Anda di halaman 1dari 14

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal (TPG) buatan dengan

tujuan untuk eleminasi sisa-sisa produk metabolism (protein) dan koreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan

dialisat melalui selaput membrane semipermiabel yang berperan sebagai ginjal

buatan. (Enday) Perbedaan konsentrasi diantara membrane semipermeable

menyebabkan molekul berdifusi ke arah konsentrasi yang lebih rendah, sehingga

sisa metabolism dapat dibuang sementara molekul atau ion yang diharapkan dapat

masuk ke dalam darah (misalnya HCO3-). Air dapat bergerak melalui membrane

akibat perbedaan tekanan hidrostatik (ultrafiltrasi). Dengan cara membuat

perbedaan tekanan diantara kedua sisi membrane (transmembrane pressure,

TMP), pengeluaran cairan dapat dikontrol. Selain untuk mengeluarkan cairan,

ultrafiltrasi juga digunakan sebagai alat untuk klirens solute melalui konveksi.

(Oxford)

Prinsip dalam hemodialysis, yaitu darah dikeluarkan dari tubuh pasien, diberi

antikoagulan, dipompa ke dalam dialyzer, kemudian dikembalikan ke dalam

tubuh pasien. Di dalam dialyzer, darah dan dialisat (yang mengalir dengan arah

berlawanan) dipisahkan oleh membrane dialysis semipermeable. (Oxford)

Dalam prosedur hemodialysis ini dapat terjadi berbagai komplikasi. Menurut

Asep Sumpena (2010), komplikasi yang timbul pada saat hemodialysis

berlangsung dapat terjadi akibat prosedur hemodialysis atau akibat factor

penderita. Akibat prosedur hemodialysis, yaitu:

a. Ruptured dialyzer

b. Clotting dialyzer

c. Emboli udara
d. Hard Water Syndrome

Akibat factor penderita, yaitu:

a. Dialysis Disequillibrium Syndrome (DDS)

b. Hipotensi

c. Nyeri dada

d. Kejang-kejang

e. Mual dan muntah

f. Gatal-gatal

g. Demam dan menggigil

h. First use syndrome

Sedangkan menurut Enday Sukandar (2013), komplikasi selama prosedur

hemodialysis (intradialitik) dapat berhubungan dengan teknik dan non teknik

merupakan permasalahan tersendiri. Komplikasi teknik selama prosedur

hemodialysis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komplikasi Teknik Selama Prosedur Hemodialisis

Resiko Teknik Presentasi Klinik

Udara masuk sirkuit darah Emboli udara

Dialisat hipotonik Hemolisis masif

Dialisat hipertonik Hipernatremia, haus, sakit kepala,

bendungan paru dan kejang

Dialisat overheated Hemolisis dan pembekuan darah

Pertukaran bikarbonat dengan Alkalosis hebat

konsentrasi acid
Gangguan softener (Hard Water Hiperkalsemia akut, sakit kepala, hipertensi

Syndrome) dan kejang

Diskoneksi tabung darah Perdarahan, kolapse

Sumber: Enday Sukandar (2013)

Komplikasi terkait hemodialysis yang sering dialami pasien, yaitu hipotensi (20-

30%), kram otot (5-20%), mual muntah (5-15%), sakit kepala (5%), nyeri dada (2-

5%), gatal-gatal (5%), serta febris sampai menggigil kurang dari 1%. (Enday,

Daugirdas).

Berikutnya akan dibahas mengenai 2 (dua) komplikasi yang sangat penting, yaitu

hipotensi dan clotting dialyzer.

Hipotensi

Definisi

Hipotensi intradialitik adalah penurunan tekanan darah sistolik menjadi <90

mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih yang disertai

gejala klinis (mual, muntah, keringat dingin, pusing, penurunan kesadaran,

takikardi) atau penurunan mean arterial pressure (MAP) 10 mmHg atau lebih dari

nilai MAP sebelum hemodialysis, yang disertai gejala klinis. (Panduan Tindakan

Keperawatan)

Hipotensi intradialitik dan hipotensi ortostatik setelah prosedur hemodialysis

merupakan factor resiko yang secara signifikan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas pasien dialysis. (Palmer)


Gejala hipotensi intradialitik, yaitu rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah,

sering menguap, berkeringat, gelisah, kram, pusing, pada kondisi lebih berbahaya

dapat terjadi angina, aritmia, penurunan kesadaran, kejang dan cardiac arrest.

(Bradshaw, NKF)

Pasien yang harus dievaluasi seksama karena memiliki resiko mengalami

hipotensi intradialitik adalah: (NKF)

1. Pasien dengan diabetic CKD stage 5

2. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler

3. Pasien dengan status nutrisi buruk dan hipoalbuminemia

4. Pasien dengan neuropati uremik atau disfungsi otonom akibat penyebab

lain

5. Pasien dengan anemia berat

6. Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi tinggi; lebih dari

penambahan berat badan interdialitik yang diharapkan

7. Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis <100 mmHg

8. Pasien usia 65 tahun atau lebih tua.

Hipotensi intradialitik dapat terjadi dengan pola klinis sebagai berikut: (Bradshaw,

Sulowicz)

1. Hipotensi akut (episodic), didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah

sistolik yang tiba-tiba menjadi di bawah 90 mmHg atau setidaknya sebesar

20 mmHg dengan gejala klinis yang menyertai.

2. Rekuren, jika terjadi pada minimal 50% sesi dialysis.

3. Kronik, yaitu hipotensi persisten dimana tekanan darah sistolik

interdialitik tetap berada di bawah 90-100 mmHg.


Mekanisme utama hipotensi terkait hemodialysis berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara cardiac output (disebabkan penurunan volume plasma)

dan gangguan untuk meningkatkan peripheral vascular resistance (PVR). Kunci

utama permasalahan karena kontraksi berlebihan volume plasma akibat

ultrafiltrasi melebihi refilling rate dari kompartemen ekstravaskular ke

kompartemen intravascular. (Enday)

Jumlah cairan interstitial yang memungkinkan untuk vascular refilling

dipengaruhi oleh berat badan kering yang ditentukan untuk pasien. Ketika volume

cairan interstitial sedikit, volume ultrafiltrasi akan menyebabkan hemodinamik

yang tidak stabil. Hal ini menjelaskan timbulnya hipotensi pada pasien yang

menjalani dialysis di bawah berat badan keringnya yang sesungguhnya. Berat

badan kering bervariasi pada setiap pasien dan dapat berfluktuasi akibat penyakit

(misalnya diare, infeksi) dan dengan perubahan hematocrit (sebagaimana juga

dengan eritropoetin). (Palmer)

Etiologi hipotensi terkait hemodialysis dibedakan menjadi etiologi yang sering

dan yang jarang terjadi sebagaimana dijelaskan berikut ini: (Enday, Daugirdas)

1. Etiologi paling sering ditemukan

a. Penurunan volume plasma

- Fluktuasi ultrafiltrasion rate

- Ultrafiltration rate tinggi untuk mengatasi interdialytic gain sangat

berlebihan

- Waktu dialysis yang pendek (ultrafiltration rate tinggi)

- Sasaran untuk mencapai berat badan kering (BBK) terlalu rendah


- Dialisis non volumetric (ultrafiltrasi tidak akurat atau tidak

menentu)

- Konsentrasi Na+ dalam konsentrat dialisat rendah

b. Kegagalan efek vasokontriksi

- Dialisat asetat

- Larutan dialisat terlalu panas

- Makanan selama hemodialysis terlalu banyak protein hewani

- Iskemia jaringan (adenosine-mediated) dipercepat penurunan

hematocrit

- Neuropati otonom (pasien nefropati diabetic)

- Ketidaksanggupan untuk meningkatkan cardiac output disebabkan

penurunan kontraktilitas miokard; seperti pada usia lanjut,

hipertensi aterosklerosis, dan kalsifikasi miokard.

- Pemberian obat antihipertensi

- Anemia

2. Etiologi jarang

a. Kardiovaskular

- Tamponade jantung

- Infark miokard

- Aritmia jantung (atrial fibrilasi)

b. Septikemia

c. Perdarahan tersembunyi

d. Reaksi terhadap dialyzer

- Hemolisis
- Emboli udara

Penggunaan dialisat dengan konsentrasi Natrium yang lebih tinggi (>140 mEq/L)

merupakan alat yang efektif untuk memastikan vascular refilling yang adekuat

dan telah terbukti merupakan terapi dengan efikasi terbaik untuk hipotensi yang

episodic. Pada umumnya konsentrasi Natrium yang tinggi digunakan pada awal

hemodialysis dan dikurangi secara progresif menjadi level isotonic atau bahkan

hipotonik pada akhir prosedur. Metode ini menyebabkan Natrium berdifusi ke

kompartemen darah untuk mencegah penurunan osmolaritas plasma yang terlalu

cepat turun akibat dibuangnya urea dan molekul kecil lainnya. Kemudian pada

sisa waktu prosedur hemodialysis, kadar Natrium diturunkan secara perlahan

sehingga penurunan osmolaritas tidak terlalu cepat. (Palmer)

Ultrafiltration profiling digunakan dengan melakukan ultrafiltration rate yang

tinggi pada awal prosedur, ketika volume cairan interstitial cukup banyak untuk

vascular refilling, kemudian dikurangi secara bertahap untuk mengantisipasi

turunnya volume cairan interstitial. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan ini

efektif jika dikombinasikan dengan Natrium modeling. (Palmer)

Selama prosedur hemodialysis, terjadi penurunan aliran darah pada kulit dan otot

untuk mempertahankan volume sentral plasma, sehingga terjadi peningkatan suhu

tubuh sentral yang menyebabkan vasodilatasi dan hipotensi intradialitik. Sebagian

besar pasien dapat mentolerir suhu dialisat yang sedikit lebih rendah, sehingga

dianjurkan untuk membuat suhu dialisat 34-35°C untuk memperbaiki stabilitas

kardiovaskular dan mengurangi hipotensi intradialitik. (Bradshaw, Palmer)


Clotting Dialyzer

Definisi dan Mekanisme Terjadinya Clotting

Dalam Panduan Tindakan Keperawatan DIalisis (2015), disebutkan bahwa

clotting dialyzer adalah darah yang membeku dan berada pada dialyzer bagian

kompartemen darah. Faktor yang mempengaruhi terjadinya clotting dialyzer

adalah Qb atau blood flow yang rendah, hematocrit yang tinggi, ultrafiltration rate

yang tinggi, resirkulasi dari akses dialysis, infus lipid intradialitik, priming tidak

adekuat, transfusi darah dan produk darah, serta penggunaan drip chambers

(adanya udara, pembentukan buih, turbulensi). (Asep, Daugirdas)

Mekanisme terjadinya clotting akibat darah pasien bersentuhan dengan kanula

intravena, tubing, drip chambers, bagian kepala dialyzer (headers), potting

compound, dan membran dialysis selama prosedur dialysis. Berbagai permukaan

tersebut memicu trombogenisitas dan menimbulkan pembekuan darah, terutama

saat darah berhubungan dengan udara dalam drip chambers. Trombus yang

terbentuk akan menyebabkan sumbatan dan kegagalan fungsi sirkuit

ekstrakorporeal. (Daugirdas)

Penilaian Clotting Pada Sirkuit Dialisis

Cara menilai adanya clotting selama dialysis adalah: (Daugirdas)

1. Inspeksi secara visual. Visualisasi clotting dalam sirkuit terbaik dilihat

dengan cara membilas dengan NaCl fisiologis sesekali. Tanda yang

terlihat, yaitu:

a. Warna darah sangat gelap

b. Bayangan atau garis hitam pada dialyzer


c. Buih dengan bekuan darah pada drip chambers dan venous trap

d. Transducer monitor terisi darah dengan cepat

e. “Bergoyang” (darah pada segmen vena post dialyzer tidak dapat

mengalir ke dalam venous chamber tetapi berbalik kembali)

f. Timbulnya bekuan darah pada kepala dialyzer sisi arteri.

2. Tekanan sirkuit ekstrakorporeal. Tekanan arteri dan vena akan berubah

sebagai akibat terjadinya clotting pada sirkuit ekstrakorporeal, tergantung

lokasi clotting. Clotting pada dialyzer akan ditunjukkan dengan

peningkatan tekanan arteri penurunan tekanan vena, sedangkan bila

clotting terjadi pada bagian venous blood chamber atau bagian distalnya,

maka tekanan arteri dan tekanan vena akan meningkat.

3. Penampakan dialyzer setelah dialysis. Tampak adanya bekuan darah pada

serat dialyzer dan bagian kepala dialyzer.

4. Pengukuran volume residual dialyzer. Pada unit yang menerapkan

penggunaan dialyzer reuse, dapat dilakukan perbandingan volume residual

dialyzer pre dan post dialysis.

Pemberian Antikoagulan

Antikoagulan (heparin dan low molecular weight heparin) mutlak diperlukan

selama sesi hemodialysis untuk mencegah bekuan darah pada sirkuit

ekstrakorporeal. Pada pasien dengan resiko perdarahan terutama pasien usia lanjut

dan diabetes sebaiknya digunakan antikoagulan LMWH. Anti koagulan LMWH

ini dapat menghambat aktivitas factor Xa tanpa pemeriksaan waktu perdarahan

dan waktu pembekuan. (Enday)


Teknik heparinisasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Discontinuous heparinization

Reknik heparinisasi ini cukup sederhana, sering dilaksanakan di lapangan.

Takaran awal (loading dose) 1000-2000 IU heparin ke dalam arterial line

segera setelah konektor dihubungkan dengan dialyzer. Pada pertengahan

sesi hemodialysis (Mid dialysis) diberikan lagi 1000-2000 IU heparin.

Jumlah takaran total antara 4000-5000 IU heparin.

2. Continuous heparinization

Teknik heparinisasi ini menggunakan infusion pump. Takaran awal

(loading dose) cukup 1000-2000 IU heparin, dilanjutkan takaran

pemeliharaan (maintenance dose) 500-1000 IU heparin per jam. Jumlah

takaran total 4000-5000 IU heparin.

3. Teknik modifikasi heparinisasi

Indikasi: pada pasien dengan kecenderungan perdarahan:

a. Gastritis erosive

b. Hematom subdural

c. Perikarditis

d. Trombositopenia dan trombopati

e. Pasca operasi

Beberapa teknik modifikasi heparin adalah:

a. Heparinisasi regional. Jenis ini jarang dilakukan di Indonesia karena

tidak tersedia di pasaran protamine sulfat sebagai antidotum heparin,

sulit ditentukan takarannya dan bahaya reaksi syok anafilaktik.


b. Heparinisasi dengan dosis rendah, manfaat sebagai antikoagulan

kurang efektif dan tidak menjamin resiko perdarahan dari sumber

internal, seperti gastritis erosive dan hematom subdural.

c. Pemberian antitrombotik. Obat-obatan sebagai antitrombotik kuat

(seperti citrate dan prostacycline) tidak menjamin dapat mencegah

kemungkinan perdarahan dan pembentukan bekuan pada dialyzer.

d. Free heparinization. Sering dilakukan di lapangan karena mudah,

praktis; karena cukup dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

Larutan garam fisiologik sebanyak 100 ml setiap 30-40 menit dipakai

sebagai rinsing (flushing) ke dalam sirkuit ekstrakorporeal disertai

peningkatan ultrafiltration rate dengan tetap mengatur transmembran

pressure (TMP) untuk mencegah bahaya overhidrasi.

PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan Hipotensi

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengobatan hipotensi intradialitik: (NKF)

a. Faktor yang berhubungan dengan pasien

- Menilai dan mempertahankan berat badan kering sesuai target

sedapat mungkin.

- Konseling dan edukasi pasien untuk meminimalkan penambahan

berat badan interdialitik.

- Menghentikan obat antihipertensi sebelum menjalani dialysis.

- Menghindari penggunaan long-acting vasodilator.

- Menghindari makan menjelang sesi dialysis.


- Evaluasi echocardiography untuk menyingkirkan penyakit katup

jantung atau pericardial, serta fungsi sistolik dan diastolic ventrikel

kiri.

b. Faktor yang berhubungan dengan dialysis

- Menghidari ultrafiltrasi yang agresif untuk mencapai berat badan

kering yang ditetapkan; pertimbangkan penggunaan isolated UF,

UF modeling, atau Na+ modeling untuk mencapai berat badan

kering.

Manajemen segera dari hipotensi intradialitik: (Oxford)

a. Hentikan ultrafiltrasi

b. Posisikan pasien pada posisi Trendelenberg

c. Berikan bolus NaCl 0,9% sebanyak 250 ml

d. Monitoring tekanan darah

e. Lakukan evaluasi klinis (termasuk obat-obatan) untuk mencegah episode

di kemudian hari.

2. Penatalaksanaan Clotting Dialyzer

a. Turunkan Qb = 100 cc/menit, buka klem infus, tunggu ± 5-10 menit,

bila bekuan darah tidak teratasi maka masukkan kembali darah ke

tubuh pasien.

b. Tekan tombol by pass pada layar, tutup semua klem yang ada

kemudian lepaskan dialyzer dari arteri dan vena line.


c. Ganti dengan dialyzer baru (tuliskan nama, tanggal, nomor medrec),

hubungkan areteri line, vena line dan Hansen conector dengan dialyzer

baru yang sudah disiapkan.

d. Lakukan priming dengan dialyzer baru dengan cairan NaCl 0,9%.

Pastikan dialyzer terisi penuh dengan NaCl 0,9% dan sudah bebas dari

udara, berikan heparin 5000 IU.

e. Jika proses priming telah selesai maka lakukan kembali proses

penyambungan seperti memulai hemodialysis dan buka semua klem.

f. Lanjutkan program hemodialysis.

g. Alat-alat dirapikan.

h. Mencuci tangan.

i. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan. (Panduan

Tindakan Keperawatan)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asep Sumpena, Buku Saku Hemodialisis Panduan Untuk Mahasiswa,

Bandung, 2010.

2. Bradshaw, W., Intradialytic Hypotension: A Literature Review, Renal

Society of Australasia Journal, 10 (1): 22-29, 2014.

3. Daugirdas, J. T., Blake, P. G., Ing, T. S., Handbook of Dialysis, 5th

Edition, Wolters Kluwer Health, Philadelphia, 2015.


4. Enday Sukandar, Nefrologi Klinik, Edisi IV, Pusat Informasi Ilmiah

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung, 2013.

5. National Kidney Foundation (NKF), KDOQI Clinical Practice Guidelines

for Cardiovascular Disease in Dialysis Patients, 2005.

6. Palmer, B. F., Henrich, W. L., Recent Advances in the Prevention and

Management of Intradialytic Hypotension, Journal of the American

Society of Nephrology, 19:8-11, 2008.

7. Steddon, S., Ashman, N., Chesser, A., Cunningham, J., Oxford Handbook

of Nephrology and Hypertension, 2nd Edition, Oxford University Press,

Oxford, 2014.

8. Sulowicz, W., Radziszewski, A., Pathogenesis and Treatment of Dialysis

Hypotension, Kidney International

9. Toni Rahmat Jaelani, Ridha Rahmi T, Dadang Yofan G, Iqbal Firdaus,

Panduan Tindakan Keperawatan Dialisis: Hemodialisis (HD) &

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), IPDI, Bandung,

2015.

Anda mungkin juga menyukai