A. Pendahuluan
Perdarahan durante operasi menjadi penyebab utama anemia
perioperative. Berkurangnya kapasitas hemoglobin sebagai pembawa oksigen
menyebabkan perubahan fisiologis dalam sistim kardiovaskuler. Anestesi dapat
mempengaruhi perdarahan durante operasi dengan beberapa cara, baik secara
fisiologis maupun farmakologis. Tekanan arteri berubah secara fisiologis melalui
perubahan pola ventilasi, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan posisi,
sedangkan secara farmakologis akibat perubahan kontraktilitas miokard dan tonus
vaskuler perifer.(1)
Hipotensi terkendali merupakan salah satu teknik anestesi yang aman
untuk mengurangi perdarahan dimana perdarahan yang berlebihan akan
mempengaruhi hemodinamik penderita dan mengganggu lapangan pandang
operasi. Kebutuhan hipotensi kendali pada keadaan tersebut sangat berbeda mulai
dari jangka pendek, moderat atau menetap untuk mengurangi perdarahan.(2)
Penggunaan hipotensi general pertama kali dilaporkan oleh Griffiths dan
Gillies pada tahun 1948 dengan memakai teknik anestesi total spinal. Teknik ini
dilanjutkan Enderby’s pada tahun 1950 menggunakan pentamethonium untuk
blok ganglion. Kedua teknik ini menyebabkan pooling vena sehingga memperkuat
efek hipotensi. Teknik selanjutnya adalah mengontrol cardiac output dengan agen
inhalasi dan obat lain penghambat ganglion seperti hexamethonium, pentolinium
dan trimetaphan. Obat vasodilator seperti sodium nitroprusside dan nitroglycerin,
penghambat adrenergik serta antagonis adrenoreseptor kombinasi dan
seperti labetalol mulai digunakan secara luas.(3)
Hipotensi kendali biasanya dicapai dengan menggunakan vasodilator
poten dengan efek yang dapat diprediksi dan mudah reversibel. Pada anak-anak,
beberapa agen berbeda digunakan untuk mengontrol hipotensi termasuk
vasodilator langsung (sodium nitroprusside, nitrogliserin, prostaglandin E1,
nicardipine dan fenoldopam) atau agen inhalasi sevofluran. Blokade ganglionik
dan penghambat adrenergik juga dapat digunakan untuk koreksi scoliosis pada
anak-anak.(3)
B. Definisi
Hipotensi induksi (hipotensi kendali atau deliberasi) dapat diartikan
sebagai penurunan MAP secara bertahap antara 25-30% dari nilai baseline dan
bersifat reversibel untuk membatasi kehilangan darah intraoperatif, menghindari
kebutuhan tranfusi darah homolog dan mempermudah visualisasi lapangan
operasi selama prosedur pembedahan.(4)
Penurunan MAP hingga 30% dari baseline tidak akan mengganggu
keseimbangan antara oxygen demand dan oxygen supply pada pasien yang
mendapat vasodilator untuk mengontrol hipotensi.(4,5)
Syarat -syarat agen yang ideal untuk hipotensi :
a. Mudah diberikan
b. Onset kerja cepat
c. Eliminasi cepat
d. Tidak menimbulkan toksisitas
e. Efek yang dapat diprediksi dan tergantung dosis
Kontraindikasi anestesi hipotensi : (2,6)
1. Tidak berpengalaman atau kurangnya pemahaman teknik anestesi
hipotensi
2. Ketidakmampuan untuk memonitor pasien dengan tepat
3. Penyakit sistemik yang mengganggu perfusi, oksigenasi atau
fungsi organ
a. Iskemik miokard. Keadaaan ini makin diperburuk dengan meningkatnya
rate-pressure product (RPP). Pada pasien yang mendapat penghambat
adrenergik dan vasodilator, maka kerja otot jantung makin berkurang.
b. Hipertensi tidak terkendali. Pada hipertensi yang tidak terkendali, tekanan
arteri cenderung tidak stabil dan mudah terjadi hipotensi. Monitor ECG
mutlak diperlukan karena penggunaan agen volatil akan menambah efek
hipotensi dari agen hipotensif yang diterima sehingga sering ditemukan ST
depresi pada gambaran ECG.
c. Penyakit pernafasan. Keterbatasan penggunaan teknik ini lebih
berhubungan dengan meningkatnya deadspace fisiologi yang disebabkan
V/Q mismatch. Pada keadaan normal, hypoxic pulmonary vasoconstriction
(HPV) terjadi pada segmen paru yang sedikit mengalami ventilasi.
Vasodilatasi yang diinduksi oleh obat-obat vasodilator akan menumpulkan
respon ini dan memperburuk shunting. Bronkhospasme diperparah dengan
penggunaan obat penghambat ganglion atau antagonis adrenergik yang
tidak spesifik terhadap jantung dan merupakan kontraindikasi pada pasien
asma. Meningkatnya tekanan inflasi makin memperberat hipotensi karena
mengganggu venous return.
d. Diabetes mellitus. Kontraindikasi teknik hipotensi pada pasien DM
berhubungan dengan penggunaan obat, dimana obat penghambat blok
Simpatis akan mengganggu stress-induced gluceneogenesis yang
diperantarai adrenalin. Beta bloker juga dapat menimbulkan hipoglikemi
pada pasien IDDM dan kombinasi dengan hipotensi akan mengganggu
metabolisme otak. Pada penderita DM terkendali, teknik yang ideal adalah
menggunakan agen volatil dan vasodilator tanpa mengganggu konsentrasi
gula darah.
e. Penyakit serebrovaskuler
f. Penyakit aterosklerotikvaskuler
g. Insufisiensi hepar atau ginjal
4. Anemia berat
5. Hipovolemi
6. Glaukoma tidak terkontrol
7. Alergi terhadap agen hipotensif
8. Kehamilan
Indikasi hipotensi kendali: (4)
D. Metode mekanik
Tournikuet
Tourinikuet hanya cocok diaplikasikan untuk pembedahan daerah
ekstremitas. Yang perlu diperhatikan selama menggunakan teknik ini adalah
lamanya tornikuet dipasang karena iskemik yang memanjang menyebabkan
kerusakan jaringan yang permanen pada ekstremitas dan tekanan yang diberikan
karena tekanan yang berlebihan menyebabkan jaringan di bawah tornikuet
mengalami nekrosis dan kerusakan sel saraf.
Pengukuran tekanan arteri rata-rata pasien sangat penting agar inflasi
tournikuet tidak mengganggu sirkulasi arteri. Tekanan yang biasa digunakan pada
pasien normotensif adalah tekanan darah sistolik ditambah 50 mm Hg di bagian
lengan dan 2 kali tekanan darah sistolik di bagian kaki. Lamanya penggunaan
tournikuet harus dibatasi 60 menit untuk ekstremitas atas dan 90 menit untuk
ekstremitas bawah.
American Heart Association merekomendasikan cuff sfigmomanometer
memiliki lebar 20% lebih besar dibandingkan diameter lengan atas atau 40%
lingkar tungkai atas (hingga maksimum 20 cm) untuk menghindari tekanan yang
berlebihan.(7)
E. Pendekatan farmakologi
Agen anestesi volatil
a. Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat,
nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan inhalasi yang
lain. Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau sufentanil digunakan untuk
mengontrol hipotensi pada anak-anak. Konsentras14% diperlukan untuk mencapai
MAP 55-65 mmHg.(8)
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34%. Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal meningkat
48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga 38%.
b. Halothane
Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan
tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah kulit dan
vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi pada otot skelet.
Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan karena efek langsung depresi otot
jantung. Halotan sering digunakan pada konsentrasi rendah untuk memulai
anestesi hipotensi.
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan
SVR berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan perubahan
ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada sirkulasi splanchnic,
aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat 90% dan 37% menghasilkan
peningkatan total liver blood flow 76%.(8,9)
c. Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama
seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada anestesi
hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-0,5%.(8,10)
d. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk mengiduksi hipotensi karena onset
kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih setelah obat
dihentikan.
Isoflurane memiliki efek minimal terhadap kontraktilitas jantung pada
konsentrasi inspirasi yang rendah. Keuntungannya adalah meningkatkan dosis
isofluran tidak hanya menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga
menekan sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor.
Isoflurane 2% atau MAC 1,54 menghambat peningkatan aliran darah
medula adrenal, norepinephrine dan epinephrine serta penurunan aliran darah
organ abdomen sebesar 70% yang diamati pada MAP 60.(11)
Penelitian Seagard et.al. menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan
respon baroreceptor terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus
pembedahan dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Mazze et.al, menemukan bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke
ginjal sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran
darah dari ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan
vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen glomerulus, yang
ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.(12)
Penghambat adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis adrenergik pada anestesi hipotensi
yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering
digunakan untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40 mg/hr
bisa digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg iv dapat
digunakan selama anestesi. Penghambat aorenergik ini dapat dipakai sebelum
atau selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai
efek samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator
langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibanding intravena
karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama operasi. Labetalol
(kombinasi anatagonis dan adrenergik) juga ideal untuk menginduksi
hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan
penghambat yang berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat (5-7
kali lebih poten dibandingkan penghambat .(2)
Vasodilator
a) Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah
yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke nilai
normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial-a-pressure”
hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya saat pengangkatan
meningioma atau pemotongan aneurisma serebral. Penggunaan SNP dianggap
kurang memberikan visualisasi yang ideal pada pembedahan kecuali terjadi
penurunan MAP hingga 20%.(13) SNP rnemberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek langsung ke serebral dan
mernpertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di atas
50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan menggeser kurva autoregulasi ke
kiri secara dose dependent dan Meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga
tidak digunakan pada neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon ini
disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah dan
meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP memiliki sifat
depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal dengan tetap
memelihara aliran darah koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen otot
jantung.
Penggunaan preparat ini berhubungan dengan intoksikasi sianida. Setiap
molekul SNP mengandung 5 radikal sianida yang dilepaskan akibat
pemecahan obat dalam plasma dan sel darah merah. Jalur metabolik normal
pemecahan SNP bersifat non enzimatik ya sel darah merah dan plasma.
Reaksi intraseluler di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi
methaemoglobin. Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan
akibat pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan proporsi
yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau vitamin B12.
Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim rhodanase menjadi
thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor yang membatasi kecepatan
metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl dimana pada pemberian
sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi thiocyanate sehingga
mengurangi konsentrasi sianida dalam darah. Penggunaan thiosulphate tidak
mempengaruhi efek hipotensi yang dihasilkan SNP.
H. Komplikasi
a) Hipotensi inadekuat
Pada pasien dengan sistim renin-angiotensin yang overaktif cenderung
resisten terhadap sodium nitroprusid, sehingga hipotensi elektif tidak tercapai.
Hal ini mengakibatkan penggunaan obat vasoaktif dengan dosis berlebihan.
Jika penggunaan satu jenis obat tidak mampu mencapai target MAP, maka
penggunaan obat kedua pada tempat kerja yang berbeda dapat dijadikan
pilihan, misalnya kombinasi obat penghambat ganglion dengan SNP atau
kombinasi isoflurane dan SNP.(2)
b) Hipotensi berlebihan
Risiko akibat penurunan tekanan darah yang terlalu ekstrim adalah
terjadinya trombosis serebral, hemiplegi akibat perfusi ke medula spinalis
berkurang, nekrosis tubuler akut, nekrosis hepar masif, infark miokard akut
dan kebutaan akibat trombosis arteri retina.(10)
c) Toksisitas sianida
Toksisitas sianida pada penggunaan SNP ditandai dengan kebutuhan dosis
> 10 ug/kg/menit, takifilaksis yang terjadi dalam 60 menit atau resisten
terhadap SNP.
Penatalaksanaan toksisitas sianida (Cote, 1993; Mostellar, 2000)
1) Hentikan infuse kontinyu SNP
2) Berikan oksigen 100%
3) Memberikan amyl nitrite melalui inhalasi selama 30 detik setiap 2 menit
4) Memberikan sodium nitrite 10 mg/kg bolus intravena dilanjutkan infus 5
mg/kg dalam 30 menit
5) Memberikan sodium thiosulfat 150 mg/kg (tidak lebih dari 12.5 gr)
d) Pemulihan postanestesi yang lama dari halotan
I. Kesimpulan
Salah satu teknik anestesi yang dapat mengontrol perdarahan adalah
hipotensi kendali. Teknik ini bertujuan untuk mempermudah kondisi lapangan
operasi pada microsurgery, mengurangi kebutuhan transfusi darah dan
mengurangi risiko ruptur pembuluh darah.
Perlu diingat bahwa tidak semua prosedur pembedahan memerlukan
hipotensi kendali dan teknik ini melibatkan perfusi beberapa organ vital sehingga
target MAP yang dicapai harus disesuaikan dengan kondisi pasien tanpa
mengganggu autoregulasi serebral. Teknik ini juga membutuhkan monitoring
ketat baik secara langsung maupun tak langsung untuk menilai status
hemodinamik penderita sehingga terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan
dapat dihindari.
Tidak ada agen hipotensif tunggal yang mampu memberikan keadaan
hipotensi yang ideal untuk semua prosedur pembedahan yang membutuhkan
teknik hipotensi. Yang ideal adalah menggunakan penghambat adrenergik
jangka pendek dosis rendah sebagai tambahan untuk mengurangi kebutuhan
inhalasi isofluran atau vasodilator yang digunakan.
Teknik hipotensi cukup aman digunakan selama vasodilator diberikan
tidak melebihi dosis maksimum dan pemberian secara infus kontinyu melalui
syringe pump dianggap lebih baik agar obat mudah dititrasi sesuai kebutuhan.
Dilaporkan tidak ada morbiditas dan mortalitas pada kasus yang pernah
menggunakan teknik ini.
DAFTAR PUSTAKA
2. Simpson P. 1992. Perioperative blood loss and its reduction: the role of the
aneaesthetist. British Journal of Anaesthesia 69: 498-507
3. Hersey SL, O’Dell NE, Lowe S, Rasmussen G, Tobias JD, Deshpande JK,
Mencio G, Green N. 1997. Nicardipine Versus Nitroprusside for Controlled
Hypotension During Spinal Surgery in Adolescents. Anesthesia Analgesia 84:
1239
11. Jordan D, Shulman SM, Miller ED. 1993. Esmolol Hydrochloride, Sodium
Nitroprusside, and Isoflurane Differ in Their Ability to Alter Peripheral
Sympathetic Responses. Anesthesia Analgesia 77: 281-90
12. Lessard MR, Trepanier CA. 1991. Renal Function and Hemodynamics during
Prolonged Isoflurane-induced Hypotension in Humans. Anesthesiology 74:
860-5
13. Boezaart AP, van der Merwe J, Coetzee A. 1995. Comparison of sodium
nitroprussideand esmolol-induced controlled hypotension for functional
endoscopic sinus surgery. Canadian Journal of Anesthesia 42: 5 pp 373-6
15. Goldman JM. 2000. Pulse oxymetry. In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd
edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 118-21
17. Kirson LE. 2000. Central venous catheterization and pressure monitoring.
In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia
: 131-8