Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI EMERGENSI

Disusun oleh :
Mutiara Dara Ratih, S.Ked
FAA 110 022

Pembimbing :
dr. Sutopo, Sp. RM
dr. Tagor Sibarani

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian


Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine
KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY
MEDICINE
FK UNPAR/RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan
tekanan darah

akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan

konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa.Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD
adalah pasien hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi
hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk
berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita ipertensi dan
hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target.
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis.1
Hipertensi emergensi adalah kondisi klinis yang terdiri dari kelompok penderita
dengan kondisi medis yang membutuhkan penurunan segera tekanan darah untuk mencegah
komplikasi lebih serius. Dewasa ini kondisi seperti ini tidak sering dijumpai karena semakin
membaiknya kesadaran dan pengobatan terhadap penderita dengan hipertensi. Krisis
hipertensi adalah kondisi yang yang berbahaya bagi penderita namun dengan penanganan
segera dapat mencegah kemungkinan kematian atau kecacatan. Kejadian krisis hipertensi di
IGD kurang lebih 29%.2

BAB II
LAPORAN KASUS

Primary survey

Vital sign

: Tn. KDS
: tensi 240/120 mmHg, nadi 90x/m reguler, isi dan tegangan cukup;

suhu 36,7oC; respirasi 20x/m reguler.


Air way

: tidak ada tanda sumbatan jalan napas

Breathing

: spontan, 20x/m, torako-abdominal, pergerakan toraks simetris, tanpa

retraksi
Circulation

: Nadi kuat angkat, TD: 240/120 mmHg, akral hangat, crt <2 detik

Disability

: GCS 15, pupil isokor, tanpa Kelemahan anggota gerak

Evaluasi Masalah : kasus ini adalah termasuk dalam priority sign yaitu badan terasa
lemah

Penanda warna

: Kuning

Tatalaksana awal

: Oksigenasi nasal kanul 2 lpm

I.

II.

IDENTITAS
1. Identitas penderita:
Nama: Tn. KDS
Usia: 57 tahun
Agama: Kristen
Pekerjan: PNS
Alamat: Jl. Sangga Buana
Anamnesis dilakukan pada hari Senin, 11 Mei 2015 Pkl 19.30 WIB
ANAMNESIS
1. Keluhan utama: kepala terasa melayang
2. Riwayat penyakit sekarang
Os. Datang dengan keluhan kepaa terasa melayang sejak 6 jam SMRS. Badan terasa
lemas namun tidak ditemukan adanya kelemahan anggota gerak, maupun bagian
wajah. Pusing berputar dan sakit kepala di sangkal, muntah (-), kejang(-), perdarahan
dari hidung/gusi (-), pandangan mata kabur dikeluhkan. Kabur pandangan mata sudah
terjadi 1,5 tahun, semakin lama keluhan semakin parah, pandangan berkabut seperti
awan disangkal, os masih bisa melihat wajah. Namun saat ini pandangan menjadi
berkunang-kunang bersamaan dengan badan yang terasa melayang. Napas terasa
sesak (-), dada terasa nyeri (-), dada berdebar (-), keringat dingin (-), nyeri ulu hati (-).
Riwayat penyakit dahulu
Os terdiagnosis DM sejak 8 tahun yang lalu pengobatan tidak teratur. Terakhir obat
diminum 2 bulan yll: Glimiperid 2 mg 1x1.

Os. Terdiagnosis HT sejak 3 tahun yll, pengobatan tidak teratur terakhir 2 bulan yll.
Obat yang dikonsumsi amlodipin 10 mg, Micardis 8 mg 1x1.
Kolesterol (-)
PJK (-)
3. Riwayat penyakit keluarga
Ayah dan ibu os juga mengalami hipertensi dan kencing manis.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum: tampak sakit sedang; kesadaran: compos mentis; GCS: eye (4),
verbal (5), motorik (6)
2. Tanda vital: tensi 240/120 mmHg, nadi 90x/m reguler, isi dan tegangan cukup; suhu
36,7oC; respirasi 20x/m reguler.
3. kulit: turgor < 2 detik, kelembaban cukup, pucat (-).
4. Kepala
mata: konjungtiva anemis (+/+), seklera ikterik (-/-),diameter pupil 3mm/3mm, isokor,
refleks cahaya (+/+), shadow test (-/-) kelumpuhan wajah (-)
5. Leher: JVP tidak meningkat
6. Toraks: Dada tampak simetris, retraksi suprasternal(-/-), fremitus taktil normal
simetris , sonor, vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). Ictus cordis terlihat dan
teraba pada 2 cm lateral garis midklavikula sinistra, SIC V, S1-S2 tunggal, gallop
(-),murmur (-).
7. Abdomen: supel, datar, bising usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-), hepar lien tak
teraba, tampak tinja warna hitam kehijauan.
8. Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, kekuatan motorik eks. Superior 5/5, eks
IV.

inferior 5/5. Ulkus pada eks inferior sinistra tertutup


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium:
Hb: 9,4 g/dl. Hct: 28,0%, Leukosit: 8.060/uL, eritrosit: 3,46x10 6/uL, trombosit:
246.000/uL. GDS 286 mg/dl, cr: 1,30; SGPT 22.

Frekuensi 85x/m (normal) reguler, irama sinus, gelombang P normal, interval PR normal,
interval QRS normal, segmen ST tidak mengalami depresi/elevasi, interval QT melebar.

V.

DIAGNOSIS
a. Diagnosis banding
- Hipertensi emergensi
- Hipertensi urgensi
- Cephalgia
b. Diagnosis kerja: hipertensi emergensi, DM dan Anemia.

VI.

PENATALAKSANAAN
Oksigen nasal kanul 2 LPM
Infus NaCl: 20 tpm
PO: glimepirid 2 mg 2x1/2, amlodipin 1x10 mg, micardis 1x80 mg.

VII. USULAN PEMERIKSAAN


Funduskopi, Foto torak, cek GDN2JPP
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia Ad bonam
Quo ad functionam : dubia Ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia Ad bonam

BAB III
PEMBAHASAN
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau
diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi
harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti
hipertensi intravena.
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.3
a. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat.
Hal yang penting ditanyakan :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 60 tahun.
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).
Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru,
nyeri dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
b. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa pemeriksaan tekanan darah, funduskopi,
status neurologis, dan status kardiopulmonal.
c. Pemeriksaan penunjang dilakukan yaitu:
- darah : rutin, creatirine, elektrolik, Gula darah
- urine : Urinalisa
- EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
- Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana).

Pada kasus ini pasien terdiagnosis HT emergensi dengan ditemukannya tekanan darah
sebsar 240/120 mmh Hg disertai dengan keluhan kepala meyanag dan mata berkunangkungan yang merupakan suatu tanda terjadinya HT emergensi.
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi
dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan
darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol
sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi
autoregulasi.2
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi,

maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak
dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.2

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang
ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan
hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala,
penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis
nervus cranialis. Pada kasus ini pasien mengalami badan terasa lemas dan penglihatan
mengabur, pada kasus ini hipertensi emergensi masuk dalam hipertensi ensefalopati.3
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan
arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain
manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut

miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal
akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi. 3 Pada kasus tidak dilakukan
pemeriksaan funduskopi saat pasien tiba di IGD, namun pemeriksaan ini direncanakan
saat pasien di rawat di ruangan.
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan
akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak
lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan
aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal.3
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal
penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan
darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak
mengalami hipoperfusi.3,4
Pada kasus pasien mendapatkan amlodipin 10 mg saat di IGD. Terapi anti HT oral kurang
tepat bila diberikan pada pasein HT emergensi ensefalopati, kecuali diberikan pada pasein HT
urgensi. Amlodipin merupakan anggota dari Calcium channel blocker dimana bekerja dengan
menghambat masuknya kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah sehingga mengurangi
tahanan perifer. Pasien juga mendapatkan telmisartan yang merukan angiotensin reseptor
bloker kerjanya menghambat angiotensin II berikatan dengan reseptornya, sehingga secara
langsung akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi
sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan
tekanan darah.
Berdasarkan keluhan dan pemeriksaan, pasien mengalami hipertensi ensefalopati.
Adapun tatalaksana yang diberikan adalah memberikan nitroprusid IV sebagai obat pilihan
utama dan sebagai pilihan kedua adalah labetalol atau nikardipin. MAP maksimum yang
diperbolehkan adalah sebesar 20%, atau tekanan darah diastolik 100-110 mmHg dalam 1 jam
pertama kemudian diturunkan secara bertahap sampai batas normal dalam 48-72 jam.

Pasien diberikan diberikan obat DM berupa glimiperide yang merupakan obat untuk
menurunkan kadar gula darah yang diberikan secara oral, termasuk dalam kelompok
Sulfonilurea. Mekanisme kerja primer Glimepiride dalam menurunkan gula darah tergantung
pada perangsangan insulin yang dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas. Glimepiride
meningkatkan kerja insulin dalam proses pengambilan glukosa perifer.

BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki Tn. KDS usia 57 Tahun datang dengan keluhan badan
terasa melayang dan pandangan mata mengabur, dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 240/120 mmHg. Berdasarkan keluhan dan hasil pemeriksaan tekanan darah,
pasien diduga mengalami hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
GDS sebesar 286 mg/dL. Terapi hipertensi emergensi yang diberikan berupa pemberian
amlodipin dan telmisartan. Kurang tepat bila HT emergensi ensefalopati diberikan terapi
antihipertensi oral, harusnya pasien mendapatkan terapi antihipertensi intravena berupa
nitroprusid sebagai lini pertama, atau labetalol/nikardipin sebagai lini kedua. Pasien juga
mendapatkan glimiperide yang merupakan sulfonilurea sebagai terapi DM.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suryawan R. Krisis Hipertensi. SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK UniarRSU. Dr. Soetomo, Surabaya.
2. Devicaesaria A. Hipertensi Krisis. Medicinus. Vol. 27, No.3, Desember 2014.
3. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician.
2007. available www.turner-white.com
4. Cline DM, Amin A. Drug Treatment for Hypetensive Emergencies. Emergency
Medicine Cardiac Research and Educaiton Group. Januari 2008.

Anda mungkin juga menyukai