Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Otak berada didalam rongga tengkorak,yang dilindungi oleh selaput durameter. Struktur tulang
tengkorak yang kaku dan keras serta selaput durameter yang tidak elastis mengurangi kemungkinan
pengembangan jaringan otak dalam keadaan tertentu. Di dalam rongga tengkorak yang kaku terdapat
jaringan otak,darah dan pembuluh darah serta cairan serebrospinalis.
Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak,
volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila volume dari salah satu faktor tadi
meningkat dan tidak dapat dikompensasi oleh kedua faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi
intrakranial. Tekanan tinggi intrakranial secara klasik ditandai dengan suatu trias, yaitu nyeri kepala,
muntah-muntah dan papil edema. Dalam hal ini foto polos kepala dapat membantu untuk
menentukan ada tidaknya tekanan tinggi intrakranial.

Peninggian tekanan intrakranial merupakan bencana sejak masa awal bedah


saraf, dan tetap merupakan penyebab kematian paling sering pada penderita bedah
saraf. Ini terjadi pada penderita cedera kepala, stroke hemorrhagic, trombotik, serta
lesi desak ruang seperti tumor otak. Massa intra kranial bersama pembengkakkan
otak meninggikan TIK dan mendistorsikan otak.
Cara untuk mengurangi TIK dengan cairan hipertonik yang mendehidrasi otak,
menjadi bagian penting pada tindakan bedah saraf. Beberapa proses patologi yang
mengenai otak dapat menimbulkan peninggian tekanan intrakranial. Sebaliknya
hipertensi intrakranial mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap out come pasien.
Intrakranial dan tanda-tanda neurologi yang umum terjadi pada herniasi tentorial,
hingga saat ini sedikit informasi direk tentang kejadian, derajat dan tanda klinik yang
jelas dari peninggian TIK.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemantauan TIK merupakan satu-satunya
cara untuk memastikan dan menyingkirkan hipertensi intrakranial. Bila hipertensi
terjadi, pemantauan TIK merupakan satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk
menilai tentang kerja pengobatan dan memberikan kesempatan dini untuk mengubah
pilihan terapi bila tampak kegagalan. Bila tak terdapat peninggian TIK, pengobatan
yang potensial berbahaya dapat dihindari. Bila pasien dalam keadaan paralisa atau
tidur dalam, pengamatan neurologis konvensional tidak ada gunanya dan

1
pemantauan TIK dapat memberikan nilai tekanan perfusi serebral dan indeks dari
fungsi serebral.
BAB II
TRAUMA VERTEBRA

2.1. ANATOMI SUSUNAN SARAF PUSAT


ANATOMI SUSUNAN SARAF PUSAT Susunan saraf pusat terdiri dari:

Otak (otak besar dan otak kecil), Batang otak (terdiri atas mesensefalon, pons dan medula
oblongata), Medula spinalis Otak dan batang otak keduanya terletak didalam rongga tengkorak.
Sedangkan medula spinalis terletak di dalam kanalis vertebralis.

Otak besar (serebrum), terdiri atas:

Korteks serebri, adalah substansia grisea yang terletak pada permukaan hemisfer serebri. Tiap
Hemisfer serebri terdiri atas lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus oksipitalis

Medulla serebri, adalah bagian sentral dari hemisfer serebri yang letaknya dibawah korteks serebri.
Medula serebri terdiri atas substansia alba, ventrikulus lateralis, dan kelompok nuclei.

Otak kecil (serebelum), terdiri atas Vermis, terletak disebelah medial dari serebelum dan merupakan
bagian yang kecil dari serebelum.

Hemisfer serebeli, terletak disebelah lateral serebelum dan merupakan bagian yang besar. Batang
otak, terdiri atas mesensefalon, pons dan medula oblongata. Pada batang otak terdapat inti saraf otak.

Peredaran darah otak. Otak mendapat darah dari arteri vertebralis dan arteri karotis interna. Arteri
vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga tengkorak melalui foremen
oksipitale magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri berjalan di permukaan ventral medula
oblongata dan pada batas kaudal pons kedua arteri bersatu membentuk arteri basilaris. Arteri karotis
interna setelah masuk rongga tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri
serebri media, arteri komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri
hipofise inferior.

Peredaran darah vena. Sistim vena sentral terdiri atas:

• Aliran vena serebral eksternal atau superfisial • Aliran vena serebral internal atau profunda Kedua
sistim vena ini mengalirkan darah kedalam sinus venosus. Anastomose banyak terjadi antara dua

2
kelompok ini melalui anyaman pembuluh didalam substansi otak. Dari sinus venosus melalui vena
emisries darah balik ini diteruskan ke vena ekstrakra

2.2. KLASIFIKASI TRAUMA VERTEBRA

a. Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan :

1. Stabil
2. Tidak stabil
Cedera vertebra menurut kestabilannya terbagi menjadi cedera stabil dan
cedera tidak stabil. Stabilitas dalam hal trauma tulang belakang dimaksudkan
tetap utuhnya komponen Ligamentum Posterior pada saat terjadinya trauma,
sehingga memungkinkan tidak terjadinya pergeseran satu segmen tulang
belakang terhadap lainnya. Sebaliknya cedera tidak stabil artinya cedera yang
menyebabkan pergeseran antara segmen tulang belakang yang satu dengan
yang lainnya karena komponen Ligamentum Posterior mengalami kerusakan
atau robek.2

b. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma :

1. Flexi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra.
Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak
ligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur ini
tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak maka fraktur
bersifat stabil. 2

Gambar 2.6 : Cedera Fleksi

3
2. Rotasi-fleksi
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi dan
rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya,
kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau
bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini
adalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan
atau tanpa kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak stabil
dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan neurologik.2

Gambar 2.7 : Cedera rotasi-fleksi


3. Kompresi Vertikal (aksial)
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau
lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra, dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke
dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Karena
unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil.
Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis
dan inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya, kerusakan neurologik
sering terjadi. 2

4
Gambar 2.8 : Cedera Kompresi Vertikal

4. Hiperekstensi
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher.
Pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan
tanpa menyangga oksiput sehingga kepala membentur bagian atas
punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mungkin mengalami kerusakan. Cedera ini stabil karena tidak merusak
ligamen posterior. 2

Gambar 2.9 : Cedera Hiperekstensi

5. Translasi Horizontal

5
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser
ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak stabil dan sering
menimbulkan kerusakan syaraf.2

Gambar 2.10 : Cedera Translasi Horizontal

6
2.3. TRAUMA VERTEBRA SERVIKAL

a. Hiperfleksi

1. Subluksasi Anterior
Dimana terjadi robekan pada sebagian ligamen di Posterior tulang leher,
sedangkan Ligamen Longitudinal Anterior utuh. Tanda penting pada Sublukasi
Anterior adalah adanya angulasi ke Posterior (kifosis) lokal pada tempat
kerusakan Ligamen. Tanda-tanda lainnya yaitu jarak yang melebar antara
Prosesus Spinosus dan subluksasi sendi Apofiseal.2

Gambar 2.11 : Subluksasi Anterior

2. Bilateral Facet Dislocation


Biasanya terjadi robekan pada Ligamen Longitudinal anterior dan kumpulan
Ligamen di Posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak dislokasi anterior
korpus vertebra. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra
tersbut menunjukkan dislokasi bilateral. Terdapat gambaran ”Bat Wing” pada
facet joint dan intervetebral disc space.2

7
Gambar 2.12 : Bilateral Facet Dislocation

3. Flexion Tear Drop Fracture Dislocation


Tenaga flexi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan pada
Ligamen Longitudinal Anterior dan kumpulan Ligamen Posterior disertai fraktur
avulsi pada bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil. Pada
gambaran radiologis fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-
inferior korpus vertebra. Seringkali tampak pembengkakan jaringan lunak
prevertebral.2

Gambar 2.13 : Flexion Tear Drop Fracture Dislocation

8
4. Wedge Fracture
Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligamen longitudinal anterior dan
posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.2

Gambar 2.14 : Wedge Fracture

5. Clay Shoveler’s Fracture


Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi Ligamen Posterior tulang leher
mengakibatkan terjadiknya fraktur Oblik pada Prosesus Spinosus biasanya
terjadi pada C7. Bersifat stabil.2

Gambar 2.15 : Clay Shoveler’s Fracture

9
b. Hiperekstensi

1. Hangman’s Fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3.2

Gambar 2.16 : Hangman’s Fracture

c. Fraktur Kompresi Vertikal

1. Bursting Fracture
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau
lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke
dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture).2

Gambar 2.17 : Bursting Fracture

10
2. Jefferson Fracture
Fraktur kompresi pada cincin tulang vertebra C1, ditandai dengan terpisahnya
Lateral Mass menyebabkan dislokasi antara C1 dengan C2.2

Gambar 2.18 : Jefferson Fracture

3. Odontoid Fracture
Fraktur pada Procesus Odontoid atau Dens. Fraktur Procesus Odontoid
dibedakan 3 macam :2

Gambar 2.19 : Odontoid Fracture

11
2.4. TRAUMA VERTEBRA THORAKOLUMBAR

a. Fraktur Kompresi (Wedge Fracture)

Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna


vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan
posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya
metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra
dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran
vertebra sebenarnya.2

Gambar 2.20 : Fraktur Kompresi

b. Fraktur Remuk (Burst Fracture)

Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung,
dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis.
Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi
tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk
cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisis. Tipe burst fracture sering
terjadi pada thoracolumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan
defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan foto x-ray dan
CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut
merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan

12
pemeriksaan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak,
kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.2

Gambar 2.21 : Burst Fracture

c. Fraktur Dislokasi

Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena


kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga
sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Kerusakan akan terjadi pada ketiga
bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi
yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan
komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada
ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi
korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior.
kolumna vertebralis.2

13
Gambar 2.22 : Fraktur Dislokasi

d. Cedera Pisau Lipat (Seat Belt Fracture)


Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba
mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur
sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat
menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang
bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman,
tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra
kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak
sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.2

Gambar 2.23 : Seat Belt Fracture

14
2.5. TRAUMA MEDULLA SPINALIS
Trauma medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan :
a. Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motoric normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang dipakai
berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan
fungsi sensorik normal. Level motoric juga didefinisikan hampir sama, sebagai fungsi
motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak 3/5.
Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik dan/atau motoric di
bawah segmen normal terendah hal ini disebut zona preservasi parsial.
Perbedaan yang jelas terjadi di antara lesi di atas dan di bawah T1. Cedera
pada 8 segmen medulla spinalias servikal akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi di
bawah T1 menyebabkan paraplegi. Level tulang trauma adalah tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis.
Level neurologis trauma ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali
ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena nervus spinalis
memasuk kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun di dalam kanalis
spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis. Semakin kaudal suatu
cedera, semakin jelas perbedaan yang terjadi.1

b. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medulla spinalis dibagi menjadi :
 Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
 Paraplegia komplit (torakal komplit)
 Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
 Tetraplegia komplit (servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari
semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motoric atau sensorik di bawah level
trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi
adanya sensasi (termasuk posisi) atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral
sparing (misalnya sensasi perianal), kontraksi sfingter ani volunter, dan fleksi ibu jari
kaki volunter. Refleks sakral, seperti reflex bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak
termasuk dalam sacral sparing.1

15
c. Sindrom Medulla Spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.1

Sindrom Deskripsi

Anterior Ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi

cord dengan hilangnya sensasi neri dan suhu. Fungsi kolumna

posterior (posisi, vibrasi dan tekanan dalam) tetap bertahan

Brown- Kehilangan motoric ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan

Sequard hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan

hilangnya sensitivitas nyeri dan suhu pada sisi kontralateral

Central cord Khusus pada regio sentral, kekuatan motorik ekstremitas

atas lebih lemah dibanding ekstremitas bawah, denga

kehilangan sensorik yang bervarisasi. Biasanya terjadi

setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah

mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya

Dorsal cord Lesi terjadi pada bagian sensori terutama mempengaruhi

(posterior propioseptif

cord)

Conus Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanalis

medullaris neuralis ; arefleks pada vesika urinaria, pencernaan dan

anggota gerak bawah

Cauda Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis

equina yang mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan

dan anggota gerak bawah

Tabel 2.1 : Sindroma Medulla Spinalis

16
d. Morfologi
Cedera tulang spinal dapat dideskripsikan sebagai fraktur, fraktur-dislokasi,
cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiologis-spinal cord injury without
radiographic abnormalities (SCIWORA), dan cedera penetrasi. Masing-masing
kategori dibagi menjadi stabil dan tidak stabil. Namun, menentukan stabilitas dari
masing-masing tipe trauma tidaklah mudah, dan bahkan banyak para ahli yang belum
sepakat. Sehingga pada tatalaksana inisial, semua pasien dengan trauma yang
dibuktikan secara radiologis dan semua pasien dengan defisit neurologis harus
dianggap mengalami cedera spinal yang tidak stabil. Pasien-pasien seperti ini harus
diimobilisasi kompeten, biasanya ahli bedah saraf atau orthopaedi.1

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik adanya trauma vertebra didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan akan adanya cedera pada
vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat
bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan trauma tumpul
diatas klavikula, trauma kepala atau menurunnya kesadaran, harus dicurigai adanya
cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian
atau dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada
cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera medulla spinalis,
jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis
pada tungkai.1
Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda
fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat
stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat
dan tingkat lesi saraf dengan CT-Scan atau MRI. Pemeriksaan neurologik harus
dilakukan dengan teliti. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang
tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan tentang tanda-tanda shock juga sangat
penting. Macam-macam syok yang dapat terjadi pada trauma vertebra :
 Syok hipovolumik : ditandai dengan takikardia, akral dingin dan hipotensi jika
sudah lanjut
 Syok neurogenic : hilangnya aktivitas simpatis yang ditandai dengan
hipotensi, bradikardi

17
 Syok spinal : disfungsi dari medulla spinalis yang ditandai dengan hilangnya
fungsi sensoris dan motoris. Keadaan ini akan kembali normal tidak lebih dari
48 jam
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah :
 Foto polos X-ray : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya fraktur
ataupun pergeseran pada tulang vertebra
 CT-Scan
 MRI : sering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada
ligament dan diskus intervertebralis, serta dapat menilai cedera medulla
spinalis1

a. Foto polos X-Ray


Pada radiografik AP, jarak interpedikuler meningkat dari L1 ke L5. Pada
radiografik lateral, korpus vertebra L1 sering sedikit terjepit di anterior karena
kondensasi endplates. Pembengkakan jaringan lunak dapat menunjukkan fraktur,
bahkan jika fraktur tidak dapat langsung divisualisasikan. Fraktur burst, yang
merupakan salah satu cedera serius pada vertebra lumbal, umumnya mudah
terdeteksi pada radiografik AP lumbal. Pada radiografik lateral, kriteria ketidakstabilan
adalah tinggi korpus vertebra berkurang lebih dari 50%, angulasi torakolumbal junction
lebih dari 20°, terdapat cedera neurologik, dan penyempitan kanal lebih dari 30%.
Intervensi bedah secara dini diindikasikan untuk cedera seperti ini, sehingga kompresi
tambahan pada fraktur dan cedera neurologik yang lebih berat dapat dihindari.

b. CT-Scan
Potongan CT-scan aksial merupakan teknik yang paling sensitif untuk
mendiagnosis fraktur lumbal. CT-scan vertebra lumbal sangat penting karena dapat
menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi, bahkan selama evaluasi multisistem
pada kasus trauma. Oleh karena tingginya insidensi trauma multipel, CT-scan
abdomen, pelvis, dan vertebra lumbal dianjurkan pada trauma tumpul.3

c. MRI
Peran MRI pada trauma vertebra akut adalah untuk mengevaluasi gejala-gejala
neurologik dan dugaan terdapatnya ligament disruption. Magnetic resonance imaging
dapat langsung memvisualisasikan medula spinalis, yang memungkinkan dilakukan
penilaian adanya kompresi sumsum tulang belakang, memar, dan perdarahan. Pada

18
kasus mielopati akut traumatik, lesi seperti hematoma epidural, prolaps diskus akut,
dan gangguan ligamen dapat ditunjukkan dan ini merupakan suatu keunggulan dari
MRI. Hasil pemeriksaan MRI ini bermanfaat dalam melakukan koreksi pembedahan
dan menyelamatkan fungsi neurologis. Pemeriksaan MRI vertebra lumbal dapat
menunjukkan fraktur vertebra, dan sebagian besar kelainan kesegarisan (alignment).
Pola cedera sama dengan yang ditunjukkan pada radiografik polos. Magnetic
resonance imaging lebih unggul dibandingkan dengan radiografik polos dan CT-scan
untuk mendeteksi cedera jaringan lunak pada ligamen, kapsul segidan ruang
prevertebral. Magnetic resonance imaging juga unggul untuk mendeteksi perdarahan
epidural pada kasus cedera vertebra.

2.7. MANAJEMEN UMUM


Manajemen umum pada pasien dengan trauma vertebra maupun trauma
spinal dan medulla spinalis secara umum meliputi survey primer, survey sekunder,
imobilisasi, cairan intravena dan rujukan bila pasien stabil.1

a. Survey Primer
Meliputi evaluasi Airway, Breathing, Circulation, Disabilty, dan Exposure
 A : bebaskan jalan nafas
 B : look, feel, listen untuk evaluasi pola serta adekuasi nafas
 C : evaluasi hemodinamik & kontrol pendarahan jika ada
 D : evaluasi neurologis (GCS, ukuran & reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
 E : periksa dan evaluasi tubuh pasien dengan buka keseluruhan
pakaian tanpa mengabaikan aspek hipotermia pada pasien 1

b. Survey Sekunder
Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC pada pasien dipastikan membaik. Survey sekunder adalah
pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Pada survey sekunder dilakukan pemeriksaan neurologi
lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survey primer.
Pada survey sekunder ini juga dikerjakan foto ronsen dan pemeriksaan lab jika
memungkinkan.1

19
c. Imobilisasi
Pada imobilisasi terdapat tiga tujuan utama :
 Mempertahankan kesegarisan (alignment) vertebra
 Imobilisasi vertebra selama masa penyembuhan
 Mengatasi rasa nyeri dengan membatasi pergerakan

Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus diimobilisasi sampai


di atas dan di bawah daerah yang dicurigai sampai adanya fraktur disingkirkan dengan
pemeriksaan radiologi. Harus diingat bahwa proteksi spinal harus dipertahankan
sampai cedera servikal dapat disingkirkan. Imobilisasi yang baik dicapai dengan
meletakkan pasien dalam posisi netral-supine tanpa memutar atau menekuk kolumna
vertebralis.
Imobilisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin stabilisasi komplit
tulang servikal. Imobilisasi menggunakan spine board dengan ganjal bantal yang tepat
lebih efektif dalam membatasi gerakan leher. Penggunaan long spine board
dianjurkan. Cedera tulang servikal memerlukan imobilisasi yang terus menerus
dengan menggunakan cervical collar, imobilisasi kepala, backboard dan pengikat
sebelum dan selama pasien dirujuk ke tempat perawatan definitif. Jalan nafas adalah
hal yang penting pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Intubasi harus segera
dilakukan bila terdapat gangguan respirasi. Selama dilakukan intubasi, leher harus
dipertahankan dalam posisi netral.

Gambar 2.24 : Spineboard Immobilitation Package

20
Perhatian khusus dalam mempertahankan imobilisasi yang adekuat diberikan
pada pasien yang gelisah, agitatif atau berontak. Hal ini dapat disebabkan oleh karena
nyeri, kesadaran menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Jika diperlukan dapat diberikan sedative
atau obat paralitik, dengan tidak melupakan proteksi jalan nafas yang adekuat, control
dan ventilasi. Dianjurkan menggunakan obat yang bersifat short acting dan reversibel.
Saat pasien tiba di ruang gawat darurat, harus diusahakan agar pasien bisa
dilepaskan dari spine board yang keras untuk mengurangi resiko terjadinya ulkus
decubitus. Pelepasan alas keras sering dilakukan sebagai bagian dari survey
sekunder saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian belakang.
Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila
pemeriksaan radiologis tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam. 1

Gambar 2.25 : Metode Log Roll

d. Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan intravena diberikan
seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak ada atau tidak dicurigai adanya
pendarahan aktif, adanya hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolumik biasanya
mengalami takikardi sementara pasien dengan syok neurogenik secara klasik akan

21
mengalami bradikardi. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah pemberian cairan,
maka pemberian vasopressor seperti fenilefrin HCL, dopamine atau norepinefrin
secara hati-hati diindikasikan. Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan
edema paru pada pasien dengan syok neurogenik. Bila status cairan tidak jelas, maka
pemasangan monitor invasive bias menolong. Kateter urin dipasang untuk memonitor
pengeluaran urin dan mencegah distensi kandung kemih. 1

e. Transfer
Pasien dengan fraktur tulang spinal atau deficit neurologis harus dirujuk ke
fasilitas untuk perawatan definitif, Prosedur yang paling aman adalah dengan merujuk
setelah konsultasi per telepon dengan spesialis tulang belakang. Hindari penundaan
yang tidak perlu. Stabilisasi kondisi pasien dan pasang imobilisasi yang diperlukan,
backboard, dan/atau semirigid cervical collar. Ingat bahwa cedera spinal servikal di
atas C6 dapat menyebabkan kehilangan total atau parsial fungsi respirasi. Bila ada
keraguan mengenai adekuasi ventilasi, pasien sebaiknya diintubasi sebelum dirujuk. 1

2.8 MANAJEMEN OPERATIF


a. Trauma Vertebra Servikalis
Fraktur vertebra servikal mencakup 20−30% dari seluruh kasus fraktur
vertebra, sedangkan cedera medula spinalis servikal mencakup 50% dari
seluruhkasus cedera medula spinalis.Insidensi cederamedula spinalis servikal
dilaporkan sebesar 4−8% yang terjadi bersamaan dengan cedera kepala. Tingkat
keparahan cedera kepala dilaporkan memiliki korelasi positif dengan cedera servikal.
Cedera servikal terjadi pada level yang berbeda-beda sesuai kelompok usia. Secara
umum,insidensi cedera servikal sebesar 75% terjadi dibawah level C4, namun pada
usia dibawah 8 tahun terjadi pada level C3 keatas. Cedera servikal atas bersifat fatal,
dimana atlanto-occipital dislocation (AOD) dihubungkan dengan mortalitas sebesar
70−100%. Perbedaan anatomi servikal anak dan dewasa merupakan penyebab
utama perbedaan pola cedera.3

Teknik Pembedahan :

1. Posisi dan Monitoring Intraoperatif

Kebanyakan ahli bedah lebih menyukai posisi prone untuk pendekatan dorsal
dari vertebra. Walaupun demikian, beberapa ahli bedah lainnya lebih menyarankan

22
posisi duduk dalam tindakan yang melibatkan level servikal dan torakal atas. Hal ini
terutama lebih ditekankan pada tindakan yang tidak memerlukan instrumentasi dan
fusi. Permasalahan yang berkaitan dengan emboli udara pada posisi duduk amat
jarang, walaupun monitoring ketat dapat mendeteksi adanya udara yang memasuki
sistem vena pada sekitar 7% tindakan laminektomi pada posisi duduk. Walau
demikian, insidensi emboli udara yang signifikan dapat dijumpai pada prosedur yang
melibatkan level servikal tinggi, misalnya prosedur pada daerah foramen magnum.
Prosedur monitoring rutin yang digunakan adalah doppler prekordial dan pengukuran
end-expired CO2 and nitrogen dengan mass spectrometer. Ekokardiografi
esofagusdapat digunakan apabila risiko dinilai lebih besar. Apabila pasien berada
dalam posisi duduk, kateter vena biasanya digunakan dengan ujung pada atrium
kanan, sehingga udara yang memasuki sistem vena dapat diaspirasi.
Perlu ditekankan bahwa emboli udara dapat terjadi apabila dilakukan tindakan operasi
di mana terdapat vena yang terbuka pada lapang operasi dengan ketinggian beberapa
sentimeter di atas jantung. Pada kasus seperti itu, perlu dilakukan monitoring dan
terapi pencegahan yang tepat. Apabila pasien berada dalam posisi prone, seringkali
operator tergoda untuk melakukan fleksi pada leher untuk memperoleh lapang
pandang yang lebih baik daerah foramen magnum. Hal ini perlu dihindari, baik pada
pasien dengan posisi prone ataupun duduk, terutama apabila didapatkan adanya
instabilitas dari servikal atas.3

2. Insisi dan Ekspos Vertebra

Setelah pasien diposisikan, dibersihkan dan dilakukan drapping, dilakukan


insisi kulit vertikal untuk mengekspos elemen dorsal yang dibutuhkan dalam prosedur.
Diseksi yang tidak perlu tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan pascaoperasi,
namun juga dapat mengakibatkan kerusakan faset, timbulnya jaringan parutdan
kerusakan jaringan lunak sehingga mengakibatkan morbiditas. Pada anak, ekspos
lamina dapat mengakibatkan fusi elemen dorsal spontan yang tidak diinginkan.
Dengan ekspos yang minimal, radiografik umumnya dibutuhkan untuk
mengidentifikasi dan mengkonfirmasi level yang diperlukan. Diseksi subperiosteal
kemudian dilakukan untuk membebaskan otot dan jaringan lunak dari prosesus
spinosus dan lamina.3

23
3. Dekompresi Duramater

Banyak pernyataan dogmatis telah dibuat mengenai teknik yang digunakan


untuk mengangkat lamina. Wajar apabila dikatakan bahwa teknikapapun yang
digunakan, perlu diperhatikan agar tidak terjadi kompresi pada duramater atau elemen
saraf yang berada di bawahnya. Banyak ahli bedah vertebra yang menggunakan bor
berkecepatan tinggi untuk menipiskan lamina sehingga dapat dipisahkan dari
duramater dengan menggunakan kuret atau rongeur Kerrison bersudut kecil. Walau
demikian, rongeur bersudut kecil sekalipun sulit diletakkan di antara duramater dan
lamina apabila kanalis spinalis cukup sempit. Walaupun banyak yang menulis tentang
tidak sesuainya penggunaan rongeur Adson atau Leksell untuk mengangkat lamina,
alat tersebut dapat digunakan dengan aman apabila tidak digunakan dibawah lamina.
Apabila digunakan untuk menipiskan lamina dan tidak meletakkan moncong alat di
bawah lamina, lamina dapat ditipiskan dengan efisien dan pada beberapa kasus dapat
diangkat tanpa memindahkan atau menekan jaringan di bawahnya. Penting untuk
diingat bahwa tulang harus diangkat sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan
kompresi yang signifikan pada duramater atau radiks di bawahnya. 3

Gambar 2.26 : Teknik Laminektomi

Banyak teknik yang digunakan untuk mengangkat ligamen flavum. Walau


demikian, metode yang paling umum adalah untuk membuat insisi vertikal paralel
dengan aksis longitudinal dari kanalis spinalis, di mana lamina bertemu dengan
prosesus spinosus. Setelah duramater tampak di bawah potongan ini, alat tumpul
dapat diletakkan untuk memperbesar lubang searah dengan serabut. Ujung tumpul

24
dari bayonet seringkali sulit untuk menembus duramater, setipis apapun. Setelah
dilakukan insisi vertikal pada ligamen, Kerrison atau kuret dapat digunakan untuk
memotong sisa dari ligamen karena menempel pada lamina di atas dan di bawahnya
(Gambar 5.3 dan 5.4). Dengan menyertakan lebih kurang 1 mm tulang pada
pengangkatan, ligamen dapat diangkat dari tulang dan memaksimalkan ekspos dari
duramater. Sudah disampaikan sebelumnya bahwa harus berhati-hati agar tidak
mengangkat tulang lebih dari yang diperlukan. Laminotomi atau ekspos yang terlalu
kecil dapat mengakibatkan retraksi duramater atau radiks yang berlebihan.3

Gambar 2.27 : Teknik Flavektomi

4. Dekompresi Radiks

Laminoforminotomi keyhole untuk kompresi radiks servikal umumnya aman


dan dapat memberikan ekspos yang memuaskan. Teknik ini tidak menambah waktu
operasi dan angka morbiditas, serta mempertahankan struktur anatomi normal.
Tindakan memperbesar foramen dapat dikerjakan tanpa merusak sendi faset.
Destruksi sendi faset dapat mengakibatkan penurunan stabilitas. Raynor
menunjukkan bahwa pengangkatan faset bilateral lebih dari 50% akan secara
signifikan mengurangi kekuatan dari vertebra servikal. Seluruh bagian dari foramen
dapat diperbesar secara aman menggunakan kuret atau bor dengan tetap melakukan
preservasi faset lebih dari 50% dengan bekerja secara parallel dan di bawah radiks.

25
Setelah diperoleh ruang, kemudian dilakukan pengangkatan batas foramen yang
terletak dorsal dari radiks.3

Gambar 2.28 : Dekompresi Radiks

5. Pembedahan pada Herniasi Diskus dan Stenosis Foramen

Pada kasus kelainan diskus servikal atau kompresi radiks servikal akibat
stenosis foramen, dekompresi dimulai dengan hemilaminektomi parsial di bagian atas
dan bawah dari daerah yang dicurigai memiliki kelainan. Dengan mengangkat batas
inferior dari lamina superior ke arah lateral dan ligamen flavum, identifikasi dari batas
duramater lateral dan asal radiks dapat dilakukan. Aksila kemudian dapat diekspos
dengan mudah. Walaupun ekspos terutama pada bagian inferior, akan lebih baik
apabila dapat mengekspos batas superior dari radiks untuk dapat melakukan
identifikasi sempurna dan memperoleh ruang untuk mobilisasi radiks secara minimal.
Hal ini diperlukan setelah diskus yang terekstrusi diangkat. Seringkali terdapat ruang
kecil inferior dari radiks. Ruang ini harus diperbesar dengan kuret atau bor
berkecepatan tinggi. Perlu diingat untuk mengekspos aksila dari radiks, sehingga
radiks motorik tidak tertukar dengan bagian diskus yang terekstrusi. Identifikasi bagian
atas dari pedikel cukup membantu untuk menghindari kerusakan radiks motorik.
Ekspos yang inadekuat dari aksila dapat menyebabkan operator secara tidak
sengaja memisahkan radiks sensorik dan motorik karena menganggap radiks sebagai
jaringan fibrosa atau bagian dari diskus. Setelah mengidentifikasi aksila dan
melakukan cukup foraminotomi sehingga operator cukup yakin mengenai arah dari
radiks, hook tumpul dapat digunakan untuk mengangkat radiks yang bersangkutan
26
sehingga bagian bawahnya dapat dieksplorasi untuk mencari keberadaan ekstrusi
diskus.
Apabila didapatkan ekstrusi diskus, ligamen longitudinalis posterior (LLP) dapat
diinsisi dengan tekanan ringan di atas LLP dan menyebabkan fragmen terdorong
keluar di bawah radiks. Fragmen tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan
menggunakan pinset. Setelah pengangkatan fragmen, seringkali terdapat ruang
tambahan sehingga foramen dapat eksplorasi dan diperbesar apabila diperlukan.
Apabila hanya terdapat batas tulang keras diatas radiks, tulang tersebut tidak perlu
diangkat karena seringkali hanya dengan melakukan dekompresi radiks ke arah
dorsal di dalam foramendapat meringankan gejala. Namun demikian, kadang perlu
dilakukan pengangkatan osteofit lateral yang terletak ventral dari radiks apabila dilihat
menekan radiks secara signifikan, walaupun telah dilakukan dekompresi dorsal.
Ligamen longitudinalis posterior dibuka di bawah aksilla, dan dengan menggunakan
LLP untuk melindungi radiks dan duramater, bor berdiameter 2−3 mm dapat
dimasukkan melalui rongga pada LLP sehingga tulang dan osteofit dibawahnya dapat
dibuang. Lapisan tulang tipis yang tersisa dapat dipatahkan untuk mendekompresi
radiks servikal tanpa mengganggu retraksi radiks. Kadangkala sebagian kecil faset
media harus diangkat untuk mendapatkan visualisasi yang baik dari foramen, namun
pada umumnya foramen dapat diperbesar dengan sendi faset yang tetap intak.Upaya
ini dapat tercapai dengan cara membatasi reseksi tulang pada bagian medial dari
faset. Setelah pengangkatan diskus servikal yang terekstrusi, tidak perlu dan tidak
disarankan untuk memasuki rongga diskus servikal untuk mengangkat material diskus
yang berdegenerasi lebih banyak karena tindakan tersebut dapat berbahaya.
Umumnya visualisasi ruang akan membutuhkan retraksi radiks yang signifikan dan
dapat mengakibatkan kerusakan pada radiks.3

b. Trauma Vertebra Torakolumbar


Umumnya fraktur torakolumbalis (kompresi/wedge/burst) dapat diobati secara
konservatif dengan bracing, hanya fraktur burst berat yang memerlukan stabilisasi
bedah. Defisit neurologis merupakan salah satu indikasi bedah untuk dekompresi dan
stabilisasi. Indikasi umum lainnya untuk stabilisasi bedah fraktur burst termasuk
kehilangan atau gangguan kompleks ligamen posterior, yang dapat disimpulkan dari
≤25⁰ kifosis pada radiografik, atau visualisasi langsung dari gangguan kompleks
ligamen posterior pada pemeriksaan MRI T2-weighted sagital. Klasifikasi digunakan
27
untuk menentukan apakah fraktur burst akan gagal dilakukan tindakan instrumentasi
fiksasi short-segment dan memerlukan rekonstruksi kolom anterior lebih lanjut.
Cedera tipe seat belt dan patah tulang Chance, di mana terdapat kehilangan
integritas pada kolom posterior, dapat dikelola secara konservatif, tetapi sering
memerlukan instrumentasi posterior untuk mengembalikan ketegangan posterior.
Fraktur rotasi merupakan patah tulang yang paling tidak stabil dan memiliki risiko
tertinggi menyebabkan cedera neurologik, oleh karena itu hampir selalu memerlukan
stabilisasi bedah. Cedera translasi berat sering membutuhkan pendekatan
pembedahan gabungan anterior-posterior untuk mengembalikan stabilitas vertebra.6

Teknik Pembedahan :

1. Pendekatan Pembedahan Posterior


Walaupun terdapat berbagai prinsip umum dalam penatalaksanaan cedera
torakolumbal, indikasi pembedahan posterior secara umum bergantung pada tipe
cedera yang spesifik. Beberapa tipe cedera yang mungkin mendapatkan keuntungan
dengan pembedahan posterior adalah fraktur kompresi, fraktur burst, cedera fleksi-
distraksi, dan fraktur dislokasi.
Secara umum teknik operasi stabilisasi dan fusi posterior terdiri atas :
 Exposure
 Pedicle screw insertion
 Hook placement
 Rod placement and reduction aneuvers
 Distraction for indirect decompression
 Fusion bed preparation
 Bone graft harvest
 Fusion and closure

2. Pendekatan Pembedahan Anterior


Dari sudut pandang biomekanika, kerusakan vertebra harus ditangani sesuai
dengan mekanisme dan lokasi terjadinya cedera. Pada cedera fleksi dengan fraktur
pada pedikel dan korpus vertebra, stabilisasi dapat dilakukan dengan pendekatan
pembedahan dorsaldan fungsi tension band sampai tahap penyembuhan tulang.

Sekitar 80% axial load dari vertebra yang intak didukung oleh kolom anteriorjika
terjadi cedera signifikan pada kolom anterior, kemampuan penopang anterior secara

28
dramatis berkurang 10%, mengakibatkan 90% beban ditanggung implan dan elemen
posterior. Pertimbangan biomekanika mendukung penggunaan penopang anterior.2

Indikasi utama pendekatan pembedahan anterior adalah dekompresi vertebra


yang insufisien, restorasi kolom anterior yang insufisien,penekanan kanalis spinalis
pada pasien dengan defisit neurologik yang tidak dapat secara adekuat diselesaikan
dengan pendekatan pembedahan posterior semata. Indikasi tambahan untuk
pendekatan pembedahan anterior adalah fraktur korpus vertebra dengan dislokasi
dan fraktur komunitif yang substansial, yang tidak hanya dapat diatasi dengan
pendekatan pembedahan posterior.6

29
BAB III
KESIMPULAN

Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio
yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal. Fungsi vertebra yaitu
melindungi medulla spinalis dan serabut saraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh.

Pada cedera tulang belakang, mekanisme cedera yang mungkin adalah


hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi), fleksi, kompresi, rotasi-fleksi dan
translasi horizontal. Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari
ketinggian serta kecelakaan lalu lintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan
patah tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan
tinggi dan tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu
fleksi, rotasi, maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi.
Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu cedera stabil dan cedera tidak
stabil.

Diagnosis klinik adanya trauma vertebra didapatkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pertolongan pertama dan
penanganan darurat trauma spinal terdiri atas: penilaian kesadaran, jalan nafas,
pernafasan, sirkulasi, kemungkinan adanya perdarahan. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan neurologis fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui
kemungkinan adanya fraktur pada vertebra.

Atasi cedera yang mengancam jiwa dahulu, minimalisasikan gerakan kolumna


spinalis. Pasang dan jaga imobilisasi pasien hingga fraktur vertebra atau cedera
medulla spinalis bias disingkirkan. Lakukan konsultasi dengan ahli bedah saraf
dan/atau orthopaedi bila dicurigai atau ditemukan cedera spinal. Rujuk pasien dengan
fraktur vertebra atau cedera medulla spinalis ke fasilitas perawatan definitf.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Vertebral and


Spine Trauma. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors ATLS Student
Course Manual 8th edition. USA: American College of Surgeons.
2. Apley, A., G., 2010. Apley’s System O Orthopaedic and Fracture. 9th edition.
London: Butterworth Scientific.
3. Baaj, A., A., Et al. 2012. Handbook of Spine Surgery. New York: Thieme.

4. Barrett, T., W., et al. Prevalence of incidental findings in trauma patients


detected by computed tomography imaging. Am J Emerg Med. 2009.
5. Jong, W.,D., Samsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
6. Lifshutz J,, Colohan, A., A., 2004. Brief History Of Therapy For Traumatic
Vertebra Cord Injury. Neurosurg Focus. 16 (1) :1-8.
7. Moore, K., 2002. Essential Clinical Anatomy. Second Edition. Baltimore:
Williams and Wilkins.
8. Netter, F., H., 2014. Atlas of Human Anatomy. 25th ed. Jakarta: EGC.
9. Pincus, D., and Hoh, D., Spinal Fractures. (Last updated: 2016; accessed 1
January 2017). Available from : http://neurosurgery.ufl.edu/patient-
care/diseases-conditions/spinal-fractures/
10. Pramit M. Phal, MBBS, and James C. Anderson, MD. Imaging in Vertebra
Trauma. Available from : http://www.med.uottawa.ca
11. Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12. Schreiber, D., Spinal Cord Injury. (Last updated: 2016; accesed: 1 January
2017). Available from : http://emedicine.medscape.com/article/793582-
overview
13. http://www.radiologyassistant.nl/en/p49021535146c5/spine-cervical-
injury.html (acessed 1 January 2017).

31
Tekanan Intra kranial adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala terhadap tekanan
atmosfer yang diasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan cerebospinalis dan
sirkulasi darah otak. TIK ini merypaka n keadaan dinamis yang berfluktasi secara terus
menerus yang dapat berubah sebagai respon terhadap aktifitas dan proses fisiologis
tertentu seperti olahraga , batuk, peregangan, denyut nadi dan siklus pernafasan.
Secara klinis TIK dapat diukur langsung dari intraventikuler, intraparenkim, subdural
atau epidural, dimana dengan pengukuran secara terus menerus dapat diperoleh
informasi adanya perubahan fisiologis dan patologis di dalam rongga intrakranial.
Pengukuran ini amat bermanfaat dalam penaganan penderita dengan kelainan
intrakranial.

TIK dipengaruhi oleh banyak faktor , antara lain orientasi sumbu kraniospinal terhadap
gravitasi, volume komponen-komponen intrakranial, elestan dan tekanan atmosfer.
Kelainan patologis dari peningkatan TIK sebagaian besar merupakan akibat dari
peningkatan volume dan elastans isi rongga kepala. Rongga kepala merupakan isi
kepala yang rigid, dan berisi tiga komponen utama yang terdiri dari otak (mencakup
elemen neuroglia dan cairan interestitial sel) , darah ( arteri dan vena), dan CSS. Pada
keadaan fisiologis normal volume intra kranial yang selalu dipertahankan konstan
dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg.

Bila pada suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan dimana
didapatkan adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompensasi
awal adalah oenurunan volume darah vena dan likuor secara resiprokal. Burrows,
yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (kecuali
pada anak anak dimana sutura tulang tengkorak masih belum menutup, sehingga
masih mampu mengakomodasi penambahan volume intrakranial). Sistem vena akan
segera menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas keluar melalui vena
jugularis atau melalui vena-vna emisaria dan kulit kepala. Kompensasi selanjutnya
adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke arah rongga
subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas
tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkim otak dan
darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompensasi tersebut diatas.

32
Sehubungan dengan TIK yaitu antara lain adalah komplians dan elastans. Komplians
( dV/dP) adalah nilai perubahan volume akibat adanya perubahan tekanan. Nilai ini
menggambarkan kemampuan akomodasi dari rongga kepala. Nilai komplians disebut
tinggi bila rongga kepala dapat mengakomodasi suatu tambahan massa yang besae
hanya dengan sedikit perubahan tekanan saja.

Elastans (dP/dV) adalah kebaikan dari komplians. Elastans merupakan nilai


perubahan tekanan akibat adanya perubahan volume. Elastans menggambarkan
ketahanan terhadap adanya suatu massa intrakranial. Secara konvensional elastans
dapat diukur dengan menyuntikkan 1 mL larutan salin steril ke dalam ventrikel dalam
waktu 1 waktu 1 detik dan kemudian diukur perubahan TIK yang terjadi. Peningkatan
melebihi 2 mmHg menunjukan elastans yang rendah dan komplians tinggi.

Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang


patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak otak serta
berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial
(TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama adalah sebagai akibat gangguan
aliran serebral dan kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseran otal
yang kemudian menibulkan pergeseran dan herniasi otak.

TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL DAN ALIRAN DARAH OTAK ( CEREBRAL


BLOOD FLOW)

Pada gilirannya, kenaikan TIK dapat menimbulka gangguan fungsi neurologis sebagai
akibat dari terganggunya aliran darah ke otak. Kemampuan otak untuk menyimpan
oksigen dan glukosa sangat kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
sebagai sarat kelangsungan hidupnya sel otak sangat bergantung pada cukupnya
pasokan oksigen dan glukosa dari kontinuitas aliran darah.

Nilai normal aliran darah otak (ADO) berkisar 55-60 ml/100 gram jaringan otak /menit.
Pada massa kelabu alirannya kira-kira 75 mL/110 gram jaringan otak/menit,
sedangkan pada massa putih hanya 45mL/100 gram jaringan otak/menit. Aliran ini
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik otak. Yang paling berperan dalam
menentukan aliran darah otak adalah tekanan perfusi otak (TPO), yang merupakan
tekanan darah untuk masuk ke dalam otak. Tekanan perfusi merupakan selisih antara
tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan intrakranial. Tekanan arteri rata-rata

33
adalah hasil dari dua pertiga nilai tekanan diastolik ditambah sepertiga tekanan
sistolik. Kenaikan TIK cenderung menyebabkan penurunan TPO.

Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik, karbondioksida, dan kadar
ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk memlihara tingkat aliran darah dalam
otak pada nilai yang konstan didalam rentang tekanan arteri rata-rata yang cukup
lebar, yaitu disebut sebagai mekanisme autoregulasi. Bila tekanan arteri rata-rata
rendah, arteriol cerebral akan mengalami dilatasi untuk membuat ADO yang adekuat
pada tekanan yang rendah dan sebaliknya pada tekanan darah sistemik yang tinggi,
arteriol akan mengalai konstriksi sehingga ADO akan tetap terpelihaa dalam kondisi
fisiologis.

ADO tidak dapat selalu diatur. Bila tekanan arteri rata-rata menurun sampai
dibawah 90 mmHg seperti pada keadaan presyok atau syok perfusi otak menjadi tidak
adekuat. Bila tekana arteri rata-rata melebihi 150 mmHg, otoregulasi juga tidak
berjalan. Terjadi peningkatan ADO secara pasif sebanding dengan peningkatan
tekana sistemik, pada keadaan yang ekstrem dapat terjadi eksudasi cairan dari sistem
vaskuler ke ruangan interestitial dan akhirnya terbentuk edema, edema semacam ini
yang disebut edema vasogenik. Peristiwa semavam ini dapat terjadi pada kasus-
kasus hipertensi ensefalopati.

Kadar karbon dioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial untuk
menyebabkan dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam darah dari 15-80
mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara bertahap. Hiperventilasi
(menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran darah dan volume darah otak.
Akan tetap, bila PCO2 dalam darah kurang dari 15 mmHg atau lebih dari 80 mmHg
maka yang terjadi adalah kelumpuhan pembuluh darah atau yang disebut
vasoparalisa.

34

Anda mungkin juga menyukai