memuaskan. Tidak ada agent farmakologik yang dapat menghentikan atau
memperbaiki proses fibrosis.
Penderita sirosis hati memerlukan istirahat yang cukup dan makanan yang adekuat
dan seimbang. Protein diberikan dengan jumlah 1-1 g/kg berat badan. Lemak antara
30 %- 40%. Infeksi yang terjadi memerlukan pemberian antibiotik yang sesuai. Asites
dan edema ditanggulangi dengan pembatasan jumlah cairan NaCl disertai pembatasan
aktivitas obstruksi.
Pendarahan saluran cerna atas oleh varises esophagus yang pecah memerlukan
perhatian terhadap jumlah darah yang hilang, dan harus ditutup atau tekanan portal
diturunkan melalui operasi shunt.
Tersier
Bila sudah dapat ditentukan diagnosa sirosis hati secara klinis, maka langkah
yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah pemberian terapi. Untuk menentukan terapi
yang tepat, perlu ditinjau berat ringannya kegagalan faal hati. Etiologi sirosis
mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Setelah sirosis berkembang, skrining tahunan harus
dilakukan untuk mengikuti risiko perdarahan dengan endoskopi atas dan untuk deteksi
dini kanker hati dengan USG.
KESIMPULAN
Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dimana
terjadi fibrosis pada hepar dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodul-
nodul degeneratif. Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi sirosis kompensata
dimana gejala klinisnya belum tampak nyata dan sirosis dekompensata yang gejala
dan tanda klinisnya sudah jelas. Di Indonesia sirosis hepatis paling banyak disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis B dan C, tetapi terdapat beberapa etiologi lain meliputi
konsumsi alkohol, kelainan metabolik, kholestasis berkepanjangan, obat-obatan, dan
lain-lain.
Hepar memiliki banyak fungsi terutama dalam metabolisme, meliputi
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, penyimpanan vitamin, dan menyimpan besi
dalam bentuk ferritin. Pada sirosis hepatis, sel-sel hepatosit mengalami kematian dan
digantikan oleh jaringan fibrotik sehingga fungsinya pun akan terganggu.
Manifestasi klinis dari sirosis akan muncul dikarenakan kerusakan sel-sel
hepar sehingga terjadi kegagalan fungsi hepar dan juga karena hipertensi portal yang
terjadi. Manifestasinya meliputi ikterus, adanya spider naevi, hipoalbuminemia,
ascites, varises esophagus, dan lain-lain. Diagnosis sirosis hepatis dapat ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium seperti SGOT, SGPT, FP, HBsAg, USG
abdomen, dan untuk pastinya dapat dilakukan biopsi hepar.
Sirosis hepatis menimbulkan mortalitas yang tinggi diakibatkan oleh
komplikasi yang ditimbulkan, meliputi hematemesis melena karena pecahnya varises
esophagus, peritonitis bakterial spontan, ensefalopati hepatic, dan lain-lain. Untuk
penatalaksanaannya sendiri meliputi penghindaran terhadap bahan yang dapat
menambah kerusakan hati, diet rendah protein pada ensefalopati hepatic, diuretic pada
ascites, antibiotic pada peritonitis bakteri spontan, dan lain- lain tergantung dari
keadaan pasien. Untuk prognosis dari penyakit ini, dipengaruhi berbagai faktor
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasinya, dan adanya penyakit
yang menyertai.
Diabetes Mellitus
3.1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.
Diabetes Melitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah
yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormone insulin secara relatif maupun
absolut, apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan
makroangiopati.
Klasifikasi dari Diabetes Melitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah:
3.1.3 Patofisiolofi Diabetes Mellitus
B. Terapi Obat
1) TERAPI INSULIN
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM
Tipe I, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM
Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian
besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir
30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
b) Glitazone Thiazolidinediones
Farmakokinetik dan farmakodinamik: diabsorpsi cepat dan mencapai
konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi
farmakokinetik
Mekanisme kerja: merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa
terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet
dan hati. tidak mestimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas, glitazone
merupakan homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Rosiglitazon (meningkatkan kolesterol LDL dan HDL namun tidak pada TG)
dan pioglitazone (efek netral pada LDL, menurunkan TG, dan meningkatkan
HDL)
Kemasan rosiglitazone terdiri dari 4 dan 8 mg sedangkan pioglitazone 15 dan
30 mg. pemakaian bersama dengan insulin tidak disarankan karena dapat
mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan resistensi cairan.
Efek samping dan kontraindikasi: menyebabkan penambahan beratbadan
serta edema. pemakaian dihentikan jika terdapat kenaikan enzim hati lebih
dari 3 kali batas normal. Berhati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit
hati sebelumnya, gagal jantung kelas 3 dan 4 NYHA, dan pada edema
e) Golongan incretin
terdapat dua hormon incretin yang dikeluarkan oelh saluran cerna yaitu glucose
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-like peptide-1 (GLP-
1)
kedua hormon tersebut dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan,
sehingga meningkatkan sekresi insulin
Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai komplikasi.
Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non
ketotik, dan hipoglikemia (Perkeni, 2011). Menurut Perkeni (2011) yang termasuk
komplikasi kronik adalah makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati4.
Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti jantung,
darah tepi dan otak. Mikroangiopati terjadi pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskular) seperti kapiler retina mata, dan kapiler ginjal.
3.1.9 Pencegahan Diabetes Mellitus
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan diabetes ada 3 jenis atau tahap
yaitu:
1) Pencegahan Primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada
individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
2) Pencegahan Sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan
terutama pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya
tidak terdiagnosa dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah
komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.
Oleh karena itu, pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien
baru dengan cara skrining dimasukkan dalam upaya pencegahan sekunder supaya
lebih diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena dapat reversibel. Untuk
negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.
3) Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu.
Untuk mencegah kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi
DM agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik disamping tentu saja
pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Upaya ini meliputi:
a. Mencegah timbulnya komplikasi diabetes
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus menjadi
kegagalan organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan tubuh disebabkan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan
3.2 Ulkus Kaki Diabetik
Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan
abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan atau
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas bawah
Prevalensi ulkus kaki diabetik pada populasi diabetes adalah 4 10%, lebih
sering terjadi pada pasien usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus
sendiri, 10-15% akan tetap aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam
kurun waktu 6-18 bulan dari evaluasi pertama. Faktor risiko pada ulkus kaki diabetik
adalah neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, dan trauma pada kaki.
a) Anamnesa
Gejala-gejala meliputi sensasi terbakar, tertusuk jarum, dan kram otot yang
terdistribusi secara simetris pada kedua kaki dan memberat pada malam hari sering
terjadi pada neuropati perifer. Sebagian besar orang yang menderita penyakit
atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala (asimtomatik),
Penderita yang menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat
istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetes dibagi menjadi 3 bagian
yaitu :
Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
Penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler
Penilaian kemungkinan neuropati perifer
1) Pemeriksaan Ekstremitas
Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang
menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak,
ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan kedua). Ulkus dapat timbul pada
malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan trauma.
Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada pemeriksaa fisik:
Callus hipertropik
Kuku yang rapuh/pecah
Hammer toes
Fissure
Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih
dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi
penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih. Studi di
Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk
dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk.
a) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan
hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya.
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin
asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi
penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b) Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.Masalah yang akan dihadapi oleh
penderita DM cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik
mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah
nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak
penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%.
c) Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi.
Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik.
Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10
%.Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi, terdapat penyebab lain
penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik
(lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi,
sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena
substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh
penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
dan medikasi seperti steroid. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga
berpengaruh pada retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak
terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.
Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada
CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga
terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel
darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG
menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum
menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada
CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon,
dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring
dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut
Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan
tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak
mengalimi kondisi ini. Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan
kondisi lain yang mendasari.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 %
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal
ginjal.
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai
dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol,
sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang, kelemahan otot, fasikulasi
7. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik
normokrom)
a) Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat. Dari
kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan estimasi LFG dengan rumus
Cockrof-Gault atau studi MDRD. Sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium
(hiperkalemia), kalsium (hipokalsemia), fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase
(hiperfosfatemia), hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk
terapi dan pencegahan komplikasi CKD.
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat
mendeteksi dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri.
Analisa gas darah: asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun)
Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi
untuk mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar
pasien dengan CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna
keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.
Anemia, merupakan temuan klinis penting pada CKD dan dapat menunjukkan
perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau complete
blood count harus dilakukan.
Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron
yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran
kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan
menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang
praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan
praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau
Counahan- Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel dibawah ini:
b) Pemeriksaan Radiologi
Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa, kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
Kontrol tekanan darah. Target tekanan darah <130/80 mmHg. Anti hipertensi
yang disarankan ialah penghambat ACE, ARB (angiotensin receptor blocker), dan
CCB (calcium channel blocker) dan CCB (Calcium channel blocker)
Restriksi asupan protein, untuk mencegah malnutrisi.
Kontrol kadar glukosa darah. Target: HbA1C <7% . Hindari penggunaan
metformin
Retriksi cairan
Retriksi asupan garam <5-6 g/hari
Terapi dislipidemia. Target LDL <<100 mg/dl
modifikasi Gaya Hidup
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
I. Definisi
Definisi anemia secara umum yaitu bila ada penurunan hemoglobin (Hb), sel
darah merah atau hematokrit (Ht). oleh Organisasi Kesehatan Dunia telah ditetapkan
kriteria anemia yaitu bila kadar Hb kurang dari 13g% pada laki-laki dan kurang dari
12 g% pada wanita.
Sedangkan penyakit jantung anemik adalah keadaan dilatasi jantung dengan atau
Gagal jantung (HF) adalah penyakit umum yang terkait dengan prognosis buruk.
Anemia terjadi umumnya pada pasien dengan gagal jantung kronis (CHF). Anemia ini
ketersediaan besi dan hemodilusi, dan kadang-kadang diperburuk oleh tes darah
terlalu sering. Hemoglobin rendah sangat merugikan fase hemodinamik pasien dengan
Ketika anemia dikaitkan dengan HF dan gagal ginjal, pasien memasuki lingkaran
setan disebut cardio sindrom anemia ginjal (CRD). Prognosis pasien dengan HF lebih
buruk sebagai hemoglobin yang lebih rendah dan bahkan anemia ringan terkait
dengan <survival 1 tahun. Koreksi agresif dari anemia dengan suntikan subkutan
fungsional dan kualitas hidup pasien dengan sindrom anemia ginjal cardio dan
mengurangi kebutuhan untuk rawat inap. Namun, besi intravena dapat merugikan
karena peningkatan pembentukan radikal bebas, oksidatif stres dan risiko infeksi.
Tingkat hemoglobin yang diperlukan untuk dicapai tidak jelas, tetapi tampaknya
Pasien dengan anemia dan gagal jantung cenderung dialami oleh usia lanjut,
mengkonsumsi obat dan komorbiditas lain (diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis,
hipertensi), lebih lama dan sering dirawat di rumah sakit. Sebagai contoh, dalam
sebuah analisis dari pasien yang lebih tua, lebih dari setengah memiliki tingkat
Perkiraan prevalensi anemia pada pasien dengan CHF dan fraksi ejeksi rendah
berkisar luas dari 4% menjadi 61% (median 18%). Variabilitas dalam estimasi
pada laporan individu. WHO (hemoglobin konsentrasi 13,0 g / dL pada pria dan 12,0
III.Etiologi
Anemia terjadi ketika ada kekurangan dalam produksi eritrosit baru terhadap
glikoprotein yang diproduksi terutama oleh ginjal, adalah komponen kunci dari sistem
homeostasis untuk pengaturan massa sel darah merah dan pengiriman oksigen
Kekurangan zat besi hadir dalam 30% dari pasien anemia dengan CHF, sehingga
risiko anemia pada populasi CHF tercantum dalam Tabel. Meskipun faktor risiko
sebab akibat, pengamatan ini yang menunjukkan bahwa beberapa mekanisme yang
berbeda mungkin sering berkontribusi antara anemia pada pasien dengan CHF.
Penyakit ginjal kronis adalah komorbiditas umum pada pasien dengan CHF dan
merupakan prediktor independen yang kuat dari peningkatan risiko anemia pada
beberapa penelitian. Dalam populasi penyakit ginjal kronis tanpa gagal jantung,
moderat untuk penyakit ginjal berat (didefinisikan sebagai laju filtrasi glomerulus
(didefinisikan sebagai GFR 60 mL / menit) pada populasi CHF adalah 20% sampai
40%.
Anemia sering dikaitkan dengan indeks massa tubuh menurun dalam laporan
yang diterbitkan, sebuah temuan yang menunjukkan bahwa pasien dengan cachexia
berada pada risiko yang lebih besar untuk anemia. kadar serum sitokin proinflamasi
yang meningkat pada pasien kurus dengan CHF dan dapat berkontribusi pada
tulang, dan pengurangan bioavailabilitas zat besi untuk sintesis hemoglobin. sitokin
Hepcidin berinteraksi dengan ferroportin dan transportasi besi lain protein dalam
enterocyte untuk menghambat penyerapan zat besi usus dan dengan demikian
Anemia sering dikaitkan dengan tanda dan gejala klinis dari kongesti, sebuah
pengiriman oksigen ke jaringan, dan, pada pasien dengan perdarahan akut, berat,
hanya pada anemia berat, namun dapat terjadi pada tingkat hemoglobin berkurang
anoksemia terhadap miokard, adanya penyakit jantung sebelumnya dan keadaan high
output.
Dispnea pada exercise dan palpilatasi merupakan gejala yang paling utama.
Pada kebanyakan penderita, dispnea biasanya hanya timbul bila melakukan exercise.
Tetapi pada anemia yang sangat berat (3 g%) ataupun yang disertai kegagalan jantung,
Angina karena iskemia miokard sering timbul pada pasien yang sudah tua.
juga mengidap stenosis koroner dalam berbagai tingkat tertentu, yang dalam keadaan
tanpa anemia, stenosis koronernya itu sendiri tidak cukup untuk menimbulkan
kadar Hb, sebab apabila ada anemia sebagai faktor mencetus angina maka harus
segera diobati dan biasanya menjadi reversibel. Angina lebih dipengaruhi kondisi
Gagal jantung kongestif sering pula terjadi pada anemia berat, terutama pada
orang tua yang disertai dengan penyakit kardiovaskular degeneratif, maka tanpa
Sekalipun demikian, anemia yang sangat berat tanpa disertai penyakit jantung dapat
sanggup lagi mengatasi kerja tambahan untuk menaikan curah jantung. Gejala
ringan pada kaki kadang-kadang terjadi juga pada pasien ambulatoir dengan anemia
berat tanpa gagal jantung. Beberapa faktor yang menyokong timbulnya adema ini
termasuk retensi garam, tekanan yang meningkat pada vena kapiler yang bersifat
meninggi.
V. Patofisiologi
dengan retensi natrium dan air, pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, dan bukti aktivasi neurohormonal tanpa adanya penyakit jantung organik.
Ini tanggapan cardiorenal mungkin disebabkan efek anemia berat pada kekentalan
pengembangan penyakit pada pasien dengan CHF. Pada pasien dengan sindrom
thalassemia, gagal jantung adalah komplikasi umum yang mungkin dimediasi oleh
hemodinamik dan efek neurohormonal anemia kronis berat dan kelebihan zat besi
sekunder untuk kebutuhan transfusi kronis. terapi khelasi besi agresif sangat
mengurangi tetapi tidak menghilangkan risiko gagal jantung pada pasien ini.
pengiriman oksigen ke otot rangka selama aktifitas. Pasien dengan CHF kekurangan
gangguan fungsional yang lebih besar seperti yang didefinisikan oleh klasifikasi New
York Heart Association. Kalra dan rekannya melaporkan hubungan linear antara
pengurangan nilai hemoglobin dan konsumsi oksigen pada pasien anemia dengan
Massa jantung meningkat sebesar 25% dalam model tikus anemia kronis.
Sebuah hubungan terbalik antara nilai hemoglobin atau nilai hematokrit dan hipertrofi
ventrikel kiri juga telah dijelaskan dalam studi klinis pasien dengan dependen dialisis
dan predialisis penyakit ginjal kronik. Dalam subkelompok pasien dengan CHF
massa ventrikel kiri selama 24 minggu. Pengamatan ini adalah independen dari terapi
obat dan tidak memberikan bukti hubungan sebab akibat antara perubahan kadar
hemoglobin dan perubahan massa ventrikel kiri. Dalam dua uji acak dari pasien
tetapi juga untuk mepertahankan volume. Berfokus pada pendarahan, organisme set
dalam gerakan respon terpadu dengan tindakan di berbagai daerah, yang meliputi
JANTUNG
Dari beberapa upaya untuk menetapkan klasifikasi patogen dari anemia pada
HF, sebagian besar telah berhubungan dengan pola dijelaskan untuk anemia terkait
dengan penyakit kronis (58%) dan, lebih jarang, kekurangan zat besi (21%),
kekurangan nutrisi (8%) , dan penyebab lainnya, termasuk pendarahan kronis pada
pasien yang menerima terapi antiplatelet atau antikoagulan. Kekurangan zat besi
VI. Diagnosis
pasien.
2. Pemeriksaan fisik
bergantung pada beratnya anemia. Murmur ini bisa karena anemianya sendiri, atau
karena penyakit organik jantung, atau kombinasi keduanya. Haemic murmur didengar
katup jantung meningkat dan terdengar pada dasar atau apeks jantung atau keduanya.
anemia masih belum diketahui. Anemia yang berat bisa menyebabkan pembesaran
jantung, ini biasanya terjadi karena dilatasi miokard. Pada anemia kronik berat yang
sudah berlangsung lama juga terjadi hipertrofi jantung. Haemic murmur lebih sering
ditemukan pada pasien muda dan biasanya menghilang bila anemianya dikoreksi,
disertai hilangnya pembesaran jantung. Murmur yang tidak menghilang atau hanya
pada jantung itu sendiri. Systolic bruit di atas arteri karotis juga sering terdengar pada
3. Pemeriksaan penunjang
- Darah rutin : Tes darah membantu mendeteksi anemia, faktor risiko untuk
penyakit jantung koroner. Selama serangan jantung, sel otot jantung mati dan
melepaskan protein ke dalam aliran darah. Tes darah dapat mengukur jumlah
protein ini dalam aliran darah. Tingginya kadar protein ini adalah tanda
akibat PJK dan tanda-tanda serangan jantung sebelumnya atau saat ini.
jantung. tes menunjukkan seberapa cepat jantung berdetak dan ritme (stabil
atau tidak teratur). EKG juga mencatat kekuatan dan waktu sinyal listrik
penyebab lain dari gejala tidak berhubungan dengan penyakit jantung koroner.
- Ekokardiografi : (echo) menggunakan gelombang suara untuk membuat
gambar bergerak dari jantung. Tes memberikan informasi tentang ukuran dan
bentuk jantung dan seberapa baik ruang jantung dan katup bekerja. Echo juga
dapat menunjukkan daerah aliran darah yang buruk ke jantung, daerah otot
jantung yang tidak tertular biasanya, dan cedera sebelumnya pada otot jantung
VII. Tatalaksana
1. Transfusi
faktor risiko yang diketahui untuk penyakit jantung adalah tingkat hemoglobin di
kisaran 6 sampai 8 g / dL. Transfusi darah dapat dikaitkan dengan efek samping
terhadap HLA antigen, dan kelebihan zat besi. Mengingat profil ini risiko dan
manfaat, transfusi dapat dianggap sebagai pengobatan akut untuk anemia berat secara
individual tetapi tidak muncul untuk menjadi strategi terapi yang layak untuk
CHF, kenaikannya kurang dari yang diamati pada populasi anemia lainnya. Dengan
3 kali lipat lebih lama, sehingga memungkinkan untuk mengelola mingguan, dua
bulanan, atau bahkan suntikan bulanan; khasiat periodisitas terakhir telah diuji pada
pasien HF.
pentingnya menyimpan pada suhu 4oC untuk mempertahankan manfaat yang tinggi.
yang berlangsung 15 sampai 30 hari, meskipun hasil terapi setara. Indikasi untuk
EPO, awalnya terbatas pada pasien dengan CRD, sedang diperluas untuk semua
kanker yang menjalani kemoterapi, serta dalam kasus anemia sel. Dalam CRD, dosis
standar untuk terapi EPO awal adalah 400 U / kg bb / minggu dan 15-200 U / kg bb /
minggu, intravena dan subkutan, masing-masing, dibagi menjadi 1 untuk 3 dosis per
minggu.
3. Iron therapy
zat besi sekunder untuk peningkatan hematopoiesis. Efek aditif dari kombinasi besi
dan EPO tidak dapat dicapai dengan besi oral. Namun, ada kurangnya data untuk
memungkinkan kita untuk memprediksi pasien akan gagal untuk menyerap zat besi
pertanyaan ini. Persediaan yang ada intravena besi, besi glukonat (Ferrlecit, Rhone-
Poulenc, 62,5 mg zat besi elemental), dan besi sukrosa (venofer, Uriach, 100 mg besi
elemental), memiliki praktis tidak ada efek jaminan jika digunakan dalam dosis wajar,
misalnya, 1 vial seminggu, dalam siklus 6 hingga 9 vial, tergantung pada kadar feritin.
beberapa pasien, kekurangan zat besi adalah faktor patogenik utama dalam anemia.
Dalam kasus ini, pengobatan adjuvant dengan EPO tidak akan diperlukan.
Kemungkinan kekurangan zat besi, absolut atau relatif, bisa menjadi lebih ditandai
antikoagulan dan aspirin diinduksi gastritis. Selain itu, HF kanan dapat mendukung
pematangan erythroid, seperti vitamin B12 dan asam folat, dan zat besi itu sendiri.
VIII. Komplikasi
1. Endogenous erythropoietin
2. Changes in hemoglobin
3. Polycythemia
IX. Prognosis
Pada pasien dengan HF, anemia merupakan faktor risiko untuk kematian, masuk
rumah sakit, dan tingkat keparahan, dan faktor-faktor risiko lain yang terkait, seperti
diabetes mellitus, usia, merokok, dan ejeksi rendah fraction. Pada HF, ada hubungan
besar, termasuk masuk rumah sakit, untuk setiap penurunan 1% hematokrit. Lainnya
pada 1 tahun sebesar 40%, dengan penurunan risiko masuk rumah sakit untuk HF dari
21%. Data ini merupakan argumen yang solid untuk pengobatan anemia pada HF.
Gout Atritis
1. DEFINISI
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu
penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah
dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari
nyeri infalamasi satu sendi.
Tofus adalah nodul berbentuk padat yang terdiri dari deposit kristal
asam urat yang keras, tidak nyeri dan terdapat pada sendi atau jaringan.
Tofus merupakan komplikasi kronis dari hiperurisemia akibat kemampuan
eliminasi urat tidak secepat produksinya. Tofus dapat muncul di banyak
tempat, diantaranya kartilago, membrana sinovial, tendon, jaringan lunak
dan lain-lain.
2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian atau prevalensi Arthritis Gout jumlahnya bervariasi tiap
negara. Di Amerika Serikat, laki-laki berumur di atas 18 tahun
prevalensinya mencapai 1,5%. Di Selandia Baru didapatkan 1-18 per
1000 penduduk menderita asam urat. Dan untuk di Indonesia sendiri,
asam urat banyak dijumpai pada etnis Minahasa, Toraja dan Batak.
Prevalensi tertinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi yaitu
daerah Manado-Minahasa, ini dikarenakan kebiasaan mereka
mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Angka kejadian Arthritis
Gout di Minahasa sebesar 29,2% pada tahun 2003.4
3. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit Gout adalah kelainan metabolik akibat dari
faktor-faktor resiko yaitu intake berlebihan, produksi berlebih dan
ekskresi yang berkurang dari asam urat. Berdasarkan hal tersebut Gout
dibedakan menjadi dua sifat yaitu, Gout Primer dan Gout Sekunder:
1 Gout Primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat
tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat.
2 Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang
berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses
penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu.5
4. PATOGENESIS
Penyakit pirai (gout) atau athritis pirai adalah penyakit yang
disebabkan oleh tumpukkan asam/kristal urat pada jaringan, terutama pada
jaringan sendi. Pirai berhubungan erat dengan gangguan metabolisme
purin yang memicu peningkatan kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia).
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam
urat dalam darah diatas normal. Secara biokimia akan terjadi hipersaturasi
yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang batasnya.
Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar
deviasi hasil laboratorium pada populasi normal. Biasanya kadar asam urat
serum pada penderita gout lebih dari 6.5-7,0 mg/dlKadar normal asam urat
dalam darah adalah 2-5,6 mg/dL untuk perempuan dan 3-7,2 mg/dL untuk
laki-laki.
Manifestasi hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang
menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada
sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopatik.
Penyebab primer berarti tidak penyakit ada atau sebab lain, berbeda
dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang lain,
baik genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia
dengan penyebab primer, ditemukan kelainan molekuler yang tidak jelas
(undefined) meskipun diketahui adanya mekanisme akibat penurunan
eksresi asam urat urin (undersecretion) pada 80-90% kasus dan
peningkatan metabolisme asma urat (overproduction) pada 10-20% kasus.
Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bisa melalui
mekanisme overproduction, seperti gangguan metabolisme purin.
Pada mekanisme undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit
ginjal kronik, dehidrasi, diabetes insipidus, peminum alkohol. Selai itu
juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis
rendah, pirazinamid, etabunol .
Pada kasus hiperurisemia dan gout idiopatik yaitu hiperurisemia yang
tidak ditemukan jelas penyebabnya, kelainan genetik, tidak ada kelainan
fisiologis dan anatomi yang jelas.
Penyebab asam urat darah tinggi (hiperurisemia) terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat berlebihan (gout metabolik):
a. Gout primer metabolik terjadi karena sintesa atau pembentukan
asam urat yang berlebihan.
b. Gout sekunder metabolik terjadi karena pembentukan asam urat
berlebihan karena penyakit. Seperti leukemia, terutama yang di
obati dengan sitostatika, psoriasis, polisitemia vera, dan
mielofibrosis.
2. Pengeluaran asam urat melalui ginjal kurang (gout renal):
a. Gout renal primer terjadi karena gangguan eksresi asam urat di
tubuli distal ginjal yang sehat.
b. Gout renal sekunder disebabkan oleh ginjal yang rusak, misalnya
pada glomerulonefritis kronik, kerusakan ginjal kronis (chronic
renal failure).
3. Perombakan dalam usus yang berkurang. Serangan gout (arthritis
gout akut) secara mendadak, dapat dipicu oleh:
a. Luka ringan
b. Pembedahan
c. Konsumsi alkohol dalam jumlah besar atau makanan yang kaya
akan
protein purin
d. Kelelahan
e. Stres secara emosional
f. Penyakit dan sejumlah obat yang menghambat sekresi asam urat,
seperti salisilat dosis kecil, hidroklorotiazid (diuretik), asam-
asam keton hasil pemecahan lemak sebagai akibat dari terlalu
banyak mengkonsumsi lemak
g. Kedinginan Kurang lebih 20-30% penderita gout terjadi akibat
kelainan sintesa purin dalam jumlah besar yang menyebabkan
kelebihan asam urat dalam darah. Kurang dari 75% pederita gout
terjadi akibat kelebihan produksi asam urat, tetapi
pengeluarannya tidak sempurna (Bennion, 1979).
5. FAKTOR RESIKO
Kondisi medis
Beberapa penyakit dan kondisi dapat meningkatkan resiko
terserang gout. Misal seperti hipertensi tidak terkontrol, diabetes,
hiperlipidemia, dan arteriosklerosis.
Obat-obatan
Penggunaan diuretik thiazide biasa digunakan untuk mengobati
hipertensi dan aspirin dosis kecil dapat meningkatkan kadar asam
urat. Selain itu, penggunaan obat imunosupresan yang biasa di
resepkan pada pasien post trasnplantasi juga dapat meningkatkan
kadar asam urat.
6. GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala dari gout hampir selalu akut, muncul tiba-tiba,
biasanya saat malam hari, dan tanpa gejala-gejala awal. Tanda dan gejala
gout secara umum antara lain :
a. Asimptomatik
Fase dimana penderita tidak memiliki keluhan namun terdapat
hiperuricemia dan deposit kristal pada jaringan. Penimbunan
kristal yang terjadi pada fase ini sudah menimbulkan kerusakan.
b. Akut
Fase akut dimulai saat kristal urat pada sendi menyebabkan
peradangan akut. Hal ini ditandai dengan nyeri, kemerahan,
bengkak, dan teraba hangat yang berlangsung bisa sampai
seminggu. Nyeri yang dirasakan mulai dari ringan sampai berat.
Biasanya serangan pertama dirasakan pada ekstremitas bawah
50% menyerang sendi metatarsofalangeal ibu jari kaki. Kadar
asam urat mungkin normal pada setengah penderita gout akut.
Gout mungkin menyerang sendi yang berbeda.
c. Interkritikal
Fase interkritikal muncul ketika fase akut sudah mulai
menghilang, saat ini penderita memasuki fase tenang. Walaupun
sudah memasuki masa tenang namun proses penumpukan kristal
urat di jaringan tetap berlanjut. Lamanya fase interkritikal
tergantung dari progresifitas penyakit.
d. Kronik
Fase gout kronik ditandai dengan artritis kronik dengan nyeri pada
sendi. Penderita gout juga mungkin memiliki tophi (benjolan yang
terbentuk dari deposit kristal urat pada jaringan) biasanya pada
area yang lebih dingin misal siku, telinga, dan sendi distal jari.9
Tofus terbentuk bila kadar asam urat > 9 mg%, terdiri dari
monosodium urat yang dikelilingi oleh sel inflamasi.
Lokasi tofus : tulang rawan, tendon, sinovial, lemak, katup
mitral, miokard, mata dan laring.
Tofus subkutan bisa ditemukan pada jari, pergelangan tangan,
telinga, prepatella dan olekranon.10
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
a. Darah
Pemeriksaan darah berguna untuk mengetahui kadar asam urat dalam
darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah seseorang beresiko
terserang gout atau tidak. Selain itu, melalui pemeriksaan ini juga dapat
membantu menentukan fase perjalanan penyakit penderita gout.
b. Cairan sendi
Pada pemeriksaan ini, sampel diambil dari cairan sendi sinovial
penderita. Dari pemeriksaan ini dapat dilihat apakah terdapat kristal
asam urat dalam cairan sendi.
RADIOLOGI
a. Foto Polos
Foto polos dapat digunakan untuk mengevaluasi gout, namun, temuan
umumnya baru muncul setelah minimal 1 tahun penyakit yang tidak
terkontrol. Bone scanning juga dapat digunakan untuk memeriksa gout,
temuan kunci pada scan tulang adalah konsentrasi radionuklida
meningkat di lokasi yang terkena dampak.11
a. Osteoarthritis (OA)
Prevalensi cukup tinggi pada golongan lanjut usia, lebih banyak pada
wanita.
Artritis sering kali diikuti oleh kekauan sendi pada pagi hari yang
berlangsung selama lebih satu jam atau lebih.
11. DIAGNOSIS 13
Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun
kadar asam urat normal.
Evaluasi klinis
Terapi Farmakologi
Obat penurun asam urat (OPA) harus dipertimbangkan pada pasien dengan 1
atau lebih tophi, sama dengan atau lebih dari 2 kali serangan pertahun,
penyakit ginjal kronis/PGK (stadium 2 atau lebih) atau pasien dengan
riwayat kencing batu (urolithiasis). Penggunaan OPA direkomendasikan
dengan memberikan allopurinol atau febuxostat; sedangkan probenecid
direkomendasikan sebagai terapi alternatif lini pertama jika allopurinol atau
febuxostat dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi pasien. OPA dapat
dimulai pada saat serangan gout akut, kadar asam urat darah dimonitor
setiap 2-5 minggu selama titrasi OPA dan setiap 6 bulan setelah target
laboratorium (<6 mg/dL) telah tercapai.
Dosis Allopurinol
Dosis awal jangan melebihi 100 mg/hari dan pasien dengan PGK stadium 4
atau lebih harus diberikan dosis awal 50 mg/hari. Dosis selanjutnya
dititrasi/disesuaikan setiap 2 - 5 minggu untuk mencapai target yang
diinginkan dan dapat ditingkatkan hingga lebih dari 300 mg/hari asalkan
pasien diedukasi dan dimonitor efek samping yang mungkin timbul.
Pemilihan OAINS
Colchicine
Colchine direkomendasikan sebagai pilihan terapi gout akut jika serangan
dimulai dalam waktu 36 jam terakhir. Dosis rekomendasi terdiri atas dosis
muatan sebesar 1,2 mg diikuti dengan 0,6 mg 1 jam kemudian. Dua belas
jam kemudian colchicine dapat diberikan dengan dosis 0,6 mg satu hingga
dua kali sehari hingga serangan gout hilang. Di negara dengan ketersediaan
tablet colchine 1 atau 0,5 mg maka colchine dapat diberikan sebagai dosis
muatan sebesar 1 mg yang diikuti dengan0,5 mg 1 jam kemudian. Dua belas
jam kemudian profilaksis colchicine dengan menggunakan dosis 0,5 mg
hingga 3 kali sehari sampai serangan gout hilang.
Jika pasien dengan serangan gout akut tidak mengalami perbaikan nyeri
sekurangnya 20 % dalam waktu 24 jam atau sekurangnya 50 % setelah lebih
dari 24 jam dengan terapi farmakologi, dosis alternatif haruslah
dipertimbangkan. Jika diagnosis gout telah dipastikan, maka terapi harus
diganti atau ditambahkan obat kedua.
Colchicine dapat dimulai dengan dosis 0,5-0,6 mg 1-2 kali sehari, jika
pasien tidak dapat mentoleransi dengan pemberian colchicine maka
prednisone atau prednisolone dosis rendah dapat diberikan dengan dosis 10
mg/ hari. Terapi profilaksis dapat dilanjutkan hingga 6 bulan. Untuk pasien
tanpa tophi, terapi profilkasis dapat dihentikan pada bulan ke 3 setelah target
asam urat darah tercapai. Untuk pasien dengan tophi dan target asam urat
darah telah tercapai, terapi profilaksis dapat dihentikan setelah 6 bulan.
(DHS)
13. PENCEGAHAN 15
CKD
1.1. DEFINISI
1.2. PREVALENSI
Menurut KDOQI dari data NHANES tahap dari CKD dibagi menjadi lima.
Definisi dan klasifikasi penyakit ginjal kronis diusulkan oleh National Kidney
Foundation Kidney Disease Quality Outcomes Initiative (NKF-KDQOI) pada tahun
2002 dan disahkan oleh Kidney Disease:Improving Global Outcomes (KDIGO) pada
tahun 2004. KDIGO dimulai pada bulan Oktober 2009 untuk menentukan hubungan
estimasi LFG dan albuminuria dengan angka mortalitas dan kerusakan ginjal.8
Penyebab CKD diberbagai Negara hampir sama, akan tetapi akan berbeda
dalam perbandingan persentasenya. CKD pada umumnya dapat disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:41
Tabel 2 Penyebab umum CKD
- Diabetik nefropati
- Hipertensif nefrosklerosisa
- Glomerulonefritis
- Renovakular disesase (iskemik nefropati)
- Penyakit polikistik ginjal
- Refluk nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
- Intersisial nefritis, termasuk nefropati analgesic
- Nefropati uang berhubungan dengan HIV
Klasifikasi dari jenis penyakit ginjal didasarkan pada patologi dan etiologinya.
Penyakit ginjal diabetik sebenarnya merupakan penyakit glomerular, tetapi
berdasarkan NKF K/DOQI diklasifikasinya secara tersendiri oleh karena diabetes
mellitus (DM) merupakan penyebab terbanyak GGT di Amerika Srikat. Sejumlah
penyakit, termasuk penyakit glomerular lainnya, vascular, tubulointerstisiel serta
penyakit kistik dikelompokkan dalam penyakit ginjal non diabetik. Kelompok lainnya
adalah penyakit ginjal transplantasi, dimana progresi penyakit dipengaruhi oleh faktor
imunologi maupun non imunologi.40
CKD bisa menjadi manifestasi dari penyakit kronis lain yang menyebabkan
kerusakan organ ginjal, seperti diabetes Mellitus atau hipertensi. Penyakit ginjal
kronis dapat menjadi penyakit intrinsik ginjal, seperti penyakit ginjal polikistik.
Diabetes adalah penyebab yang paling menonjol dari penyakit ginjal kronis sebanyak
33% dari kasus LFG. Sebanyak 20% sampai 40% dari penderita diabetes akan
berkembang menjadi nefropati diabetik. Peningkatan kejadian DM menjadi salah satu
penyebab peningkatan kejadian CKD. Tanda awal penyakit ginjal diabetes adalah
mikroalbuminuria diikuti dengan meningkatnya proteinuria karena membran filtrasi
glomerulus rusak. Perkembangan selanjutnya terjadi hipertensi, diikuti dengan
penurunan LFG. Kedua tipe diabetes yaitu DM tipe 1 dan 2 semua dapat
menyebabkan CKD, jumlah kasus DM tipe 2 lebih banyak, paling sering dikaitkan
dengan CKD.
1.5. PATOFISIOLOGI
Gambar 1 Chronic
Renal Failure44
Gambar 2
Gangguan
keseimbangan garam
dan air pada gagal
ginjal44
Gambar 3 Efek
dari gagal ginjal
pada
keseimbangan mineral44
c) Kelainan metabolism43
1) Metabolisme Karbohidrat
Terjadi pseudo diabetes melitus, menurut beberapa penelitian gangguan
metabolisme ini terjadi akibat adanya antagonis insulin perifer, kelainan
insulin basal, dan sekresi insulin yang lambat terhadap beban glukosa.
2) Metabolisme Lemak
Hiprertrigliserida terjadi diduga akibat dari kenaikan sintesis Triglyserida-rich
lipoprotein dalam hepar.
3) Metabolisme Protein
Pada orang normal pembatasan jumlah protein dalam waktu lama akan
menyebabkan keseimbangan negatif dari nitrogen. Sebaliknya pada pasien
CKD pembatasan jumlah protein tidak akan menyebabkan keseimbangan
negatif dari nitrogen.
- Magnesium
Kenaikan serum Magnesium sangat jarang menimbulkan keluhan akan
gejala, kecuali magnesium yang mengandung laksantif dan antasida akan
menekan SSP.
- Pegal pada tungkai bawah sehingga kaki selalu digerakkan (Restless leg
sydrome)
- Rasa kesemutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki (burning feet
syndrome)
- Ensefalopati metabolik: lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi,
kejang.
- Miopati: kelemahan dan hipotropi otot.
5. Sistem Kardiovaskular
- Hipertensi (akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron)
- Nyeri dada dan sesak napas (akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi)
- Gangguan irama jantung (akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit
dan kalsifikasi metastatik)
- Edema (akibat penimbunan cairan)
6. Sistem Endokrin
- Gangguan seksual. Libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki dan
pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan ovulasi sampai amenorea.
- Gangguan toleransi glukosa
- Gangguan metabolisme lemak
- Gangguan metabolime vitamin D
7. Gangguan sistem lain
- Tulang: osteodistrofi renal.
- Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik (hasil metabolisme)
- Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.16,17,22
1.7. DIAGNOSIS
Diagnosis CKD ditegakkan berdasarkan kriteria dari Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (KDOQI). yaitu jika memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
1. Kerusakan ginjal berlangsung selama tiga bulan yaitu adanya gangguan fungsi
atau struktur ginjal, dengan atau tanpa penurunan LFG yang manifestasi salah
satu di bawah ini:
a. Ada kelainan patologis, atau
b. Ada petanda kerusakan ginjal, mencakup kelainan komposisi darah
atau urin atau kelainan pada tes-tes imaging.
2. LFG < 60 ml/min/1,73 m2 selama tiga bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.14
1.
Pemeriksaan kimia darah
Tes kimia darah yang perlu dilakukan adalah: ureum, nitogen urea
darah, asam urat, analisis gas darah (blood gas analysis/BGA), elektrolit
(kalium, natrium. kalsium, fosfor, magnesium), albumin, gula darah sewaktu,
dan profil lipid (kolesterol total, kolesterol - high density lipoprotein/HDL,
kolesterol - low density lipoprotein/LDL, trigliserida).
3. Pemeriksaan urinalisis
Pemeriksaan urinalisis yang dilakukan antara lain: berat jenis, pH, glukosa,
protein, keton, bilirubin, urobilirubin, nitrit, eritrosit, lekosit, silinder, kristal,
bakteri, jamur, dan parasit.
Pada gagal ginjal kronis bisa didapatkan hasil:
- Berat jenis urin yang kurang dari normal karena gangguan fingsi ginjal
yang berat.
- pH urin dapat dipengaruhi karena gangguan keseimbangan asam basa.
Pada CKD pH akan basa, karena terjadi asidosis tubulus ginjal dan terjadi
infeksi saluran kemih.
- Glukosuria karena gangguan metabolisme glukosa pada CKD. Glukosuria
(kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui
atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun
- Proteinuria karena gangguan fungsi ginjal. Protein terdiri atas fraksi
albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda
yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena
penyakit glomeruler, DM, dan hipertensi.
- Silinder hialin merupakan silinder protein dari mukoprotein yang
dikeluarkan tubulus ginjal. Apabila ginjal mengalami kerusakan, dalam
urin didapatkan silinder hialin.
- Ekskresi lekosit meningkat yang disebabkan karena adanya perubahan
permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas lekosit. Bisa
terjadi juga karena proses infeksi, seperti infeksi saluran kemih.
- Sel epitel tubulus ginjal berbentuk bulat atau oval, lebih besar dari lekosit,
mengandung inti bulat atau oval besar, bergranula dan biasanya terbawa ke
urin dalam jumlah kecil. Jumlah sel tubulus 13 / LPK atau penemuan
fragmen sel tubulus dapat menunjukkan adanya penyakit ginjal
- Silinder granular adalah silinder selular yang mengalami degenerasi.
Disintegrasi sel selama transit melalui sistem saluran kemih menghasilkan
perubahan membran sel, fragmentasi inti, dan granulasi sitoplasma.
-
Bakteri pada urin (bakteriuira) pada penyakit ginjal biasanya terjadi
disebabkan adanya infeksi saluran kemih.24,35
1.9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terkait dengan CKD, antara lain: anemia, hiperlipidemia,
gizi, osteodistrofi, dan risiko kardiovaskular. Anemia pada CKD dikarenakan
defisiensi eritropoetin, ginjal yang rusak tidak dapat memproduksi hormon
eritropoetin sehingga gagal memproduksi sel darah merah. Hiperlipidemia terjadi
hipertrigliserida yang merupakan salah satu ciri yang menonjol pada gagal ginjal
kronis, hal tersebut disebabkan oleh karena kurang berfungsinya lipoprotein lipase
(LPL) dan hepatik trigliserid lipase (HTGL) sehingga terjadi peningkatan kolesterol
dan lipida total (hiperlipidemia). CKD menyebabkan penderita kurang nafsu makan
yang akhirnya masukan/intake makanan tidak cukup sehingga penderita menjadi
kurang gizi diakibatkan tidak seimbangnya persediaan nutrisi untuk memenuhi
kebutuhan badan.Osteodistrofi pada CKD terjadi karena gangguan metabolism
kalsium dan fosfat,karena hiperfosfatemi terjadi hipokalsemia,mempengaruhi
mineralisasi tulang.Peningkatan kolesterol, trigliserid pada CKD akan memperbesar
risiko penyakit kardiovaskuler. 26,37
CKD juga dikaitkan dengan komplikasi infeksi terutama yang dari rumah sakit
yaitu pneumonia, sepsis/bakteremia dan infeksi saluran kemih.27
1.10. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah mengobati penyakit yang mendasarinya dan
memperlambat perkembangan penyakit lebih lanjut. Penatalaksanaan konservatif
gagal ginjal kronik bermanfaat bila faal ginjal masih pada tahap insufisiensi ginjal
dan gagal ginjal kronik dengan faal ginjal antara 10-50% atau nilai kreatinin serum
2 - 10 mg%. CKD tahap akhir terapi pengganti sudah harus dilaksanakan.16,17,18
Penatalaksanaan pada CKD bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih bermanfaat
bila penurunan fungsi ginjal masih ringan. Pengobatan konservatif ini terdiri dari 3
strategi, yaitu :
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi.
Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan <140/90 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein
Bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dengan demikian
diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c. Pembatasan fosfor
Untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
d. Mencegah albuminuria.
Terdapat korelasi antara albuminuria dan penurunan fungsi ginjal
terutama pada glomerulonefritis kronik dan DM.
e. Mengendalikan hiperlipidemia.
Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak terkendali dapat
mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengendalian meliputi diet
dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat
penurun lemak darah.
Tujuan terapi diet untuk CKD adalah untuk mempertahankan status gizi yang
baik, perkembangan lambat, dan untuk mengobati komplikasi. Komponen untuk diet
memperlambat CKD berkembang adalah:
Mengontrol tekanan darah dengan mengurangi asupan natrium
Mengurangi asupan protein, jika berlebihan
Mengelola diabetes.29
Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik, terutama mereka
yang sedang menjalani dialisis. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malnutrisi
(kurang energi protein) sekitar 20%-70% di antara pasien dialisis dewasa. Tanda dan
gejala dari malnutrisi timbul saat LFG menurun sampai 30 mL / menit, dan bisa
berkembang menjadi gizi buruk saat LFG menjadi 10 mL / menit. Pembatasan diet
yang berkaitan dengan CKD menambah potensi asupan gizi yang tidak memadai.
Penilaian terhadap pola diet dan asupan makanan, intoleransi makanan tertentu,
pembatasan zat gizi tertentu, dan kekhawatiran pasien salah memilih jenis makanan
perlu dilakukan.
Terapi gizi pada CKD disesuaikan dengan tahapan CKD dan status kesehatan umum
pasien. CKD derajat I-II terapi gizi harus fokus pada faktor komorbid (DM,
hipertensi, dan hiperlipidemia) dan upaya memperlambat perkembangan terjadinya
penyakit. Manajemen diet untuk DM, hipertensi, dan hiperlipidemia sesuai pedoman
yang direkomendasikan NKF K/DOQI, yaitu diet modifikasi gaya hidup. Pemeriksaan
status gizi harus dilakukan secara teratur (interval 1-3 bulan) untuk menjaga atau
meningkatkan status gizi selama perkembangan penyakit. CKD derajat III-IV NKF
K/DOQI memberikan pedoman nutrisi untuk orang dewasa CKD dengan LFG < 30
ml/menit yang tidak sedang menjalani dialisis yang bertujuan mencukupi kecukupan
energi yang adekuat untuk mencegah malnutrisi, mencukupi kebutuhan protein yang
adekuat untuk mempertahankan massa otot dan serum protein, memperbaiki
abnormalitas absorbsi, penggunaaan dan ekskresi vitamin dan mineral, dan
normalisasi kadar lemak darah.18
Tabel 4 Diet modifikasi gaya hidup pada pasien gagal ginjal kronik.18
NKF K/DOQI memberikan pedoman terapi gizi untuk pasien CKD derajat V
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi, mencegah kekurangan gizi,
meminimalkan uremia dan komplikasi CKD (penyakit jantung, anemia,
hiperparatiroidisme sekunder), mempertahankan tekanan darah dan status cairan.
Terapi gizi untuk pasien CKD yang menerima dialisis (hemodialisis atau peritoneal
dialisis) secara umum adalah tinggi protein dan mengontrol asupan kalium, fosfor,
cairan, dan sodium. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pemberian tinggi protein
tinggi meliputi: asam amino yang hilang 10-12 g/hari, albumin yang hilang 5-15
g/hari, metabolisme asidosis meningkatkan degradasi asam amino, inflamasi, dan
infeksi. Pertimbangan lain adalah termasuk kontrol tekanan darah, peningkatan berat
badan interdialisis pada pasien hemodialisis, adanya edema, dan gagal jantung
kongestif.18
2.1. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)
atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok. 1
2.2. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter
30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6.
Terdapat 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue (DBD). Keempat
serotype ditemukan di Indonesia denga DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Infeksi
oleh salah satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe bersangkutan,
tetapi tidak untuk serotipe lain. Kasus DBD terjadi karena infeksi kedua dari serotipe
yang berbeda. 1,2
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah
perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti
adalah :
Trombositopenia
Gejala diatas, ditambah dgn
II (<100.000), bukti ada
perdarahan spontan
kebocoran plasma
Trombositopenia
Syok berat disertai dengan tekanan
IV (<100.000), bukti ada
darah dan nadi tidak terukur
kebocoran plasma
* DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok demgue (SSD)
2.5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue.1
Respon imun yang diketahu berperan dalam pathogenesis DBD adalah:
a) Respon humoral, pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen, dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibodi. Antibodi virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE).
b) Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun proses ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d) Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-
, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1) Supresi sumsumtulang, dan
2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kada b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi trombosit.1
MALARIA
A. MALARIA
2.1 Definisi
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh
protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan
pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit
infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan
gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
2.2 Epidemiologi
Jumlah kasus malaria di Indonesia tahun 2011 tercatat sebanyak 256.592 orang
dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya. Sementara,
angka API dari tahun 2008 2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi
1,85 per 1000 penduduk. Sementara, provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua
Barat, NTT dan Papua. Terdapat 12 provinsi yang diatas angka API nasional.
Sementara, angka Case Fatality Rate (CFR) penderita yang disebabkan malaria untuk
semua kelompok umur menurun drastis dari tahun 2004 ke tahun 2006 (dari 10,61%
menjadi 1,34%). Namun dari tahun 2006 sampai tahun 2009 CFR cenderung
meningkat hingga lebih dua kali lipat.
Angka prevalensi berdasarkan Riskesdas 2010 diperoleh point prevalence
malaria adalah 0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria secara
keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa
puncak (pola epidemiologi) kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang
paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum (86,4%) sedangkan sisanya
adalah Plasmodium vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun
data sebaran parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis
parasit yang dominan per suatu wilayah.
2.3 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium.
Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4
spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles
ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar
serta dari ibu hamil kepada janinnya.
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P.
ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan
malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena
malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi
di dalam organ-organ tubuh.
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan
nyamuk anopheles betina.
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam
peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit
tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses
perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi
skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.
Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni
darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium
seksual yaitu gametosit jantan dan betina.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam
bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan
Masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit
dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.
2.5 Patogenesis Malaria
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan
hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor
nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran
darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang
dewasa
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan
bermacam-macam antigen. Antigen ini merangsang sel-sel makrofag, monosit atau
limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin antara lain TNF (tumor nekrosis
factor). TNF ini akan dibawa aliran darah ke hypothalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizoni pada empat plasmodium
memerlukan waktu yang berbeda-beda, P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam,
P vivax/ovale 48 jam dan P. malariae 72 jam. Demam pada falciparum dapat setiap
hari, P. vivax/ovale selang waktu sehari, P. malariae demam timbul selah waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah sehingga
anemia bias terjadi pada infeksi akut dan kronik. Plasmodium vivax dan P. Ovale
hanya menginfeksi sel darah merah yang muda yang jumlahnya hanya 2% dari
seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan plasmodium malariae menginfeksi sel
darah merah tua yang jumllahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah, sehingga
anemia yang disebabkan oleh P. vivax, ovale, dan malariae umumnya terjadi pada
keadaan kronis.
Splenomegali
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi
dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya
transfuse darah yang mengandung stadium aseksual)
2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P.
falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas
3. Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara
berurutan:
Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering
seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode
ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya
temperatur
Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas
tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya,
respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah dan dapat
terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2
jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat
Periode berkeringat
Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita
merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan
dapat melakukan pekerjaan biasa
Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih
sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3
hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis
2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada penderita
adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi (13).
Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
- Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal atau sediaan
darah tipis.
Tetesan preparat darah tebal. Merupaka cara terbaik untuk menemukan parasite
malaria karena tetsan darah cukup banyak dibandingkan dengan preparat darah tipis.
Preparat dinyataka negative bila setelah diperiksan 200 lapang pandang dengan
pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasite.
Hapusan darah tipis, digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila denga
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasite dinyataka sebagai parasite
count dapat dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasite per
1000 sel darah merah. Pengecetan yang dilakukan dengan cat giemsa, atau lishman
atau field dan juga romanowsky.pengecetan giemsa umum dipakai dan merupakan
pengecetan yang mudha dengan hasil yang cukup baik.
c. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria
atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai
alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah 2 minggu terjadinya infeksi dan
menetap 3-6 bulan. Tes ini sangat sensitive dan spesifik. Titer >1:200 dianggap
sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.
manifestasi malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan hingga berat
c. ISPA
Batuk, beringus, sakit menelan, sakit kepala, manifestasi kesukaran bernafas
antara lain : nafas cepat/sesak nafas, tarikan dinding dada ke dalam dana
adanya stridor.
d. Leptospirosis ringan
Demam tinggi, nyeri kepala, myalgia, nyeri perut, mual, muntah,
conjungtiva injection nyeri betis yang menyolok. Pemeriksaan serologi
microscopic agglutination test positif
2.10. Tatalaksana
Pengobatan yang dierikan merupakan pengobatan radikal dengan membunuh semua
stadium parasite yang ada didalam tubuh manusia termasuk stadium gametosit.
Adapaun tujuan pengobatan radikal untuk mendapatkan kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan.
Semua obat antimalarial tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong
karena dapat mengiritasi lambung. Dosis pemberian obat antimalarial sebaiknya
berdasarkan berat badan.
Pengobatan anti malaria di Indonesia menggunakan Obat Anti Malaria
kombinasi. Yang dimaksud dengan pengobatan kombinasi adalah penggunaan dua
atau lebih obat anti malaria yang farmakodinamik dan farmakokinetiknya sesuai,
bersinergi dan berbeda cara terjadinya resistensi. Tujuan pengobatan kombinasi adlah
untuk pengobatan yang lebih baik dan mencegah resistensi Plasmodium terhadap obat
anti malaria.
Saat ini yang digunakan program nasional adalah derivate artemisinin dengan
golongan aminokuinolin yaitu :
2. Artesunat Amodiakuin
Kemasan artesunat-amodiakuin yang ada pada program pengendalian malaria
dengan 3 blister, setiap blister terdiri dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet
amodiakuin 150 mg.
A. Pengobatan Malaria tanpa komplikasi
1. pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks
Dosis ACT untuk malaria falciparum sama dnegan vivaks, sedangkan obat
primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan hari pertama saja
dengan dosis 0,75 mg/kgBB dan untuk malaria vivkas selama 14 hari
dengan dosis 0,25mg/kgBB. Lini pertama pengobatan malaria falciparum
dan vivaks adalah seperti yang tertera dibawah ini :
ACT + Primakuin
Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut berat badan dengan DHP dan
Primakuin
Pengobatan lini pertama untuk malaria vivaks menurut berat badan dengan DHP dan
primakuin
Piperakuin 16.-32mg/kgbb
Primakuin : 0,75 mg/kgbb untuk p. falciparum untuk hari 1
Keterangan :
Sebaiknya dosis pemberian DHA + PPQ berdasarkan berat badan. Apabila tidak
dilakukan penimbangan berat badan maka dosis obat dapat berdasarkan kelompok
umur.
1. Apabila ada ketidaksesuaian umur dengan berat badan makan dosis yang
dipakai adalah berdasarkan berat badan.
2. Dapat diberikan pada ibu hamil trimester 2 dan 3
3. Apabila pasien p. falciparum dengan bb>80 kg datang kembali dalam 2 bulan
setelah pemberian obat dan pemeriksaan sediaan darah masih positif p.
falciparum maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5
tablet/hari selama 3 hari. ATAU
Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut berat badan dengan artesunat +
amodiakuin dan primakuin
pengobatan lini pertama malaria vivaks menurut berat badan dengan artesunat +
amodiakuin dan primakuin
Dosis obat : amodiakuin basa : 10 mg/kgbb
Artesunat : 4mg/kgbb
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan jika pengobatan lini pertama
tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak memburuk tetapi parasite aseksual
tidak berkurang atau timbul kembali.
Pengobatan lini kedua untuk malaria falciparum dengan obat kombinais kina dan
doksisiklin
table dosis doksisiklin
Pengobatan lini kedua untuk malaria falciparum dengan obat kombinasi tetrasiklin
Oleh karena doksisiklin dan tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil makan
dapat digantikan dengan klindamisin.
Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0,25 mg/kgbb/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan
parasite positif dalam kurun waktu 3 minggu hingga 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan kasus malaria vivaks yang relaps diberikan lagi regimen ACT
yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5mg/kgbb/hari.
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan ACT 1 kali per hari selama 3 hari
dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.
Pengobatan infeksi campur dengan ACT. Pada pendeita dengan infeksi campur
diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgbb/hari selama
14 hari
Pilihan utama :
Artesunat intravena
Artesunat diberikan dengan dosis
2,4 mg/kg bb per iv sebanyak 3 x jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4mg/kgbb
per iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat.
Kemoprofilaksis
<1
1-4
5-9 1
10-14 1
>14 2
2.11. Prognosis
Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -
turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Faktor Risiko
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
3. Hipereaktivitas bronkus
Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
b. Pemeriksaan fisis
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas (retraksi)
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater.
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips Breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan
< 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
b. Pemeriksaan khusus
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat.
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Treadmill
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
Diagnosis Banding
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan
di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.
Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
1. Edukasi
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
Algoritma Penangan PPOK
Algoritma Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan
primer / puskesmas
Komplikasi
1. Gagal napas
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.
ASMA PPOK
Sakit mendadak ++ -
Riwayat atopi ++ +
Obtruksi reversible + -
Variabilitas harian ++ +
Eosinofil sputum + -
Neutrofil sputum - +
Makrofag sputum + -
ITP
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, ITP akut umunya terjadi
pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut
berkembang menjadi kronik. Purpura Trombosit Idiopatik pada anak berkembang
menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP dewasa yang
khas. Insidensi ITP kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak
pertahun.
Insidensi ITP kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi
pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris.
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura kronik pada umumnya terdapat pada orang
dewasa median rata-rata usia 40-45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki
adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan pada ITP kronik adalah 2-3:1.1
Jumlah insiden ITP yang sebenarnya, tidak diketahui, karena individu dengan
penyakit ringan mungkin asimtomatik sehingga tidak terdiagnosis. Di Amerika
Serikat, penyakit gejala terjadi pada sekitar 70 dewasa / 1.000.000 dan 50 anak /
1.000.000.
Penderita ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu ITP yang gagal diterapi
dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat
terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita ITP
refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari jumlah penderita ITP. Kelompok
ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang
cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%. 1,4
4. PATOFISIOLOGI
5. MANIFESTASI KLINIS
5. Mimisan
7. Hematuria
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang palin serius pada ITP. Hal
ini mengenai hampir 1% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari petekie
sampai ekstravasasi darah yang luas.1
6. KLASIFIKASI
a. ITP akut.
b. ITP kronik
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
8. DIAGNOSIS
Dari Anamnesis, perlu digali tanda-tanda perdarahan dan faktor resiko. Tanda
perdarahan seperti munculnya petekie, purpura, perdarahan yang sulit berhenti,
perdarahan pada gusi, mimisan spontan, perdarahan konjungtiva, perdarahan
saluran cerna seperti melena, hematuria, dan menstruasi yang berkepanjangan
pada wanita.
9. PENATALAKSANAAN
Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran
aman sehinggamencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi
menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma
kepala, hindari pemakaian obat-obatan yangmempengaruhi fungsi trombosit.
Terapi khusus yakni terapi farmakologis.
Terapi Awal ITP (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0-
1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2
minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan , kemudian tapering. Kriteria respon
awal adalah peningkatan AT <30.000/L, AT>50.000/L setelah 10 hari terapi
awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT <30.000L/
AT 50.000/ L terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap>50.000/mL
setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia
berat (AT <10.000/L) setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan
untuk splenektomi.
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-
turutdigunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT <5000/mL meskipun telah
mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang
progresif. Hampir 80% pasien berespon baik dengan cepat meningkatkan AT
namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi
serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA Kongenital.
Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade Fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk ITP, dan kebanyakan
pasiend ewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis
tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi.
Splenektomi diindikasikan jika pasien tidak merespon pada prednison awal atau
memerlukan prednison dosis tinggi yang tidak masuk akal untuk mempertahankan
jumlah platelet yang memadai. Pasien lain mungkin tidak toleran terhadap
prednison atau mungkin hanya lebih memilih terapi bedah alternatif.
Splenektomidapat dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung trombosit
kurang dari 10.000 / MCL.80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi
baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.
Penanganan Rileps pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan
hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IglV atau
imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya
trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan
apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /L sampai 50.000/L
bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada
tidaknya risikotinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/L perlu diberi IglV
sebelum pembedahan atau setelahtrauma pada beberapa pasien. Pada pasien ITP
kronik dan AT <30.000/l IglV atau metil prednisolon dapat membantu
meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi.
Terapi ITP Kronik Refrakter
Pasien refrakter (25%-30% pada ITP) didefinisikan sebagai kegagalan
terapikortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih
lanjut karena ATyang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini
memiliki respons terapi yang rendah,mempunyai morbiditas yang bermakna
terhadap penyakit ini dan terapinya serta memilikimortalitas sekitar 16%. ITP
refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a). ITP
menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan splenektomi; c).
AT<30.000/mL.
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral
dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk
6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan.
Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat
lainnya.
Metil prednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua
dan ketiga pada ITP refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada
ITP anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada pasien ITP berat menggunakan dosis tinggi metil
prednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3hari sampai 1 mg/kg
sekali sehari dibandingkan dengan pasien ITP klinis ringan yang telah mendapat
terapi prednison dosis konvensional.
Pasien yang mendapat terapi metilprednisolondosis tinggi mempunyai respon
lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respons (80%vs 53%).
Respons steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan
steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut,
seringdikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat.
Efek samping,terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan
secara intermiten ataudisubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosisanti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel
darah merah rhesusD-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di
lien, jadi bersaing denganautoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc
reseptor blockade.
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin
bernilaiketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT
dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 mg, setiap
minggu selama 4-6 minggu.
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon
seringlambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis
diteruskan sampaidosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian
diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi
lainnya.Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya
bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,simptomatik, ITP kronik refrakter
terhadap berbagai terapis ebelumnya. Pemakaian siklofosfaraid, vinkristin dan
prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti padalimfoma.
Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin 50-
100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons
sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien- pasien
harusdiperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisisyang serius. Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan
Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% ITP refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
keduadan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan
aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah
penanganannya. Pada umumnya ITP refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitashidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dankedua
hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-, (ii) anti-CD20,
(iii)Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya.
Rekomendasi Terapi ITP Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi
dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu
antibodimonoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan
25 - 50%, danmemiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif
sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien
tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT
(misalnya. Perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa
pasien ITP refrakter tetapi studi lebih.
10. PROGNOSIS
TB Paru
DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis).
ETIOLOGI
Mycobacterium merupakan bakteri batang, dan bersifat aerob. Bakteri ini tidak
membentuk spora. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit tuberkulosis
dan merupakan patogen yang sangat penting pada manusia. Di jaringan, M.
tuberculosis berbentuk batang lurus dengan ukuran 0.4 x 3 m. Bakteri ini memiliki
dinding sel yang mengandung lilin, sehingga tidak bisa diwarnai dengan metode
pewarnaan biasa. Oleh karena itu, pewarnaan dilakukan dengan teknik Ziehl-Neelsen.
Mycobacterium merupakan aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi
senyawa-senyawa karbon sederhana.
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4 derajat celcius sampai minum 70 derajat
celcius.
Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.
Dalam dahak pada suhu antara 30-37 derajat celcius akan mati dalam waktu
lebih kurang 1 minggu.
CARA PENULARAN
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negative tidak mengandung kuman dalam dahaknya.
2. Pasien TB dengan BTA negative juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negative
dengan kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negative
dan foto toraks positif adalah 17%.
3. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung droplet
nuclei dahak yang infeksius tersebut.
4. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
EPIDEMIOLOGI
Dalam laporan WHO tahun 2013 :
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta
orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita
TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar pada pria tetapi
angka kesakitan dan kematian karena TB juga sangat tinggi. Diperkieakan
terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena
TB mencapai 410.000 kasus termasuk diantaranya adalah 160.000 orang
wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang
meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.
UPAYA PENGENDALIAN TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, WHO dan IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) mengembangkan strategi pengendalian TB
yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kuncu, yaitu :
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB
dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
KLASIFIKASI
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.
Tuberkulosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (post-primer).
Tuberkulosis primer dimulai dengan serangan dini yang berlokasi di regio atas paru.
Invasinya kearah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Serangan dini ini
mula-mula juga berbentuk serangan pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu serangan
ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB
usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang yang mula2 meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini
yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju dibatukkan keluar
akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas skerotik (kronik). Terjadinya perkijauan dan kavitas adalah karena hidrolisis
protein lipid dan asma nukleat oeh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses
yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijauan lain yang jarang adalah
cryptic disseminate tuberkulosis yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak kavitas dapat :
1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk kedalam peradaran darah arteri, maka akan terjadi tuberkulosis milier.
Dapat juga masuk keparu sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya keusus menjadi tuberkulosis usus. Sarang ini selanjutnya
mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi
tuberkulosis endobronkial dan tuberkulosis endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura.
2. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma
ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan
jadi kavitas lagi. Komplikasi kronikkavitas adalah kolonisasi oleh fungus
seperti aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
3. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai
kavitas terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate
shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
a. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi,
b. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna, dan
c. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
dengan spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi
kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.
DIAGNOSIS
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan Fisik
Pasien bisa terlihat kurus atau berat badan menurun, suhu badan demam
(subfebris), konjungtiva mata dan kulit yang pucat karena anemia. Bila dicurigai
adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara nafas bronchial. Mungkin didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki
basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologik
a) Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b) Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan
dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
c) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL,
urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.
2. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih
yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Apabila hasil
pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah
satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses
antigen-antibodi yang terjadi.
b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis
uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
d. ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka
antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna
merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
4. Pemeriksaan BACTEC : Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin
ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.
5. Pemeriksaan Cairan Pleura : Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta
cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
6. Pemeriksaan histopatologi jaringan : Bahan histopatologi jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans
thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah
bening dan biopsi organ lain diluar paru. Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan
7. Pemeriksaan darah : Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama
dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula
kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga
kurang spesifik.
8. Uji tuberculin : Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Pada pleuritis tuberkulosa
uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika
awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan
gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang
berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan
(M.tuberculosis).
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus
vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Diagnosis TB paru
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
TATALAKSANA
1) Pengobatan TB bertujuan untuk ;
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
c. Mencegah terjadi kekambuhan TB.
d. Menurunkan penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
2) Prinsip pengobatan TB :
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjit dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
Pengobatan diberikan dalam bentuk panduat OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
Diberikan dalam dosis yang tepat.
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3) Tahapan pengobatan TB :
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan :
Tahap Awal : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sedah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
Tahap lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persiter atau dormant sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
4) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat.
TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Kriteria Sembuh
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
KOMPLIKASI
Komplikasi Tb paru dibagi atas :
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus,
Poncets arthropathy (arthritis tuberculosis)
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (sindrom obstruksi pasca TB), kor-
pulmonal, amiloidosis paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB milier,
jamur paru (aspergilosis), dan kavitas.
Farmakologi OAT
1. Isoniazid
Isoniazid memiliki aktivitas bactericidal yang baik terhadap bakteri M.
tuberculosis aktif yang berada pada intraselular maupun ekstraselular. Obat
ini termasuk bacteriostatic pada organisme lain yang membelah secara
lambat. Pada pengobatan LTBI (Infeksi TB latent), isoniazid merupakan
agen lini pertama karena obat ini dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh,
dan juga relatif tidak mahal. Untuk bisa bermanfaat sebagai OAT, isoniazid
dikombinasikan dengan beberapa obat anti tuberkulosis lainnya. Regimen
standarnya adalah isoniazid, rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide.
Farmakologi
Dosis harian dewasa adalah 300 mg, di mana puncak konsentrasi pada
serum adalah 3-5 g/mL dalam waktu 30 menit hingga 2 jam setelah
dikonsumsi. Sediaan oral maupun intramuscular dari isoniazid dapat diserap
tubuh dengan kadar yang baik, namun absorpsi oral dapat berkurang apabila
pasien juga mengonsumsi antasida dan makanan yang tinggi karbohidrat.
Isoniazid dimetabolisme oleh hati dengan cara acetylation oleh N-
acetyltransferase 2 (NAT2) dan hydrolysis. Isoniazid dapat berinteraksi
dengan obat lain, karena kemampuannya untuk menginhibisi sistem sitokrop
P450. Beberapa obat yang memiliki interaksi dengan isoniazid antara lain
warfarin, carbamazepine, benzodiazepine, acetaminophen, clopidogrel,
maraviroc, drone-darone, salmeterol, tamoxifen, eplerenone, dan phenytoin.
Efek samping
Meskipun isoniazid ditoleransi dengan baik oleh tubuh, ada risiko terjadi
keruasakan hati dan neuropathy periferal. Isoniazid dapat menyebabkan
elevasi kadar aminotransferase meskipun bersifat asimptomatik. Beberapa
efek samping lainnya adalah kemerahan (2%), demam (1.2%), anemia,
jerawat, symptom arthritis, kejang, dan atropi optic. Hepatitis simptomatik
hanya ditemukan pada 0.1% pasien.
2. Rifampicin
Rifampicin merupakan obat antimycobacterial terkuat yang saat ini ada.
Rifampicin memiliki aktivitas bactericidal pada M. tuberculosis yang aktif
membelah maupun yang tidak aktif membelah, dan dengan efek sterilisasi.
Farmakologi
Rifampicin larut dalam lemak, dan memiliki molekul macrocyclic yang
kompleks. Kadar serum puncak adalah 10-20 g/mL 2,5 jam setelah
konsumsi obat. Waktu paruh rifampicin adalah 1,5 jam hingga 5 jam. Obat
ini didistribusi dengan baik hampir ke seluruh bagian tubuh, termasuk juga
ke cairan cerebrospinal. Rifampicin dapat mengubah cairan tubuh seperti
urin, saliva, sputum dan air mata menjadi warna orange-kemerahan.
Efek Samping
Efek samping terkait dengan rifampicin jarang terjadi, dan biasanya ringan.
Hepatotoksisitas karena rifampicin tidak umum terjadi, kecuali jika
sebelumnya sudah ada penyakit pada liver. Efek samping lainnya adalah
kemerahan, pruritus, simptom GIT, dan pancytopenia.
3. Ethambutol
Ethambutol merupakan antimycobacterial yang bersifat bacteriostatic.
Meskipun demikian, Ethambutol merupakan obat yang memiliki potensi
paling rendah dibandingkan dengan OAT lainnya. Ethambutol juga dipakai
sebagai kombinasi dengan obat lain pada fase lanjutan bagi pasien yang
tidak dapat mentoleransi isoniazid atau rifampicin.
Farmakologi
Pada dosis harian ethambutol, sebanyak 75-80% diabsorbsi oleh tubuh
setelah 2-4 jam dikonsumsi. Kadar puncak dalam serum adalah 2-4 g/mL.
Ethambutol didistribusi dengan baik ke seluruh bagian tubuh, kecuali pada
cairan cerebrospinal.
Efek Samping
Ethambutol biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memiliki
interaksi obat yang signifikan. Kasus yang signifikan yang pernah
dilaporkan adalah neuritis optic, dengan gejala pengelihatan kabur, scotoma
sentral, dan juga kehilangan kemampuan melihat warna hijau. Penyebab dari
neuritis sampai saat ini masih belum diketahui, namun ethambutol mungkin
memiliki efek pada sel amacrine dan bipolar di retina. Gejala ini timbul
beberapa bulan setelah diawalinya terapi, namun toksisitas okular dapat
terjadi sesaat setelah terapi ethambutol dimulai. Penggunaan rutin
ethambutol pada anak tidak direkomendasi, karena monitoring pengelihatan
pada anak lebih sulit dilakukan.
4. Pyrazinamide
Pyrazinamide memiliki efek bactericidal, dan berfungsi sebagai analog
nicotinamide. Penggunaan pyrazinamide sebagai terapi awal dapat
memperpendek durasi pengobatan dari 9 bulan menjadi 6 bulan, dan juga
mengurangi kemungkinan terjadinya relapse.
Mekanisme Kerja
Aktivitas antimycobacterial yang dimiliki pyrazinamide terbatas hanya
untuk M. tuberculosis. Pyrazinamide merupakan prodrug yang dikonversi
oleh pyrimidase mycobacterium menjadi bentuk yang aktif, yaitu asam
pyrazinoic. Agen ini aktif hanya pada keadaan yang asam (pH <6.0), di
mana keadaan asam ini ditemukan pada fagosit ataupun granuloma.
Mekanisme kerja asam pyrazinoic masih belum diketahui secara pasti,
namun kemungkinan yang menjadi target pada M. tuberculosis adalah enzim
fatty acid synthase I nya.
Farmakologi
Pyrazinamide sangat baik diabsorbsi pada administrasi oral, dengan
konsentrasi puncak serum 20-60 g/mL 1-2 jam setelah dikonsumsi.
Pyrazinamide didistribusi sangat baik ke seluruh tubuh, termasuk ke cairan
cerebrospinal, dan merupakan komponen penting untuk terapi turbeculosis
meningitis. Waktu paruhnya adalah 9-11 jam dengan fungsi ginjal dan hepar
yang normal. Pyrazinamide dimetabolisme di liver menjadi POA, 5-
hydroxypyrazinamide, dan 5-hydroxy-POA. Sebagian besar pyrazinamide
dan metabolitnya dieksresi melalui urin.
Efek samping
Pada dosis yang lebih tinggi, hepatotoksisitas terjadi pada 15% pasien.
Meski demikian, dengan mengikuti dosis yang sudah direkomendasikan,
hepatotoksisitas saat ini lebih jarang terjadi. Di Amerika Serikat,
pyrazinamide tidak direkomendasikan karena kurangnya data mengenai
teratogenisitasnya.
Tiroid Storm
Kelenjar Tiroid
pharyngeus pertama dan kedua. Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi
foramen sekum di pangkal lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai
setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus.
Penurunan ini terjadi pada garis tengah janin. Saluran pada struktur endodermal ini
tetap ada dan menjadi duktus tiroglossus atau mengalami obliterasi menjadi lobus
piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah
besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis, dan
melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat
kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi
letak dan jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis
interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di laterodorsal
tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus
dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan
prevertebralis.6
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber; arteri karotis superior
kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua arteri tiroidea
inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea
ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea
superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral, dan vena
tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring dengan pita suara
(plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus laringeus superior.6
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang
nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat
ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat
tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan
disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan
mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu
globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat
dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang
dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon
tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikuler yang
2.2. Hipertiroidisme
2.2.1 Definisi
tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan
hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis
tirotoksikosis.3
2.2.2 Pengaturan Faal Tiroid Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid3 :
Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat
Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit ( dan ). Sub unit sama
seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG)
dan penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit adalah khusus untuk
setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor dipermukaan
sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan
Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya hormon
bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping berefek
yodium sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada
1. Kalorigenik.
2. Termoregulasi.
degradasi kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
hormon tiroid.
7. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3
diare.
Sistem TSH dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia di
sangat sedikit hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin
Na+ K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan testis. Hal ini berperan
3. Efek kardiovaskuler
tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap otot jantung.3
4. Efek Simpatik
otot skeletal dan jaringan adiposa. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-
miokardial. Disamping itu, mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada
5. Efek Pulmonar
6. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan
7. Efek Gastrointestinal
peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga menyumbang
8. Efek Skeletal
resorbsi tulang dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
9. Efek Neuromuskular
kehilangan jaringan otot atau miopati. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan
kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperfleksia pada
kehamilan.3
meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh
suatu peningkatan dari reseptor low density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar
kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat,
2.2.5 Etiologi
adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada
goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.7,8
penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15%
pasien graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-kira
50% keluarga pasien dengan penyakit graves mempunyai autoantibodi tiroid yang
beredar dalam darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak dari pada pria.
Penyakit ini terjadi pada segala umur dengan insidensi puncak pada kelompok umur
20-40 tahun.7,8
2.2.6 Patogenesis
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan
pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan
penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,
namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang
3. Infeksi bakterial atau viral. Diduga stres dapat mencetus suatu episode
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang
dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan.
umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat
sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat
pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60
tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang
paling menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort , tremor, nervous dan penurunan
berat badan.4,7,8
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis
yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup,
berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan
berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat
dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan degenerasi
permukaan epithel menjadi kering dan sering terinfeksi dan menimbulkan ulkus
kornea.3
dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang berdiri sendiri.
Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-tanda kelainan tiroid
sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak dapat diterangkan pada
curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia
lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam
darah untuk mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari
gejala-gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang
kecil.4,7,8
2.2.8 Diagnosis
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya dapat ditemukan. Sehingga mudah
pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan
orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena
alasan3 :
pemeriksaan klinis.
jantung, berat badan menurun, diare atau miopati tanpa manifestasi klinis
lain hipertiroidisme.
3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang
meragukan.
hipertiroidisme.3
2.3.1 Definisi
Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis
dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan
berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang
mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran
fungsi organ.1,2
Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital
untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang
operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian
tiroidnya9
infeksi
stroke
trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
sebelumnya.9,10
Untuk mengetahui apakah keadaan seseorang ini sudah masuk dalam tahap
krisis tiroid adalah dengan mengumpulkan gejala dari kelainan organ yakni pada
sistem saraf terjadi penurunan kesadaran (sampai dengan koma), hyperpyrexia (suhu
2.3.4 Patofisiologi
Pilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang
diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih
tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus
segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang
sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan
Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam
hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang
yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang
tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk.
Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis.
Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid
menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU
atau PTU 200mg/4jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk
digunakan secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan
oleh saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 2,9,10,11
Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Dosis yang
diberikan lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk memblok pelepasan hormone.
Laruton lugols 10 tetes/8jam secara oral. Dapat juga dilakukan pemberian laruton
lugols 10 tetes tersebut secara intravena langsung selama masih dianggap steril.
memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit
graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis
tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun