Anda di halaman 1dari 31

LEMBAR PENGESAHAN

RESPONSI

BAGIAN ILMU BEDAH

BATU BULI-BULI

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Muda

Di Bagian Ilmu Bedah

RSUD DR MUHAMMAD ZYN

Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

Surabaya

Surabaya, 11 april 2018

Mengetahui Dosen Pembimbing,

dr. Sri Molyono, Sp.B

i
BAB 1

RESPONSI ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

Pembimbing : dr. Sri Molyono, Sp.B

Penyusun : Grace Atun Putri Vebruari

I. IDENTITAS

Nama : Tn. H

Jenis Kelamin : Laki-laki

TTL : 7 desember 1970

Umur : 48 tahun

Pekerjaan : petani

Alamat : Sampang

Tanggal MRS : minggu, 08 aprili 2018 Pukul 11.31

Tanggal pemeriksaan : senin, 09 april 2018 Pukul 15.00

II. ANAMNESA UMUM

1. Keluhan Utama

Nyeri saat buang air kecil

2. Keluhan Tambahan

Nyeri di daerah penis jika bergerak, nyeri saat buang air kecil.

1
3. Riwayat Penyakit Sekarang

– Pasien datang ke poli bagian bedah umum RSUD DR MUHAMMAD


ZYN sampang pada senin tanggal 2 april 2018 dengan keluhan
nyeri pada daerah kemaluan saat sebelum dan sesudah buang air
kecil.

– Pasien merasakan nyeri sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Nyeri
dirasakan di daerah kemaluan saat sebelum dan sesudah buang
air kecil dan memberat beberapa hari sebelum MRS. Nyeri tidak
menjalar dan tidak tembus ke belakang. Ketika kencing pasien tidak
mengejan tetapi merasa sakit saat kencing.

– pasien mengatakan sempat kencing batu sebesar biji kurma


sebanyak 4 kali dan sering kali kencing nya berwarna kemerahan.

– Dilakukan operasi pada tanggal 10 april 2018 pagi hari

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-), DM (-), Hematuria (+)

5. Riwayat Psikososial

– Perokok berat, dalam sehari bisa 3-4 pack

– Suka minum kopi dan makan makanan berlemak, suka bebek dan
jeroan

6. Riwayat Penyakit Keluarga

– Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki


keluhan yang sama

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

1. Pemeriksaan Umum

– Keadaan umum : Tampak sakit sedang

– Kesadaran : Compos mentis GCS = 456

2
– Berat badan : 65 kg

– Tinggi badan : 166 cm

– BMI : 23,59 (Normal)

2. Tanda Vital

– TD : 120/ 80mmHg

– Nadi : 36,1 x/mnt, reguler

– RR : 20 x/mnt

– Suhu : 36,5ºC aksiler

3. Kepala

– Konjungtiva palpebra inferior anemis (-)

– Sklera ikterus (-)

– Mukosa bibir sianosis (-)

– Pernafasan cuping hidung (-)

4. Leher

– Trachea : Deviasi (-)

– Tiroid : Pembesaran (-)

– Pembesaran KGB submental : (-)

– Pembesaran KGB submandibular : (-)

– Pembesaran KGB supraclavicular : (-)

– Pembesaran KGB infraclavicular : (-)

5. Thorax

– Paru

– Inspeksi : Normochest

– Palpasi : Gerak napas kedua lapangan paru simetris

– Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru

3
– Auskultasi : Suara vesikular, rhonki (-), wheezing (-)

– Jantung

– Inspeksi : Pulsasi dan ictus cordis tidak tampak

– Palpasi : Pulsasi dan ictus cordis tidak teraba

– Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

– Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-) gallop (-)

6. Abdomen

– Inspeksi : soepel

– Auskultasi : Bising usus (+) normal

– Perkusi :

Timpani Timpani Timpani

Timpani Timpani Timpani

Timpani Timpani Timpani

– Palpasi :

Soepel

Nyeri tekan - - -

- - -
- - -

7. Ekstremitas

Akral hangat

+ +
+ +
4
Edema
- -
- -

8. Vertebrae

– Dalam batas normal

B. Status Lokalis

1. Ginjal pada regio lumbalis sinistra

Inspeksi

– Dalam batas normal

Palpasi

– Nyeri tekan (flank pain) (-)

Perkusi

– Nyeri ketuk (-)

2. Ginjal pada regio lumbalis dekstra

Inspeksi

– Tidak ada bekas operasi

Palpasi

– Nyeri tekan (flank pain) (-)

Perkusi

– Nyeri ketuk (-)


3. Ureter pada regio suprapubik
Palpasi

5
– Nyeri tekan (-)
4. Vesica urinaria pada regio suprapubik
Inspeksi
– Dalam batas normal
Palpasi
– Tidak teraba buli, nyeri tekan (-)
Perkusi
– Nyeri ketuk (-)

5. Uretra/OUE pada regio genitalia eksterna

Inspeksi

– Dalam batas normal

– Tidak tampak tanda-tanda peradangan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap (04 april 2018 )

– WBC : 15.89 x 10³/µL (N : 4,0 – 10,0 x 10³/µL)


– Neutrofil : 14,54 x 10³/µL (N : 2,0 – 7,0 x 10³/µL)
– Lymphosit : 0.70 x 10³/µL (N: 0,8 – 4,0 x 10³/µL)
– RBC : 5.36 X 106/µL (N : 3,5 – 5,50 x 106/µL)
– HGB : 12.1 g/dl (N : 11,0 – 16,0 g/dl)
– HCT : 39.1 % (N : 37,0 – 54,0 %)
– MCV : 86.7 (N : 80,0 – 100,0)
– MCH : 28.5 pg (N : 27,0 – 34,0 pg)
– MCHC : 32.9 g/dl (N : 32,0 – 36,0 g/dl)
– PLT : 196 10³/µL (N : 150 – 400 x 10³/µL)

2. Hasil Laboratorium Kimia Klinik (04 april 2018 )

– Creatinin : 0,78 mg/dL (N= 0,5-1,5)

– SGOT : 21 U/L (N= 0-35)

– SGPT : 23 U/L (N= 0-37)

6
– BUN : 11,1 mg/dL (N= 10-24)

3. Hasil Foto Polos Abdomen

V. Resume

Laki-laki, 48 tahun datang dengan keluhan nyeri pinggang kiri


hebat disertai dengan demam dan menggigil. Nyeri pada daerah
kemaluan saat sebelum dan sesudah buang air kecil sejak 3 bulan

7
yang lalu. Nyeri dirasakan di sekitar kemaluan hilang timbul dan
memberat beberapa hari sebelum MRS. Selain itu pasien juga
mengatakan pernah kencing keluar batu sebanyak 4 kali dengan
ukuran sebesar biji kurma dan kencing berwarna merah..
Dilakukan operasi pada tanggal 10 april 2018 pagi hari.

Pemeriksaan Fisik

a. Status generalis :

TD : 120/ 80 mmHg

Abdomen

– Inspeksi : cembung (distended)

b. Status lokalis:

– dalam batas normal

VI. DIAGNOSA KERJA

Batu Buli-Buli

VII. PLANNING

Diagnosa

– DL, UL

– IVP

– USG abdomen

– Foto polos abdomen PA

Terapi

– Tindakan operatif vesikolitotomi

– Pemberian antibiotic Ciprofloxacin 3x500 mg 10-14 hari

– Asam mefenamat bila nyeri

Edukasi

8
– Kontrol rutin untuk evaluasi tindakan operatif

9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Saluran Kemih

2.1.1 Definisi

Batu Saluran Kemih atau Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana


dalam saluran kemih individu terbentuk batu berupa kristal yang
mengendap dari urin (Mehmed & Ender, 2015). Pembentukan batu dapat
terjadi ketika tingginya konsentrasi kristal urin yang membentuk batu
seperti zat kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang menghambat
pembentukan batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005).
Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing yang
terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Grace
& Borley, 2006).

Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara


rinci ada beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu
berdasarkan letak batu antara lain: (Prabowo & Pranata, 2014):

1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal

2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter

3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli

4) Uretrolithiasis disebut sebagai batu pada uretra

Batu pyelum atau pyelolithiasis adalah salah satu penyakit


ginjal bagian proksimal. Pyelolithiasis merupakan pembentukan batu
di dalam pelvis ginjal yang bentuknya menyerupai tanduk rusa atau batu
staghorn.

10
Gambar 2.1 Batu Ginjal (Nugroho, Ditto. 2009)

2.1.2 Epidemiologi

Di Indonesia maupun di dunia penyakit batu ginjal


merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna. Prevalensi
penyakit berkisar 13% pada laki -laki dan 7% pada perempuan. Di
Amerika tergantung pada ras, jenis kelamin, dan geografis. Di
Indonesia pada tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan di rumah
sakit di seluruh Indonesia sebesar 37.636 kasus baru dengan jumlah
kunjungan sebesar 58.989 orang. Sedangkan jumlah pasien yang
dirawat adalah sebesar 19.018 orang dengan jumlah kematian
sebesar 378 orang. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak
dibidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan prostat benigna.

2.1.3 Etiologi

Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau


terbentuk diseluruh salurah kemih terutama pada tempat -tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem
kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis
(stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko kronik, seperti
Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya
pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014).

11
Menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan batu
saluran kemih adalah sebagai berikut:

1) Teori Nukleasi
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari
inti batu yang membentuk kristal atau benda asing. Inti batu
yang terdiri dari senyawa jenuh yang lama kelamaan akan
mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin dengan
kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu karena
mudah sekali untuk terjadi kristalisasi.

2) Teori Matriks Batu

Matriks akan merangsang pembentukan batu karena


memacu penempelan partikel pada matriks tersebut. Pada
pembentukan urin seringkali terbentuk matriks yang merupakan
sekresi dari tubulus ginjal dan berupa protein (albumin, globulin dan
mukoprotein) dengan sedikit hexose dan hexosamine yang
merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.

3) Teori Inhibisi yang Berkurang

Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau


berkurangnya faktor inhibitor (penghambat) yang secara alamiah
terdapat dalam sistem urinaria dan berfungsi untuk menjaga
keseimbangan serta salah satunya adalah mencegah terbentuknya
endapan batu. Inhibitor yang dapat menjaga dan menghambat
kristalisasi mineral yaitu magnesium, sitrat, pirofosfat dan peptida.
Penurunan senyawa penghambat tersebut mengakibatkan proses
kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat terbentuknya
batu (reduce of crystalize inhibitor). Batu terbentuk dari traktus
urinarius ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga
dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu,
seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam

12
urin. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu
mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu cenderung
terjadi pada pasien dehidrasi) (Boyce, 2010; Moe, 2006).

Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2


faktor antara lain faktor endogen seperti hiperkalsemia,
hiperkalsiuria, pH urin yang bersifat asam maupun basa dan
kelebihan pemasukan cairan dalam tubuh yang bertolak belakang
dengan keseimbangan cairan yang masuk dalam tubuh dapat
merangsang pembentukan batu, sedangkan faktor eksogen seperti
kurang minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan
terjadinya pengendapan kalsium dalam pelvis renal akibat
ketidakseimbangan cairan yang masuk, tempat yang bersuhu
panas menyebabkan banyaknya pengeluaran keringat, yang akan
mempermudah pengurangan produksi urin dan mempermudah
terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung purin yang
tinggi, kolesterol dan kalsium yang berpengaruh pada
terbentuknya batu (Boyce, 2010; Corwin, 2009; Moe, 2006).

2.1.4 Faktor Risiko

Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang


disebut faktor resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan
intervensi yang dapat mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor
resiko yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah antara
lain: umur atau penuaan, jenis kelamin, riwayat keluarga, penyakit-
penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus dan lain-lain.

1) Jenis Kelamin
Pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki
70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu
penyebabnya adalah adanya peningkatan kadar hormon
testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-

13
laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013). Selain itu,
perempuan memiliki faktor inhibitor seperti sitrat secara alami dan
pengeluaran kalsium dibandingkan laki-laki (NIH 1998-2005
dalam Colella, et al., 2005; Heller, et al., 2002).

2) Umur

Urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding


usia tua, namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka
usia tua lebih sering terjadi (Portis & Sundaram, 2001). Rata-
rata pasien urolithiasis berumur 19-45 tahun (Colella, et al.,
2005; Fwu, et al., 2013; Wumaner, et al., 2014).

3) Riwayat Keluarga

Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis


ada kemungkinan membantu dalam proses pembentukan
batu saluran kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin
disebabkan karena adanya peningkatan produksi jumlah
mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat
membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau calculi
(Colella, et al., 2005).

4) Kebiasaan diet dan obesitas

Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat


ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa,
arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam
dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart,
2015). Selain itu, lemak, protein, gula, karbohidrat yang tidak
bersih, ascorbic acid (vitamin C) juga dapat memacu
pembentukan batu (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).

5) Faktor lingkungan

14
Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak
geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka
kejadian urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain
(Purnomo, 2012). Urolithiasis juga lebih banyak terjadi pada
daerah yang bersuhu tinggi dan area yang gersang/kering
dibandingkan dengan tempat/ daerah yang beriklim sedang
(Portis & Sundaram, 2001). Iklim tropis, tempat tinggal yang
berdekatan dengan pantai, pegunungan, dapat menjadi faktor
resiko terjadinya urolithiasis (Colella, et al., 2005).

6) Pekerjaan

Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan


yang bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau
terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan dan
merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu
karena adanya penurunan jumlah volume urin (Colella, et al.,
2005). Aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya urolithiasis,
hal ini ditunjukkan dengan aktivitas fisik yang teratur bisa
mengurangi resiko terjadinya batu asam urat, sedangkan
aktivitas fisik kurang dari 150 menit per minggu menunjukkan
tingginya kejadian renal calculi seperti kalsium oksalat dan
asam urat (Shamsuddeen, et al., 2013).

7) Cairan

Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari,


kurangnya intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama
terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena hal ini
dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin
(Domingos & Serra, 2011). Kemungkinan lain yang menjadi
penyebab kurangnya volume urin adalah diare kronik yang
mengakibatkan kehilangan banyak cairan dari saluran
gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari

15
keringat berlebih atau evaporasi dari paru-paru atau jaringan
terbuka (Colella, et al., 2005).

Asupan cairan yang kurang dan tingginya kadar mineral


kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden
urolithiasis (Purnomo, 2012). Beberapa penelitian menemukan
bahwa mengkonsumsi kopi dan teh secara berlebihan dapat
meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Begitu hal nya
dengan alkohol, dari beberapa kasus didapatkan bahwa
sebanyak 240 orang menderita batu ginjal karena
mengkonsumsi alkohol hal ini disebabkan karena seseorang
yang mengkonsumsi alkohol secara berlebih akan banyak
kehilangan cairan dalam tubuh dan dapat memicu terjadinya
peningkatan sitrat dalam urin, asam urat dalam urin dan
renahnya pH urin. Selain itu, mengkonsumsi minuman ringan
(minuman bersoda) dapat meningkatkan terjadinya batu ginjal
karena efek dari glukosa dan fruktosa (hasil metabolisme
dari gula) yang terkandung dalam minuman bersoda
menyebabkan peningkatan oksalat dalam urin.

8) Co-Morbiditi

Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia dan


hiperoksalauria (Kim, et al., 2011). Hal ini dikuatkan oleh
Shamsuddeen, et al., (2013) yang menyatakan bahwa kalsium
oksalat (34,8%), asam urat (25%) dan magnesium (42,9%)
pada pasien hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya
urolithiasis dan pada umumnya diderita pada perempuan
(69%). Prevalensi pasien diabetes mellitus yang mengalami
urolithiasis meningkat dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi
8,2% pada tahun 2010 (Antonelli, et al, 2014).

Urolithiasis yang dikarenakan diabetes mellitus terjadi


karena adanya resiko peningkatan asam urat dan kalsium

16
oksalat yang membentuk batu melalui berbagai mekanisme
patofisiologi (Wong, 2015). Selain itu, diabetes mellitus juga
dapat meningkatkan kadar fosfat (25%) dan magnesium
(28,6%) yang menjadi alasan utama terjadinya renal calculi
atau urolithiasis pada pasien diabetes mellitus (Shamsuddeen,
et al., 2013).

2.1.5 Manifestasi Klinik

Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak


batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker,
2009). Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien
urolithiasis:

1) Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu
nyeri kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya
stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi
dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri
kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem
kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk
mengeluarkan batu pada saluran kemih. Peningkatan
peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat
sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang
memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal
karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo,
2012) sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan
produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa
nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan
menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah)
akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan

17
labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas
dari urolithiasis, khususnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart,
2015).

2) Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin
(urine flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk
miksi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi
saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke
vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada
pasien uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran paling
akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun
hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi
(Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat
keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada
perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka
dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo, 2012).

3) Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter)
sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin
yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang
disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan
bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart, 2015).
Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien urolithiasis, namun
jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal maka
seringkali menimbulkan hematuria yang masive, hal ini
dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki
sensitivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu
yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009).

4) Mual dan muntah

18
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi
ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat
hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan
memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu,
hal ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari
celiac plexus, namun gejala gastrointestinal biasanya tidak ada
(Portis & Sundaram, 2001).

5) Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke
tempat lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi,
palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan
tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan
dibidang urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan
letak kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari
timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi berupa
drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012).

6) Distensi vesika urinaria


Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika
urinaria akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada
vesika. Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi)
pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker,
2009).

2.1.6 Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urin dan


menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urin dan menurunnya
volume urin akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urin
adalah gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, et al., 2005),

19
selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi
batu yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab
urolithiasis. Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter
paling mungkin tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut :

a) sambungan ureteropelvik;
b) titik ureter menyilang pembuluh darah iliaka dan
c) sambungan ureterovesika.

Perjalanan batu dari ginjal ke saluran kemih sampai dalam


kondisi statis menjadikan modal awal dari pengambilan keputusan untuk
tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada pelvis akan
membentuk pola koligentes yang disebut batu staghorn.

2.1.7 Diagnosis

A. Gejala

Gejala yang paling sering meliputi penderita merasakan nyeri


pinggang. Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu
bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Selain itu pasien sulit
sekali untuk miksi secara spontan dan merasa nyeri saat miksi
karena adanya obstruksi pada saluran kemih. Penderita juga
mengeluh adanya kencing bercampur darah. Pasien juga bisa
merasakan demam bila terjadi urosepsis atau adanya infeksi
saluran kemih.

B. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Inspeksi bentuk abdomen apakah ada kelainan bentuk atau
kelainan kongenital maupun bekas operasi.
2. Palpasi
Dilakukan palpasi pada regio abdomen apakah terdapat
massa atau nyeri tekan. Setiap massa yang teraba atau suatu

20
lymphadenopathy, harus dinilai lokasinya, ukurannya,
konsistensinya, bentuk, mobilitas atau fiksasinya. Selain itu
dilakukan palpasi pada regio suprapubic untuk mengetahui adanya
distensi pada kandung kemih yang menandakan adanya retensi
urin.
3. Perkusi
Perkusi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui adanya nyeri
ketuk pada kedua costovertebral.

C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik

Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012)


diagnosis urolithiasis dapat ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan seperti:

1) Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur


kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total
(Portis & Sundaram, 2001).

2) Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.

3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri


dalam urin (bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).

4) Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat


kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-
batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-
opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,

21
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen)
(Purnomo, 2012).

5) Intra Vena Pielografi (IVP)

IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya


batu pada saluran kemih. Pyelogram intravena yang
disuntikkan dapat memberikan informasi tentang batu (ukuran,
lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan
derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis
& Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu
semi-opak ataupun non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto
polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran
kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Brunner
&Suddart, 2015; Purnomo, 2012).

6) Ultrasonografi (USG)

USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan


merupakan manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun
demikian USG merupakan jenis pemeriksaan yang siap sedia,
pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi atau batu
pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis
& Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak
memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada
keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal
ginjal yang menurun, pada wanita yang sedang hamil (Brunner
& Suddart, 2015; Purnomo, 2012). Pemeriksaan USG dapat
menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).

2.1.8 Penatalaksanaan

22
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah
untuk menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah
penghancuran nefron, mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang
mungkin terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih


secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih
berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih
adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa
tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah dengan melakukan
observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran kemih
tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan
batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal:
ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi
/ cystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi,
pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015;
Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).

2.1.9 Komplikasi

Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga


dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada
pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut
ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut
maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-
gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al.,
2005; Purnomo, 2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih
juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi
urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam
basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa
darah ke seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001;
Prabowo & Pranata, 2014).

23
2.1.10 Prognosis

Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak


batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu,
makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi
dapat mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan
dan adanya infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal.

Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%


dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang
karena masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien
yang ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil
yang baik ditentukan pula oleh pengalaman operator (Netter,2006).

24
BAB 3

PEMBAHASAN

Diagnosis Batu Pyelum dibuat berdasarkan pada triple diagnostic


procedures.

A. Pemeriksaan Klinis

1. Anamnesa

 Laki-laki berusia 45 tahun

Dimana insiden batu ginjal umumnya terjadi pada laki-laki


70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu
penyebabnya adalah adanya peningkatan kadar hormon
testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-
laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).

 Pada anamnesis pasien dengan batu pyelum ini dapat


ditemukan adanya keluhan nyeri pinggang kiri hebat disertai
dengan demam dan menggigil. Nyeri pada ginjal dapat
menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non kolik.
Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran
kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan
sekitar (Brooker, 2009). Demam terjadi karena adanya kuman
yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam yang disertai
dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di
kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis (Purnomo, 2012).

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

– Tampak adanya bekas operasi pada regio lumbalis sinistra

25
Palpasi

– Terdapat nyeri tekan (flank pain) pada regio lumbalis sinistra

Perkusi

– Terdapat nyeri ketuk pada regio lumbalis sinistra

3.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap

Pada hasil pemeriksaan didapatkan peningkatan sel darah


putih (WBC). Hal tersebut menandakan adanya infeksi bakteri.

Pemeriksaan kimia klinik

Pada hasil pemeriksaan didapatkan BUN dan creatinin dalam


batas normal yang menandakan fungsi ginjal baik. SGOT dan
SGPT dalam batas normal.

Pemeriksaan IVP

IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan


adanya batu pada saluran kemih. Pyelogram intravena yang
disuntikkan dapat memberikan informasi tentang batu (ukuran,
lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan
derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis
& Sundaram, 2001). Pada pemeriksaan IVP tampak batu radio
opaque di paravertebral kiri setinggi L3 dengan ukuran sekitar 5 x
3 cm.

Pemeriksaan foto polos

Pada pemeriksaan foto polos tampak adanya DJ stent yang


dipasang untuk mengurangi obstruksi.

B. Diagnosis

Pada pasien ini diagnosis kerjanya adalah batu pyelum


sinistra.

26
C. Planning Terapi

– Tindakan operatif pyelolithotomy

– Pemberian antibiotic Ciprofloxacin 3x500 mg 10-14 hari

– Asam mefenamat bila nyeri

27
DAFTAR PUSTAKA

Antonelli, J.A., Maalouf, N.M., Pearle, M.S., & Lotan, Y. (2014). Use
of the National Health and Nutrition Examination Survey to Calculate the
Impact of Obesity and Diabetes on Cost and Prevalence of Urolithiasis in
2030. Eur Urol; 66(4). 724-729

Boyce, C.J., Pickhardt, P.J., Lawrence, E.M., Kim, D.N., & Bruce,
R.J. (2010). Prevalence of urolithiasis in asymptomatic adult: objective
determination using low dose noncontrast computerized tomography. J.
Urol. 183(3): 1017-21. doi.10.1016/J.Juro.2009.11.047

Brooker, C. (2009). Ensiklopedian Keperawatan. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Brunner & Suddart. (2015). Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 12.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Colella, J., Kochis, E., Galli, B., & Manuver, R. (2005). Urolithiasis/
Nephrolithiasis: What’s It Alla About?. Urology Nursing. Vol. 24. No. 6: 427-
449

Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Domingos, F., & Serra, A. (2011). Nephrolithiasis is associated with


an increased prevalence of cardiovascular disease. Nephrol Dial
Transplant. 26: 864-868

Gamal, M., Assimos, D.G., & Sayed, M.A. (2010). Prospective


randomized trial of extracorporeal shock wave lithotripsy for nephrolithiasis-
initial result. The Journal of Urology. 166(6):2072-80.

Grace, P.A., & Borley, N.R. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi
Ketiga. Jakarta: Erlangga Medical Series.

28
Fwu, C.W., Eggers, P.W., Kimmel, P.L., Kusek, J.W., & Kirkali, Z.
(2013). Emergency department visits, use of imaging, and drugs for
urolithiasis have incerased in the United States. Kidney International: 83,
479-486

Heller, H.J., Sakhaee, K., Moe O.W., & Pak, C.Y. (2002). Etiological
role of estrogen status in renal stone formation. J. Urol. 168: 1923-7.

Kim, Y.J., Park, M.S., Kim W.T., Yun, S.J., Kim, W.J., & Lee, S.C.
(2011). Hypertension influencereccurent stone formation in nonobese stone
formers. Urology; 77(5): 1059-1063

Mehmed, M.M., & Ender O., (2015). Effect of urinary stone disease
and it’s treatment on renal function. World J Nephrol: 4(2): 271-276

Moe, O.W. (2006). Kidney stones: pathophysiology and medical


management. Lancet; 367(9507):333-44.

Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.

O’Callaghan, C. (2009). At a Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua.


Erlangga Medical series. Jakarta.

Pearle, M.S, et al. (2005). Urologic diseases in America project:


urolithiasis. J Urol;173(3):848-857.

Portis A.J., & Sundaram, C.P. (2001). Diagnose and initial


management of kidney stone. American Family Physician. Vol. 63. No. 7:
1329-1338

Prabowo, E., & Pranata, A.E. (2014). Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Sistem Perkemihan Pendekatan NANDA, NIC dan NOC.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, Basuki 2010. Dasar-dasar Urologi. edisi ketiga. Sagung


seto: Jakarta

29
Rahardjo, O., & Hamid, R. (2004). Perkembangan penatalaksanaan
batu ginjal di RSCM tahun 1997-2002. J. I. Bedah Indonesia. 32(2):58-63

Shamsuddeen, S.B., Bano, R., & Shammari, E.A. (2013). Risk


Factors of Renal Calculi. IOSR Journal of Dental and Medical Science
(IOSR-JDMS). Volume 11, Issue 6, 90-95

Wong, Y.V., Cook, P., & Somani, B.K. (2015). The association of
metabolic syndrome and urolithiasis. International Journal of Endocrinology.
Vol 2015: 1-9. ID.570674:

Wumaner, A., Keremu, A., Wumaier, D., & Wang, Q. (2014).


Variation in urinary stone composition between adult Uyghur and Han
patients with urolithiasis in Xinjiang, China. Urology. 84(4):772-8.

30

Anda mungkin juga menyukai