Anda di halaman 1dari 7

Panduan Praktik Klinis Angina Pektoris

Stabil: Diagnosis dan Tatalaksana


28 FEBRUARY 2016 on kardiologi
Angina pektoris adalah nyeri dada yang timbul karena iskemia miokard, terjadi bila suplai
oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan miokard. Meskipun penyebab paling sering iskemia
miokard adalah aterosklerosis, sumbatan pada arteri koroner dapat pula disebabkan oleh faktor
lain yang bukan aterosklerosis, misalnya kelainan bawaan pada pembuluh koroner,myocardial
bridging, arteritis koroner yang terkait vaskulitis sistemik, dan penyakit koroner akibat radiasi.
Iskemia miokard dan angina pektoris dapat pula terjadi tanpa adanya sumbatan koroner seperti
pada stenosis katup aorta, kardiomiopati hipertrofik dan kardiomiopati dilatasi idiopatik.
Angina pektoris stabil merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak nyaman di
dada atau substernal agak di kiri, yang menjalar ke leher, rahang, bahu/ punggung kiri sampai
dengan lengan kiri dan jari-jari bagian ulnar. Keluhan ini diperberat oleh stress fisik ataupun
emosional atau udara dingin, hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin.

DIAGNOSIS ANGINA PEKTORIS STABIL


Anamnesis
Kualitas nyeri pada Angina pektoris stabil biasanya tumpul seperti rasa tertindih/berat didada,
rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, di remas-remas atau seperti dada
mau pecah. Nyeri tidak berhubungan dengan gerkan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan ke
kanan. Pada Angina pektoris stabil keluhan khas nyeri dada berlangsung kurang dari 20 menit.
Biasanya ditemukan sumbatan kronis plak ateroma pada sekurang-kurangnya satu pembuluh
koroner epikardial. Angina sebagai tampilan klinis paling awal dapat ditemukan pada sekitar
50% penderita Angina pektoris stabil. Namun demikian, tidak semua angina khas sesuai
gambaran diatas, sehingga disebut angina atipikal. Tampilan lain bisa juga timbul keluhan tidak
nyaman di epigastrium, rasa lelah, atau seperti mau pingsan, terjadi terutama pada kelompok
lanjut usia, gejala seperti ini disebut angina equivalent.
Diagnosis banding nyeri dada
1.

Kardiovaskular: angina pektoris (aterosklerosis, spasme, stenosis katup aorta,


kardiomiopati hipertrofik dan dilatasi), infark miokard, perikarditis akut, diseksi aorta, emboli
paru, hipertensi pulmonal

2.

Gastrointestinal: gangguan esofagus (esofagitis, spasme, hiatus, hernia), ulkus


peptikum, gastritis, kolesistitis

3.

Neuromuskuloskleletal: kostokondritis (sindrom Tietze), sakit dinding dada, gangguan


radix servikal atau torakal, artropati bahu

4.

Torakal: pneumotorak, mediastinitis, keganasan intra torakal

5.

Psikologis atau fungsional


Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya pemeriksaan fisik penderita Angina pektoris stabil, seringkali tidak ditemukan
kelainan berarti. Namun demikian pencarian adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi,
penyakit paru kronis (akibat rokok), dislipedemia, dan bukti adanya penyakit aterosklerosis
bukan koroner (pulsasi nadi lemah, bruit carotis atau renal, aneurisma aorta abdominalis) penting
sekali.
Adanya temuan penyakit penyakit tersebut berguna dalam penentuan risiko dan manfaat suatu
strategi pengobatan dan kebutuhan akan pemeriksaan tambahan lainnya.
Pada auskultasi jantung, khususnya sewaktu sakit dada berlangsung, bisa terdengar suara jantung
tiga (S3) atau empat (S4) karena adanya disfungsi sementara ventrikel kiri. Bisa juga terdengar
murmur regurgitasi mitral akibat disfungsi otot papillaris sewaktu iskemia miokard terjadi.
Adanya ronki basah dibasal kedua paru mungkin saja mengidikasikan adanya gagal jantung
kongestif.
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dilakukan pada semua pasien dengan kecurigaan angina pektoris. Perubahan
EKG paling sering ditemukan adalah: depresi segmen ST, kadang kadang dijumpai elevasi atau
normalisasi segmen ST/gelombang T. Adanya perubahan segmen ST-T atau hipertrofiventrikel
kiri (walaupun tidak spesifik), menyokong diagnosis angina.
Tanda infark sebelumnya seperti gelombang Q juga sangat menunjang adanyaPenyakit Jantung
Koroner. Berbagai gangguan konduksi dapat terjadi, paling sering left bundle branch block
(LBBB) dan left anterior fascicular block.
Gangguan konduksi sering kali berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri yang terganggu dan
menggambarkan penyakit multivessel atau adanya kerusakan miokard yang terjadi
sebelumnya. Pada waktu angina berlangsung, 50% pasien APS memperlihatkan EKG istirahat
normal.
Elektrokardiografi latihan atau treadmill adalah penunjang diagnostik yang penting, terutama
pada pasien dengan EKG istirahat yang normal dan pasien mampu melakukan uji latih jantung.

Bagi pasien yang tidak bisa melakukan uji latih jantung seperti pada kelompok lanjut usia,
penyakit arteri perifer, penyakit paru, artritis, halangan ortopedik, obesitas, dan pasca stroke, ada
pilihan pecitraan farmakologis seperti ekokardiografi stress (dobutamin stress
ekokardiografi) dan nuklir stress (menggunakan adenosin atau dipiridamol).
Pemeriksaan ini juga di anjurkan bila EKG tidak normal, seperti LBBB, sindrom WolffParkinson-White (WPW), irama pacu jantung, depresi segmen ST 1 mm tetapi hasil treadmill
sulit dinilai. Ada pula alat atau modalitas pencitraan stress yang lebih baru, yaitu magnetic
resonance imaging (MRI).

TATALAKSANA ANGINA PEKTORIS STABIL


Tata laksana Angina pektoris stabil dapat dilakukan secara farmakologis dan tindakan
revaskularisasi baik non-bedah (angioplasti) atau dengan bedah pintas koroner.
Tatalaksana Farmakologis
Nyeri dada dan iskemia pada Angina pektoris stabil terjadi karena adanya ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen akibat sumbatan kronis plak ateroma(aterosklerosis) pada
arteri koroner.
Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali dan mengobati setiap
penyakit jantung yang dapat mencetuskan angina. Misalnya takikardia atau hipertensi yang akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard atau gagal jantung, penyakit paru, anemia yang
membuat suplai oksigen ke miokard berkurang.
Selanjutnya adalah penanganan faktor-faktor risiko Penyakit Jantung Koroner dengan
perbaikan pola hidup serta pengobatan farmakologis.
1.

Aktifitas fisik: lakukan 30-45 menit/hari, 7 hari/minggu (minimal 5 hari/minggu).


Rehabilitasi pasien berisiko (pasien dengan infark miokard atau gagal jantung sebelumnya)

2.

Sesuaikan berat badan: usahakan mencapai indeks massa tubuh (body mass index, BMI)
18.5-24.9 kg/m2 dan ukuran lingkar pinggang < 80 cm untuk wanita dan < 90 cm untuk pria.

3.

Berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok.

4.

Kendalikan tekanan darah (TD): upayakan modifikasi pola hidup (kendalikan berat
badan, aktifitas fisik, konsumsi alkohol seperlunya, batasi asupan garam tidak melebihi satu
sendok teh perhari, konsumsi buah-buahan dan sayuran 5 porsi perhari, dan produk susu rendah
lemak). Kendalikan TD sesuai paduan Joint National Conference (JNC) VIII. Awali pengobatan
dengan beta blocker dan/ atau ACE inhibitor, dengan menambahkan obat-obat lain sesuai
kebutuhan pencapaian target Tekanan Darah.

5.

Manajemen lipid: diet rendah lemak jenuh (< 7% dari kalori total), asam lemak trans,
dan kolestrol (< 200 mg/hari). Aktivitas fisik harian dan pengaturan berat badan. Konsumsi plant

stanol/ sterol (2 g/hari) serta viscous (> 10 g/ hari), untuk menurunkan kadar kolestrol LDL; serta
konsumsi asam lemak Omega-3 (1 g/hari) untuk menurunkan risiko. Terapi dengan obat penurun
lipid (pilihan pertama: statin) harus diberikan bila kadar kolestrol LDL 100 mg/dl dengan
tujuan penurunan 30-40 % sampai target < 70 mg/dl. Bila kadar awal kolestrol LDL antara 70100 mg/dl, maka cukup beralasan untuk mengobati sampai tercapai kadar kolestrol LDL < 70
mg/dl. Bila kadar trigliserida > 200 mg/dl, maka kadar kolestrol non HDL harus <130 mg/dl (dan
penurunan lebih lanjut sampai < 100 mg/dl cukup beralasan) dengan obat niacin atau fibrate.
6.

Manajemen diabetes : ditunjukan pada target HBA1c <7% dengan pola hidup dan terapi
obat.

7.

Obat antiplatelet: mulai dengan aspirin (75-162 mg/hari) seumur hidup kecuali
kontraindikasi. Clopidogrel (75 mg/hari) sebagai pengganti asipirin bila ada kontraindikasi
mutlak pada asipirin. Pasca Non-ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) akut, clopidogrel 75
mg/hari harus diberikan selama 1 tahun. Pasca CABG, asipirin (162325 mg/hari) harus
diberikan selama 1 tahun, dan selanjutnya asipirin (75-162 mg/ hari) diteruskan untuk
selamanya. Bagi pasien yang dilakukan PCI dan mendapat Drug Eluting Stent (DES),
clopidogrel (75mg/hari) harus diberikan untuk sekurang-kurangnya 12 bulan kecuali bila pasien
berisiko tinggi mengalami pendarahan . untuk pasien yang mendapat Bare Metal Stent (BMS),
clopidrogel harus diberikan minimal 1 bulan dan idealnya sampai 12 bulan.

8.

Beta-blockers dimulai dan dilanjutkan untuk selamanya pada penderita pasca infark
miokard, sindroma koroner akut, atau penderita dengan disfungsi ventrikel kiri, kecuali ada
kontraindikasi. Berikan penyekat beta pada pasien angina, hipertensi dan gangguan irama.
Kontraindikasi pada: bradikardia berat, blok-AV derajat dua atau derajat tinggi, sindrom sick
sinus dan asma berat.

9.

Inhibitor ACE dan Angiotensin-receptor blocker (ARB): mulai dengan inhibator ACE
dan teruskan selamanya pada semua pasien dengan fraksi ejeksi (ejection fraction, EF) ventrikel
kiri 40%, pasien dengan hipertensi, diabetes, atau penyakit ginjal kronis, atau pada pasien yang
berisiko tinggi, kecuali ada kontraindikasi. Pertimbangkan inhibitorACE pada semua pasien
PJK kecuali ada kontraindikasi. ARB dapat dipakai pada pasien yang tidak cocok inhibator-ACE.
Antagonis aldosteron direkomendasikan pada pasien pasca infark miokard tanpa disfungsi ginjal
berat atau hiperkalemia, dan telah mendapat dosis terapi inhibator-ACE, beta blockers, EF
ventrikel kiri 40 % dan dengan diabetes atau gagal jantung.

10.

Nitrat- nitroglycerin sublingual atau spray dipakai untuk mengatasi angina dengan
cepat, dapat diberikan sebelum latihan fisik untuk mencegah angina. Nitrat khasiat jangka
panjangn diberikan bila pengobatan dengan beta blocker saja tidak dapat mengatasi angina atau
menjadi kontraindikasi.

11.

Antagonis- Calcium: diberikan bila pengobatan dengan penyekat beta saja tidak dapat
mengatasi angina atau menjadi kontraindikasi; sebagai obat pilihan pada kasus spasme koroner.
Revaskularisasi Koroner
Manfaat revaskularisasi koroner dalam menurunkan kejadian serangan jantung dan kematian
telah diterima secara luas, khususnya untuk mencegah sindrom koroner akut. Namun manfaat
revaskularisasi koroner pada angina pektoris stabil, khususnya terkait kematian dan infark masih
menjadi kontroversi.

Panduan Praktik Klinis Sindroma Koroner


Akut (1): Penegakkan Diagnosis di Instalasi
Gawat Darurat
02 MARCH 2016 on kardiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan aliran
darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada Sindrom Koroner Akut bukan disebabkan oleh penyempitan
yang statis namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya dinamis.

Sehingga, gejala yang timbul pada Sindrom Koroner Akut berupa nyeri dada tiba-tiba dengan
intensitas nyeri yang dinamis sesuai dengan derajat penyempitan yang dipengaruhi oleh komponen
vasospame arteri koroner dan terutama oleh ukuran trombusnya.

Trombus, terbentuk karena adanya ruptur/erosi plak aterosklerotik. Trombus tersebut bersifat dinamis,
dengan episode pembentukan, pembesaran dan lisis terjadi secara bersamaan namun tidak seimbang.

Pada keadaan ini pembentukan trombus lebih lebih dominan dari proses lisis, sehingga terjadi episode
peningkatan penyempitan atau bahkan oklusi arteri koroner dengan dampak iskemia hingga infark
jaringan miokard. Iskemia dan infark pada miokard bila melibatkan daerah yang luas mengakibatkan
penurunan kemampuan pompa jantung dengan manifestasi klinis berupa kongesti.

Pada tingkat selular mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit dengan manifestasi terburuk
mencetus aritmia maligna. Insidens aritmia maligna paling tinggi pada jam-jam pertama, sehingga
memerlukan fasilitas dan sumberdaya yang siap mengatasi aritmia maligna.

Sindrom Koroner Akut dibagi berdasarkan gambaran EKG, yaitu: dengan elevasi segmen ST (STEMI)
dan tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) atau angina pektoris tidak stabil. Klasifikasi ini akan
mempercepat dan mempermudah identifikasi pasien STEMI, oklusi total arteri koroner, yang
memerlukan revaskularisasi segera.

Penanganaan fase awal Sindrom Koroner Akut adalah menurunkan konsumsi oksigen. Pemberian
antiplatelet dan pemantauan yang intensif secara terus menerus harus dilakukan.

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL, INFARK


MIOKARD TANPA ELEVASI SEGMEN ST
Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina) adalah keadaan pasien dengan gejala iskemia
sesuai Sindrom Koroner Akut, tanpa terjadi peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin)
dengan atau tanpa perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang T
dan elevasi segmen ST yang transien).

Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI) adalah keadaan pasien dengan manifestasi
sama seperti unstable angina, tetapi disertai peningkatan enzim petanda jantung.

Diagnosis Sindrom Koroner Akut


Sebagian besar pasien Sindrom Koroner Akut datang dengan keluhan nyeri dada ( angina pektoris),
rasa berat, atau rasa seperti di tekan, atau rasa seperti dicengkram di belakang sternum, bisa menjalar ke
rahang, bahu, punggung, atau lengan.

Kalau pada angina pektoris stabil keluhan nyeri dada hanya berlangsung kurang dari 15 menit, pada
SKA berlangsung lebih lama. Namun pada populasi lanjut usia (> 75 tahun), wanita dan diabetes,
keluhan tidak khas.

Pada pasien lanjut usia lebih sering terjadi NSTEMI, dan presentasinya sering atipikal, seperti sinkope,
lemas atau delirium, dan sering disertai gagal jantung.

Keluhan angina pada Sindrom Koroner Akut biasanya disertai dengan keringat dingin karena respons
simpatis, mual dan muntah karena stimulasi vagal, rasa lemas tidak bertenaga.

Ada tiga presentasi angina pada sindrom koroner akut, yaitu:

1.

Angina saat istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit

2.

Angina pertama kali sehingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas.

3.

Angina progresif : pada pasien dengan angina pektoris stabil, terjadi perburukan keluhan dimana
angina terjadi lebih sering, durasi lebih lama atau dengan aktivitas yang lebih ringan.
Diagnosa Sindrom Koroner Akut menganut azaz rule out diagnosis, yang didasarkan atas hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG dan enzim petanda jantung. Atas dasar unsur-unsur tersebut, maka
dapat Sindrom Koroner Akutdikategorikan dalam tiga tingkat kemungkinan.

Anda mungkin juga menyukai