Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PAPER

MATA KULIAH
“ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI
PADA PENYAKIT PENYERTA KARDIOVASKULAR”

Dosen Pengampu :
Taupik Rahman, AMK, S.Tr. Kes

Disusun Oleh :
Andriansyah (2214320110002)
Zahratun Nisa Hayati (2214320110006)
Maulina Afifah (2214320110009)
Nadzarul Izzatil Ishmah (2214320110014)
Muhammad Fadli (2214320110015)
Muhammad Nazammudin Rifani (2214320110020)

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN ANASTESI


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2024

1
PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

A. Definisi Penyakit Jantung Koroner (PJK)


Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit yang disebabkan oleh penyempitan
arteri jantung (koroner) yang memasok darah ke otot jantung. Meskipun penyempitan
dapat disebabkan oleh bekuan darah atau penyempitan pembuluh darah, paling sering
disebabkan oleh penumpukan plak, yang disebut aterosklerosis.
B. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Patofisiologi penyakit jantung koroner adalah terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis
merupakan penyakit dimana terjadi pembentukan plak di dalam lapisan dinding arteri
yang dapat membesar hingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Plak yang
membesar inilah yang menyebabkan tidak sampainya aliran darah yang cukup pada
jaringan miokardium jantung. Selain itu, penyakit jantung koroner dapat berkembang
menjadi sindrom koroner akut akibat rupturnya plak ini. Rupturnya plak aterosklerosis
akan berujung pada terjadinya thrombosis yang menyebabkan obstruksi arteri, sehingga
muncullah sindrom koroner akut.
C. Farmakoterapi Penyakit Jantung Koroner (PJK)
a. Aspirin dosis rendah
Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama
untuk pencegahan trombosis. Meta-analisis menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg
sama efektivitasnya dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin
disarankan diberi pada semua pasien PJK kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain
itu aspirin juga disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping
iritasi gastrointestinal dan perdarahan, dan alergi.

b. Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine


Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan
menghambat agregasi trombosit.

c. Clopidogrel
Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan resistensi atau intoleransi
terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006 memasukkan kombinasi aspirin
dan clopidogrel harus diberikan pada pasien PCI dengan pemasangan stent, lebih 1
bulan untuk bare metal stent, lebih 3 bulan untuk sirolimus eluting stent, dan lebih 6
bulan untuk paclitaxel-eluting stent.

d. Obat penurun kolesterol


Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi
primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah membuktikan bahwa statin
dapat menurunkan komplikasi sebesar 39% (Heart Protection Study), ASCOTT-LLA
atorvastatin untuk prevensi primer PJK pada pasca-hipertensi. Statin selain sebagai

2
penurun kolesterol, juga mempunyai mekanisme lain (pleiotropic effect) yang dapat
berperan sebagai anti inflamasi, anti trombotik dll. Pemberian atorvastatin 40 mg satu
minggu sebelum PCI dapat mengurangi kerusakan miokard akibat tindakan. Target
penurunan LDL kolesterol adalah < 100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, DM,
penderita PJK dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70 mg/dl.

e. ACE-Inhibitor/ARB
Peranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada pasien dengan
PJK telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study, EUROPA study dll. Bila
intoleransi terhadap ACE-I dapat diganti dengan ARB.

f. Nitrat pada umumnya disarankan


Nitrat memiliki efek venodilator sehingga preload miokard dan volume akhir bilik kiri
dapat menurun sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan
menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami
aterosklerotik. Menaikkan aliran darah kolateral, dan menghambat agregasi trombosit.
Bila serangan angina tidak respons dengan nitrat jangka pendek, maka harus
diwaspadai adanya infark miokard. Efek samping obat adalah sakit kepala, dan
flushing.

g. Penyekat β juga merupakan obat standar


Penyekat β menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokard. Pemberian penyekat β dilakukan
dengan target denyut jantung 50-60 per menit. Kontraindikasi terpenting pemberian
penyekat β adalah riwayat asma bronkial, serta disfungsi bilik kiri akut.

h. Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi


Antagonis kalsium dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat
atau penyekat β; selain itu berguna pula pada pasien yang mempunyai kontraindikasi
penggunaan penyekat β. Antagonis kalsium tidak disarankan bila terdapat penurunan
fungsi bilik kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel.

D. Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK)


Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) dapat bervariasi, tetapi gejala yang
paling umum adalah:
a. Nyeri dada
Nyeri dada atau angina adalah gejala khas PJK. Nyeri dada ini biasanya terasa seperti
tekanan, berat, atau terbakar di dada. Nyeri dada dapat menjalar ke lengan kiri,
rahang, atau punggung. Nyeri dada biasanya terjadi saat istirahat atau saat aktivitas
fisik dan dapat mereda dengan istirahat atau penggunaan obat nitrat .

b. Sesak napas
Sesak napas atau dispnea dapat terjadi saat aktivitas fisik atau bahkan saat istirahat.
Sesak napas dapat disebabkan oleh penumpukan cairan di paru-paru atau
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dengan efisien.

3
c. Keringat dingin
Keringat dingin atau diaphoresis adalah gejala yang sering terjadi pada PJK.
Keringat dingin dapat terjadi bersamaan dengan nyeri dada atau sesak napas.

d. Lemah
Rasa lemah atau kelelahan yang berlebihan juga dapat menjadi gejala PJK.
Kelelahan ini dapat terjadi karena jantung tidak mampu memompa darah dengan
efisien.

e. Mual
Beberapa pasien dengan PJK juga dapat mengalami rasa mual atau muntah.
Penting untuk diingat bahwa manifestasi klinis PJK dapat bervariasi antara individu. Jika
mengalami gejala yang mencurigakan atau memiliki kekhawatiran tentang kesehatan
jantung Anda, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk evaluasi lebih lanjut dan
diagnosis yang akurat.
E. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Aspek penting dari riwayat penyakit pasien dengan penyakit jantung koroner sebelum
dilakukannya operasi non jantung antara lain cardiac reserve, karakteristik angina
pektoris, adanya tanda dan gejala infark miokardium dan secara medis adanya intervensi
kardiologis serta terapi bedah jantung untuk kondisi tersebut. Interaksi medis yang
berpotensi dulu digunakan sebagai tatalaksana penyakit jantung koroner dengan
penggunaan obat sebagai fungsi anesthesia.
Evaluasi lanjut diperlukan untuk mengenali pasien dengan gejala asimtomatik 50-70%
yang mengalami stenosis pada arteri koronaria. Denyut nadi atau tekanan darah sistolik
pada pasien PJK dengan adanya karakteristik berupa angina pektoris atau iskemia
miokardium dapat dideteksi melalui EKG, yang berperan sebagai preoperatif informatif.
Peningkatan tekanan darah seperti hipertensi dapat dijadikan tanda sebagai terjadinya
iskemia miokardium. Takikardia meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium namun
secara bersamaan menurunkan durasi diastolik yang dapat menurunkan aliran darah
koroner dan pasokan oksigen ke ventrikel kiri. Sebaliknya, hipertensi meningkatkan
konsumsi oksigen, dan secara simultan meningkatkan perfusi koroner bersamaan dengan
ateroskelrosis arteri koronaria.
Keadaan psikis pada pasien dengan riwayat penyakit jantung sangat berpengaruh pada
kerja jantung. Dalam hal ini, pasien sebaiknya mampu mengelola stress dan rasa khawatir
karena dapat memperberat kerja jantung. Oleh sebab itu, kita sebagai pemberi edukasi
dan motivasi diharapkan mampu membantu dan mengarahkan pasien dalam menghadapi
emosional dalam dirinya.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium dilakukan dengan teliti, bila terdapat indikasi.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum,
kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi

4
pernafasan. Adapun tanda-tanda penyakit kardiovaskuler yang harus diperhatikan saat
dilakukannya pemeriksaan fisik seperti dyspnea atau ortopnea, sianosis, jari clubbing,
nyeri dada, oedema tungkai, hipertensi, anemia, syok, murmur (bising katup).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu darah yang meliputi Hb, leukosit,
hitung jenis leukosit, golongan darah, masa pembekuan, masa perdarahan. Pengambilan
foto thorax untuk mengetahui gambaran jantung serta pemasangan EKG untum
mengetahui keadaan otot dan listrik jantung. Pemeriksaan khusus lainnya dapat dilakukan
apabila ada indikasi atau riwayat lain selain penyakit kardiovaskular.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan adanya hasil pemeriksaan penunjang maka
diperoleh gambaran tentang keadaan mental pasien beserta masalah-masalah yang ada,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anesthesia yang akan digunakan.
1. Manajemen Anestesi
Tujuan utama dari manajemen anestesi pasien dengan penyakit arteri koroner adalah
menghindari iskemia miokard dan infark miokard, dengan menghindari faktor-faktor
yang mengganggu keseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen. Apa pun yang
meningkatkan kerja jantung seperti aktivitas fisik, stres emosional, bedah dan stres
anestesi akan meningkatkan kebutuhan oksigen yang dimana pada individu normal
dikompensasi dengan cara meningkatkan aliran darah koroner. Lain hal nya pada
pasien dengan penyakit jantung koroner dimana aliran koroner nya memang sudah
terganggu.
Perawatan anastesi dengan pasien-pasien yang diketahui mengalami penyakit jantung
koroner atau memiliki dua faktor resiko penyakit jantung koroner (usia ≥ 60 tahun,
hipertensi, diabetes, perokok berat, dan hiperlipidemia), harus diidentifikasi segera
apabila pasien membutuhkan operasi. Pasien pasien tersebut harus dirujuk ke bagian
radiologi. Pasien dengan angina pectoris stabil tanpa disertai dengan gagal jantung
atau stenosis aorta dapat diawali dengan pemberian terapi β-blocker oral (atenolol 25
mg/hari) dan pengobatan menggunakan statin. Dosis β-blocker harus ditingkatkan
sesuai dengan toleransi yang terjadi pada pasien.
Anxietas selama preoperative dapat memicu terjadinya infark miokard. Oleh karena
itu, pasien harus diberikan obat sedatif dapat mengurangi kecemasan pasien.
Kecemasan dapat memicu sekresi dari katekolamin yang dapat meningkatakan
kebutuhan oksigen . pemberian diazepam peroral ataupun pemberian midazolam saat
premedikasi sangat efektif untuk mengurangi kecemasan.
Manajemen intraoperatif pada pasien dengan penyakit jantung koroner yaitu dengan
modulasi sistem saraf simpatis dan pengendalian variabel hemodinamik secara teliti.
Manajemen anastesi berdasarkan pada evaluasi fungsi ventrikel dan mengatur
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokardium untuk mencegah terjadinya
iskemia miokard.
Induksi anastesi yang dapat diberikan adalah induksi intravena dengan kerja cepat.
Pemberian pheyelprhine (0,2 –0,4 µg/kgBB/menit) dapat menstabilkan tekanan darah
dan dapat mengurangi perubahan hemodinamik saat induksi. Etomidate merupakan
obat anastesi induksi yang paling sering digunakan karena memiliki hambatan

5
simpatis dan efek hemodinamik yang paling sedikit. Akan tetapi, kekurangan dari
etomidat adalah kurangnya efek inhibisi dari autonom, sehingga dapat memicu
terjadinya hipertensi pada pemasangan laryngoskop dan ET.
Propofol merupakan induksi kedua yang paling sering dipakai karena memiliki efek
antiemetic dan waktu pemulihan yang cepat, namun dosis yang diberikan harus
dikurangi untuk mencegah terjadinya hipotensi. Propofol dapat dikombinasikan secara
seimbang dengan midazolam untuk memberikan efek sedasi yang cukup untuk pasien.
Fentanyl dan midazolam dikombinasikan dengan phenylephrine drip dan muscle
relaxant nondepolarisasi dapat meminimalkan perubahan tekanan darah dan nadi.
Ketamin tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gangguan koroner
karena dapat meningkatkan nadi dan tekanan darah, yang dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard.
Agen inhalasi yang dapat diberikan adalah sevoflurane karena agen ini sangat afektif
mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, hipertensi
pulmonal dan iskemik miokard. Pemberian agen inhalasi ini dapat memberikan
keuntungan pada pasien dengan gangguan koroner karena pemberian agen inhalasi
dapat mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan dapat mengurangi daerah yang
iskemik. Namun, disisi lain pemberian agen inhalasi dapat merugikan karena dapat
menurunkan perfusi ke coroner (isoflurans) dan dapat menyebabkan takikardi
(desflurans).
Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel tidak dapat diberikan agen inhalasi karena
dapat menyebabkan depresi miokard. Pada pasein dengan gangguan fungsi ventrikel
lebih baik diberikan opioid kerja pendek disertai dengan pemberian N20.
Iskemik miokard, takikardi dan hipertensi dapat terjadi sebagai akibat rangsangan
pada saat dilakukan pemasangan ET dengan menggunakan laringoskop. Pemberian
anastesi yang adekuat dan pemasangan ET secara singkat sangat penting untuk
meminimalisir gangguan sirkulasi. Apabila tidak dapat dilakukan pemasangan ET
secara cepat dapat diberikan laringotrakeal lidocain sebanyak 2mg/kgBB diberikan
hanya sebelum pemasangan ET.
Anestesi regional merupakan teknik anastesi yang paling baik dilakukan pada pasien
dengan gangguan koroner. Regional anastesi untuk tindakan bedah pada regio
dibawah abdomen sangatlah aman dilakukan pada pasien dengan resiko jantung yang
tinggi. Penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh regional anastesi dapat dicegah
dengan pemberian cairan intrevena (kristaloid) atau dapat diberikan vasoconstrictor.

2. Monitoring Anestesi
Monitoring tekanan intra arterial secara berkelanjutan dapat mengurangi resiko
terjadinya gangguan hemodinamik, selain itu. dapat mengidentifikasi lebih dini
apabila terdapat gangguan ataupun komplikasi lain yang berpotensi muncul.
Monitoring menggunakan beside monitor terutama EKG secara cepat dapat
mengidentifikasi terjadinya aritmia, takikardi dan iskemik miokard. Walaupn operasi
sudah selesai monitoring harus terus dilakukan di ruang pemulihan atau di ICU.

6
Secara umum, memberikan cairan sangat penting dalam mengatasi syok jantung
dengan meningkatkan jumlah sirkulasi darah. Namun, penting untuk memasukkan
penggunaan cairan ke dalam strategi pengobatan yang sesuai dengan
mempertimbangkan kondisi dan penyebab syok pada pasien.
Monitoring cairan berfokus pada kondisi jantung, baik yang statis maupun yang
dinamis, sangat dibutuhkan untuk memastikan jumlah darah, kontraksi jantung, dan
aliran darah ke seluruh tubuh optimal, dan untuk menghindari risiko memberikan
terlalu banyak cairan.
Perawatan post operatif pada pasien dengan gangguan koroner adalah berdasarkan
pada pemberian antiiskemik pada saat perioperatif, analgesia dan jika dibutuhkan
dapat diberikan sedatifa untuk menumpulkan rangsang simpatis.
Monitoring secara intensif dan berkesinambungan sangat bermanfaat untuk medeteksi
adanya iskemik miokard, yang biasanya terjadi secara asimptomatik. Pasien dengan
resiko rendah dapat diberikan β-blocker selama 7 hari setelah operasi. Dan pasien
yang diketahui memiliki gangguan koroner atau gangguan pembuluh darah dapat
diberikan selama 30 hari apabila tidak ada kontra indikasi.

7
8
KESIMPULAN
Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau
penyumbatan arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Pada pasien dewasa dengan
PJK yang akan menjalani operasi memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Pasien yang dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan dan anestesi dengan penyakit
penyerta yaitu penyakit jantung koroner memerlukan penilaian risiko operatif,
pemeriksaan menyeluruh dan manajemen perioperatif yang baik. Pemberian anestesia
memerlukan pengetahuan komprehensif mengenai fisiologi kardiovaskular, farmakologi,
awareness, komunikasi efektif antara dokter bedah jantung dan anestesi. Preoperatif
evaluasi mencakup penilaian kondisi jantung baik anatomi dan fisiologi (termasuk data
EKG, echocardiography dan kateterisasi), komorbid utama (serebrovaskular, diabetes,
hipertensi, ginjal dan penyakit vaskular) dan obat atau terapi yang sedang dijalankan
Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang
benar, penatalaksanaan perioperatif yang tepat, pengetahuan farmakologi obat- obat yang
digunakan. Denganmanajemen perioperatif yang benar terhadap penderita- penderita PJK
yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau meminimalkan
angka morbiditas maupun mortalitas.

IV
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai