Anda di halaman 1dari 4

Nama : Famela mentari /13811184/B

1. Gagal jantung
Definisi : sindrom klinis yang terjadi karena ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Etiologi : a.disfungsi sisitolik (penurunan kontraktilitas) yang bisa terjadi karena pengurangan masaa otot,
kardiomiopati, hipertrofi ventrikel, adanya tekanan yang berlebiha, volume yang berlebihan. B. disfungsi
diastolik (pembatasan pengisian ventrikel) dikarenakan, peningkatan kekakuan ventrikel, hipertrofi ventrikel,
miokard infiltrasi, iskemi miokard, stenosis katup trikuspidalis, penyakit pericardial.
Patofisiologi : terjadi karena ketidakmampuan jantung untuk berkontraksi maupun relaksasi, ketika terjadi
gagal jantung makan jantung akan memberikan respon kompensasi untuk mempertahankan kardiak output
melalui:
a.) respon kompensasi takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui sistem saraf simpatik, dimana saraf
simpatik akan merangsang pelepasan noreepinefrin sehingga terjadi peningkatan denyut jantung>
peningkatan kontraktilitas> penigkatan kardiak output.
b.) mekanisme frank-starling, dimana hasil peningkatan preload dalam peningkatan stroke volume,
c.) vasokonstriksi, dimana terjadi penyempitan pembuluh darah>darah hanya dialirkan ke organ vital (jantung
dan otak)> timbul gejala lelah, letih karena organ lain kekurangan aliran darah> peningkatan kontraktilitas
jantung> peningkatan kardiak output
d.) hipertrofi ventrikel, dimana ventrikel akan mengalami pembesaran, karena terus-menerus dipaksa untuk
memompa darah> terjadi perubahan struktur ventrikel> tidak dapat kembali ke bentuk semula (1).
Mekanisme kompensasi yang dilakukan terus menerus dalam jangka waktu yang panjang akan menjadi
pemicu terjadinya gagal jantung.
Faktor resiko : riwayat penyakit arteri koroner, hipertensi, diabetes mellitus, arteriosklerosis, kondisi yang
dapat menyebabkan kerusakan kardiak (merokok, penggunaan alkohol, kokain, amfetamin)(2).
Klasifikasi : menurut ACC/AHA stage gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung,
stage A : risiko tinggi untuk terjadi gagal jantung, belum ada kelainan struktur atau fungsional jantung, belum
ada tanda atau gejala,
stage B : terjadi perubahan struktur jantung, tetapi belum ada gejala,
stage C : terjadi perubahan struktur jantung diikuti adanya gejala gagal jantung,
stage D : terjadi perubahan structural yang diikuti gejala gagal jantung saat istirahat dan membutuhkan terapi
medis maksimal.
Menurut NYHA klasifikasi fungsional, keparahan berdasarkan gejala dan aktivitas fisik,
kelas I : tidak ada batasan aktivitas. Aktivitas biasa tidak akan menyebabkan gejala kelelahan, palpitasi atau
dispnea,
kelas II : sedikit dibatasi aktivitas fisik, lebih nyaman ketika istirahat, aktivitas biasa kadang dapat
menimbulkan gejala,
kelas III: sangat dibatasi aktivitas fisik, lebih nyaman istirahat aktivitas ringan dapat menimbulkan gejala,
kelas IV : pasien istirahat total, tidak dapat melakukan aktivitas(3).
Gejala umum : dari asimtomatik ke syok kardiogenik, gejala : dyspnea saat aktivitas, paroxysmal nocturnal
dyspnea, batuk, kelelahan, nokturia, ascites, nafsu makan menurun, kembung, mual, anoreksia,tanda: efusi
pleura,takikardi, edema perifer, edema paru, tanda : BNP >100 pg/mL, terjadi perubahan pada EKG ST-T,
serum kreatinin meningkat karena hipoperfusi, radiografi dada untuk mendeteksi adanya pembesaran jantung,
edema paru, efusi pleura, hiponatremia, natrium serum < 130 mEq/L.
Diagnosis : tidak ada tes yang tersedia untuk memastikan diagnosis gagal jantung, karena sindrom gagal
jantung dapat disebabkan atau diperburuk oleh penyakit kardiak atau non kardiak. Gejala dan gejala n tanda
yang muncul tidak dapat dipastikan sebagai gagal jantung karena gejala tersebut juga dapat muncul pada
penyakit lain. Namun riwayat, uji fisik dan tes laboratotium dapat mendukung diagnosis gagal jantung(1).

2. Obat-obat gagal jantung dan mekanismenya


a. Vasodilator : mengurangi preload (volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole) dan afterload
(tekanan yang harus dilakukan jantung ketika memompa darah) yang berlebihan.
Terdiri dari ACEi yang menghambat enzim dari angiotensin I membentuk angiotensin II, sehingga
mengurangi aldosteron sehingga akan mengurangi terjadinya remodeling ventrikel, fibrosis miokard,
hipertrofi jantung, pelepasan neurotransmiter, vasokonstriksi,dan terjadi penurunan retensi natrium dan
air, contoh obat : captopril, enalapril, fosinopril,lisinopril.
b. Diuretic : mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer dengan menurunkan volume plasma.
furosemid (loop diuretik) bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat reabsopsi NaCl dalam ansa
henle dengan menghambat kotransport Na/K/2CI(3).
Contohnya Loop diuretik (furosemid), Tiazid (Hidroklorotiasid).
c. Obat-obat ionotropik : meningkatkan kontraksi jantung dan meningkatkan curah jantung. Terdiri dari
digitalis : mempengaruhi aliran ion natrium dan kalsium dalam otot jantung sehingga meningkatkan
miokard arterial dan ventrikel atau menghambat Na+/K+-ATPase membran yang berperan dalam
pertukaran Na+/K+ melalui sel otot sehingga menyebabkan peningkatan Na+ intrasel dan menghasilkan
peningkatan Ca2+ intrasel dan kontraksi otot jantung meningkat (peningkatan Ca2+ terjadi karena
penghambatan pompa Ca2+ selama diastol) contoh : digoksin.
Agonis β-adrenergik : memperbaiki kemampuan jantung dengan efek ionotropik spesifik dalam
vasodilatasi, contoh : dobutamin. Inhibitor fosfodiesterase : memacu konsentrasi intrasel siklik-AMP
sehingga menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung, contoh amrinon dan
milrinon(4).
d. ARB : memblok reseptor angotensin II, contoh : valsartan
e. Antagonis aldosteron : memblok reseptor mineralokortikoid, sehingga menghambat reabsorbsi natrium
dan ekskresi potassium/ kalium. Contoh : spironolakton
f. Nitrat : meningkatkan siklik guanosin monofosfat di otot polos pembuluh darah sehingga terjadi venodilator
dan menurunkan preload.
Hidralazin : vasodilator langsung pada sebagian besar otot polos arteri sehingga menurunkan SVR dan
meningkatkan SV dan CO(1).
3. Tatalaksana terapi GJK dengan hipertensi
Terapi Farmakologi pasien gagal jantung dilakukan berdasarkan stage penyakit. Terapi pada stage A lebih
diarahkan pada penurunan faktor risiko penyakit jantung pada pasien gagal jantung seperti penghentian
kebiasaan merokok maupun pengobatan rutin penyakit yang berhubungan erat dengan gagal jantung
(hipertensi, DM, dislipidemia)(1). Stage B diterapi berdasarkan pada pedoman stage A dengan catatan apabila
pasien memiliki riwayat infark miokardium dan atau asymptomatic left ventricular remodelling maka diberikan
ACEI dan β-blocker(1). Jika pasien mengalami intoleran pada golongan ACEI maka dapat diganti dengan ARB.
Terapi pada stage D lebih kompleks karena pasien perlu diterapi dengan inotropik positif yang berkelanjutan,
transplantasi jantung maupun perawatan di RS(1). GJK dengan hipertensi : bisa diberikan ACEi dan diuretic.
Jika tidak efektif dapat diberikan β-bloker, jika tidak efektif lagi diberikan ARB atau antagonis
aldosteron(1)isosorbitdinitrat/ hidralazin atau generasi ke-2 CCB (amlodipine)(1).
Terapi nonfarmakologi :
- Memberitahu pasien tentang penyakit, pengobtan dan pertolongan yang dapat dilakukan sendiri.
- Melakukan perubahan gaya hidup, pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan
- Menghentikan minuman beralkohol
- Dianjurkan olahraga(5).
- hindari rokok,
- hindari stress,
- menurunkan beban jantung (batasi aktivitas, dan
- turunkan berat badan),
- rehabilitasi atau penyehatan kardiak,
- batasi konsumsi cairan (maksimum 2L/hari), mengurangi konsumsi garam (kurang lebih 1,5 hingga 2
gram/hari)
4. FARM
A : over dosis digoksin
Efek samping captopril meningkatkan serum kreatinin
R : turunkan dosis digoksin menjadi 0,125 mg 1x1(6).
Turunkan dosis kaptopril menjadi 12,5 mg 3x1
M : efektivitas : pengobatan gagal jantung dengan efek inotropik positif dengan meningkatkan kadar Ca2+
sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas sel otot jantung. Efek samping : GI : anoreksia, mual, muntah, nyeri
lambung(7).
5. TDM digoksin
Efek toksik digoksin dapat berupa kematian, aritmia, gangguan gastrointestinal, abnormalitas sistem syaraf
pusat. Pemantauan kadar digoksin dilakukan untuk memantau kadar yang tepat dalam pemberian terapi
karena digoksin mempunyai indeks terapi sempit dan variabilitas farmakokinetik individu yang besar. Tujuan
utama dilakukan TDM digoksin adalah:
- untuk menilai kepatuhan pasien,
- mengetahui alasan terjadinya kegagalan terapi,
- memonitoring toksisitas,
- dan mengetahui faktor-faktor yang dapat mengubah farmakokinetik digoksin (terutam terkait disfungsi ginjal
dan interaksi obat) (8).
Perhitungan penyesuaian dosis digoxin ; Clcru = 32,48 dan Clcrn = 121,31 sehingga dihitung dari Ku/Kn =
0,487 dan penyesuaian dosis = D0 (0,25) x 0,487 = 0,121 mg. Kemudian dosis ini disesuaikan dengan
sediaan dipasaran menjadi 0,125 mg per oral ( 1x sehari). Saat gejala toksisitas hilang maka diasumsikan
digoksin telah dieksresikan yaitu 5 x t1/2 (5x 38 jam = 7,92 (8 hari)
Dosis captopril ; Ku/Kn = 0,52 sehingga dosis = 25 mg x 0,52 = 13 mg disesuaikan dengan dosis dipasaran
menjadi 12,5 mg.
6. Hal-hal yang perlu dikonselingkan
- membatasi asupan garam dan air,
- membatasi makanan tinggi lemak,
- turunkan berat badan,
- aktivitas ringan,
- posisi setengah duduk saat tidur, transplantasi jantung (disesuaikan dengan derajat gagal jantung)

Daftar pustaka

1. Dipiro, J., et al, 2007, Pharmacotherapy a pathophysiologic Approach 7th, MC grow Hill, Washington DC.
2. American Heart Association., 2009., ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart
Failure in Adults: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines, Circulation., United States of America
3. Dickstein, K., et al, 2008, ESC Guidelines for the diagnose and treatment of acute and chronic heart
failure, European Heart Journal, 29, 2388-2442.
4. J.M., Mary, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Widya Medika, Jakarta.
5. Majid, A., 2010, Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Rawat Inap Ulang Pasien
Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit Yogyakarta tahun 2010, Tesis, Yogyakarta.
6. Anonim, 2010, Heart Failure Management Guidelines, Multicare Health System.
7. Lupiyatama, S., 2012, Gambaran Peresepan Digoksin pada Pasien Gagal Jantung yang Berobat Jalan di
RDUP Dr. Kariadi Semarang, Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah, Semarang.
8. Shaker, E., et al, 2013, Therapeutic Drug Monitoring and Population Pharmacokinetics of Digoxin in
Jordanian Patients, American Journal of Pharmacological Sciences, vol.1, No. 2, 15-21.

Anda mungkin juga menyukai