PENDAHULUAN
Otak berada didalam rongga tengkorak,yang dilindungi oleh selaput durameter. Struktur tulang
tengkorak yang kaku dan keras serta selaput durameter yang tidak elastis mengurangi kemungkinan
pengembangan jaringan otak dalam keadaan tertentu. Di dalam rongga tengkorak yang kaku terdapat
jaringan otak,darah dan pembuluh darah serta cairan serebrospinalis.
Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak,
volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila volume dari salah satu faktor tadi
meningkat dan tidak dapat dikompensasi oleh kedua faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi
intrakranial. Tekanan tinggi intrakranial secara klasik ditandai dengan suatu trias, yaitu nyeri kepala,
muntah-muntah dan papil edema. Dalam hal ini foto polos kepala dapat membantu untuk
menentukan ada tidaknya tekanan tinggi intrakranial.
1
pemantauan TIK dapat memberikan nilai tekanan perfusi serebral dan indeks dari
fungsi serebral.
BAB II
TRAUMA VERTEBRA
Otak (otak besar dan otak kecil), Batang otak (terdiri atas mesensefalon, pons dan medula
oblongata), Medula spinalis Otak dan batang otak keduanya terletak didalam rongga tengkorak.
Sedangkan medula spinalis terletak di dalam kanalis vertebralis.
Korteks serebri, adalah substansia grisea yang terletak pada permukaan hemisfer serebri. Tiap
Hemisfer serebri terdiri atas lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus oksipitalis
Medulla serebri, adalah bagian sentral dari hemisfer serebri yang letaknya dibawah korteks serebri.
Medula serebri terdiri atas substansia alba, ventrikulus lateralis, dan kelompok nuclei.
Otak kecil (serebelum), terdiri atas Vermis, terletak disebelah medial dari serebelum dan merupakan
bagian yang kecil dari serebelum.
Hemisfer serebeli, terletak disebelah lateral serebelum dan merupakan bagian yang besar. Batang
otak, terdiri atas mesensefalon, pons dan medula oblongata. Pada batang otak terdapat inti saraf otak.
Peredaran darah otak. Otak mendapat darah dari arteri vertebralis dan arteri karotis interna. Arteri
vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga tengkorak melalui foremen
oksipitale magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri berjalan di permukaan ventral medula
oblongata dan pada batas kaudal pons kedua arteri bersatu membentuk arteri basilaris. Arteri karotis
interna setelah masuk rongga tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri
serebri media, arteri komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri
hipofise inferior.
• Aliran vena serebral eksternal atau superfisial • Aliran vena serebral internal atau profunda Kedua
sistim vena ini mengalirkan darah kedalam sinus venosus. Anastomose banyak terjadi antara dua
2
kelompok ini melalui anyaman pembuluh didalam substansi otak. Dari sinus venosus melalui vena
emisries darah balik ini diteruskan ke vena ekstrakra
1. Stabil
2. Tidak stabil
Cedera vertebra menurut kestabilannya terbagi menjadi cedera stabil dan
cedera tidak stabil. Stabilitas dalam hal trauma tulang belakang dimaksudkan
tetap utuhnya komponen Ligamentum Posterior pada saat terjadinya trauma,
sehingga memungkinkan tidak terjadinya pergeseran satu segmen tulang
belakang terhadap lainnya. Sebaliknya cedera tidak stabil artinya cedera yang
menyebabkan pergeseran antara segmen tulang belakang yang satu dengan
yang lainnya karena komponen Ligamentum Posterior mengalami kerusakan
atau robek.2
1. Flexi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra.
Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak
ligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur ini
tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak maka fraktur
bersifat stabil. 2
3
2. Rotasi-fleksi
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi dan
rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya,
kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau
bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini
adalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan
atau tanpa kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak stabil
dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan neurologik.2
4
Gambar 2.8 : Cedera Kompresi Vertikal
4. Hiperekstensi
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher.
Pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan
tanpa menyangga oksiput sehingga kepala membentur bagian atas
punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mungkin mengalami kerusakan. Cedera ini stabil karena tidak merusak
ligamen posterior. 2
5. Translasi Horizontal
5
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser
ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak stabil dan sering
menimbulkan kerusakan syaraf.2
6
2.3. TRAUMA VERTEBRA SERVIKAL
a. Hiperfleksi
1. Subluksasi Anterior
Dimana terjadi robekan pada sebagian ligamen di Posterior tulang leher,
sedangkan Ligamen Longitudinal Anterior utuh. Tanda penting pada Sublukasi
Anterior adalah adanya angulasi ke Posterior (kifosis) lokal pada tempat
kerusakan Ligamen. Tanda-tanda lainnya yaitu jarak yang melebar antara
Prosesus Spinosus dan subluksasi sendi Apofiseal.2
7
Gambar 2.12 : Bilateral Facet Dislocation
8
4. Wedge Fracture
Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligamen longitudinal anterior dan
posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.2
9
b. Hiperekstensi
1. Hangman’s Fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3.2
1. Bursting Fracture
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau
lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke
dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture).2
10
2. Jefferson Fracture
Fraktur kompresi pada cincin tulang vertebra C1, ditandai dengan terpisahnya
Lateral Mass menyebabkan dislokasi antara C1 dengan C2.2
3. Odontoid Fracture
Fraktur pada Procesus Odontoid atau Dens. Fraktur Procesus Odontoid
dibedakan 3 macam :2
11
2.4. TRAUMA VERTEBRA THORAKOLUMBAR
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung,
dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis.
Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi
tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk
cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisis. Tipe burst fracture sering
terjadi pada thoracolumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan
defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan foto x-ray dan
CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut
merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan
12
pemeriksaan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak,
kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.2
c. Fraktur Dislokasi
13
Gambar 2.22 : Fraktur Dislokasi
14
2.5. TRAUMA MEDULLA SPINALIS
Trauma medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan :
a. Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motoric normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang dipakai
berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan
fungsi sensorik normal. Level motoric juga didefinisikan hampir sama, sebagai fungsi
motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak 3/5.
Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik dan/atau motoric di
bawah segmen normal terendah hal ini disebut zona preservasi parsial.
Perbedaan yang jelas terjadi di antara lesi di atas dan di bawah T1. Cedera
pada 8 segmen medulla spinalias servikal akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi di
bawah T1 menyebabkan paraplegi. Level tulang trauma adalah tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis.
Level neurologis trauma ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali
ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena nervus spinalis
memasuk kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun di dalam kanalis
spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis. Semakin kaudal suatu
cedera, semakin jelas perbedaan yang terjadi.1
15
c. Sindrom Medulla Spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.1
Sindrom Deskripsi
(posterior propioseptif
cord)
Conus Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanalis
16
d. Morfologi
Cedera tulang spinal dapat dideskripsikan sebagai fraktur, fraktur-dislokasi,
cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiologis-spinal cord injury without
radiographic abnormalities (SCIWORA), dan cedera penetrasi. Masing-masing
kategori dibagi menjadi stabil dan tidak stabil. Namun, menentukan stabilitas dari
masing-masing tipe trauma tidaklah mudah, dan bahkan banyak para ahli yang belum
sepakat. Sehingga pada tatalaksana inisial, semua pasien dengan trauma yang
dibuktikan secara radiologis dan semua pasien dengan defisit neurologis harus
dianggap mengalami cedera spinal yang tidak stabil. Pasien-pasien seperti ini harus
diimobilisasi kompeten, biasanya ahli bedah saraf atau orthopaedi.1
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik adanya trauma vertebra didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan akan adanya cedera pada
vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat
bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan trauma tumpul
diatas klavikula, trauma kepala atau menurunnya kesadaran, harus dicurigai adanya
cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian
atau dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada
cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera medulla spinalis,
jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis
pada tungkai.1
Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda
fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat
stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat
dan tingkat lesi saraf dengan CT-Scan atau MRI. Pemeriksaan neurologik harus
dilakukan dengan teliti. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang
tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan tentang tanda-tanda shock juga sangat
penting. Macam-macam syok yang dapat terjadi pada trauma vertebra :
Syok hipovolumik : ditandai dengan takikardia, akral dingin dan hipotensi jika
sudah lanjut
Syok neurogenic : hilangnya aktivitas simpatis yang ditandai dengan
hipotensi, bradikardi
17
Syok spinal : disfungsi dari medulla spinalis yang ditandai dengan hilangnya
fungsi sensoris dan motoris. Keadaan ini akan kembali normal tidak lebih dari
48 jam
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah :
Foto polos X-ray : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya fraktur
ataupun pergeseran pada tulang vertebra
CT-Scan
MRI : sering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada
ligament dan diskus intervertebralis, serta dapat menilai cedera medulla
spinalis1
b. CT-Scan
Potongan CT-scan aksial merupakan teknik yang paling sensitif untuk
mendiagnosis fraktur lumbal. CT-scan vertebra lumbal sangat penting karena dapat
menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi, bahkan selama evaluasi multisistem
pada kasus trauma. Oleh karena tingginya insidensi trauma multipel, CT-scan
abdomen, pelvis, dan vertebra lumbal dianjurkan pada trauma tumpul.3
c. MRI
Peran MRI pada trauma vertebra akut adalah untuk mengevaluasi gejala-gejala
neurologik dan dugaan terdapatnya ligament disruption. Magnetic resonance imaging
dapat langsung memvisualisasikan medula spinalis, yang memungkinkan dilakukan
penilaian adanya kompresi sumsum tulang belakang, memar, dan perdarahan. Pada
18
kasus mielopati akut traumatik, lesi seperti hematoma epidural, prolaps diskus akut,
dan gangguan ligamen dapat ditunjukkan dan ini merupakan suatu keunggulan dari
MRI. Hasil pemeriksaan MRI ini bermanfaat dalam melakukan koreksi pembedahan
dan menyelamatkan fungsi neurologis. Pemeriksaan MRI vertebra lumbal dapat
menunjukkan fraktur vertebra, dan sebagian besar kelainan kesegarisan (alignment).
Pola cedera sama dengan yang ditunjukkan pada radiografik polos. Magnetic
resonance imaging lebih unggul dibandingkan dengan radiografik polos dan CT-scan
untuk mendeteksi cedera jaringan lunak pada ligamen, kapsul segidan ruang
prevertebral. Magnetic resonance imaging juga unggul untuk mendeteksi perdarahan
epidural pada kasus cedera vertebra.
a. Survey Primer
Meliputi evaluasi Airway, Breathing, Circulation, Disabilty, dan Exposure
A : bebaskan jalan nafas
B : look, feel, listen untuk evaluasi pola serta adekuasi nafas
C : evaluasi hemodinamik & kontrol pendarahan jika ada
D : evaluasi neurologis (GCS, ukuran & reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E : periksa dan evaluasi tubuh pasien dengan buka keseluruhan
pakaian tanpa mengabaikan aspek hipotermia pada pasien 1
b. Survey Sekunder
Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC pada pasien dipastikan membaik. Survey sekunder adalah
pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Pada survey sekunder dilakukan pemeriksaan neurologi
lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survey primer.
Pada survey sekunder ini juga dikerjakan foto ronsen dan pemeriksaan lab jika
memungkinkan.1
19
c. Imobilisasi
Pada imobilisasi terdapat tiga tujuan utama :
Mempertahankan kesegarisan (alignment) vertebra
Imobilisasi vertebra selama masa penyembuhan
Mengatasi rasa nyeri dengan membatasi pergerakan
20
Perhatian khusus dalam mempertahankan imobilisasi yang adekuat diberikan
pada pasien yang gelisah, agitatif atau berontak. Hal ini dapat disebabkan oleh karena
nyeri, kesadaran menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Jika diperlukan dapat diberikan sedative
atau obat paralitik, dengan tidak melupakan proteksi jalan nafas yang adekuat, control
dan ventilasi. Dianjurkan menggunakan obat yang bersifat short acting dan reversibel.
Saat pasien tiba di ruang gawat darurat, harus diusahakan agar pasien bisa
dilepaskan dari spine board yang keras untuk mengurangi resiko terjadinya ulkus
decubitus. Pelepasan alas keras sering dilakukan sebagai bagian dari survey
sekunder saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian belakang.
Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila
pemeriksaan radiologis tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam. 1
d. Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan intravena diberikan
seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak ada atau tidak dicurigai adanya
pendarahan aktif, adanya hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolumik biasanya
mengalami takikardi sementara pasien dengan syok neurogenik secara klasik akan
21
mengalami bradikardi. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah pemberian cairan,
maka pemberian vasopressor seperti fenilefrin HCL, dopamine atau norepinefrin
secara hati-hati diindikasikan. Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan
edema paru pada pasien dengan syok neurogenik. Bila status cairan tidak jelas, maka
pemasangan monitor invasive bias menolong. Kateter urin dipasang untuk memonitor
pengeluaran urin dan mencegah distensi kandung kemih. 1
e. Transfer
Pasien dengan fraktur tulang spinal atau deficit neurologis harus dirujuk ke
fasilitas untuk perawatan definitif, Prosedur yang paling aman adalah dengan merujuk
setelah konsultasi per telepon dengan spesialis tulang belakang. Hindari penundaan
yang tidak perlu. Stabilisasi kondisi pasien dan pasang imobilisasi yang diperlukan,
backboard, dan/atau semirigid cervical collar. Ingat bahwa cedera spinal servikal di
atas C6 dapat menyebabkan kehilangan total atau parsial fungsi respirasi. Bila ada
keraguan mengenai adekuasi ventilasi, pasien sebaiknya diintubasi sebelum dirujuk. 1
Teknik Pembedahan :
Kebanyakan ahli bedah lebih menyukai posisi prone untuk pendekatan dorsal
dari vertebra. Walaupun demikian, beberapa ahli bedah lainnya lebih menyarankan
22
posisi duduk dalam tindakan yang melibatkan level servikal dan torakal atas. Hal ini
terutama lebih ditekankan pada tindakan yang tidak memerlukan instrumentasi dan
fusi. Permasalahan yang berkaitan dengan emboli udara pada posisi duduk amat
jarang, walaupun monitoring ketat dapat mendeteksi adanya udara yang memasuki
sistem vena pada sekitar 7% tindakan laminektomi pada posisi duduk. Walau
demikian, insidensi emboli udara yang signifikan dapat dijumpai pada prosedur yang
melibatkan level servikal tinggi, misalnya prosedur pada daerah foramen magnum.
Prosedur monitoring rutin yang digunakan adalah doppler prekordial dan pengukuran
end-expired CO2 and nitrogen dengan mass spectrometer. Ekokardiografi
esofagusdapat digunakan apabila risiko dinilai lebih besar. Apabila pasien berada
dalam posisi duduk, kateter vena biasanya digunakan dengan ujung pada atrium
kanan, sehingga udara yang memasuki sistem vena dapat diaspirasi.
Perlu ditekankan bahwa emboli udara dapat terjadi apabila dilakukan tindakan operasi
di mana terdapat vena yang terbuka pada lapang operasi dengan ketinggian beberapa
sentimeter di atas jantung. Pada kasus seperti itu, perlu dilakukan monitoring dan
terapi pencegahan yang tepat. Apabila pasien berada dalam posisi prone, seringkali
operator tergoda untuk melakukan fleksi pada leher untuk memperoleh lapang
pandang yang lebih baik daerah foramen magnum. Hal ini perlu dihindari, baik pada
pasien dengan posisi prone ataupun duduk, terutama apabila didapatkan adanya
instabilitas dari servikal atas.3
23
3. Dekompresi Duramater
24
dari bayonet seringkali sulit untuk menembus duramater, setipis apapun. Setelah
dilakukan insisi vertikal pada ligamen, Kerrison atau kuret dapat digunakan untuk
memotong sisa dari ligamen karena menempel pada lamina di atas dan di bawahnya
(Gambar 5.3 dan 5.4). Dengan menyertakan lebih kurang 1 mm tulang pada
pengangkatan, ligamen dapat diangkat dari tulang dan memaksimalkan ekspos dari
duramater. Sudah disampaikan sebelumnya bahwa harus berhati-hati agar tidak
mengangkat tulang lebih dari yang diperlukan. Laminotomi atau ekspos yang terlalu
kecil dapat mengakibatkan retraksi duramater atau radiks yang berlebihan.3
4. Dekompresi Radiks
25
Setelah diperoleh ruang, kemudian dilakukan pengangkatan batas foramen yang
terletak dorsal dari radiks.3
Pada kasus kelainan diskus servikal atau kompresi radiks servikal akibat
stenosis foramen, dekompresi dimulai dengan hemilaminektomi parsial di bagian atas
dan bawah dari daerah yang dicurigai memiliki kelainan. Dengan mengangkat batas
inferior dari lamina superior ke arah lateral dan ligamen flavum, identifikasi dari batas
duramater lateral dan asal radiks dapat dilakukan. Aksila kemudian dapat diekspos
dengan mudah. Walaupun ekspos terutama pada bagian inferior, akan lebih baik
apabila dapat mengekspos batas superior dari radiks untuk dapat melakukan
identifikasi sempurna dan memperoleh ruang untuk mobilisasi radiks secara minimal.
Hal ini diperlukan setelah diskus yang terekstrusi diangkat. Seringkali terdapat ruang
kecil inferior dari radiks. Ruang ini harus diperbesar dengan kuret atau bor
berkecepatan tinggi. Perlu diingat untuk mengekspos aksila dari radiks, sehingga
radiks motorik tidak tertukar dengan bagian diskus yang terekstrusi. Identifikasi bagian
atas dari pedikel cukup membantu untuk menghindari kerusakan radiks motorik.
Ekspos yang inadekuat dari aksila dapat menyebabkan operator secara tidak
sengaja memisahkan radiks sensorik dan motorik karena menganggap radiks sebagai
jaringan fibrosa atau bagian dari diskus. Setelah mengidentifikasi aksila dan
melakukan cukup foraminotomi sehingga operator cukup yakin mengenai arah dari
radiks, hook tumpul dapat digunakan untuk mengangkat radiks yang bersangkutan
26
sehingga bagian bawahnya dapat dieksplorasi untuk mencari keberadaan ekstrusi
diskus.
Apabila didapatkan ekstrusi diskus, ligamen longitudinalis posterior (LLP) dapat
diinsisi dengan tekanan ringan di atas LLP dan menyebabkan fragmen terdorong
keluar di bawah radiks. Fragmen tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan
menggunakan pinset. Setelah pengangkatan fragmen, seringkali terdapat ruang
tambahan sehingga foramen dapat eksplorasi dan diperbesar apabila diperlukan.
Apabila hanya terdapat batas tulang keras diatas radiks, tulang tersebut tidak perlu
diangkat karena seringkali hanya dengan melakukan dekompresi radiks ke arah
dorsal di dalam foramendapat meringankan gejala. Namun demikian, kadang perlu
dilakukan pengangkatan osteofit lateral yang terletak ventral dari radiks apabila dilihat
menekan radiks secara signifikan, walaupun telah dilakukan dekompresi dorsal.
Ligamen longitudinalis posterior dibuka di bawah aksilla, dan dengan menggunakan
LLP untuk melindungi radiks dan duramater, bor berdiameter 2−3 mm dapat
dimasukkan melalui rongga pada LLP sehingga tulang dan osteofit dibawahnya dapat
dibuang. Lapisan tulang tipis yang tersisa dapat dipatahkan untuk mendekompresi
radiks servikal tanpa mengganggu retraksi radiks. Kadangkala sebagian kecil faset
media harus diangkat untuk mendapatkan visualisasi yang baik dari foramen, namun
pada umumnya foramen dapat diperbesar dengan sendi faset yang tetap intak.Upaya
ini dapat tercapai dengan cara membatasi reseksi tulang pada bagian medial dari
faset. Setelah pengangkatan diskus servikal yang terekstrusi, tidak perlu dan tidak
disarankan untuk memasuki rongga diskus servikal untuk mengangkat material diskus
yang berdegenerasi lebih banyak karena tindakan tersebut dapat berbahaya.
Umumnya visualisasi ruang akan membutuhkan retraksi radiks yang signifikan dan
dapat mengakibatkan kerusakan pada radiks.3
Teknik Pembedahan :
Sekitar 80% axial load dari vertebra yang intak didukung oleh kolom anteriorjika
terjadi cedera signifikan pada kolom anterior, kemampuan penopang anterior secara
28
dramatis berkurang 10%, mengakibatkan 90% beban ditanggung implan dan elemen
posterior. Pertimbangan biomekanika mendukung penggunaan penopang anterior.2
29
BAB III
KESIMPULAN
Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio
yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal. Fungsi vertebra yaitu
melindungi medulla spinalis dan serabut saraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
Tekanan Intra kranial adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala terhadap tekanan
atmosfer yang diasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan cerebospinalis dan
sirkulasi darah otak. TIK ini merypaka n keadaan dinamis yang berfluktasi secara terus
menerus yang dapat berubah sebagai respon terhadap aktifitas dan proses fisiologis
tertentu seperti olahraga , batuk, peregangan, denyut nadi dan siklus pernafasan.
Secara klinis TIK dapat diukur langsung dari intraventikuler, intraparenkim, subdural
atau epidural, dimana dengan pengukuran secara terus menerus dapat diperoleh
informasi adanya perubahan fisiologis dan patologis di dalam rongga intrakranial.
Pengukuran ini amat bermanfaat dalam penaganan penderita dengan kelainan
intrakranial.
TIK dipengaruhi oleh banyak faktor , antara lain orientasi sumbu kraniospinal terhadap
gravitasi, volume komponen-komponen intrakranial, elestan dan tekanan atmosfer.
Kelainan patologis dari peningkatan TIK sebagaian besar merupakan akibat dari
peningkatan volume dan elastans isi rongga kepala. Rongga kepala merupakan isi
kepala yang rigid, dan berisi tiga komponen utama yang terdiri dari otak (mencakup
elemen neuroglia dan cairan interestitial sel) , darah ( arteri dan vena), dan CSS. Pada
keadaan fisiologis normal volume intra kranial yang selalu dipertahankan konstan
dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg.
Bila pada suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan dimana
didapatkan adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompensasi
awal adalah oenurunan volume darah vena dan likuor secara resiprokal. Burrows,
yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (kecuali
pada anak anak dimana sutura tulang tengkorak masih belum menutup, sehingga
masih mampu mengakomodasi penambahan volume intrakranial). Sistem vena akan
segera menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas keluar melalui vena
jugularis atau melalui vena-vna emisaria dan kulit kepala. Kompensasi selanjutnya
adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke arah rongga
subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas
tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkim otak dan
darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompensasi tersebut diatas.
32
Sehubungan dengan TIK yaitu antara lain adalah komplians dan elastans. Komplians
( dV/dP) adalah nilai perubahan volume akibat adanya perubahan tekanan. Nilai ini
menggambarkan kemampuan akomodasi dari rongga kepala. Nilai komplians disebut
tinggi bila rongga kepala dapat mengakomodasi suatu tambahan massa yang besae
hanya dengan sedikit perubahan tekanan saja.
Pada gilirannya, kenaikan TIK dapat menimbulka gangguan fungsi neurologis sebagai
akibat dari terganggunya aliran darah ke otak. Kemampuan otak untuk menyimpan
oksigen dan glukosa sangat kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
sebagai sarat kelangsungan hidupnya sel otak sangat bergantung pada cukupnya
pasokan oksigen dan glukosa dari kontinuitas aliran darah.
Nilai normal aliran darah otak (ADO) berkisar 55-60 ml/100 gram jaringan otak /menit.
Pada massa kelabu alirannya kira-kira 75 mL/110 gram jaringan otak/menit,
sedangkan pada massa putih hanya 45mL/100 gram jaringan otak/menit. Aliran ini
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik otak. Yang paling berperan dalam
menentukan aliran darah otak adalah tekanan perfusi otak (TPO), yang merupakan
tekanan darah untuk masuk ke dalam otak. Tekanan perfusi merupakan selisih antara
tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan intrakranial. Tekanan arteri rata-rata
33
adalah hasil dari dua pertiga nilai tekanan diastolik ditambah sepertiga tekanan
sistolik. Kenaikan TIK cenderung menyebabkan penurunan TPO.
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik, karbondioksida, dan kadar
ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk memlihara tingkat aliran darah dalam
otak pada nilai yang konstan didalam rentang tekanan arteri rata-rata yang cukup
lebar, yaitu disebut sebagai mekanisme autoregulasi. Bila tekanan arteri rata-rata
rendah, arteriol cerebral akan mengalami dilatasi untuk membuat ADO yang adekuat
pada tekanan yang rendah dan sebaliknya pada tekanan darah sistemik yang tinggi,
arteriol akan mengalai konstriksi sehingga ADO akan tetap terpelihaa dalam kondisi
fisiologis.
ADO tidak dapat selalu diatur. Bila tekanan arteri rata-rata menurun sampai
dibawah 90 mmHg seperti pada keadaan presyok atau syok perfusi otak menjadi tidak
adekuat. Bila tekana arteri rata-rata melebihi 150 mmHg, otoregulasi juga tidak
berjalan. Terjadi peningkatan ADO secara pasif sebanding dengan peningkatan
tekana sistemik, pada keadaan yang ekstrem dapat terjadi eksudasi cairan dari sistem
vaskuler ke ruangan interestitial dan akhirnya terbentuk edema, edema semacam ini
yang disebut edema vasogenik. Peristiwa semavam ini dapat terjadi pada kasus-
kasus hipertensi ensefalopati.
Kadar karbon dioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial untuk
menyebabkan dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam darah dari 15-80
mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara bertahap. Hiperventilasi
(menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran darah dan volume darah otak.
Akan tetap, bila PCO2 dalam darah kurang dari 15 mmHg atau lebih dari 80 mmHg
maka yang terjadi adalah kelumpuhan pembuluh darah atau yang disebut
vasoparalisa.
34