Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

ANESTESIA PADA OPERASI LAPAROSCOPY

dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan,SpAn.MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2019
Anestesia pada operasi laparoscopy

Pendahuluan

Prosedur bedah telah semakin maju dan modern untuk membantu pasien dalam
mengurangi trauma, morbiditas, mortalitas, dan lama rawat inap di rumah sakit. Semua itu
dengan hasil akhir berupa menurunnya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien.
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan tentang anatomi dan patofisiologi, telah
mengantarkan berkembangnya suatu teknik endoscopy untuk prosedur diagnostik dan
pembedahan. Diawali pada awal tahun 1970, beberapa kasus ginekologi didiagnosa dan
diterapi dengan menggunakan teknik laparoscopy. Pendekatan endoscopy tersebut kemudian
berkembang untuk cholecystectomy pada tahun 1980. Sejak diperkenalkan pertamakali untuk
prosedur laparoscopy cholecystectomy, teknik laparoscopy telah semakin luas
penggunaannya di seluruh dunia. Teknik tersebut telah terbukti memiliki beberapa
keuntungan bila dibandingkan dengan prosedur biasa dengan insisi luka terbuka.

Terjadinya ruang pneumoperitonium dan perubahan posisi pasien pada prosedur


laparoscopy menimbulkan perubahan patofisiologi pada pasien yang akan memerlukan
majemen anestesia yang khusus. Durasi prosedur laparoscopy, resiko terjadinya cedera organ
viscera, dan kesulitan mengevaluasi perdarahan yang terjadi selama operasi menyebabkan
anestesia pada operasi laparoscopy memiliki potensi beresiko tinggi.

Pemahaman tentang patofisiologi akibat peningkatan tekanan intraabdominal sangat


penting bagi anesthesiologist sehingga dapat mencegah perubahan tidak menguntungkan bagi
pasien dan memberikan respon yang tepat terhadap segala hal yang dapat merugikan pasien
yang menjalani prosedur laparoscopy.

Perubahan pada sistem saraf pusat

Otak sensitif terhadap perubahan PCO2. Peningkatan kadar CO2 mempunyai efek
depresi korteks serebri, dengan kadar CO2 tinggi (20-30 % diatas nilai normal) dapat
menstimulasi pusat hipotalamus subkortikal yang berakibat meningkatnya eksitabilitas
korteks dan kejang. Keadaan hipereksitabilitas ini diperberat dengan pelepasan hormon dari
korteks dan medula adrenal akibat sekunder dari stimulasi hiperkarbia pada hipotalamus.

1
CO2 dapat melewati sawar darah otak dan membran sel otak sehingga dapat
mempengaruhi metabolisme sel otak. Perubahan PCO2 akan menyebabkan perubahan yang
cepat pada PH cairan serebrospinal. CO2 merupakan faktor penting dalam regulasi aliran
darah otak (CBF). Hubungan antara PCO2 dengan CBF akan tetap linea pada PCO2 20-100
mmHg, vasodilatasi pembuluh darah serebral akan terjadi secara maksimal pada PCO2 120
mmHg. CBF normal berkisar 20 % dari cardiac output atau 50 ml/100 gr/menit. Setiap
peningkatan PCO2 1 mmHg pada PCO2 antara 25-100 mmHg akan meningkatkan CBF
sebesar 2-4 %. Hiperkarbia akan menurunkan tahanan vaskular serebral, mengakibatkan CBF
meningkat. Keadaan hiperkarbia menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial, hal ini
kemungkinan dari efek sekunder vasodilatasi pembuluh darah otak. Bila pasien diposisikan
trendelenburg akan terjadi kongesti vena pada kepala dan leher. Hal tersebut diperparah
dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan intrathorax.

Perubahan pada sistem kardiovaskular

Keadaan hiperkarbia mempunyai efek yang kompleks pada sistem sirkulasi dan
kadang tampak kontradiktif. Pada tingkat seluler, hiperkarbia merupakan depresor langsung
pada kontraktilitas dan laju denyut miokard, dan merupakan stimulan iritabilitas miokard
serta aritmia. Secara umum hal tersebut dapat juga sebagai akibat dari menurunnya PH. Efek
langsung hiperkarbia pada pembuluh darah yang denervasi adalah menghilangnya respon
terhadapa katekolamin, vasodilatasi, terutama pada pembuluh darah vena berkibat venous
pooling, menurunnya venous return, menurunnya cardiac output. Efek vasodilatasi
hiperkarbia merupakan perkecualian pada pembuluh darah pulmonar, yang terjadi adalah
vasokonstriksi. Terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah pulmonar sebenarnya
merupakan akibat dari asidosis karena resistensi pembuluh darah pulmonar tidak berubah
walaupun pasien mengalami hiperkarbia selama PH masih dipertahankan konstan akibat
kompensasi tubuh.

Efek langsung atau lokal keadaan hiperkarbia pada pasien sering disamarkan oleh
berbagai perubahan sistemik diantaranya sekunder dari stimulasi sistem saraf pusat dan
sistem simpatoadrenal. Bila efek hiperkarbia sudah tampak, hasil akhirnya akan berupa
peningkatan cardiac output, laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah, tekanan vena
sentral, vasokonstriksi pembuluh darah pulmonar, dan menurunnya resistensi perifer.
Meningkatnya cardiac output diatas 50 % tidak menaikkan tekanan darah lebih lanjut karena

2
menurunnya resistensi pembuluh darah perifer dan meningkatnya aliran darah ke serebral dan
sirkulasi koroner. Efek stimulasi dari hiperkarbia akan terjadi hingga PCO2 90 mmHg, diatas
nilai tersebut akan mengakibatkan respon yang depresi.

Pada manusia normal yang teranestesi bernafas dengan CO2 inspirasi 7-15 % akan
terjadi perubahan sistemik berupa efek stimulasi akibat meningkatnya kadar epinephrine dan
norepinephrine dalam plasma. Respon kardiovaskular terhadap inhalasi CO2 akan berupa
hipotensi bila respon simpatoadrenal dihambat dengan blok subarachnoid, ganglioplegic, β-
adrenergik bloker. Respom stimulasi juga akan dicegah dengan anestesia umum. Hiperkarbia
dapat menyebabkan aritmia bila disertai dengan pemberian epinephrine atau halothane.
Selain dua kondisi tersebut, hiperkarbia sendiri tidak aritmogenik kecuali sudah terjadi
hipoksia.

Efek secara menyeluruh dari hiperkarbia terhadap sistem kardiovaskular dipengaruhi


oleh berbagai faktor. Pasien sehat (ASA I) akan lebih jarang menunjukkan perubahan
ekstrem akibat hiperkarbia dibandingkan dengan pasien ASA III. Hal lain berupa durasi
operasi yang singkat, posisi head-up, tekanan intraabdominal rendah, dan prosedur
intraperitoneal, akan membatasi respon fisiologis dan metabolik dalam rentang normal. Pada
pasien dengan fungsi kardiovaskular terbatas, keadaan insuflasi peritoneal dapat
mengakibatkan peningkatan signifikan pada kerja jantung. Pada situasi tersebut, dapat
dilakukan monitor transesofageal ekokardiografi sehingga memberikan estimasi fungsi
ventrikel kiri secara noninvasif.

Keadaan aritmia seperti bradikardia, ritme nodal, bahkan asystole dapat terjadi saat
distensi pertoneal secara cepat dan stimulasi vagal. Secara umum, tekanan darah, nadi,

3
cardiac output, dan tekanan vena sentral akan meningkat seiring dengan peningkatan tekanan
intraabdominal hingga 15 mmHg. Pada tekanan intraabdominal 20-30 mmHg, akan terjadi
penurunan tekanan darah, cardiac output, dan tekanan vena sentral akibat penekanan pada
vena kava inferior dan menurunnya venous return.

Perubahan pada sistem respirasi

Penciptaan ruang pneumoperitonium dengan cara insuflasi CO2 ke ruang


intraperitoneal akan mengakibatkan berbagai perubahan terhadap ventilasi dan respirasi
pasien yang menjalani operasi laparoscopy. secara garis besar dapat terjadi 4 komplikasi
terhadap respirasi; emfisema subkutan CO2, pneumothorax, intubasi endobronchial, emboli
gas.

4
Pneumoperitonium akan menurunkan compliance thoracopulmonary. Compliance
paru akan menurun sebesar 30 – 50 % pada pasien sehat, obese, dan pasien dengan status
fisik ASA III – IV, namun bentuk dari pressure volume loop tidak berubah. Setelah
pneumoperitonium terbentuk dan konstan, maka compliance paru tidak terpengaruh oleh
perubahan posisi pasien (yang masih dalam toleransi). Peningkatan ventilasi semenit untuk
menghindari keadaan hipercapnia intraoperatif juga tidak mempengaruhi compliance paru
pada kondisi pneumoperitonium yang telah terbentuk konstan. Hal lain yang dapat terjadi
adalah menurunnya Functional Residual Capacity karena elevasi dari diafragma dan
perubahan distribusi ventilasi/perfusi karena meningkatnya tekanan jalan nafas.
Meningkatnya tekanan intraabdominal hingga 14 mmHg dengan posisi head down atau head
up sebesar 10 – 20 derajat tidak merubah secara signifikan ruang rugi fisiologis atau pintasan
fisiologis pada pasien yang sehat (tanpa masalah pada kardiovaskular).

Perubahan pada sistem neuroendokrin

Tekanan intraabdominal yang meningkat berlebihan dan hiperkarbia dapat


mengaktifkan aksis simpatoadrenal, yang mengakibatkan meningkatnya kadar epinephrine,
norepinephrine, renin, kortisol, aldosteron, ADH, atrial natriuretic peptide. Pada pasien yang
tidak terpengaruh anestesi umum dengan posisi trendelenburg, akan terjadi peningkatan
sekresi atrial natriuretic peptide. Hal ini disebabkan respon terhadap peningkatan venous
return dan peregangan atrial. Sedangkan pada pasien yang mengalami pneumoperitonium,
sekresi atrial natriuretic peptide akan menurun karena gangguan pada venous return.

5
Perubahan pada sistem renal

Pada beberapa penelitian tentang laparoscopy, didapatkan keadaan oliguria pada


pasien yang menjalani operasi laparoscopy meskipun hidrasi cairan telah cukup. Hal tersebut
dicurigai karena perubahan neurohormonal akibat sekunder dari hiperkarbia dan
meningkatnya tekanan intraabdominal saat insuflasi. Namun faktor prerenal lainnya seperti ;
hipovolemia, ventilasi tekanan positif, dan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) tetap
harus diperhatikan. Adanya stimulasi simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin, yang
berefek menurunnya aliran darah ke kortek ginjal dengan akibat lanjut berupa shunting ke
medula adrenal, konstriksi arteriol aferen glomerular, dan meurunnya glomerular filtration
rate (GFR). Didapatkan data bahwa pada tekanan intraabdominal lebih dari 15 mmHg, maka
aliran darah ke kortek ginjal akan menurun sebesar 60 % dan terjadi penurunan produksi
urine sebesar 50 % yang sifatnya reversibel. Pada gasless laparoscopy, tidak terjadi
penurunan produksi urine dengan pengangkatan dinding abdominal dengan kekuatan
penarikan 15 mmHg. Maka didapatkan bahwa adanya ruang pneumoperitonium dengan
tekanan intaabdominal yang meningkat akan menyebabkan penurunan pada perfusi ginjal.

Perubahan pada sistem gastrointestinal

Meningkatnya tekanan intraabdominal pada operasi laparoscopy menyebabkan


menurunnya perfusi, meningkatnya Sistemic Vascular Resistence (SVR), dan dapat
menyebabkan hipoksia usus pada tekanan intraabdominal yang tinggi. Pada saat pelepasan
tekanan intraabdominal, residu CO2 akan menyebabkan vasodilatasi vaskular, menyebabkan
masuknya CO2 tambahan ke aliran darah. Terjadinya PONV pada operasi laparoscopy
disebabkan oleh efek gabungan dari meningkatnya tekanan intraabdominal dan regangan
peritonium karena insuflasi. Aktivitas mioelektrik dan pemulihan ileus didapatkan lebih cepat
pada operasi laparoscopy dibandingkan operasi terbuka konvensional.

Evaluasi preoperative dan premedikasi

Keadaan pneumoperitonium dihindari pada pasien dengan peningkatan tekanan


intrakranial (tumor serebri, hidrosefalus, cedera kepala), hipovolemia, ventricular peritoneal
shunt, dan peritoneojugular shunt. Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus

6
dievaluasi dengan menyeluruh untuk mengantisipasi perubahan hemodinamik akibat adanya
pneumoperitonium dan perubahan posisi pasien, terutama pada pasien dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Pasien dengan gagal jantung kongestif dan insufisiensi katup terminal
lebih sering menimbulkan komplikasi berat dibandingkan dengan pasien penyakit jantung
iskemik yang menjalani prosedur laparoscopy. untuk pasien tersebut harus dievaluasi
keuntungan postoperatif menjalani prosedur laparoscopy bila dibandingkan dengan
laparotomy. Gasless laparoscopy merupakan alternatif yang baik bagi pasien dengan masalah
pada jantung.

Pasien dengan gagal ginjal memerlukan perhatian khusus untuk mengoptimalkan


hemodinamik selama menjalani laparoscopy. hal ini disebabkan adanya efek samping
peningkatan tekanan intraabdominal (pneumoperitonium) terhadap fungsi ginjal dan obat
yang nefrotoksik harus dihindari.

Prosedur laparoscopy lebih menguntungkan daripada laparotomy karena kejadian


disfungsi respirasi postoperatif lebih rendah. Selain efek menguntungkan, tetap harus
diperhatikan resiko terjadinya pneumothorax selama pneumoperitonium dan tidak adequate-
nya pertukaran gas akibat VA/Q mismatch.

Premedikasi disesuaikan dengan kebutuhan, seperti durasi laparoscopy dan cepat


pulih dari ruang pemulihan untuk kebutuhan outpatient. Pemberian NSAID preoperatif akan
membantu mengurangi nyeri postoperatif dan mengurangi kebutuhan opioid. Pemberian
clonidine dan dexmedetomidine preoperatif akan menurunkan stress response intraoperatif
dan meningkatkan stabilitas hemodinamik.

Posisi pasien dan pemantauan selama laparoscopy

Pasien harus diposisikan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya cedera saraf;
bantalan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penekanan serat saraf, bantalan bahu
juga sebaiknya diperhatikan. Perubahan posisi pasien sebaiknya perlahan, progresif, dan tidak
melebihi 15 hingga 20 derajat untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi yang
mendadak. Posisi dari pipa endotrakeal harus dievaluasi setiap merubah posisi pasien.
Induksi dan pelepasan gas untuk menciptakan ruang pneumoperitonium harus perlahan dan
progresif. Ventilasi positif melalui masker wajah sebelum intubasi dapat mengisi lambung
dengan gas, sehingga nasogastrik tube sebaiknya dipasang untuk menghindari resiko

7
terjadinya perforasi gaster saat insersi trocar terutama pada operasi laparoscopy abdomen
bagian atas. Hal yang sama juga dilakukan pada kandung kencing saat operasi laparoscopy
daerah pelvis dan pada prosedur laparoscopy yang lama.

Selama laparoscopy memerlukan pemantauan khusus seperti tekanan darah arterial,


laju jantung, EKG, capnometry, dan pulse oxymetry. Semua instrumen tersebut memberikan
informasi yang penting untuk deteksi dini terjadinya aritmia, emboli gas, emfisema subkutan
CO2, dan pneumothorax. Namun semua itu hanya mendeteksi tanda tidak langsung dari
perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium. Pada pasien dengan penyakit jantung
memerlukan monitor invasif namun interpretasi monitor invasif seperti central venous
pressure dan pulmonary artery pressure dapat mengalami kesulitan karena adanya
peningkatan tekanan intrathorax. Bila memungkinkan dapat ditunjang dengan pemeriksaan
transesophageal echocardiography.

Tehnik anestesia

Anestesia umum, lokal, dan regional dapat dilakukan dan aman untuk laparoscopy

Anestesia umum

Tehnik anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi kendali merupakan
tehnik yang paling aman serta direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur
laparoscopy yang lama. Selama ada pneumoperitonium, ventilasi kendali harus disesuaikan
untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mmHg. Pada studi klinis, hal ini dapat dicapai
dengan meningkatkan ventilasi semenit sebesar 15 – 25 %, hal ini menjadi perkecualian bila
terjadi emfisema subkutan. Peningkatan laju respirasi lebih dipilih daripada peningkatan
volume tidal pada pasien dengan COPD dan pada pasien dengan riwayat spontaneus
pneumothorax atau bullous emfisema untuk menghindari pengembangan alveolar dan resiko
terjadinya pneumothorax. Pemberian obat vasodilator seperti nicardipine, α2-adrenergik
agonist, dan fentanil dapat mengurangi perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium
dan dapat membantu pada majemen pasien dengan penyakit jantung. Pemilihan obat induksi
tidak terdapat kontraindikasi mutlak, namun penggunaan propofol telah terbukti memberikan
efek samping postoperatif yang lebih minimal. Tekanan intraabdominal dipantau setiap saat,

8
bila memungkinkan dipertahankan tekanan intraabdominal serendah mungkin dan tidak
melebihi 20 mmHg untuk mengurangi perubahan pada hemodinamik dan respirasi.
Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesia
yang memadai. Penggunaan pelumpuh otot bukan merupakan suatu kewajiban. Operasi
laparoscopy memiliki potensi yang tinggi akan terjadinya reflek vagal, sehingga atropin
harus segera tersedia untuk mengatasinya.

Penggunaan Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan alternatif yang menarik


untuk manajemen anestesia umun pada operasi laparoscopy selain dengan intubasi
endotrakea dengan keuntungan berupa trauma jalan nafas yang lebih minimal. Walaupun
LMA tidak melindungi jalan nafas dari aspirasi asam lambung, LMA dapat memberikan
ventilasi kendali dan pemantauan PETCO2 yang akurat. Namun LMA tidak menjamin
kedapnya jalan nafas pada tekanan jalan nafas lebih dari 20 mmHg akibat menurunnya
compliance thoracopulmonary saat adanya pneumoperitonium. Hal tersebut membatasi
penggunaan LMA untuk ventilasi kendali pada pasien ASA I-II dan tidak obese.

Anestesia umum pada pasien dengan nafas spontan tanpa intubasi endotrakeal dapat
dilakukan dengan aman dan keuntungan berupa tidak iritasi terhadap trakea, tanpa pemberian
obat pelumpuh otot. Namun laporan dari Centre for Disease Control and Prevention
menyatakan bahwa 1/3 dari kasus kematian saat operasi laparoscopy merupakan komplikasi
anestesia akibat anestesia umum tanpa intubasi endotrakeal. Sehingga tehnik tersebut harus
dibatasi pada prosedur laparoscopy yang singkat, menggunakan tekanan intraabdominal yang
rendah, dan perubahan posisi yang minimal. Pada kasus tersebut penggunaan LMA lebih
direkomendasikan untuk operasi laparoscopy dengan anestesia umum nafas spontan.

Lokal dan regional anestesia

Lokal anestesia memberikan beberapa keuntungan; pulih yang lebih cepat, rendahnya
mual muntah postoperasi (PONV), diagnosis dini bila terjadi komplikasi, dan perubahan
hemodinamik yang minimal. Namun tehnik ini memerlukan kemampuan bedah yang
memadai dan dapat berakibat kecemasan, nyeri, dan tidak nyaman saat manipulasi organ
abdomen atau pelvis. Sering tehnik lokal anestesia disuplementasi dengan sedasi intravena.
Kombinasi dari efek sedasi dan adanya pneumoperitonium berakibat hipoventilasi dan
desaturasi oksigen arterial. Keberhasilan operasi laparoscopy dengan lokal anestesia

9
memerlukan kerjasama dan relaksasi dari pasien, staff ruang operasi, dan kemampuan ahli
bedah yang memadai. Tekanan intraabdominal sebaiknya dipertahankan serendah mungkin
untuk mengurangi nyeri dan gangguan ventilasi.

Anestesia regional seperti tehnik epidural dan spinal anestesia dapat digunakan pada
operasi laparoscopy ginekologi tanpa gangguan berarti pada ventilasi. Laparoscopy
cholecystectomy telah berhasil dilakukan pada pasien dengan COPD dengan tehnik epidural
anestesia. Secara umum lokal anestesia dan epidural anestesia memiliki keuntungan dan
kerugian yang hampir sama. Regional anestesia memberikan keuntungan berupa
meminimalkan penggunaan sedatif dan narkotik, relaksasi otot yang adequate, dan dapat
dilakukan pada operasi laparoscopy selain steril (ligasi tuba). Nyeri transfer pada bahu akibat
iritasi diafragma dan rasa tidak nyaman akibat distensi abdomen masih dapat timbul pada
penggunaan tehnik epidural anestesia murni akibat blokade yang tidak memadai. Blokade
sensorik yang luas (T4 – L5) diperlukan untuk operasi laparoscopy yang memadai.
Penambahan adjuvan opioid dan clonidine dapat memberikan analgesia yang lebih adequate.
Efek hemodinamik dari pneumoperitonium pada operasi laparoscopy dengan epidural
anestesia masih belum dipelajari dengan jelas. Secara teori adanya blokade simpatis akan
memfasilitasi timbulnya reflek vagal, vasodilatasi dan tanpa ventilasi positif dapat
mengurangi perubahan hemodinamik selama adanya pneumoperitonium. Adanya kerjasama
dari pasien, kemampuan ahli bedah yang memadai, rendahnya tekanan intraabdominal, dan
perubahan posisi pasien yang minimal; semua itu akan membantu suksesnya operasi
laparoscopy dengan epidural anestesia. Regional anestesia dapat memberikan analgesia yang
adequate pada gasless laparoscopy, sehingga menghindari segala efek samping
pneumoperitonium CO2.

Pemulihan dan pemantauan postoperatif

Pemantauan hemodinamik harus terus dilakukan hingga pasien tiba di ruang pulih
karena perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium terutama terjadinya peningkatan
tahanan vaskular sistemik akan bertahan lebih lama daripada pelepasan / hilangnya
pneumoperitonium. Keadaan hiperdinamik setelah operasi laparoscopy dapat menyebabkan
terjadinya keadaan yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit jantung. Meskipun
kejadian disfungsi pulmonar postoperatif laparoscopy lebih rendah daripada operasi standar,
PaO2 akan tetap menurun setelah laparoscopy cholecystectomy. Sehingga peningkatan

10
kebutuhan O2 akan terjadi setelah operasi laparoscopy. walaupun operasi laparoscopy
dianggap sebagai operasi minor, pemberian O2 postoperatif harus tetap dilakukan pada semua
pasien. Pada periode awal postoperatif akan didapatkan laju respirasi dan PETCO2 pasien
dengan bernafas spontan lebih tinggi pada pasien setelah laparoscopy dibandingkan dengan
operasi biasa. Pencegahan dan terapi terhadap mual, muntah, nyeri postoperatif sangat
penting untuk dilakukan, terutama pada pasien rawat jalan setelah operasi laparoscopy.

Pemeriksaan foto thorax sebaiknya dilakukan segera setelah operasi bila ditemukan
distress pernafasan, emfisema subkutan, curiga terjadi pneumothorax, operasi yang lama,
lokasi operasi retroperitoneal, pasien oliguria, tekanan intraabdominal lebih besar dari 15
mmHg, dan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung atau penyakit paru. Bila dipasang
arterial line, tetap dipertahankan hingga pasien stabil dan didapatkan nilai analisa gas darah
yang normal. Dilakukan pemantauan produksi urine hingga pasien stabil dengan produksi
urine normal (1 ml/kgBB/jam), dan diperiksa kemampuan pasien buang air kecil setelah
kateter dilepas.

Komplikasi laparoscopy

Cedera akibat instrumen laparoscopy

Pemasangan jarum Veress atau trocar yang salah dapat menyebabkan perdarahan
dinding abdomen, robekan pembuluh darah besar, robekan organ viscera, emfisema subkutan,
peritonitis, infeksi, herniasi. Cedera thermal dapat terjadi pada penggunaan kauter atau laser.
Staples dan clip dapat menjepit serat saraf.

Komplikasi akibat pneumoperitonium

Peningkatan tekanan intraabdominal dapat mengakibatkan iskemia usus, omentum,


herniasi usus, regurgitasi gaster, penekanan pada vena cava, menurunnya venous return,
stasis pada vena di ekstremitas bawah, hipotensi, meningkatnya tekanan intrathorax,
emfisema mediastinum dan emfisema subkutan, pneumothorax, barotrauma, emboli gas CO2,
atelektasis, mual dan muntah, bradiaritmia, nyeri bahu dari retensi CO2.

11
Efek absorpsi sistemik CO2

Terdapat berbagai efek sistemik akibat dari absorpsi CO2, diantaranya ; hiperkarbia,
asidosis, meningkatnya stimulasi simpatoadrenal, hipertensi, takikardia, meningkatnya
tekanan intrakranial. Aritmia dapat terjadi akibat hiperkarbia, hipoksia, dan juga akibat
kombinasi dengan halothane.

Posisi Trendelenburg

Komplikasi akibat posisi trendelenburg, diantaranya ; kongesti vena di kepala dan


leher, peningkatan tekanan vena sentral, peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan retina,
retinal detachment, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma, intubasi endobronkial dan
hipoksemia, ventilasi-perfusi mismatch, neuropati, edema konjungtiva, edema jalan nafas,
cedera saraf.

Komplikasi lanjut

Berbagai komplikasi lanjut dapat terjadi akibat laparoscopy, antara lain ; obstruksi
usus akibat cedera, herniasi usus dan omentum melalui tempat tusukan trocar, deep vein
thrombosis, cedera saraf, metastase karsinoma dari tempat tusukan trocar.

12
Manajemen Nyeri

Pada operasi laparoscopy didapatkan intensitas nyeri lebih ringan dan lama nyeri
lebih singkat bila dibandingkan dengan operasi terbuka konvensional. Namun nyeri tersebut
dapat diklasifikasikan dalam nyeri berat terutama pada periode awal pasca operasi. Nyeri
yang didapat lebih merupakan nyeri visceral, dengan tambahan dapat berupa nyeri pada bahu
yang merupakan efek sekunder dari iritasi diafragma. Nyeri pada bahu tersebut lebih sering
terjadi pada operasi laparoscopy dan dapat berlangsung hingga 4 hari pasca operasi. Terdapat
korelasi antara intensitas nyeri bahu dengan volume gas residu subdiafragmatika. Dengan
alasan tersebut, penting untuk diperhatikan segala usaha untuk menghilangkan sebanyak
mungkin CO2 residu pada akhir operasi laparoscopy. Keparahan nyeri juga berkorelasi
dengan durasi operasi laparoscopy. Peregangan rongga intraabdominal akibat tekanan
intraabdominal yang tinggi akan meningkatkan keparahan nyeri secara signifikan.

Terdapat bukti klinis yang menunjukkan manajemen nyeri dengan teknik multimodal
analgesia [kombinasi opioid, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), dan anestetik
lokal] akan memberikan efek penghilang nyeri yang efektif dengan efek samping minimal
dan waktu pulih dari perawatan yang lebih cepat. Infiltrasi portal laparoscopy dengan
anestetik lokal akan memberikan efek analgesia yang sangat baik bahkan dapat memberikan
efek hingga operasi selesai. Penggunaan anestetik lokal tidak hanya pada subkutan namun
juga dapat diaplikasikan pada lapisan subfascia. Telah dicoba pada beberapa penelitian
bahwa dengan memberikan instilasi intraperitoneal 0,25 % bupivacaine 20 ml diantara hepar
dan diafragma akan mengurangi nyeri pasca laparoscopy secara signifikan.

NSAID kini digunakan secara luas pada perioperatif karena kemampuannya


mengurangi kebutuhan akan opioid. Pemberian ketorolac secara intravena pada periode awal
intraoperatif akan mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif, mengurangi skor nyeri pasca
operatif, dan mengurangi kebutuhan akan analgesik lainnya. NSAID juga didapatkan efektif
bila diberikan secara oral sebelum operasi laparoscopy.

13
LAPORAN KASUS

I. EVALUASI PRA ANESTHESIA


a. Identitas Pasien
Nama : Faranita Wijaya

Umur : 29 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Suku : Jawa

Agama : Kristen

Alamat : Renon Denpasar

No CM : 01215172

Diagnosis : Cholelithiasis

Tindakan : Laparoscopy Cholecystectomy

MRS : 23-7-2008

b. Anamnesis (tgl 23/ 07/2008)


Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas, nyeri dirasakan seperti tertusuk, nyeri
dirasakan menjalar seperti terasa tembus ke punggung. Keluhan nyeri tersebut dirasakan mulai
timbul sejak 2 minggu. Riwayat penyakit sistemik lainnya disangkal, riwayat alergi disangkal.
Penderita tidak minum alkohol, merokok dan atau kebiasaan menggunakan obat-obatan.

c. Status Present
• Kesadaran : Komposmentis
• Respirasi : 14 x / menit
• Tekanan Darah : 120/70 mmhg
• Nadi : 78 x / menit
• Suhu aksila : 36,6 ° celcius

14
• Berat Badan : 65 kg
• Tinggi Badan : 160 cm

d. Pemeriksaan Fisik
• Sistem saraf pusat : Normal
• Sirkulasi : Normal
• Respirasi : Normal
• Saluran cerna : Normal
• Hepatobilier : Nyeri (+) pada perut kanan atas
• Ginjal : Normal
• Metabolik : Normal
• Hematologi : Normal
• Otot rangka : Mallampati I, Fleksi Defleksi Normal

e. Pemeriksaan Penunjang
• Sistem Hematologi
▪ Wbc : 16,0 10 ³/ μL
▪ Hgb : 13,1 g/dl
▪ Hct : 38,8 %
▪ Plt : 513 10 ³/ μL
▪ BT : 1’00”
▪ CT : 8’30”
▪ PT : 10,6
▪ APPT : 37,5
▪ INR : 0,9

• Sistem Hepatobilier
▪ ALB : 3,7 g/dl
▪ AST : 16 IU/L
▪ ALT : 35 IU/L
▪ TBil : 0,54
▪ DBil : 0,06
▪ IndirectBil : 0,48

15
• Sistem Metabolik
▪ Na : 136,2 mmol/L
▪ K : 4,6 mmol/L
▪ Cl : 107,1 mmol/L

• Sistem renal
▪ Bun : 8,9 mg/dl
▪ Crea : 0,83 mg/dl, CCT 60,25 ml/menit
▪ Ureum : 19,0 mg/dl

• USG Abdomen : tampak batu multiple dengan diameter 2,2 cm


kesan : kolelitiasis multiple dan kolesistisis

II. PERSIAPAN PRA ANESTHESIA


a. Persiapan di Ruang Perawatan
Persiapan Psikis

• Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang pelaksanaan


anestesi, mulai dari persiapan di ruang perawatan, ruang operasi hingga kembali ke
ruang perawatan
Persiapan fisik

• Mengevaluasi vena untuk pemasangan iv line.


• Merencanakan pemasangan IV line dan pemberian cairan pengganti puasa sesaat mulai
puasa.

Lain-lain

• Memeriksa surat persetujuan operasi


• Persiapan pakaian dan alat-alat khusus disposable telah disediakan di ruang operasi IBS.

b. Persiapan di Kamar Operasi

16
• Memakai pakaian, sarung tangan, masker, sepatu khusus
• Menyiapkan mesin anestesi dan sirkuit nafas
• Menyiapkan alat pantau EKG, Pulse Oksimetri dan tekanan darah
• Mempersiapkan obat dan alat anestesia
• Menyiapkan obat resusitasi
• Penderita diberikan premedikasi midazolam 2 mg IV, petidin 25 mg, ondansetron 4 mg
di ruangan persiapan, langsung menuju kamar operasi.
• Memasang monitor dan IV line sudah terpasang di ruang perawatan, berikan cairan
pengganti.
• Mengatur posisi penderita dan meja operasi.
• Mengevaluasi ulang dan memastikan semua sesuai rencana

III. PENGELOLAAN ANESTHESIA


Jenis Anesthesia : Anesthesia umum

Teknik Anesthesia : Anesthesi dengan pemasangan Oro-trakhea-Tube, nafas kendali

• Penderita posisi telentang


• Preoksigenisasi selama 5 menit
• Induksi dengan propofol 200 mg
• Fasilitas intubasi dengan atracurium 30 mg
• Laryngoskopi, dan intubasi dengan pipa endotrakhea-tube no. 7,0
• Pemeliharaan dengan O2 ; N2O; Isoflurane (2 ; 2 ; 1,2 Vol %)
• Pasang packing
• Operasi dimulai pukul 08.45 WITA
• Operasi selesai pukul 10.30 WITA

Respirasi : Kendali

Posisi : Telentang

Durante Operasi : Nadi berkisar antara 60 - 100 x / menit,

Saturasi O2 98 – 100 %

Tekanan darah sistolik antara 100 - 140 mmhg

17
Tekanan darah diastolik antara 70 - 90 mmhg

Tekanan intraabdominal antara 12-15 mmHg

Produksi urine 400 cc

Lama Operasi : 1 jam, 45 menit

Akhir pembedahan : TD 110/60 mmhg

Nadi 68 x/menit

RR 16 x/menit

PONV - , Shivering -

Analgetik post operasi : drip analgetik petidin 150 mg : ketorolac 60 mg, 20 tetes
mikro/menit

Rekapitulas : Jumlah cairan kristaloid masuk RL 1300 ml

Perdarahan ± 200 ml

Kebutuhan cairan tiap jam 83,33 ml

Puasa 8 jam 666,64 ml

Aldrette skor :9

IV. PASCA OPERASI


Di Ruang Pemulihan

Aldrette skor : 10

(TD 110/70 mmhg, Nadi 70 x/menit)

Pukul 11.30 memindahkan penderita ke ruang perawatan Hangsoka 3.

18
19
Pembahasan

Pada kasus diatas yaitu Cholelithiasis yang akan dilakukan Laparoscopy


Cholecystectomy dilkelola dengan anestesia umum inhalasi dengan pemasangan pipa
endotrakea nafas kendali. Komponen anestesia yang diperlukan yaitu ; hipnotik, analgesia,
dan relaksasi. Komponen relaksasi maksimal diperlukan untuk visualisasi lapangan operasi
yang optimal karena menggunakan insuflasi pneumoperitonium dengan gas CO2. Pada kasus
ini diberikan kombinasi N2O : O2 yaitu 2L : 2L dengan pertimbangan penggunaan gas CO2
sebagai gas untuk membuat ruang pneumoperitonium, sehingga oksigenasi perlu diperhatikan
yang cukup tinggi untuk mencegah terjadinya hiperkarbia. Ventilasi pasien diperhatikan agar
normoventilasi dengan memperhatikan perubahan – perubahan yang dapat timbul pada sistem
respirasi selama operasi laparoscopy. Monitoring yang digunakan adalah monitor tekanan
darah non-invasif, pulse oksimeter, EKG, suhu, dan kateter urine. Perkiraan kehilangan darah
dilakukan dengan mengukur volume dalam tabung penghisap dan visualisasi langsung pada
lapangan operasi melalui kamera laparoscopy.

Pasca operasi pasien diekstubasi sadar dan diberikan O2 konsentrasi tinggi 6 – 8


L/menit dengan sungkup muka. Pemberian O2 sungkup muka tetap dilanjutkan hingga di
ruang pemulihan dan pasien siap dipindahkan ke ruangan. Di ruang pulih tetap dilakukan
pemntauan tanda vital dengan mengukur tekanan darah non-invasif, laju nadi, laju nafas,
kesadaran, dan produksi urine melalui kateter. Setelah didapatkan pemantauan di ruang pulih
dalam keadaan normal, pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Di ruang perawatan pasien
sadar baik dengan tanda – tanda vital normal tanpa keluhan mual – muntah pasca operasi.
Pasien menjalani rawat inap 2 hari pasca operasi dan diperbolehkan pulang pada hari ke-3.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill 2006


2. Miller R.D. Anesthesia, 6th ed, Churchchill Livingstone, Philadelphia. 2005
3. Stoelting RK. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Lippincot
Williams & Wilkins. Philadelphia 2006
4. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 9th ed. McGraw-Hill. Boston 2004
5. Guyton AC, John EH. Textbook of Medical Physiology. 9th ed. W.B Saunders
Company. 1996
6. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Lange. 17th ed. Appleton Inc. 1995
7. Yao & Artusio. Anesthesiology : Problem-Oriented Patient Management. 5th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2003
8. Duke J. Anesthesia Secrets. 3rd ed. Mosby Elsevier. Philadelphia. 2006
9. Girish P. Joshi MB. Anesthesia for Laparoscopic Surgery. Can J Anaesth 2002; 49: 1-
5
10. Vaghadia H, Collins L, Sun H. Selective Spinal Anesthesia for Outpatient
Laparoscopy. Can J Anaesth 2001; 48: 273-278
11. Rajiv R, Axelsson H, Oberg A, Jansson E. Diaphragmatic Activity after
Laparoscopic Cholecystectomy. Anesthesiology 1999; 91: 406-13

21

Anda mungkin juga menyukai