Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Syok merupakan gangguan hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran


oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan
tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian
ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disbabkan oleh
bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun
imunologis. (Hardisman, 2013)
Secara umum syok digolongkan menjadi empat, yaitu: (1) Syok hipovolemik (dari
kehilangan cairan internal maupun eksternal), (2) Syok kardiogenik (e.g AMI, kardiomiopati,
miokarditis, dan aritmia), (3) Syok obstruktif (e.g emboli paru, tamponade jantung, atau
pneumothorax), dan (4) Syok distributif (e.g sepsis, anafilaksis). (Vincent & Backer, 2013)
Syok merupakan kondisi yang sering ditemui pada pasien kritis yang mana terjadi
pada sepertiga pasien yang dirawat di ICU. Syok sepsis, salah satu bentuk syok distributive,
merupakan jenis syok yang paling sering ditemui pada pasien di ICU, diikuti syok
kardiogenik, syok hipovolemik, dan syok distributive. (Vincent & Backer, 2013)
Penanganan pasien syok memerlukan kerjasama multidisiplin berbagai bidang ilmu
kedokteran dan multi sektoral. Langkah awal penatalaksanaan syok adalah mengenal
diagnosis klinis secara dini, oleh karena manajemen syok harus memperhatikan The Golden
Period, yaitu jangka waktu dimana hipoksia sel belum menyebabkan cummulative oxygen
deficit. Secara empiris satu jam pertama sejak onset dari syok adalah batas waktu maksimal
untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat kembali. (Suryono, 2008)
Terapi cairan dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat menentukan
keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (drug
and fluid treatment) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah yang penting secara
simultan dengan langkah - langkah yang lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah
life saving pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti perdarahan,
dehidrasi karena muntah, diare, dan atau lainnya. (Primananda, 2010)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Syok
Syok merupakan gambaran klinis kegagalan sirkulasi yang mengakibatkan
penggunaan oksigen seluler inadekuat. (Vincent & Backer, 2013) Diagnosis syok
dapat ditegakkan dengan gejala klinis, hemodinamik, dan biokimia yang dapat dibagi
menjadi tiga komponen; Pertama, biasanya terjadi hipotensi arterial sistemik, namun
derajat hipotensi yang sedang dapat ditemui pada pasien dengan hipertensi kronis.
Secara umum syok pada orang dewasa ditandai dengan tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau mean arterial pressure kurang dari 70 mmHg yang disertai
dengan takikardi. Kedua, terdapat gejala klinis hipoperfusi jaringan yang terlihat pada
tiga window dalam tubuh; kulit (kulit yang dingin dan keriput akibat vasokonstriksi
dan sianosis), ginjal (produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam), dan neurologis
(perubahan status mental). Ketiga, terdapat peningkatan laktat yang menunjukkan
metabolisme oksigen seluler yang abnormal. (Vincent & Backer, 2013)

2.2

Patofisiologi
Syok dapat timbul akibat empat mekanisme patofisiologis yang tidak selalu terpisah
satu sama lain, yaitu; (1) Hipovolemia (dari kehilangan cairan internal maupun
eksternal), (2) Kardiogenik (e.g AMI, kardiomiopati, miokarditis, dan aritmia), (3)
Obstruksi (e.g emboli paru, tamponade jantung, atau pneumothorax), dan (4)
Distributif (e.g sepsis, anafilaksis). (Vincent & Backer, 2013)
Karakteristik syok cenderung berubah seiring dengan perjalanan penyakit
dengan derajat keparahan yang berbeda pada masing-masing stadiumnya. Secara
umum, syok digolongkan menjadi tiga stadium, yaitu; (1) Stadium kompensata
(compensated

stage) dimana

mekanisme kompensasi

normal

masih dapat

mengembalikan fungsi sirkulasi meskipun tanpa intervensi dari luar; (2) Stadium
progresif (progressive stage) dimana syok akan cenderung memburuk dan dapat
mengakibatkan kematian jika tidak diterapi; dan (3) Stadium irreversible (irreversible
stage) dimana syok telah berkembang sedemikian rupa sehingga segala terapi yang
tersedia tidak dapat mencegah kematian. (Hall, 2006)

Pada stadium kompensata, mekanisme feedback negative tubuh masih dapat


mengembalikan cardiac output dan tekanan arteri. Mekanisme feedback tersebut
meliputi; baroreceptor reflex, reverse stress-relaxation response, respon iskemia
susunan saraf pusat, sekresi angiotensin oleh ginjal, sekresi vasopressin (ADH) oleh
kelenjar pituitari. Selain itu, terdapat mekanisme kompensasi untuk mengembalikan
volume intravascular seperti absorpsi air dalam jumlah besar dari saluran cerna, shift
cairan dari interstitial ke kapiler, konservasi air dan garam oleh ginjal, dan rasa haus
yang dirasakan penderita. (Hall, 2006)
Reflek simpatik merupakan mekanisme pertama dalam pemulihan syok karena
teraktivasi secara maksimal dalam 30 detik 1 menit pertama. Mekanisme
kompensasi yang melibatkan angiotensin dan vasopressin, serta reverse-stress
relaxation memerlukan waktu 10 menit 1 jam untuk dapat merespon secara penuh;
namun mekanisme ini berperan besar dalam meningkatkan tekanan arteri atau filling
pressure sehingga meningkatkan cardiac output. Kemudian, mekanisme untuk
mengembalikan volume intravascular seperti absorpsi cairan dari saluran cerna dan
retensi cairan dan natrium pada ginjal memerlukan 1 48 jam untuk berfungsi
maksimal. (Hall, 2006)
Syok yang berlanjut akan menimbulkan mekanisme feedback positif yang
menurunkan cardiac output sehingga menimbulkan syok progresif. (Gambar 1)
Mekanisme feedback positif tersebut meliputi;
1. Cardiac depression
Pada penurunan tekanan arteri yang berat, terutama tekanan diastolic, aliran darah
coroner juga berkurang sehingga terjadi iskemia coroner. Hal ini semakin
memperlemah miokardium dan semakin menurunkan cardiac output.
2. Kegagalan vasomotor
Ketika curah jantung menurun, aliran darah ke otak dan jantung umumnya
dipertahankan. Jika tekanan arteri turun cukup rendah, aliran darah ke otak mulai
terganggu dan aliran darah ke pusat vasomotor juga berkurang. Impuls yang
berkurang secara drastic dari pusat vasomotor dapat menyebabkan semakin
turunnya tekanan arteri dan kegagalan sirkulasi perifer yang progresif.
3. Penyumbatan pembuluh darah kecil
Karena rendahnya aliran darah pada saat syok, metabolit-metabolit jaringan,
termasuk asam laktat dan karbonat tidak dapat dibersihkan dengan baik dan
konsentrasi lokalnya meningkat. Meningkatnya konsentrasi ion hydrogen dan
produk iskemik lain menyebabkan aglutinasi lokal dan pembentukan bekuan
3

darah. Darah yang mengental di pembuluh-pembuluh halus ini disebut sludge


blood.
4. Peningkatan permeabilitas kapiler
Karena pada syok terjadi hipoksia kapiler dan kurangnya nutrient lain,
permeabilitas kapiler meningkat sehingga cairan dan protein keluar ke jaringan.
Hal ini menyebabkan penurunan volume darah yang dapat memperparah syok.
5. Pelepasan toksin dari jaringan iskemik.
Dalam keadaan syok, diduga terjadi pelepasan histamine, serotonin, dan enzim
jaringan yang menimbulkan penurunan fungsi sirkulasi lebih lanjut. Penurunan
aliran darah ke usus juga dapat menyebabkan peningkatan pembentukan dan
absorpsi endotoxin yang diproduksi bakteri gram negative pada usus. Toksin ini
menyebabkan peningkatan metabolisme intraseluler walaupun di saat yang sama
terjadi kekurangan nutrisi pada jaringan. Hal ini menimbulkan efek spesifik pada
otot jantung, dimana akan terjadi penurunan curah jantung.

Gambar 2.1 Feedback positif pada syok progresif (Hall, 2006)


Jika syok berlanjut sampai tahapan tertentu, transfusi atau terapi lain tidak
mampu menyelamatkan hidup pasien; tahapan ini disebut sebagai irreversible syok.
Pada stadium ini tekanan arteri dan cardiac output dapat normal kembali untuk

beberapa waktu, namun sistem sirkulasi pada akhirnya akan terus memburuk, dan
kematian biasanya terjadi dalam beberapa menit atau jam.
2.3

Etiologi

2.3.1

Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma
di intravaskuler. Penyebab utama syok hipovolemik adalah pendarahan, dimana
pendarahan menurunkan filling pressure sirkulasi dan kemudian juga menurunkan
venous return. (Hall, 2006) Penyebab syok hipovolemik lain adalah dehidrasi berat
oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. (Hardisman, 2013)
Dalam klasifikasi ATLS, syok hipovolemik dibagi atas 4 derajat berdasarkan
perkiraan hilangnya darah (Estimated Blood Loss) yang digambarkan pada laki-laki
dewasa dengan berat badan 70 kg (Tabel 1).

Tabel 1. Derajat Hipovolemi Berdasarkan EBL (ACS Commitees on Trauma, 2012)


Gejala Klinis
Kehilangan
darah
Frekuensi nadi
Tekanan darah
Tekanan nadi

Class I

Class II

Class III

Class IV

<15% EBV

15-30% EBV

30-40% EBV

>40% EBV

(<750 ml)
<100 x/menit
Normal
Normal atau

(750-1500 ml)
100-120 x/menit
Normal

(1500-2000 ml)
120-140 x/menit
Menurun

(>2000 ml)
>140 x/menit
Menurun

Menurun

Menurun

Menurun

Frekuensi napas
Produksi urin

meningkat
14-20 x/menit
>30 cc/jam

20-30 x/menit
20-30 cc/jam

>40 x/menit
Oligouri/anuri

Status mental

Cemas ringan

Cemas

30-40 x/menit
5-15 cc/jam
Bingung/disorien

Koreksi awal

Kristaloid

Kristaloid

Letargis

tasi
Kristaloid +

Kristaloid +

darah

darah

Gejala kehilangan volume pada perdarahan kelas I cenderung minimal.


Takikardia minimal biasanya terjadi dengan laju napas, tekanan darah, dan tekanan
nadi dalam batas normal. Pada pasien tanpa gangguan lain, kehilangan darah pada
derajat ini tidak memerlukan penggantian karena mekanisme kompensasi tubuh
umumnya dapat mengembalikan volume darah dalam 24 jam. (ACS Commitees on
Trauma, 2012)
Pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, kehilangan darah sejumlah
750-1500 ml tergolong sebagai perdarahan kelas II. Gejala klinis yang muncul
5

meliputi takikardi, takipneu, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi
umumnya disebabkan peningkatan tekanan darah diastolik akibat peningkatan jumlah
katekolamin dalam sirkulasi. Tekanan darah sistolik umumnya masih normal pada
fase awal syok hemoragik; oleh karena itu, monitoring tekanan nadi lebih penting
dibandingkan tekanan darah sistolik. Gejala lain yang dapat ditemui adalah perubahan
pada sistem saraf pusat seperti ansietas dan ketakutan. (ACS Commitees on Trauma,
2012)
Perdarahan kelas III hampir selalu ditandai dengan gejala penurunan perfusi,
termasuk takikardi, takipneu, perubahan signifikan status mental, dan penurunan
tekanan darah sistolik. Pada kasus tanpa komplikasi, perdarahan sejumlah 30% dari
EBV (Estimated Blood Volume) merupakan jumlah minimal yang dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik. Pada perdarahan kelas IV, tekanan darah sistolik
turun lebih jauh dan tekanan nadi menjadi sangat sempit atau tekanan diatolik yang
tidak dapat diukur. Produksi urin pada kategori ini sangat minimal, dan disertai
penurunan status mental yang nyata. (ACS Commitees on Trauma, 2012)
2.3.2

Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan sindrom klinis akibat penurunan curah jantung yang
menyebabkan hipoksia jaringan dan volume intravascular yang adekuat. Pada syok
kardiogenik, terjadi perubahan hemodinamik sebagai berikut; (1) Penurunan curah
jantung (<2,2 L/menit/m2), (2) Hipotensi sistolik arteri (<90 mmHg), dan (3)
Peningkatan tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri (pulmonary capillary wegde
pressure (PCWP) >18 mmHg). (Hochman & Ingbar, 2012)
Syok kardiogenik dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang menurunkan
curah jantung, yaitu:
- Disfungsi miokardium (gagal memompa) terutama karena komplikasi infark
-

miokardium akut.
Pengisian diastolik ventrikel yang tidak kuat, antara lain takiaritmia,
tamponade jantung, tension pneumothorak, emboli paru dan infark ventrikel

kanan.
Curah jantung yang tidak adekuat, antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral
atau ruptur septum interventrikel (Chow JL, 2004)

Gambar 2. Syok Kardiogenik (Hochman & Ingbar, 2012)


Syok kardiogenik terjadi akibat penurunan kontraktilitas miokardium yang
menimbulkan disfungsi fungsi sistolik dan diastolik jantung. (Gambar 2) Pada
disfungsi sistolik terjadi penurunan isi sekuncup dan curah jantung yang berdampak
langsung terhadap perfusi sistemik. Selain efek langsung terhadap perfusi sistemik,
penurunan curah jantung juga menurunkan perfusi arteri coroner sehingga terjadi
iskemia dan kerusakan miokardium yang progresif. Disfungsi diastolik berdampak
pada tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan kongesti paru. Kondisi edema paru
akan mempercepat terjadinya hipoksemia jaringan, termasuk pada miokardium.
(Hochman & Ingbar, 2012)
2.3.3

Syok Obstruktif
Syok obstruktif disebabkan oleh ketidakmampuan pasien dalam menghasilkan curah
jantung yang cukup, walaupun volume intravaskuler dan kontraktilitas miokardium
normal. Keadaan ini dikarenakan aliran darah keluar dari ventrikel terobstruksi secara
mekanik. Penyebab utama obstruksi adalah tamponade pericardium. (Chow JL, 2004)

2.3.4

Syok Distributif
Syok distributif adalah syok yang disebabkan oleh maldistribusi volume sirkulasi
darah pada tubuh. Ada tiga jenis syok distributif yaitu syok anafilaktik, syok sepsis
dan syok neurogenik. (Chow JL, 2004)
1. Syok anafilaktik
7

Syok anafilaktik adalah kejadian akut yang berpotensi fatal di mana terjadi reaksi
sistem multiorgan yang disebabkan oleh perilisan mediator kimia dari sel mast
dan basofil. Banyak pemicu yang menyebabkan terjadinya syok anafilaktik.
Makanan adalah pemicu yang paling umum terutama kacang. Selain makanan,
terdapat obat-obatan (antibiotik, anestesi lokal, analgesik, opiate, dektran, dan
media kontras), produk-produk biologis (darah, venom, vaksin, ekstrak alergen),
pengawet dan zat adiktif (metabisulfite, MSG) dan lain-lain (lateks dan idiopatik)
2. Syok sepsis
Syok sepsis tetap menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian dalam
berbagai kasus. Infeksi saluran pernapasan dan saluran pencernaan merupakan
tempat yang paling sering terjadi sepsis, diikuti oleh saluran kemih dan infeksi
jaringan lunak. Setiap sistem organ cenderung terinfeksi oleh patogen tertentu.
Syok sepsis disebabkan oleh beberapa hal yaitu bakteri gram positif,
bakteri gram negatif, parasit dan jamur. Namun, penyebab paling sering adalah
bakteri. Bakteri gram positif adalah organisme utama yang menyebabkan sepsis.
Lalu bakteri gram negatif menjadi patogen penting yang menyebabkan sepsis
berat dan syok sepsis.
3. Syok neurogenik
Syok neurogenik adalah jenis syok distributif dimana terjadi suatu keadaan
hilangnya tonus otonom secara tiba tiba akibat dari cedera tulang belakang.
Syok neurogenik disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf otonom dengan
disfungsi ganglia simpatis paravertebral yang menginervasi segmen
torakolumbal, dimana bagian ini merupakan persarafan yang berfungsi untuk
mempertahankan tonus pembuluh darah perifer. Syok neurogenik disebabkan
oleh adanya cedera tulang belakang, anestesi umum atau spinal, luka, dan
kecemasan. Pasien dengan cedera tulang belakang bagian servikal lebih mungkin
untuk berkembang menjadi syok neurogenik. (Chow JL, 2004)
2.4

Terapi Cairan

2.4.1

Definisi
Terapi cairan adalah tindakan pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh khususnya
pembuluh darah vena untuk mengatasi syok dan menggantikan volume cairan yang
hilang akibat perdarahan atau dehidrasi.
Secara umum tujuan terapi cairan adalah:
-

Mengganti cairan yang hilang


Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung
8

2.4.2

Mencukupi kebutuhan cairan sehari


Mengatasi syok
Mengoreksi dehidrasi

Kompartemen Cairan Tubuh


Tubuh manusia terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian yang padat (40% berat
badan) dan bagian yang cair (60% berat badan). Bagian yang padat terdiri atas tulang,
kuku, rambut, otot, dan jaringan yang lain. Bagian yang cair merupakan bagian
terbesar, terdiri dari : cairan intraselular (40% berat badan ) dan cairan ekstraselular
(20% berat badan). Sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular
(5% berat badan) dan cairan interstitial (15% berat badan) dan cairan transelular
sekitar 1-3% berat badan yang meliputi sinovial, intraokuler dan lain lain. Cairan
intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.
1. Cairan Intraselular
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraseluler. Pada orang
dewasa, sekitar 2/3 dari cairan tubuhnya (40% dari berat badan) terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan 70
kg), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular. Ruang intraseluler merupakan ruang terbesar ( 23 liter) dimana
kalium merupakan kation terbesar. Oleh karena itu cairan yang mengandung
natrium tidak didistribusi ke intraseluler.
2. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraseluler. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di ruang ekstraselular (lebih besar dari
intraselular). Perbandingan ini akan berubah sesuai dengan perkembangan tubuh,
sehingga pada dewasa cairan intaselular dua kali dari cairan ekstraselular. Setelah
usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari
volume total.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi:

Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel atau berada di antara sel dan ruang
intravaskuler termasuk dalam cairan interstitial, sekitar (10-15% dari
cairan ektraselular). Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.
Relatif terhadap ukuran tubuh, volumenya sekitar 2 kali lipat pada bayi
9

yang baru lahir dibandingkan dengan orang dewasa. Cairan interstisial


memfasilitasi transpor antara sel dan ruang intravaskuler. Selain air,
ruang-ruang intertisial mengandung elektrolit dengan predominan
kation natrium dengan konsentrasi yang sama dengan ruang

intravaskuler.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, misalnya
volume plasma. Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter.
Dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan platelet. Sirkulasi mentransportasikan nutrisi
dan oksigen ke sel dan mengangkut hasil metabolisme dan
karbondioksida.

2.4.3

Jenis Terapi Cairan


Berdasarkan penggunaannya, cairan intravena dapat digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu: (Mangku & Senapathi, 2010)
a. Cairan pemeliharaan
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru
dan keringat. Cairan yang hilang ini umumnya mengandung sedikit elektrolit,
sehingga dipertimbangkan diberikan cairan elektrolit hipotonis-isotonis atau bisa
juga menggunakan cairan non elektrolit.
Cairan elektrolit misalnya: Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%, dextrose 5%
dalam NaCl 0,4%, dextrose 5% dalam NaCl 0,225%, dextrose 5% dalam ringer
laktat, dextrose 5% dalam ringer, maltose 5% dalam ringer. Cairan non elektrolit
misalnya: Dextrose 5% atau 10% dalam air dan maltose 5% atau 10%.
b. Cairan pengganti
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh
sekuestrasi atau proses patologi yang lain, misalnya fistula, efusi pleura, drainase
lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera. Sebagai cairan
pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan kristaloid, misalnya NaCl 0,9% dan
ringer laktat atau koloid, misalnya dextrans 40 dan 70, albumin dan plasma.
c. Cairan untuk tujuan khusus lainnya
Yang dimaksud diatas adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5% kalsium glukosa untuk tujuan koreksi khusus terhadap
gangguan keseimbangan elektrolit.
d. Cairan nutrisi

10

Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan, tidak
boleh makan, dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada
saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total
maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Pada praktik klinis, berdasarkan jenis cairan yang digunakan terapi cairan
digolongkan menjadi kristaloid, koloid, dan produk darah; (Gaol, et al., 2014)
a. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid dapat pindah menembus membrane semipermeable secara bebas.
Kadungannya adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya isotonic dengan
cairan ekstrasel. Kristaloid yang berbahan dasar salin akan terdistribusi di dalam
rongga ekstrasel, sesuai dengan lokasi terdapatnya natrium. Hanya sepertiga
cairan kristaloid yang akan tinggal di dalam pembuluh darah sementara sisanya
akan masuk ke dalam rongga interstitial.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid tidak bercampur menjadi larutan sejati dan tidak dapat menembus
membrane semipermeable. Koloid cenderung menetap dalam pembuluh darah
lebih lama dibanding kristaloid karena tidak dapat disaring secara langsung oleh
ginjal. Koloid dapat meningkatkan tekanan osmotic dan menarik cairan keluar
dari rongga interstitial ke dalam pembuluh darah. Koloid digunakan secara
sementara untuk mengganti komponen plasma karena tinggal selama beberapa
saat dalam sirkulasi. Lama tinggal suatu koloid dalam pembuluh darah bergantung
pada berat dan ukuran molekul koloid. Jenis cairan koloid yang tersedia antara
lain Gelofusin, Dekstran, starch (HES), dan albumin.
c. Produk Darah
Terdapat beberapa jenis produk darah yang diberikan pada saat transfusi, yaitu; (1)
Whole Blood (WB) yang mengandung komponen eritrosit, leukosit, trombosit, dan
plasma; (2) Packed Red Cell (PRC) yang mengandung eritrosit, trombosit,
leukosit, dan sedikit plasma; (3) Thrombocyte concentrate (TC) yang mengandung
trombosit, dengan sedikit leukosit, eritrosit, dan plasma; (4) Fresh frozen plasma
(FFP) yang mengandung seluruh protein plasma dan faktor-faktor pembekuan;
dan (5) Granulosit yang mengandung leukosit.
2.5 Terapi Cairan Pada Syok
Terapi cairan untuk memperbaiki aliran mikrovaskular dan meningkatkan curah
jantung merupakan bagian esensial dari terapi pada semua jenis syok. Bahkan pasien
11

dengan syok kardiogenik dapat mengalami perbaikan dengan terapi cairan, karena
edema akut dapat mengurangi jumlah cairan intravascular efektif. Akan tetapi, terapi
cairan harus dimonitor dengan ketat, karena pemberian cairan terlalu banyak
meningkatkan risiko edema dengan konsekuensinya yang tidak diinginkan. (Vincent
& Backer, 2013)
Titik akhir resusitasi cairan sulit untuk ditentukan. Secara umum, tujuan terapi
cairan adalah untuk mencapai curah jantung yang independen terhadap preload (i.e
plateau pada kurva Frank-Starling), akan tetapi hal ini sulit dievaluasi secara klinis.
Pada pasien dengan ventilasi mekanis, tanda respon terhadap cairan dapat dinilai dari
pengukuran isi sekuncup beat-by-beat menggunakan monitor curah jantung, atau
secara tidak langsung dari variasi tekanan nadi dari pengukuran tekanan arteri selama
siklus ventilasi. Passive leg raising test merupakan salah satu metode alternative yang
dapat digunakan untuk menilai respon terhadap pemberian cairan, namun tes ini
memerlukan alat pengukuran yang cepat, mengingat efek tes ini bersifat transien.
Teknik fluid challenge sebaiknya digunakan untuk menilai respon pasien
terhadap cairan dengan mengurangi efek samping yang mungkin timbul. Umumnya
cairan kristaloid sebanyak 300-500 ml diberikan selama 20-30 menit. Peningkatan
tekanan darah sistemik, penurunan laju nadi, dan peningkatan produksi urin dapat
dinilai sebagai respon terhadap terapi cairan.
2.5.1

Syok Hipovolemik
Pada syok hipovolemik, pemberian cairan bertujuan untuk ekspansi volume
intravaskuler dan mengembalikan venous return. Cairan awal yang dapat diberikan
adalah cairan isotonik (e.g normal salin dan ringer laktat) yang dihangatkan sebanyak
1-2 L untuk orang dewasa dan 20 ml/kg untuk pasien anak-anak. Jenis cairan ini
memberikan ekspansi vaskuler sementara dan lebih lanjut menstabilkan volume
vaskuler dengan mengisi kehilangan cairan pada ruang interstitial dan intraselular.
(ACS Commitees on Trauma, 2012)
Respon pasien segera dinilai setelah pemberian cairan awal dan keputusan
untuk diagnostic dan terapi lanjut didasarkan pada respon terhadap terapi awal ini.
Respon pasien dapat dinilai dari tanda vital dan perfusi dan oksigenasi perifer.
Kembalinya tekanan darah, tekanan nadi dan laju nadi menandakan perfusi mulai
membaik. Namun tanda-tanda tersebut tidak menggambarkan perfusi pada organ.
12

Perbaikan status mental dan sirkulasi kulit dapat menandakan perbaikan perfusi,
namun tidak dapat dikuantifikasi. Produksi urin merupakan indicator yang spesifik
untuk perfusi ginjal, produksi urin normal umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup. Oleh karena itu, produksi urin merupakan salah satu indicator utama
yang dipantau selama resusitasi. (ACS Commitees on Trauma, 2012)
Tujuan resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik adalah untuk
mengembalikan perfusi pada target organ. Hal ini dicapai dengan penggunaan cairan
resusitasi dan produk darah untuk mengganti volume intravaskuler yang hilang.
Namun, perlu diingat bahwa jika tekanan darah naik terlalu cepat sebelum perdarahan
dapat dikontrol, perdahan yang lebih parah dapat terjadi. Penyeimbangan antara
perfusi target organ dengan risiko perdarahan ulang dengan menerima tekanan darah
dibawah normal dinamai permissive hypotension atau hypotensive resuscitation.
(ACS Commitees on Trauma, 2012) Target MAP dibawah 60-75 mmHg masih dapat
diterima pada pasien dengan perdarahan akut tanpa gangguan nerologis yang nyata
dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan darah dan koagulopati sampai
perdarahan dapat dikontrol. (Vincent & Backer, 2013)
Berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal, pasien digolongkan
sebagai; rapid response, transient response, dan minimal or no response. (Tabel 2)
Pasien yang tergolong sebagai rapid response umumnya kehilangan darah dalam
jumlah yang minimal (<20% dari EBV) dan merespon dengan cepat terhadap
pemberian cairan awal. Pasien dalam kategori ini juga cenderung memiliki
hemodinamik yang stabil setelah terapi cairan awal dikurangi menjadi dosis rumatan.
Tidak ada indikasi bolus cairan resusitasi dan transfuse segera pada kategori ini. (ACS
Commitees on Trauma, 2012)
Pasien dengan transient response merrespon terhadap pemberian cairan awal,
namun menunjukkan tanda-tanda perburukan perfusi setelah terapi cairan dikurangi
menjadi dosis rumatan. Hal ini dapat menunjukkan resusitasi yang kurang memadai
atau proses perdarahan yang masih berlangsung. Pasien dalam kategori ini umumnya
kehilangan darah sebanyak 20-40% dari EBV, sehingga umumnya tranfusi darah dan
produk darah dapat diberikan. (ACS Commitees on Trauma, 2012)
Transfusi darah dapat dipertimbangkan pada pada pasien dengan perdarahan
yang masih berlangsung dan kadar hemoglobin <10 mg/dL. Pasien yang teresusitasi
13

umumnya mengalami koagulopati akibat tidak adanya faktor pembekuan pada cairan
kristaloid dan PRC yang diberikan selama resusitasi. Pemberian dini komponen darah
(FFP dan TC) dengan rasio FFP:PRC mendekati 1:1 terbukti meningkatkan survival
pada pasien dengan syok hemoragik. (Maier, 2012)
Pasien dengan minimal or no response umumnya tidak merespon terhadap
pemberian cairan awal. Hal ini menunjukkan diperlukannya terapi definitive (e.g
operasi atau embolisasi) untuk mengehentikan perdarahan. Pada beberapa kasus
kegagalan dalam merespon juga dapat disebabkan gangguan pada jantung akibat
trauma tumpul jantung, tamponade jantung, dan tension pneumothorax. Syok nonhemoragik harus dipertimbangan sebagai diagnosis banding pada pasien dalam
kategori ini. (ACS Commitees on Trauma, 2012)
Tabel 2. Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal (ACS Commitees on Trauma, 2012)

2.5.2

Syok Sepsis
Penatalaksanaan syok septik menggunakan manajemen komprehensif untuk
memperbaiki outcome, yaitu protocol EGDT (Early Goals Directed Therapy).
Protokol EGDT dimulai dengan bolus 20 mL/kg bb kristaloid atau koloid diberikan
dalam kurun waktu 30 menit untuk mencapai CVP 8-12 mmHg. Jika MAP kurang
dari 65 mmHg, diberikan vasopressor, dan MAP yang lebih dari 90 mmHg, diberikan
vasodilator sampai mencapai 90 mmHg atau kurang. Jika saturasi oksigen vena
sentral (ScvO2) kurang dari 70 % dan kadar hematokrit < 30%, diberikan sel darah
merah yang dimampatkan (PRC). Apabila setelah diberikan tranfusi PRC kadar
14

ScvO2 masih < 70%, diberikan inotropic dobutamin mulai dengan dosis 2,5 g/kgbb
per menit. Dosis tersebut dapat dinaikkan 2,5 g/kgbb per menit setiap 30 menit
sampai ScvO2 mencapai 70 persen atau lebih atau sampai dosis maksimal 20 g/kgbb
per menit. Dosis dobutamin diturunkan ataupun dihentikan jika MAP kurang dari 65
mmHg atau jika denyut jantung diatas 120 kali per menit. Untuk mengurangi
konsumsi oksigen, pasien dengan kondisi hemodinamik yang belum optimal diberikan
ventilasi mekanik dan sedatif. (Widyanti, et al., 2012)
Pada praktiknya ada beberapa kelemahan dalam protocol EGDT, salah satunya
adalah penggunaan CVP sebagai penanda respon terhadap terapi cairan. CVP
seringkali dianggap sebagai penanda volume diastolik-akhir pada ventrikel kanan.
Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara CVP
dan isi sekuncup. (Douglas & Walley, 2014)
Pada pasien dengan ventilasi mekanik, perubahan siklikal pada tekanan
intratoraks menimbulkan perubahan pada preload ventrikel. Peningkatan tekanan
intratoraks selama inspirasi menurunkan venous return dan penurunan lebih lanjut
pada isi sekuncup dan tekanan nadi. Penelitian mengenai perubahan dinamis pada
hemodinamik yang dipengaruhi ventilasi ini menunjukkan bahwa pulse pressure
variation dan stroke volume variation merupakan indikator respon terhadap terapi
cairan yang sensitive dan spesifik. (Douglas & Walley, 2014)
Pemilihan cairan resusitasi pada syok septik juga masih menjadi topik yang
kontroversial. Kristaloid cenderung lebih murah, dengan cepat mengisi kompartemen
intravascular dan ekstravaskular, meningkatkan perfusi target organ, dan memiliki
risiko reaksi anafilaktoid yang minimal. Sementara koloid dengan capat
meningkatkan volume intravascular dan tekanan onkotik, dengan demikian resusitasi

15

dapat memerlukan waktu dan volume cairan yang lebih sedikit. Resusitasi dengan
koloid dapat meningkatkan transport oksigen, konraktilitas miokardium, dan curah
jantung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa HES yang merupakan
salah satu jenis koloid meningkatkan risiko kematian dan diperlukannya terapi
pengganti ginjal dibanding penggunaan kristaloid. Penggunaan albumin dibanding
kristaloid pada resusitasi di pasien ICU memiliki risiko kegagalan target organ, waktu
rawat di ICU, terapi pengganti ginjal, dan kematian yang sama. Akan tetapi, analisis
subgroup pada pasien dengan sepsis berat menunjukkan risiko kematian yang lebih
rendah. (Douglas & Walley, 2014)

16

BAB III
SIMPULAN

Syok merupakan gambaran klinis kegagalan sirkulasi yang mengakibatkan penggunaan


oksigen seluler inadekuat. Diagnosis syok dapat ditegakkan dengan gejala klinis,
hemodinamik, dan biokimia yang meliputi hipotensi, takikardi, penurunan perfusi pada kulit,
penurunan produksi urin, perubahan status mental dan kadar asam laktat pada darah.
Syok dapat timbul akibat empat mekanisme patofisiologis yang tidak selalu terpisah
satu sama lain, yaitu; (1) Hipovolemia (dari kehilangan cairan internal maupun eksternal), (2)
Kardiogenik (e.g AMI, kardiomiopati, miokarditis, dan aritmia), (3) Obstruksi (e.g emboli
paru, tamponade jantung, atau pneumothorax), dan (4) Distributif (e.g sepsis, anafilaksis).
Terapi cairan pada syok bertujuan untuk memperbaiki aliran mikrovaskular dan
meningkatkan curah jantung dan merupakan bagian esensial dari terapi pada semua jenis
syok. Akan tetapi, terapi cairan harus dimonitor dengan ketat, karena pemberian cairan terlalu
banyak meningkatkan risiko edema dengan konsekuensinya yang tidak diinginka

17

DAFTAR PUSTAKA
ACS Commitees on Trauma, 2012. Advanced Trauma Life Support (ATLS) Student Course
Manual. 9th ed. Chicago: American College of Surgeons.
Chow JL, B. K. a. B. L., 2004. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital.
3rd ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.
Douglas, J. J. & Walley, K. R., 2014. Fluid choices impact outcome in septic syok. Current
Opinion Critical Care, Issue 20, pp. 378-384.
Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando, F. Liwang, S. Hanifati
& E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, pp. 561-564.
Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelpia: Elsevier.
Hardisman, 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, II(3), pp. 178-182.
Hochman, J. S. & Ingbar, D. H., 2012. Cardiogenic Syok and Pulmonary edema. In: D. L.
Longo, et al. eds. Harrison's Principle of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 22322237.
Maier, R. V., 2012. Approach to The Patient With Syok. In: D. L. Longo, et al. eds. Harrison's
Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 2215-2222.
Mangku, G. & Senapathi, T. G. A., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 1st ed.
Jakarta: Indeks.
Primananda, E., 2010. Terapi Cairan Pada Syok. Universitas Sumatera Utara, pp. 1-42.
Suryono, B., 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Syok Pada Dewasa. Clinical Updates, pp. 4460.
Vincent, J.-L. & Backer, D. D., 2013. Circulatory Syok. The new england journal of medicine,
369(17), pp. 1726-1734.
Widyanti, A., Hartawan, B. & Suparyatha, I., 2012. Early Goals Directed Therapy Pada Syok
Septik. Jurnal Ilmiah Kedokteran Medicina, Volume 43, pp. 108-113.

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................2
2.1

Definisi Syok.....................................................................................................................2

2.2

Patofisiologi......................................................................................................................2

2.3

Etiologi..............................................................................................................................5

2.3.1

Syok Hipovolemik.........................................................................................................5

2.3.2

Syok Kardiogenik..........................................................................................................7

2.3.3

Syok Obstruktif.............................................................................................................8

2.3.4

Syok Distributif.............................................................................................................9

2.4

Terapi Cairan...................................................................................................................10

2.4.1

Definisi........................................................................................................................10

2.4.2

Kompartemen Cairan Tubuh.......................................................................................10

2.4.3

Jenis Terapi Cairan......................................................................................................11

2.5

Terapi Cairan Pada Syok.................................................................................................13

2.5.1

Syok Hipovolemik.......................................................................................................14

2.5.2

Syok Sepsis..................................................................................................................16

BAB III SIMPULAN.....................................................................................................................19

iii

Anda mungkin juga menyukai