Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

SYOK HIPOVOLEMIK

Disusun oleh:

Salsabila Azmi Qatrunnada 1102017207

Pembimbing:

dr. Kusmardi S, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PEMBELAJARAN JARAK JAUH (PJJ)

PERIODE 26 APRIL – 30 MEI 2021

SYOK HIPOVOLEMIK
1. Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian
pada homeostasis tubuh yang terganggu seperti, perdarahan yang masif, trauma
atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli
paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik),
tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun
(syok anafilaktik) [3].
2. Definisi
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya curah
jantung (Cardiac Output/CO) (dan oxygen delivery) melalui pengurangan preload.
Selain berkurangnya curah jantung, tipe syok ini dicirikan dengan menaiknya
tahanan vaskular sistemik (Systemic Vascular Resistant/SVR) dan menurunnya
tekanan vena sentral (Central Venous Pressure/CVP) yang berhubungan dengan
berkurangnya volume intravaskular. Setiap proses yang menyebabkan penurunan
volume intravaskular dapat menyebabkan syok ini. Syok ini paling sering terjadi
akibat perdarahan (hemoragik) yang eksternal atau internal dan non-hemoragik
seperti dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat [1,6]
3. Epidemiologi
Walaupun Insidensi syok hipovolemik akibat kehilangan cairan ekstraseluler
sulit diukur, diketahui bahwa syok hemoragik paling sering disebabkan oleh
trauma. Dalam sebuah penelitian, 62,2% dari transfusi masif di pusat trauma
tingkat 1 disebabkan oleh cedera traumatis. Dalam penelitian, 75% produk darah
yang digunakan terkait dengan cedera traumatis. Pasien lansia lebih mungkin
mengalami syok hipovolemik karena kehilangan cairan, dikarenakan lansia
memiliki cadangan cairan yang lebih sedikit [2].

4. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume
intravaskular yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif
atau kehilangan plasma darah [3].

Tabel 1. Penyebab Syok Hipovolemik


Perdarahan
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan Plasma
Luka bakar luas
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraseluler
Muntah (vomitus)
Dehidrasi
Diare
Terapi diuretik yang sangat agresif
Diabetes
Insufisiensi adrenal

5. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal
inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di
bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ [3].
1. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskuler sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan
cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan
oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan
arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga ≤ 60 mmHg, maka
perfusi akan turun dan fungsi sel di semua organ akan terganggu [3].
2. Kardiovaskuler
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontrakilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup (stroke volume). Curah jantung, penentu utama dalam perfusi
jaringan adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung [1,3].

Keterangan:
CO : Cardiac Output (curah jantung)
HR : Heart Rate (laju atau frekuensi denyut jantung)
SV : Stroke Volume (volume sekuncup)
SVR : Systemic Vascular Resistant (tahanan pembuluh darah sistemik)
Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Curah Jantung

Curah jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan dari
fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan
fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang disebut sebagai
oxygen delivery (DO2), dan curah jantung adalah faktor utama yang
menentukan DO2 ini [1].

Keterangan:
DO2 : Oxygen Delivery (kapasitas pengangkutan oksigen ke jaringan)
CO : Cardiac output (curah jantung)
CaO2 : Arterial oxygen content (kandungan oksigen dalam arteri)
PaO2 : Tekanan parsial oksigen arteri
SaO2 : Saturasi oksigen
Gambar 2. Perhitungan Oxygen Delivery dan Hubungannya dengan Curah
Jantung.

Gangguan pada faktor-faktor yang mepengaruhi curah jantung dapat


mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok.
Misalnya kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik [1].

3. Ginjal
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, sistem ginjal merespon perdarahan
dengan menstimulasi peningkatan sekresi renin. Renin mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya diubah menjadi
angiotensin II oleh paru-paru dan hati. Angiotensin II memiliki 2 efek utama,
keduanya membantu membalikkan perdarahan, vasokonstriksi otot polos
arteriol (tahanan arteriol afferen meningkat untuk menahan LFG), dan stimulasi
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Aldosteron bertanggung jawab atas
reabsorpsi natrium dan air yang dimana juga bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi urin [3,5].
4. Neuroendokrin
Sistem neuroendokrin merespons adanya hipovolemia, hipotensi dan hipoksia
dengan menyebabkan peningkatan sirkulasi hormon antidiuretik (ADH). ADH
dilepaskan dari kelenjar pituitari posterior sebagai respons terhadap penurunan
TD (seperti yang dideteksi oleh baroreseptor pada atrium, ventrikel, dan
pembuluh darah paru) dan penurunan konsentrasi natrium (seperti yang
dideteksi oleh osmoreseptor pada hipotalamus anterior, saluran pencernaan
bagian atas dan sistem vena portal). ADH secara tidak langsung menyebabkan
peningkatan reabsorpsi air dan natrium. [3,5,15,16]
5. Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif
yang translokasi di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta
peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan
depresi jantung [3].
Spektrum perubahan fisiologis pada syok mulai dari tahap awal yang
reversible hingga tahap akhir, yang tidak dapat diubah dengan kegagalan
multiorgan dan kematian. Secara umum, syok memiliki tiga tahapan seperti
berikut:
1. Tahapan Pra-syok atau kompensasi, mekanisme kompensasi tubuh untuk
mempertahankan perfusi jaringan seperti (takikardia, vasokonstriksi perifer, dan
perubahan pada tekanan arah sistemik
2. Tahapan Syok, selama tahap ini, sebagian besar tanda dan gejala klasik syok
muncul karena disfungsi organ awal, akibat progres dari tahapan pra-syok
karena mekanisme kompensasi tidak mencukupi lagi.
3. Tahapan Disfungsi organ akhir, Ini adalah tahap terakhir, yang menyebabkan
disfungsi organ yang tidak dapat disembuhkan, kegagalan multiorgan, dan
kematian [12].
4. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-
perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologis yang normal adalah
mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume
darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja saraf
simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stres serta
ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan
cairan interstisial, intraselular dan menurunkan produksi urin [3].

Tabel 2. Gejala Klinis Syok Hipovolemik


Ringan (<20% Sedang (20-40% volume Berat (>40% volume
volume darah/<1000 darah/1000-2000 ml) darah/>2000 ml)
ml)
1. Ekstremitas dingin Sama, ditambah: Sama, ditambah:
2. Waktu pengisian 1. Takikardia 1. Hemodinamik tak
kapiler meningkat 2. Takipnea stabil
3. Diaporesis 3. Oliguria (<0,5 2. Takikardia bergejala
4. Cemas mL/kgBB/jam 3. Hipotensi
4. Hipotensi ortostatik* 4. Penurunan kesadaran
*Hipotensi ortostatik: perubahan frekuensi dan tekanan sistolik dapat terjadi bila
pada posisi berubah dari berbaring ke berdiri, yaitu frekuensi nadi akan menurun
minimal 20 mmHg. Bila terjadi kehilangan darah 15-20%, perubahan posisi
berbaring ke duduk dan setengah duduk akan meningkatkan frekuensi nadi [14].
Kecuali pasien memiliki bukti syok, pengujian ortostatik harus dilakukan untuk
menilai keadaan hipovolemik. Uji kemiringan (tilt test) positif ditentukan dengan
adanya penurunan tekanan darah sistolik 10 mm Hg dan peningkatan denyut nadi
20 denyut/menit saat berdiri dibandingkan saat terlentang. Survei American
Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE) mampu menghubungkan
perubahan ortostatik dengan kejadian kematian. Tingkat kematian saat terjadi
perubahan ortostatik adalah 13,6%, dibandingkan dengan 8,7% jika tidak ada [13].
 Pada Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan
dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang
berbaring.
 Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih
cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal
pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik
dan takikardia.
 Pada hipovolemia berat (>40% volume darah) maka gejala klasik syok akan
muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring,
pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke
susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat.
Penurunan kesadaran adalah gejala penting.
Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah
sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat di
mana kematian mengancam dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya
kerusakan akibat syok maka harus diatasi dengan resusitasi yang agresif dan cepat
[3].
7. Penelusuran Diagnostik
 Anamnesis
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, anamnesis
sangat penting untuk menentukan kemungkinan penyebab dan mengarahkan
pemeriksaan. Syok hipovolemik akibat perdarahan eksternal biasanya terlihat
jelas dan mudah didiagnosis. Perdarahan internal mungkin tidak jelas dan
pasien mungkin hanya mengeluh lemas, lesu, atau adanya penurunan kesadaran.
Gelaja-gejala syok seperti lemas, pusing, dan kebingungan sebaiknya dinilai
pada semua pasien [5].
o Pada pasien trauma:
 Tentukan lokasi nyeri. Tanda-tanda vital pasien sebelum dibawa ke IGD
harus dicatat
 Nyeri di dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan
pada pembuluh darah. Tanda klasik pada aneurisma aorta thoracalis
adalah tearing pain yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta
abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau
nyeri panggul.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal:
 Hematemesis (muntahan seperti kopi)
 Melena (tinja berwarna hitam dengan bau tar)
 Hematochezia (darah segar yang keluar melalui anus )
 Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid yang berlebihan
o Pada pasien perdarahan pada ginekologi, perlu dikumpulkan informasi:
 Periode terakhir menstruasi
 Faktor risiko kehamilan ektopik
 Perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya)
 Alat kontrasepsi pada saluran vagina, dan nyeri.
 Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan untuk
meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna
untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik [5,13].
o Gambaran klinik kehamilan ektopik: nyeri sedikit di perut bagian
bawah yang tidak seberapa, VT: uterus membesar dan lembek
walaupun tidak selaras dengan umur tuanya kehamilan  ruptur
pada tuba tempat lokasi nidasi  Kehamilan ektopik terganggu:
gejala dan tanda khas timbulnya sakit perut mendadak yang
kemudian disusul dengan syok atau pingsan, perdarahan pervaginam
(kematian janin, dan berasal dari kavum uteri) biasanya tidak banyak
dan berwarna cokelat tua, amenorea, VT: nyeri goyang (+), cavum
douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi darah.
Pada ruptur tuba dengan perdarahan yang banyak, TD dapat menurun
dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok
[17].
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus selalu dimulai dengan penilaian jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Setelah dievaluasi dan distabilkan, sistem peredaran
darah harus di evaluasi untuk tanda tanda-tanda dan gejala-gejala syok [5].
 Periksa tanda yang berhubungan dengan dehidrasi: turgor yang menurun,
selaput lendir kering, capillary refill time (CRT) > 2s, pengeluaran urin
yang menurun (<0,5 mL/kgBB/jam), takikardia, ekstremitas dingin, akral
(cuping hidung, cuping telinga, ujung jari tangan dan kaki).
 Hypotension (MAP) <60 mmHg tapi jangan mengandalkan tekanan darah
sistolik sebagai indikator utama syok; praktis ini menghasilkan diagnosis
yang tertunda dikarenakan mekanisme kompensasi dari tubuh yang
mencegah penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan sampai pasien
kehilangan 30% volume darah. Lebih perhatikan pada denyut nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit [5,6].
Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya diduga sebagai penyebab
syok [5,13,18].
 Dada harus diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah,
karena perdarahan yang mengancam jiwa dapat berasal dari miokard,
pembuluh darah, atau laserasi paru.
 Abdomen harus diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi,
yang menunjukkan cedera intraabdominal (UGIB: varises esofagus, robekan
Mallory-Weiss, Malignant, penyakit mukosa yang berhubungan dengan
stres/ulkus stres, Benign tumor lambung, DIC; LGIB: perdarahan
diverticular, colitis iskemik, neoplasia colon, hemoroid)
 Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas (tanda-tanda fraktur
femur).
 Seluruh tubuh pasien harus diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, atau distensi.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar.
Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan [5].
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan speculum. Meskipun, pada
perdarahan di trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double
set up” di ruang operasi. Periksa apakah adanya nyeri pada abdomen, uterus,
atau adneksa [5].
 Pemeriksaan laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis
selanjutnya tergantung pada penyebab dan stabilitas dari kondisi pasien itu
sendiri [5].
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu mengidentifikasi penyebab syok
dan mendeteksi kegagalan organ dini. Pemeriksaan awal untuk pasien syok:
 Hitung darah lengkap [14]
 Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin (Hb), merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari heme dan
globin. Heme tersusun atas 4 cincin pirol dengan atom Fe bervalensi 2
ditengahnya yang berfungsi untuk mengikat oksigen. Sedangkan globin
terdiri dari 4 rantai polipeptida yang dapat terdiri dari rantai α, β, γ dan δ.
Normal kadar Hb pada laki-laki adalah 14-18 gr/dl; pada wanita 12-16
gr/dl; pada anak-anak 10-16 gr/dl; dan pada bayi baru lahir 12-24 gr/dl.
 Hematokrit (Ht)
Hematokrit (Ht) dalah volume semua eritrosit di dalam 100 ml darah dan
dinyatakan dalam % volume darah tersebut. Pemeriksaan ini dapat
menggunakan darah kapiler yang dimasukkan de dalam tabung kapiler
atau darah vena yang dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe, kemudian
dilakukan pemusingan dengan menggunakan alat sentrifuge. Nilai normal
Ht pada laki-laki adalah 40-48 vol%, sedangkan pada perempuan adalah
37-43 vol%. Bila pemeriksaan Ht menggunakan darah vena dan tabung
Wintrobe, maka diantara endapan eritrosit dan plasma didapatkan lapisan
buffy coat yang merupakan lapisan leukosit dan trombosit; tiap 1 mm
buffy coat setara dengan 10.000 leukosit/µl darah. Bila digunakan darah
kapiler dan tabung kapiler, maka buffy coat ini akan sulit dinilai.
 Hitung jumlah sel darah
 Jumlah eritrosit, dihitung secara manual dengan mengencerkan darah
200 kali dengan larutan Hayem di dalam pipet eritrosit, kemudian
dimasukkan ke dalam kamar hitung pada bidang seluas 0,2 mm²
dengan tinggi 0,1 mm, sehingga didapatkan faktor konversi:
1 mm³/0,02 mm³ x 200 = 10.000
Normal jumlah eritrosit adalah 4-5 juta sel/mm³ darah. Jumlah eritrosit
menurun terdapat pada anemia, sedangkan bila jumlah eritrosit
meningkat disebut polisitemia.
 Jumlah leukosit, dihitung secara manual, dengan mengencerkan darah
20 kali dengan larutan Turk didalam pipet leukosit, kemudian
dimasukkan ke dalam kamar hitung dan sel dihitung pada ruangan
seluas 4 mm² dengan tinggi 0,1 mm sehingga didapatkan faktor
konversi:
1 mm³/volume kamar x pengenceran
 1 mm³/0,4 mm³ x 20 = 50
Normal jumlah leukosit adalah 5.000 – 10.000 sel/mm³. Bila jumlah
leukosit meningkat disebut leukositosis dan bila jumlah leukosit
menurun disebut leukopenia.
 Jumah trombosit, dihitung secara manual, dengan cara mengencerkan
darah 200 kali dengan larutan Rees & Ecker didalam pipet eritrosit,
kemudian dimasukkan kedalam kamar hitung pada bidang seluas 1
mm² dan tinggi 0,1 mm, sehingga didapatkan nilai konversi 2.000 kali.
Normal jumlah trombosit adalah 200.000 – 500.000 sel/mm³ darah.
Bila jumlah trombosit meningkat, disebut trombositosis, dan bila
jumlah trombosit menurun disebut trombositopenia.
 Nilai eritrosit rata-rata
MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular
Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
 Hitung jenis
Basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit, monosit
 Laju Endap Darah (LED)
Laju endap darah (LED) adalah kecepatan darah mengendap setelah
diberi anti koagulans dan diletakkan pada suatu tabung yang berdiri tegak
dan diukur tinggi plasma pada waktu tertentu (misalnya 60 menit atau
120 menit). Laju endap darah dapat diukur dengan 2 cara, yaitu cara
Westergren dan Wintrobe. Pada cara Westergren, digunakan
antikoagulans Natrium sitrat 3,8%, sedangkan pada cara Wintrobe,
digunakan antikoagulans oksalat seimbang. Pada cara Westergen
digunakan tabung berdiameter 2,5 mm dengan panjang 300 mm,
sedangkan pada cara Wintrobe digunakan tabung bediameter 2,5 mm
dengan panjang 110 mm. Nilai normal LED pada laki-laki adalah 0-10
mm/jam, sedangkan pada perempuan 0-15 mm/jam (cara Westergren)
atau 0-20 mm/jam.
 Hemostasis (PT/INR, aPTT) [19].
 Pemeriksaan Protrombin Time (PT)
 Prinsip: Mengukur lamanya waktu terbentuknya bekuan setelah
plasma sitrat ditambahkan faktor jaringan (tromboplastin) dan
kalsium. Rekalsifikasi plasma dikarenakan adanya faktor jaringan,
menaktivasi faktor Xa, terbentuknya trombin dan akhirnya bekuan
fibrin yang tidak larut.
 Prosedur:
A. Pembuatan Plasma
1. Kedalam tabung sentrifuge masukkan 0,5 ml Na. Citrat 3,8 %.
2. Darah vena 4,5 mL masukkan ke dalam tabung yang berisi Na
Citrat lalu homogenkan dengan adekuat.
3. Putar pada sentrifuge selama 20 menit pada 3000 rpm
4. Pisahkan plasma, masukkan kedalam tabung dan kalau plasma
tidak segera diperiksa masukkan kedalam lemari es.
B. Pembuatan Larutan Tromboplastine
1. Satu vial RGT dicampur dengan satu vial BUF, dihomogenisasi
lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar.
2. Larutan siap digunakan untuk pemeriksaan.
C. Pemeriksaan PT
1. Tabung reaksi 10 x 200 mm dan RGT dimasukkan ke dalam
waterbath dengan suhu 37°C hingga hangat.
2. Kontrol/plasma dimasukkan sebanyak 100 uL kedalam tabung
tadi lalu diinkubasi selama tiga menit pada suhu 37°C.
3. Reagensia yang telah dihangatkan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, bertepatan dengan masuknya reagensia, stopwatch
dinyalakan.
4. Biarkan selama 10 detik, kemudian dicoba apakah sudah ada
fibrin dengan memiringkan tabung reaksi
5. Hentikan stopwatch pada saat terdapat benang fibrin. Lamanya
waktu terbentuknya benang fibrin disebut Masa Protrombin
plasma.
 Interpretasi: Nilai normal : 10 - 14 detik.
Hasil pemeriksaan PT dapat dilaporkan dalam bentuk detik, %, ratio
dan INR.
 INR (International Normalized Ratio) adalah waktu Protrombin Time
(PT) yang dihitung sebagai rasio PT pasien dengan kontrol PT yang
distandarisasi untuk potensi reagen tromboplastin yang dikembangkan
oleh WHO, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
INR = Patient PT ÷ Control PT
Prosedur: Direkomendasikan oleh Clinical and Laboratory Standard
Institutes (2017) bahwa spesimen darah untuk pengujian INR / PT di
laboratorium harus diambil dari darah vena dan langsung dimasukkan
ke dalam tabung dengan bagian atas warna biru muda. Tabung tersebut
berisi antikoagulan. Antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat
3,2%. Tabung harus diisi hingga 90% dari volume tabung. Tabung
tersebut kemudian harus dibalik beberapa kali, dengan hati-hati dan
secepat mungkin, untuk pencampuran yang benar dengan
antikoagulan. Total waktu antara pengumpulan sampel dan pengujian
tidak boleh melebihi 24 jam.
Interpretasi: Untuk pasien normal yang tidak menggunakan terapi
antikoagulan, INR biasanya 1,0. Untuk pasien yang menjalani terapi
antikoagulan, INR terapeutik berkisar antara 2,0 hingga 3,0. Kadar
INR di atas 4,9 dianggap nilai kritis dan meningkatkan risiko
perdarahan.
 Pemeriksaan Activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) [20].
 Prinsip: Tes aPTT dilakukan dengan menambahkan reagensia aPTT
yang mengandung aktivator plasma dan phospolipid ke dalam sampel.
Phospholipid berfungsi sebagai pengganti trombosit. Campuran larutan
kemudian diinkubasi, lalu dikalsifikasi dengan calsium chloride.
Waktu terbentuknya bekuan dicatat sebagai aPTT.
 Prosedur:
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Reagensia 2 dihangatkan pada suhu 37°C.
3. Bahan kontrol/plasma dimasukkan kedalam kuvet sebanyak 100 μL.
4. Reagensia 1 dihomogenisasi lalu dipipet sebanyak 100 μL lalu
dimasukkan ke dalam kuvet, dihomogenkan lalu diinkubasi selama
37°C.
5. Tekan tombol baca, ketika pada layar terlihat tulisan ready maka
reagensia 2 yang telah dihangatkan ditambahkan ke dalam kuvet
sebanyak 100μL.
6. Pemeriksaan bahan kontrol dan sampel dilakukan duplo. Hasil yang
dilaporkan adalah nilai rata-rata dari pemeriksaan tersebut.
 Interpretasi: Nilai normal 22 – 27,9 detik (dapat bervariasi antar
laboratorium).
 Elektrolit (natrium, kalium, klorida, magnesium, fosfat, laktat)
 Tes fungsi ginjal (BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin), Tes fungsi
hati, biomarker jantung, dll (seperti yang ditunjukkan oleh keadaan klinis
pasien)
 Urinalisis
 Pemeriksaan makroskopik (jumlah, warna, kejernihan, berat jenis, bau,
reaksi dan pH.
 Pemeriksaan kimia (protein, glukosa, benda keton, bilirubin, darah samar)
 Pemeriksaan dengan carik celup
 Pemeriksaan mikroskopik (sel epitel, leukosit, eritrosit, silinder, kristal)
 Pemeriksaan bakteriologik
 Analisis gas darah [21]
"Analisis gas darah" dapat dilakukan pada darah yang diperoleh dari sistem
peredaran darah (arteri, vena, atau kapiler). Untuk tes Arterial Blood Gas
(ABG) eksplisit menguji darah yang diambil dari arteri. Analisis ABG
menilai tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbon dioksida (PaCO2)
pasien. PaO2 memberikan informasi tentang status oksigenasi, dan PaCO2
memberikan informasi tentang status ventilasi (gagal napas kronis atau
akut). PaCO2 dipengaruhi oleh hiperventilasi (pernapasan cepat atau dalam),
hipoventilasi (pernapasan lambat atau dangkal), dan status asam basa.
Pengencer yang dipakai dalam pemeriksaan AGD adalah dry heparin
balance karena tidak mengganggu elektrolit.
 Prosedur: Setelah sampel diperoleh, sampel darah arteri harus ditransport
dalam freezer dan dianalisis sesegera mungkin untuk mengurangi
kemungkinan hasil yang salah. Penganalisis gas darah otomatis biasanya
digunakan untuk menganalisis sampel gas darah, dan hasilnya diperoleh
dalam 10 hingga 15 menit
 Komponen-komponen ABG:
 pH = mengukur keseimbangan asam-basa darah (7.35 – 7.45)
 PaO2 = mengukur tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (75 –
100 mmHg)
 PaCO2 = mengukur tekanan parsial karbondioksida (35 – 45 mmHg)
 HCO3 = konsentrasi bikarbonat yang dalam darah arteri (22 – 26
mEq/L)
 Base deficit = dihitung kelebihan atau kekurangan basa relatif dalam
darah arteri (-4 to +2)
 SaO2 = saturasi oksigen arteri (95 – 100%)
 Laktat darah
Hiperlaktemia (laktat darah >2 mEq/L), merupakan pertanda terjadinya
respirasi anaerob akibat buruknya oksigenasi jaringan. Kadar laktat darah
berbanding lurus dengan jumlah darah yang hilang dan merupakan indikator
ke arah kefatalan. [4,5,6,7,11,14].
 Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiogram
Untuk mengevaluasi pasien dengan syok dengan kemungkinan adanya
bradikardia atau takikardia aritmia yang bisa menyebabkan menurunnya
curah jantung, Infark Miokard ST elevasi (STEMI) mungkin dapat
ditemukan.
 Ekokardiografi
Digunakan untuk mengkategorikan jenis syok. Pemeriksaan ekokardiografi
dasar untuk pasien syok adalah echocardiography transthoracic (TTE).
Protokol standar seperti RACE protocol (rapid assessment for cardiac
echocardiography) sudah dikenalkan untuk digunakan dalam penilaian
fungsi jantung. Fokus dalam penilaian terhadap fungsi ventrikel kiri,
ventrikel kanan, dan perikardium [6].
Diagnosis Banding
 Femoral fractures in emergency medicine
 Gastrointestinal bleeding
 Pelvic fracture in emergency medicine
 Pregnancy trauma
 Peptic ulcer disease
 Placental previa imaging
 Thoracic aneurysm [8].
8. Tatalaksana
Primary survey
Penilaian awal kegawatdaruratan adalah suatu tindakan pengkajian kondisi medis
pasien yang dilakukan pertama kali untuk menentukan apakah pasien dalam
keadaan gawat darurat dan dapat meninggal bila penyebab dan kondisi pasien
tidak segera dikelola dengan cepat dan tepat. Penilaian ini hendaknya dilakukan
kurang dari 30 detik [14].
Sumber: [11]

Penatalaksanaan Umum Syok


Tujuan utama tatalaksana syok adalah mengembalikan oksigenasi dan suplai
substrat yang adekuat ke sel secepat mungkin dan meningkatkan utiliasi oksigen
dan metabolisme sel
 Nilai keadaan ABCDE pasien (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure), deteksi keadaan syok dan jenis syok, dan aktifkan tim resusitasi
(menyiapkan obat-obat dan alat-alat resusitasi termasuk defibrilator).
 Lakukan look, listen, and feel tidak lebih dari 10 detik, bila terdapat henti
jantung atau pasien tidak bernafas normal segera lakukan basic life support
dimulai dengan kompresi dada yang kemudian dikombinasi dengan bantuan
pernafasan termasuk intervensi pada proses pernafasan seperti intubasi
endotrakeal
 Segera dapatkan akses vaskular, paling baik dilakukan dengan memasukkan
dua kateter intravena ukuran besar (bisa dengan ukuran yang kecil) sebelum
mempertimbangkan jalur vena sentral
 Loading cairan cepat disesuaikan dengan penilaian awal jenis syok. Pada syok
hipovolemik dapat diberikan 2-4 liter cairan kristaloid dalam 20-30 menit.
 Nilai segera tanda vital setelah loading cairan. Bila tanda vital stabil, lakukan
definite workup. Bila tanda vital belum stabil (Tekanan darah sistolik < 90
mmHg dan frekuensi nadi masih > 120 kali per menit), sebaiknya dilakukan
pemasangan kateter vena sentral.
 Bila tekanan vena sentral meningkat mengindikasikan disfungsi jantung atau
tamponade. ECG sebaiknya segera dilakukan.
 Bila tekanan vena sentral < 15 dan tanda vital belum stabil, resusitasi cairan
dapat dilanjutkan dengan kristaloid ± darah untuk mencapai hematokrit ≥ 30
dan tekanan vena sentral ≥ 15. Bila target tercapai dan tanda vital membaik,
lakukan definite workup.
 Bila tanda vital tidak membaik atau bahkan terjadi perburukan asidosis setelah
melanjutkan resusitasi cairan, dianjurkan untuk memasang kateter arteri
pulmonalis untuk tatalaksana selanjutnya.
 Kateter kandung kemih dipasang untuk memudahkan penilaian produksi urin.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urine
minimal sekitar 0,5 – 1 cc/kgBB/jam. Dekompresi lambung dengan NGT dapat
mengurangi risiko aspirasi dan komplikasi akibat dilatasi lambung lainnya.
 Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan
crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, pemeriksaan
toksikologi dan tes kehamilan pada wanita subur. Analisa gas darah arteri juga
harus dilakukan pada saat itu. Foto toraks juga harus diambil setelah
pemasangan kateter vena sentral.
 Definite workup mencakup tatalaksana lanjutan sesuai etiologi syok.
Penatalaksanaan khusus syok hipovolemik
 Instabilitas hemodinamik yang berlanjut pada keadaan syok hipovolemik
menunjukkan bahwa syok belum sepenuhnya teratasi dan atau terdapat
kehilangan darah atau cairan signifikan yang berlanjut. Kehilangan darah yang
berlanjut dengan Hb yang turun dibawah 10 g/dL harus segera diatasi dengan
transfusi darah.
 Pada keadaan hipovolemia yang berat atau berlanjut, dukungan obat-obat
inotropik dengan vasopressin (noradrenalin) mungkin dibutuhkan untuk
menjadi performans ventrikular yang adekuat setelah volume darah dicukupi
dahulu.
 Bisa diberikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas ampisilin 500 mg
Jenis-jenis cairan [14]:
Kristaloid
a. Cairan NaCl 0,9% (Normal saline), mengandung 154 mEq/L Na+ dan Cl-;
dengan Ph 5,7 dan osmolalitas 308 mOm/L. Pemberian NaCl 0,9%, terutama
dalam jumlah yang besar berisiko terhadap timbulnya asidosis metabolik
hiperkloremik. Keadaan ini tidak memiliki risiko yang bermakna, tetapi dapat
membingungkan pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik.
b. Cairan ringer laktat, merupakan cairan yang mengandung ion Ca++, K+ dan
laktat. Laktat berfungsi menangkap proton yang akan dibawa ke hati dan
dimetabolisme menjadi air dan CO2. Ringer laktat dapat berfungsi sebagai
penyangga terhadap asidosis di dalam darah. Pemberian ringer laktat pada
pasien insufisiensi renal berisiko terhadap timbulnya hiperkalemia. Ringer
laktat juga dikontraindikasikan, bila diberikan bersama produk komponen
darah, karena ion Ca++ di dalamnya akan mengikat antikoagulan sehingga
dapat mencetuskan timbulnya bekuan darah.
Koloid
a. Albumin, merupakan derivat plasma manusia. Pemberian albumin 25% dapat
menarik cairan fari ruang interstisial ke dalam pembuluh darah, sehingga dapat
meningkatkan volume plasma 4-5 kali dari volume albumin yang diinfuskan.
b. Hydroxyethyl starch, merupakan koloid sintetik dari hidrolisis amilopektin.
Larutan ini tidak boleh diberikan pada penderita sepsis. Selain itu larutan ini
juga dapat mengganggu fungsi ginjal, menyebabkan koagulopati dan
perdarahan akibat penurunan FVII dan F von Willebrand, serta gangguan fungsi
trombosit.
c. Dekstran, merupakan polimer glukosa, dapat meningkatkan volume plasma,
dan juga digunakan untuk menurunkan viskositas darah. Dekstran dapat
menyebabkan gangguan fungsi ginjal, reaksi anafilaktoid dan perdarahan akibat
penghambatan produksi FVII dan F von Willebrand, serta meningkatkan
fibrinolisis. Dekstran juga dapat mengganggu cross-match pada waktu akan
transfusi darah.
Insensible Fluid Loss (dari indonesia)
Banyaknya cairan tubuh yang hilang setiap hari yang tidak mudah diukur (sistem
pernafasan, kulit, dan air dalam feses yang dikeluarkan). Jumlah pastinya tidak
dapat diukur tetapi diperkirakan antara 40 – 800 mL/hari dari BB pada rata-rata
orang dewasa tanpa penyakit komorbid. Kehilangan total cairan sekitar 600 – 800
mL/hari sama dengan kehilangan 30 – 50% semua cairan dalam tubuh, bergantung
pada tingkat air yang dikonsumsi. Dengan demikian kehilangan cairan yang tidak
dapat diukur merupakan komponen penting dari keseimbangan cairan dan perlu
dipantau secara rutin [8].
Kehilangan cairan yang tidak disadari menjadi perhatian saat mengevaluasi pasien.
Pasien mungkin menunjukkan tanda-tanda nonspesifik dan spesifik seperti selaput
lendir kering, turgor kulit yang buruk, pengisian kapiler yang buruk, takikardia,
dan dispnea. Penyebab dari kehilangan cairan yang tidak disadari mungkin
disebabkan oleh banyak diagnosis, termasuk pembedahan, gangguan pernapasan,
dehidrasi, luka bakar, metabolisme, dan etiologi vaskular. Meskipun temuan dari
pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan adanya hipovolemia, penyebabnya sulit
diketahui tanpa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang tepat [8].

Tabel 1. Kehilangan Air Per Hari (ml) [3].


Suhu normal Cuaca Latihan berat dan
(lingkungan) panas lama
Insensible loss:
Kulit 350 350 350
Saluran napas 350 250 650
Urin 1400 1200 500
Keringat 100 1400 5000
Feses 100 100 100
Total 2300 3300 6500

Rumus IFL (Insensible Fluid Loss)


(15 x BB)
IFL =  cc/jam
24 jam
(kenaikan suhu)  ¿ ¿+ IFL normal
Volume air yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus:
Na plasma
Defisit cairan tubuh total = 0,4 x BB ( )+ IFL + volume urin 24 jam.
140−1
Kecepatan pemberian air tidak boleh menyebabkan penurunan kadar natrium
plasma >0,5 mEq/jam. Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya
dehidrasi [9].
Transfusi darah
Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin ≤10 g/dL atau
tidak adanya perdarahan aktif <7 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi.
Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan
telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat
digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau tipe darah O [3,6].
Sel darah merah/Packed Red Cell (PRC)
Berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Didapat dengan
memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel
darah merah dengan nilai hematokrit 60 – 70%. Volume diperkirakan 150 – 300
mL tergantung besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel darah
merah 100 – 200 mL. Disimpan pada suhu 1°- 6°C. Bila menggunakan
antikoagulan Citrate Phosphate Dextrose Adenin (CPDA) maka masa simpan sel
darah merah 35 hari dengan nilai hematokrit 70 – 80%, sedangkan bila
menggunakan antikoagulan Citrate Phospate Dextrose (CPD) masa simpan dari sel
darah merah ini 21 hari.
 Jumlah transfusi PRC: BB (kg) x 4 x (Hb yang normal – Hb pasien)  mL
 Manfaat pemberian: pada pasien dewasa, 1 unit PRC akan meningkatkan kadar
Hb sekitar 1g/dL atau hematokrit sebesar 3-4% [22].
 Cara pemberian [22]:
 Harus cocok golongan ABO dan Rhesus dengan pasien
 Gunakan blood set baru dengan filter terintegrasi yang berukuran 170 – 200
μ.
 Darah harus mulai ditransfusikan dalam waktu paling lama 30 menit setelah
dikeluarkan dari suhu optimal
 Jangan ditambah dengan obat lain ke dalam kantong darah
 Selesaikan transfusi dalam waktu maksimal 4 jam setelah dimulai
 Ganti blood set (tranfusion set) setiap 12 jam atau setelah pemberian 4
kantong darah.
 Untuk memperlancar aliran, dapat dimasukkan bersama larutan salin normal
(NaCl 0,9%) sebanyak 50-100 ml menggunakan blood set sebelum transfusi
dilakukan sampai kantong darah datang.
Trombosit concentrate (TC)
Berisi trombosit , beberapa leukosit dan sel darah merah serta plasma. Diperoleh
dengan cara pemutaran (sentrifugasi) darah lengkap segar atau dengan cara
tromboforesis. Satu kantong trombosit yang berasal dari 450 mL darah lengkap
dari seorang donor berisi kira-kira 5,5 x 10ⁱ⁰ trombosit dengan volume sekitar 50
mL. Satu kantong trombosit yang diperoleh dengan cara tromboferesis seorang
donor darah berisi sekitar 3 x 10ⁱⁱ trombosit, setara dengan 6 kantong trombosit
yang berasal dari donor darah biasa. Tergantung dari jenis mesin yang dipakai,
volum berkisar antara 150 – 400 mL. Dapat disimpan pada suhu 20° - 24°C
dengan kantong darah yang biasa yang diletakkan pada rotator/agitator yang selalu
berputar dapat disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong darah khusus
dengan cara penyimpanan yang sama trombosit dapat disimpan selama 5 hari.
 Indikasi: kasus perdarahan karena trombositopenia (trombosit <50.000/mL).
Juga diindikasikan pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/mL.
 Dosis Pemberian: dosis yang biasanya dipakai pada perdarahan yang
disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit TC/10 kg BB, biasanya 5-7
kantong untuk pasien dewasa. Penghitungan peningkatan jumlah trombosit
yang dikoreksi (Corrected Count Increment = CCI) dapat dihitung lebih akurat
dengan memakai rumus:
CCI = ( Post tx plt ct ) – ( Pre tx plt ct ) x BSA
( Plt transfused x 10ⁱⁱ )
 Post tx: pascatransfusi
 Pre tx: pratransfusi
 BSA: body surface area (luas permukaan tubuh).
Keberhasilan transfusi trombosit dapat dipantau dengan menghitung jumlah
trombosit (CCI) 1 jam pasca transfusi dimana CCI >7,5 – 10 x 10⁹/L atau CCI
>4,5 x 10⁹/L yang diperiksa 18 – 24 jam pasca transfusi.
 Manfaat Pemberian: 1 kantong pada pasien dengan berat badan 70 kg akan
meningkatkan jumlah trombosit 5.000 µL
 Cara pemberian:
 Harus ditransfusikan dalam waktu 20 menit
 Tidak perlu dilakukan uji silang serasi
Plasma konsentrat dan kriopresipitat [14]
Transfusi plasma konsentrat diberikan pada kasus-kasus perdarahan (misalnya
karena trauma, DIC) dimana terdapat bukti laboratoris yang menunjukkan adanya
defisiensi faktor-faktor koagulasi, yang ditandai dengan pemanjangan masa
protrombin (PT) atau masa tromboplastin parsial (aPTT) > 1,5 normal.
Bila pada kasus perdarahan terdapat pemanjangan PT, maka diberikan
transfusi plasma konsentrat (ABO kompatibel) 15 mL/kgBB.
Bila pada kasus perdarahan terdapat pemanjangan aPTT, diberikan faktor VIII
konsentrat dan plasma konsentrat atau 10-15 unit kriopresipitat (yang mengandung
Faktor VIII dan fibrinogen.
 Fresh Frozen Plasma (FFP)
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Plasma segar
beku ini berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen
dan protein plasma. Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian
dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah dari donor, disimpan
pada suhu -18°C atau lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun. Volume
sekitar 200 -250 ml.
 Indikasi: untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak
tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat
 Dosis dan cara pemberian: diberikan dalam 6 jam setelah pencairan, dengan
memakai saringan filter standar. Plasma harus cocok golongan ABO-nya
dengan sel darah merah pasien dan tidak perlu uji silang. Jika plasma
diberikan sebagai faktor koagulasi dosisnya adalah 10 – 20 ml/kg (4-6 unit
untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20 – 30 %, dapat
pula meningkatkan faktor VIII 2% (1 unit/kg)
 Kriopresipitat
Dibuat dengan mencairkan plasma segar beku (FFP) pada suhu 4°C selama 12-
14 jam atau pada circulating waterbath 4°C selama 75 menit dan kemudian
memisahkan komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut dengan
cara pemutaran. Komponen tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan adalah
-18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun dengan volum sekitar 10-
15 ml. Berisikan faktor VIII 80 – 120 unit, 150 – 250 mg fibrinogen, sekitar 40
– 70 % faktor Von Willebrand, 20 – 30 % faktor XIII.
 Indikasi: pasien dengan kekurangan F VIII, bila F VIII pekat tidak tersedia,
kekurangan F XIII, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien penyakit Von
Willebrand.
 Dosis dan cara pemberian: harus dicairkan terlebih dahulu dengan
menempatkannya dalam waterbath bersuhu 30 - 37°C. harus diberikan pada
pasien dalam waktu 6 jam setelah pencairan. Plasma yang diberikan
hendaknya sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, uji
silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan dengan saringan/filter standar
 Konsentrat Faktor VIII (Factor VIII Concentrate)
Dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi melalui teknologi
rekombinan. Dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma yang dikumpulkan
dan dibekukan segera setelah pengambilan darah. Semua produk dibuat steril,
stabil, murni dan beku kering.
 Indikasi: untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan pada Hemofilia A
 Dosis dan cara pemberian: banyaknya aktivitas F VIII koagulan digunakan
dengan mempergunakan International Units (IU). Satu IU adalah jumlah
aktivitas F VIII koagulan dalam 1 mL plasma normal. Dosis permulaan
untuk mencapai kadar 30-100% dihitung dengan rumus:
(Plasma Volume (PV mL) = 40 mL/kgBB
F VIII yang diinginkan (unit) = [(%)PV x [kadar yang diinginkan (%) – kadar sekarang
100
Cara lain adalah: tiap unit F VIII/kgBB akan meningkatkan 2% (0,02
IU/ml). Pemberiannya dapat melalui infus dengan menggunakan
saringan/filter darah standar atau dengan jarum suntik dengan filter yang
telah tersedia bersama sediaannya.
 Konsentrasi Faktor IX (Factor IX Concentrate)
Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung selain F IX juga
sejumlah F II, VII, X dan beberapa protein. Isi dari F VII dalam beberapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing-masing faktor yang terkandung dalam
sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 1-
5 IU F IX/mg protein
 Indikasi: digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang
dikenal sebagai hemofilia B.
 Dosis dan cara pemberian: 1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia.
Dosis yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan pasien. Setiap
unit F IX yang diinfuskan per kgBB akan meningkatkan 1% F IX.
 Evaluasi/hasil
 Konfirmasikan bahwa penyebab volume cairan ekstraseluler defisit (ECFVD)
telah dikontrol atau teratasi.
 Tetap bebas dari tanda dan gejala kehilangan cairan tubuh, turgor kulit
membaik, selaput lendir lembab, tanda-tanda vital dalam kisaran normal, dan
berat badan meningkat.
 Pengeluaran urin dalam kadar normal: 600–1400 mL/24 jam.
 Mengevaluasi hasil uji laboratorium (osmolalitas serum dan elektrolit berada
dalam kisaran normal [7].

Terapi nutrisi
Pada pasien kritis, pemberian nutrisi hendaknya diberikan dini 24-48 jam pertama
dan tidak saat pasien masih berada dalam fase syok/resusitasi. Kebutuhan kalori
diberikan bertahap untuk menjaga toleransi penerimaan usus pada pemberian
nutrisi enteral dan untuk menjaga agar keseimbangan nitrogen tidak terlalu negatif
pada pemberian nutrisi parenteral. Pada hari pertama dapat diberikan 1/3
kebutuhan kalori, hari kedua ½ - 2/3 kalori, dan pada hari ketiga dapat diberikan
nutrisi penuh [14].
8.1 Penulisan Resep
Resep ini ditulis untuk penanganan pasien syok hipovolemik. Pemberian NaCl
0,9 % sebanyak 2 L dalam 30 menit pertama, jika hb ≤10 g/dL atau tidak adanya
perdarahan aktif <7 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi packed red cel
type O dan jika setelah volume darah dicukupi, tapi hipovolemia makin berat
dapat diberikan adrenalin. Bisa diberikan ampisilin antibiotik broad spectrum jika
ada tanda-tanda infeksi.

9. Komplikasi
Kerusakan organ dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal
(komplikasi yang penting) [3].
 Disfungsi dan atau gagal multi organ
 Sekuele akibat gagal multi organ atau akibat hipoperfusi yang berkepanjangan
[14].
10. Prognosis
Syok hipovolemik dengan perdarahan post trauma yang tidak terkontrol
merupakan penyebab utama kematian 5 juta pasien trauma di seluruh dunia dan
prognosis sangat bergantung pada derajat beratnya kehilangan volume cairan dan
kecepatan diagnosis dan tatalaksana syok [5,14].
Ad vitam: Dubia ad malam
Ad functionam: Dubia ad malam
Ad sanationam: Dubia ad malam

DAFTAR PUSTAKA

1. Hardisman (2013) ‘Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok


Hipovolemik : Update dan Penyegar’, Kesehatan Andalas, 2(3), pp. 178–182.
Available at: http;//jurnal.fk.unand.ac.id.
2. Taghavi, S. and Askari, R. (2020) ‘Hypovolemic Shock’, in StatPearls. StatPearls
Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513297/#_article-28977_s13_.
3. Wijaya, I. P. (2017) ‘Syok Hipovolemik’, in Setiati, S. et al. (eds) Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. VI. Jakarta Pusat: InternaPublishing, pp. 4125–4126.
4. Richards, J. B. and Wilcox, S. R. (2014) ‘Diagnosis And Management Of Shock
In The Emergency’, 16. Available at: www.ebmedicine.net.
5. Kolecki, P. (2016) ‘Hypovolemic Shock’. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/760145-overview.
6. Jameson et al. (2018) Harrison’s Priciples of Internal Medicine. 20th edn.
7. Kee, J. L., Paulanka, B. J. and Polek, C. (2010) Handbook of Fluid, Electrolyte,
and Acid-Base Imbalances. 3rd edn.
8. McNeil-Masuka, J. and Boyer, T. J. (2020) ‘Insensible Fluid Loss’, in StatPearls.
Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544219/#__NBK544219_dtls__.
9. UPK-PKB FKUI (2017) Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa.
3rd edn. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
10. Jain, A. R. (2019) ‘Hypovolemic shock - A review’, (July 2018).
11. Pascoe, S. and Lynch, J. (no date) Management of Hypovolaemic Shock in the
Trauma Patient.
12. Koya, H. H. and Paul, M. (2020) ‘Shock’, in StatPearls. StatPearls Publishing
LLC. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531492/.
13. Upchurch, B. R. (2019) ‘Upper Gastrointestinal Bleeding (UGIB) Clinical
Presentation’. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/187857-
clinical#b1.
14. Setyoahadi, B. dkk. 2012. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
(Emergency in Internal Medicine). Volume I. Jakarta : Internal Publishing.
15. Armstrong, M., Kerndt, C. C. and Moore, R. A. (2021) ‘Physiology,
Baroreceptors’, in StatPearls. StatPearls Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538172/.
16. Koshy, R. M. and Jamil, R. T. (2020) ‘Physiology, Osmoreceptors’, in
StatPearls. StatPearls Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557510/.
17. Prawirohardjo, S. (2018) ‘Kehamilan Ektopik’, in Ilmu Kebidanan. 4th edn.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 478–479.
18. Cagir, B. (2019) ‘Lower Gastrointestinal Bleeding Clinical Presentation’.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/188478-clinical.
19. Durachim, A. and Astuti, D. (2018) HEMOSTASIS. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Available at: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Hemostasis_SC.pdf.
20. Shikdar, S., Vashisht, R. and Bhattacharya, P. T. (2020) ‘International
Normalized Ratio (INR)’, in StatPearls. StatPearls Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507707/.
21. Castro, D., Patil, S. M. and Keenaghan, M. (2021) ‘Arterial Blood Gas’, in
StatPearls. StatPearls Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536919/.
22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2015) Permenkes RI Nomor 91 Tahun
2015 (Standar Pelayanan Transfusi Darah). Available at:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._91_ttg_Standar_Tr
ansfusi_Pelayanan_Darah_.pdf.

Anda mungkin juga menyukai