Anda di halaman 1dari 21

ANESTESI HIPOTENSI

A. Pendahuluan
Perdarahan durante operasi menjadi penyebab utama anemia
perioperative. Berkurangnya kapasitas hemoglobin sebagai pembawa oksigen
menyebabkan perubahan fisiologis dalam sistim kardiovaskuler. Anestesi dapat
mempengaruhi perdarahan durante operasi dengan beberapa cara, baik secara
fisiologis maupun farmakologis. Tekanan arteri berubah secara fisiologis melalui
perubahan pola ventilasi, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan posisi,
sedangkan secara farmakologis akibat perubahan kontraktilitas miokard dan tonus
vaskuler perifer.(1)
Hipotensi terkendali merupakan salah satu teknik anestesi yang aman
untuk mengurangi perdarahan dimana perdarahan yang berlebihan akan
mempengaruhi hemodinamik penderita dan mengganggu lapangan pandang
operasi. Kebutuhan hipotensi kendali pada keadaan tersebut sangat berbeda mulai
dari jangka pendek, moderat atau menetap untuk mengurangi perdarahan.(2)
Penggunaan hipotensi general pertama kali dilaporkan oleh Griffiths dan
Gillies pada tahun 1948 dengan memakai teknik anestesi total spinal. Teknik ini
dilanjutkan Enderby’s pada tahun 1950 menggunakan pentamethonium untuk
blok ganglion. Kedua teknik ini menyebabkan pooling vena sehingga memperkuat
efek hipotensi. Teknik selanjutnya adalah mengontrol cardiac output dengan agen
inhalasi dan obat lain penghambat ganglion seperti hexamethonium, pentolinium
dan trimetaphan. Obat vasodilator seperti sodium nitroprusside dan nitroglycerin,
penghambat  adrenergik serta antagonis adrenoreseptor kombinasi  dan 
seperti labetalol mulai digunakan secara luas.(3)
Hipotensi kendali biasanya dicapai dengan menggunakan vasodilator
poten dengan efek yang dapat diprediksi dan mudah reversibel. Pada anak-anak,
beberapa agen berbeda digunakan untuk mengontrol hipotensi termasuk
vasodilator langsung (sodium nitroprusside, nitrogliserin, prostaglandin E1,
nicardipine dan fenoldopam) atau agen inhalasi sevofluran. Blokade ganglionik
dan penghambat  adrenergik juga dapat digunakan untuk koreksi scoliosis pada
anak-anak.(3)

B. Definisi
Hipotensi induksi (hipotensi kendali atau deliberasi) dapat diartikan
sebagai penurunan MAP secara bertahap antara 25-30% dari nilai baseline dan
bersifat reversibel untuk membatasi kehilangan darah intraoperatif, menghindari
kebutuhan tranfusi darah homolog dan mempermudah visualisasi lapangan
operasi selama prosedur pembedahan.(4)
Penurunan MAP hingga 30% dari baseline tidak akan mengganggu
keseimbangan antara oxygen demand dan oxygen supply pada pasien yang
mendapat vasodilator untuk mengontrol hipotensi.(4,5)
Syarat -syarat agen yang ideal untuk hipotensi :
a. Mudah diberikan
b. Onset kerja cepat
c. Eliminasi cepat
d. Tidak menimbulkan toksisitas
e. Efek yang dapat diprediksi dan tergantung dosis
Kontraindikasi anestesi hipotensi : (2,6)
1. Tidak berpengalaman atau kurangnya pemahaman teknik anestesi
hipotensi
2. Ketidakmampuan untuk memonitor pasien dengan tepat
3. Penyakit sistemik yang mengganggu perfusi, oksigenasi atau
fungsi organ
a. Iskemik miokard. Keadaaan ini makin diperburuk dengan meningkatnya
rate-pressure product (RPP). Pada pasien yang mendapat penghambat 
adrenergik dan vasodilator, maka kerja otot jantung makin berkurang.
b. Hipertensi tidak terkendali. Pada hipertensi yang tidak terkendali, tekanan
arteri cenderung tidak stabil dan mudah terjadi hipotensi. Monitor ECG
mutlak diperlukan karena penggunaan agen volatil akan menambah efek
hipotensi dari agen hipotensif yang diterima sehingga sering ditemukan ST
depresi pada gambaran ECG.
c. Penyakit pernafasan. Keterbatasan penggunaan teknik ini lebih
berhubungan dengan meningkatnya deadspace fisiologi yang disebabkan
V/Q mismatch. Pada keadaan normal, hypoxic pulmonary vasoconstriction
(HPV) terjadi pada segmen paru yang sedikit mengalami ventilasi.
Vasodilatasi yang diinduksi oleh obat-obat vasodilator akan menumpulkan
respon ini dan memperburuk shunting. Bronkhospasme diperparah dengan
penggunaan obat penghambat ganglion atau antagonis  adrenergik yang
tidak spesifik terhadap jantung dan merupakan kontraindikasi pada pasien
asma. Meningkatnya tekanan inflasi makin memperberat hipotensi karena
mengganggu venous return.
d. Diabetes mellitus. Kontraindikasi teknik hipotensi pada pasien DM
berhubungan dengan penggunaan obat, dimana obat penghambat blok
Simpatis akan mengganggu stress-induced gluceneogenesis yang
diperantarai adrenalin. Beta bloker juga dapat menimbulkan hipoglikemi
pada pasien IDDM dan kombinasi dengan hipotensi akan mengganggu
metabolisme otak. Pada penderita DM terkendali, teknik yang ideal adalah
menggunakan agen volatil dan vasodilator tanpa mengganggu konsentrasi
gula darah.
e. Penyakit serebrovaskuler
f. Penyakit aterosklerotikvaskuler
g. Insufisiensi hepar atau ginjal
4. Anemia berat
5. Hipovolemi
6. Glaukoma tidak terkontrol
7. Alergi terhadap agen hipotensif
8. Kehamilan
Indikasi hipotensi kendali: (4)

Mengurangi blood loss intraoperatif:


Bedah plastik rekonstruktif
Diseksi leher radikal
Radikal sistektomi, prostatektomi, histerektomi, mastektomi
Mempermudah lapangan operasi pada microsurgery
Cerebral aneurysm repair
Malformasi arteri vena
Reseksi tumor vaskuler otak
Diseksi koroid
Functional endoscopic sinus surgery
Pembedahan telinga tengah
Spinal fusion
Manajemen pasien yang menolak transfusi darah
Jehovah’s witness
C. Pendekatan non farmakologi (4)
Pendekatan secara non farmakologi untuk mengurangi perdarahan dibagi
dalam 2 kategori besar yaitu :
1. Perubahan tekanan hidrostatik intravaskuler
Prinsipnya aliran darah melalui pembuluh darah yang mengalami injury akan
meningkat sesuai dengan perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik
hidrostatik intravaskuler dan perivaskuler, sehingga pada perdarahan yang
tidak terkendali, pemberian cairan berlebihan untuk mengembalikan tekanan
darah justru menyebabkan perdarahan lebih banyak. Penurunan tekanan
hidrostatik vena dan tekanan arteri sistemik diharapkan dapat mengurangi
perdarahan.
2. Mencegah gangguan hemostatik
2.1. Hipotermi
Hipotermi bisa disebabkan kehilangan panas yang berlebihan (suhu
kamar operasi yang terlalu rendah, evaporasi tubuh) dan gangguan
termoregulasi akibat anestesi selama proses pembedahan. Satu liter
kristaloid yang diberikan pada suhu ruangan (biasanya 200C)
menurunkan suhu kira-kira 0,250C pada pasien dengan berat badan 70
kg. Hipotermi di bawah 340C merupakan faktor risiko berkembangnya
koagulopati pada pasien trauma. Beberapa mekanisme yang mungkin
terlihat dingin akan mengganggu fungsi platelet dan reaksi enzim
koagulasi memanjang. Penghangatan 36,50C dapat mencegah terjadinya
hipotermi
2.2. Penambahan plasma
Koloid sintetik yang digunakan untuk mengganti volume plasma
biasanya dextran, gelatin and hydroxyethylstarch (HES). Koloid ini
memiliki efek spesifik dan non spesifik terhadap sistim koagulasi.
Perubahan non spesifik yang terjadi biasanya berhubungan dengan dilusi
faktor koagulasi dan platelet yang terjadi selama penggantian darah
massif.(4)

D. Metode mekanik
Tournikuet
Tourinikuet hanya cocok diaplikasikan untuk pembedahan daerah
ekstremitas. Yang perlu diperhatikan selama menggunakan teknik ini adalah
lamanya tornikuet dipasang karena iskemik yang memanjang menyebabkan
kerusakan jaringan yang permanen pada ekstremitas dan tekanan yang diberikan
karena tekanan yang berlebihan menyebabkan jaringan di bawah tornikuet
mengalami nekrosis dan kerusakan sel saraf.
Pengukuran tekanan arteri rata-rata pasien sangat penting agar inflasi
tournikuet tidak mengganggu sirkulasi arteri. Tekanan yang biasa digunakan pada
pasien normotensif adalah tekanan darah sistolik ditambah 50 mm Hg di bagian
lengan dan 2 kali tekanan darah sistolik di bagian kaki. Lamanya penggunaan
tournikuet harus dibatasi 60 menit untuk ekstremitas atas dan 90 menit untuk
ekstremitas bawah.
American Heart Association merekomendasikan cuff sfigmomanometer
memiliki lebar 20% lebih besar dibandingkan diameter lengan atas atau 40%
lingkar tungkai atas (hingga maksimum 20 cm) untuk menghindari tekanan yang
berlebihan.(7)

Infiltrasi lokal dengan golongan amine simpatomimetik


Adrenalin sering digunakan untuk menginduksi vasokonstriksi lokal.
Konsentrasi adrenalin yang biasa digunakan antara 1: 200.000 – 1: 400.000,
karena pada konsentrasi ini tidak terjadi nekrosis lokal akibat vasospasme yang
menetap. Dosis total adrenalin yang diperbolehkan 500 mg. Selama infiltrasi lokal
adrenalin mungkin dapat terjadi injeksi intravaskuler yang tidak disengaja,
sehingga penggunaan anestesi volatil dengan ambang aritmia yang tinggi seperti
isofluran lebih baik dibandingkan halotan.(2)

E. Pendekatan farmakologi
Agen anestesi volatil
a. Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat,
nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan inhalasi yang
lain. Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau sufentanil digunakan untuk
mengontrol hipotensi pada anak-anak. Konsentras14% diperlukan untuk mencapai
MAP 55-65 mmHg.(8)
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34%. Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal meningkat
48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga 38%.

b. Halothane
Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan
tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah kulit dan
vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi pada otot skelet.
Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan karena efek langsung depresi otot
jantung. Halotan sering digunakan pada konsentrasi rendah untuk memulai
anestesi hipotensi.
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan
SVR berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan perubahan
ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada sirkulasi splanchnic,
aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat 90% dan 37% menghasilkan
peningkatan total liver blood flow 76%.(8,9)

c. Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama
seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada anestesi
hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-0,5%.(8,10)

d. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk mengiduksi hipotensi karena onset
kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih setelah obat
dihentikan.
Isoflurane memiliki efek minimal terhadap kontraktilitas jantung pada
konsentrasi inspirasi yang rendah. Keuntungannya adalah meningkatkan dosis
isofluran tidak hanya menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga
menekan sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor.
Isoflurane 2% atau MAC 1,54 menghambat peningkatan aliran darah
medula adrenal, norepinephrine dan epinephrine serta penurunan aliran darah
organ abdomen sebesar 70% yang diamati pada MAP 60.(11)
Penelitian Seagard et.al. menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan
respon baroreceptor terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus
pembedahan dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Mazze et.al, menemukan bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke
ginjal sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran
darah dari ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan
vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen glomerulus, yang
ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.(12)

Blok ganglion simpatik


Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan hambatan ganglion otonom
melalui mekanisme inhibisi kompetitif asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya
terbatas pada sistim simpatis karena transmisi kolinergik juga terjadi pada
ganglion parasimpatis. Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi
relatif lambat dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang disebabkan
trimetaphan relative pendek antara 10-15 menit sehingga obat ini lebih sering
diberikan secara infus iv 3-4 mg/mnt. Hal ini sangat berbeda dengan injeksi
tunggal pentolinium 5-15 mg yang mampu menghasilkan hipotensi selama 45
menit dan proses yang lambat untuk kembali ke nilai normal.(2)
Gangguan aliran darah serebral dan medulla spinalis yang disebabkan
redistribusi CBF menjauhi area korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati
dan ginjal, takikardi; pelepasan histamine; inhibisi enzim pseudokolinesterase;
potensiasi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu
efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan (Mostellar, 2000).
Takifilaksis yaitu kebutuhan untuk menaikkan dosis obat untuk menghasilkan
efek yang sama lebih nyata dengan trimetaphan dan membuat tekanan arteri yang
stabil sulit dicapai sehingga pemberian secara infuse kontinyu lebih baik
dibandingkan bolus intermiten. Infus kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit
dan dititrasi sesuai efek.

Obat pelumpuh otot non depolarisasi


Penggunaan obat pelumpuh otot non depolarisasi untuk memfasilitasi
IPPV sebagai tambahan hipotensi elektif dianjurkan pada beberapa keadaan
dengan pertimbangan obat-obat tersebut menginduksi hambatan ganglion simpatis
dan pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi.
Penelitian Yoneda et.al., 1994 mengemukakan atracurium menekan
aktivitas saraf simpatis eferen menyebabkan penurunan tekanan arterial. Di antara
obat pelumpuh otot jangka menengah vecuronium dan atracurium memiliki efek
sampirg kardiovaskuler yang minimal. Menurut Kimura et.al., 1999, vecuronium
tidak mempengaruhi denyut jantung dan tekanan darah dibandingkan pelumpuh
otot yang lain.
Penelitian Hughes dan Chapple menemukan respon vagal dan simpatis
terhadap beberapa obat pelumpuh otot non depolarisasi dimana blok vagal dengan
atracurium hanya terjadi pada dosis 8-16 kali lebih besar dibandingkan dosis
paralisis penuh dan minimal terhadap mekanisme simpatis. Berbeda dengan
Yoneda et.al., 1994 dimana kira-kira dosis atracurium 3 kali lebih besar
menurunkan aktivitas saraf simpatis ginjal, tekanan arterial dan denyut jantung.
Atracurium melepaskan histamine pada dosis 3 kali ED95. Pelepasan histamine
setelah pemberian atracurium menimbulkan hipotensi arterial tidak saja karena
efek vasodilatasi langsung tapi juga akibat penurunan aktivitas saraf simpatis.
Penghambat  adrenergik
Penghambat  adrenergik menghasilkan vasodilatasi melalui mekanisme
hambatan kompetitif reseptor adrenergik postsinap dalam sistim simpatis. Efek
phentolamine relative pendek antara 20-40 dan reversibel, sedangkan
phenoxybenzamine bertahan beberapa hari karena obat ini merupakan nitrogen
mustard derivative, membentuk kompleks reseptor yang irreversibel.
Phentolamine juga mempunyai efek stimulant miokard (beta adrenergik),
meningkatkan konsurnsi oksigen dan denyut jantung, sebaliknya
phenoxybenzamine memiliki efek sedasi. Phentolamine 5-10 mg digunakan untuk
induksi vasodilatasi sedangkan phenoxybenzamine 0,5-2,0 mg/kg yang bertahan
dalam 10 hari berguna dalam meminimalkan efek katekolamin pada pengangkatan
phaeochromocytoma. Sedangkan chlorpromazine dan droperidol yang
mempunyai efek mild alpha adrenergik block sering digunakan untuk preparasi
pasien sebelum anestesi hipotensi.(2)

Penghambat adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis  adrenergik pada anestesi hipotensi
yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering
digunakan untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40 mg/hr
bisa digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg iv dapat
digunakan selama anestesi. Penghambat  aorenergik ini dapat dipakai sebelum
atau selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai
efek samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator
langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibanding intravena
karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama operasi. Labetalol
(kombinasi anatagonis  dan  adrenergik) juga ideal untuk menginduksi
hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan
penghambat  yang berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat (5-7
kali lebih poten dibandingkan penghambat .(2)

Vasodilator
a) Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah
yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke nilai
normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial-a-pressure”
hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya saat pengangkatan
meningioma atau pemotongan aneurisma serebral. Penggunaan SNP dianggap
kurang memberikan visualisasi yang ideal pada pembedahan kecuali terjadi
penurunan MAP hingga 20%.(13) SNP rnemberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek langsung ke serebral dan
mernpertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di atas
50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan menggeser kurva autoregulasi ke
kiri secara dose dependent dan Meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga
tidak digunakan pada neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon ini
disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah dan
meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP memiliki sifat
depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal dengan tetap
memelihara aliran darah koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen otot
jantung.
Penggunaan preparat ini berhubungan dengan intoksikasi sianida. Setiap
molekul SNP mengandung 5 radikal sianida yang dilepaskan akibat
pemecahan obat dalam plasma dan sel darah merah. Jalur metabolik normal
pemecahan SNP bersifat non enzimatik ya sel darah merah dan plasma.
Reaksi intraseluler di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi
methaemoglobin. Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan
akibat pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan proporsi
yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau vitamin B12.
Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim rhodanase menjadi
thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor yang membatasi kecepatan
metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl dimana pada pemberian
sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi thiocyanate sehingga
mengurangi konsentrasi sianida dalam darah. Penggunaan thiosulphate tidak
mempengaruhi efek hipotensi yang dihasilkan SNP.

Dosis SNP yang direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan


secara bertahap sampai level hipotensi yang diharapkan tercapai, sedangkan
dosis maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit, dimana
terjadi sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma yang dicerminkan
dengan meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai -7 mmol/liter yang
reversibel setelah penghentian SNP. Pengukuran rutin asam basa selama SNP
akan memberikan informasi klinis yang adekuat terjadinya toksisitas sianida.
Jika dosis SNP yang diberikan tidak melebihi dosis maksimum maka gejala
toksisitas tidak akan terjadi pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang
normal. Kerugian SNP untuk hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya
reflek takikardi dan potensi terjadinya toksisitas sianida.(8)
b) Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek
kronotropik dan inotropik negatif yang minimal (Kimura et.al., 1999).
Bernard et.al.. membandingkan penggunaannya dengan nitroprusside untuk
pasien dewasa yang menjalani pembedahan spinal fusion. Pada penelitian ini
kedua obat mencapai hipotensi dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik.
MAP yang stabil mudah dicapai sesuai dengan protokol yang digambarkan.
Waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke tekanan darah baseline pada
kelompok nicardipine 20 menit lebih lama dibandingkan nitroprusside. Hal ini
disebabkan mekanisme seluler nitroprusside yang menyebabkan relaksasi
pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang memiliki waktu paruh 0,1
detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan restorasi-tekanan darah yang
cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian
ke tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan
terjadi keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler. Tetapi pengembalian
MAP yang lambat justru memberikan keuntungan karena proses yang
bertahap tanpa disertai rebound hypertension yang biasa terlihat pada
nitroprusside memberikan lebih banyak waktu untuk pembentukan bekuan
darah yang stabil dan mencegah hilangrya darah yang berlebihan pasca
operasi. Nicardipine menghasilkan reflek takikardi yang minimal
dibandingkan nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi akan
membutuhkan infus vasoaktif tambahan yang pada akhimya meningkatkan
biaya per pasien.
Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan nicardipine,
tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan pasien membutuhkan
infuse vasoaktif tambahan berupa esmolol, sehingga nicardipine dinilai lebih
cost-effective. Di samping itu, penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi
kendali mengurangi jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit
autologous blood atau biaya sekitar $206.00/unit. Penelitian lain yang
mendukung yaitu Bernard et.al. menyimpulkan bahwa hipotensi kendali pada
pasien dewasa sehat lebih aman dan mudah dicapai dengan infus nicardipine
dibandingkan nitroprusside untuk spinal fusion karena MAP baseline tercapai
kembali secara bertahap dan lebih hemat.(3)
Pada penelitian Nisiyama et.al., 1997 ditemukan bahwa penurunan
tekanan darah dengan inhalasi sevofluran tidak disertai dengan meningkatnya
kadar katekolamin seperti pada penggunaan enfluran dan isofluran. Meskipun
anestesi inhalasi menekan aktivitas simpatis, adanya stimulasi pembedahan
atau penginduksi hipotensi pada anestesi umum dapat meningkatkan aktivitas
simpatis. Meningkatnya konsentrasi katekolamin selama penggunaan enfluran
dan isofluran berasal dari nicardipine yang menginduksi hipotensi. Perbedaan
ini disebabkan karena sevofluran menekan reflek simpatis hipertonia akibat
penurunan tekanan darah oleh nicardipine.
Penurunan tekanan darah dan meningkatnya denyut jantung pada anestesi
isofluran lebih lama, tetapi klirens nicardipine lebih besar. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa nicardipine meningkatkan ikatan reseptor target dengan
isofluran sehingga aktifitas simpatis medulla adrenal meningkat secara
intensif.
Waktu paruh nicardipine dengan anestesi sevofluran dan enfluran berkisar
22-45 menit, tetapi meningkat 2 kali lipat dengan isofluran. Hal ini
disebabkan meningkatnya aliran darah hepar dengan isofluran.(14)
c) Trinitroglycerin (TNG)
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang terjadi di
hepar menjadi di-, mono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses ini
menyebabkan aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena ukuran
molekul juga berkurang. TNG menghasilkan penurunan tekanan arteri yang
stabil dengan efek yang lebih besar pada tekanan sistolik dibandingkan
tekanan diastolik untuk mempertahankan aliran darah. Pemulihan dan
nitroglycerin membutuhkan waktu 10-20 menit, berbeda dengan SNP yang
membutuhkan waktu 2-4 menit, sehingga kurang ideal digunakan pada
pembedahan yang membutuhkan hipotensi yang ekstrim. Efek vasodilatasi
TNG lebih dominan pada sistim kapasitansi vena sehingga tekanan diastolik
dipertahankan lebih besar dan perfusi arteri koroner lebih baik dibandingkan
SNP. Efek ini menguntungkan pada pasien yang memiliki gangguan sirkulasi
serebral atau miocard (Simpson, 1992). Peningkatan tekanan intrakranial yang
dihasilkan oleh nitroglycerin lebih besar dibandingkan SNP. Dosis TNG
biasanya dimulai 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan bertahap hingga level
hipotensi yang diharapkan tercapai. TNG tidak menimbulkan takifilaksis,
toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP.(6)

F. Monitoring selama anestesi hipotensi


Monitor rutin yang ideal digunakan selama anestesi hipotensi meliputi :
1) Elektrokardiografi
Monitoring ECG sangat penting dalam menemukan 2 tanda vial adanya
perfusi otot jantung yang tidak adekuat yaitu berkembangnya ectopic beats
dan depresi segmen ST. Perubahan segmen ST yang terjadi biasanya
reversibel dengan meningkatnya tekanan arteri rata-rata. Respon otot jantung
terhadap keadaan hipoksemia dan hipoperfusi merupakan monitor yang
sensitif pada anestesi hipotensi.(2,6)
2) Saturasi oksigen arteri
Saturasi oksigen merupakan pengukuran yang murah dan non invasive
yang menggambarkan jumlah oksigen yang dibawa hemoglobin. Penurunan
tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2) sebesar 1 mmHg akan
menurunkan SaO2 3%. PaO2 30 mmHg menghasilkan SaO2 60%, PaO2 60
mmHg menghasilkan SaO2 90%, sedangkan PaO2 75 mmHg menghasilkan
SaO2 95%.(15)
3) Kapnografi
Kapnografi digunakan untuk mengukur konsentrasi karbondioksida
tertinggi saat akhir ekshalasi paru (end-tidal carbon dioxide). Hipotensi
sistemik mengakibatkan berkurangnya tekanan arteri pulmonalis karena
perfusi paru tergantung pada gaya gravitasi dan meningkatkan V/Q mismatch
di dalam paru-paru sehingga ekskresi CO2 berkurang dan end-tidal carbon
dioxide menurun. Konsentrasi inspirasi oksigen yang dibutuhkan meningkat
selama periode hipotensi untuk mengkompensasi perubahan perfusi paru.
4) Produksi urin
Selama hipotensi kendali, ginjal tetap memproduksi urin 0,5-1 cc/kg/jam.
Produksi urin merupakan salah satu indikator untuk menilai fungsi dan perfusi
organ penting.(6,10)
5) Pengukuran tekanan arteri langsung atau tak langsung
Monitor tidak langsung biasanya menggunakan oscillotonometer yang
tergantung deteksi regular pulsasi cuff, tetapi tidak akurat bila terjadi
gangguan irama jantung. Tekanan sistolik kurang dari 70 mm Hg harus segera
diantisipasi dengan monitor arteri langsung dan vena sentral.(2,16)
Indikasi tekanan arteri langsung yaitu adanya perubahan tekanan darah
yang cepat, perubahan tekanan darah yang moderat dapat menyebabkan
kerusakan end organ dan monitor tekanan darah invasif dianggap kurang
akurat untuk mengantisipasi kardiovaskuler yang tidak stabil dan manipulasi
langsung sistim kardiovaskuler akibat anestesi hipotensi. Gelombang arteri
memberikan informasi yang berharga tentang status hemodinamik penderita
yaitu gelombang menentukan denyut jantung selama elektrokauter
mempengaruhi ECG dimana puncak gelombang elektrik yang berasal dari
pacemaker menghasilkan kontraksi ventrikel, slope gelombang bisa
mengevaluasi kontraktilitas otot jantung dan memberikan perkiraan
konsekuensi hemodinamik secara visual mengenai kemungkinan aritmia.(17)
6) Kateter vena sentral
Tekanan vena sentral diatur melalui keseimbangan antara volume darah
dari sirkulasi sistemik yang kembali ke jantung dan kemampuan ventrikel
kanan untuk memompa darah ke sirkulasi pulmoner. Tekanan vena sentral
menggambarkan preload untuk ventrikel kanan atau lebih tepatnya right
ventricular end diastolic volume. Preload sering digunakan sebagai indikator
penggantian volume intravaskuler. Penurunan preload menandakan adanya
kebutuhan penambahan cairan intravena, tetapi tekanan vena sentral diatas 15
mmHg menggambarkan resusitasi berlebihan.
7) Monitor
Vasoditatasi akibat penggunaan kombinasi agen-agen hipotensi
menyebabkan kehilangan panas yang berlebihan dan mencetuskan terjadinya
hipotermi.(6)
8) Kadar glukosa
Penggunaan  bloker sebagai suplemen anestesi hipotensi memerlukan
monitor gula darah durante operasi karena efek penghambatan glikogenolisis
sehingga mudah terjadi hipoglikemi.(6)
9) Analisis gas darah
PaCO2 dipertahankan antara 35-45 mmHg untuk tetap mempertahankan
autoregulasi otak. CBF akan meningkat atau menurun 1 m1/100gr/menit
untuk setiap mmHg kenaikan atau penurunan PaCO2 dari baseline. Pembuluh
darah otak akan berdilatasi secara maksimal pada PaCO2 80mmHg.
Peningkatan PaCO2 juga akan menurunkan pH dan menggeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kanan sehingga afinitas hemoglobin terhadap oksigen
berkurang.(6)
Setelah induksi anestesi dimulai, analisis gas darah; saturasi oksigen;
kadar gula darah dan CVP atau PAP harus diukur sebelum hipotensi yang
direncanakan tercapai. Pemeriksaan ini diulang setiap 30-60 menit untuk
menilai status volume cairan.(6)

G. Teknik praktis anestesi hipotensi


Tidak ada obat tunggal yang mampu memberikan keadaan yang ideal
untuk semua prosedur pembedahan dengan anestesi umum yang memerlukan
teknik hipotensi karena pada prinsipnya ada 3 kelompok besar yang memiliki
kebutuhan berbeda yaitu: kebutuhan onset lambat dan hipotensi moderat yang
menetap dengan perlahan kembali ke tekanan normal, biasanya untuk operasi
THT, plastik dan maxillo-facial dimana mudah terjadi perdarahan ulang jika
tekanan darah lebih cepat kembali ke keadaan normal. Kelompok kedua adalah
kebutuhan mengantisipasi kehilangan perdarahan masif. Kelompok ketiga adalah
operasi yang membutuhkan periode singkat tekanan darah yang sangat kecil dan
fluktuasi cepat pada tekanan arteri membutuhkan pengaturan segera misalnya
cerebral aneurysm, reseksi koartasio aorta.(2)
Tekanan darah dikembalikan ke baseline sebelum penutupan kulit untuk
mempermudah hemostatis. Bila hipotensi menetap, maka reversal segera
dilakukan untuk mengembalikan fungsi ventrikel kid dengan efedrin 5-10 mg iv
(Husain, 1993). Penelitian Goertz et.al., 1993 menggunakan transesophageal
echocardiography untuk menilai efek pemberian bolus fenilefrin 2 g/kg dan
norepinefrin 1 g/kg terhadap fungsi ventrikel kiri selama hipotensi kendali
dengan isofluran menunjukkan bahwa kedua substrat efektif mengembalikan
tekanan darah arteri ke nilai normal dimana end-systolic wall stress meningkat
setelah pemberian fenilefrin dan norepinefrin dari 47,4 menjadi 91,2 dan dari 54,0
menjadi 65,2 x 103 dyne/cm2.
Pasien hipotensi elektif tetap membutuhkan monitor tekanan arteri dan
monitor airway pasca operasi di ruang pemulihan dengan pengawasan. Suplemen
oksigen harus diberikan pada semua pasien hingga benar-benar pulih sadar. Pada
penggunaan obat penghambat ganglion, pasien tetap tidur telentang selama 12-18
jam paska operasi.(2)

H. Komplikasi
a) Hipotensi inadekuat
Pada pasien dengan sistim renin-angiotensin yang overaktif cenderung
resisten terhadap sodium nitroprusid, sehingga hipotensi elektif tidak tercapai.
Hal ini mengakibatkan penggunaan obat vasoaktif dengan dosis berlebihan.
Jika penggunaan satu jenis obat tidak mampu mencapai target MAP, maka
penggunaan obat kedua pada tempat kerja yang berbeda dapat dijadikan
pilihan, misalnya kombinasi obat penghambat ganglion dengan SNP atau
kombinasi isoflurane dan SNP.(2)
b) Hipotensi berlebihan
Risiko akibat penurunan tekanan darah yang terlalu ekstrim adalah
terjadinya trombosis serebral, hemiplegi akibat perfusi ke medula spinalis
berkurang, nekrosis tubuler akut, nekrosis hepar masif, infark miokard akut
dan kebutaan akibat trombosis arteri retina.(10)
c) Toksisitas sianida
Toksisitas sianida pada penggunaan SNP ditandai dengan kebutuhan dosis
> 10 ug/kg/menit, takifilaksis yang terjadi dalam 60 menit atau resisten
terhadap SNP.
Penatalaksanaan toksisitas sianida (Cote, 1993; Mostellar, 2000)
1) Hentikan infuse kontinyu SNP
2) Berikan oksigen 100%
3) Memberikan amyl nitrite melalui inhalasi selama 30 detik setiap 2 menit
4) Memberikan sodium nitrite 10 mg/kg bolus intravena dilanjutkan infus 5
mg/kg dalam 30 menit
5) Memberikan sodium thiosulfat 150 mg/kg (tidak lebih dari 12.5 gr)
d) Pemulihan postanestesi yang lama dari halotan

I. Kesimpulan
Salah satu teknik anestesi yang dapat mengontrol perdarahan adalah
hipotensi kendali. Teknik ini bertujuan untuk mempermudah kondisi lapangan
operasi pada microsurgery, mengurangi kebutuhan transfusi darah dan
mengurangi risiko ruptur pembuluh darah.
Perlu diingat bahwa tidak semua prosedur pembedahan memerlukan
hipotensi kendali dan teknik ini melibatkan perfusi beberapa organ vital sehingga
target MAP yang dicapai harus disesuaikan dengan kondisi pasien tanpa
mengganggu autoregulasi serebral. Teknik ini juga membutuhkan monitoring
ketat baik secara langsung maupun tak langsung untuk menilai status
hemodinamik penderita sehingga terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan
dapat dihindari.
Tidak ada agen hipotensif tunggal yang mampu memberikan keadaan
hipotensi yang ideal untuk semua prosedur pembedahan yang membutuhkan
teknik hipotensi. Yang ideal adalah menggunakan penghambat  adrenergik
jangka pendek dosis rendah sebagai tambahan untuk mengurangi kebutuhan
inhalasi isofluran atau vasodilator yang digunakan.
Teknik hipotensi cukup aman digunakan selama vasodilator diberikan
tidak melebihi dosis maksimum dan pemberian secara infus kontinyu melalui
syringe pump dianggap lebih baik agar obat mudah dititrasi sesuai kebutuhan.
Dilaporkan tidak ada morbiditas dan mortalitas pada kasus yang pernah
menggunakan teknik ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Husain M. 1993. Perioperative hemodynamic control. In: Davison K.


Eckhardt III WF, Perese DA, ed. Clinical anesthesia procedures of the
Massachusetts General Hospital. 4th edition. Little Brown and company : 273-
87

2. Simpson P. 1992. Perioperative blood loss and its reduction: the role of the
aneaesthetist. British Journal of Anaesthesia 69: 498-507

3. Hersey SL, O’Dell NE, Lowe S, Rasmussen G, Tobias JD, Deshpande JK,
Mencio G, Green N. 1997. Nicardipine Versus Nitroprusside for Controlled
Hypotension During Spinal Surgery in Adolescents. Anesthesia Analgesia 84:
1239

4. Ozier Y, Lentschener C. 2003. Non-pharmacological approaches to decrease


surgical blood loss. Canadian Journal of Anesthesia 50 / S19-S25

5. Shiraishi Y, Mochizuki T, Ikeda K. 1994. Oxygen uptake and carbon dioxide


elimination during controlled hypotension induced by prostaglandin E1 or
nitroglycerin. British Journal of Anaesthesia 72: 439-42

6. Mostellar JP. 2000. Deliberate hypotension. In : Duke J. Anesthesia secret. 2 nd


edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 383-7

7. Collins C. 2003. Orthopaedic surgery. In : Allman KG, Wilson IH. Oxford


handbook of anaesthesia. Oxford University press : 474-5

8. Degoute CS, Ray MJ, Gueugniaud PY, Dubreuil C. 2003. Remifentanil


induces consistent and sustained controlled hypotension in children during
middle ear surgery. Canadian Journal of Anesthesia 50: 3 pp 270-6

9. Crawford MW, Lerman J, Saldivia V, Orrego H, Carmichael FJ. 1994. The


Effect of Adenosine-induced Hypotension on Systemic and Splanchnic
Hemodynamics during Halothane or Sevoflurane Anesthesia in the Rat.
Anesthesiology 80:159-67

10. Cote CJ. 1993. Strategies to reduce blood transfusions: controlled


hypotension and hemodilution in : Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,
Goudsouzian, editors. A practice of anesthesia for infant and children. 2 nd
edition. Saunders. Philadelphia : 201-10

11. Jordan D, Shulman SM, Miller ED. 1993. Esmolol Hydrochloride, Sodium
Nitroprusside, and Isoflurane Differ in Their Ability to Alter Peripheral
Sympathetic Responses. Anesthesia Analgesia 77: 281-90
12. Lessard MR, Trepanier CA. 1991. Renal Function and Hemodynamics during
Prolonged Isoflurane-induced Hypotension in Humans. Anesthesiology 74:
860-5

13. Boezaart AP, van der Merwe J, Coetzee A. 1995. Comparison of sodium
nitroprussideand esmolol-induced controlled hypotension for functional
endoscopic sinus surgery. Canadian Journal of Anesthesia 42: 5 pp 373-6

14. Nishiyama T, Matsukawa T, Hanaoka K, Conway C. 1997. Interactions


between nicardipine and enflurane, isoflurane, and sevoflurane. Canadian
Journal of Anesthesia 44: 10 / 1071-6

15. Goldman JM. 2000. Pulse oxymetry. In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd
edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 118-21

16. Latham P, Whitten OW. 2000. Arterial catheterization and pressure


monitoring. In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd edition. Hanley and Belfus Inc.
Philadelphia : 143-8

17. Kirson LE. 2000. Central venous catheterization and pressure monitoring.
In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia
: 131-8

Anda mungkin juga menyukai