Anda di halaman 1dari 32

PERDARAHAN INTRAKRANIAL SETELAH OPERASI OPEN HEART

1. PENDAHULUAN
Cardiopulmonary Bypass (CPB) untuk bedah jantung terbuka (Open Heart Surgery –
OHS) sering dilakukan dalam fasilitas kesehatan di dunia. Di Amerika Serikat, lebih dari
250.000 prosedur OHS dilakukan setiap tahunnya, terutama untuk CABG (Coronary Artery
Bypass Grafting. Dengan perkembangan dari teknik pembedahan dan oksigenasi
ekstrakorporeal, mortalitas dari prosedur ini rendah (1%-4%). Akan tetapi, perdarahan
perioperatif yang berlebihan sering menyulitkan CPB. Manajemen dari perdarahan abnormal
sering terjadi reopen dan sering berkaitan dengan pemberian produk darah berlebihan dan
sering tidak tepat yang biasanya melebihi persediaan darah yang ada. Pada beberapa rumah
sakit, lebih dari 25% dari semua produk darah didedikasikan untuk prosedur OHS.
Pendekatan multidisiplin, mulai dari bedah jantung, hematologi, layanan transfusi diperlukan
untuk menurunkan kebutuhan operasi ulang dan resikonya, serta meminimalkan
kemungkinan tertularnya penyakit berkaitan dengan transfusi.[ CITATION Har18 \l 1057 ]
(shin min yuan )
Operasi open heart sangat bermanfaat bagi ribuan pasien dengan penyakit jantung bawaan
atau yang di dapat. Namun, hal ini juga membawa komplikasi yang tidak diinginkan pada
organ tubuh yang lain. Di antaranya perdarahan intrakranial (ICH) yang sangat beresiko dan
mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan tepat. Perdarahan intrakranial setelah operasi
open heart pertama kali dilaporkan oleh krous et al 1 pada tahun 1975. Hanya sedikit yang
melaporkan,insiden ICH setelah operasi open heart bervariasi terbanyak dai china 0,16%-6%,
0,12% di jepang , tetapi di Canada dan USA tidak dapat diketahui. Perdarahan intrakranial
setelah operasi mechanial valvular replacement (MVR) dialami 0,8% pasien pasca open heart
surgery pada periode yang sama. Dan 8-11% pasien dengan prosthetic valve endocarditis
menderita ICH. Angka kematian pasien yang mengalami perdarahan intrakrnial setelah open
heart surgery di china 87,5% , 100% di USA dan 0% dilaporkan di jepang.
Perdarahan intrakranial (ICH) merupakan komplikasi dari operasi open heart yang
jarang terjadi tetapi sangat mematikan. Dari beberapa data 179 pasien post open heart surgery
yang mengalami ICH, intracerebral haemorrhage yang terbanyak (41,21%), subdural
haematoma yang kedua (22,53%) dan epidural haematoma yang ketiga (12,64%). Dari 77
regio ICH yang dapat diketahui, regio frontal yang terbanyak (23,34%), regio parietal,
occipital dan temporoparietal menepati kedua terbanyak (masing-masing 12,99%). ICH
setelah operasi open heart sangat jarang terjadi tetapi sangat beresiko dan mengancam jiwa.
Setiap faktor yang menyebabkan cedera serebrovaskular atau fluktuasi perpindahan volume
serebral selama, pra-, intra, atau pasca operasi open heart dapat menyebabkan ICH.

2. ETIOLOGI / FAKTOR RESIKO


Faktor predisposisi
Komplikasi neurologis yang diakibatkan oleh operasi open heart sulit untuk dijelaskan
dan memiliki banyak penyebab termasuk kondisi pasien pre-,intra-,dan post operasi. Faktor-
faktor yang terlibat mungkin emboli, hipoperfusi, hipotensi, dan hipoperfusi arteri carotis.
Faktor resiko
Mekanisme yang paling umum dari ICH setelah operasi open heart adalah trauma
kepala atau perubahan volume otak akibat pergeseran cairan menyebabkan robeknya dura
pada bridging veins. Bahkan sobekan kecil dapat membentuk hematoma yang signifikan.
Meskipun beberapa pasien memiliki hematoma kecil, pembentukan hematoma subdural yang
kronis dapat menyebabkan penyerapan cairan dan perluasan hematoma, sehingga
menyebabkan gejalan neurologis dengan onset yang lambat. Trauma otak atau cedera otak
yang sudah ada sebelumnya, Vaskular serebral malformasi dan komplikasi neurologis yang
sudah ada sebelumnya seperti riwayat kejang merupakan faktor risiko lainnya terjadinya
ICH.
Akan tetapi, sebagian pasien mengalami perdarahan karena berbagai defek hemostasis
yang didapat, sebagian besar berkaitan dengan disfungsi platelet transien yang didapat (Tabel
1). Perhatian pada berbagai penyebab dari perdarahan yang mengikuti CPB dan insidensnya
sangat penting untuk manajemen optimal pasien. (Woodman & Harker, 1999)

Ada korelasi yang signifikan antara usia dan atau riwayat penyakit serebrovaskular
dengan komplikasi neurologis. Perdarahan intrakranial setelah operasi open heart lebih sering
ditemukan pada pediatri dibandingkan pasien dewasa. Otak bayi yang lunak dan kurang
bermielin lebih cepat sangat rentan terhadap trauma, semakin memperbesar resiko kerusakan
vena dura akibat peregangan. Ruang atrium kiri yang kecil pada anak-anak dengan penyakit
jantung bawaan dapat menyebabkan obstruksi balik vena pulmonal dan pulmonal hipertensi
vena, sehingga memungkinkan drainase yang buruk atau aliran balik darah vena cava
terganggu. Ini merupakan penyebab lain encephaloedema dan ruptur kapiler.
Pada penelitian tidak ada korelasi yang ditemukan antara lamanya CPB dan aortic
cross-clamp pada pasien usia 70 tahun, tetapi komplikasi neurologis terlihat meningkat ketika
CPB lebih dari 120 menit. Durasi CPB dengan hypothermic circulatory arrest lebih lama dari
40 menit memiliki insiden neuropathology yang lebih tinggi. Circulatory arrest yang
digunakan untuk melindungi organ vital selama oeprasi open heart menyebabkan
peningkatan resiko megganggu perkembangan pada anak-anak, terutama di pada fungsi
motorik dan bahasa.
Hypocoagulability memiliki efek sinergis. Perioperative antikoagulan dengan
menggunakan heparin mungkin merupakan faktor yang bertanggung jawab terjadinya
perdarahan, dan heparinisasi durante operasi juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
hematoma. Heparinisasi durante operasi open heart dapat menyebabkan intracerebral
haemorrhage dari myotic aneurysma dan infark. CPB dan heparinisasi selalu beresiko untuk
menyebabkan neulogical injury.
Hyperosmotic perfusion mungkin dapat menyebakan dehidrasi dan shinkage pada
jaringan otak dan menurunkan tekanan intracranial. Telah ditunjukkan bahwa ICH
mungkinberkolerasi positif dengan punggunaan manitol saat priming. Diuresi yang
berlebihan dan dehidrasi sebelum dan menyebabkan menyebabkan balance negatif, yang
dapat menyebabkan tarikan otak antara jaringan subdural dan duramater. Tekanan perfusi
lebih dari 100 mmHg termasuk faktor resiko terjadinya ICH.
Hiperglikemia (> 250 mg%) terbukti secara signifikan berkaitan dengan peningkatan
insiden neurologis yang merugikan, dan status kegawatdaruratan juga berhubungan dengan
outcome neurologis yang buruk. Perfusi sistem saraf pusat dan glucose-oxygen delivery
menjadi faktor penting dalam terjadinya ICH, sedangkan asidosis dan hiperkarbia tidak.
Pada awal anestesi, pasien biasanya berada dalam posisi terlentang. Durante CPB, ahli
anestesi akan mengubah posisi kepala pasien, biasanya ke arah kiri untuk kenyamanan saat
manipulasi, Sehingga membuat jaringan otak jatuh dari situs frontal, temporal dan daerah
parietal ke bagian bawah. Itulah mengapa sisi kanan frontal, temporal dan daerah parietal
yang sering terkena ICH. Namun, Humphreys et al melaporkan bahwa posisi kepala pasien
dirumah sakit mereka biasanya 45 derajat kearah kanan.
Pasien yang mendapat terapi antikoagulan oral seumur hidupnya yaitu pasien post
operasi katup mekanik memiliki insiden yang lebih besar untuk terjadinya ICH. Terjadinya
ICH pada pasien dengan endokarditis prostetik akibat dari septic arteritis, infark otak dan
sebagainya. Penggunaan antikoagulan setelah penggantian katup jantung memiliki bahaya
langsung terjadinya ICH daripada operasi open heart itu sendiri. Emboli serebral atau
nekrosis dapat menjadi faktor predisposisi untuk ICH mayor, dimana pendarahan otak
merupakan suatu komplikasi yang jarang terjadi akibat emboli setelah operasi open heart.
3. PATOGENEIS / PATOFISIOLOGI
CPB mungkin dapat mempengaruhi CBF (Cerebral Blood Flow – aliran darah otak) dan
laju konsumsi oksigen dari metabolisme otak (CMRO2 – Cerebral Metabolic Rate of Oxygen
Consumption), namun perubahan ini secara kualitatif tidak berbeda dengan apa yang terjadi
pada kondisi non-CPB; namun pada kondisi CPB, perubahan yang terjadi lebih besar. Selama
CPB dilakukan diatas suhu 270C, dimana dilakukan pada 90% pembedahan dewasa, fisiologi
otak sesuai dengan yang dipelajari dan dapat diprediksi. Akan tetapi, ketika bypass dilakukan
dalam kondisi hipotermia sedang sampai tinggi, beberapa hubungan ini akan berubah,
terutama karena perubahan non-linear pada CMRO2 dan vasoparesis yang diinduksi oleh
suhu yang rendah.([ CITATION sun09 \l 1057 ])
Penentu dari perfusi serebral selama CPB adalah (dalam urutan paling penting) :
 Rerata tekanan darah arterial
 Hematokrit
 Metabolisme serebral; dan
 PaCO2
Tidak adanya nadi tidak menentukan CBF, juga bersifat independen terhadap MAP.
Pada masa lalu, terdapat kebingungan tentang efek MAP pada perfusi serebral selama
CPB. Hal ini disebabkan karena desain studi yang buruk yang dilakukan pada tahun 1980an
dan kegagalan melihat efek yang disebabkan HCT pada aliran darah serebral. Setidaknya,
terdapat 2 studi besar dari tahun 1980an yang menyimpulkan bahwa CBF independen
terhadap MAP, pada tahap MAP serendah 30-40mmHg selama CPB. Kesimpulan ini
berdasarkan pada jumlah pengukuran CBF yang sedikit bila dibandingkan dari jumlah pasien
yang banyak. Karena pengukuran dilakukan pada MAP, temperatur, HCT dan PCO2 yang
bervariasi, pada banyak pasien juga, terdapat pola sebaran data yang kurang merata. Ketika
analisis regresi yang menghubungkan MAP dengan CBF dilakukan pada sebaran data yang
luas, tidak terdapat hubungan antara MAP dan CBF yang dapat dilihat. Desain studi ini tidak
adekuat untuk menguji hipotesis dan kesimpulan yang dibuat oleh studi ini pun dapat
menyesatkan.
Sumber kebingungan utama lainnya mengenai hubungan antara MAP dengan CBF
muncul dari kegagalan untuk menemukan efek dari HCT pada CBF. Berbagai investigasi
dibuat untuk menentukan CBF sebelum CPB. Kemudian selama CPB, pada MAP yang lebih
rendah secara signifikan (dibawah 55mmHg), pengukuran CBF diulang dan ditemukan
hampir sama pada CBF ketika MAP yang lebih tinggi sebelum CPB dilakukan. Studi ini
gagal untuk melihat fakta bahwa terdapat hemodilusi signifikan terjadi selama CPB dan hal
ini akan menurunkan viskositas darah serta meningkatkan CBF. Hal ini diutarakan oleh
Plochl dan Cook yang melakukan paparan acak untuk MAP yang bervariasi pada anjing coba
selama CPB yang dilakukan pada suhu 330C dan menemukan bahwa ketika CBF ditingkatkan
untuk berbagai derajat hemodilusi, CBF dan pengiriman oksigen serebral akan menurun
ketika MAP jatuh dibawah 55mmHg. [ CITATION sun09 \l 1057 ]
Setelah MAP dan HCT, metabolisme serebral merupakan penentu utama dari CBF. Pada
rentang temperatur dimana sebagian besar CPB dewasa dilaksanakan, yakni 27 0C-370C,
terdapat hubungan yang jelas antara temperatur, CMRO2, dan CBF. Dibawah 25 0C,
hubungan menjadi lebih kompleks. Bila semua variabel lain (terutama MAP, HCT dan CO2)
dikontrol, setiap penurunan 200C akan menurunkan CMRO2 sekitar 50% dan hal ini
berkaitan dengan penurunan 50% pada CBF.
PaCO2 merupakan determinan independen dari CBF selama bypass. Akan tetapi, pada
pembedahan jantung pasien dewasa sebagian besar efek dari PaCO2 relatif kecil. Bila semua
variabel lain dikontrol, setiap peningkatan 1 torr atau penurunan PaCO2 akan merubah CBF
sekitar 3%. Serupa, antara 320C-370C efek maksimal CO2 pada CBF adalah sekitar 15%.
Efek dari CO2 dan strategi alpha-stat/pH-stat menjadi semakin relevan pada suhu dibawah
270C, namun menjadi hal yang sedikit di pertimbangkan pada suhu diatas 320C.
Fisiologi serebral selama CPB sulit untuk ditentukan karena banyak sekali variabel yang
dapat berubah secara simultan dan beberapa variabel fisiologis tersebut dapat berinteraksi
satu sama lain. Hal ini jelas pada interaksi antara HCT, MAP dan CBF. Beberapa literatur
telah melaporkan bahwa perfusi serebral bergantung pada pump flow. Kesalahpahaman ini
muncul dari kegagalan mengetahui bahwa pump flow, layaknya cardiac output, utamanya
ditentukan dari MAP. Ketika penurunan atau peningkatan pada CBF mungkin dapat dilihat
ketika pump flow meningkat atau menurun, hal ini hanyalah menunjukkan ambang
autoregulasi yang ada, diatas mAP sekitar 55mmHg, peningkatan pump flow tidak
meningkatkan CBF, dan ketika dibawah 55mmHg, penurunan pump flow mengakibatkan
penurunan MAP yang kemudian mengakibatkan penurunan pada CBF. Hal ini juga
ditunjukkan pada studi binatang coba oleh Sadahiro. [ CITATION sun09 \l 1057 ]
Ketergantungan CBF pada pump flow dilihat hanya ketika pump flow terlalu rendah untuk
menghasilkan MAP diatas ambang autoregulasi. Pada manusia dan binatang, independensi
dari CBF dari pump flow antara 1.2 sampai 2.31 L/menit/m2 pada MAP stabil telah
ditunjukkan pada kondisi suhu 270C. Pulsatile flow tampaknya tidak memiliki efek pada
aliran darah otak selama CPB, dimana CPB independen terhadap efek apapun dari pulsalitas
MAP. (lihat tabel 12.1)[ CITATION sun09 \l 1057 ]

Table 1

Table 2 efek of pump pada perfusi serebri

Kondisi otak saat CPB sangat berbeda dari yang terlihat selama operasi bedah saraf.
Hypothermic circulatory arrest yang dalam merusak cairan serebrospinal dan metabolisme
serebral bahkan setelah penghentian CPB. Tidak memadainya dan atau pendinginan otak
yang tidak homogen sebelum circulatory arrest, serta rewarming berlebihan otak selama
reperfusi menjadi kontribusi utama. (shin min yuan )
Cascades inflamasi terlibat pada end-organ injury yang terlihat setelah CPB dan mungkin
memainkan peran dalam disfungsi neurologis. Baumgartner et al telah mendokumentasikan
peran glutamate excitotoxicity pada cedera neurologis dan berkaitan dengan nitrit oxide (NO)
sebagai neurotoxin penyebab penting nekrosis dan apoptosis.(shin min yuan)
Platelet
CPB mengakibatkan penurunan hitung platelet dan juga fungsinya. Hemodilusi menyebabkan
hitung platelet menurun secara cepat sampai 50% dari kadar preoperatif segera setelah
dimulainya CPB, namun biasanya tetap diatas 100.000/mikroliter selama bypass. Yang lebih
signifikan lagi, adalah penurunan fungsi dari platelet. Dalam beberapa menit setelah CPB
dimulai, Waktu perdarahan akan memanjang secara signifikan dan terdapat gangguan
agregasi adenosin difosfat (ADP) atau kolagen. Perubahan dari waktu perdarahan (BT) tidak
berkaitan dengan penurunan dari hitung platelet. Abnormalitas fungsi ini akan memburuk
selama CPB, dan bila durasi dari CPB mendekati 2 jam, waktu perdarahan akan meningkat
secara progresif sampai lebih dari 30 menit. Perubahan yang serupa ada pada hitung platelet,
waktu perdarahan, agregasi platelet, dan perdarahan paska operatif yang terjadi. Biasanya 20
menit setelah CPB dihentikan dan pemberian protamine, waktu perdarahan akan memendek
sampai kira-kira 15 menit dan mencapai nilai normal dalam 2-4 jam. Platelet count biasanya
kembali normal setelah beberapa hari. [ CITATION Har18 \l 1057 ]
Disfungsi platelet tampaknya berkaitan dengan kontak dari platelet dengan permukaan
sintetis dari extracorporeal oxygenator dan hipotermia yang berhubungan dengan bypass.
Studi pada primata secara jelas menunjukkan bahwa pemanjangan waktu perdarahan dan
agregasi platelet disebabkan entah karena oksigenatornya atau karena hipotermianya. Baru-
baru ini telah dihipotesiskan bahwa hipotermia dapat menginduksi disfungsi platelet
reversibel dengan mengganggu sintesis tromboksan platelet A2.[ CITATION Har18 \l 1057 ]

Meskipun mekanisme pasti yang bertanggung jawab terjadinya disfungsi platelet transien ini
masih belum diketahui, beberapa bukti menunjukkan bahwa hal ini sebagai akibat dari
aktivasi platelet transien, serupa dengan fase refrakter yang diinduksi secara in vitro oleh
ADP. Pertama, CPB menyebabkan peningkatan secara progresif dari kadar beberapa
inidikator biokimia plasma dan urin dari aktivasi platelet in vivo, termasuk PF4 (platelet
factor 4), B-TG (Beta-Thromboglobulin), dan tromboksan B2. Abnormalitas fungsi platelet
juga dikaitkan dengan deplesi A-granule. Kedua, setelah paparan dari extracorporeal
oxygenator, platelet mengalami perubahan morfologis yang transien konsisten dengan
agregasi reversibel dan aktivasi platelet. Akhirnya, beberapa investigasi telah menunjukkan
baik pada primata non-manusia dan pasien yang melalui CPB bahwa pencegahan aktivasi
platelet dengan PGE1 atau prostasiklin (PGI2) yang diinfuskan melalui sirkuit bypass dapat
menghilangkan perkembangan disfungsi platelet.(Woodman & Harker, 1990)
Normalisasi penuh dari plasma PF4 dan B-TG biasanya terjadi dalam 2-4 jam paska operatif,
meskipun penurunan angka a-granule platelet tetap terjadi walaupun terdapat peningkatan
fungsi platelet, sehingga menunjukkan bahwa deplesi a-granule dan disfungsi platelet
merupakan konsekuensi independen terhadap CPB. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin
pelepasan selektif dari a-granule atau granule padat bertanggung jawab terhadap disfungsi
platelet berkaitan dengan CPB.
Disfungsi platelet setelah CPB juga dikaitkan dengan deplesi temporer atau
modifikasi dari beberapa komponen membran platelet fungsional, meskipun terdapat
kontroversi akan temuan ini. Beberapa studi menunjukkan penurunan signifikan dari antigen
membran untuk glikoprotein (GP) Ib, Iib, dan IIIa pada platelet yang bersirkulasi mengikuti
tindakan CPB. Reseptor adrenergis A2 pada platelet juga menurun karena CPB. Hilangnya
GP IIIa platelet berkaitan dengan penurunan dari tempat pengikatan fibrinogen total, dan ini
merupakan proses yang dicegah dengan pemberian PGE1 (Prostanoid). Akan tetapi, CPB
sepertinya tidak merubah afinitas ikatan untuk fibrinogen.(Woodman & Harker, 1990)

Tabel 1 Berbagai penyebab dari perdarahan setelah CPB

Beberapa mekanisme, baik sendiri maupun secara bersamaan, mungkin bertanggung jawab
akan abnormalitas membran tersebut. Trauma mekanis karena shear stress(Stress akibat
gesekan mekanis), adhesi permukaan dan turbulensi dalam axtracorporeal oxygenator
mungkin dapat menyebabkan fragmentasi dari membran platelet sehingga reseptornya dapat
lepas. Konsentrasi plasma dari mikropartikel membran platelet selain sekresi a-granule
meningkat setelah CPB dan menunjukkan adanya kerusakan membran. Pertimbangan lain
ialah lepasnya proteolitik dari membran platelet GP oleh plasmin. Inkubasi platelet in vitro
dengan plasmin (atau protease lain) menyebabkan degradasi membran GP Ib platelet dengan
hilangnya faktor Von Willebrand, aglutinasi dengan ristosetin. Plasmin juga mengganggu
agregasi yang diinduksi ADP secara in vitro; akan tetapi mekanisme pasti masih belum
ditemukan. Bukti adanya perubahan yang dimediasi oleh plasmin dalam sifat platelet in vivo
tidak lah meyakinkan, meskipun kemampuan inhibitor protease aprotinin untuk
meminimalkan hilangnya GP Ib setelah CPB ternyata dapat menyediakan bukti lebih lanjut
akan kemampuan plasmin dalam perkembangan disfungsi platelet. Meskipun demikian, tidak
ada korelasi antara perdarahan dari aktivasi platelet atau abnormalitas membran platelet
sampai saat ini.(Woodman & Harker, 1990)

Faktor koagulasi
Sesaat setelah dimulainya CPB, penurunan yang diprediksi dari konsentrai plasma
konsentrasi yaitu faktor koagulasi II, V, VII, IX, X, dan XII, terutama karena hemodilusi.
Untuk alasan yang masih belum jelas, hanya faktor V yang menurun lebih dari yang
diprediksi karena dilusi saja. Namun, semua faktor koagulasi, termasuk faktor V, tetap ada
diatas batas normal yang dipertimbangkan cukup untuk hemostasis (contohnya lebih dari
sama dengan 15% faktor V dan lebih dari sama dengan 30% untuk semua faktor pembekuan)
bahkan pada pasien dengan perdarahan masif setelah CPB. Sebaliknya, faktor VIII plasma
tetap pada batas normal baik selama atau setelah CPB meskipun terjadi hemodilusi. Secara
umum, semua faktor koagulasi (kecuali fibrinogen) akan mencapai nilai normal dalam 12 jam
pertama setelah CPB. PT (Prothrombin Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin
Time) biasanya normal setelah CPB dilepas dan setelah pemberian protamine.
Hubungan yang kompleks dan belum bisa dijelaskan dengan pasti antara CPB dan
konsentrasi serta komposisi multimetrik dari vWF. Selama bypass (tidak berkaitan dengan
hemodilusi), konsentrasi vWF plasma biasanya menurun namun tetap diatas kadar normal
adekuat untuk hemostasis. Tentunya, peningkatan aktivitas fungsional, dengan pengukuran
kofaktor ristosetin telah dilaporkan secara in vitro. Meskipun terdapat penurunan konsentrasi
vWF plasma selama CPB, beberapa (tidak semua) penulis menunjukkan adanya peningkatan
proporsi HMWM (High Molecular Weight Multimers), menunjukkan pelepasan dari vWF
tersimpan, kemungkinan dari a-granule platelet. Meskipun pasien yang memiliki kadar vWF
kurang dari 1.8 U/mL dan kadar paskaoperatif yang kurang dari 1.2 U/mL cenderung
memiliki perdarahan paska operatif yang berlebihan, kadar vWF pre dan paska oepratif atau
pola multimerik dari vWF tidaklah berguna secara klinis sebagai prediktor perdarahan.
Setelah CPB, terdapat peningkatan konsentrasi vWF plasma total (tanda dari fase akut
reaktan) dan proporsi dari multimer berat molekul rendah. Konsentrasi paska bypass dari
vWF tampaknya cukup untuk terjadinya hemostasis.
Defisiensi HMWM yang didapat telah dijelaskan dalam hubungannya dengan penyakit katup
jantung dan penyakit jantung bawaan non sianotik. Meskipun mekanisme yang
mengakibatkan hilangnya HMWM masih belum diketahui, proteolisis atau turbulensi
mungkin menjadi kontributornya. Pada anak dengan penyakit jantung bawaan non-sianotik,
penurunan HMWM seringkali berkaitan dengan gejala perdarahan, pemanjangan waktu
perdarahan, penurunan konsentrasi vWF, dan hilangnya aktivitas kofaktor ristosetin. Pada
dewasa, telah diajukan pendapat bahwa penurunan HMWM mungkin berkontribusi terhadap
peningkatan insidens perdarahan mukosa yang dilaporkan berkaitan dengan stenosis aortik.
Pasien-pasien tersebut umumnya tidak memerlukan manajemen khusus sebelum OHS;
pembedahan biasanya diikuti dengan koreksi dari pola multimerik vWF dan peningkatan dari
hemostasisnya.(Woodman & Harker, 1990)
Heparin rebound dan kelebihan protamine
Heparin dimasukkan selama CPB untuk mencegah terjadinya penyumbatan pada oksigenator
ekstrakorporeal. Pemberiannya biasanya disesuaikan untuk mempertahankan ACT (Activated
Clotting Time) 350-500 detik (normalnya kurang dari sama dengan 130 detik). Setelah
kembalinya darah dari oksigenator ekstrakorporeal ke pasien pada akhir dari CPB, heparin
akan dinetralkan dengan pemberian protamin sulfat. Protokol reversal berbeda juga
digunakan, namun biasanya sekitar 1mg protamine berdasarkan dari total miligram heparin
yang diberikan selama peridoe intraoperatif, biasanya diberikan dalam rangka untuk
mencapari rasio protamine-heparin lebih dari sama dengan 1:1. Pendekatan ini tidak
direkomendasikan karena heparin hampir selalu diberikan dalam satuan unit, dan juga
terdapat hubungan yang tidak jelas antara unit dan miligram; dan juga saat ini preparasi
heparin mengandung berbagai macam bentuk heparin dengan berat molekul tinggi dan
rendah. Kecukupan netralisasi dari protamin mungkin dapat diobservasi dengan waktu
pembekuan, khususnya dengan titrasi protamin, atau kadar heparin plasma.
Pantulan kadar heparin telah diperkirakan sebagai salah satu penyebab perdarahan setelah
CPB. Diagnosis ini berdasakan munculnya kembali ACT yang memanjang, seringkali
dilakukan bersamaan dengan titrasi protamine. Akan tetapi, frekuensi, patogenesis, dan peran
perdarahan berkaitan dengan CPB masih belum diketahui dengan pasti. ACT dapat juga
memanjang oleh berbagai faktor, termasuk hipofibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi,
atau adanya inhibitor yang didapat. Meskipun kelebihan protamine sulfat telah dilaporkan
dapat mengakibatkan efek antikoagulan dan antiplatelet, fenomena ini mungkin merupakan
artifak in vitro tanpa ada signifikansi klinisnya. Jadi, dosis kedua dari protamine sulfat untuk
manajemen perdarahan berlebih setelah CPB umumnya aman, namun diindikasikan hanya
ketika dosis pertama protamine kurang dari rasio 1 mg protamine per 100 unit heparin. Akan
tetapi, injeksi protamine juga sering dikaitkan dengan trombositopenia transien ringan,
peningkatan ACT dan PTT, dan spektrum reaksi alergi. Sebagai contoh, ruam kulit, urtikaria,
bronkospasme, peningkatan tekanan arteri pulmoner, hipotensi, syok kardiogenik, dan
anafilaksis telah dilaporkan terjadi dalam 10 sampai 20 menit setelah pemberian protamine.
Hipotensi ringan telah dikaitkan dengan vasodilatasi perifer transien. Pasien yang
diperkirakan memiliki resiko terjadinya reaksi alergi yang dapat mengancam nyawa adalah
pria yang telah divasektomi, pasien dengan alergi ikan, diabetes dengan paparan protamine
insulin, dan pasien yang telah mendapatkan protamine sebelumnya. Reaksi alergi in
itampaknya dimediasi oleh IgG dan IgE. Insidens dari anafilaksis yang dimediasi oleh
protamine sangat rendah, terjadi kira-kira 0.6% sampai 2% pada diabetik dependen insulin
hagedorn protamine netral dibandingkan dengan 0.6% pada populasi OHS umumnya.
Manfaat dari skrining preoperatif dari pasien yang beresiko untuk reaksi alergi diinduksi
protamine masih belum diverifikasi, dan saat ini faktor resiko ini tidak menjadi kontrainsikasi
pemberian protamine. Antagonis heparin potensial lain ialah heksadimetrin bromida, dan
methylene blue. Sayangnya, ketersediaan dan karakter klinis agen tersebut masih sangat
terbatas. Reversal spontan dari antikoagulasi heparin adalah alterrnatif lain dari protamine
yang telah digunakan secara sukses pada OHS. Akan tetapi, pada pasien dengan perdarahan
berlebih setelah CPB, pendekatan ini mungkin tidak tepat dan netralisasi cepat dari heparin
dengan protamine sulfat mungkin dibutuhkan.(Woodman & Harker, 1990)
Koagulopati konsumtif dan fibrinolisis
Bila dilihat dari sejarah, perdarahan setelah CPB telah dikaitkan dengan fibrinolisis berlebih
dimulai setelah sternotomi, dan terus meningkat selama CPB, dan persisten sampai 2 jam
setelah CPB. Hipotermia dan waktu pompa yang memanjang telah dipertimbangkan dapat
memperparah hiperfibrinolisis. Telah diperkirakan bahwa permukaan dari pleura, perikardial,
dan periosteum mengandung substansi menyerupai aktivator plasminogen yang dapat
menginisiasi fibrinolisis. Akan tetapi, temuan mengenai fibrinolisis (contohnya, pemendekan
waktu lisis euglobin, pemanjangan PT dan APTT, hipofibrinogemia, dan peningkatan produk
hasil degradasi fibrinogen) mungkin mencerminkan dilusi oleh cairan bukan darah,
heparinisasi yang tidak adekuat, konsumsi dari platelet dan fibrinogen oleh jaringan trauma
akibat pembedahan, dan fibrinolisis sekunder. Akan tetapi, hiperfibrinolisis muncul sebagai
penyebab dari perdarahan setelah CPB dan memicu praktik bedah sehari-hari dengan
pemberian agen antifibrinolitik seperti asam aminokaproik epsilon (EACA – epsilon
aminocaproic acid) untuk pasien yang menjalani prosedur OHS.
Studi selanjutnya yang lebih mendetail mengenai fibrinolisis selama dan setelah CPB telah
menunjukkan bahwa peningkatan fibrinolisis biasanya bukan merupakan penyebab utama
dari perdarahan. Baik kadar fibrinogen dan plasminogen plasma akan menurun selama CPB
dan bukan karena aspek konsumsinya namun terutama lebih karena hemodilusi. Umumnya,
fibrinogen dan plasminogen akan mencapai nilai normal dalam 12-24 jam setelah CPB. A2-
Antiplasmin dan antithrombin III akan mengalami perubahan serupa disebabkan karena
hemodilusi. Terlebih lagi, kadar fibrinogen yang dapat membeku tidak berubah dengan
prosedur CPB, sehingga mengeksklusi defek signifikan pada polimerisasi karena FDP.
Meskipun aspek konsumsi umumnya tidak signifikan, terdapat situasi seperti syok
kardiogenik, sepsis, atau crush injury dimana koagulopati konsumtif mungkin dapat
mengakibatkan trombositopenia dan hipofibrinogenemia selama dan setelah CPB.(Woodman
& Harker, 1990)
Perdarahan terkait Aspirin
Pasien yang mengonsumsi aspirin sebelum CABG mengalami perdarahan mediastinal yang
memanjang dan berlebih sehingga menyulitkan CPB. Sebagai ilustrasi, studi prospektif
terandomisasi multisenter melaporkan pemberian aspirin (325mg) 12 jam sebelum CABG
berkaitan dengan peningkatan perdarahan paska operatif signifikan, kebutuhan transfusi, dan
resiko reoperasi. Lebih penting lagi, dimulainya terapi aspirin dini paska operatif (6 jam)
dapat menghilangkan komplikasi perdarahan dengan tetap memunculkan manfaat dari aspirin
dalam meningkatkan patensi graft. Dalam pandangan hasil tersebut, aspirin tidak seharusnya
diberikan secara preoperatif. Bila memungkinkan, aspirin harus dihentikan terlebih dahulu
paling tidak 5 hari sebelum CPB. Manajemen terkait perdarahan paska CPB karena aspirin
serupa dengan penyebab lain seperti defek platelet yang didapat, terdiri dari observasi waktu
perdarahan, pemberian desmopressin, dan transfusi platelet.(Woodman & Harker, 1990)
4. Gejala klinis
Manifestasi klinis
Mayoritas pasien dengan ICH setelah operasi open heart biasaya memiliki karakteristik
perubahan status neurologis yang sama dengan pasien dengan intracranila space – occupying
lesion. Su et al membagi pasien menjadi tiga kelas : coma,semicoma dan sadar. Gejala-
gejalanya antara lain kejang, hemiparese, somnolen, pupil aniskor pada coma dan semicoma
pasien, aphasia atau nyeri kepala pada pasien yang sadar. Beberapa pasien tidak sadar
kembali dari anestesi, dan yang lain menampakkan gejala klasik defisit neurologis terutama
pada kasus akut terjadi dalam beberapa jam atau hari setelah operasi open heart . beberapa
kasus meninggal durante operasi dan yang lainnya ditemukan manifestasi gejala non-
neurogical seperti diathesis haemorrhagic, ventrikuler dysrhytmia, low output syndrome,
gagal jantung kanan, edema paru, atau hypoxia selama perioperative operasi open heart.
Nyeri kepala sering dikeluhkan pada pasien yang dilakukan MVR dan yang menerima oral
antikoagulan berkala. ICH sub akut (2 minggu sampai 3 bulan) atau kronik (lebih dari 3
bulan). Dilaporkan oleh Yao et al satu kasus ICH 9 bulan setalah MVR.
Ukuran ICH sulit untuk ditentukan, Krous at al melaporkan ukuran ICH berkisaran 6
sampai 85 ml untuk subdural haemorrhage, dan 15-50 ml pada epidural haemorrhage.
Humphreys et al membagi perdarahan dalam 3 buah : < 15 ml, 15-60 ml, dan > 60 ml.
Prognosisnya tidak begitu menggembirakan. Enam puluh delapan pasien (37,36%)
mendapat terapi kraniotomi evakuasi hematoma, 30 pasien dengan pengobatan konservatif
(16,48%), 27 pasien tidak mendapat terapi (14,84%), dan untuk 57 pasien lainnya mendapat
terapi dengan metode lain yang tidak diketahui (31,32%). Empat puluh dua pasien (23,08%)
survived, salah satunya menjadi vegetative state (0,55%), 103 meninggal (56,59%), dan
untuk prognosis 37 pasien lainnya tidak diketahui (20,33%).
5. Diagnosis
Evaluasi Laboratorium
Pasien yang menjalani CPB, tanpa riwayat perdarahan sebelumnya, ada dalam resiko
menengah untuk perdarahan akibat pembedahan, dan pasien dengan curiga riwayat
gangguan perdarahan atau adanya gangguan perdarahan terdokumentasi ada pada resiko
perdarahan akibat pembedahan tinggi. Skema untuk evaluasi hemostatis preoperatif telah
disajikan oleh Rapaport (tabel 2). Utuk mengidentifikasi sebagian kecil pasien dengan
gangguan perdarahan kongenital ringan yang tidak terdiagnosa dan pada pasien tanpa
riwayat perdarahan sebelumnya, rekomendasi evaluasi preoperatif untuk semua pasien
yang menjalani CPB, termasuk hitung platelet, BT, PT, APTT, skrining faktor XIII (lisis
klot urea), dan lisis klot darah seluruhnya. Karena pendekatan skrining ini memiliki
kemungkinan yang kecil untuk menemukan abnormalitas dibandingkan dengan jumlah
tes yang dilakukan dan jumlah hasil tes abnormal, banyak pusat kesehatan tidak
melanjutkan untuk melakukan skrining ini. Akan tetapi, skrining tersebut bertujuan
untuk : (1) pertahanan kepada riwayat yang tidak adekuat atau yang tidak dapat
diandalkan; (2) deteksi koagulopati yang hanya muncul paska operatif atau yang bersifat
ringan dan muncul hanya saat paska operatif; dan (3) memperlihatkan defek hemostatik
didapat yang berkembang sejak tantangan hemostatik terakhir. Pada kejadian apapun,
untuk pasien-pasien dengan riwayat perdarahan, evaluasi skrining diindikasikan dan bila
tes skrining negatif, evaluasi tambahan diperlukan untuk identifikasi abnormalitas yang
tidak selalu dapat terdeteksi oleh elevasi awal, termasuk TT (Thrombin Time), aktivitas
a2-antiplasmin plasma, esai untuk inhibitor yang bersirkulasi, faktor VIII dan IX dan
studi agregasi platelet. Tes toleransi aspirin, kadar vWF, dan multimer vWF tidak
direkomendasikan sebagai tes preoperatif pada pasien yang akan menjalani prosedur
CPB.

6. Prognosis

7. Komplikasi

8. Penatalaksanaan
Strategi manajemen
Penting untuk mempertimbangkan kemungkinan terjadinya hematoma intrakranial, ketika
gangguan kesadaran diketahui setelah operasi open heart dan atau selama terapi antikoagulan.
Pada setiap pasien dengan gangguan neurologis yang telah dilakukan operasi open heart,
kemungkinan terjadinya perluasan hematoma subdural dapat dipertimbangkan. Meskipun
dengan menggunakan pendekatan non invasive dengan cranial ultrasonic untuk mendeteksi
ICH, dapat menyebabkan missed diagnosis kemungkinan adanya subarachoid atau
perdarahan minor di parenkim perifer otak. Computed tomographic scan optimal untuk
deteksi ICH. Terkadang carotid arteriography atau encephaloarteriography juga diterapkan
untuk mendiagnosis ICH, bahkan selama operasi open heart.
Untuk menghindari komplikasi ini, operasi open heart harus ditunda jika ditemukan
trauma kepala, bahkan trauma kepala yang tidak berarti, yang terjadi dalam 3 minggu
sebelumnya. Posisi kepala pasien harus fixed selama anestesi dan transportasi pasca operasi.
Manipulasi kepala pada pasien yang telah diberi heparin seharusnya dilakukan dengan sangat
hati-hati, terutama pada bayi. Dehidran hiperosmotik harus dihindari dan penggunaan diuretik
harus hati-hati. Monitoring ICH, pengobatan konservative seperti mejaga status hidrasi dan
hemostatik, penting untuk mereka dengan hematom yang kecil. Kraniotomi segera harus
dilakukan ketika pasien ICH terus membesar. Dapat mendiagnosis lebih awal dan segera
dilakukan operasi dapat mennyelamatkan pasien dengan ICH massive.
Terjadi perbedaan suhu pada otak dengan suhu core selama CPB dengan jenis obat anestesi
yang berbeda pernah ditunjukkan. Brain-to-core temperature lebih besar 1°C, dihasilkan dari
anestesi dengan barbiturat daripada halothane selama CPB, hal ini dapat memodulasi
terjadinya cedera iskemik neurologis.
Selective cerebral perfusion merupakan metode aman untuk cerebral protection.
Wajib dilakukan kontrol ketat parameter perfusi (aliran, tekanan dan gradien suhu) dan
variabel biokimia (menghindari hiperglikemia dan keseimbangan cairan). Strategi lain,
termasuk menggunaan low-flow CPB, pulsatile CPB, pH-stat acid-base management dan cold
reperfusion, sedang dieksplorasi untuk perlindungan otak yang lebih baik.
Perdarahan intrakranial pada pasien dengan katup prostetik karena tiga mekanisme: (i)
pecahnya aneurisma mikotik; (ii) arteritis septik tanpa aneurisma; dan (iii) perdarahan
spontan akibat infark otak. Untuk pasien dengan infark serebral, operasi katup harus ditunda
karena risiko yang besar untuk terjadinya stroke dan kematian perioperatif. Hart et al dan
Karchmer et al mengutarakan bahwa perdarahan setelah operasi katup berkaitan dengan
antikoagulan yang berlebihan. Terapi antimikroba harus diberikan secara ekstensif pada
pasien dengan endokarditis prostetik.

Manajemen dari perdarahan terkait CPB


Manajemen dari perdarahan terkait CPB dimulai dengan pengenalan kondisi ini. Meskipun
sebagian besar dari studi terbaru terkait CPB dan hemostasis telah menggunakan kriteria
banyak darah yang hilang atau jumlah transfusi yang diberikan selama 24 jam paska operatif
untuk menentukan perdarahan berlebih, kriteria ini mungkin tidak berguna untuk evaluasi
secara cepat dan intervensi dini. Definisi praktif klinis mungkin adanya jumlah drainase
selang dada paska oepratif lebih dari sama dengan 100ml/jam.
Penyebab umum dari perdarahan setelah CPB adalah defek lokal dalam hemostasis bedah.
Akan tetapi, mungkin sulit untuk membedakan perdarahan karena koagulopati sistemik
didapat karena masalah pembedahan lokal kecuali bila pasien memiliki bukti yang jelas akan
kecenderungan perdarahan seperti epistaksis atau oozing(merembes) dari tempat kateter. Bila
tidak ada koagulopati, perdarahan melebihi 10ml/kg dalam 1 jam pertama paska operatif atau
rerata lebih dari sama dengan 5ml/kg dalam 3 jam pertama paska operatif telah dijadikan
sebagai panduan untuk reoperasi. Adanya perdarahan mendadak setelah drainase selang dada
telah berhenti juga dipertimbangkan sebagai indikasi reoperasi. Pasien yang menjalani
reoperasi dengan riwayat sternotomi sebelumnya, tanpa memperhatikan indikasinya,
memiliki kemungkinan perdarahan masif, khususnya pada periode intraoperatif. Pemberian
aspirin, endokarditis infektif, dan waktu pompa yang memanjang merupakan faktor resiko
yang penting. Kebutuhan dilakukannya reoperasi karena komplikasi perdarahan telah
menurun selama 1 dekade ini dan dilaporkan sebesar kurang lebih 5% saja.(Woodman &
Harker, 1990)
Pemberian produk darah
Meskipun hilangnya darah perioperatif telah menurun selama lebih dari 2 dekade terakhir,
praktek transfusi berkaitan dengan CPB telah berubah secara dramatis. Sejak 1972 rerata total
hilangnya darah pada dewasa setelah CPB tetap sekitar 1000ml, dimana total pemberian
paska operatif sel darah merah homolog telah menurun dari lebih dari 8 unit menjadi kurang
dari 3 unit. Faktor-faktor yang berperan untuk tren tersebut adalah diterimanya kadar
hematokrit paska operatif minimal dan kesadaran akan resiko dari transfusi darah.(Woodman
& Harker, 1990)
Transfusi darah homolog
Praktek konvensional setelah CPB pada dewasa meliputi transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan kadar hematokrit lebih dari sama dengan 30% (atau hemoglobin lebih dari
sama dengan 10.0 gram/dL). Meskipun data sebelumnya menunjukkan bahwa penurunan
oksigenasi jaringan terjadi pada pasien bedah dengan kadar hematokrit kurang dari 30%,
tidak terdapat data lain untuk mendukung panduan tersebut. Sebagai contohnya, pasien-
pasien tanpa infark miokardium, gagal jantung kongestif, atau komplikasi neurologis dapat
menoleransi kadar hematokrit kurang dari 28%. Umumnya, produk darah harus diberikan
untuk indikasi klinis spesifik dan juga adanya perdarahan.
Penularan penyakit infeksi virus terkait transfusi telah menjadi komplikasi paling signifikan
dari CPB dan menggaris bawahi kebutuhan darah yang tepat dar pemberian produk darah
yang tepat. 27% pasien yang mengalami AIDS akibat transfusi adalah pada pasien bedah
jantung, sebuah resiko yang secara langsung berkaitan dengan paparan produk darah
homolog. Meskipun penggunaan produk darah seronegatif HIV dapat menurunkan
komplikasi ini, metode ini tidak secara total mengeliminasi kemungkinan pada pasien yang
menjalani CPB.(Woodman & Harker, 1990)

Tabel 2 Evaluasi Hemostatik Preoperatif

Insidens hepatitis C terkait transfusi setelah CPB terjadi pada 6%-10% pasien yang menerima
1 unit darah, dan resiko akan meningkat dengan semakin banyaknya unit yang diberikan atau
dengan transfusi FFP. Pasien-pasien tersebut juga memiliki resiko untuk terjadi hepatitis
kronis dan sirosis.
Sebagai tambahan pada komplikasi lain dari terapi transfusi, penyakit penolakan inang
terhadap jaringan donor terkait trasfusi juga telah dilaporkan pada pasien yang melalui
pembedahan jantung dengan rerata mortalitas mencapai 90%. Komplikasi ini tampaknya
berkaitan dengan pemberian WB segar, non-irradiasi, dari donor darah homozigous untuk
HLA resipien haplotipe. Dalam pandangan temuan ini, RBC lebih disukai dibandingkan WB
selama CPB.
Trasfusi darah autolog untuk CPB elektif
Resiko dari aloimunisasi dan penyakit virus terkait transfusi mungkin dapat dicegah dengan
melakukan transfusi darah autolog yang telah disimpan sebelumnya. Sayangnya, layanan ini
tetap tidak terlalu digunakan dalam praktek CPB elektif. Meskipun awalnya terdapat
kekawatiran bahwa donasi tersebut dapat mempresipitasi iskemia miokardial bila reaksi
vasovagal terjadi, beberapa studi telah secara jelas menunjukkan bahwa flebotomi preoperatif
telah dapat ditoleransi dengan baik oleh mayoritas pasien dengan penyakit kardiovaskular
sebelumnya, dan jarang menginduksi angina. Reaksi vasovagal terjadi pada sekitar 4% donasi
autolog, ekuivalen dengan donasi homolog. Pasien-pasien dengan angina tidka stabil, stenosis
arteri koroner cabang kiri utama, dan stenosis aortik berat secara umum harus dieksklusi dari
program donasi darah autolog.
Flebotomi sering dijadwalkan dalam interval 4-7 harian, dengan donasi terakhir terjadi
setidaknya 72 jam sebelum pembedahan. Biasanya kadar hematokrit lebih dari sama dengan
34% (atau hemoglobin lebih dari 11g/dL) disyaratkan sebelum setiap donasi. Sekitar dua per
tiga pasien dijadwalkan untuk OHS elektif ditolak untuk donasi karena anemia. Suplementasi
beri per oral, dimulai sebelum flebotomi dan dilanjutkan sampai periode paska operatif, telah
direkomendasikan untuk meminimalkan perkembangan anemia. Eritropoetin rekombinan
dengan pengambilan darah autolog preoperatif adalah metode alternatif yang belum
dilaporkan sampai saat ini pada pasien yang menjalani OHS. Insersi atau persilangan dari
produk darah autolog yang tidak digunakan dengan darah homolog tetap diperdebatkan. Bila
produk darah autolog disilangkan, maka kriteria donor standar harus tetap dilakukan,
termasuk tes untuk tipe ABO dan Rh, kadar ALT (alanine aminotransferase), crossmatch,
antibodi, sifilis, antigen permukaan hepatitis B, HIV, dan virus sel T leukemia (HTLV-III).
Pada pasien yang menjalani CPB elektif yang mampu untuk mendonorkan lebihdari 2 unit
darah autolog, pemberian darah homolog dapat dihindari pada 65% kasus dibandingkan
dengan 20% untuk pasien yang tidak bisa mendonorkan darah autolog. Terlebih lagi, 100%
pasien yang mendonorkan hanya 1 unit darah dan 71% pasien yang mendonorkan 2 unit
darah autolog selanjutnya memerlukan produk darah homolog.Donasi 3 unit darah
preoperatif dikaitkan dengan penurunan sebesar 4% hematokrit. Pada kasus OHS kompleks
(CABG dengan penggantian katup) dimana waktu bypass biasanya melebihi 120 menit, telah
direkomendasikan 4 unit darah autolog dikumpulkan preoperatif. Oleh karena itu, tampaknya
donasi sekitar 3 unit darah lebih disukai. Meskipun pengumpulan platelet dan FFP dengan
aferesis preoperatif sebelum CPB masih dalam investigasi, panduan untuk seleksi pasien
cukup bervariasi dan masih belum distandarisasi.
Re-infus darah autolog intraoperatif dan paskaoperatif
Teknik lain untuk mengurangi jumlah transfusi darah homolog dalam CPB, ialah: (1)
flebotomi intraoperatif diikuti dengan hemodilusi dan autotransfusi; (2) Re-infus darah yang
didapatkan dari lapangan operasi menggunakan separator sel; (3) re-infus darah yang keluar
pada regio mediastinal (SMB – shed mediastinal blood); dan (4) penggunaan ekspander
volume bukan darah yang lebih banyak. Praktek penggunaan darah dan re-infus intraoperatif
memiliki manfaat yang masih bervariasi dan tidak pasti terhadap penggunaan darah homolog
dan jelas tidak bermanfaat pada pasien dengan perdarahan masif paska operatif. Meskipun re-
infus SMB paska operatif dapat diberikan tanpa resiko infeksi yang signifikan, tanpa resiko
mikroemboli, atau koagulopati, tingkat kesuksesan masih bervariasi dalam menurunkan
kebutuhan transfusi sel darah merah dan jelas tidak mempengaruhi kebutuhan platelet pasien.
Tingkat hematokrit SMB yang tidak dicuci bervariasi antara 20%-30%, namun dapat
ditingkatkan dengan hemokonsentrasi setelah pencucian. Fitur lain dari SMB termasuk
penurunan faktor pembekuan dengan pengecualian pada faktor IX, dan sel platelet in vitro
tampat terdapat memiliki kemampuan agregasi yang abnormal. SMB yang tidak dicuci juga
mengandung titer FDP yang tinggi, dan infus SMB tersebut mengakibatkan tingkat FDP yang
meningkat dalam plasma. Meskipun peningkatan FDP secara teori dapat mengakibatkan
disfungsi platelet dan gangguan polimerisasi fibrin, lebih penting lagi hal tersebut dapat
mengakibatkan diagnosis yang salah mengenai koagulopati konsumtif atau fibrinolisis serta
terapi yang juga tidak tepat, khususnya pada pasien dengan komplikasi perdarahan. Meskipun
SMB cukup aman, manfaat masih belum terbukti dan re-infus SMB paska operatif,
khususnya yang belum dilakukan pencucian, tampaknya tidak sepenuhnya aman.
Transfusi platelet
Karena CPB mengakibatkan disfungsi platelet temporer, beberapa pusat kesehatan secara
rutin menyediakan donor platelet acak untuk pasien CPB. Untuk menguji manfaat pemberian
transfusi platelet profilaksis, dua studi prospektif terandomisasi telah dilakukan. Pada kedua
studi, 4 unit donor platelet acak diinfuskan segera setelah oksigenator ekstrakorporeal dilepas
dan setelah injeksi protamine. Tidak terdapat manfaat klinis signifikan terhadap kebutuhan
transfusi, hilangnya darah, hitung platelet, waktu perdarahan, atau durasi rawat inap paska
operatif pada kedua studi. Meskipun manfaat dari transfusi platelet yang lebih banyak tidak
dieksklusi pada studi tersebut, konferensi National Institutes of Health Consensus terbaru
merekomendasikan bahwa transfusi platelet profilaktik untuk tidak diberikan secara rutin
mengikuti CPB.
Jelasnya, transfusi platelet diindikasikan untuk pasien-pasien dengan perdarahan masif yang
disebabkan oleh trombositopenia yang menerima transfusi darah setelah CPB. Pada situasi
ini, baik disfungsi platelet, yang diukur dengan pemanjangan waktu perdarahan, dan hitung
platelet harus dapat menentukan kebutuhan transfusi platelet. Normalnya, pada pasien tanpa
komplikasi perdarahan, waktu perdarahan akan memendek secara signifikan (kurang dari
sama dengan 15 menit) 20 menit setelah CPB, dan akan kembali ke nilai normal (kurang dari
9 menit) 2 jam setelah CPB. Pada pasien dengan perdarahan masif, waktu perdarahan akan
tetap memanjang (lebih dari 22 menit) selama beberapa jam setelah CPB, dan perdarahan
dikontrol, dan waktu perdarahan memendek (kurang dari 15 menit) dengan transfusi platelet.
Transfusi 1 unit platelet donor acak per 10kg berat badan telah direkomendasikan. Respon
klinis, hitung platelet, dan kemungkinan pengukuran waktu perdarahan harus digunakan
untuk observasi efektifitas transfusi platelet. Pengukuran waktu perdarahan umumnya
menyediakan informasi diagnostik yang bermanfaat namun dapat dipengaruhi dengan
kompleksitas dari bypass. Satu unit plateletaferesis kompatibel HLA mungkin dibutuhkan
untuk pasien yang alloantibodi telah tersentuk akibat donor platelet acak sebelumnya.
Transfusi FFP dan kriopresipitat
Indikasi untuk pemberian FFP dan kriopresipitat pada CPB adalah spesifik dan terbatas.
Tidak terdapat bukti yang mendukun transfusi profilaktik baik FFP atau kriopresipitat selama
atau setelah prosedur CPB. Khususnya, pemberian FFP tidak diindikasikan untuk ekspansi
volume, dukungan nutrisi, kesembuhan luka, atau penggantian faktor pada pasien yang
menerima transfusi masif, karena umumnya tidak terdapat penurunan faktor koagulasi pada
tahap yang dapat menyebabkan perdarahan abnormal atau yang membutuhkan penggantian
dengan transfusi.
Pemberian FFP selama CPB harus secara umum disimpan untuk pasien dengan defisiensi
faktor koagulasi dependen vitamin K yang didapat disebabkan oleh warfarin atau
hepatomegali kongestif. FFP dapat dibutuhkan untuk pasien dengan defisiensi faktor V, VII,
X, dan XI turunan yang akan menjalani pembedahan jantung. Dosis rekomendasi dari FFP
adalah 10ml/kg diikuti dengan 5mL/kg setiap 12 jam. Plasma donor tunggal telah disarankan
sebagai alternatif efektif untuk tatalaksana defisiensi faktor II, VII, IX, dan X yang didapat.
Pemberian kriopresipitat mungkin dibutuhkan untuk pasien dengan penyakit Von Willebrand
yang menjalani prosedur CPB. Penggantian faktor dengan kontrat mungkin dibutuhkan untuk
defisiensi faktor lainnya. Kriopresipitat juga mungkin diindikasikan untuk pasien-pasien yang
telah menjalani terapi trombolitik namun tidak berhasil dan memiliki perdarahan masif
setelah CABG darurat (lihat dibawah).
Lem Fibrin
Pada pembedahan jantung, hemostasis lokal mungkin dapat ditingkatkan dengan lem fibrin
topikal. Fibrin dibentuk dengan aplikasi lokal thrombin dan fibrinogen serta faktor XIII
topikal yang didapatkan dari kriopresipitat atau plasma autolog. Bila fibrinogen konsentrasi
tinggi (90mg/ml) yang digunakan, hemostasis lokal mungkin dapat secara asukses didapatkan
pada lebih dari 95% pasien meskipun terdapat heparinisasi sistemik. Lem fibrin telah diklaim
bermanfaat khususnya pada OHS yang berkaitan dengan tranplantasi mamari internal,
reoperasi untuk perdarahan, dan prostesa vaskular. Meskipun koagulasi intravaskular tidak
dilaporkan oleh penggunaan lem fibrin, infus thrombin dan kriopresipitat secar langsung pada
rongga vaskular atau pompa bypass harus dicegah. Komplikasi potensial lain dari material ini
adalah tamponade karena adhesi dan infeksi virus terkait transfusi, meskipun resiko tersebut
lebih kecil dibandingkan transfusi plasma.
Terapi Medikasi
Aprotinin
Infus aprotinin inhibitor protease (Trasylol; Bayer AG; Leverkusen; Jerman Barat) selama
OHS dapat menurunkan hilangnya darah dan menormalkan waktu perdarahan secara baik
(tabel 3). Polipeptida alami ini dapat menghambat protease serine, termasuk tripsin,
kallikrein, plasmin, dan plasmin-streptokinase dengan secara reversibel membentuk
kompleks dengan tempat aktif dari serine. Dimana aprotinin yang diberikan sebagai injeksi
bolis setelah CPB tidak bermanfaat, infus kontinual terapi aprotinin, dimulai sebelum
prosedur dan dipertahankan selama prosedur OHS, akan menghasilkan penurunan waktu
perdarahan yang signifikan, penurunan perdarahan perioperatif, dan penurunan kebutuhan
transfusi untuk pasien yang menjalani CABG pertama kalinya (20% pasien-pasien yang
ditangani dengan protinin memerlukan transfusi darah homolog dibandingkan dengan 95%
pasien kontrol). Pasien yang menjalani CABG berulang juga menunjukkan penurunan pada
hilangnya darah paska operatif (kira-kira 1500mL) dan kebutuhan transfusi (8 dari 35 pasien
dengan aprotinin memerlukan total 10 unit darah homolog dibandingkan dengan 41 unit pada
11 pasien tanpa aprotinin) setelah terapi aprotinin profilaktif. Tambahannya, pada studi tidak
terkontrol 15 pasien menjalani OHS untuk endokarditis bakterial, penurunan serupa pada
hilangnya darah perioperatif dan kebutuhan transfusi dicapai dengan terapi aprotinin
profilaktif. Hasil studi ini telah dirangkum dalam Tabel 4.

Tabel 3 Dosis uum dari Agen hemostatis yang digunakan pada CPB
Pada semua studi ini, dosis aprotinin digunakan untuk mempertahankan konsentrasi aprotinin
plasma intraoperatif konstan sekitar 4 mikromol/L. Konsentrasi ini telah dilaporkan dapat
menghambat plasmin in vitro dan dilaporkan juga dapat mencegah aktivasi platelet dan
agregasi platelet, dan mengeblok hilangnya GP1b membran platelet selama CPB. Akan tetapi,
masih belum jelas bagaimana efek-efek dari aprotinin dalam menormalkan fungsi hemostatis,
dan mungkin berkaitan dengan penghambatan rangkaian koagulasi dan plasmin prostease
serine. Ditemukannya mekanisme dimana aprotinin berfungsi dapat menyediakan informasi
mengenai defek platelet didapat berkaitan dengan CPB.
Aprotinin secara jelas merepresentasikan agen profilaktif yang menjanjikan untuk
manajemen perdarahan terkait CPB. Khususnya dapat bermanfaat pada pasien dengan resiko
tinggi untuk terjadinya perdarahan terkait CPB (endokarditis bakterial dan reoperasi) atau
pada pasien-pasien yang tidak menerima transfusi darah. Saat ini, riwayat lalu pankreatitis
(baik diketahui atau dicurigai), reaksi alergi, atau paparan aprotinin sebelumnya merupakan
kontraindikasi terhadap terapi aprotinin saat ini.
Desmopressin
Properti hemostatis dari analog vasopressin sintetis desmopressin asetat (desmopressin; 1-
deamino-8-D-argine vasopressin) ditunjukkan pertama kali pada pasien yang menjalani
ekstraksi gigi dengan hemofilia ringan atau moderat dan penyakit Von Willebrand. Lebih dari
1 dekade yang lalu, desmopressin telah terbukti bermanfaat sebagai agen hemostatis non
spesifik relatif untuk berbagai masalah perdarahan klinis dan bedah termasuk CPB. Reduksi
pada hilangnya darah sering dikaitkan dengan pemendekan waktu perdarahan pasien.

Tabel 3. Reduksi hilangnya darah dan kebutuhan transfusi setelah CPB akibat aprotinin
Tabel 5 Studi terkontrol menggunakan Desmopressin pada CPB
Dalam studi double blind terandomisasi meliputi pasien yang menjalani prosedur CPB untuk
penyakit katup jantung saja atau dengan CABG, reduksi signifikan pada hilangnya darah
perioeratif (900mL selama 24 jam) dapat dicapai ketika desmopressin diberikan segera
setelah infus protamin. Pada studi prospektif kedua, desmopressin dapat menurunkan
perdarahan dan kebutuhan transfusi sel darah merah dan platelet pada pasien yang mengalami
perdarahan masif paska operatif CPB. Pasien-pasien tersebut, terdapat perbaikan signifikan
pada waktu perdarahan, vWF, faktor VIII, dan PTT setelah pemberian desmopressin. Analisis
detail dari kadar vWF perioperatif dan multimer vWF, khususnya HMWM, menunjukkan
bahwa manfaat hemostatik dari desmopressin pada CPB tidak dapat dijelaskan dengan
peningkatan kadar vWF dan HMWM. Meskipun telah disarankan bahwa desmopressin dapat
menyebabkan oklusi transplan vena savenous prematur, tiga studi prospektif studi
melaporkan tidak terdapat frekuensi oklusi transplan. Umumnya, pemberian desmopressin
dapat ditolerir tanpa episode hipotensi perioperatif atau infark miokardial akut.
Pada studi double blind terandomisasi meliputi 150 pasien konsekutif yang menjalani CPB
elektif, Hackmann dkk menemunkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada hilangnya
darah atau kebutuhan transfusi paskaoperatif pada pasien-pasien yang menerima
desmopressin di akhir dari CPB. Mereka juga tidak dapat mendeteksi adanya perbedaan
dalam aktivitas kofaktor ristosetin atau pola multimerik vWF dengan pemberian
desmopressin. Serupa dengan hasil tersebut, pada studi terandomisasi lainnya meliputi 100
pasien yang menjalani OHS untuk defek septal atrial atau penyakit katup jantung, Rocha dkk
melaporkan tidak terdapat reduksi signifikan dari kebutuhan transfusi darah paska operatif
signifikan dengan pemberian desmopressin profilaktif, meskipun terdapat reduksi marginal
pada hilangnya darah (60mL/m2) ditemukan pada pasien dengan desmopressin. Pada basis
studi ini, tampaknya desmopressin tidak seharusnya diberikan secara rutin, namun disimpan
untuk pemberian paska operatif pada pasien yang mengalami perdarahan masif setelah CPB.
Hasil dari studi diatas dirangkum dalam Tabel 5.
Agen antifibrinolitik
Lisin sintetik analog EACA (Amicar, Laboratorium Lederle, Wayne, NJ) telah sering
digunakan sebagai agen antifibrinolitik selama CPB. Meskipun EACA efektif dalam
menurunkan perdarahan dalam berbagai situasi klinis, penggunaannya dalam CPB masih
diperdebatkan. Meskipun pemberian agen ini telah banyak dalam kasus CPB selama 20-30
tahun terakhir, sebagian besar studi yang telah dipbulikasi mengklaim mafaat masih belum
terkontrol dengan baik dan masih bersifat retrospektif.

Tabel 6 Studi terkontrol menggunakan EACA profilaktif pada CPB


3 Studi prospektif double blind terandomisasi mengevaluasi efek dari pemberian EACA
profilaktif dalam CPB (Tabel 6). Studi prospektif pertama dilakukan pada anak-anak yang
menjalani prosedur OHS untuk koreksi dari defek jantung kongenital (penyakit jantung
bawaan). Meskipun tidak terdapat manfaat secara keseluruhan, terdapat reduksi signifikan
pada hilangnya darah paska operatif telah dilaporkan dalam sebuah analisis dari anak dengan
penyakit jantung bawaan sianotik dan pada pasien dengan waktu pompa lebih dari 60 menit,
dengan perbedaan terbesar ada pada hilangnya darah yang terjadi antara waktu ketika bypass
dihentikan dan selesainya pembedahan. 2 Studi selanjutnya telah memeriksa EACA pada
dewasa yang menjalani CABG elektif. Meskipun kedua studi melaporkan perbedaan yang
signigikan, reduksi hilangnya darah paska operatif tidak penting secara klinis (60mL dan
166mL). Terlebih lagi, kedua kondisi trombosis arteri dan vena telah menjadi penylit dalam
terapi EACA pada banyak studi (contohnya, oklusi arteri menyebabkan stroke, gangren, dan
gagal jantung akut). Pada studi-studi diatas, tidak terdapat kejadian trombotik yang dilihat
setelah CPB kecuali kemungkinan infark miokardial perioperatif terkait EACA pada kedua
pasien. Manfaat minimal dari EACA terhadap perdarahan dan ketidakpastian akan resiko
peningkatan resiko trombotik membuat penggunaan secara klinis tidak direkomendasikan.
Efek dari analog lisin lainnya seperti asam traneksamat durasi panjang (AMCA; Cyclokapron
Kabivitrum, Alameda, CA) pada perdarahan terkait CPB baru-baru ini telah dievaluai dalam
studi double blind terandomisasi dengan hasil yang serupa dengan EACA sebelum ini.
Prostaglandin
Kemampuan PGI2 dan analognya untuk melindungi platelet dari aktivasinya dan dari
destruksi platelet selama CPB telah dipelajari secara ekstensif. PGI2 menghambat aktivasi
platelet dengan menstimulasi adenyl cyclase untuk meningkatkan kadar cyclic adenosine
monophospate intraselular. Inhibisi segera dan cukup poten serta reversibel dari PGI2,
bersamaan dengan klirens cepatnya secara in vivo (kurang lebih 3 menit), membuat PGI2
sebagai agen yang cukup menarik untuk melindungi platelet selama CPB tanpa
mempengaruhi proses koagulasinya. Studi awal pada binatang coba yang menjalani CPB
menunjukkan bahwa PGI2 dapat melindungi platelet yang bersirkulasi dan terdapat
penurunan hilangnya darah. Dengan model binatang kera, Malpass dkk juga menunjukkan
bahwa PGI2 dapat mencegah pemanjangan waktu perdarahan ketika diberikan dalam jendela
terapeutik 40-80ng/kg/menit. Akan tetapi, studi binatang coba juga menunjukkan bahwa CPB
yang dilakukan dengan PGI2 saja tanpa antikoagulasi heparin akan mengakibatkan
penurunan faktor koagulasi dan trombosis berlebih dalam sirkuit ekstrakorporeal.
Studi double blind terandomisasi dari PGI2 profilaktif pada manusia yang menjalani CPB
telah dilakukan tanpa bukti konklusif akan adanya manfaat dari terapi ini. Meskipun terdapat
perbedaan pada (1) dosis PGI2 (rentang antara 10-100ng/kg/menit); (2) tempat administrasi
obat; (3) inisiasi dari terapi; (4) dan durasi dari infus PGI2, sebagian besar hasil konsisten
antara semua studi yakni adanya vasodilatasi dependen dosis dan hipotensi yang memerlukan
manajemen agresif. Meskipun terdapat sedikit perbaikan pada hitung platelet perioperatif
oleh PGI2 dalam beberapa studi, tidak terdapat reduksi signifikan dalam hilangnya darah
paska operatif atau kebutuhan transfusi. Jadi, tidak terdapat indikasi klinis yang dapat
ditunjukkan dengan menggunakan PGI 2 dalam CPB. Iloprost (laboratorium Berlex, Cedar
Knolls, NJ), analogi poten stabil dari PGI2, memiliki hasil yang serupa akan dapat
mempertahankan hitung platelet dan mengakibatkan hipotensi selama sirkulasi
ekstrakorporeal. Saat ini tidak terdapat bukti klinis untuk mendukung penggunaan rutin dari
iloprost selama CPB. Akan tetapi, dari beberapa relevansi klinis, Iloprost dapat melindungi
hitung platelet pada pasien-pasien dengan trombositopenia akibat heparin (HIT- Heparin
Induced Thrombocytopenia) yang menerima heparin selama CPB meskipun keberadaan
antibodi platelet terkait heparin.
Komplikasi hemostatis spesifik selama CPB
HIT
Pasien yang menjalani CPB akan membutuhkan antikoagulasi heparin selama CPB.
Thrombositopenia menyulitkan terapi heparin pada sekitar 2%-5% dari pasien-pasien ini.
Onset dan keparahan HIT sangat bervariasi, biasanya terjadi antara 6-12 hari sejak pemberian
heparin namun sering terjadi lebih dini pada pasien yang telah terpapar sebelumnya. HIT
terjadi tidak bergantung pada dosis atau rute pemberian heparin, namun tidak selalu terjadi
pada pemberian berulang heparin dan bahkan bisa berkurang dengan pemberian terapi
heparin. Pada sebagian besar pasien, trombositopenia yang terjadi ringan dan tidak berkaitan
dengan perdarahan; akan tetapi, mungkin didapat penyulit berupa perdarahan yang
mengancam nyawa serta trombosis arterial akut, termasuk infakr miokardial akut, stroke, dan
iskemia ekstremitas. Sayangnya, saat ini tidak terdapat metode yang baik untuk memprediksi
pasien mana yang akan terjadi HIT.

Gambar 1 Pendekatan manajemen pada pasien yang mengalami HIT selama atau setelah
CPB, saat ini iloprost, ancrod, dan heparinoid masih dalam investigasi di Amerika Serikat
Saat ini telah ditunjukkan bahwa antiheparin spesifik antibodi IgG berikatan pada determinan
antigen berulang pada heparin, dimana akan mengikat permukaan dari platelet melalui
protein membran platelet 82-Kd. Destruksi imun platelet akan terjadi. Juga telah ditentukan
bahwa membran platelet GP Ib, Iib, IIIa, atau IX tidak termasuk dalam patogenesis dari HIT.
Interaksi heparin dengan platelet mungkin dipengaruhi secara in vitro oleh berbagai faktor
termasuk berat molekul dan sulfasi dari heparin, ikatan antithrombin III, dan keberadaan
protein thrombospondin a-granule platelet, dan GP kaya histidin. Ketika kompleks antibodi-
heparin terbentuk, IgG akan mengikat reseptor Fe platelet dan menginisiasi aktivasi platelet
dengan pelepasan serotonin dan agregasi platelet selanjutnya. Proses aktivasi ini tidak
bergantung pada fiksasi komplemen, terjadi secara in vitro pada konsentrasi heparin
terapeutik (namun tidak pada konsentrasi yang lebih tinggi) dan membentuk basis dari esai
pelepasan platelet serotonin. Kompleks imun yang tidak terikat dalam plasma pasien dengan
HIT belum bisa terdeteksi dan tidak jelas mengapa kompleks Heparin-IgG lebih suka
mengikat kepada reseptor Fc platelet dibandingkan dengan reseptor FC afinitias tinggi pada
granulosit/monosit. Hubungan antara kompleks IgG-heparin dengan komplikasi thrombotik
juga belum dapat dijelaskan sampai saat ini. Esai agregasi platelet dependen heparin atau
keberadaan paltelet terkait IgG memiliki nilai diagnostik yang terbatas karena keterbatasan
spesifisitas dan sensitivitasnya. Akan tetapi, peningkatan sensitivitas dan spesifisitas untuk
mendeteksi HIT telah dapat dicapat dengan mengukur serotonin platelet yang dilepaskan oleh
heparin dalam konsentrasi tinggi (100 unit/mL) dan konsentrasi terapeutik (0.1 unit/mL).
Pada periode paska operatif HIT sering merupakan diagnosis eksklusi dan harus dibedakan
dari penyebab potensial lain dari trombositopenia paska operatif seperti sepsis, DIC, purpura
paska transfusi, hemodilusi, emboli lemak, penggunaan pompa balon intraaortik, atau
medikasi selain heparin. Dalam konteks ini diagnosis HIT membutuhkan penghentian segera
dari pemberian heparin apapun. Transfusi platelet tidak seharusnya diberikan untuk
profilaksis dan hanya diindikasikan untuk komplikasi perdarahan. Thrombosis arterial akut
sering dipresipitasi oleh transfusi platelet.
Manajemen pada pasien dengan HIT berhubungan dengan CPB dipengaruhi entah HIT terjadi
pada periode preoperatif atau pada periode paska operatif (Gambar 1). Telah
direkomendasikan bahwa pasien dengan HIT (diketahui atau dicurigai) dapat secara aman
menjalani terapi rechallenge heparin selama CPB, sementara pemberian heparin preoperatif
dan paska operatif sangat tidak disarankan dan tidak terdapat bukti secara in vitro untuk IgG
dependen heparin (menggunakan esai pelepasan serotonin). Aktivitas IgG dependen heparin
biasanya menghilang dalam 4-8 minggu setelah dihentikan heparin. Beberapa pengamat
melaporkan bahwa HIT mungkin bisa dikurangi dengan menggani preparat heparin porsin
dengan preparat heparon bovin, meskipun klain ini masih diperdebatkan.
Manajemen yang tepat pada pasien dengan HIT yang akan menjalani CPB darurat tetapi tidak
pasien, namun beberapa alternatif terhadap terapi antikoagulan heparin standar telah
disarankan. Warfarin, Dekstran berat molekul rendah, LMWH, heparinoids, hemodilusi
dengan hipotermia dalam , ancrod (Arvin; Knoll AG phearmaceuticals, Whippany, NJ), dan
hirudin rekombinan telah direkomendasikan sebagai regimen antikoagulan yang mungkin
terhadap antikoagulasi heparin selama prosedur CPB. Analog prostasiklin iloprost telah
dilaporkan dapat melindungi platelet selama antikoagulasi heparin untuk prosedur CPB.
Jelasnya, sampai saat ini tidak ada alternatif terhadap heparin selama CPB. Beberapa sukses
telah dilaporkan dengan heparinoid ketika preskrining dengan heparinoid melalui tes in vitro
untuk antibodi heparin negatif. Saat ini, iloprost, ancrod, atau hidrudi masih merupakan agen
dalam masa percobaan (investigasi). Bila memungkinkan, akan lebih bijaksana untuk
menunda tindakan pembedahan sampai IgG spesifik heparin hilang dalam sirkulasi. Salah
satu pendekatan dilaporkan dapat sukses meliputi infusi intraoperatif kontinual dari iloprost
yang dimasukkan bersamaan dengan preparat heparin porcine. Perdarahan perioperatif,
kebutuhan transfusi, waktu perdarahan, dan hitung platelet dapat saling dibandingkan dengan
kontrol riwayat pasien, serta hipotensi sering berkaitan dengan prostasiklin dapat ditagani
dengan infus phenilephrine intraoperatif. Dosis dari iloprost juga bervariasi antara 3-
36ng/kg/menit dan sulit untuk menentukan secara preoperatif dan untuk titrasi
intraoperatifnya.
Agen defibrinasi ancrod (arvin) juga dilaporkan dapat berhasil selama prosedur CPB,
meskipun ahli lain merekomendasikan bahwa pembedahan dikontraindikasikan dengan terapi
ancrod. Kadar fibrinogen preoperatif adalah 0.4-0.8g/L diperlukan untuk antikoagulasi yang
sukses selama CPB; penurunan kadar fibrinogen akan berlangsung selama beberapa hari.
Ancrod juga diajukan sebagai alteratif dari heparin selama CPB untuk pasien-pasien denagn
reaksi alergi (diinduksi oleh protamine) atau pasien dengan defisiensi antithrombin III. Saat
ini, ancrod masih dalam investigasi lebih lanjut dalam Amerika Serikat untuk penanganan
Stroke dan HIT.
Heparinoid (ORG 10172), terdiri dari heparin porcine polisulfat heterogen dan
glikosaminoglikan nonheparin, telah digunakan dalam jumlah terbatas kasus HIT, termasuk
CABG. Meskipun heparinoid memberikan antikoagulasi yang adekuat dan hitung platelet
yang stabil atau meningkat, perdarahan paska operatif signifikan yang memerlukan
penghentian medikasi dan pemberian FFP terjadi pada beberapa pasien. LMWH juga telah
digunakan dalam kasus HIT, dimana esai untuk agregasi platelet dependen heparin adalah
negatif untuk LMWH. Keberadaan esai positif untuk agregasi platelet, 4 dari 11 pasien
memiliki hasil klinis yang kurang baik.
Hirudin, polipeptida poten spesifik untuk thrombin, telah dapat digandakan dan
disekuensikan baru-baru ini. Hirudin secara teoritis sangat menarik namun belum diuji
sebagai alternatif terhadap antikoagulasi heparin selama CPB.
Gangguan Faktor Koagulasi Turunan
CPB dan OHS untuk penyakit jantung bawaan, penyakit katup jantung didapat, dan penyakit
arteri koroner telah dilakukan secara baik pada pasien denagn penyakit penyerta emofilia A,
Hemofilia B, vWD, defisiensi faktor VII, dan defisiensi faktor XI (Tabel 7). Manajemen
untuk pasien-pasien ini serupa dengan rekomendasi standar yang diberikan untuk pasien-
pasien dengan koagulopati turunan yang menjalani berbagai jenis pembedahan mayor.
Penggantian komplit dari faktor koagulasi yang hilang dan mempertahankannya pada kadar
terapeutik selama pemebdahan, serta 2 minggu paska operatif menggunakan konsentrat yang
tepat sangatlah diperlukan. Sangat penting untuk memperhatikan bahwa terapi penggantian
untuk pasien dengan defisiensi ringan yang menjalani CPB harus sama besarnya dengan
pasien dengan defisiensi yang berat. Keberadaan penghambat faktor VIII atau faktor IX saat
ini dipertimbangkan menjadi kontraindikasi absolut untuk OHS absolut, meskipun
ketersediaan konsentrat faktor VII teraktifasi mungkin akan mempengaruhi panduan ini.
Selama tindakan CPB, antikoagulasi heparin diikuti oelh netralisasi protamine dibutuhkan
dalam dosis konvensional, dan terapi EACA umumnya tidak digunakan.
Terdapat beberapa pertimbagan khusus dalam OHS. Pertama, saat CPB selesai, faktor
tambahan mungkin perlu diberikan untuk mencapat kadar terapeutik yang tepat. Kedua,
pemberian desmopressin pada pasien dengan hemofilia A dan vWD yang menjalani prosedur
OHS tidak ditekankan, meskipun rekomendasi biasanya perihal uji dosis, takifilaksis,
kontraindikasi (tipe Iib dan pseudo-vWD) dan penggunaannya untuk tatalaksana perdarahan
masif terkait CPB masih diberlakukan. Tentunya, desmopressin saja tidak akan memberikan
hemostasis adekuat selama CPB pada pasien dengan hemofilia A dan vWD terlepas dari
jumlah kadar faktor VIII> ketiga, penggunaan entah konsentrat kompleks prothrombin yang
tidak teraktifasi (PCC_unactivated prothrombin complex concentrates) pada kasus OHS
untuk penggantian faktor IX telah dikaitkan dengan komplikasi thrombotik, termasuk infark
miokard akut dan emboli paru. Penyakit liver, pemanjangan pemberian dan dosis berlebih
dari PCC tampaknya dapat meningkatkan resiko komplikasi thrombotik. Sebagai tambahan
dari heparin pada PCC (60 unit per vial) telah direkomendasikan untuk menutup periode
segera setelah pemberian sementara faktor pembekuan teraktivasi dibuang dari tubuh.
Keempat, obat NSAID dihindari setelah OHS pad apasien dengan gangguan perdarahan
herediter. Akhirnya, untuk mencegah resiko emboli sistemik yang muncul dari katup
transplan jantung tanpa menggunakan antikoagulasi oral, bioprostesa lebih disukai pada
pasien dengan gangguan perdarahan turunan.
CABG darurat setelah terapi trombolitik yang tidak berhasil disertai dengan
angioplasti
Antara 5%-15% pasien yang mendapatkan terapi thrombolitik untuk infark miokardial akut
mungkin akan mengalami entah reoklusi koroner atau syok kardiogenik dan memerlukan
angioplasti koroner darurat atau CABG. Karena streptokinase, urokinase, dan juga tPA (tissue
type plasminogen activator) dapat menghancurkan fibrinogen serta faktor koagulasi V dan
VIII, terapi thrombolitik mempengaruhi secara besar mempengaruhi masalah hemostatik
pada pasien-pasien ini selama CPB. Pada salah satu studi retrospektif, sekitar 19% pasien
yang menjalani CABG darurat setelah mendapatkan terapi thrombolitik dan angioplasti
mengalami komplikasi perdarahan perioperatif. Seabgai tambahan terhadap
hipofibrinogenemia dan turunnya jumlah faktor V dan VIII, kerusakan polimerisasi fibrin dan
disfungsi platelet dihasilkan dengan tingginya kadar FDP selama terapi thrombolitik.
Meskipun tidak terdapat bukti in vivo akan disfungsi platelet akibat plasmin secara direk,
agregasi platelet in citro dapat dihambat dengan (1) proteolisis dimediasi plasmin dari GPIb
dan Iib/IIIa, (20 peningkatan FDP dimediasi oleh plasmin, (3) degradasi fibrinogen terikat
platelet yang dimediasi oleh plasmin dan (4) inhibisi sintesis tromboksan A2 dimediasi oleh
plasmin.

Tabel 7 Pasien dengan defisiensi turunan pada hemostasis yang menjalani CPB
Pada satu seri 24 kasus pasien yang menjalani CABG darurat setelah terapi streptokinase
yang tidak berhasil dan angioplasti, hilangnya darah perioperatif rata-rata lebih dari 1400ml
dapat diamati dan semua 24 pasien memerlukan transfusi bermakna paska operatif dengan
RBC, FFP dan platelet. Tetapi, hanya 11 dari 24 pasien memiliki parameter koagulasi
abnormal paska operatif (PT, PTT, hitung platelet, kadar fibrinogen dan FDP; BT tidak
diperiksa), dimana menandakan netralisasi heparin yang tidak adekuat. Waktu reptilase
mungkin dapat berguna dalam membedakan fibrinolisis dengan tidak adekuatnya pemberian
protamine. Berdasarkan berbagai studi mengenai trombolitik, tampaknya tidak mungkin FDP
atau fibrinogen dapat berguna sebagai prediktor dari perdarahan perioperatif karena terapi
trombolitik. Perdarahan perioperatif signifikan dan peningkatan kebutuhan transfusi
dilaporkan pada 2 dari 24 pasien (7%) yang melalui CABG darurat setelah prosedur
trombolisis dengan rtPA yang tidak berhasil. Meskipun belum ada studi terandomisasi yang
secara langsung membandingkan entah streptokinase atau r-tPA, kebutuhan transfusi dan efek
spesifik fibrin dari r-tPA menunjukkan bahwa r-tPA mungkin mengakibatkan perdarahan yang
lebih sedikit pada prosedur CABG darurat.
Jadi, CABG darurat mungkin dapat secara aman dilakukan setelah terapi trombolitik,
meskipun manajemen pasti dari hemostasis paska operatif masih belum terbentuk dengan
baik. Aprotinin profilaktik terlihat paling bermanfaat pada kondisi ini, meskipun belum diuji
secara formal pada pasien yang menjalani CABG. Indikasi untuk penggunaan terapi EACA
intraoperatif dan paska operatif tetap belum pasti, dan pemberian produk darah sebagai
pengganti dalam kondisi rutin preoperatif (kriopresipitat atau FFP) belum dipelajari dengan
baik dan saat ini tidak bisa direkomendasikan.

Alat pembantu ventrikel dan Jatung buatan total


Perdarahan merupakan penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
alat bantu ventrikular (VAD-Ventricular Assist Device) dan Total Artificial Hearts (TAH –
Jantung buatan total). Pada satu laporan, 22 dari 30 pasien dengan VAD memerlukan total 24
re-operasi untuk komplikasi perdarahannya. Defek pada platelet yang didapat merupakan
penyebab tersering dari perdarahan tersebut. Masih belum ditentukan apakah defek ini serupa
dengan apa yang terjadi pada CPB. Manajemen efektif biasanya memerlukan (1)
antikoagulasi sistemik yang lama dengan heparin atau warfarin; (2) inhibisi platelet dengan
dekstran, aspirin, dan dipiridamol; dan (3) pemberian platelet dan FPP secara liberal. Pada
setidaknya salah satu pusat kesehatan, aprotinin juga digunakan secara rutin selama
implantasi TAH. Desmopressin telah digunakan secara empirik untuk mengontrol perdarahan
pada pasien dengan VAD; akan tetapi, efektifitas dari pendekatan ini tetap belum terbentuk
dengan baik.
Krioglobulinemia
Karena adanya hipotermia sistemik moderat (25 – 28) sering digunakan pada OHS, hal ini
mungkin menjadi resiko khusus bagi pasien dengan krioglobulinemia dan penyakit cold
agglutinin bila amplitudo thermal dari krioprotein jatuh dalam rentang suhu pembedahan.
Jadi, sangatlah penting untuk menentukan amplitudo suhu pasien dengan penyakit tersebut,
karena plasmaferesis preoperatif dan hipotermia miokardial-perikardial regional telah
dilaporkan dapat memberikan manajemen efektif pada beberapa contoh kasus.
Rangkuman
Perdarahan setelah CPB sulit untuk dikenali dan tatalaksananya pun sulit untuk
distandarisasi. Kompleksitas dari masalah ini berkaitan dengan proses hemostatiknya, variasi
teknik dalam prosedur pembedahan dan banyak variabel tidak terkontrol berkaitan dengan
CPB, termasuk efek dari agen anestesik dan farmakologisnya, asal dari larutan priming-nya,
hemodilusi, hipotermia, dan jenis dari oksigenator, dan penggunaan produk darah transfusi.
Meskipun terdapat perubahan kompleks yang dapat diprediksi dalam mekanisme hemostatik
selama CPB, kehilangan temporer dari fungsi platelet merupakan hal yang secara klinis
relevan. Disfungsi platelet temporer terjadi pada semua pasien yang menjalani CPB, akan
tetapi, hal ini hanya menyebabkan perdarahan masif pada sebagian kecil pasien. Sayangnya,
masih belum mungkin untuk memprediksi pasien mana yang akan mengalami komplikasi
perdarahan, meskipun waktu pompa merupakan faktor resiko dari kasus ini
Lebih dari 1 dekade ini telah terdapat investigasi ekstensif pada manajemen perdarahan
berkaitan dengan CPB, yang dipicu terutama oleh meningkatnya kesadaran akan penyakit
virus akibat transfusi dan penggunaan produk darah homolog yang tidak tepat. Beberapa
pendekatan untuk autotransfusi darah lapangan operasi dan donasi darah autolog telah
dikembangkan untuk meminimalkan transfusi darah homolog. Agen farmakologis seperti
desmopressin, aprotinin, dan lem fibrin topikal telah dikenalkan untuk meningkatkan
hemostasis selama CPB. Aprotinin penghambat protease khususnya merupakan agen yang
menjanjikan dalam penurunan perdarahan berkaitan dengan CPB ketika diberikan secara
profilaktif. Aprotinin mungkin akan memberikan ide baru mengenai mekanisme disfungsi
platelet yang diinduksi oleh CPB. Desmopressin diindikasikan hanya untuk tatalaksana
perdarahan setelah CPB. Manajemen perdarahan berkaitan dengan CPB tidak diragukan lagi
akan semakin berkembang kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai