Anda di halaman 1dari 208

Gagal Jantung Kongestif (CHF)

2.1.1 Definisi CHF

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah

dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan

nutrien. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan jika terjadi gagal

jantung sisi kiri dan sisi kanan.

2.1.2 Etiologi CHF

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1) Penyakit arteri koroner dan serangan jantung. Arteri yang memasok darah ke otot

jantung sempit kibat penumpukan deposit lemak yang disebut aterosklerosis.

Penumpukan plak dapat menyebabkan aliran darah ke jantung berkurang.

Serangan jantung terjadi jika plak di arteri pecah, menyebabkan terbentuknya

bekuan darah yang akan menghalangi aliran darah ke area otot jantung,

melemahnya kemampuan memompa jantung dan sering meninggalkan kerusakan

permanen. Jika kerusakan yang signifikan, hal itu dapat menyebabkan otot jantung

melemah.

2) Hipertensi. Jika tekanan darah tinggi, jantung harus bekerja lebih keras dari

biasanya untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh Anda. Otot jantung dapat

menjadi lebih tebal untuk mengimbangi. Akhirnya, otot jantung menjadi terlalu

kaku atau terlalu lemah untuk memompa darah dengan efektif.

3) Katup jantung yang rusak. Sebuah katup yang rusak - karena cacat jantung,

penyakit arteri koroner atau infeksi jantung - menyebabkan jantung bekerja lebih

keras untuk menjaga darah mengalir sebagaimana mestinya.


4) Kerusakan otot jantung (kardiomiopati). Disebabkan beberapa penyakit, infeksi,

penyalahgunaan alkohol dan efek toksik obat, seperti kokain atau obat yang

digunakan untuk kemoterapi, serta faktor genetik.

5) Kelainan jantung bawaan

6) Irama jantung abnormal (aritmia jantung). Aritmia dapat menyebabkan jantung

berdetak terlalu cepat, yang menciptakan pekerjaan tambahan bagi jantung.

Jantung melemah, menyebabkan gagal jantung. Detak jantung lambat dapat

mencegah jantung mendapatkan darah yang cukup untuk tubuh dan juga dapat

menyebabkan gagal jantung.

7) Penyakit lainnya. Penyakit kronis - seperti diabetes, HIV, hipertiroidisme,

hipotiroidisme, atau penumpukan zat besi (hemochromatosis) atau protein

(amiloidosis) juga dapat menyebabkan gagal jantung.

Faktor risiko :

- Tekanan darah tinggi

- Penyakit arteri koroner

- Serangan jantung

- Diabetes dan beberapa obat diabetes

- Sleep apnea

- Penyakit jantung kongenital

- Penyakit katup jantung

- Virus, penggunaan alkohol, rokok

- Obesitas

2.1.3 Patofisiologi CHF

Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang

selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral.

Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan

darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui

hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan

hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga

terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung

adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk

menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard.

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan

kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah

jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=

HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup.

Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan

mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila

mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka

volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan

curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan

kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal

masih dapat dipertahankan.

Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung

pada tiga faktor yaitu:

1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung

berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan

serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada

tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar

kalsium.

3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk

memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan

arteriole.

2.1.4 Manifestasi Klinis CHF

2.1.5 Diagnosis CHF

1) Anamnesis

2) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah

perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju


filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan

tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau

elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan

sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,

hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien

dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting

Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis

aldosterone.

3) Troponin I atau T

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran

klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar

troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode

dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

4) Ekokardiografi

Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung

termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler

imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung

dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya

pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk

membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik

normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

5) Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal

jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam


mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya

dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).

6) Foto Toraks

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks

dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi

penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.

Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

7) Ekokardiografi transesofagus

Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat

(obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien

endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left

atrial appendagepada pasien fibrilasi atrial

8) Ekokardiografi beban

Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi

disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard

pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.

2.1.6 Penatalaksanaan CHF

Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:

1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.

2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahanbahan

farmakologis.

3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet

dan istirahat.
2.1.6.1 Terapi Farmakologi

1) Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. ACE inhibitor adalah jenis

vasodilator, memperlebar pembuluh darah untuk menurunkan tekanan darah,

meningkatkan aliran darah dan mengurangi beban kerja pada jantung. Contohnya

termasuk enalapril (Vasotec), lisinopril (Zestril) dan captopril (Capoten).

2) Angiotensin II receptor blockers. Obat ini, yang meliputi losartan (Cozaar) dan

valsartan (Diovan), memiliki banyak manfaat yang sama seperti inhibitor ACE.

Alternatif bagi orang-orang yang tidak bisa mentolerir ACE inhibitor.

3) Beta blocker. Kelas ini obat tidak hanya memperlambat denyut jantung dan

menurunkan tekanan darah tetapi juga batas atau membalikkan beberapa

kerusakan pada jantung jika memiliki gagal jantung sistolik. Contohnya termasuk

carvedilol (Coreg), metoprolol (Lopressor) dan bisoprolol (Zebeta). Obat ini

mengurangi risiko beberapa irama jantung abnormal. Beta blockers dapat

mengurangi tanda-tanda dan gejala gagal jantung, meningkatkan fungsi jantung.

4) Diuretik. Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala

volume berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan

volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja

jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah

menurun.

Antagonis aldosteron. Obat ini termasuk spironolactone (aldactone) dan

eplerenone (Inspra). Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang

sampai berat.

5) Inotropik. Ini adalah obat intravena digunakan pada gagal jantung parah di rumah

sakit untuk meningkatkan fungsi pemompaan jantung dan menjaga tekanan darah.
6) Digoxin (Lanoxin). Obat ini, juga disebut sebagai digitalis, meningkatkan

kekuatan kontraksi otot jantung. Hal ini juga cenderung untuk memperlambat

detak jantung. Digoxin mengurangi gejala gagal jantung pada gagal jantung

sistolik. Ini mungkin lebih cenderung untuk diberikan kepada seseorang dengan

masalah irama jantung, seperti fibrilasi atrium.

2.1.6.2 Terapi non farmakologi

Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti: diet

rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis,

menghindari rokok, olahraga teratur.

2.1.7 Komplikasi CHF

1) Kerusakan ginjal atau kegagalan. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke

ginjal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak diobati.

Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat memerlukan dialisis untuk pengobatan.

2) Sasalah katup jantung. Katup jantung, mungkin tidak berfungsi dengan baik jika

jantung hipertrofi atau jika tekanan di dalam jantung sangat tinggi karena gagal

jantung.

3) Masalah irama jantung. masalah irama jantung (aritmia) dapat menjadi komplikasi

potensial dari gagal jantung.

4) Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang

menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cadangan cairan ini dapat

menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi jantung berfungsi

dengan baik.
Penyakit Jantung Rematik (RHD)

2.2.1 Definisi

Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang menyerang multisystem


akibat infeksi dari Streptokokus Beta Hemolitikus grup A pada faring (faringitis) yang
biasanya menyerang anak dan dewasa muda. Demam rematik menyebabkan
terjadinya peradangan yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan jaringan ikat.
Pada daerah endemic, 3% pasien yang mengalami faringitis oleh Streptokokus
berkembang menjadi demam rematik dalam 2-3 minggu setelah infeksi saluran nafas
bagian atas tersebut (RHD Australia, 2012)
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui (Lawrence M.
Tierney, 2002). Penyakit jantung rematik (RHD) adalah sequele (gejala sisa) dari
demam reumatik akut yang ditandai dengan adanya kelainan pada katup jantung yang
bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral.

2.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus
hemolitikus grup A.
Protein M pada kapsul karbohidrat bakteri yang mengalami proses mimikri dengan
glycoprotein pada katup jantung, sarcolema, dan miokardial yang menyebabkan cross-
reaction dengan antibodi.
2.2.3 Patofisiologi

Pada infeksi berulang oleh streptococcus beta hemolitycus grup A, yang


menyebabkan terjadinya peradangan dan terjadi proses hipersensitifitas oleh karena
cross-reaction Antibodi dengan mimikri Antigen Streptococcus yang diserupai oleh
protein atau glycoprotein daun katup jantung. Maka akan terjadi inflamasi di daun
katup jantung yang menyebebkan timbulnya jaringan parut pada tepian katup. Hal ini
berdampak pada berkurangnya garis tengah orificium katup dan terjadilah stenosis
katup. Dengan terjadinya stenosis ini, membuat terjadinya gangguan dalam penutupan
daun katup secara sempurna yang menyebabkan aliran kembali saat penutupan katup
(regurgitasi) darah saat diastole terjadi. Hal inilah yang berperan dalam terjadinya
peningkatan tekanan serta beban volume jantung dan dapat menyebabkan gagal
jantung.

Dalam perjalanan alamiah penyakit, Stenosis ini paling sering terjadi pada
katup Mitral dengan sebab yang belum jelas diketahui. Stenosis pada katup mitral
membuat orificium mitral menyempit seperti celah yang menyebabkan terjadinya
dilatasi dan hipertropi atrium kiri. Dalam keadaan ini terjadi dua kemungkinan, 1.
Terbentuknya thrombus mural yang dengan berjalannya waktu dapat menyebabkan
terjadinya emboli sistemik, atau 2. Terjadinya kongesti pasif kronis pada paru
sehingga paru menjadi padat dan berat serta hal ini berjalan dengan alamiahnya dapat
membuat dilatasi dan hipertropinya ventrikel serta atrium kanan.

Dalam waktu yang sama stenosis mitral dapat membuat terjadinya regurgitasi
mitral sebagai dampak akan terjadi retraksi daun katup mitral yang justru akan
semakin meningkatkan beban volume ventrikel kiri dan terjadilah dilatasi serta
hipertropi ventrikel kiri.
Dilain tempat secara kronis sering diikuti oleh terjadinya valvulitis pada katup
aorta yang berkaitan erat dengan kejadian mitral stenosis. Hal ini membuat ujung
katup aorta menebal, padat, melekat dan membuat orificium menjadi segitiga.
Terjadilah stenosis aorta dalam hal ini. Dampak yang ditimbulkan terjadi penigkatan
beban tekanan pada ventrikel kiri (yang hipertropik konsentrik) yang membuat
terjadinya gagal ventrikel kiri. Hal ini akan membuat dilatasi rongga jantung yang
dalam perjalanan alamiahnya akan terjadi gagal jantung kongesti.
Di lain tempat masih pada katup aorta akan terjadi fibrosis daun katup aorta.
Akan terjadi penarikan daun katup aorta kea rah dinding aorta yang akan
menyebabkan regurgitasi aorta. Sebagi dampaknya akan terjadi hipertropi dan dilatasi
ventrikel kiri kembali.
2.2.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi mayor
Karditis

Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai


endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat,
dan anoreksia. Tanda klinis karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis,
adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya
gagal jantung, dan tanda perikarditis.

Arthritis

Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan
tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot
wajah dan ektremitas.

Nodul subcutan

Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 2 cm, tidak
nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor
sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.

Eritema marginatum

Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal,


macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak
normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan
wajah.

Korea

Manifestasi minor

Demam beberapa hari


Nyeri sendi beberapa sendi
LED meningkat
ASO meningkat
Swab tenggorokan ditemukan streptococcus
Perpanjangan interval P-R
2.2.5 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah
a) LED meningkat
b) Lekositosis
c) Nilai hemoglobin dapat rendah

2. Pemeriksaan bakteriologi
a) Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
b) Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.

3. Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada jantung.

4. Pemeriksaan Echokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi

5. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Menunjukan interval P-R memanjang

2.2.6 Penatalaksanaan

MEDIKAMENTOSA
Antibiotik

Penicillin V 250 mg peroral 2 - 3 kali sehari (27 kg) atau 500 mg peroral 2 -
3 kali sehari (>27 kg) 10 hari.

Benzathine penicillin G 600,000 units intramuscular (27 kg) atau1,200,000


units intramuscular (>27 kg).

Amoxicillin 50 mg/kg peroral setiap hari 10 hari.

Cephalosporina (first generation) Drug-dependent 10 hari.

Clindamycina 20 mg/kg/hari terbagi 3 dosis peroral 10 hari.

Clarithromycina 15 mg/kg/hari terbagi 2 dosis peroral 10 hari

Azithromycina 12 mg/kg peroral setiap hari 5 hari

Anti-Inflamasi
Arthritis, Athralgia dan Karditis : Aspirin 4- 8g/hari yang dibagi dalam 4
sampai 6 dosis.
Sydenham Chorea: Haloperidol
Demam: Aspirin

Carditis : glucocorticoids, digoxin, diuretik, reduksi afterload


Prednison: 1-2mg/kg/hari maksimal 80mg/hari selama 2-3 minggu
Digoxin: Digoxin peroral atau IV dengan dosis 125- 250mcg/hari.
Diuretics: Furosemid peroral atau IV dengan dosis 20- 40mg/jam selama 12
24 jam jika terdapat indikasi.
Agen pengurang afterload: ACE inhibitor-captopril

NON MEDIKA MENTOSA

1. Diet

2. Tirah baring

3. Edukasi : Antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah infeksi


streptokokus berikutnya.

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup
jantung, dan infark (kematian sel jantung).

1. Dekompensasi Cordis

Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya


sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic
termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan,
biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses
inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada
anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan
pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting
mengobati penyakit primer.

2. Pericarditis

Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard

2.2.8 Prognosis

Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat


keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi
yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering
ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas,
perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi
penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin,
persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70%
dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%.

Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut


hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka
penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur.
Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan
prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.
SIROSIS HEPATIS

3.1.1 DEFINISI SIROSIS HEPATIS

Istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal
dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi
perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk.
Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,
disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, dan regenerasi nodul hepatosit.
Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit
hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan
fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan
pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya
menyebabkan hipertensi portal.

3.1.2 ETIOLOGI SIROSIS HEPATIS

Virus hepatitis B, C, dan D


Alkohol.
Obat-obatan atau toksin.
Kelainan metabolik : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi 1-
antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia, tirosinemia,
fruktosa intoleran.
Kolestasis intra dan ekstra hepatik.
Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
Gangguan imunitas.
Sirosis biliaris primer dan sekunder.
Idiopatik atau kriptogenik.
3.1.3 FAKTOR RESIKO SIROSIS HEPATIS

Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :
Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965
dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan
yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik
telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A.
Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau
degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-orang muda
dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin
pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit
ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga
dalam jaringan hati.
Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.
Sebab-Sebab Lain
Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler
Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan
dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-
50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang bukan
B atau C.

3.1.4 KLASIFIKASI SIROSIS HEPATIS

Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:


a) Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
b) Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas.
Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan
pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan
melalui biopsi hati.
Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hati bedasarkan besar kecilnya
nodul, yaitu:
a) Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b) Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c) Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis hati atas:
a) Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis
toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak
terjadi jaringan nekrose.
b) Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c) Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Shiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
a) Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis alkoholik.
b) Sirosis postnekrotik
c) Sirosis biliaris.

3.1.4 MANIFESTASI KLINIK SIROSIS HEPATIS

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit
lain. Bila sirosis hati sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan deman tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

Tanda Klinis
Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver
sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan
penyakit.
Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah
timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati
membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri
bila ditekan.
Hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas
nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran
darah melalui hati.

Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis: gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoselular adalah
ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma
spidernevi, ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan
hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta
manifestasi sirkulasi kolateral lainnya. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi
kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal (Price & Wilson, 2005).
a) Manifestasi kegagalan hepatoselular Menurunnya ekskresi bilirubin
menyebabkan hiperbilirubin dalam tubuh, sehingga menyebabkan ikterus dan
jaundice. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas sirosis biliaris dan
terjadi jika timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu (kolangitis) (Price
& Wilson, 2005). Peningkatan rasio estradiol/testosteron menyebabkan
timbulnya angioma spidernevi yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi
beberapa vena kecil sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
Perubahan metabolisme estrogen juga menimbulkan eritema palmaris, warna
merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Ginekomastia berupa
proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat
peningkatan androstenedion (Sudoyo, 2007). Gangguan hematologi yang
sering terjadi adalah perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
Penderita sering mengalami perdarahan gusi, hidung, menstruasi berat dan
mudah memar. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya faktor pembekuan
darah. Anemia, leukopenia, trombositopenia diduga terjadi akibat
hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar tetapi juga aktif menghancurkan
sel-sel darah dari sirkulasi sehingga menimbulkan anemia dengan defisiensi
folat, vitamin B12 dan besi. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Hal ini dapat dikaji melalui
shifting dullness atau gelombang cairan. Faktor utama terjadinya asites ialah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi portal) dan
penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia (Price & Wilson,
2005). Edema terjadi ketika konsentrasi albumin plasma menurun. Produksi
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan
ekskresi kalium (Smeltzer & Bare, 2002).
b) Manifestasi hipertensi portal Akibat dari hati yang sirotik, darah dari organ-
organ digestif dalam vena porta yang dibawa ke hati tidak dapat melintas
sehingga aliran darah tersebut akan kembali ke sistem portal yaitu dalam
limpa dan traktus gastrointestinal. Adanya peningkatan resistensi terhadap
aliran darah melalui hati akan menyebabkan hipertensi portal (Smeltzer &
Bare, 2002). Hipertensi portal didefiniskan sebagai peningkatan tekanan vena
porta yang menetap di atas nilai normal yaitu 6-12 cmH2O (Price & Wilson,
2005). Pembebanan berlebihan pada sistem portal ini merangsang timbulnya
aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Obstruksi aliran
darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal dan
pemintasan (shunting) darah dari pembuluh darah portal ke dalam pembuluh
darah dengan tekanan yang lebih rendah (Smeltzer & Bare, 2002). Saluran
kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada
esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava
menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esofagus). Sirkulasi
kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen dan timbulnya
sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilikus (kaput
medusa). Sistem vena rektal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga
vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid
interna (Price & Wilson, 2005).

3.1.5 PATOFISIOLOGI SIROSIS HEPATIS

Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sirosis laennec, sirosis
pascanekrotik, dan sirosis biliaris. Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi alkohol
kronis, alkohol menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik
langsung terhadap hati yang akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan
asetaldehid yang akan merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan ikat
yang tebal dan nodul yang beregenerasi. Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus
hepatitis B, C, infeksi dan intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut,
berbentuk tidak teratur, terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan
parut dan diselingi oleh jaringan hati. Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan
empedu pada duktus intrahepatikum, autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu
hati. Dari ketiga macam sirosis tersebut mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati dan
kegagalan fungsi hati. Distorsi arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah
portal ke dalam hepar karena darah sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga
meningkatkan aliran darah balik vena portal dan tahanan pada aliran darah portal yang
akan menimbulkan hipertensi portal dan terbentuk pembuluh darah kolateral portal
(esofagus, lambung, rektum, umbilikus).
Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik di sirkulasi portal yang
akan mengakibatkan cairan berpindah dari sirkulasi portal ke ruang peritoneum
(asites). Penurunan volume darah ke hati menurunkan inaktivasi aldosteron dan ADH
sehingga aldosteron dan ADH meningkat di dalam serum yang akan meningkatkan
retensi natrium dan air, dapat menyebabkan edema. Kerusakan fungsi hati; terjadi
penurunan metabolisme bilirubin (hiperbilirubin) menimbulkan ikterus dan jaundice.
Terganggunya fungsi metabolik, penurunan metabolisme glukosa meingkatkan
glukosa dalam darah (hiperglikemia), penurunan metabolisme lemak pemecahan
lemak menjadi energi tidak ada sehingga terjadi keletihan, penurunan sintesis albumin
menurunkan tekanan osmotik (timbul edema/asites), penurunan sintesis plasma
protein terganggunya faktor pembekuan darah meningkatkan resiko perdarahan,
penurunan konversi ammonia sehingga ureum dalam darah menigkat yang akan
mengakibatkan ensefalopati hepatikum. Terganggunya metabolik steroid yang akan
menimbulkan eritema palmar, atrofi testis, ginekomastia. Penurunan produksi empedu
sehingga lemak tidak dapat diemulsikan dan tidak dapat diserap usus halus yang akan
meingkatkan peristaltik. Defisiensi vitamin menurunkan sintesis vitamin A, B, B12
dalam hati yang akan menurunkan produksi sel darah merah.

3.1.6 DIAGNOSIS SIROSIS HEPATIS

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


Yang ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien sirosis :
a. Spider teleangiektasi (spider nevi) bahu, muka, lengan atas.
b. Eritema palmaris thenar dan hipothenar telapak tangan.
c. Kuku-kuku Muchrche pita putih horisontal dipisahkan dengan warna normal
kuku.
d. Ginekomastia proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki.
e. Hilangnya raambut dada dan aksila pada laki-laki feminisme.
f. Atrofi testis hipogonadisme impotensi dan infertil.
g. Ukuran hati bisa membesar, normal atau mengecil. Hati teraba keras dan nodular.
h. Splenomegali (pembesaran limpa).
i. Asites
j. Fetor hepatikum (bau napas yang khas pada pasien sirosis).
k. Ikterus akibat bilirubinemia.
l. Warna urin terlihat gelap seperti teh.
m. Demam yang tidak timggi akibat nekrosis hepar.
n. Batu pada kandung empedu akibat hemolisis.
o. Pembesaran kelenjar parotis (terutama pada sirosis alkoholik).
p. Ditemukan riwayat diabetes melitus 15-30% pasien sirosis.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT)


meningkat tapi tak begitu tinggi. Lebih meningkat dibandingkan ALT/SGPT.
2. Alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi.
3. Alkali fosfatase meningkat 2-3x batas normal atas.
4. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT) meningkat 2-3x batas normal atas.
Tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik.
5. Bilirubin bisa normal pada kompensata, tapi bisa meningkat pad sirosis yang
lanjut.
6. Albumin konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.
7. Globulin meningkat.
8. Waktu protrombin mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
pada sirosis memanjang.
9. Natrium serum menurun.
10. Kelainan hematologi anemia anemia normokrom, normositer, hipokrom
mikrositer/makrositer.
11. Urin Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita
ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine
berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi
syndrome hepatorenal.
12. Tinja Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus,
ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah,
di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang
menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
13. Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin
B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya

Pemeriksaan Penunjang

1. Radiologis : barium meal konfirmasi adanya hipertensi porta.


2. USG : yang dilihat sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan
adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan iregular,
dan peningkatan ekogenitas parenkim hati. Bisa juga untuk melihat asites,
splenomegali, trombosis dan pelebaan vena porta serta skrinning karsinoma hati.

3.1.7 KOMPLIKASI SIROSIS HEPATIS

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati :


Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering terjadi
akibat hipertensi portal. Duapuluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus
pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak
duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan
untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara. Risiko kematian akibat
perdarahan varises esofagus tergantung pada tingkat keparahan dari kondisi hati
dilihat dari ukuran varises, adanya tanda bahaya dari varises dan keparahan penyakit
hati. Penyebab lain perdarahan pada penderita sirosis hati adalah tukak lambung dan
tukak duodeni.
Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia),
selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Timbulnya
koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak
dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas
dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan dengan
sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul
bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena
perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia
nitrogen.
Peritonitis bakterialis spontan
Cairan yang mengandung air dan garam yang tertahan di dalam rongga abdomen
yang disebut dengan asites yang merupakan tempat sempurna untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri. Secara normal, rongga abdomen juga mengandung
sejumlah cairan kecil yang berfungsi untuk melawan bakteri dan infeksi dengan baik.
Namun pada penyakit sirosis hepatis, rongga abdomen tidak mampu lagi untuk
melawan infeksi secara normal. Maka timbullah infeksi dari cairan asites oleh satu
jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intraabdominal. Biasanya pasien tanpa
gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen (Sudoyo, 2007).
Sindroma hepatorenal
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang mengakibatkan
penurunan filtrasi glomerulus. Pada sindrom hepatorenal terjadi gangguan fungsi
ginjal akut berupa oliguria, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan
organik ginjal (Sudoyo, 2007)

Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap
merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik, sirosis hati
dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi dan etiologi dari sirosis
berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma
hepatoseluler sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.
Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan volume
cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air dan natrium. Asites
dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat dengan jumlah cairan banyak
menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari

3.1.8 PROGNOSIS SIROSIS HEPATIS

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi


etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Prognosis sirosis hati dapat diukur dengan kriteria Child-Turcotte-Pugh.
Kriteria Child-Turcotte-Pugh
Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari kriteria Child-Pugh,
banyak digunakan oleh para ahli hepatologi saat ini. Kriteria ini digunakan untuk
mengukur derajat kerusakan hati dalam menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan
hati kronik

3.1.9 TATALAKSANA SIROSIS HEPATIS


Pengobatan

Tujuan pengobatan :
1. Mengurangi progresi penyakit
2. Menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati
3. Pencegahan dan penanganan komplikasi
Penanganan Umum
Diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000-3000 kkal/hari dan
protein (75-100 g/hari) atau bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan
diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan jika terdapat retensi cairan
dilakukan restriksi sodium. Jika terdapat encephalopathy hepatic (ensefalopati
hepatik), konsumsi protein diturunkan sampai 60-80 g/hari.
Syarat diet ini adalah katori tinggi, hidrat arang tinggi, lemak sedang, dan
protein disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara
berangsur-angsur disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien
terhadap pasien terhadap protein. Diet ini harus cukup mineral dan vitamin;
rendah garam bila ada retensi garam/air, cairan dibatasi bila ada asites hebat;
serta mudah dicerna dan tidak merangsang. Bahan makanan yang
menimbulkan gas dihindari.
Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua
makanan dan daging yang banyak mengandung lemak, seperti daging kambing
dan babi serta bahan makanan yang menimbulkan gas, seperti ubi, kacang
merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.
Mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung thiamine
100 mg dan asam folat 1 mg. Perbaiki defisiensi potasium, magnesium, dan
fosfat. Transfusi sel darah erah (packed red cell), plasma juga diperlukan.

Terapi Menurut Etiologi


Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal
bisa menghambat kolagenik.
Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Hemokromatosis; flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi normal
dan diulang sesuai kebutuhan.
Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadi
sirosis.
Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupaka
terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara
oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12
bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon
alfa diberikan , namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Hepatitis virus C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5
MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6
bulan.
Pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah
kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Interferon mempunyai
aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel
stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah anti fibrosis dan
sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagi anti fibrosis.

Pengobatan Sirosis Dekompensata


Asites tirah baring dan diet rendah garam dikombinasi dengan obat-
obatan diuretik:
Spironolakton 100-200 mg, 1x1, dimonitor dengan penurunan berat badan
0,5 kg/hari, tanpa ada edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki.
Bila tidak adekuat kombinasi dengan furosemid 20-40mh/hari, dosis
maksimal 160 mg/hari.
Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 L) dengan pemberian
albumin.
Ensefalo Hepatik Laktulosa : mengeluarkan amonia dari tubuh.
Neomisin : membunuh bakteri penghasil amonia.
Diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB/hari.
Varises Esofagus - Sebelum dan sesudah berdarah : Propanolol.
Ketika perdarahan akut : preparat somatostatin atau oktreotid dengan tindakan
ligasi endoksopi.
Peritonitis Bakterial Spontan antibiotika : sefotaksim intravena, amoksilin
atau aminoglikosida.
Transplantasi hati terapi definitif, kriteria harus cocok.

3.1.10 PENCEGAHAN SIROSIS HEPATIS

Primer
Sirosis ini paling sering disebabkan oleh minuman keras, hepatitis B dan C.
Cara untuk mencegah terjadinya sirosis dengan tidak konsumsi alkohol, menghindari
risiko infeksi hepatitis C dan hepatitis B. Menghindari obat-obatan yang diketahui
berefek samping merusak hati. Vaksinasi merupakan pencegahan efektif untuk
mencegah hepatitis B.

Sekunder
Penyebab primernya dihilangkan,maka dilakukan pengobatan hepatitis dan
pemberian imunosupresif pada autoimun. Pengobatan sirosis biasanya tidak
memuaskan. Tidak ada agent farmakologik yang dapat menghentikan atau
memperbaiki proses fibrosis.
Penderita sirosis hati memerlukan istirahat yang cukup dan makanan yang adekuat
dan seimbang. Protein diberikan dengan jumlah 1-1 g/kg berat badan. Lemak antara
30 %- 40%. Infeksi yang terjadi memerlukan pemberian antibiotik yang sesuai. Asites
dan edema ditanggulangi dengan pembatasan jumlah cairan NaCl disertai pembatasan
aktivitas obstruksi.
Pendarahan saluran cerna atas oleh varises esophagus yang pecah memerlukan
perhatian terhadap jumlah darah yang hilang, dan harus ditutup atau tekanan portal
diturunkan melalui operasi shunt.

Tersier
Bila sudah dapat ditentukan diagnosa sirosis hati secara klinis, maka langkah
yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah pemberian terapi. Untuk menentukan terapi
yang tepat, perlu ditinjau berat ringannya kegagalan faal hati. Etiologi sirosis
mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Setelah sirosis berkembang, skrining tahunan harus
dilakukan untuk mengikuti risiko perdarahan dengan endoskopi atas dan untuk deteksi
dini kanker hati dengan USG.

KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dimana
terjadi fibrosis pada hepar dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodul-
nodul degeneratif. Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi sirosis kompensata
dimana gejala klinisnya belum tampak nyata dan sirosis dekompensata yang gejala
dan tanda klinisnya sudah jelas. Di Indonesia sirosis hepatis paling banyak disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis B dan C, tetapi terdapat beberapa etiologi lain meliputi
konsumsi alkohol, kelainan metabolik, kholestasis berkepanjangan, obat-obatan, dan
lain-lain.
Hepar memiliki banyak fungsi terutama dalam metabolisme, meliputi
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, penyimpanan vitamin, dan menyimpan besi
dalam bentuk ferritin. Pada sirosis hepatis, sel-sel hepatosit mengalami kematian dan
digantikan oleh jaringan fibrotik sehingga fungsinya pun akan terganggu.
Manifestasi klinis dari sirosis akan muncul dikarenakan kerusakan sel-sel
hepar sehingga terjadi kegagalan fungsi hepar dan juga karena hipertensi portal yang
terjadi. Manifestasinya meliputi ikterus, adanya spider naevi, hipoalbuminemia,
ascites, varises esophagus, dan lain-lain. Diagnosis sirosis hepatis dapat ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium seperti SGOT, SGPT, FP, HBsAg, USG
abdomen, dan untuk pastinya dapat dilakukan biopsi hepar.
Sirosis hepatis menimbulkan mortalitas yang tinggi diakibatkan oleh
komplikasi yang ditimbulkan, meliputi hematemesis melena karena pecahnya varises
esophagus, peritonitis bakterial spontan, ensefalopati hepatic, dan lain-lain. Untuk
penatalaksanaannya sendiri meliputi penghindaran terhadap bahan yang dapat
menambah kerusakan hati, diet rendah protein pada ensefalopati hepatic, diuretic pada
ascites, antibiotic pada peritonitis bakteri spontan, dan lain- lain tergantung dari
keadaan pasien. Untuk prognosis dari penyakit ini, dipengaruhi berbagai faktor
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasinya, dan adanya penyakit
yang menyertai.
Diabetes Mellitus
3.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.
Diabetes Melitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah
yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormone insulin secara relatif maupun
absolut, apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan
makroangiopati.

3.1.2 Klasifikasi dan Diagnosis Diabetes Melitus

Klasifikasi dari Diabetes Melitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah:
3.1.3 Patofisiolofi Diabetes Mellitus

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya


kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu,
dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer1
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan :
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran
glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena
sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin,
timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi
defisiensi glukosa intrasel - kelaparan di lumbung padi.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan menyebabkan
glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya.
Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering
berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi,
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena
volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat
menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan
gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan sel kelaparan akibatnya nafsu makan
(appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang
berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan sintesis
trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi besar-
besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam
darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah
katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka
lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan3

3.1.4 Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus

Kecurigaan adanya Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan


klasik Diabetes Melitus seperti tersebut di bawah ini (Gustaviani, 2007; Perkeni,
2011) :
1. Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Gejala dan tanda-tanda Diabetes Melitus dapat digolongkan menjadi gejala akut
dan gejala kronik (Ignativicius dan Workman, 2006; Perkeni, 2011) :
1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain bervariasi,
bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan
gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi),
banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak
segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan
mulai /berat badan turun dengan cepat (turun 5 10 kg dalam waktu 2 4 minggu),
mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita
akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.
2. Gejala Kronik Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Melitus adalah
kesemutan; kulit terasa panas, atau seperti tertusuktusuk jarum; rasa tebal di kulit;
kram; capai; mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata; gatal di
sekitar kemaluan terutama wanita; gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan
seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran
atau kematian janin dalam kandungan,
atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg

3.1.5 Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditegakkan


dengan mengadakan pemeriksaan kadar glukosa darah. Untuk penentuan Diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO, sedangkan untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler.
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma > 200mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis Diabetes Melitus. Ketiga
dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram, glukosa lebih sensitif dan
spesifik di banding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan sendiri.
Langkah-Langkah Diagnostik DiabetesMelitus dan toleransi Glukosa Terganggu
(Sumber : Perkeni, 2011)

3.1.6 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target
utama, yaitu:
a) Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
b) Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes:

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang


pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral,
atau kombinasi keduanya.
A. Terapi Tanpa Obat
1) Pengaturan Diet
2) Olah Raga
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah
raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-
40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa.

B. Terapi Obat
1) TERAPI INSULIN
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM
Tipe I, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM
Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian
besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir
30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

2) Terapi Obat Hipoglikemik Oral


Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi
pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes
(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion,
yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut
juga starch-blocker. Dalam tabel disajikan beberapa golongan senyawa
hipoglikemik oral beserta mekanisme kerjanya.

1) Golongan Insulin Sensitizing


a) Biguanid metformin
Farmakokinetik dan Farmakodinamik: terdapat dalam konsentrasi yang tinggi
dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan
melalui ginjal sehingga diberikan dua sampai tiga kali. mencapai kadar
tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan di ekskresi dalam urin.
Mekanisme kerja: menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati. Meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus
sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambar absorpsi
glukosa di usus sesudah asupan makan.
Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga
tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. dapat
sebagai monoterapi atau terapi kombinasi.
Efek samping: efek pada gastrointestinal pada awal pemakaian, dapat juga
terjadi asidosis laktat meski kejadiannya cukup jarang. Tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Cr >1,3 mg/dl pada perempuan dan
>1,5 mg/dl pada laki-laki). Kontraindikasi pada gangguan fungsi hati, infeksi
berat, penggunaan alkohol secara berlebihan serta penyandang gagal jantung
yang memerlukan terapi.

b) Glitazone Thiazolidinediones
Farmakokinetik dan farmakodinamik: diabsorpsi cepat dan mencapai
konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi
farmakokinetik
Mekanisme kerja: merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa
terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet
dan hati. tidak mestimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas, glitazone
merupakan homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Rosiglitazon (meningkatkan kolesterol LDL dan HDL namun tidak pada TG)
dan pioglitazone (efek netral pada LDL, menurunkan TG, dan meningkatkan
HDL)
Kemasan rosiglitazone terdiri dari 4 dan 8 mg sedangkan pioglitazone 15 dan
30 mg. pemakaian bersama dengan insulin tidak disarankan karena dapat
mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan resistensi cairan.
Efek samping dan kontraindikasi: menyebabkan penambahan beratbadan
serta edema. pemakaian dihentikan jika terdapat kenaikan enzim hati lebih
dari 3 kali batas normal. Berhati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit
hati sebelumnya, gagal jantung kelas 3 dan 4 NYHA, dan pada edema

c) Golongan Sekretagok Insulin SU dan non SU


Sulfonilurea
sering digunakan sebagai kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin
faramakokinetik dan farmakodinamik: glibenklamid mempunyai masa paruh
4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama >12 minggu
masa paruh memanjang hingga 12 jam
mekanisme kerja: bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien
yang masih mampu mensekresi insulin. tidak dapat diberikan pada DM tipe 1
SU generasi pertama : acetohexamide, tolbutamide dan chorpropamide. SU
generasi kedua adalah glibenclamide, glipizide dan gliclazide. SU generasi
ketiga adalah glimepiride. pada pemakaian SU, umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia
kombinasi SU dan insulin lebih baik daripada insulin sendiri.
efek samping dan kontraindikasi: hipoglikemia terutama bila asupan pasien
tidak adekuat. Selain pada orangtua, hipoglikemia juga terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan
makanan yang kurang. kenaikan berat badan 4-6 kg, gangguan pencernaan.
Glinid (non SU)
farmakinetik dan farmakodinamik: mekanisme kerja juga melalui reseptor
SU. perbedaannya dengan SU adalah masa kerjanya yang lebih pendek,
sehingga digunakan sebagai obat prandial.

d) Penghambat Alfa Glukosidase acarbose


farmakokinetik dan farmakodinamik: hampir tidak diabsorpsi dan bekerja
lokal pada saluran pencernaan, mengalami metabolisme didalam saluran
pencernaan. diekskresi melalui feses. bekerja secara kompetitif menghambat
kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehinggan menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkn hiperglikemia postprandial
dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,
metformin, glitazone atau SU. untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini
harus diberikan segera pada saat makanan utama.
efek samping dan kontraindikasi: gejala GIT seperti meteorismus, flatulence
dan diare. dikontraindikasikan pada kondisi irritable bowel syndrome,
obstruksi saluran cerna, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.

e) Golongan incretin
terdapat dua hormon incretin yang dikeluarkan oelh saluran cerna yaitu glucose
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-like peptide-1 (GLP-
1)
kedua hormon tersebut dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan,
sehingga meningkatkan sekresi insulin

f) Penghambat dipeptidyl peptidase IV


diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP- sehingga membantu
menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam yakni sitagliptin dan
vildagliptin.
pada terapi tunggal , dapat menurunkan HbA1c 0,79-0,94% dan memiliki efek
pada glukosa puasa dan post prandial
dapat sebagai alternatif apabila terdapat intoleransi pada pemakain metformin
atau pada usia lanju
tidak mengakibatkan hipoglikemia dan kenaikan berat badan.
efek samping: nasofaringitis, sakit kepala

3.1.7 Perencanaan Makanan Diabetes Mellitus

Perencanaan Makanan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan


komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70 %, Lemak 20-25 %, Protein
10-15 %. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
Makanan dengan komposisi sampai 70-75 % masih memberikan hasil yang baik.
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid), dan
membatasi PUFA (Poli Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat 25 g/hari, diutamakan serat larut (Yuli, 2010). Untuk penentuan
status gizi, dipakai Body Mass Indeks (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT). BMI =
IMT = BB(kg)/TB (m).
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT (Em Yunir, Suharko Soebardi, 2006):
a. Berat badan kurang < 18,5
b. BB normal 18,5 22.9
c. BB lebih 23,0
d. Dengan resiko 23 24,9
e. Obes I 25 29,9
f. Obes II 30

3.1.8 Komplikasi Diabetes Mellitus

Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai komplikasi.
Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non
ketotik, dan hipoglikemia (Perkeni, 2011). Menurut Perkeni (2011) yang termasuk
komplikasi kronik adalah makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati4.
Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti jantung,
darah tepi dan otak. Mikroangiopati terjadi pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskular) seperti kapiler retina mata, dan kapiler ginjal.
3.1.9 Pencegahan Diabetes Mellitus

Jika sudah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke


arah normal sangat sulit, kerusakan yang terjadi pada umumnya akan menetap. Oleh
karena itu, usaha pencegahan dini untuk komplikasi tersebut sangat diperlukan dan
diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang
tidak menguntungkan5.

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan diabetes ada 3 jenis atau tahap
yaitu:
1) Pencegahan Primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada
individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
2) Pencegahan Sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan
terutama pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya
tidak terdiagnosa dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah
komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.
Oleh karena itu, pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien
baru dengan cara skrining dimasukkan dalam upaya pencegahan sekunder supaya
lebih diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena dapat reversibel. Untuk
negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.
3) Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu.
Untuk mencegah kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi
DM agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik disamping tentu saja
pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Upaya ini meliputi:
a. Mencegah timbulnya komplikasi diabetes
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus menjadi
kegagalan organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan tubuh disebabkan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan
3.2 Ulkus Kaki Diabetik

3.2.1 Definisi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan
abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan atau
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas bawah

3.2.2 Prevalensi Ulkus Kaki Diabetik

Prevalensi ulkus kaki diabetik pada populasi diabetes adalah 4 10%, lebih
sering terjadi pada pasien usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus
sendiri, 10-15% akan tetap aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam
kurun waktu 6-18 bulan dari evaluasi pertama. Faktor risiko pada ulkus kaki diabetik
adalah neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, dan trauma pada kaki.

3.2.3. Etiologi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus diabetes disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu neuropati, trauma,


deformitas kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan penyakit vaskuler perifer.

3.2.4 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Beberapasistem klasifikasi ulkus telah dibuat yang didasarkan pada beberapa


parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman atau luasnya luka, dan
lokasi. Klasifikasi Wagner adalah yang paling popular dan tervalidasi untuk
klasifikasi ulkus kaki diabetik :

The International Working Group on the Diabetic Foot telah mengusulkan


Klasifikasi PEDIS dimana membagi luka berdasarkan 5 ciri berdasarkan: Perfusion,
Extent, Depth, Infection dan Sensation. Berdasarkan Guideline The Infectious Disease
of America, mengelompokkan kaki diabetik yang terinfeksi dalam beberapa kategori,
yaitu:
Mild : terbatas hanya pada kulit dan jaringan subkutan
Moderate : lebih luas atau sampai jaringan yang lebih dalam
Severe :disertai gejala infeksi sistemik atau ketidakstabilan metabolik

3.2.5 Pemeriksaan Ulkus Kaki Diabetik

a) Anamnesa
Gejala-gejala meliputi sensasi terbakar, tertusuk jarum, dan kram otot yang
terdistribusi secara simetris pada kedua kaki dan memberat pada malam hari sering
terjadi pada neuropati perifer. Sebagian besar orang yang menderita penyakit
atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala (asimtomatik),
Penderita yang menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat
istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetes dibagi menjadi 3 bagian
yaitu :
Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
Penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler
Penilaian kemungkinan neuropati perifer

1) Pemeriksaan Ekstremitas
Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang
menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak,
ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan kedua). Ulkus dapat timbul pada
malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan trauma.
Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada pemeriksaa fisik:
Callus hipertropik
Kuku yang rapuh/pecah
Hammer toes
Fissure

2) Isufisiensi arteri perifer


Pemeriksaan fisik rnemperlihatkan hilangnya atau menurunnya nadi perifer
dibawah level tertentu. Penemuan lain yang berhubungan dengan penyakit
aterosklerosis meliputi adanya bunyi bising (bruit) pada arteri iliaka dan femoralis,
atrofi kulit, hilangnya rambut pada kaki, sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis
iskemia, kedua kaki pucat pada saat kaki diangkat setinggi jantung selama 1-2
menit. Pemeriksaan vaskuler noninvasif meliputi pengukuran oksigen transkutan,
anklebrachial index (ABI), tekanan sistolik jari kaki. ABI didapatkan dari tekanan
sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachialis.
3) Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,
hilangnya reflek tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi otot, dan
pemembentukan calus hipertropik khususnya pada daerah penekanan misalnya
pada tumit. Status neurologis dapat diperiksa dengan menggunakan monofilament
Semmes-Weinsten untuk mengetahui apakah penderita masih memiliki "sensasi
protektif'. Alat pemeriksaan lain adalah garputala 128C, dimana dapat digunakan
untuk rnengetahui sensasi getar penderita dengan memeriksanya pada pergelangan
kaki dan sendi metatarsophalangeal pertama
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekositosis mungkin menandakan adanya abses atau infeksi
lainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat oleh adanya anemia. Adanya
insufisiensi arterial yang telah ada, keadaan anemia menimbulkan nyeri saat
istirahat.
Profil metabolik : pengukuran kadar glukosa darah, glikohemoglobin dan
kreatinin serum membantu untuk menentukan kecukupan regulasi glukosa dan
fungsi ginjal
Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif : Pulse Volume Recording (PVR),
atau plethymosgrafi.
Pemeriksaan laboratorium (mikrobiologi) dapat dilakukan seperti pemeriksaan
kultur darah pada luka

3.2.6 Tatalaksana Ulkus Kaki Diabetik

Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement,


offloading dan
kontrol infeksi. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan karena
ada beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi,
memperbaiki fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan
kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus diabetes sesegera mungkin didapatkan
kesembuhan dan pencegahan kekambuhan setelah proses penyembuhan.
1) Debridement
Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan
jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke
jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan yang
membantu proses
penyembuhan luka.
2) Offloading
Offloading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu komponen
penanganan ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada area telapak kaki yang
mendapat tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu cara yang ideal untuk mengurangi
tekanan.
3) Penanganan Infeksi
Ulkus diabetes memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan infeksi pada
luka. Karena angka kejadian infeksi yang tinggi pada ulkus diabetes, maka diperlukan
pendekatan sistemik untuk penilaian yang lengkap. Diagnosis infeksi terutama
berdasarkan keadaan klinis seperti eritema, edema, nyeri, lunak, hangat dan keluarnya
nanah dari luka.
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The Infectious Diseases
Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori, yaitu:
Infeksi ringan : apabila didapatkan eritema < 2 cm
Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema > 2 cm
Infeksi berat : apabila didapatkan gejala infeksi sistemik.
Ulkus diabetes yang terinfeksi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
Non-limb threatening : selulitis < 2cm dan tidak meluas sampai tulang atau
sendi.
Limb threatening : selulitis > 2cm dan telah meacapai tulang atau sendi, serta
adanya infeksi sistemik.
Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sebagai terapi ulkus diabetes masih
sedikit, sehingga sebagian besar didasarkan pada pengalaman klinis. Terapi antibiotik
harus didasarkan pada hasil kuftur bakteri dan kemampuan toksistas antibiotika
tersebut. Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening) biasanya
disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus. Infeksi ringan dan sedang dapat
dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral. Sedangkan pada infeksi berat
biasanya karena infeksi polimikroba, seperti staphylokokus, streptokokus,
enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus dan bakteri anaerob misalnya
bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus. Pada infeksi berat harus dirawat dirumah
sakit, dengan pemberian antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif,
serta aerobik dan anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi
imipenem-cilastatin, B-lactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan
piperacilintazobactam), dan cephalosporin spektrum luass.
4) Pembedahan
Pembedahan Revisional
Pembedahan revisional dilakukan pada tulang untuk memindahkan titik beban.
Tindakan tersebut meliputi reseksi metatarsal atau ostektomi
Pembedahan Vaskuler
Indikasi pembedahan vaskuler apabila ditemukan adanya gejala dari kelainan
pembuluh darah, yaitu nyeri hebat, luka yang tidak sembuh, adanya gangren.

3.2.7 Prognosis Ulkus Kaki Diabetik


Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada
kaki dan 1 diantara 100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh
karena itu, diabetes merupakan faktor penyebab utama amputasi non trauma
ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Neuropati perifer yang terjadi pada 60%
penderita diabetes merupakan resiko terbesar terjadinya ulkus pada kaki, diikuti
dengan penyakit mikrovaskuler dan regulasi glukosa darah yang buruk. Pada
penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil penyembuhan ulkus tersebut
baik, angka kekambuhanrrya 66% dan angka amputasi meningkat menjadi 12%.
Zimny et al (2002) menemukan bahwa lamanya waktu penyembuhan pada
ulkus kaki diabetik dipengaruhi oleh etiologi dari ulkus, dimana waktu penyembuhan
tercepat adalah pada jenis ulkus neuropati (akibat disfungsi saraf) dibandingkan
dengan ulkus kaki jenis neuroiskemik (akibat kombinasi dari disfungsi saraf dan
suplai darah yang buruk). Luka neuropati dapat sembuh dalam kurun waktu 20
minggu, sedangkan ulkus neuroiskemik sembuh lebih lama dan lebih sering berakhir
dengan amputasi.

3.2.8 Pencegahan Ulkus Kaki Diabetik


Pengawasan dan perawatan penyakit diabetes dapat mencegah ulkus diabetes.
Regulasi kadar gula darah dapat mencegah neuropati perifer atau mencegah
keadaan yang lebih buruk.
Penderita diabetes harus memeriksa kakinya setiap hari, menjaga tetap bersih
dengan sabun dan air serta menjaga kelembaban kaki.
Sepatu dan alas kaki harus dipilih secara khusus untuk mencegah adanya gesekan
atau tekanan pada kaki.
3.3 Penyakit Ginjal Kronik

3.3.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan


etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit
dalam waktu 3 bulan atau lebih.

3.3.2 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik adalah:


a) Kerusakan ginjal 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal,
dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin,
atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.
b) LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

3.3.3 Insidensi Penyakit Ginjal Kronik

Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih
dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi
penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih. Studi di
Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk
dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk.

3.3.4 Penyebab Penyakit Ginjal Kronik

a) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan
hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya.
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin
asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi
penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b) Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.Masalah yang akan dihadapi oleh
penderita DM cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik
mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah
nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak
penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%.
c) Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi.

Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik.
Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10
%.Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi, terdapat penyebab lain
penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik
(lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.

3.3.5 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease


Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK menurut
derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas penurunan faal
ginjal berdasarkan LFG, yaitu:
3.3.6 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi,
sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena
substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh
penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
dan medikasi seperti steroid. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga
berpengaruh pada retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak
terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.
Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada
CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga
terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel
darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG
menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum
menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada
CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon,
dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring
dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut
Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan
tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak
mengalimi kondisi ini. Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan
kondisi lain yang mendasari.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 %
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal
ginjal.

3.3.7 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronik

Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai
dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol,
sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang, kelemahan otot, fasikulasi
7. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik
normokrom)

3.3.8 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Ginjal Kronik

a) Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat. Dari
kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan estimasi LFG dengan rumus
Cockrof-Gault atau studi MDRD. Sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium
(hiperkalemia), kalsium (hipokalsemia), fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase
(hiperfosfatemia), hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk
terapi dan pencegahan komplikasi CKD.
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat
mendeteksi dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri.
Analisa gas darah: asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun)
Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi
untuk mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar
pasien dengan CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna
keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.
Anemia, merupakan temuan klinis penting pada CKD dan dapat menunjukkan
perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau complete
blood count harus dilakukan.
Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron
yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran
kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan
menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang
praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan
praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau
Counahan- Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel dibawah ini:
b) Pemeriksaan Radiologi
Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa, kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.

3.3.9 Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik

Kontrol tekanan darah. Target tekanan darah <130/80 mmHg. Anti hipertensi
yang disarankan ialah penghambat ACE, ARB (angiotensin receptor blocker), dan
CCB (calcium channel blocker) dan CCB (Calcium channel blocker)
Restriksi asupan protein, untuk mencegah malnutrisi.
Kontrol kadar glukosa darah. Target: HbA1C <7% . Hindari penggunaan
metformin
Retriksi cairan
Retriksi asupan garam <5-6 g/hari
Terapi dislipidemia. Target LDL <<100 mg/dl
modifikasi Gaya Hidup

Tatalaksana untuk mengatasi komplikasi PGK


anemia. lakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan anemia defisiensi besi.Terapi
eritropoietin (EPO) apabila Hb 10 g/dl dan Ht 30%. (Target Hb 10-12 g/dl, Ht
>30%)
asidosis metabolik, koreksi apabila konsentrasi HCO3 < 22 mmol/L. Koreksi
dilakukan dengan suplemen bikarbonat oral untuk mempertahankan kadar HCO3
22-24 mmol/L. Bikarbonat oral diberikan 3x2 tablet (325-2000 mg) setiap
harinya. Rumus koreksi bikarbonat = 0,3 x BB (kg) x (HCO3 target HCO3 awal)
hiperfosfatemia, pilihan terapi tergantung pada kadar Ca2+ dan PO43 pasien.
contoh kalsium asetat atau kalsium karbonat 3-6 g/hari
hiperhomosisteinemia. pemberian suplemen oral asam folat 15 mg dan vitamin
B12 500 mcg/hari dilakukan untuk mencegah aterosklerosis
Hemodialisa / Transplantasi ginjal

3.3.9 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :

1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan


masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
reninangiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
Anemia Heart Disease

I. Definisi

Definisi anemia secara umum yaitu bila ada penurunan hemoglobin (Hb), sel

darah merah atau hematokrit (Ht). oleh Organisasi Kesehatan Dunia telah ditetapkan

kriteria anemia yaitu bila kadar Hb kurang dari 13g% pada laki-laki dan kurang dari

12 g% pada wanita.

Sedangkan penyakit jantung anemik adalah keadaan dilatasi jantung dengan atau

tanpa dekompensasi jantung pada penderita dengan anemia yang jelas.

Gagal jantung (HF) adalah penyakit umum yang terkait dengan prognosis buruk.

Anemia terjadi umumnya pada pasien dengan gagal jantung kronis (CHF). Anemia ini

umumnya terkait dengan HF karena depresi sumsum tulang, berkurangnya

ketersediaan besi dan hemodilusi, dan kadang-kadang diperburuk oleh tes darah

terlalu sering. Hemoglobin rendah sangat merugikan fase hemodinamik pasien dengan

curah jantung menurun karena semakin mengurangi pasokan oksigen ke jaringan.

Ketika anemia dikaitkan dengan HF dan gagal ginjal, pasien memasuki lingkaran

setan disebut cardio sindrom anemia ginjal (CRD). Prognosis pasien dengan HF lebih

buruk sebagai hemoglobin yang lebih rendah dan bahkan anemia ringan terkait

dengan <survival 1 tahun. Koreksi agresif dari anemia dengan suntikan subkutan

erythropoeitin dan besi intravena telah ditunjukkan untuk meningkatkan kapasitas

fungsional dan kualitas hidup pasien dengan sindrom anemia ginjal cardio dan

mengurangi kebutuhan untuk rawat inap. Namun, besi intravena dapat merugikan

karena peningkatan pembentukan radikal bebas, oksidatif stres dan risiko infeksi.

Tingkat hemoglobin yang diperlukan untuk dicapai tidak jelas, tetapi tampaknya

mengindikasikan untuk mempertahankannya di atas 12 g%.


II. Epidemiologi

Pasien dengan anemia dan gagal jantung cenderung dialami oleh usia lanjut,

mengkonsumsi obat dan komorbiditas lain (diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis,

hipertensi), lebih lama dan sering dirawat di rumah sakit. Sebagai contoh, dalam

sebuah analisis dari pasien yang lebih tua, lebih dari setengah memiliki tingkat

hemoglobin <12 g / dL. Prevalensi anemia meningkat seiring dengan memberatnya

kejadian gagal jantung.

Perkiraan prevalensi anemia pada pasien dengan CHF dan fraksi ejeksi rendah

berkisar luas dari 4% menjadi 61% (median 18%). Variabilitas dalam estimasi

prevalensi sebagian disebabkan menggunakan definisi yang tidak konsisten anemia

pada laporan individu. WHO (hemoglobin konsentrasi 13,0 g / dL pada pria dan 12,0

g / dL pada wanita) memperhitungkan perbedaan gender dalam distribusi nilai-nilai

hemoglobin, sedangkan National Kidney Foundation mendefinisikan anemia sebagai

hemoglobin 12 g / dL pada pria dan wanita pascamenopause.

III.Etiologi

Penyebab yang mendasari Anemia pada CHF

Anemia terjadi ketika ada kekurangan dalam produksi eritrosit baru terhadap

tingkat pemindahan eritrosit lama. Erythropoietin, sebuah faktor pertumbuhan

glikoprotein yang diproduksi terutama oleh ginjal, adalah komponen kunci dari sistem

homeostasis untuk pengaturan massa sel darah merah dan pengiriman oksigen

jaringan. Erythropoietin mencegah kematian sel terprogram sel eritrosit progenitor

dan dengan demikian merangsang proliferasi, maturasi, dan diferensiasi terminal


mereka. Kelainan yang mengurangi sekresi ginjal atau respon sumsum tulang untuk

erythropoietin dapat mengakibatkan anemia.

Kekurangan zat besi hadir dalam 30% dari pasien anemia dengan CHF, sehingga

sebagian besar anemia diamati adalah normositik, sering diklasifikasikan sebagai

anemia penyakit kronis. karakteristik klinis umumnya terkait dengan peningkatan

risiko anemia pada populasi CHF tercantum dalam Tabel. Meskipun faktor risiko

anemia diidentifikasi dalam studi cross-sectional tidak memberikan bukti hubungan

sebab akibat, pengamatan ini yang menunjukkan bahwa beberapa mekanisme yang

berbeda mungkin sering berkontribusi antara anemia pada pasien dengan CHF.

Penyakit ginjal kronis adalah komorbiditas umum pada pasien dengan CHF dan

merupakan prediktor independen yang kuat dari peningkatan risiko anemia pada

beberapa penelitian. Dalam populasi penyakit ginjal kronis tanpa gagal jantung,

moderat untuk penyakit ginjal berat (didefinisikan sebagai laju filtrasi glomerulus

[GFR] 60 mL / menit) dikaitkan dengan produksi erythropoietin berkurang dan

penurunan progresif dalam nilai-nilai hemoglobin yang berhubungan linier dengan

penurunan GFR . Diperkirakan prevalensi penyakit ginjal kronis setidaknya sedang

(didefinisikan sebagai GFR 60 mL / menit) pada populasi CHF adalah 20% sampai

40%.

Anemia sering dikaitkan dengan indeks massa tubuh menurun dalam laporan

yang diterbitkan, sebuah temuan yang menunjukkan bahwa pasien dengan cachexia

berada pada risiko yang lebih besar untuk anemia. kadar serum sitokin proinflamasi

yang meningkat pada pasien kurus dengan CHF dan dapat berkontribusi pada

pengembangan anemia melalui beberapa mekanisme. sitokin proinflamasi termasuk

tumor necrosis factor-(TNF), interleukin-1, dan interleukin-6 telah terbukti

mengganggu beberapa aspek eritropoiesis, termasuk pengurangan sekresi eritropoietin


ginjal, penekanan aktivitas erythropoietin dalam prekursor sel darah merah di sumsum

tulang, dan pengurangan bioavailabilitas zat besi untuk sintesis hemoglobin. sitokin

proinflamasi juga meningkatkan kadar hati berasal hormon peptida, hepcidin.

Hepcidin berinteraksi dengan ferroportin dan transportasi besi lain protein dalam

enterocyte untuk menghambat penyerapan zat besi usus dan dengan demikian

mengurangi bioavailabilitas besi untuk sintesis hemoglobin.

Anemia sering dikaitkan dengan tanda dan gejala klinis dari kongesti, sebuah

temuan yang menunjukkan bahwa ekspansi volume plasma dapat menyebabkan

anemia pada CHF oleh proses hemodilusi.

IV. Manifestasi klinis

Gejala yang berhubungan dengan anemia bisa terjadi akibat menurunnya

pengiriman oksigen ke jaringan, dan, pada pasien dengan perdarahan akut, berat,

ditambahkan hipovolemia. Gejala anemia seperti dyspnea dan kelelahan mungkin

sulit untuk membedakan dari gejala gagal jantung (HF).

Gejala dari berkurangnya pengiriman oksigen karena anemia umumnya terjadi

hanya pada anemia berat, namun dapat terjadi pada tingkat hemoglobin berkurang

sangat rendah pada pasien dengan HF.


Manifestasi klinis anemia pada jantung terjadi karena 3 faktor, yaitu efek

anoksemia terhadap miokard, adanya penyakit jantung sebelumnya dan keadaan high

output.

Dispnea pada exercise dan palpilatasi merupakan gejala yang paling utama.

Pada kebanyakan penderita, dispnea biasanya hanya timbul bila melakukan exercise.

Tetapi pada anemia yang sangat berat (3 g%) ataupun yang disertai kegagalan jantung,

dispnea bisa terjadi justru dalam keadaan istirahat.

Angina karena iskemia miokard sering timbul pada pasien yang sudah tua.

Kebanyakan pasien anemia yang kemudian menderita angina, memang sebelumnya

juga mengidap stenosis koroner dalam berbagai tingkat tertentu, yang dalam keadaan

tanpa anemia, stenosis koronernya itu sendiri tidak cukup untuk menimbulkan

serangan nyeri jantung iskemik.

Batas kadar Hb yang menimbulkan angina bervariasi bergantung pada derajat

stenosis koroner. Maka setiap terjadi serangan angina wajib ditentukan/diperiksa

kadar Hb, sebab apabila ada anemia sebagai faktor mencetus angina maka harus

segera diobati dan biasanya menjadi reversibel. Angina lebih dipengaruhi kondisi

pembuluh koroner daripada oleh anemia itu sendiri.

Gagal jantung kongestif sering pula terjadi pada anemia berat, terutama pada

orang tua yang disertai dengan penyakit kardiovaskular degeneratif, maka tanpa

anemia tidaklah cukup untuk mencetuskan gejala.

Anemia merupakan aggravating factor untuk timbulnya dekompensasi.

Sekalipun demikian, anemia yang sangat berat tanpa disertai penyakit jantung dapat

menyebabkan gagal jantung (heart failure), biasanya pada Hb 6g% kebawah.


Kegagalan jantung ini disebabkan oleh anoksia miokard sehingga otot jantung tidak

sanggup lagi mengatasi kerja tambahan untuk menaikan curah jantung. Gejala

biasanya berupa gagal jantung kongestif, kongesti pulmoner, jugular venous

pressure yang tinggi, hepatosplenomegali, edema perifer. Bagaimanapun, adema

ringan pada kaki kadang-kadang terjadi juga pada pasien ambulatoir dengan anemia

berat tanpa gagal jantung. Beberapa faktor yang menyokong timbulnya adema ini

termasuk retensi garam, tekanan yang meningkat pada vena kapiler yang bersifat

sementara pada waktu exercise dan kemungkinan permeabilitas kapiler yang

meninggi.

V. Patofisiologi

Penurunan berat pada hemoglobin (untuk 4 sampai 5 g / dL) berhubungan

dengan retensi natrium dan air, pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus, dan bukti aktivasi neurohormonal tanpa adanya penyakit jantung organik.

Ini tanggapan cardiorenal mungkin disebabkan efek anemia berat pada kekentalan

darah, tekanan oksigen di microvasculature, dan ketersediaan oksida nitrat. derajat

lebih rendah dari anemia dapat menyebabkan aktivasi neurohormonal dan

pengembangan penyakit pada pasien dengan CHF. Pada pasien dengan sindrom

thalassemia, gagal jantung adalah komplikasi umum yang mungkin dimediasi oleh

hemodinamik dan efek neurohormonal anemia kronis berat dan kelebihan zat besi

sekunder untuk kebutuhan transfusi kronis. terapi khelasi besi agresif sangat

mengurangi tetapi tidak menghilangkan risiko gagal jantung pada pasien ini.

Kadar hemoglobin dalam darah merupakan faktor penentu penting dari

pengiriman oksigen ke otot rangka selama aktifitas. Pasien dengan CHF kekurangan

cadangan fisiologis normal untuk mengkompensasi penurunan hemoglobin dan dapat


bermanifestasi penurunan kapasitas aerobik dalam menanggapi derajat ringan anemia.

Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan antara berkurangnya hemoglobin dan

gangguan fungsional yang lebih besar seperti yang didefinisikan oleh klasifikasi New

York Heart Association. Kalra dan rekannya melaporkan hubungan linear antara

pengurangan nilai hemoglobin dan konsumsi oksigen pada pasien anemia dengan

CHF dengan hemoglobin 13,0 g / dL.

Massa jantung meningkat sebesar 25% dalam model tikus anemia kronis.

Sebuah hubungan terbalik antara nilai hemoglobin atau nilai hematokrit dan hipertrofi

ventrikel kiri juga telah dijelaskan dalam studi klinis pasien dengan dependen dialisis

dan predialisis penyakit ginjal kronik. Dalam subkelompok pasien dengan CHF

terdaftar dalam Randomized Etanercept North American Strategy to Study

Antagonism of Cytokines (RENAISSANCE) sidang dengan data yang tersedia MRI

jantung, 1-g / dL peningkatan hemoglobin dikaitkan dengan 4,1-g / m2 penurunan

massa ventrikel kiri selama 24 minggu. Pengamatan ini adalah independen dari terapi

obat dan tidak memberikan bukti hubungan sebab akibat antara perubahan kadar

hemoglobin dan perubahan massa ventrikel kiri. Dalam dua uji acak dari pasien

dengan penyakit ginjal kronis, peningkatan hemoglobin dalam menanggapi agen

erythropoietic tidak dikaitkan dengan penurunan hipertrofi ventrikel kiri.


Anemia tergantung hampir secara eksklusif pada perdarahan, dan menginduksi

aktivasi mekanisme untuk mempertahankan perfusi, dan pasokan oksigen ke jaringan,

tetapi juga untuk mepertahankan volume. Berfokus pada pendarahan, organisme set

dalam gerakan respon terpadu dengan tindakan di berbagai daerah, yang meliputi

vasokonstriksi dan trombosis, retensi cairan, stimulasi eritropoiesis, dan perbaikan

pembuluh darah. Sistem yang paling kompeten dalam mendorong vasokonstriksi

berkelanjutan, sistem renin-angiotensin-aldosteron (Raas), juga penting dalam

mekanisme yang mampu mengaktifkan banyak fungsi tersebut, termasuk

pembentukan parut fibrosa vaskular.


FAKTOR PATOGEN BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA DI GAGAL

JANTUNG

Dari beberapa upaya untuk menetapkan klasifikasi patogen dari anemia pada

HF, sebagian besar telah berhubungan dengan pola dijelaskan untuk anemia terkait

dengan penyakit kronis (58%) dan, lebih jarang, kekurangan zat besi (21%),

kekurangan nutrisi (8%) , dan penyebab lainnya, termasuk pendarahan kronis pada

pasien yang menerima terapi antiplatelet atau antikoagulan. Kekurangan zat besi

dilaporkan menjadi penyebab utama anemia di hampir 80% dari kasus .

VI. Diagnosis

1. Anamnesis : didapatkan manifestasi klinik dari keluhan yang dirasakan oleh

pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan anemia, umumnya ditemukan murmur

bergantung pada beratnya anemia. Murmur ini bisa karena anemianya sendiri, atau

karena penyakit organik jantung, atau kombinasi keduanya. Haemic murmur didengar

sebagai soft ejectionmid-systolic murmur, disebabkan kecepatan aliran darah pada

katup jantung meningkat dan terdengar pada dasar atau apeks jantung atau keduanya.

Diastolik murmur karena anemianya sendiri jarang. Tapi dilaporkan diastolik

murmur terdengar di aorta pada pasien anemia walaupun hubungannya dengan

anemia masih belum diketahui. Anemia yang berat bisa menyebabkan pembesaran

jantung, ini biasanya terjadi karena dilatasi miokard. Pada anemia kronik berat yang

sudah berlangsung lama juga terjadi hipertrofi jantung. Haemic murmur lebih sering
ditemukan pada pasien muda dan biasanya menghilang bila anemianya dikoreksi,

disertai hilangnya pembesaran jantung. Murmur yang tidak menghilang atau hanya

berkurang sesudah anemianya dikoreksi, biasanya disebabkan karena ada penyakit

pada jantung itu sendiri. Systolic bruit di atas arteri karotis juga sering terdengar pada

anemia dan biasanya bilateral serta menghilang sesudah anemianya dikoreksi.

3. Pemeriksaan penunjang

- Darah rutin : Tes darah membantu mendeteksi anemia, faktor risiko untuk

penyakit jantung koroner. Selama serangan jantung, sel otot jantung mati dan

melepaskan protein ke dalam aliran darah. Tes darah dapat mengukur jumlah

protein ini dalam aliran darah. Tingginya kadar protein ini adalah tanda

serangan jantung baru-baru ini.

- Elektrokardiogram : EKG dapat menunjukkan tanda-tanda kerusakan jantung

akibat PJK dan tanda-tanda serangan jantung sebelumnya atau saat ini.

Merupakan tes sederhana yang mendeteksi dan mencatat aktivitas listrik

jantung. tes menunjukkan seberapa cepat jantung berdetak dan ritme (stabil

atau tidak teratur). EKG juga mencatat kekuatan dan waktu sinyal listrik

ketika mereka melalui hati.

- Foto toraks : menciptakan gambar-gambar dari organ-organ dan struktur di

dalam dada, seperti jantung, paru-paru, dan pembuluh darah, dapat

mengungkapkan tanda-tanda gagal jantung, serta gangguan paru-paru dan

penyebab lain dari gejala tidak berhubungan dengan penyakit jantung koroner.
- Ekokardiografi : (echo) menggunakan gelombang suara untuk membuat

gambar bergerak dari jantung. Tes memberikan informasi tentang ukuran dan

bentuk jantung dan seberapa baik ruang jantung dan katup bekerja. Echo juga
dapat menunjukkan daerah aliran darah yang buruk ke jantung, daerah otot

jantung yang tidak tertular biasanya, dan cedera sebelumnya pada otot jantung

yang disebabkan oleh aliran darah yang buruk.

VII. Tatalaksana

1. Transfusi

Manfaat klinis transfusi darah pada populasi penyakit kardiovaskular anemia

masih kontroversial. Menurut pedoman dari American College of Physicians dan

American Society of Anestesiologi, "ambang batas transfusi" untuk pasien tanpa

faktor risiko yang diketahui untuk penyakit jantung adalah tingkat hemoglobin di

kisaran 6 sampai 8 g / dL. Transfusi darah dapat dikaitkan dengan efek samping

lainnya termasuk imunosupresi dengan peningkatan risiko infeksi, Sensitisasi

terhadap HLA antigen, dan kelebihan zat besi. Mengingat profil ini risiko dan

manfaat, transfusi dapat dianggap sebagai pengobatan akut untuk anemia berat secara

individual tetapi tidak muncul untuk menjadi strategi terapi yang layak untuk

pengelolaan jangka panjang dari anemia kronis di CHF.

Meskipun tingkat erythropoietin yang sederhana meningkat pada pasien dengan

CHF, kenaikannya kurang dari yang diamati pada populasi anemia lainnya. Dengan

demikian, anemia pada CHF mungkin responsif terhadap suplementasi erythropoietin

eksogen. Mekanisme utama erythropoietin yang menstimulasi produksi sel darah

merah adalah penghambatan apoptosis progenitor eritrosit sumsum tulang.

2. Erythropoiesis stimulating agents


Generasi pertama dari ESA termasuk rekombinan EPO-alpha (Epogen, Amgen,

dan Procrit / Eprex, Johnson & Johnson / Janssen-Cilag) dan EPO-beta

(NeoRecormon, Roche). Permintaan untuk ESA long acting menyebabkan

perkembangan dari darbepoetin (Aranesp, Amgen), turunan hyperglycosylated dengan

3 kali lipat lebih lama, sehingga memungkinkan untuk mengelola mingguan, dua

bulanan, atau bahkan suntikan bulanan; khasiat periodisitas terakhir telah diuji pada

pasien HF.

Persediaan yang ada dapat diberikan secara subkutan atau intravena,;

ketidaknyamanan di tempat suntikan minimal. Hal ini penting untuk diingat

pentingnya menyimpan pada suhu 4oC untuk mempertahankan manfaat yang tinggi.

Durasi efek EPO (sampai 1 minggu) lebih pendek dibandingkan darbepoetin,

yang berlangsung 15 sampai 30 hari, meskipun hasil terapi setara. Indikasi untuk

EPO, awalnya terbatas pada pasien dengan CRD, sedang diperluas untuk semua

kelompok yang mungkin bermanfaat, termasuk pasien dengan sindrom

myelodysplastic atau human immunodeficiency virus, bayi prematur dan pasien

kanker yang menjalani kemoterapi, serta dalam kasus anemia sel. Dalam CRD, dosis

standar untuk terapi EPO awal adalah 400 U / kg bb / minggu dan 15-200 U / kg bb /

minggu, intravena dan subkutan, masing-masing, dibagi menjadi 1 untuk 3 dosis per

minggu.

3. Iron therapy

Beberapa penulis menyatakan bahwa wajib untuk menambahkan terapi besi

intravena untuk pengobatan dengan EPO9, untuk mencegah kemungkinan kekurangan

zat besi sekunder untuk peningkatan hematopoiesis. Efek aditif dari kombinasi besi
dan EPO tidak dapat dicapai dengan besi oral. Namun, ada kurangnya data untuk

memungkinkan kita untuk memprediksi pasien akan gagal untuk menyerap zat besi

oral, dan berharap bahwa pengukuran hepcidin akan membantu menyelesaikan

pertanyaan ini. Persediaan yang ada intravena besi, besi glukonat (Ferrlecit, Rhone-

Poulenc, 62,5 mg zat besi elemental), dan besi sukrosa (venofer, Uriach, 100 mg besi

elemental), memiliki praktis tidak ada efek jaminan jika digunakan dalam dosis wajar,

misalnya, 1 vial seminggu, dalam siklus 6 hingga 9 vial, tergantung pada kadar feritin.

Di sisi lain, data terakhir tertentu menunjukkan bahwa, setidaknya pada

beberapa pasien, kekurangan zat besi adalah faktor patogenik utama dalam anemia.

Dalam kasus ini, pengobatan adjuvant dengan EPO tidak akan diperlukan.

Kemungkinan kekurangan zat besi, absolut atau relatif, bisa menjadi lebih ditandai

karena faktor tambahan lainnya, seperti kerugian sekunder antiplatelet / terapi

antikoagulan dan aspirin diinduksi gastritis. Selain itu, HF kanan dapat mendukung

penyerapan defisiensi nutrisi yang melibatkan unsur-unsur yang diperlukan untuk

pematangan erythroid, seperti vitamin B12 dan asam folat, dan zat besi itu sendiri.

VIII. Komplikasi

1. Endogenous erythropoietin

2. Changes in hemoglobin

3. Polycythemia

4. Low transferrin saturation

IX. Prognosis
Pada pasien dengan HF, anemia merupakan faktor risiko untuk kematian, masuk

rumah sakit, dan tingkat keparahan, dan faktor-faktor risiko lain yang terkait, seperti

diabetes mellitus, usia, merokok, dan ejeksi rendah fraction. Pada HF, ada hubungan

linear antara kematian dan kadar hemoglobin / hematokrit. Sejumlah penulis

melaporkan nilai-nilai tertentu untuk peningkatan risiko kematian atau peristiwa

besar, termasuk masuk rumah sakit, untuk setiap penurunan 1% hematokrit. Lainnya

menegaskan bahwa peningkatan hemoglobin 1 g / dL mengurangi risiko kematian

pada 1 tahun sebesar 40%, dengan penurunan risiko masuk rumah sakit untuk HF dari

21%. Data ini merupakan argumen yang solid untuk pengobatan anemia pada HF.

Gout Atritis
1. DEFINISI
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu
penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah
dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari
nyeri infalamasi satu sendi.

Gout adalah radang sendi yang merupakan akibat dari deposit


kristal asam urat (monosodium urate) di jaringan dan cairan dalam tubuh.
Proses ini disebabkan karena peningkatan produksi atau penurunan
eksresi dari asam urat.3

Gout adalah bentuk inflamasi arthritis kronis, bengkak dan nyeri


yang paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas
pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki,
pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di
jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi
pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke
waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan istilah yang
dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh
meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia).

Gout adalah penyakit yang disebabkan penimbunan kristal


monosodium urat monohidrat di jaringan akibat adanya supersaturasi
asam urat. Gout ditandai dengan peningkatan kadar urat dalam serum,
serangan artritis gout akut, terbentuknya tofus, nefropati gout dan batu
asam urat.

Tofus adalah nodul berbentuk padat yang terdiri dari deposit kristal
asam urat yang keras, tidak nyeri dan terdapat pada sendi atau jaringan.
Tofus merupakan komplikasi kronis dari hiperurisemia akibat kemampuan
eliminasi urat tidak secepat produksinya. Tofus dapat muncul di banyak
tempat, diantaranya kartilago, membrana sinovial, tendon, jaringan lunak
dan lain-lain.

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian atau prevalensi Arthritis Gout jumlahnya bervariasi tiap
negara. Di Amerika Serikat, laki-laki berumur di atas 18 tahun
prevalensinya mencapai 1,5%. Di Selandia Baru didapatkan 1-18 per
1000 penduduk menderita asam urat. Dan untuk di Indonesia sendiri,
asam urat banyak dijumpai pada etnis Minahasa, Toraja dan Batak.
Prevalensi tertinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi yaitu
daerah Manado-Minahasa, ini dikarenakan kebiasaan mereka
mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Angka kejadian Arthritis
Gout di Minahasa sebesar 29,2% pada tahun 2003.4

Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan


perempuan, puncaknya pada dekade ke-5. Di Indonesia, arthritis gout
terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar 32% pada pria berusia kurang
dari 34 tahun. Pada wanita, kadar asam urat umumnya rendah dan
meningkat setelah usia menopause. Prevalensi arthritis gout di
Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45 tahun
sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita 0,05%. Di Minahasa (2003),
proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2% dan pada etnik tertentu di
Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah menderita gout 6,5
tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.

3. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit Gout adalah kelainan metabolik akibat dari
faktor-faktor resiko yaitu intake berlebihan, produksi berlebih dan
ekskresi yang berkurang dari asam urat. Berdasarkan hal tersebut Gout
dibedakan menjadi dua sifat yaitu, Gout Primer dan Gout Sekunder:
1 Gout Primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat
tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat.
2 Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang
berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses
penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu.5

4. PATOGENESIS
Penyakit pirai (gout) atau athritis pirai adalah penyakit yang
disebabkan oleh tumpukkan asam/kristal urat pada jaringan, terutama pada
jaringan sendi. Pirai berhubungan erat dengan gangguan metabolisme
purin yang memicu peningkatan kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia).
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam
urat dalam darah diatas normal. Secara biokimia akan terjadi hipersaturasi
yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang batasnya.
Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar
deviasi hasil laboratorium pada populasi normal. Biasanya kadar asam urat
serum pada penderita gout lebih dari 6.5-7,0 mg/dlKadar normal asam urat
dalam darah adalah 2-5,6 mg/dL untuk perempuan dan 3-7,2 mg/dL untuk
laki-laki.
Manifestasi hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang
menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada
sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopatik.
Penyebab primer berarti tidak penyakit ada atau sebab lain, berbeda
dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang lain,
baik genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia
dengan penyebab primer, ditemukan kelainan molekuler yang tidak jelas
(undefined) meskipun diketahui adanya mekanisme akibat penurunan
eksresi asam urat urin (undersecretion) pada 80-90% kasus dan
peningkatan metabolisme asma urat (overproduction) pada 10-20% kasus.
Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bisa melalui
mekanisme overproduction, seperti gangguan metabolisme purin.
Pada mekanisme undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit
ginjal kronik, dehidrasi, diabetes insipidus, peminum alkohol. Selai itu
juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis
rendah, pirazinamid, etabunol .
Pada kasus hiperurisemia dan gout idiopatik yaitu hiperurisemia yang
tidak ditemukan jelas penyebabnya, kelainan genetik, tidak ada kelainan
fisiologis dan anatomi yang jelas.
Penyebab asam urat darah tinggi (hiperurisemia) terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat berlebihan (gout metabolik):
a. Gout primer metabolik terjadi karena sintesa atau pembentukan
asam urat yang berlebihan.
b. Gout sekunder metabolik terjadi karena pembentukan asam urat
berlebihan karena penyakit. Seperti leukemia, terutama yang di
obati dengan sitostatika, psoriasis, polisitemia vera, dan
mielofibrosis.
2. Pengeluaran asam urat melalui ginjal kurang (gout renal):
a. Gout renal primer terjadi karena gangguan eksresi asam urat di
tubuli distal ginjal yang sehat.
b. Gout renal sekunder disebabkan oleh ginjal yang rusak, misalnya
pada glomerulonefritis kronik, kerusakan ginjal kronis (chronic
renal failure).
3. Perombakan dalam usus yang berkurang. Serangan gout (arthritis
gout akut) secara mendadak, dapat dipicu oleh:
a. Luka ringan
b. Pembedahan
c. Konsumsi alkohol dalam jumlah besar atau makanan yang kaya
akan
protein purin
d. Kelelahan
e. Stres secara emosional
f. Penyakit dan sejumlah obat yang menghambat sekresi asam urat,
seperti salisilat dosis kecil, hidroklorotiazid (diuretik), asam-
asam keton hasil pemecahan lemak sebagai akibat dari terlalu
banyak mengkonsumsi lemak
g. Kedinginan Kurang lebih 20-30% penderita gout terjadi akibat
kelainan sintesa purin dalam jumlah besar yang menyebabkan
kelebihan asam urat dalam darah. Kurang dari 75% pederita gout
terjadi akibat kelebihan produksi asam urat, tetapi
pengeluarannya tidak sempurna (Bennion, 1979).

5. FAKTOR RESIKO

Kemungkinan untuk terserang gout lebih tinggi bila kadar asam


urat dalam tubuh tinggi. Faktor yang dapat meningkatkan kadar asam urat
dalam tubuh antara lain :

Suku bangsa / RAS


Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku Maori di
Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat
tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi
pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-
Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol.

Usia dan gender

Gout cenderung lebih sering pada pria dibandingkan wanita


dikarenakan wanita memiliki kadar asam urat lebih rendah dari
pria. Setelah menopause kadar asam urat pada wanita mendekati
pria. Pria dapat terserang gout pada usia yang lebih muda biasanya
usia antara 40 sampai 50 tahun, sedangkan wanita cennderung
mulai muncul tanda-tanda gout setelah menopause.
Gaya hidup
Konsumsi minuman alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan
resiko gout. Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena
alkohol meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah
meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme
normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh
ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum. Selain
itu konsumsi ikan laut juga dapat meningkatkan resiko gout. Ikan
laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi.
Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat.

Kondisi medis
Beberapa penyakit dan kondisi dapat meningkatkan resiko
terserang gout. Misal seperti hipertensi tidak terkontrol, diabetes,
hiperlipidemia, dan arteriosklerosis.
Obat-obatan
Penggunaan diuretik thiazide biasa digunakan untuk mengobati
hipertensi dan aspirin dosis kecil dapat meningkatkan kadar asam
urat. Selain itu, penggunaan obat imunosupresan yang biasa di
resepkan pada pasien post trasnplantasi juga dapat meningkatkan
kadar asam urat.

Riwayat gout pada keluarga


Riwayat gout dalam keluarga meningkatkan kemungkinan
terjadinya gout pada seseorang.

6. GEJALA KLINIS

Tanda dan gejala dari gout hampir selalu akut, muncul tiba-tiba,
biasanya saat malam hari, dan tanpa gejala-gejala awal. Tanda dan gejala
gout secara umum antara lain :

Nyeri sendi terus-menerus.


Gout biasanya menyerang sendi ibu jari kaki, namun bisa juga
menyerang sendi kaki, pergelangan, lutut, dan tangan.
Tidak nyaman. Setelah nyeri sendi dirasakan sudah berkurang,
pergerakan sendi yang terserang akan menjadi terganggu
selama berminggu-minggu. Serangan gout selanjutnya akan
berlangsung lebih lama dan menyerang lebih banyak sendi.
Inflamasi dan kemerahan. Sendi yang terkena akan tampak
membengkak, kemerahan, dan nyeri bila ditekan.8

7. FASE GOUT MENURUT PERJALANAN PENYAKITNYA


Gout dapat dibedakan menjadi 4 fase menurut perjalanan penyakitnya:

a. Asimptomatik
Fase dimana penderita tidak memiliki keluhan namun terdapat
hiperuricemia dan deposit kristal pada jaringan. Penimbunan
kristal yang terjadi pada fase ini sudah menimbulkan kerusakan.

b. Akut
Fase akut dimulai saat kristal urat pada sendi menyebabkan
peradangan akut. Hal ini ditandai dengan nyeri, kemerahan,
bengkak, dan teraba hangat yang berlangsung bisa sampai
seminggu. Nyeri yang dirasakan mulai dari ringan sampai berat.
Biasanya serangan pertama dirasakan pada ekstremitas bawah
50% menyerang sendi metatarsofalangeal ibu jari kaki. Kadar
asam urat mungkin normal pada setengah penderita gout akut.
Gout mungkin menyerang sendi yang berbeda.

c. Interkritikal
Fase interkritikal muncul ketika fase akut sudah mulai
menghilang, saat ini penderita memasuki fase tenang. Walaupun
sudah memasuki masa tenang namun proses penumpukan kristal
urat di jaringan tetap berlanjut. Lamanya fase interkritikal
tergantung dari progresifitas penyakit.

d. Kronik
Fase gout kronik ditandai dengan artritis kronik dengan nyeri pada
sendi. Penderita gout juga mungkin memiliki tophi (benjolan yang
terbentuk dari deposit kristal urat pada jaringan) biasanya pada
area yang lebih dingin misal siku, telinga, dan sendi distal jari.9
Tofus terbentuk bila kadar asam urat > 9 mg%, terdiri dari
monosodium urat yang dikelilingi oleh sel inflamasi.
Lokasi tofus : tulang rawan, tendon, sinovial, lemak, katup
mitral, miokard, mata dan laring.
Tofus subkutan bisa ditemukan pada jari, pergelangan tangan,
telinga, prepatella dan olekranon.10

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

a. Darah
Pemeriksaan darah berguna untuk mengetahui kadar asam urat dalam
darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah seseorang beresiko
terserang gout atau tidak. Selain itu, melalui pemeriksaan ini juga dapat
membantu menentukan fase perjalanan penyakit penderita gout.

b. Cairan sendi
Pada pemeriksaan ini, sampel diambil dari cairan sendi sinovial
penderita. Dari pemeriksaan ini dapat dilihat apakah terdapat kristal
asam urat dalam cairan sendi.

RADIOLOGI

a. Foto Polos
Foto polos dapat digunakan untuk mengevaluasi gout, namun, temuan
umumnya baru muncul setelah minimal 1 tahun penyakit yang tidak
terkontrol. Bone scanning juga dapat digunakan untuk memeriksa gout,
temuan kunci pada scan tulang adalah konsentrasi radionuklida
meningkat di lokasi yang terkena dampak.11

Pada fase awal temuan yang khas pada gout


adalah asimetris pembengkakan di sekitar sendi
yang terkena dan edema jaringan lunak sekitar
sendi.

Pada pasien yang memiliki beberapa episode


yang menyebabkan arthritis gout pada sendi yang
sama, daerah berawan dari opacity meningkat dapat
dilihat pada plain foto.

Pada tahap berikutnya, perubahan tulang yang paling awal


muncul. Perubahan tulang awalnya muncul pada daerah sendi pertama
metatarsophalangeal (MTP).

Perubahan ini awal umumnya terlihat di luar sendi atau di


daerah juxta-artikularis. Temuan ini antara-fase sering digambarkan
sebagai lesi menekan-out, yang dapat berkembang menjadi sklerotik
karena peningkatan ukuran.

Pada gout kronis, temuan tanda yang tophi interoseus banyak.

Perubahan lain terlihat pada radiografi polos-film


pada penyakit stadium akhir adalah ruang yang
menyempit serta deposit kalsifikasi pada jaringan lunak.

10. DIAGNOSIS BANDING

a. Osteoarthritis (OA)

Merupakan penyaki sendi degeneratif yang berkaitan dengan


kerusakan kartilago sendi.

Paling sering terkena pada panggul, lutut dan pergelangan kaki.

Keluhan nyeri sendi merupakan keluhan utama terutama pada waktu


melakukan aktivitas jika terdapat pembebanan pada sendi yang
terkena.

Terjadi juga hambatan gerakan sendi sehingga bias menyebabkan


kaku sendi.

Prevalensi cukup tinggi pada golongan lanjut usia, lebih banyak pada
wanita.

Terdapat tanda-tanda peradangan seperti nyeri tekan, rasa hangat


yang merata, dan warna kemerahan tetapi tak menonjol dan hanya
timbul belakangan.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan penurunan viskositas,


pleositas ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel radang dan
peningkatan protein.
b. Arthritis Reumatoid (AR)

Arthritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh


inflamasi sistemik kronik dan progesif pada sendi yang menjadi
target utama.

Manifestasi AR adalah poliartritits simetrik yang terutama mengenai


sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki.

Artritis sering kali diikuti oleh kekauan sendi pada pagi hari yang
berlangsung selama lebih satu jam atau lebih.

Pada AR kronik hampir tidak dijumpai kemerahan dan panas.

Penyebab : sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial


yang membungkus sendi.

Paling sering terkena pada metacarpophalanges (MCP),


metatarsophalanges (MTP) dan vertebra servikal.

Pada pemeriksaan darah tepi. ditemukan leukositosis trombositosis


dan hematokrit sedikit menurun. Pada pemeriksaan cairan sendi,
tidak ditemukan Kristal, kultur negative dan kadar glukosa rendah.

11. DIAGNOSIS 13

Gold standard dalam menegakkan gout arthritis adalah


ditemukannya kristal urat MSU (Monosodium Urat) di cairan sendi atau
tofus. Untuk memudahkan diagnosis gout arthritis akut, dapat digunakan
kriteria dari ACR (American College Of Rheumatology) sebagai berikut :

i. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau


ii. Adanya tofus yang berisi kristal urat, atau
iii. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan
radiologis sebagai berikut :
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu 1 hari
3. Arthritis monoartikuler
4. Kemerahan pada sendi
5. Bengkak dan nyeri pada MTP-1
6. Arthritis unilateral yang melibatkan MTP-1
7. Arthritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Hiperurisemia
9. Kecurigaan terhadap adanya tofus
10. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
12. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi

Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun
kadar asam urat normal.

12. PENATALAKSANAAN 17,18,19

American College of Rheumatology (ACR) mengeluarkan panduan


manajemen gout. Panduan secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yaitu
pada bagian pertama berupa terapi nonfarmakologi dan farmakologi
sedangkan bagian kedua berupa terapi dan profilaksis dengan antiinflamasi
untuk kasus arthritis gout akut. Berikut ringkasannya:

Evaluasi klinis

Evaluasi pasien gout meliputi riwayat penyakit secara menyeluruh,


pemeriksaan fisik, penilaian frekuensi dan beratnya serangan dan melihat
berbagai tanda seperti timbulnya tophi dan sinovitis.

Manajemen nonfarmakologi pada gout yang stabil

Tujuannya adalah untuk mengurangi serangan, menurunkan kadar asam urat


darah dan memperbaiki kesehatan pasien sambil mencegah perburukan
penyakit. Rekomendasi pola diet dibagi menjadi 3 kelompok:

Makanan yang harus dihindari: jeroan, makanan/minuman dengan


kandungan fruktosa tinggi (misalnya sirup jagung), minuman beralkohol.
Makanan yang harus dibatasi: makan daging atau seafood dalam porsi
besar, gula, jus buah, garam.

Makanan yang disarankan: susu rendah lemak atau tanpa lemak.


Mengurangi berat badan bagi pasien dengan obesitas, stop merokok dan
berolahraga merupakan pola hidup yang disarankan bagi pasien gout.

Terapi Farmakologi

Obat penurun asam urat (OPA) harus dipertimbangkan pada pasien dengan 1
atau lebih tophi, sama dengan atau lebih dari 2 kali serangan pertahun,
penyakit ginjal kronis/PGK (stadium 2 atau lebih) atau pasien dengan
riwayat kencing batu (urolithiasis). Penggunaan OPA direkomendasikan
dengan memberikan allopurinol atau febuxostat; sedangkan probenecid
direkomendasikan sebagai terapi alternatif lini pertama jika allopurinol atau
febuxostat dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi pasien. OPA dapat
dimulai pada saat serangan gout akut, kadar asam urat darah dimonitor
setiap 2-5 minggu selama titrasi OPA dan setiap 6 bulan setelah target
laboratorium (<6 mg/dL) telah tercapai.

Dosis Allopurinol

Dosis awal jangan melebihi 100 mg/hari dan pasien dengan PGK stadium 4
atau lebih harus diberikan dosis awal 50 mg/hari. Dosis selanjutnya
dititrasi/disesuaikan setiap 2 - 5 minggu untuk mencapai target yang
diinginkan dan dapat ditingkatkan hingga lebih dari 300 mg/hari asalkan
pasien diedukasi dan dimonitor efek samping yang mungkin timbul.

Terapi dengan urikosurik

Direkomendasikan penggunaan probenecid, dengan syarat pasien tidak


memiliki riwayat urolitiasis.

Jika simtom dan asam urat tetap tinggi

Selain allopurinol atau febuxostat maka dapat diberikan tambahan urikosurik


seperti probenecid, kedua obat selanjutnya dapat dititrasi hingga dosis
maksimal. Terapi pegoglitase mungkin dapat dimulai jika kadar asam urat
serum tetap tinggi, pada pasien tanpa tophi tetapi dengan serangan > 7 kali
setahun atau pasien dengan tophi dengan serangan 2 kali atau lebih setahun
atau pada pasien dengan chronic tophaceous gouty arthritis (CTGA).

Penanganan serangan akut

Serangan akut selayaknya diterapi secara farmakologi dalam waktu 24 jam


dari onset serangan dan OPA tetap terus diberikan tanpa perlu dihentikan.
Untuk kasus ringan hingga menengah (dengan nilai visual analogue scale <
= 6 dari skala 0-10) direkomendasikan terapi tunggal dengan menggunakan
antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid sistemik atau colchine
oral. Untuk kasus yang lebih berat yang dikarakteristikkan dengan adanya
nyeri hebat dan mengenai banyak sendi maka terapi kombinasi dapat
diberikan (colchicine dan OAINS, kortikosteroid oral dan colchicine atau
steroid intraartikuler).

Pemilihan OAINS

Untuk serangan akut FDA merekomendasikan pemberian OAINS naproxen,


indomethacin dan sulindac, akan tetapi OAINS jenis lain juga dapat sama
efektifnya. Untuk pasien yang tidak mentolerir dengan OAINS konvensional
dapat diberikan celecoxib dengan dosis awal 800 mg, diikuti dosis 400 mg
pada hari pertama dan 400 mg setiap 2 hari sekali selama 1 minggu.

Colchicine
Colchine direkomendasikan sebagai pilihan terapi gout akut jika serangan
dimulai dalam waktu 36 jam terakhir. Dosis rekomendasi terdiri atas dosis
muatan sebesar 1,2 mg diikuti dengan 0,6 mg 1 jam kemudian. Dua belas
jam kemudian colchicine dapat diberikan dengan dosis 0,6 mg satu hingga
dua kali sehari hingga serangan gout hilang. Di negara dengan ketersediaan
tablet colchine 1 atau 0,5 mg maka colchine dapat diberikan sebagai dosis
muatan sebesar 1 mg yang diikuti dengan0,5 mg 1 jam kemudian. Dua belas
jam kemudian profilaksis colchicine dengan menggunakan dosis 0,5 mg
hingga 3 kali sehari sampai serangan gout hilang.

Memulai terapi steroid

Untuk serangan gout yang melibatkan 1-2 sendi, kortikosteroid dapat


diberikan secara oral. Penggunaan kortikosteroid intraartikuler
direkomendasikan jika 1-2 sendi besar yang terkena. Pertimbangan
penggunaan kortikosteroid intraartikuler berdasarkan pertimbangan besaran
sendi yang terkena. Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat dikombinasi
dengan OAINS, colchicine atau kortikosteroid oral. Dosis rekomendasi
untuk kortikosteroid oral termasuk prednisone dan prednisolone adalah 0,5
mg/kg/hari untuk 5-10 hari atau 2-5 hari dengan dosis tersebut diikuti 7-10
hari penurunan dosis secara bertahap sebelum dihentikan. Alternatif lain
adalah dengan suntikan intramuskuler tunggal dengan triamcinolone 60 mg
yang dapat dilanjutkan dengan pemberian prednisolone atau prednisone oral.
Injeksi triamcolone acetonide bermanfaat pada pasien yang sulit menelan
atau memiliki kepatuhan yang buruk dengan pemberian sediaan oral.

Respons tidak adekuat dengan terapi awal

Jika pasien dengan serangan gout akut tidak mengalami perbaikan nyeri
sekurangnya 20 % dalam waktu 24 jam atau sekurangnya 50 % setelah lebih
dari 24 jam dengan terapi farmakologi, dosis alternatif haruslah
dipertimbangkan. Jika diagnosis gout telah dipastikan, maka terapi harus
diganti atau ditambahkan obat kedua.

Profilaksis dengan OAINS

Colchicine dapat dimulai dengan dosis 0,5-0,6 mg 1-2 kali sehari, jika
pasien tidak dapat mentoleransi dengan pemberian colchicine maka
prednisone atau prednisolone dosis rendah dapat diberikan dengan dosis 10
mg/ hari. Terapi profilaksis dapat dilanjutkan hingga 6 bulan. Untuk pasien
tanpa tophi, terapi profilkasis dapat dihentikan pada bulan ke 3 setelah target
asam urat darah tercapai. Untuk pasien dengan tophi dan target asam urat
darah telah tercapai, terapi profilaksis dapat dihentikan setelah 6 bulan.
(DHS)

13. PENCEGAHAN 15

Selama periode bebas gejala, diet sebagai berikut dapat membantu


mengurangi serangan gout mendatang:
Meningkatkan asupan air. Minum setidaknya 8 16 gelas
(sekitar 2 4 liter) air sehari. Kurangi minum-minuman yang
manis terutama yang tinggi pemanis dengan fruktosa.
Kurangi atau hindari konsumsi alkohol. Beberapa penelitian
membuktian bahwa beer dapat meningkatkan resiko timbulnya
gout terutama pada pria.
Diet seimbang. Perbanyak mengkonsumsi buah, sayur, whole
grain, dan produk rendah lemak.
Mengkonsumsi protein yang rendah lemak. Protein rendah
lemak akan memberikan efek perlindungan terhadap serangan
gout.
Batasi konsumsi daging, ikan, dan unggas. Jika dalam jumlah
kecil masih diperbolehkan, namun perhatikan jenis dan
jumlahnya.
Menjaga berat badan ideal. Menurunkan berat badan dapat
menurunkan kadar asam urat dalam tubuh. Namun hindari
menurunkan berat badan dengan drastis karena dapat
meningkatkan kadar asam urat untuk sementara waktu.
14. KOMPLIKASI

Penderita gout dapat mengalami kondisi yang lebih parah, seperti:

1. Gout berulang : beberapa orang mungkin tidak akan mengalami


kekambuhan, namun sebagian ada yang mengalami kekambuhan
berkali-kali dalam setahun. Mengkonsumsi obat dapat menurunkan
kemungkinan kekambuhan.
2. Gout tahap lanjut : gout yang tidak teratasi dapat menyebabkan
deposit kristal urat di bawah kulit dan membentuk suatu nodul
yang disebut tophi. Tophi dapat timbul dibeberapa area seperti jari-
jari, tangan, kaki, siku atau tendon achiles sepanjang pergelangan
kaki bagian belakang. Biasanya tidak nyeri, namun dapat menjadi
bengkak dan nyeri saat serangan gout.
3. Nefrolitiasis urat : insiden terbentuknya kembali batu. Insiden
meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine
menurun, riwayat keluarga atau diri sendiri pernah memiliki batu
asam urat.16
4. Gagal ginjal akut : dapat terjadi setelah pelepasan massif asam
urat yang berlansung pada pasien yang telah mengalami
pengobatan karena kelainan mielo- atau limfoproliferatif.

CKD

1.1. DEFINISI

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronis didefinisikan


berdasarkan adanya kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG < 60 ml /
menit per 1.73 m2) selama 3 bulan atau lebih, terlepas dari penyebab, dan
diklasifikasikan ke dalam lima tahap berdasarkan tingkat LFG. 1 Krauses
menyebutkan gagal ginjal kronik merupakan suatu sindrom yang progresif dan tidak
dapat kembali lagi menahun dari rusaknya fungsi ekskresi, endokrin dan
metabolisme dari ginjal akibat adanya kerusakan dari ginjal itu sendiri.2

1.2. PREVALENSI

Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)


menunjukkan peningkatan prevalensi CKD derajat 3 ke atas sampai dengan 7,7%
pada tahun 2004.3 Prevalensi CKD pada usia dewasa lebih dari 30 tahun adalah 7,2%.
Prevalensi CKD pada orang berusia 64 tahun atau lebih meningkat dari 23,4%
menjadi 35,8%.4 Prevalensi CKD pada usia dewasa di Indonesia menurut survei
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) adalah sebesar 12,5% atau 18 juta.5
1.3. KLASIFIKASI

Pedoman Kidney Disease Outcomes Quality Initative (KDOQI)


mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal durasi 3 bulan atau lebih, akibat
kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa LFG menurun. Tanda patologis,
kelainan pada darah atau urine, atau radiologi, dapat mengungkapkan disfungsi ginjal.
CKD juga dapat diidentifikasikan sebagai LFG yang masih rendah < 60
ml/min/1.73m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.6

Menurut KDOQI dari data NHANES tahap dari CKD dibagi menjadi lima.

Tabel 1. Tahapan dari CKD.7

DERAJAT DESKRIPSI LFG(ml/mnt per 1,73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan 90
normal atau peningkatan
LFG
2 Kerusakan ginjal dengan 60 89
penurunan LFG ringan
Penurunan LFG sedang
3 30 59
Penurunan LFG berat
4 15 - 29
Gagal ginjal
5 < 15 atau dialisis

Definisi dan klasifikasi penyakit ginjal kronis diusulkan oleh National Kidney
Foundation Kidney Disease Quality Outcomes Initiative (NKF-KDQOI) pada tahun
2002 dan disahkan oleh Kidney Disease:Improving Global Outcomes (KDIGO) pada
tahun 2004. KDIGO dimulai pada bulan Oktober 2009 untuk menentukan hubungan
estimasi LFG dan albuminuria dengan angka mortalitas dan kerusakan ginjal.8

1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyebab CKD diberbagai Negara hampir sama, akan tetapi akan berbeda
dalam perbandingan persentasenya. CKD pada umumnya dapat disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:41
Tabel 2 Penyebab umum CKD
- Diabetik nefropati
- Hipertensif nefrosklerosisa
- Glomerulonefritis
- Renovakular disesase (iskemik nefropati)
- Penyakit polikistik ginjal
- Refluk nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
- Intersisial nefritis, termasuk nefropati analgesic
- Nefropati uang berhubungan dengan HIV

- Transplant allograft failure (chronic rejection)

Sumber: Harrisons Manual of Medicine 17th Edition, International Edition

Klasifikasi dari jenis penyakit ginjal didasarkan pada patologi dan etiologinya.
Penyakit ginjal diabetik sebenarnya merupakan penyakit glomerular, tetapi
berdasarkan NKF K/DOQI diklasifikasinya secara tersendiri oleh karena diabetes
mellitus (DM) merupakan penyebab terbanyak GGT di Amerika Srikat. Sejumlah
penyakit, termasuk penyakit glomerular lainnya, vascular, tubulointerstisiel serta
penyakit kistik dikelompokkan dalam penyakit ginjal non diabetik. Kelompok lainnya
adalah penyakit ginjal transplantasi, dimana progresi penyakit dipengaruhi oleh faktor
imunologi maupun non imunologi.40

Table 3 Klasifikasi CKD atas dasar Diagnosis Etiologis39,40,41


Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal - Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia),
non diabetes
- Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati),
- Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat),
- Penyakt kistik (ginjal polikstik)
Penyakit ginjal - Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia),
non diabetes
- Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati),
- Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat),
- Penyakt kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada - Rejeksi kronik,
transplantasi - Keracunan obat (siklosporin/takrolimus),
- Penyakit recurrent (glomerular),
- Transplant glomerulopathy

CKD bisa menjadi manifestasi dari penyakit kronis lain yang menyebabkan
kerusakan organ ginjal, seperti diabetes Mellitus atau hipertensi. Penyakit ginjal
kronis dapat menjadi penyakit intrinsik ginjal, seperti penyakit ginjal polikistik.
Diabetes adalah penyebab yang paling menonjol dari penyakit ginjal kronis sebanyak
33% dari kasus LFG. Sebanyak 20% sampai 40% dari penderita diabetes akan
berkembang menjadi nefropati diabetik. Peningkatan kejadian DM menjadi salah satu
penyebab peningkatan kejadian CKD. Tanda awal penyakit ginjal diabetes adalah
mikroalbuminuria diikuti dengan meningkatnya proteinuria karena membran filtrasi
glomerulus rusak. Perkembangan selanjutnya terjadi hipertensi, diikuti dengan
penurunan LFG. Kedua tipe diabetes yaitu DM tipe 1 dan 2 semua dapat
menyebabkan CKD, jumlah kasus DM tipe 2 lebih banyak, paling sering dikaitkan
dengan CKD.

Penyakit pembuluh darah (terutama hipertensi) merupakan penyebab umum


kedua penyakit ginjal kronis (menyebabkan sebanyak 21% kasus penyakit ginjal
kronis). Hipertensi nephrosclerosis dikaitkan dengan tanda-tanda kerusakan organ
karena hipertensi jangka panjang yang kurang terkontrol. 9 Data oleh Indonesian
Renal Registry (IRB) pada tahun 2007- 2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonephritis (25%), DM (23%\, hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).10 Faktor risiko utama perkembangan CKD adalah: diabetes mellitus,
hipertensi arteri atau penyakit kardiovaskular, merokok, usia lebih dari 50 tahun,
riwayat keluarga penyakit ginjal, infeksi berulang saluran kemih, paparan kronis non
steroid anti inflammatory drugs (NSAID), antibiotik aminoglikosida seperti
gentamisin dan kontras seperti iodium.44

1.5. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi CKD melibatkan mekanisme awal yang spesifik, yang terkait


dengan penyebab yang mendasari, selanjutnya proses berjalan secara kronik progresif
yang dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan masa ginjal. Sejalan
dengan menurunnya masa ginjal, sebagai mekanisme kompensasi maka nefron yang
masih baik akan mengalami hiperfiltrasi oleh karena peningkatan tekanan dan aliran
kapiler glomerulus dan selanjutnya terjadi hipertrofi. Hipertrofi struktural dan
fungsional dari sisa nefron yang masih baik tersebut terjadi akibat pengaruh molekul-
molekul vasoaktif, sitokin serta growth factor, hingga pada akhirnya akan terjadi
proses skrerosis. Aktifitas aksis Renin-Angiotensin internal juga berperan dalam
terjadinya hiperfiltrasi-hipertrofi dan sklerosis.39,40

Gambar 1 Chronic
Renal Failure44

Gambar 2
Gangguan
keseimbangan garam
dan air pada gagal
ginjal44

Gambar 3 Efek
dari gagal ginjal
pada
keseimbangan mineral44

Terdapat 3 patogenesis yang terjadi pada CKD diantaranya adalah:43


a) Toksik Azotemia (metabolit toksik)
Toksik Azotemia adalah substansi normal, pada penurunan LFG menyebabkan
retensi zat (Ureum, Metilguanidin, GSA). Retensi zat-zat tersebut menyebabkan
beberapa keluhan diantaranya : haus, poliuria, mual, anoreksia, stomatitis, kolitis
ulserasi mukosa duodenum dan gaster, perdarahan, kejang-kejang otot, parese
saraf motorik, hipertrigliseridemia.43

b) Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik

c) Kelainan metabolism43
1) Metabolisme Karbohidrat
Terjadi pseudo diabetes melitus, menurut beberapa penelitian gangguan
metabolisme ini terjadi akibat adanya antagonis insulin perifer, kelainan
insulin basal, dan sekresi insulin yang lambat terhadap beban glukosa.
2) Metabolisme Lemak
Hiprertrigliserida terjadi diduga akibat dari kenaikan sintesis Triglyserida-rich
lipoprotein dalam hepar.
3) Metabolisme Protein
Pada orang normal pembatasan jumlah protein dalam waktu lama akan
menyebabkan keseimbangan negatif dari nitrogen. Sebaliknya pada pasien
CKD pembatasan jumlah protein tidak akan menyebabkan keseimbangan
negatif dari nitrogen.

4) Metabolisme Asam urat


Hiperurikemia pada pasien CKD tidak mempunyai hubungan dengan derajat
penurunan faal ginjal, namun digunakan sebagai indikator penentuan
diagnosis dini dari CKD.
5) Metabolisme Elektrolit
- Metabolisme Na
Peningkatan ekskresi Na yang diduga akibat adanya atrial natriuretic
factor (ANF) yang menghambat reabsorbsi ion Na pada tubulus ginjal.
Normalnya Na diekskresikan sebesar 20-40 mEq/hari, pada keadaan salt-
wasting Na diekskresikan mencapai 100-200 mEq/hari. Mekanisme salt-
wasting, memiliki hubungan dengan beberapa faktor diantaranya:
1. Beban urea
2. Redistribusi aliran darah intrarenal
3. Hormon/faktor natriuresis
4. Muntah-muntah
Bila kehilangan Na disertai penurunan volume cairan ekstraselular
(VCES), akan diikuti dengan penurunan filtrasi glomerulus, sehingga faal
ginjal akan lebih buruk lagi. Keadaan ini terjadi pada acute on chronic
renal failure. Bila kehilangan Na ini tidak disertai dengan kehilangan air
(VCES normal), makan akan terjadi kondisi hiponatremia. Pada sebagian
pasien CKD, terutama yang berhubungan dengan glomerulopati sering
ekskresi Na menurun, terjadi retensi Na dan air yang akan menyebakan
terjadinya odema. Jadi memahami metabolisme Na pada pasien CKD
sangat penting terutama untuk pemberian garam Na dalam menu diet.
- Metabolism air
Gangguan kemampuan filtrasi pada pasien CKD tidak selalu berhubungan
dengan penyakit dari collecting duct atau loop of Henle, lebih sering akibat
beban urea dari nefron-nefron yang masih utuh. Pada beberapa pasien CKD
dengan jumlah nefron makin berkurang, fleksibilitas untuk ekskresi air juga
akan berkurang sehingga dengan mudah terjadi kelebihan cairan (water
overload). Keadaan water overload baik renal maupun ekstra renal dapat
menyebabkan hiponatremia. Defisit air disertai natrium (dehidrasi) lebih
sering menyebabkan penurunan faal ginjal yang terbalikan pada pasien-
pasien gagal ginjal sehingga terjadi oliguria, keadaan demikian dinamakan
acute on chronic on failure. Penurunan kemampuan untuk keseimbangan
cairan ini akan mengakibatkan sering kencing pada malam hari (nokturia).
Bila nokturia ini tidak diimbangi dengan pemberian air dapat menyebabkan
dehidrasi pada malam hari. Keadaan dehidrasi ini akan memperburuk LFG.
Keluhan mual dan muntah makin berat pada pagi hari seperti muntah
sedang hamil muda (morning sickness).
- Metabolism kalsium
Pada pasien CKD sering ditemukan hipokalsemia, disebabkan penurunan
absorbsi Ca melalui usus dan gangguan mobilisasi Ca serta hiperfosfatemia.
- Kesimbangan asam basa
Pada CKD terjadi gangguan ekskresi ion H+ sehingga dapat menyebabkan
asidosis sistemik dengan penurunan pH plasma dan darah. Patogenesis
asidosis metabolic pada CKD:
a. Penurunan ekskresi ammonia karena kehilangan sejumlah nefron.
b. Penurunan ekskresi titrable acid terutama fosfat, karena asupan dan
absorbsi melalui usus berkurang.
c. Kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urine (bicarbonate wasting).
- Fosfat
Hiperfosfatemia yang terjadi pada CKD memegang peranan penting pada
hipokalsemia dan hiperparatiroidisme, dan akhirnya dapat menyebabkan
penyebaran klasifikasi pada organ-organ lain (metastatic calcification).

- Magnesium
Kenaikan serum Magnesium sangat jarang menimbulkan keluhan akan
gejala, kecuali magnesium yang mengandung laksantif dan antasida akan
menekan SSP.

1.6. MANIFESTASI KLINIS

Pada gagal ginjal kronik timbul gangguan keseimbangan homeostatik pada


seluruh tubuh sehingga akan berpengaruh pada sistem lain dan menimbulkan kelainan
pada berbagai sistem/organ tubuh.
Manifestasi klinik CKD pada beberapa sistem/organ tubuh antara lain:
1. Gangguan pada Sistem Gastrointestinal
- Anoreksia, nausea, dan vomitus akibat gangguan metabolisme protein
dalam usus, terbentuknya zat toksik (amonia dan metil guanidin) akibat
metabolisme bakteri usus, serta sembabnya mukosa usus.
- Foetor uremik, akibat ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia.
- Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui
2. Kulit
- Pucat (akibat anemia) dan kekuning-kuningan (akibat penimbunan
urokrom)
- Gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
- Bekas garukan karena gatal.
3. Sistem Hematologi
- Anemia normositik normokromik yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritropoetin sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang
menurun, hemolisis akibat uremia toksik, defisiensi asam folat dan besi
akibat kurangnya asupan makan, perdarahan gastrointestinal akibat
disfungsi trombosit, fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme
sekunder, dan kehilangan darah secara berulang selama proses dialisis.
- Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia yang mengakibatkan
perdarahan serta masa perdarahan yang memanjang.
- Gangguan fungsi lekosit sehingga menurunkan imunitas dan mudah timbul
infeksi.
4. Sistem Saraf dan Otot

- Pegal pada tungkai bawah sehingga kaki selalu digerakkan (Restless leg
sydrome)
- Rasa kesemutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki (burning feet
syndrome)
- Ensefalopati metabolik: lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi,
kejang.
- Miopati: kelemahan dan hipotropi otot.
5. Sistem Kardiovaskular
- Hipertensi (akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron)
- Nyeri dada dan sesak napas (akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi)
- Gangguan irama jantung (akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit
dan kalsifikasi metastatik)
- Edema (akibat penimbunan cairan)
6. Sistem Endokrin

- Gangguan seksual. Libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki dan
pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan ovulasi sampai amenorea.
- Gangguan toleransi glukosa
- Gangguan metabolisme lemak
- Gangguan metabolime vitamin D
7. Gangguan sistem lain
- Tulang: osteodistrofi renal.
- Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik (hasil metabolisme)
- Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.16,17,22

1.7. DIAGNOSIS
Diagnosis CKD ditegakkan berdasarkan kriteria dari Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (KDOQI). yaitu jika memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
1. Kerusakan ginjal berlangsung selama tiga bulan yaitu adanya gangguan fungsi
atau struktur ginjal, dengan atau tanpa penurunan LFG yang manifestasi salah
satu di bawah ini:
a. Ada kelainan patologis, atau
b. Ada petanda kerusakan ginjal, mencakup kelainan komposisi darah
atau urin atau kelainan pada tes-tes imaging.
2. LFG < 60 ml/min/1,73 m2 selama tiga bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.14

Gambaran klinis pasien CKD meliputi:


a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, ISK, BSK,
hipertensi, hiperurikemi, SLE dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati
perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara
lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit (K,Na,Cl).

1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.8.1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal
kronik, menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal ginjal
kronik, menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
Pemeriksaan yang dilakukan pada gagal ginjal kronik adalah kimia darah,
hematologi, dan urinalisis.16

1.
Pemeriksaan kimia darah

Pemeriksaan fungsi ginjal untuk menentukan jumlah cairan yang


mengalir melalui semua glomerulus ke dalam tubulus dalam waktu tertentu.
Penurunan atau LFG yang rendah digunakan sebagai indeks pada penyakit
ginjal kronik. Rumus persamaan yang sering digunakan untuk memperkirakan
LFG (e-GFR/estimated GFR) adalah :
Rumus Cockroft-Gault :
e-GFR (ml/menit) : (140 umur) x berat badan (kg) x (0,85 jika wanita)

72 x serum kreatinin ( mg/dl ) 17,18

Estimasi GFR menurut Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) :

GFR (mL/min/1.73 m2) = 175 (Scr)-1.154 (Age)-0.203 (0.742 if female)


(1.212 if African American).19

Menurut Chronic Kidney Disease-Epidemiology Collaboration (CKD-EPI),


eGFR

GFR = 141 min (Scr /, 1) max(Scr /, 1)-1.209 0.993Age 1.018 [if


female] 1.159 [if black] dimana Scr adalah serum creatinine dalam mg/dL,
adalah 0.7 untuk perempuan dan 0.9 untuk laki-laki, adalah -0.329 untuk
perempuan dan -0.411 untuk laki-laki, min mengindikasikan minimum dari
Scr / atau 1, dan max mengindikasikan maksimum dari Scr / or 1.20

Tes kimia darah yang perlu dilakukan adalah: ureum, nitogen urea
darah, asam urat, analisis gas darah (blood gas analysis/BGA), elektrolit
(kalium, natrium. kalsium, fosfor, magnesium), albumin, gula darah sewaktu,
dan profil lipid (kolesterol total, kolesterol - high density lipoprotein/HDL,
kolesterol - low density lipoprotein/LDL, trigliserida).

Hasil tes kimia darah biasanya didapatkan:


- Ureum serum meningkat, ureum adalah produk buangan dari protein yang
dieliminasi oleh ginjal. Fungsi ginjal menurun, jumlah ureum naik.
- Kreatinin serum meningkat, kreatinin adalah produk sampingan dari hasil
pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal,
apabila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin meningkat.
- Asam urat meningkat, karena asam urat disintesis dalam hati,diangkut
sirkulasi di ginjal, fungsi ginjal menurun asam urat meningkat.
- Hiperkalemia, disebabkan kemampuan ekskresi kalium dari ginjal
menurun sehingga terjadi kelebihan kalium.
- Hiperfosfatemia, dikarenakan dialisa menurun,sehingga ginjal tidak
mampu membuang kelebihan fosfat.
- Hipokalsemia, karena fosfat berlebihan akan membentuk kompleks
berpasangan dengan kalsium, maka terjadi penurunan jumlah kalsium
dalam darah.
- Hipoalbuminemia, disebabkan kadar kalsium berkurang maka kadar
albumin juga rendah, karena mayoritas kalsium terikat pada albumin.
- Kadar glukosa darah meningkat,pasien dengan uremia mengakibatkan
gangguan metabolism glukosa, kemudian menyebabkan resistensi insulin.
- Dislipidemia, dikarenakan resistensi insulin menyebabkan trigliserid
meningkat dan kolesterol HDL menurun.
-
Asidosis metabolik, sebab fungsi ginjal terganggu maka keseimbangan
16,17,21,31,32
asam basa juga terganggu, terjadi asidosis tubulus ginjal.
2. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi yang dilakukan antara lain; darah rutin, hapus
darah tepi, ferritin dan transferrin saturation (TSAT)
Pemeriksaan darah rutin
Meliputi hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), lekosit (hitung lekosit
dan hitung jenis), hitung trombosit, laju endap darah (LED), hitung
eritrosit. Pada CKD terjadi anemia (Hb < 10 g/dL) karena penyakit
kronis (biasanya anemia normokromik normositik). Kadar Ht dengan
kadar Hb biasanya dikaitkan dengan derajat anemia yang diderita.
Hitung lekosit pada CKD tergantung ada tidaknya infeksi sekunder,
apabila infeksi akut bisa lekositosis (lekosit meningkat), sedangkan
infeksinya kronis akan terjadi lekopeni (lekosit menurun).Hitung jenis
lekosit pada CKD, karena akibat penyakit kronis terjadi peningkatan
jumlah neutrofil (baik segmen maupun batang) relatif dibanding
limfosit dan monosit yang disebut shift to the left. Hitung trombosit
akan meningkat karena merupakan tanda anemia penyakit kronis yang
biasa terjadi pada CKD. Penanda peradangan seperti LED seringkali
meningkat pada anemia akibat penyakit kronis. Hitung eritrosit
menurun karena adanya anemia penyakit kronis.
Pemeriksaan hapus darah tepi
Retikulosit biasanya meningkat karena kehilangan darah kronis. Khas
pada penderita gagal ginjal terdapat sel Burr (membran eritrosit
keriput ireguler)
Pemeriksaan ferritin dan transferrin saturation
Ferritin dan transferrin saturation rendah pada pasien gagal ginjal
kronik yang mendapatkan dialisis, timbul perdarahan gastrointestinal,
dan rendahnya asupan zat besi dari makanan.16,22,23,33,34

3. Pemeriksaan urinalisis
Pemeriksaan urinalisis yang dilakukan antara lain: berat jenis, pH, glukosa,
protein, keton, bilirubin, urobilirubin, nitrit, eritrosit, lekosit, silinder, kristal,
bakteri, jamur, dan parasit.
Pada gagal ginjal kronis bisa didapatkan hasil:
- Berat jenis urin yang kurang dari normal karena gangguan fingsi ginjal
yang berat.
- pH urin dapat dipengaruhi karena gangguan keseimbangan asam basa.
Pada CKD pH akan basa, karena terjadi asidosis tubulus ginjal dan terjadi
infeksi saluran kemih.
- Glukosuria karena gangguan metabolisme glukosa pada CKD. Glukosuria
(kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui
atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun
- Proteinuria karena gangguan fungsi ginjal. Protein terdiri atas fraksi
albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda
yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena
penyakit glomeruler, DM, dan hipertensi.
- Silinder hialin merupakan silinder protein dari mukoprotein yang
dikeluarkan tubulus ginjal. Apabila ginjal mengalami kerusakan, dalam
urin didapatkan silinder hialin.
- Ekskresi lekosit meningkat yang disebabkan karena adanya perubahan
permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas lekosit. Bisa
terjadi juga karena proses infeksi, seperti infeksi saluran kemih.
- Sel epitel tubulus ginjal berbentuk bulat atau oval, lebih besar dari lekosit,
mengandung inti bulat atau oval besar, bergranula dan biasanya terbawa ke
urin dalam jumlah kecil. Jumlah sel tubulus 13 / LPK atau penemuan
fragmen sel tubulus dapat menunjukkan adanya penyakit ginjal
- Silinder granular adalah silinder selular yang mengalami degenerasi.
Disintegrasi sel selama transit melalui sistem saluran kemih menghasilkan
perubahan membran sel, fragmentasi inti, dan granulasi sitoplasma.
-
Bakteri pada urin (bakteriuira) pada penyakit ginjal biasanya terjadi
disebabkan adanya infeksi saluran kemih.24,35

1.8.2. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi ginjal. Pemeriksaan radiologi yang bisa dilakukan yaitu: foto polos
abdomen, pielogravi intra vena, USG, renogram, serta pemeriksaan radiologi jantung,
tulang, dan paru.16 Kontras dengan USG untuk pengukuran parameter perfusi.
Multidetector Computed Tomography (MCT) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) untuk mengukur fungsi diferensial filtrasi. 25

1.8.3. Pemeriksaan EKG


Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri( bisa juga dengan
radiologi), tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia).16 Gambaran EKG pada hipokalemia adalah semakin mendatarnya
gelombang T dan timbulnya gelombang U. Hipokalemia berat dapat memperpanjang
interval PR, memperlebar dan menurunkan voltase kompleks QRS dan menyebabkan
aritmia ventrikuler. Gambaran EKG pada hiperkalemia adalah semakin mendatarnya
sampai menghilangnya gelombang P, meningginya gelombang T, melebarnya
kompleks QRS sampai kepada perlambatan konduksi atrioventrikuler.36

1.8.4. Pemeriksaan Biopsi Ginjal


Dilakukan untuk mengetahui etiologinya, apakah komplikasi dari DM atau
hipertensi atau bukan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal.16,33

1.9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terkait dengan CKD, antara lain: anemia, hiperlipidemia,
gizi, osteodistrofi, dan risiko kardiovaskular. Anemia pada CKD dikarenakan
defisiensi eritropoetin, ginjal yang rusak tidak dapat memproduksi hormon
eritropoetin sehingga gagal memproduksi sel darah merah. Hiperlipidemia terjadi
hipertrigliserida yang merupakan salah satu ciri yang menonjol pada gagal ginjal
kronis, hal tersebut disebabkan oleh karena kurang berfungsinya lipoprotein lipase
(LPL) dan hepatik trigliserid lipase (HTGL) sehingga terjadi peningkatan kolesterol
dan lipida total (hiperlipidemia). CKD menyebabkan penderita kurang nafsu makan
yang akhirnya masukan/intake makanan tidak cukup sehingga penderita menjadi
kurang gizi diakibatkan tidak seimbangnya persediaan nutrisi untuk memenuhi
kebutuhan badan.Osteodistrofi pada CKD terjadi karena gangguan metabolism
kalsium dan fosfat,karena hiperfosfatemi terjadi hipokalsemia,mempengaruhi
mineralisasi tulang.Peningkatan kolesterol, trigliserid pada CKD akan memperbesar
risiko penyakit kardiovaskuler. 26,37
CKD juga dikaitkan dengan komplikasi infeksi terutama yang dari rumah sakit
yaitu pneumonia, sepsis/bakteremia dan infeksi saluran kemih.27

1.10. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah mengobati penyakit yang mendasarinya dan
memperlambat perkembangan penyakit lebih lanjut. Penatalaksanaan konservatif
gagal ginjal kronik bermanfaat bila faal ginjal masih pada tahap insufisiensi ginjal
dan gagal ginjal kronik dengan faal ginjal antara 10-50% atau nilai kreatinin serum
2 - 10 mg%. CKD tahap akhir terapi pengganti sudah harus dilaksanakan.16,17,18
Penatalaksanaan pada CKD bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih bermanfaat
bila penurunan fungsi ginjal masih ringan. Pengobatan konservatif ini terdiri dari 3
strategi, yaitu :
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi.
Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan <140/90 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein
Bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dengan demikian
diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c. Pembatasan fosfor
Untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
d. Mencegah albuminuria.
Terdapat korelasi antara albuminuria dan penurunan fungsi ginjal
terutama pada glomerulonefritis kronik dan DM.
e. Mengendalikan hiperlipidemia.
Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak terkendali dapat
mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengendalian meliputi diet
dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat
penurun lemak darah.

2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut


a. Pencegahan kekurangan cairan
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan
prerenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan
mengenai keseimbangan cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan
sehari-hari), penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan
penyakit lain (DM, kelaian gastrointestinal, ginjal polikistik).

b. Pencegahan terjadinya sepsis


Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi
saluran kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan
urologi dan antibiotik yang telah terpilih untuk mengobati infeksi.
c. Pengendalian hipertensi
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi
ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal.
Akan tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga aka
menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat yang dapat diberikan
adalah furosemid, beta blocker, vasodilator, calcium antagonist dan
alfa blocker. Golongan tiazid kurang bermanfaat. Spironolakton tidak
dapat digunakan karena meningkatkan kalium.
d. Hindari obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat menyebabkan nefritis
interstitialis harus dihindari.

3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya


a. Mencegah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan CKD sering mengalami peningkatan jumlah cairan
karena retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskular
menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke interstitial
menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga dijumpai.
Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi asupan cairan dan
natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan dibatasi < 1
liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan <2-4
gr/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi
pilihan adalah furosemid. Karena efek furosemid tergantung dari
sekresi aktifnya di tubulus proksimal, pasien dengan CKD umumnya
membutuhkan dosis yang tinggi (300-500 mg), namun hati-hati
terhadap efek sampingnya. Apabila tindakan ini tidak membantu harus
dilakukan dialisis.

b. Mencegah asidosis metabolik


Penurunan kemampuan sekresi asam pada CKD menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik, umumnya bila LFG < 25 ml/mnt. Diet
rendah protein 0.6 gr/hr dapat membantu mengurangi asidosis. Bila
bikarbonat turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan stubtitusi
alkali.
c. Mencegah hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk
mengatasi ini, dapat diberikan : Kalsium glukonas 10% 10 ml dalam
10 menit IV Bikarbonas natrikus 50-150 IV dalam 15-30 menit Insulin
dan glukosa 6U insulin dan glukosa 50g dalam waktu 1 jam
Kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 gr oral atau rektal Bila
hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka sudah merupakan indikasi
untuk dialisis.
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu
telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya
glomerulosklerosis sebagai akibat meningkatnya beban kerja
glomerulus dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi
supaya tidak terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran
insulin. Kalori yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein
0.6gr/ kgBB/ hari dengan nilai biologis tinggi (40% as.amino esensial).
e. Mengobati anemia
Penyebab utama anemia pada CKD adalah terjadinya defisiensi
eritropoeitin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal,
umur eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang menghambat
eritropoiesis (toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi besi. Transfusi
darah hanya diberikan bila perlu dan apabila trasnfusi tersebut dapat
memperbaiki keadaan klinis secara nyata.Terapi terbaik apabila Hb <8
g% adalah pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih
terbatas karena mahal.
f. Mencegah gangguan metabolisme kalsium dan fosfor
Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia
dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, gangguan
pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada
keadaan ini dengan LFG < 30 mL/mnt diperlukan pemberian fosfor
seperti kalsium bikarbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada
saat makan. Pemberian vitamin D juga perlu diberikan untuk
meningkatkan absorbsi kalsium di usus.
g. Mengobati hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat >
10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout.16,38,39
Penatalaksanaan Gizi
Penilaian status gizi pada pasien dengan CKD :28
Antropometri

Berat badan/ tinggi badan


Indeks Massa Tubuh (IMT)
Tebal lemak subkutan
Lingkar otot lengan atas (LOLA)
Kekuatan otot
Biokimia
Serum albumin
Serum transferin
Serum insulin-like growth factor (IGF)-1
Serum prealbumin
Kolesterol total: pada pasien dialisis lama
Konsentrasi plasma dan asam amino otot
Serum Kreatinin: pada perawatan pasien dialisis
C-reactive protein (CRP): berkorelasi secara negatif dengan serum albumin
Blood urea nitrogen (BUN): pada pasien hemodialisa lama
Komposisi tubuh
Bioelectrical impedance analysis (BIA)
Dual-energy radiograph absorptiometry (DEXA)
Komposisi penilaian
Subjective global assessment (SGA)
Composite nutritional index (CNI): SGA + antropometri dan serum albumin
Malnutrition-inflammation score (MIS): SGA + IMT, serum albumin dan total
iron-binding capacity (TIBC)
Penilaian asupan
Dietary protein intake (DPI)
Protein equivalent of total nitrogen appearance (PNA).

Tujuan terapi diet untuk CKD adalah untuk mempertahankan status gizi yang
baik, perkembangan lambat, dan untuk mengobati komplikasi. Komponen untuk diet
memperlambat CKD berkembang adalah:
Mengontrol tekanan darah dengan mengurangi asupan natrium
Mengurangi asupan protein, jika berlebihan
Mengelola diabetes.29
Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik, terutama mereka
yang sedang menjalani dialisis. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malnutrisi
(kurang energi protein) sekitar 20%-70% di antara pasien dialisis dewasa. Tanda dan
gejala dari malnutrisi timbul saat LFG menurun sampai 30 mL / menit, dan bisa
berkembang menjadi gizi buruk saat LFG menjadi 10 mL / menit. Pembatasan diet
yang berkaitan dengan CKD menambah potensi asupan gizi yang tidak memadai.
Penilaian terhadap pola diet dan asupan makanan, intoleransi makanan tertentu,
pembatasan zat gizi tertentu, dan kekhawatiran pasien salah memilih jenis makanan
perlu dilakukan.

Terapi gizi pada CKD disesuaikan dengan tahapan CKD dan status kesehatan umum
pasien. CKD derajat I-II terapi gizi harus fokus pada faktor komorbid (DM,
hipertensi, dan hiperlipidemia) dan upaya memperlambat perkembangan terjadinya
penyakit. Manajemen diet untuk DM, hipertensi, dan hiperlipidemia sesuai pedoman
yang direkomendasikan NKF K/DOQI, yaitu diet modifikasi gaya hidup. Pemeriksaan
status gizi harus dilakukan secara teratur (interval 1-3 bulan) untuk menjaga atau
meningkatkan status gizi selama perkembangan penyakit. CKD derajat III-IV NKF
K/DOQI memberikan pedoman nutrisi untuk orang dewasa CKD dengan LFG < 30
ml/menit yang tidak sedang menjalani dialisis yang bertujuan mencukupi kecukupan
energi yang adekuat untuk mencegah malnutrisi, mencukupi kebutuhan protein yang
adekuat untuk mempertahankan massa otot dan serum protein, memperbaiki
abnormalitas absorbsi, penggunaaan dan ekskresi vitamin dan mineral, dan
normalisasi kadar lemak darah.18

Tabel 4 Diet modifikasi gaya hidup pada pasien gagal ginjal kronik.18

Diet modifikasi gaya hidup pada pasien gagal ginjal kronik


Zat gizi Rekomendasi asupan
Jumlah energi/kalori seimbang antara asupan & kebutuhan untuk
mencapai BB yg diinginkan/mencegah BB
Karbohidrat 50-60% jumlah kalori
Protein 15% jumlah kalori
Lemak jenuh < 7% jumlah kalori
Lemak tak jenuh tunggal 10% jumlah kalori
Lemak tak jenuh ganda 20% jumlah kalori
Lemak Total 25-35% jumlah kalori
Kolesterol < 200 mg/hari

Tabel 5. Pedoman Nutrisi pada CKD derajat III-IV.18

Pedoman nutrisi pada CKD derajat III-IV


Zat gizi Jumlah
Energi 30-35 kkal/kg BB
Protein 0,6-0,75 g/kg BB ; 50% HBV ( High Biological
Volume)
Natrium 1-3 g/hari
Kalium Biasanya tidak dibatasi, kecuali jika kadar serum tinggi
Fosfor 800-1000 mg/hari, pertahankan kadar serum P dan PTH dbn
Kalsium sesuai DRI, pertahankan kadar serum dbn
Cairan Biasanya tidak dibatasi
Vitamin dan mineral Vit Bc dan C sesuai DRI. Vit D yang adekuat
Fe dan Zn: individual
Fiber 0-30 g/hari

NKF K/DOQI memberikan pedoman terapi gizi untuk pasien CKD derajat V
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi, mencegah kekurangan gizi,
meminimalkan uremia dan komplikasi CKD (penyakit jantung, anemia,
hiperparatiroidisme sekunder), mempertahankan tekanan darah dan status cairan.
Terapi gizi untuk pasien CKD yang menerima dialisis (hemodialisis atau peritoneal
dialisis) secara umum adalah tinggi protein dan mengontrol asupan kalium, fosfor,
cairan, dan sodium. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pemberian tinggi protein
tinggi meliputi: asam amino yang hilang 10-12 g/hari, albumin yang hilang 5-15
g/hari, metabolisme asidosis meningkatkan degradasi asam amino, inflamasi, dan
infeksi. Pertimbangan lain adalah termasuk kontrol tekanan darah, peningkatan berat
badan interdialisis pada pasien hemodialisis, adanya edema, dan gagal jantung
kongestif.18

Tabel 6 Pedoman diet untuk CKD derajat V yang mendapat dialisis.18

Zat gizi Rekomendasi asupan


Jumlah energi/kalori seimbang antara asupan dan kebutuhan untuk
mencapai BB yang diinginkan/mencegah
kenaikan BB
Karbohidrat 50-60% jumlah kalori
Protein 1,2 g/kgBB ( 15% jumlah kalori)
Lemak jenuh < 7% jumlah kalori
Lemak tak jenuh tunggal 10% jumlah kalori
Lemak tak jenuh ganda 20% jumlah kalori
Lemak Total 25-35% jumlah kalori
Kolesterol < 200 mg/hari
Kalium 2-3 g/hari
Natrium 2-3 g/hari
Cairan 1 lt/hari ditambah urin out put harian
Kalsium <2000 mg/hari
Fosfor 800-1000 mg/hari atau <17 mg/kg

Modifikasi diet menurunkan progresisifitas CKD :


1. Pembatasan protein
2. Pembatasan Phosphate
3.
Pembatasan sodium
DHF

2.1. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)
atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok. 1
2.2. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter
30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6.
Terdapat 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue (DBD). Keempat
serotype ditemukan di Indonesia denga DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Infeksi
oleh salah satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe bersangkutan,
tetapi tidak untuk serotipe lain. Kasus DBD terjadi karena infeksi kedua dari serotipe
yang berbeda. 1,2
Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah
perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti
adalah :

Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih


Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng,
ban bekas, pot tanaman air, serta tempat minum burung,
Jarak terbang 100 meter,
Nyamuk betina bersifat multiple biters (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat),
Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi.2
2.3. Epidemiologi
Di Indonesia, kasus DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968.
Penyakit DBD ditemukan di 200 kota di 27 provinsi dan telah terjadi KLB akibat
DBD. Profil kesahatan provinsi Jawa Tengah tahun 1999 melaporkan bahwa
kelompok tertinggi adalah usia 5-14 tahun yang terserang sebanyak 42% dan
kelompok usia 15-44 tahun yang terserang sebanyak 37%. Data tersebut didapatkan
dari data rawat inap rumah sakit. Rata-rata insidensi penyakit DBD sebesar 6-27 per
100.000 penduduk.
CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun ketahun walaupun masih
tetap tinggi. Data dari Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004
tercatat 17.707 orang terkena DBD di 25 provinsi dengan kematian 322 penderita
selama bulan Januari dan Februari. Daerah yang perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta,
Bali, dan NTB.2
2.4. Klasifikasi
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu
diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat Gejala Lab

DD Demam disertasi 2 atau lebih tanda Leukopenia


: sakit kepala, nyeri retro-orbital, Trombositopenia, tdk
mialgia, arthralgia ada kebocoran plasma
Trombositopenia
Gejala diatas, ditambah dgn uji
DBD I (<100.000), bukti ada
bendung (+)
kebocoran plasma

Trombositopenia
Gejala diatas, ditambah dgn
II (<100.000), bukti ada
perdarahan spontan
kebocoran plasma

Gejala diatas ditambah dengan Trombositopenia


III kegagalan sirkulasi (kulit dingin (<100.000), bukti ada
dan lembab, serta gelisah) kebocoran plasma

Trombositopenia
Syok berat disertai dengan tekanan
IV (<100.000), bukti ada
darah dan nadi tidak terukur
kebocoran plasma

* DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok demgue (SSD)

2.5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue.1
Respon imun yang diketahu berperan dalam pathogenesis DBD adalah:
a) Respon humoral, pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen, dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibodi. Antibodi virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE).
b) Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun proses ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d) Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-
, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1) Supresi sumsumtulang, dan
2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kada b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi trombosit.1

2.6. Manifestasi Klinis


1. Fase Febris
Terjadi demam tinggi mendadak yang berlangsung 2 7 hari disertai facial
flushing, skin erythema, gatal diseluruh tubuh, nyeri otot dan sendi serta nyeri kepala.
Tanda tanda perdarahan dapat ditemukan berupa petekie, mimisan, perdarahan
pervaginam atau pencernaan. Pada pemeriksaan darah rutin, leukosit cenderung turun.
2. Fase Kritis
Pada hari ke 3 7 suhu tubuh mulai turun. Pada saat ini dapat terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler disertai peningkatan hematocrit. Dapat ditemukan
efusi pleura dan ascites pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Shock
dapat terjadi apabila volume plasma yang bocor sangat banyak. Kebocoran cairan
plasma cenderung berlangsung selama 24 48 jam.
3. Fase Recovery
Setelah melewati fase kritis terjadi reabsopsi cairan extravaskuler yang
berlangsung 48 72 jam setelah terjadi kebocoran. Pada fase ini pasien nafsu makan
pasien mulai membaik dengan gejala gastrointestinal yang mereda disertai gatal
gatal di seluruh tubuh pada beberapa pasien dan bradikardi. Pada pasien dengan efusi
pleura dana sites dapat terjadi komplikasi berupa udem pulmonal atau gagal jantung
kongestif.3
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbuk
gejala prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang, belakang dan
perasaan lelah.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adakah hepatomegali atau tidak.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin yang
dilakukan untuk menapis pasien tersangka DD melalui pemeriksan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapus darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi
total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis relative
(>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah
total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada keadaan
yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT dapat meningkat.
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Dengue dibagi menjadi 3 group A,B,C
Kriteria pasien diuplangkan apabila :
1. Tidak ada demam selama 48 jam
2. Perbaikan keadaan klinis
3. Peningkatan jumlah trombosit
4. Tidak ada distress pernafasan
5. Hematokrit yang stabil tanpa pemberian cairan intravena.4

MALARIA

A. MALARIA

2.1 Definisi
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh
protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan
pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit
infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan
gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.

2.2 Epidemiologi

Transmisi malaria di Indonesia juga masih terjadi, berdasarkan laporan Riset


Kesehatan Dasar 2011 menunjukkan terdapat 374 kabupaten endemis malaria.
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API
(Annual Parasite Index), Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria
tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera
sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat
desa/fokus malaria tinggi.

Jumlah kasus malaria di Indonesia tahun 2011 tercatat sebanyak 256.592 orang
dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya. Sementara,
angka API dari tahun 2008 2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi
1,85 per 1000 penduduk. Sementara, provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua
Barat, NTT dan Papua. Terdapat 12 provinsi yang diatas angka API nasional.

Sementara untuk penyebab malaria yang tertinggi tahun 2009 adalah


Plasmodium vivax (55,8%), kemudian Plasmodium falcifarum, sedangkan
Plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini berbeda dengan data riskesdas 2010,
yang mendapatkan 86,4% penyebab malaria adalah plasmodium falsifarum, dan
plasmodium vivax sebanyak 6,9%.

Sementara, angka Case Fatality Rate (CFR) penderita yang disebabkan malaria untuk
semua kelompok umur menurun drastis dari tahun 2004 ke tahun 2006 (dari 10,61%
menjadi 1,34%). Namun dari tahun 2006 sampai tahun 2009 CFR cenderung
meningkat hingga lebih dua kali lipat.
Angka prevalensi berdasarkan Riskesdas 2010 diperoleh point prevalence
malaria adalah 0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria secara
keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa
puncak (pola epidemiologi) kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang
paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum (86,4%) sedangkan sisanya
adalah Plasmodium vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun
data sebaran parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis
parasit yang dominan per suatu wilayah.

2.3 Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium.
Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4
spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles
ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar
serta dari ibu hamil kepada janinnya.

Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P.
ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan
malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena
malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi
di dalam organ-organ tubuh.

2.4 Siklus Hidup Plasmodium

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan
nyamuk anopheles betina.

2.4.1 Silkus Pada Manusia


Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit
yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dsalam peredaran darah
selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan
menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari
10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang
berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivak dan P. ovale, sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang memjadi
bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel
hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas
tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).

Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam
peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit
tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses
perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi
skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.
Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni
darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium
seksual yaitu gametosit jantan dan betina.

2.4.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina

Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung


gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan
pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian
menembus dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet akan
menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat
infektif dan siap ditularkan ke manusia.

Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam
bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan

Masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit
dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.
2.5 Patogenesis Malaria

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan


berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Penghancuran eritrosit

Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan
hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal

2. Mediator endotoksin-makrofag

Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor
nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran
darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang
dewasa

3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka

Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan


(knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi
dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung
parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di
sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan
membentuk gumpalan yang menghambat aliran kapiler, timbul hipoksia

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan
bermacam-macam antigen. Antigen ini merangsang sel-sel makrofag, monosit atau
limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin antara lain TNF (tumor nekrosis
factor). TNF ini akan dibawa aliran darah ke hypothalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizoni pada empat plasmodium
memerlukan waktu yang berbeda-beda, P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam,
P vivax/ovale 48 jam dan P. malariae 72 jam. Demam pada falciparum dapat setiap
hari, P. vivax/ovale selang waktu sehari, P. malariae demam timbul selah waktu 2 hari.

Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah sehingga
anemia bias terjadi pada infeksi akut dan kronik. Plasmodium vivax dan P. Ovale
hanya menginfeksi sel darah merah yang muda yang jumlahnya hanya 2% dari
seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan plasmodium malariae menginfeksi sel
darah merah tua yang jumllahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah, sehingga
anemia yang disebabkan oleh P. vivax, ovale, dan malariae umumnya terjadi pada
keadaan kronis.

Splenomegali

Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana plasmodium dihancurkan oleh


makrofag dan limfosit, penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan limpa
membesar.

Malaria berat akibat plasmodium falciparummempunyai pathogenesis yang khusus.


Eritrosit yang terinfeksi P.falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu
tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh darah kapiler alat dalam
tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang
berisi sebagian antigen P. Falciparum . pada saat terjadi sitoadherensi, knob tersebut
akan berikatan dengan reseptor endotel kapiler. Akibat dari proses ini terjadilah
obstruksi(penyumbatan) di dalam pembulh kapiler yang menyebabkan terjadinya
iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya
rosette yaitu bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah
lainnya.

2.7 Manifestasi Klinis

Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai


gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses
skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl
phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa
penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang
dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam
periodik, anemia dan splenomegali

Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:

1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi
dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya
transfuse darah yang mengandung stadium aseksual)

Plasmodium Masa Inkubasi ( hari )

P. Falciparum 9-14 (12)

P. Vivax 12-17 (15)

P. Ovale 16-18 (17)

P. Malariae 18-40 (28)

2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P.
falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas

3. Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara
berurutan:

Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering
seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode
ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya
temperatur

Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas
tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya,
respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah dan dapat
terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2
jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat

Periode berkeringat
Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita
merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan
dapat melakukan pekerjaan biasa

Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih
sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3
hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis

Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. pada


infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya
digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi
P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut

1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.


2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit
>10.000/l.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12
ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan
kreatinin >3mg%.
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau
perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena
obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler jaringan otak.

2.8 Diagnosis

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi
malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes
diagnostic cepat.

1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:

Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.


Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (37,5oC)
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati
Pada penderita tersangaka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai
berikut:

Temperature rectal 40oC.


Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg
pada anak-anak.
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali
permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1 tahun.
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada penderita
adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi (13).
Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:

Ada/tidaknya parasit malaria.


Spesies dan stadium Plasmodium
Kepadatan parasit
- Semi kuantitatif:

(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB

(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB

(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB

(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB

(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB

- Kuantitatif

Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal atau sediaan
darah tipis.

Tetesan preparat darah tebal. Merupaka cara terbaik untuk menemukan parasite
malaria karena tetsan darah cukup banyak dibandingkan dengan preparat darah tipis.
Preparat dinyataka negative bila setelah diperiksan 200 lapang pandang dengan
pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasite.

Hapusan darah tipis, digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila denga
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasite dinyataka sebagai parasite
count dapat dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasite per
1000 sel darah merah. Pengecetan yang dilakukan dengan cat giemsa, atau lishman
atau field dan juga romanowsky.pengecetan giemsa umum dipakai dan merupakan
pengecetan yang mudha dengan hasil yang cukup baik.

Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari


retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik
hapusan maupun tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form).
Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi,
dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai 20%
eritrosit. Bentukseksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan dapat sampai
beberapa bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan
tipis, gametositnya berbentuk pisan dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah.
Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali
bentuk cincin tanpa bentuk lain dewasa (star in the sky), terdapat balon merah di sisi
luar gametosit.

Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah


tepi bik hapusan tipis maupun tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual
dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit.
Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel darah
merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan sitoplasma
amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang dan bayangan merah di
sisi luar gametosit

Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada


sediaan hapusan darah perifer tipis maupun tetes tebal dapat dijumpai semua bentuk
parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit.
Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbenyuk khas seperti pita (band form), skizon
berbentuk bunga ros(rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak beisi
pigmenyang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metode immunokromatografi dalam bentuk dipstick. Terdapat 2 jenis
antigen yaitu Histidine Rich Protein II mendeteksi antigen dari P. falciparum dan
antigen terhadap LDH (laktat dehydrogenase) yang terdapat pada plasmodium
lainnya. Sensitivitas dan spesifitas pada tes in tinggi sehingga bermanfaat untuk tes
penyaring dan dapat dipaki sebagai tes deteksi parasite untuk pemberian obat ACT.

c. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria
atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai
alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah 2 minggu terjadinya infeksi dan
menetap 3-6 bulan. Tes ini sangat sensitive dan spesifik. Titer >1:200 dianggap
sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.

2.9 Diagnosis Banding

manifestasi malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan hingga berat

1. malaria tanpa komplikasi harus dibedakan dengan penyakit infeksi lain


sebagai berikut :
a. demam tifoid : demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit
perut (diare, konstipasi) lidah kotor bradikardi relative, leukopenia,
limfositosis relative, uji widal positif bermakna.
b. Demam dengue
Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, disertai keluah sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri uluhati, sering muntah, uji tourniquet positif.
Trombositopenia, pengginggian hb atau ht . pada DHF tes serologi inhibisi
hemaglutinasi IgM atau IgG anti dengue positif.

c. ISPA
Batuk, beringus, sakit menelan, sakit kepala, manifestasi kesukaran bernafas
antara lain : nafas cepat/sesak nafas, tarikan dinding dada ke dalam dana
adanya stridor.

d. Leptospirosis ringan
Demam tinggi, nyeri kepala, myalgia, nyeri perut, mual, muntah,
conjungtiva injection nyeri betis yang menyolok. Pemeriksaan serologi
microscopic agglutination test positif

e. Infeksi virus akut lainnya


2. malaria berat atau malaria dengan komplikasi dibedakan dengan penyakit
komplikasi lainnya.
a. meningitis
b. stroke
c. tifoid ensefalopati
d. hepatitis
e. leptospirosis berat
f. Glomerulonefritis akut atau kronik
g. sepsis
h. DHF atau DSS

2.10. Tatalaksana
Pengobatan yang dierikan merupakan pengobatan radikal dengan membunuh semua
stadium parasite yang ada didalam tubuh manusia termasuk stadium gametosit.
Adapaun tujuan pengobatan radikal untuk mendapatkan kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan.
Semua obat antimalarial tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong
karena dapat mengiritasi lambung. Dosis pemberian obat antimalarial sebaiknya
berdasarkan berat badan.
Pengobatan anti malaria di Indonesia menggunakan Obat Anti Malaria
kombinasi. Yang dimaksud dengan pengobatan kombinasi adalah penggunaan dua
atau lebih obat anti malaria yang farmakodinamik dan farmakokinetiknya sesuai,
bersinergi dan berbeda cara terjadinya resistensi. Tujuan pengobatan kombinasi adlah
untuk pengobatan yang lebih baik dan mencegah resistensi Plasmodium terhadap obat
anti malaria.
Saat ini yang digunakan program nasional adalah derivate artemisinin dengan
golongan aminokuinolin yaitu :

1. kombinasi tetap yang terdiri dari Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP).


1 tablet mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat
ini diberikan peroral selama tiga hari dengan range dosis tunggal harian
sebagai berikut :
dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB, piperakuin dosis 16-32mg/kgBB

2. Artesunat Amodiakuin
Kemasan artesunat-amodiakuin yang ada pada program pengendalian malaria
dengan 3 blister, setiap blister terdiri dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet
amodiakuin 150 mg.
A. Pengobatan Malaria tanpa komplikasi
1. pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks
Dosis ACT untuk malaria falciparum sama dnegan vivaks, sedangkan obat
primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan hari pertama saja
dengan dosis 0,75 mg/kgBB dan untuk malaria vivkas selama 14 hari
dengan dosis 0,25mg/kgBB. Lini pertama pengobatan malaria falciparum
dan vivaks adalah seperti yang tertera dibawah ini :

ACT + Primakuin

Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut berat badan dengan DHP dan
Primakuin

Pengobatan lini pertama untuk malaria vivaks menurut berat badan dengan DHP dan
primakuin

Dosis obat : Dihydroartemisinin : 2-4mg/kgbb

Piperakuin 16.-32mg/kgbb
Primakuin : 0,75 mg/kgbb untuk p. falciparum untuk hari 1

Primakuin : 0,25mg/kgbb untuk p.vivaks salaam 14 hari

Keterangan :

Sebaiknya dosis pemberian DHA + PPQ berdasarkan berat badan. Apabila tidak
dilakukan penimbangan berat badan maka dosis obat dapat berdasarkan kelompok
umur.

1. Apabila ada ketidaksesuaian umur dengan berat badan makan dosis yang
dipakai adalah berdasarkan berat badan.
2. Dapat diberikan pada ibu hamil trimester 2 dan 3
3. Apabila pasien p. falciparum dengan bb>80 kg datang kembali dalam 2 bulan
setelah pemberian obat dan pemeriksaan sediaan darah masih positif p.
falciparum maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5
tablet/hari selama 3 hari. ATAU

Pengobatan lini pertama malaria falsiparum menurut berat badan dengan artesunat +
amodiakuin dan primakuin

pengobatan lini pertama malaria vivaks menurut berat badan dengan artesunat +
amodiakuin dan primakuin
Dosis obat : amodiakuin basa : 10 mg/kgbb

Artesunat : 4mg/kgbb

Primakuin : 0,75 mg/kgbb untuk p. falciparum untuk hari 1

Primakuin : 0,25mg/kgbb untuk p.vivaks salaam 14 hari

Lini kedua untuk malaria Falciparum


Kina + doksisiklin atau tetrasiklin + primakuin

Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan jika pengobatan lini pertama
tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak memburuk tetapi parasite aseksual
tidak berkurang atau timbul kembali.

Pengobatan lini kedua untuk malaria falciparum dengan obat kombinais kina dan
doksisiklin
table dosis doksisiklin

Catatan : dosis kina diberikan sesuai BB (3x10mg/kgbb/hari)

Dosis doksisiklin 3,5mg/kgbb/hari diberikan 2xsehari ( > 15 tahun )

Dosis doksisiklin 2,2mg/kgbb/hari diberikan 2xsehari (8-14 tahun )

Pengobatan lini kedua untuk malaria falciparum dengan obat kombinasi tetrasiklin

catatan : doisis tetrasiklin 4 mg/kgbb/hari diberikan 4 x sehari, tidak diberikan pada


anak umur < 8 tahun.

Oleh karena doksisiklin dan tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil makan
dapat digantikan dengan klindamisin.

Lini kedua untuk malaria vivaks


Kina + Primakuin
Kombinasi ini digunakan untuk pengobatan malaria vivaks yang tidak reson terhadap
pengobatan ACT

Pengobatan lini kedua malaria vivaks

Pengobatan malaria vivaks yang relaps

Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0,25 mg/kgbb/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan
parasite positif dalam kurun waktu 3 minggu hingga 3 bulan setelah pengobatan.

Pengobatan kasus malaria vivaks yang relaps diberikan lagi regimen ACT
yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5mg/kgbb/hari.

Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui


anamesa ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat
golongan sulfa, primakuin, kina klorokuin dan lain-lain maka pengobatan diberikan
secara mingguan selama 8-12 minggu dengan dosis mingguan 0,75mg/kgbb.

Pengobatan Malaria Ovale

1. lini pertama untuk malaria ovale


pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP atau artsunat
+ amodiakuin. Dosis pemberiannya sama dnegan untuk malaria vivaks

2. lini kedua untuk malaria ovale


pengobatan lini kedua untuk malaria ovale sama dengan malaria vivaks
Pengobatan malaria malariae

Pengobatan malaria malariae cukup diberikan ACT 1 kali per hari selama 3 hari
dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.

Pengobatan infeksi campur P. Falciparum + P. Vivaks/ P. ovale

Pengobatan infeksi campur dengan ACT. Pada pendeita dengan infeksi campur
diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgbb/hari selama
14 hari

Pegobatan infeksi campur dengan DHP

Pengobatan infeksi campur dengan artesunat + amodiakuin

Pengobatan infeksi campur P.Falciparum + P. Malariae


Infeksi campur antara P. falciparum dengan P.malaroae diberikan regimen ACT
selama 3 hari dan primakuin pada hari 1

Pengobatan malaria pada ibu hamil


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan
pada orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pada pemberian obat malaria
berdasarkan umur kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan primakuin.

Pengobatan malaria falciparum pada ibu hamil

Pengobatan malaria vivaks pada ibu hamil

Pengobatan malaria berat

Penatalaksaaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi :

1. pemberian obat anti malaria


2. penanganan komplikasi
3. tindakan penunjang
4. pengobatan asimptomatik

1. Pemberian obat anti malaria

Pilihan utama :

Artesunat intravena
Artesunat diberikan dengan dosis
2,4 mg/kg bb per iv sebanyak 3 x jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4mg/kgbb
per iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat.

Obat alternative malaria berat

Kina hidroklorida parenteral


Kina perinfus diberikan pada daerah yang tidak tersedia artemisinin parenteral. Kina
tidak boleh diberikan secara bolus intra vena karena toksik bagi jantung.

Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria


sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini
ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu
yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain.
Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian atau tugas dalam jangka
waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personal protection seperti pemakaian
kelambu, kawat kassa, dan lain-lain.

Oleh karena P. falciparum merupakan spesies yang virulensinya cukup


tinggi maka kemoprofilaksisnya terutama ditujukan pada infeksi spesies ini.
Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi P. falciparum terhadap
klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari
dengan dosis 2 mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis
untuk P. vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu.
Obat tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4
minggu setelah kembali.

Tabel 7. Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin

Golongan umur (thn) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)

<1

1-4

5-9 1

10-14 1

>14 2

2.11. Prognosis

1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan


diagnosis serta pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas
yang dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan
meningkat sampai 50%.
3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih
baik daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ.
Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%.
Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ
adalah 75%.
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan
mortalitas yaitu:
Kepadatan parasit <100.000/L, maka mortalitas <1%.

Kepadatan parasit >100.000/L, maka mortalitas >1%.

Kepadatan parasit >500.000/L, maka mortalitas >5%.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Definisi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -
turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Faktor Risiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,


jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktivitas bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :


A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan :
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Riwayat penyakit
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Faktor predisposisi
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara

b. Pemeriksaan fisis

Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas (retraksi)
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater.

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips Breathing

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru
Spirometri
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan
< 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat.
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Treadmill
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin


Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Diagnosis Banding
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan
di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga


penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

b. Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit :


dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
Algoritma Penangan PPOK
Algoritma Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan
primer / puskesmas

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

1. Gagal napas

- Gagal napas kronik

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

2. Infeksi berulang

3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :

- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

- Bronkodilator adekuat

- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur

- Antioksidan

- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

- Sputum bertambah dan purulen

- Demam

- Kesadaran menurun

Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal :

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.

Tabel perbedaan Asma dengan PPOK

ASMA PPOK

Timbul pada usia muda ++ -

Sakit mendadak ++ -

Riwayat merokok +/- +++

Riwayat atopi ++ +

Sesak dan mengi berulang +++ +

Batuk kronik berdahak + ++

Hiperaktivitas bronkus +++ +

Obtruksi reversible + -

Variabilitas harian ++ +

Eosinofil sputum + -

Neutrofil sputum - +

Makrofag sputum + -

Penyakit Paru Obstruksi Kronis : Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia,


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003 )

ITP
1. DEFINISI

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang


ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
kurang dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit
menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama
limpa.1
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah kelainan akibat trombositopenia
yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi sekarang diketahui bahwa
sebagian besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun karena itu disebut juga
sebagai autoimmune thrombocytopenic purpura. 2
Kata trombositopenia menunjukan bahwa terdapat angka trombosit yang
rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang
berwarna lebam karena simptom penyakit, warna ungu pada kulit ini disebabkan
oleh merembesnya darah di bawah kulit.

2. ETIOLOGI

Dalam kebanyakan kasus, penyebab ITP tidak diketahui. Seringkali pasien


yang sebelumnya terinfeksi oleh virus (rubella, rubeola, varisela) atau, sekitar tiga
minggu menjadi ITP. Hal ini diyakini bahwa tubuh, ketika membuat antibodi
terhadap virus, "sengaja" juga membuat antibodi yang dapat menempel pada sel-
sel platelet. Tubuh mengenali setiap sel dengan antibodi sebagai sel asing dan
menghancurkan mereka. Itulah sebabnya ITP juga disebut sebagai imuno
thrombocytopenic purpura.1
Sumsum tulang adalah jaringan lembut, kenyal yang berada di tengah tulang
panjang dan bertanggung jawab untuk membuat sel-sel darah, termasuk trombosit.
Sumsum tulang merespon rendahnya jumlah trombosit dan menghasilkan lebih
banyak untuk mengirim ke tubuh. Sel-sel di sumsum tulang pada pasien dengan
ITP, akan banyak trombosit muda yang telah dihasilkan. Namun, hasil tes darah
dari sirkulasi darah akan menunjukkan jumlah trombosit yang sangat rendah.
Tubuh memproduksi sel-sel normal, tetapi tubuh juga menghancurkan mereka.
Dalam kebanyakan kasus, tes darah lainnya normal kecuali untuk rendahnya
jumlah trombosit. Pada pasien ITP, trombosit biasanya bertahan hanya beberapa
jam, dibandingkan dengan trombosit yang normal yang memiliki umur 7 sampai
10 hari. Trombosit sangat penting untuk pembentukan bekuan darah.1
3. EPIDEMIOLOGI

Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, ITP akut umunya terjadi
pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut
berkembang menjadi kronik. Purpura Trombosit Idiopatik pada anak berkembang
menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP dewasa yang
khas. Insidensi ITP kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak
pertahun.
Insidensi ITP kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi
pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris.
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura kronik pada umumnya terdapat pada orang
dewasa median rata-rata usia 40-45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki
adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan pada ITP kronik adalah 2-3:1.1
Jumlah insiden ITP yang sebenarnya, tidak diketahui, karena individu dengan
penyakit ringan mungkin asimtomatik sehingga tidak terdiagnosis. Di Amerika
Serikat, penyakit gejala terjadi pada sekitar 70 dewasa / 1.000.000 dan 50 anak /
1.000.000.
Penderita ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu ITP yang gagal diterapi
dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat
terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita ITP
refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari jumlah penderita ITP. Kelompok
ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang
cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%. 1,4

4. PATOFISIOLOGI

ITP disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan


trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem
fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Diperkirakan bahwa ITP
diperantai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopenia
pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita ITP, dan perkiraan ini didukung
oleh kejadian transient trombositopenia pada orang sehat yang menerima transfusi
plasma kaya IgG, dari seorang penderita ITP. Trombosit yang diselimuti oleh
autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan.
Pada sebagian besar penderita akan terjadi mekanisme kompensasi dengan
peningkatan produksi trombosit. Sebagian kecil yang lain, produksi trombosit
tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi
oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau karena hambatan
pembentukan megakariosit, kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukan
adanya masa megakariosit normal. 5
Untuk sebagian kasus ITP yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan
produksi trombosit. Penderita ITP dengan tipe ini dapat dikatakan menderita ITP
kronik tetapi stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat aman. Pada
kasus berat, auto antibodi dapat langsung meyerang antigen yang terdapat pada
trombosit dan juga megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan
penderita harus menjalani pengobatan untuk menghindari resiko perdarahan
internal atau organ dalam. 1
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi
ITP untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurang kompleks
glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi
dengan glikoprotein Ib/IX,Ia/IIa,IV dan V dan determinasi trombosit yang lain.
Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda.
Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh
antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat
produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia.
Gambar tersebut dapat menjelaskan bahwa faktor yang memicu produksi
autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara
klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan
antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini.

1. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel


penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg
kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi.

2. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi


juga memproduksi epitop kriITPk dari glikoprotein trombosit yang
lain.

3. Sel penyaji antigen yang teraktifasi

4. Mengekspresikan peITPda baru pada permukaan sel dengan bantuan


kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD
40) dan sitokin yang berfungsi menfasilitasi proliferasi inisiasi CD4
positif Tcell clone (Tcell clone 1) dan spesifitas tambahan (Tcell clone
2)

5. Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit


(Bcell clone 2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan
sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan
produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B cell clone 1. 1,3,5

5. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala dari idipatik trombositosis purpura adalah meningkatnya


perdarahan akibat menurunnya jumlah platelet. Bentuk perdarahan dalam:

1. Purpura. Perdarahan yang terjadi pada kulit dan membran mukosa


(seperti di dalam mulut) yang berwarna keunguan. Lebam yang tidak
jelas penyebabnya.
2. Petekie. Bintik-bintik merah di kulit. Terkadang bintik merah saling
menyatu dan mungkin terlihat seperti ruam. Bintik merah merupakan
perdarahan di bawah kulit

3. Perdarahan yang sulit berhenti

4. Perdarahan dari gusi

5. Mimisan

6. Menstruasi yang berkepanjangan pada wanita

7. Hematuria

8. Perdarahan saluran cerna

Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang palin serius pada ITP. Hal
ini mengenai hampir 1% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari petekie
sampai ekstravasasi darah yang luas.1

6. KLASIFIKASI

Berdasarkan onset penyakit ITP dibedakan tipe akut dan kronik

a. ITP akut.

Kejadiaannya kurang atau sama dengan 6 bulan. ITP akut


sering dijumpai pada anak, jarang pada dewasa. Onset penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan
berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan
rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus. Virus
yang paling banyak diindetifikasi adalah varicella zooster dan ebstein
barr. Manifestasi perdarahan ITP akut pada anak biasanya ringan,
perdarahn intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada ITP dewasa
bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan dan
perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP akut pada anak biasanya self
limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60% sembuh
dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.

b. ITP kronik

Kejadiaannya lebih dari 6 bulan. Onset ITP kronik biasanya


tidak menentu, riwayat perdarahan sering ringan sampai sedang,
infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi dan perjalanan klinis yang
fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, mungkin intermitten atau terus menerus. Manifestasi
perdarahan ITP berupa ekimosis, petekie, purpura. Pada umumnya
berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit.
Secara umum bila pasien dengan AT > 50.000/ml maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000-50.000/ml terdapat luka memar/hematom,
AT 10.000-30.000/ml terdapat perdarahan spontan, menoragi dan
perdarahan memanjang bila ada luka, AT < 10.000/ml terjadi
perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan
genitourinaria) dan resiko perdarahan sistem saraf pusat. 1

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk memastikan diagnosis Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, dilakukan


dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan
antara lain dengan pemeriksaan:

1. Pemeriksaan darah rutin, akan didapatkan nilai trombosit yang


rendah (< 150.000) dengan jumlah eritrosit (apabila tidak terjadi
perdarahan yang berat) dan leukosit dalam batas normal.

2. Pemeriksaan darah tepi, akan didapatkan trombositopenia dengan


eritrosit dan leukosit dengan morfologi normal. Dijumpai trombosit
muda dengan ukuran yang lebih besar (megatrombosit).

3. Pemeriksaan PT dan APTT dalam batas normal, fibrinogen normal.

4. Monoclonal antigen capture assay. Pengukuran trombosit


dihubungkan dengan antibodi, secara langsung untuk mengukur
trombosit yang berkaitan dengan antibodi.
5. Pemeriksaan sumsum tulang normal atau peningkatan jumlah
4,6
megakariosit dan agranuler, serta tidak mengandung trombosit.
Pedoman dari america society of hematology menyatakan
pemeriksaan sumsum tulang tidak diperlukan pada usia > 40 tahun,
pasien dengan gambaran tidak khas ( gambaran sitopeni) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak
dianjurkan, banyak ahli pediatrik hematologi merekomendasikan
dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum memulai
pemberian kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia
akut. 1

8. DIAGNOSIS

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium, perlu dilakukan pada setiap pasien saat kunjungan pertama kali ke
saranakesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya
data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, dan untuk menentukan
tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali tanda-tanda perdarahan dan faktor resiko. Tanda
perdarahan seperti munculnya petekie, purpura, perdarahan yang sulit berhenti,
perdarahan pada gusi, mimisan spontan, perdarahan konjungtiva, perdarahan
saluran cerna seperti melena, hematuria, dan menstruasi yang berkepanjangan
pada wanita.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya purpura dan petekie, perdarahan


mukokutan, mungkin bisa ditemukan adanya splenomegali (10% pada anak) yang
jarang terjadi.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap dapat
ditemukan adanya penurunan jumlah trombosit dengan leukosit dan eritrosit
dalam batas normal (tidak terjadi perdarahan masif), pemeriksaan darah tepi
ditemukan penurunan sel trombosit dengan atau tanpa megatrombosit,
pemeriksaan sumsum tulang didapatkan peningkatan megakariosit. Pada
pemeriksaan PT dan APTT dalam batas normal.

9. PENATALAKSANAAN

Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran
aman sehinggamencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi
menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma
kepala, hindari pemakaian obat-obatan yangmempengaruhi fungsi trombosit.
Terapi khusus yakni terapi farmakologis.
Terapi Awal ITP (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0-
1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2
minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan , kemudian tapering. Kriteria respon
awal adalah peningkatan AT <30.000/L, AT>50.000/L setelah 10 hari terapi
awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT <30.000L/
AT 50.000/ L terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap>50.000/mL
setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia
berat (AT <10.000/L) setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan
untuk splenektomi.
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-
turutdigunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT <5000/mL meskipun telah
mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang
progresif. Hampir 80% pasien berespon baik dengan cepat meningkatkan AT
namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi
serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA Kongenital.
Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade Fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk ITP, dan kebanyakan
pasiend ewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis
tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi.
Splenektomi diindikasikan jika pasien tidak merespon pada prednison awal atau
memerlukan prednison dosis tinggi yang tidak masuk akal untuk mempertahankan
jumlah platelet yang memadai. Pasien lain mungkin tidak toleran terhadap
prednison atau mungkin hanya lebih memilih terapi bedah alternatif.
Splenektomidapat dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung trombosit
kurang dari 10.000 / MCL.80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi
baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.
Penanganan Rileps pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan
hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IglV atau
imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya
trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan
apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /L sampai 50.000/L
bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada
tidaknya risikotinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/L perlu diberi IglV
sebelum pembedahan atau setelahtrauma pada beberapa pasien. Pada pasien ITP
kronik dan AT <30.000/l IglV atau metil prednisolon dapat membantu
meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi.
Terapi ITP Kronik Refrakter
Pasien refrakter (25%-30% pada ITP) didefinisikan sebagai kegagalan
terapikortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih
lanjut karena ATyang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini
memiliki respons terapi yang rendah,mempunyai morbiditas yang bermakna
terhadap penyakit ini dan terapinya serta memilikimortalitas sekitar 16%. ITP
refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a). ITP
menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan splenektomi; c).
AT<30.000/mL.
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral
dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk
6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan.
Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat
lainnya.
Metil prednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua
dan ketiga pada ITP refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada
ITP anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada pasien ITP berat menggunakan dosis tinggi metil
prednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3hari sampai 1 mg/kg
sekali sehari dibandingkan dengan pasien ITP klinis ringan yang telah mendapat
terapi prednison dosis konvensional.
Pasien yang mendapat terapi metilprednisolondosis tinggi mempunyai respon
lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respons (80%vs 53%).
Respons steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan
steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut,
seringdikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat.
Efek samping,terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan
secara intermiten ataudisubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosisanti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel
darah merah rhesusD-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di
lien, jadi bersaing denganautoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc
reseptor blockade.
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin
bernilaiketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT
dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 mg, setiap
minggu selama 4-6 minggu.
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon
seringlambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis
diteruskan sampaidosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian
diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi
lainnya.Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya
bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,simptomatik, ITP kronik refrakter
terhadap berbagai terapis ebelumnya. Pemakaian siklofosfaraid, vinkristin dan
prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti padalimfoma.
Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin 50-
100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons
sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien- pasien
harusdiperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisisyang serius. Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan
Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% ITP refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
keduadan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan
aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah
penanganannya. Pada umumnya ITP refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitashidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dankedua
hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-, (ii) anti-CD20,
(iii)Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya.

Rekomendasi Terapi ITP Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi
dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu
antibodimonoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan
25 - 50%, danmemiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif
sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien
tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT
(misalnya. Perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa
pasien ITP refrakter tetapi studi lebih.
10. PROGNOSIS

Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien ITP


dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian
pada ITP biasanya disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat fatal
berkisar 2,2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8% untuk usia lebih
dari 60 tahun.

TB Paru

DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis).

ETIOLOGI
Mycobacterium merupakan bakteri batang, dan bersifat aerob. Bakteri ini tidak
membentuk spora. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit tuberkulosis
dan merupakan patogen yang sangat penting pada manusia. Di jaringan, M.
tuberculosis berbentuk batang lurus dengan ukuran 0.4 x 3 m. Bakteri ini memiliki
dinding sel yang mengandung lilin, sehingga tidak bisa diwarnai dengan metode
pewarnaan biasa. Oleh karena itu, pewarnaan dilakukan dengan teknik Ziehl-Neelsen.
Mycobacterium merupakan aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi
senyawa-senyawa karbon sederhana.

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah


sebagai berikut :

Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.

Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.

Memerlukan media khusu untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,


Ogawa.

Kuman Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan


dibawah mikroskop.

Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4 derajat celcius sampai minum 70 derajat
celcius.

Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.

Dalam dahak pada suhu antara 30-37 derajat celcius akan mati dalam waktu
lebih kurang 1 minggu.

Kuman dapat bersifat dormant (tidur/tidak berkembang).

CARA PENULARAN
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negative tidak mengandung kuman dalam dahaknya.
2. Pasien TB dengan BTA negative juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negative
dengan kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negative
dan foto toraks positif adalah 17%.
3. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung droplet
nuclei dahak yang infeksius tersebut.
4. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
EPIDEMIOLOGI
Dalam laporan WHO tahun 2013 :
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta
orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita
TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar pada pria tetapi
angka kesakitan dan kematian karena TB juga sangat tinggi. Diperkieakan
terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena
TB mencapai 410.000 kasus termasuk diantaranya adalah 160.000 orang
wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang
meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.

UPAYA PENGENDALIAN TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, WHO dan IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) mengembangkan strategi pengendalian TB
yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kuncu, yaitu :
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.

2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin


mutunya.
3. Pengobatan yang standar, dengan pengobatan dan dukungan bagi pasien.

4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan


penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB
dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.

KLASIFIKASI
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita


1) Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
3) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah
4) Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5) Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan
6) Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
7) Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik

2. Tuberkulosis ekstra paru


Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat dengan TB ekstraparu
aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti
tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakit, yaitu :
TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.

PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.
Tuberkulosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (post-primer).
Tuberkulosis primer dimulai dengan serangan dini yang berlokasi di regio atas paru.
Invasinya kearah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Serangan dini ini
mula-mula juga berbentuk serangan pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu serangan
ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB
usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang yang mula2 meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis.

Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini
yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju dibatukkan keluar
akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas skerotik (kronik). Terjadinya perkijauan dan kavitas adalah karena hidrolisis
protein lipid dan asma nukleat oeh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses
yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijauan lain yang jarang adalah
cryptic disseminate tuberkulosis yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.

Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak kavitas dapat :
1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk kedalam peradaran darah arteri, maka akan terjadi tuberkulosis milier.
Dapat juga masuk keparu sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya keusus menjadi tuberkulosis usus. Sarang ini selanjutnya
mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi
tuberkulosis endobronkial dan tuberkulosis endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura.
2. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma
ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan
jadi kavitas lagi. Komplikasi kronikkavitas adalah kolonisasi oleh fungus
seperti aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
3. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai
kavitas terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate
shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
a. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi,
b. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna, dan
c. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
dengan spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi
kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.

DIAGNOSIS
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan Fisik
Pasien bisa terlihat kurus atau berat badan menurun, suhu badan demam
(subfebris), konjungtiva mata dan kulit yang pucat karena anemia. Bila dicurigai
adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara nafas bronchial. Mungkin didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki
basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur


paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut menjadi cold abcess.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologik
a) Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b) Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan
dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
c) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL,
urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.
2. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih
yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Apabila hasil
pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah
satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses
antigen-antibodi yang terjadi.
b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis
uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
d. ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka
antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna
merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
4. Pemeriksaan BACTEC : Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin
ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.
5. Pemeriksaan Cairan Pleura : Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta
cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
6. Pemeriksaan histopatologi jaringan : Bahan histopatologi jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans
thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah
bening dan biopsi organ lain diluar paru. Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan
7. Pemeriksaan darah : Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama
dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula
kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga
kurang spesifik.
8. Uji tuberculin : Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Pada pleuritis tuberkulosa
uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika
awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan
gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang
berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan
(M.tuberculosis).
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus
vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Diagnosis TB paru
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.

(skema alur diagnosis alternative 1)


(skema alur alternative 2)

TATALAKSANA
1) Pengobatan TB bertujuan untuk ;
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
c. Mencegah terjadi kekambuhan TB.
d. Menurunkan penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
2) Prinsip pengobatan TB :
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjit dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
Pengobatan diberikan dalam bentuk panduat OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
Diberikan dalam dosis yang tepat.
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3) Tahapan pengobatan TB :
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan :
Tahap Awal : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sedah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
Tahap lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persiter atau dormant sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
4) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Panduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket


obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister.

Paduan OAT yang digunakan :


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4R3H3 Atau 2 RHZE/
6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

TB Paru kasus gagal pengobatan


Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk
kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3

TB Paru kasus lalai berobat


Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal
- Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
1) Berobat 4 bulan, BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan
OAT STOP
2) Berobat 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
panduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
panduan obat yang sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi
klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadwal.

TB Paru kasus kronik


- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat
lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat.

TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Kriteria Sembuh
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.
Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis
BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan
sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada
kecurigaan TB kambuh).

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan,
kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat
menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus
barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4) Pasien TB dengan kelainan hati
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke
fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT
berikut ini dapat dipertimbangkan: (RHZ)
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).
c) Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obatobat hepatotoksik (drug
induced hepatitis)
Penatalaksanaan:
- Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual, muntah [+]) OAT
Stop
- Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-) teruskan pengobatan, dengan
pengawasan
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis
pemberian 3x /minggu bagi Z: 25 mg/kg BB dan E: 15 mg/kg BB. Pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan
Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau.
6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan
7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid hanya digunakan pada
keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk
mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan
penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis. Predinisolon (per oral):
Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
Dewasa: 30 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).

KOMPLIKASI
Komplikasi Tb paru dibagi atas :
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus,
Poncets arthropathy (arthritis tuberculosis)
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (sindrom obstruksi pasca TB), kor-
pulmonal, amiloidosis paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB milier,
jamur paru (aspergilosis), dan kavitas.
Farmakologi OAT
1. Isoniazid
Isoniazid memiliki aktivitas bactericidal yang baik terhadap bakteri M.
tuberculosis aktif yang berada pada intraselular maupun ekstraselular. Obat
ini termasuk bacteriostatic pada organisme lain yang membelah secara
lambat. Pada pengobatan LTBI (Infeksi TB latent), isoniazid merupakan
agen lini pertama karena obat ini dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh,
dan juga relatif tidak mahal. Untuk bisa bermanfaat sebagai OAT, isoniazid
dikombinasikan dengan beberapa obat anti tuberkulosis lainnya. Regimen
standarnya adalah isoniazid, rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide.

Mekanisme Kerja Obat


Isoniazid merupakan prodrug yang diaktivasi oleh KatG catalase/peroxidase
pada mycobacterium; isoniazid digabungkan dengan NADH. Hasil dari
komplek isonicotinic acyl-NADH dapat memblokir ketoenoylreductase atau
InhA, terikat pada substratnya dan menghambat enzim fatty acid synthase.
Enzim ini sangat dibutuhkan untuk membuat mycolic acid, yang penting
bagi dinding sel mycobacterium. Aktivasi KatG oleh isoniazid juga dapat
menyebabkan lepasnya radikal bebas yang memiliki aktivitas
antimycobacterial, misalnya nitrit oksida.

Farmakologi
Dosis harian dewasa adalah 300 mg, di mana puncak konsentrasi pada
serum adalah 3-5 g/mL dalam waktu 30 menit hingga 2 jam setelah
dikonsumsi. Sediaan oral maupun intramuscular dari isoniazid dapat diserap
tubuh dengan kadar yang baik, namun absorpsi oral dapat berkurang apabila
pasien juga mengonsumsi antasida dan makanan yang tinggi karbohidrat.
Isoniazid dimetabolisme oleh hati dengan cara acetylation oleh N-
acetyltransferase 2 (NAT2) dan hydrolysis. Isoniazid dapat berinteraksi
dengan obat lain, karena kemampuannya untuk menginhibisi sistem sitokrop
P450. Beberapa obat yang memiliki interaksi dengan isoniazid antara lain
warfarin, carbamazepine, benzodiazepine, acetaminophen, clopidogrel,
maraviroc, drone-darone, salmeterol, tamoxifen, eplerenone, dan phenytoin.

Efek samping
Meskipun isoniazid ditoleransi dengan baik oleh tubuh, ada risiko terjadi
keruasakan hati dan neuropathy periferal. Isoniazid dapat menyebabkan
elevasi kadar aminotransferase meskipun bersifat asimptomatik. Beberapa
efek samping lainnya adalah kemerahan (2%), demam (1.2%), anemia,
jerawat, symptom arthritis, kejang, dan atropi optic. Hepatitis simptomatik
hanya ditemukan pada 0.1% pasien.
2. Rifampicin
Rifampicin merupakan obat antimycobacterial terkuat yang saat ini ada.
Rifampicin memiliki aktivitas bactericidal pada M. tuberculosis yang aktif
membelah maupun yang tidak aktif membelah, dan dengan efek sterilisasi.

Mekanisme Kerja Obat


Rifampicin dapat mengeluarkan efek bactericidal baik pada bakteri
intraselular maupun ekstraselular. Rifampicin dapat berikatan pada RNA
polymerase yang dependen DNA, sehingga dapat menghambat sintesis
RNA.

Farmakologi
Rifampicin larut dalam lemak, dan memiliki molekul macrocyclic yang
kompleks. Kadar serum puncak adalah 10-20 g/mL 2,5 jam setelah
konsumsi obat. Waktu paruh rifampicin adalah 1,5 jam hingga 5 jam. Obat
ini didistribusi dengan baik hampir ke seluruh bagian tubuh, termasuk juga
ke cairan cerebrospinal. Rifampicin dapat mengubah cairan tubuh seperti
urin, saliva, sputum dan air mata menjadi warna orange-kemerahan.

Efek Samping
Efek samping terkait dengan rifampicin jarang terjadi, dan biasanya ringan.
Hepatotoksisitas karena rifampicin tidak umum terjadi, kecuali jika
sebelumnya sudah ada penyakit pada liver. Efek samping lainnya adalah
kemerahan, pruritus, simptom GIT, dan pancytopenia.

3. Ethambutol
Ethambutol merupakan antimycobacterial yang bersifat bacteriostatic.
Meskipun demikian, Ethambutol merupakan obat yang memiliki potensi
paling rendah dibandingkan dengan OAT lainnya. Ethambutol juga dipakai
sebagai kombinasi dengan obat lain pada fase lanjutan bagi pasien yang
tidak dapat mentoleransi isoniazid atau rifampicin.

Mekanisme Kerja Obat


Ethambutol merupakan agen bacteriostatic terhadap M. tuberculosis.
Mekanisme kerja utamanya adalah menghambat arabinosyltransferase yang
berperan dalam pembentukan dinding sel, yang kemungkinan juga
menghambat pembentukan arabinogalactan dan lipoarabinomannan.

Farmakologi
Pada dosis harian ethambutol, sebanyak 75-80% diabsorbsi oleh tubuh
setelah 2-4 jam dikonsumsi. Kadar puncak dalam serum adalah 2-4 g/mL.
Ethambutol didistribusi dengan baik ke seluruh bagian tubuh, kecuali pada
cairan cerebrospinal.
Efek Samping
Ethambutol biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memiliki
interaksi obat yang signifikan. Kasus yang signifikan yang pernah
dilaporkan adalah neuritis optic, dengan gejala pengelihatan kabur, scotoma
sentral, dan juga kehilangan kemampuan melihat warna hijau. Penyebab dari
neuritis sampai saat ini masih belum diketahui, namun ethambutol mungkin
memiliki efek pada sel amacrine dan bipolar di retina. Gejala ini timbul
beberapa bulan setelah diawalinya terapi, namun toksisitas okular dapat
terjadi sesaat setelah terapi ethambutol dimulai. Penggunaan rutin
ethambutol pada anak tidak direkomendasi, karena monitoring pengelihatan
pada anak lebih sulit dilakukan.

4. Pyrazinamide
Pyrazinamide memiliki efek bactericidal, dan berfungsi sebagai analog
nicotinamide. Penggunaan pyrazinamide sebagai terapi awal dapat
memperpendek durasi pengobatan dari 9 bulan menjadi 6 bulan, dan juga
mengurangi kemungkinan terjadinya relapse.

Mekanisme Kerja
Aktivitas antimycobacterial yang dimiliki pyrazinamide terbatas hanya
untuk M. tuberculosis. Pyrazinamide merupakan prodrug yang dikonversi
oleh pyrimidase mycobacterium menjadi bentuk yang aktif, yaitu asam
pyrazinoic. Agen ini aktif hanya pada keadaan yang asam (pH <6.0), di
mana keadaan asam ini ditemukan pada fagosit ataupun granuloma.
Mekanisme kerja asam pyrazinoic masih belum diketahui secara pasti,
namun kemungkinan yang menjadi target pada M. tuberculosis adalah enzim
fatty acid synthase I nya.

Farmakologi
Pyrazinamide sangat baik diabsorbsi pada administrasi oral, dengan
konsentrasi puncak serum 20-60 g/mL 1-2 jam setelah dikonsumsi.
Pyrazinamide didistribusi sangat baik ke seluruh tubuh, termasuk ke cairan
cerebrospinal, dan merupakan komponen penting untuk terapi turbeculosis
meningitis. Waktu paruhnya adalah 9-11 jam dengan fungsi ginjal dan hepar
yang normal. Pyrazinamide dimetabolisme di liver menjadi POA, 5-
hydroxypyrazinamide, dan 5-hydroxy-POA. Sebagian besar pyrazinamide
dan metabolitnya dieksresi melalui urin.

Efek samping
Pada dosis yang lebih tinggi, hepatotoksisitas terjadi pada 15% pasien.
Meski demikian, dengan mengikuti dosis yang sudah direkomendasikan,
hepatotoksisitas saat ini lebih jarang terjadi. Di Amerika Serikat,
pyrazinamide tidak direkomendasikan karena kurangnya data mengenai
teratogenisitasnya.
Tiroid Storm

Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus

pharyngeus pertama dan kedua. Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi

foramen sekum di pangkal lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai

setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus.

Penurunan ini terjadi pada garis tengah janin. Saluran pada struktur endodermal ini

tetap ada dan menjadi duktus tiroglossus atau mengalami obliterasi menjadi lobus

piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada

minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.6

Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fascia

prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah

besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis, dan

melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat

kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi

letak dan jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis

interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di laterodorsal

tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus

dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan

prevertebralis.6
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber; arteri karotis superior

kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua arteri tiroidea

inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea

ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea

superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral, dan vena

tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring dengan pita suara

(plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus laringeus superior.6

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang

kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium

nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat

ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat

tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan

disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan

dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian

mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu

globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat

albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Hormon stimulator tiroid (thyroid

stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk mengatur sekresi

dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang

dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon

tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikuler yang

menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu

menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.6

2.2. Hipertiroidisme
2.2.1 Definisi

Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar

dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar

tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan

hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis

tirotoksikosis.3

2.2.2 Pengaturan Faal Tiroid Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid3 :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormon)

Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat

sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.

2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone)

Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit ( dan ). Sub unit sama

seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG)

dan penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit adalah khusus untuk

setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor dipermukaan

sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan

trapping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah

produksi hormon meningkat.

3. Umpan balik sekresi hormon.

Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya hormon

bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping berefek

pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi

kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.


Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut

fenomena Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap

yodium sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada

penyakit tiroid autoimun.

2.2.3 Efek Metabolik Hormon Tiroid

Efek metabolik hormon tiroid adalah3

1. Kalorigenik.

2. Termoregulasi.

3. Metabolisme protein: Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik.

4. Metabolisme karbohidrat: Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal

meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot

menipis pada dosis farmakologis tinggi, dan degradasi insulin meningkat.


5. Metabolisme lipid: T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses

degradasi kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,

sehingga pada hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada

hipotiroidisme, kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

6. Vitamin A: Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan

hormon tiroid.

7. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3

tahun pertama kehidupan.

8. Lain-lain: Pengaruh hormon tiroid yang meninggi menyebabkan tonus

traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi

diare.

2.2.4 Efek Fisiologik Hormon Tiroid

1. Efek pada perkembangan janin

Sistem TSH dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia di

dalam 11 minggu. Sebagian T3 dan T4 maternal diinaktivasi pada plasenta. Dan

sangat sedikit hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin

sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri.3


2. Efek pada konsumsi oksigen dan produksi panas

T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi

Na+ K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan testis. Hal ini berperan

pada peningkatan percepatan metabolisme basal dan peningkatan kepekaan terhadap

panas pada hipertiroidisme.3

3. Efek kardiovaskuler

T3 merangsang transkripsi dari rantai alpha miosin dan menghambat rantai

beta miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan

transkripsi Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi di

diastolik jantung dan meningkatkan reseptor adrenergik . Dengan demikian, hormon

tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap otot jantung.3

4. Efek Simpatik

Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik- dalam otot jantung,

otot skeletal dan jaringan adiposa. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-

miokardial. Disamping itu, mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada

tempat paskareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap ketokolamin meningkat

dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat

adrenergik- dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardi dan aritmia.3

5. Efek Pulmonar

Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapnia pada

pusat pernafasan, sehingga terjadi frekuensi nafas meningkat.3

6. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan

peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun volume

darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi. Hormon tiroid meningkatkan

kandungan 2,3 difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2

hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan.3

7. Efek Gastrointestinal

Hormon tiroid merangsang motillitas usus, yang dapat menimbulkan

peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga menyumbang

pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipertiroidisme.3

8. Efek Skeletal

Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan

resorbsi tulang dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan

demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna.3

9. Efek Neuromuskular

Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein

struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan

kehilangan jaringan otot atau miopati. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan

kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperfleksia pada

hipertiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal

susunan syaraf pusat dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta di dalam

kehamilan.3

10. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat


Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati

demikian pula absorbsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan

mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya

meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh

suatu peningkatan dari reseptor low density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar

kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat,

melepaskan asam lemak dan gliserol.3

11. Efek Endokrin

Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan

obat-obatan farmakologi. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien

hipertiroid dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar

hormon sirkulasi yang normal.3

2.2.5 Etiologi

Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter

miltinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves

adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada

goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.7,8

Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang

penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15%

pasien graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-kira

50% keluarga pasien dengan penyakit graves mempunyai autoantibodi tiroid yang

beredar dalam darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak dari pada pria.

Penyakit ini terjadi pada segala umur dengan insidensi puncak pada kelompok umur

20-40 tahun.7,8

2.2.6 Patogenesis
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar

tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen

ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel

tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan

pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan

penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,

namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang

mendorong respon imun pada penyakit graves ialah7,8 :


1. Kehamilan.

2. Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana kekurangan

iodida dapat menutupi penyakit Graves laten pada saat pemeriksaan.

3. Infeksi bakterial atau viral. Diduga stres dapat mencetus suatu episode

penyakit Graves, tapi tidak ada bukti yang mendukung.

2.2.7 Manifestasi Klinik

Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,

kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang

dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan.

Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata, dan takikardi ringan

umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat

sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat

pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60

tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang

paling menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort , tremor, nervous dan penurunan

berat badan.4,7,8
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan

sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis

yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup,

berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan

berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat

spesifik, sehingga segera dipikirkan adanya hipertiroidisme.3

Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang disebut

dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan degenerasi

otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses autoimun. Eksoftalmus

berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus sehingga penglihatan akan rusak.

Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak bisa menutup sempurna sehingga

permukaan epithel menjadi kering dan sering terinfeksi dan menimbulkan ulkus

kornea.3

Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab gejala

dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang berdiri sendiri.

Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-tanda kelainan tiroid

sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak dapat diterangkan pada

umur pertengahan harus dipikirkan hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga

curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia

lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam

darah untuk mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari

gejala-gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang

kecil.4,7,8

2.2.8 Diagnosis
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya dapat ditemukan. Sehingga mudah

pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan

orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu

menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena

perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi

hipermetabolik, sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa sudah jelas,

namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dilakukan, dengan

alasan3 :

1. Untuk lebih menguatkan diagnosa yang sudah ditetapkan pada

pemeriksaan klinis.

2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa

kondisi, seperti atrial fibrilasi yang tidak diketahui penyebabnya, payah

jantung, berat badan menurun, diare atau miopati tanpa manifestasi klinis

lain hipertiroidisme.

3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang

meragukan.

Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid

Stimulating Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas

subnormal dan free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukan

hipertiroidisme.3

2.3 Krisis Tiroid

2.3.1 Definisi
Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis

dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan

berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang

mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran

fungsi organ.1,2

2.3.2 Etiologi krisis tiroid

Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital

untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang

memicu terjadinya krisis tiroid ini adalah9 :

operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian

tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon

tiroidnya9

stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid

pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen

infeksi

stroke

trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat

memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme

sebelumnya.9,10

2.3.3 Manifestasi klinis

Untuk mengetahui apakah keadaan seseorang ini sudah masuk dalam tahap

krisis tiroid adalah dengan mengumpulkan gejala dari kelainan organ yakni pada

sistem saraf terjadi penurunan kesadaran (sampai dengan koma), hyperpyrexia (suhu

badan diatas 40oC), aktivasi adrenergik (takikardia/denyut jantung diatas 140x/menit,


muntah dan mencret serta kuning). Gejala lain dapat berupa berkeringat, kemerahan,

dan tekanan darah yang meningkat.9,10,11

2.3.4 Patofisiologi

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa meningkatnya produksi dari T3

atau T4 menyebabkan krisis tiroid. Peningkatan reseptor katekolamin (peningkatan

sensitifitas dari katekolamin) memegang kunci penting. Penurunan pengikatan dari

TBG (meningkatnya T3 atau T4 bebas) mungkin ikut berperan.9

2.4 Pengobatan krisis tiroid

Pilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang

diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih

tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus

segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang

sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan

angka kesakitan dan kematian dari kelainan ini.2,9,10,11

Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam

hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang

dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.2,9,10,11

Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan

kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama

yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang

diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan

tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau

melalui nasogastric tube (NGT). 2,9,10,11


Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis

hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk.

Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis.

Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid

karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 ditingkat perifer. 2,9,10,11

Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat

lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4

menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU

sehingga lebih efektif. Adalah tidak rasional memasukkan methimazole 30mg/6jam

atau PTU 200mg/4jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk

digunakan secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan

oleh saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 2,9,10,11

Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Dosis yang

diberikan lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk memblok pelepasan hormone.

Laruton lugols 10 tetes/8jam secara oral. Dapat juga dilakukan pemberian laruton

lugols 10 tetes tersebut secara intravena langsung selama masih dianggap steril.

Larutan iodine ini juga dapat diberikan secara rectal. 2,9,10,11

Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan

memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit

graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis

tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun

toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya. 2,9,10,11

Anda mungkin juga menyukai