Anda di halaman 1dari 57

PRESENTASI KASUS INTERNSIP

“INTUSUSEPSI”

Pengarah :
dr. Jupiter A. Liufetto, SpB

Oleh :
dr. Fera Susanti

Rumah Sakit Umum Daerah SoE


Kabupaten Timor Tengah Selatan
2018
LEMBAR PENGESAHAN

“INTUSUSEPSI”

Oleh :
dr. Fera Susanti

Dipresentasikan pada tanggal


01 Agustus 2018

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing

dr. Adriyani Ottu

Ketua Komite Medik Ketua Subkomite Miutu Profesi


RSUD SoE RSUD SoE

dr. Jupiter A. Liufetto, SpB dr. Ch. Jeffri Siburian, SpPK, M.K

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I ILUSTRASI KASUS................................................................................... 1
1.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 1
1.2 Anamnesis ..................................................................................................... 1
1.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................... 2
1.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 3
1.5 Diagnosis Kerja ............................................................................................. 4
1.6 Penanganan Awal .......................................................................................... 4
1.7 Penanganan Lanjutan .................................................................................... 4
1.8 Resume ........................................................................................................ 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 19
2.1 Usus Kecil ................................................................................................... 19
2.2 Usus Besar ................................................................................................... 29
2.3 Intususespsi………………………………………………………………...36
REFERENSI ......................................................................................................... 53

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Usus Halus............................................................................ 23


Gambar 2. Segmentasi .......................................................................................... 25
Gambar 3. Katup Ileocaecum.................................................................................26
Gambar 4. Anatomi Mikroskopik Usus Halus.......................................................30
Gambar 5. Patogenesis…………………………………………………...............38
Gambar 6. Dance' sign……………………………………………………...........40
Gambar 7. Red Current Jelly Stool…………………………………………........40
Gambar 8. Gambaran Air Fluid Level…...............................................................42
Gambar 9. Gambaran Cupping dan Coiled Spring Appearance…………............42
Gambar 10. Gambaran Target Lession atau Dougnout Sign…………………….43
Gambar 11. Terapi dengan Menggunakan Barium Enema………………………46
Gambar 12. Terapi dengan Reseksi Manual……………………………………..49
Gambar 13. Anostomose End to End…………………………………………….50

iv
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama Penderita : An. EYK


Umur : 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Asal : NTT
Status : Belum menikah
Alamat : Desa Ajaobaki, Timor Tengah Selatan
Tanggal MRS : 26/06/2018
No. Rekam Medik : 030***

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama :
BAB cair sejak 1 minggu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 1 minggu yang lalu, frekuensi
BAB 2x/hari, konsistensi cair, ampas (+), lendir hijau (+), darah (-), pasien
merupakan pasien rujukan dari Puskemas Kapan dan sudah dirawat di puskesmas
sejak tanggal 22 Juni 2018 (5 hari) tapi tidak ada perbaikan. Pasien aktif minum
ASI, menurut pengakuan dari orang tua pasien, pasien tidak diberi makanan atau
minuman lain selain ASI. Selain BAB cair pasien juga muntah, muntah ± 1x/hari,
muntah berisi susu. BAK normal. Saat di puskemas perut pasien sempat diurut.
Pada hari pasien dirujuk ke IGD RSUD SOE, pasien BAB cair 1x pada pagi
hari, ampas (+) sedikit, lendir (+), darah (+). Pasien juga muntah 1x, berwarna hijau
dan ada lendir. Pasien gelisah dan rewel.

1
2

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat dengan penyakit yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat
diabetes mellitus, penyakit paru dan jantung disangkal. Riwayat alergi obat dan
makanan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : :
Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan paru sebelumnya
disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien sempat dirawat selama 5 hari di puskesmas Kapan, selama di
puskemas pasien mendapat IVFD RL 10 tpm, injeksi ampicillin 3x 0,2cc, injeksi
ondancetron 3x 0,3cc, paracetamol syrup 3x 1/3 cc, cotrimoxazole syrup 2x cth1,
zinc 1 x1/2, oralit sachet per BAB.

1.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: tampak sakit berat


BB = 5kg
Tanda-tanda vital
Nadi : 146x/ menit, reguler, kuat
Laju napas : 50x/ menit
Suhu : 36.7oC
Kepala : Rambut dan kulit kepala : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva anemis -/ -, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut dan rongga mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-),
bibir kering, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis, tonsil T1-
T1 tenang.
Leher : Tidak ada kelainan
Toraks : Bentuk simetris, tidak ada kelainan
3

Cor : S1,S2 murni reguler, murmur (), gallop (-)


kardiomegali ()
Pulmo : ekspansi dada simetris, bunyi napas vesikuler +/+
Rh ()/(), Wh ()/()
Abdomen : distensi (+), meteorismus (+), turgor kulit baik, teraba massa
panjang melengkung seperti sosis pada perut bagian bawah kanan, nyeri tekan (-),
bising usus meningkat
Ekstremitas : Akral hangat, Edema (), CRT <2 detik
Rectal touché : Ampula kolaps, reflex baik, feses (-), darah (-), saat jari
dikeluarkan feses tidak menyemprot
Foto klinis pasien
-

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Hasil Laboratorium tanggal 26 Juni 2018
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 9.7 11.3 -14.1 g/dl
Hematokrit (Hct) 28.2 35-45%
Lekosit (WBC) 12.0 5.5-17 103/uL
Trombosit (PLT) 754 150-450 103/uL
Eritrosit (RBC) 4.04 4.5-5.9 106/uL
MCV 69.8 80-96/µm
MCH 24.0 28-33pg
MCHC 34.4 33-36 g/dl
Granulosit 49.5 56-78%
Limfosit 36.2 60-66%
Monosit 14.3 0-6%
4

1.5 Diagnosis Kerja

1. GEA ec suspek Disetri Basiler


2. Suspek Ileus Obstruksi ec Obstruksi partial Intestinal ec suspek
Intususepsi

1.6 Penanganan Awal

- IVFD KAEN 3B 500cc/jam


- Inj. Ceftriaxone 2 x 250mg
- Inj. Paracetamol 3 x 50mg
- Pasang NGT
- Foto BNO 3 posisi
- Sementara puasa
- Pro Konsul bedah

1.7 Penanganan Lanjutan

Konsul ke Bedah tanggal 26/06/2018


Jawaban Konsultasi:
- USG Abdomen CITO jika sudah ada hasil segera laporkan
Lapor hasil USG jam 19.00 WITA:
- KIE laparotomi eksplorasi
- Cek CT, BT
- Konsul anestesi

NB: Pasien menolak untuk eksplorasi anatomi jam 19.36 WITA, pasien masuk
ruangan jam 21.15 di ruangan Melati
5

X-Photo Abdomen 3 posisi

Kesan:

- Ileus Obstruksi letak tinggi. Tak tampak pneumoperitoneum saat ini.


6

USG Abdomen

Kesan:
- Hepar: Ukuran dan echostruktur normal, permukaan licin, sistema bilier
dan vaskuler intrahepatal tak prominen, tak tampak massa/ nodul
- VF: ukuran dan echostructur normal, tak tampak massa/kalsifikasi
- Ren sinistra: Ukuran dan echostruktur normal, batas cortex dan medulla
tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/ batu
- Ren dextra: Ukuran dan echostruktur normal, batas cortex dan medulla
tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/ batu
- Vesica urinaria: ukuran dan echostructur normal, dinding tidak menebal
tak tampak massa/batu
- Pancreas dan lien tak tervisualisasi optimal ec distensi sistema usus yang
prominent dengan peristaltic (-)
7

- Tampak lesi hyperechoic inhomogen, intraluminal berlapis dan


membentuk target sign di LLQ
- Tampak lesi echoic di fossa hepatorenal dan perilesi di LLQ

Follow-up tanggal 27/06/2018


S : BAB lender (+), darah (+), muntah (-), pasien gelisah dan rewel
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
HR : 112 x / menit Suhu : 36,9o C
RR : 30 x / menit SpO2 : 98%
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung, terpasang NGT: cairan lambung berwarna hijau tua
± 50cc
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Distensi (+), NT(-), BU(+) menurun, Hipertimpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

A: 1. Ileus Obstruksi
2. Intususepsi Yeyunoileum

P:
o IVFD D5 ¼ NS 100cc/ 1jam pertama
o Lanjut IVFD D5 ¼ NS 100cc/ jam kedua
o Lanjut IVFD D5 ¼ NS 50cc/ jam ketiga
o Lanjut IVFD D5 ¼ NS 500cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80mg IV
o Puasa
o Konsul Anestesi
o Pro- Eksplorasi Laparotomy
NB: Setelah berunding keluarga pasien meminta operasi dilakukan setelah selesai
doa keluarga, KIE oleh dokter spesialis bedah (+)
8

Follow-up tanggal 28/06/2018


S : BAB lendir (+) 1x, darah (+), muntah (-), orang tua pasien merasa perut
anaknya semakin membesar. pasien gelisah dan rewel
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
HR : 134 x / menit Suhu : 36,2o C
RR : 35 x / menit SpO2 : 98 %
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung, terpasang NGT: cairan lambung berwarna hijau
tua, volume tidak bertambah sejak kemarin.
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Distensi (+), NT(-), BU(+) menurun, Hipertimpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

A: 1. Ileus Obstruksi
2. Intususepsi Yeyunoileum

P: Operasi hari ini

Laporan Operasi
Operator : dr. Jupiter, Sp.B
Dokter Anestesi : dr. Erce, Sp.An
Jenis Anestesi : GA
Diagnosa pre operatif : Ileus Obstruksi ec Invaginasi
Diagnosa post operatif: Invaginasi Ileo-caeco-colo-colical, Necrosis ileum
terminal, appendix veriformis, caecum dan colon ascendens, Ileus obstruksi
Jenis Operasi : Hemicolectomy dextra, End to End Anostomosis Ileo-
colotranvessostomy
Jaringan yang di eksisi/ insisi: Ileum terminal caecum, appendix veriformis, dan
colom transversum
Tanggal Operasi : 28 Juni 2018
Jam mulai : 11.45 WITA
9

Jam operasi selesai : 14.00 WITA


Lama operasi berlangsung: 2 jam 15 menit
Laporan operasi:
- KIE
- Posisi Supine - GA
- Antisepsis dan demarkasi abdomen
- Insisi transversal supra umbilikalis hingga membuka peritoneum
- Temuan: 1. Invaginasi Ileum-caecum-colo-colical, dilakukan milking
2. Necrosis Ileum terminal, appendic veriformis, caecum dan
colon transversum
- Tindakan: 1. Reseksi Hemicolectomy
2. End to End anastomosis ileum colotransversostomy
- Cuci cavum peritoneum, pasang drain, tutup luka/ operasi
Intruksi Post Operasi:
- O2 3lpm NRBM
- IVFD dan Injeksi analgetik sesuai TS anestesi
- Puasa
- Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
- Inj. Metronidazole 3 x 8o mg IV
- Cek DL, SE, Albumin postoperasi
- Observasi vital sign, produksi drain, tanda tanda acute abdomen, leakage
anastomosis.
10

Hasil Laboratorium tanggal 28 Juni 2018 jam 20.00


PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 10.5 11.3 -14.1 g/dl
Hematokrit (Hct) 32.2 35-45%
Lekosit (WBC) 9.0 5.5-17 103/uL
Trombosit (PLT) 390 150-450 103/uL
Eritrosit (RBC) 4.48 4.5-5.9 106/uL
MCV 71.9 80-96/µm
MCH 23.4 28-33pg
MCHC 32.6 33-36 g/dl
Granulosit 59.7 56-78%
Limfosit 31.5 60-66%
Monosit 8.8 0-6%
KIMIA KLINIK
Albumin 2.3 3.5 – 5.2 g/dl

Follow-up tanggal 29/06/2018


S : Demam (+), muntah (-), BAB (-), BAK (+) 2x, flatus (-), gerak aktif
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
HR : 149 x / menit Suhu : 37.7o C
RR : 32x / menit SpO2 : 99% dengan O2 3 lpm NC
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung, terpasang NGT produksi cairan lambung warna
hijau ± 20cc,
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, NT(?), BU (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema
11

Genital : Terpasang cathether, jalan urine lancer, warna urine


kuning, urine output 50cc/ 1jam

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (-), terpasang
drain produksi cairan ± 10 cc, warna merah segar.

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+1)

P:
o O2 2 lpm Nasal Canule
o IVFD D5 ¼ NS : Aminofluid = 250cc : 250 cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80 mg IV
o Inj. Metrocloperamide 3 x 2 mg IV
o Inj. Antrain 3 x 100 mg IV
o Transfusi Oetalbi 20% = 64 cc dalam 1 jam; spoolding D5% 50cc
sebelum transfuse dan D5% 50cc sesudah transfuse Oetalbin
o Mobilisasi (digendong)

Follow-up tanggal 30/06/2018


S : Demam (+) menurun, bibir kering (+), flatus (+) BAB 2x warna hijau
kehitaman
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
HR : 138 x / menit Suhu : 36.9o C
RR : 36x / menit SpO2 : 98% dengan O2 2 lpm NC
12

K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak


cekung, terpasang NGT produksi cairan lambung warna
hijau ± 50cc
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, NT(?), BU (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

Genital : Terpasang cathether, jalan urine lancer, warna urine


kuning, urine output 100 cc/ 12 jam

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (+), terpasang
drain produksi cairan ± 80 cc, warna merah segar.

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+2)

P:
o IVFD D5 ¼ NS : Aminofluid = 200cc : 200 cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80 mg IV
o Inj. Metrocloperamide 3 x 2 mg IV
o Inj. Antrain 3 x 100 mg IV
o Aff O2
o NGT ditutup hingga 4 jam
o ASI ad lib
o Mobilisasi aktif
o Ganti botol drain
13

o Target : Retensi NGT = 10 cc/ 24jam


Produksi urine 60 cc/ 6 jam atau 120 cc/ 12 jam

Foto Feses:

Follow-up tanggal 02/07/2018


S : Demam (-), muntah (-), BAB (+) 2x warna hijau kehitaman, BAK (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
HR : 113 x / menit Suhu : 36.1o C
RR : 36x / menit SpO2 : 99%
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung, terpasang NGT produksi cairan (-)
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, NT(?), BU (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema
14

Genital : Terpasang cathether, jalan urine lancer, warna urine


kuning, urine output 180cc/ 12jam

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (+) tidak
bertambah sejak kemarin, terpasanga drain produksi cairan ± 20 cc,
warna merah segar.

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+4)

P:
o Aff NGT
o IVFD D5 ¼ NS : Aminofluid = 250cc : 250 cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80 mg IV
o Inj. Metrocloperamide 3 x 2 mg IV
o Inj. Antrain 3 x 100 mg IV
o Diet ASI ad lib

Follow-up tanggal 03/07/2018


S : Demam (-), muntah (-), BAB (+) 1 x warna hijau kekuningan, BAK (+),
ASI (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
HR : 112 x / menit Suhu : 36.0o C
RR : 32x / menit SpO2 : 98%
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
15

Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)


Abdomen : supel, NT(?), BU (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (+) tidak
bertambah sejak kemarin, terpasang drain produksi cairan ± 20 cc,
warna merah segar.

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+5)

P:
o IVFD D5 ¼ NS : Aminofluid = 250cc : 250 cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80 mg IV
o Inj. Metrocloperamide 3 x 2 mg IV
o Inj. Antrain 3 x 100 mg IV
o Ganti botol drain

Follow-up tanggal 04/07/2018


S : Muntah (-), BAB (+) 1 x warna hijau kekuningan, BAK (+), ASI (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit ringan
HR : 134 x / menit Suhu : 36.8 o C
RR : 34x / menit SpO2 : 98%
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
16

Abdomen : supel, NT(?), BU (+) Normal


Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (+), terpasang
drain produksi cairan ± 20 cc, warna jernih

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+6)

P:
o Aff drain
o Pasang IV plug
o Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg IV
o Inj. Metronidazole 3 x 80 mg IV
o Inj. Metrocloperamide 3 x 2 mg IV
o Inj. Antrain 3 x 100 mg IV
o Diet ASI ad lib
o Mobilisasi aktif

Follow-up tanggal 03/07/2018


S : Demam (-), muntah (-), BAB (+) 1 x warna hijau kekuningan, BAK (+),
ASI (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
HR : 110 x / menit Suhu : 36.2 o C
RR : 39x / menit SpO2 : 98%
K/L : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, mata tidak
cekung
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
17

Suara jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (-)


Abdomen : supel, NT(-), defans (-), leakage, BU (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema

Status Lokalis:
a/r abdomen RUQ tampak luka tertutup kassa, rembesan (-)

A: 1. Invaginasi Ileo-caeco-colocolical
2. Necrosis ileum terminal, appendix veriformis, caecum, dan colon
ascendens
3. Ileus Obstruksi
4. Post Laparotomy eksplorasi, limited reseksi hemicolectomy, End to End
Anostomosis ileocolotransversum (H+7)

P:
o AFF infus
o Cefadroxil syrup 2 x 1 cth
o Paracetamol syrup 3 x 1 cth
o KRS
1.8 Resume

Pasien bayi berumur 5 bulan datang ke IGD RSUD SOE dengan keluhan
cair sejak 1 minggu yang lalu, frekuensi BAB 2x/hari, konsistensi cair, ampas (+),
lendir hijau (+), darah (-), pasien merupakan pasien rujukan dari Puskemas Kapan
dan sudah dirawat di puskesmas sejak tanggal 22 Juni 2018 (5 hari) tapi tidak ada
perbaikan. Pasien aktif minum ASI, menurut pengakuan dari orang tua pasien,
pasien tidak diberi makanan atau minuman lain selain ASI. Selain BAB cair pasien
juga muntah, muntah ± 1x/hari, muntah berisi susu. BAK normal. Saat di puskemas
perut pasien sempat diurut.
Pada hari pasien dirujuk ke IGD RSUD SOE, pasien BAB cair 1x pada pagi
hari, ampas (+) sedikit, lendir (+), darah (+). Pasien juga muntah 1x, berwarna hijau
dan ada lendir. Pasien gelisah dan rewel. Dari hasil laboratorium leukositosis. Dari
pemeriksaan foto rontgen abdomen 3 posisi didapatkan gambaran ileus obstruksi
18

letak tinggi . Pasien didiagnosis awal dengan GEA ec suspek Disetri Basiler, suspek
Ileus Obstruksi ec Obstruksi partial Intestinal ec suspek Intususepsi. Pasien diberi
penanganan awal dengan IVFD KAEN 3B 500cc/jam, Inj. Ceftriaxone 2 x 250mg,
Inj. Paracetamol 3 x 50mg, pasang NGT, foto BNO 3 posisi, pasien sementara puasa
dan konsul bedah
Penanganan dari Bedah USG abdomen CITO, hasil dari pemeriksaan USG
abdomen didapatkan gambaran lesi hyperechoic inhomogen, intraluminal berlapis
dan membentuk target sign di LLQ dan lesi echoic di fossa hepatorenal dan perilesi
di LLQ kemudian hasil dilaporkan dan jawaban konsutasi dari bedah KIE keluarga
untuk laparotomy eksplorasi. Pasien dioperasi 2 hari kemudian dan dirawat selama
7 hari, pasien memberikan respon yang baik terhadap pengobatan dan
diperbolehkan untuk pulang, kontrol ke poli bedah 3 hari kemudian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usus Halus

2.1.1. Anatomi Usus Halus


Anatomi Makroskopik
Usus halus mencakup duodenum, jejunum dan ileum, yang mencakup
Panjang usus yang terbentamh dari pylorus sampai valca ileocaecalis. Ia
bertanggug jawab bagi sebagian besar Panjang saluran pencernaan dan luas
permukaan mukosanya yang luas merupakan tempat absorbs bahan makanan,
air dan mineral yang memungkinkan pemerliharaan normal, pertumbuhan dan
perkembangan. 1

Duodenum merupakan bagian paling proximal usus halus. Ia dimulai


pada pylorusdan meluas sekitar 20 sampai 30 cm, panjangnya ke distal dengan
lebar lumen dari 3sampai 5cm. Ia terfiksasi, terutama dalam posisi
retroperitoneum dlam bentuk U. Caput pancreatis terletak dibagia tengan U dan
terletak rapat dengan dinding medial duodenum. 1

Duodenum dibagi ke dalam empat bagian. Bagian ertama atau pars


superior duodeni, hamper melulu ditutupi oleh peritoneum dan cukup mobile.
Peritoneum ini terbentang ke sefalad untuk menjadi ligamentum
hepatoduodenale dan hepatogastricum. Di posterior superior inferior perluasan
peritoneum menutupi caput pancreatis. Pars superior duodeni merupakan
tempat bagi sekitar 90% dari semua ulkus duodeni. 1

Bagian kedua duodenum terletak dalam garis vertical yang terbentang


dari apex pars superior duodeni ke inferior menuju ke sepetiga bagian
duodenum yang horizontal. Bagian superiornya seinggi vertebra lumbalis
pertama dan terbentang ke vertebra lumbalis ketiga sebelum bersatu dengan
bagian ketiga duodenum yang terletak di kanan garis tengah, mempunyai
kecekungan pada sisi kirinya dan deat dengan capit pankreatis. Pada dinding

19
20

media, ductus choledocus dan ductus pancreatis utama (Wirsung) masuk


melalui papilla vater. Ductus pancreaticus accesorius Santorini bias masuk
beberapa sentimeter proksimal terhadap ampulla. Seluruh duodenum
desendens dalam posisi retroperitoneum. 1

Bagian ketiga atau pars horizontalis duodeni terbentang ke kiri dari


sambungannya dengan duodenum desendens dista melintasi garis tengah
setinggi vertebra lumbalis ketiga, terletak dalam posisi retroperitoneum. Tetapi
ada lipatan peritoneum pada sambungan sepertiga tengah dan distal dari
duodenum ini, yang membentuk pangkal mesenterium dari usus halus serta
mencakup nervus, vena dan arteria mesenterica superior di anterior terhadap
duodenum. Vena cava inferior dan aorta terletak di bagian belakang duodenum
ini. 1

Bagian keempat atau ascendens duodenum terletak di anterior kiri


aorta, ia berjalan superior terhadap tingkat vertebra lumbalis kedua dan
kemudian membelok ke anterior dan kaudal. Pada tempat ini dia terfiksasi oleh
ligamentum Treitz (perluasan crus dextrum diafragma) dan berlanjut ke
jejunum. 1

Mukosa bagian pertam duodenum (pars superior) berbeda dari yag


terlihat dalam bagian kedua, ketiga dan keempat. Ia halus dengan lipatan
longitudinal yang menuju ke apeks. Bagian mukosa duodenum lainnya
membentuk ‘ridge’ horizontal atau valvulae connivetes, suatu pola yang juga
terlihat dalam usus halus lainnya. 1

Panjang usus halus mesenterika sekitar 600cm, tetapi bervariasi besar


karena kontraksi dan relaksasi, sehingga dalam keadaan alamiah ia sekitar
300cm. Empat puluh persen pertama terdiri dari jejunum dan enam puluh
persen sisanya merupakan ileum. Tak ada tanda pasti antara bagian usus halus.
Agaknya terlihat perubahan terhadap ketebalan dinding usus makin menurun
ke arah distal usus. Lebar lume mengikuti pola serupa. Sehingga obstruksi lebih
mudah timbul dalam ileus distalis dibandingan jejunum proximalis. Seperti
21

terlihat sebelumnya mukosa membentuk lipatan transversa melalui bagian usus


halus ini. Tetapi di sini juga da perbedaan antara jejunum dan ileum. Perbedaan
dapat terlihat dalam foto kontras usus halus. 1

Jejunum dan ileum digantung dari suatu mesenterium, pangkalnya


meluas sekitar 15 cm dari ligamentum Treitz setinggi L2 ke valva ileocaecais
di kuadran kanan bawah setinggi L4-5. Sehingga jejunum cenderung terletak
dalam kuadran kiri atas dan ileum dalam kuadran kanan bawah abdomen. Ada
perbedaan antara mesenterium usus halus proximal dan distal. Dalam
mesenterium jejunum ,lemak yang terkandung di antara lembaran berakhir
tepat sebelum mencapai batas usus, yang meninggalkan area bening, yang
melalui ini dapat terlihat pembuluh darah yang melayanin jejunum. Lemak
dalam mesenterium ileum terbentang sampai dinding usus mesenterika,
sehingga menyebabkan visualisasi yang buruk bagi pembuluh darah. 1

Penyediaan vascular duodenum dilakukan oleh dua sumber: truncus


coeliacus yang secara berurutan memberi cabang arteri hepatica, arteri
gastroduodenum dan arteria pancreaticoduodenale superior serta arteria
mesenterica superior, oleh cabang pancreaticoduodenalis inferior. Dua arteri
pancreatico duodenalis superior dan nferior membentuk suatu anostomisi
dalam caput pacreatis yang memungkinkan penyediaan daah yang kontinu ke
caput pankreatis dan duodenum, bahkan jika salah satu pembuluh darah yang
melayani menyumbat atau tersumbat. 1

Usus halus mesenterika seluruhnya di aliri oleh arteria mesenterica


superior melalui 12 sampai 15 cabang yang berasal dari mesenterium. Ia
membentuk arcades yang kemudia menimbulkan arteria lurus yang menyilang
di mesenterium langsung ke dinding usus. I suatu arteri ujung tanpa
anastomosis sehingga penutupan salah satu pembuluh darah ini bisa
menyebabkan viabiltas usus segmental. Arcades mesenterica berbeda di dalam
jejunum dan ileum. 1
22

Drainase vena duodenum dan usus halus mesenterica menuju system


vena porta. Duodenum di drainase oleh vena pancreatica yang memasuki vena
mesenterica superior dan vena porta langsung. Drainase vena usus halus
mesenterika langsung ke dalam mesenterica superior. 1

Anatomi Mikroskopik

Dinding usus halus dibagi menjadi 4 lapisan: 1

1. Tunica Serosa.
Terdiri dari jaringan ikat longgar yang dilapisi oleh mesotel.

2. Tunica Muscularis.
Dua selubung otot polos tidak bergaris membentuk tunica muskularis usus
halus. Lapisan ini paling tebal di dalam duodenum dan berkurang
dalamnya kearah distal. Lapisan luarnya stratum longitudinale dan lapisan
dalamnya stratum sirkulare. Plexus myentericus (Auerbach) dan saluran
limfe terletak di antara kedua lapisan otot ini.

3. Tunica Submukosa.
Tunica Submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar yang terletak diantara
tunika muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis mukosa, yang
terletak dibawah mukosa. Dalam ruang ini berjalan jalinan pembuluh darah
halus dan pembuluh limfe. Juga ditemukan neuroplexus Meissner.

4. Tunica Mukosa.
Tunica mukosa usus halus, kecuali pars superior duodenum tersusun dalam
lipatan sirkuler tumpang tindih yang berinterdigitasi secara transversa.
Masing- masing lipatan ini ditutup dengan tonjolan vili.

Lipatan dan vili lebih banyak di dalam jejunum dibandingkan di


dalam ileum, sehingga jejunum bertanggung jawab lebih besar dalam
absorbsi.
23

Gambar 1 Anatomi Usus Halus

Ada dua area dalam tingkatan submukosa dan bagian spesifik usus halus :

1. Plaque peyer
Plaque peyer terutama berada di dalam ileum dan lebih banyak ke distal.
Ia terdiri dari agregasi lymphaticus yang dikelilingi oleh plexus lymphaticus
di atas permukaan mesenterica usus.

2. Glandula Brunner
Glandula Brunner ada hampir seluruhnya di dalam duodenum, tetapi di
dalam jejunum proximal juga terdapat di proximal dan menurun dengan
penuaan.

2.1.3 Fisiologi Usus Halus


Usus halus merupakan tempat sebagian besar terjadinya pencernaan
dan penyerapan. Terdiri dari 3 bagian: Duodenum, Jejunum, Ileum. 2,3
1. Segmentasi
Merupakan proses awal berupa motilitas utama usus halus untuk
mencampur dan mendorong kimus secara perlahan dengan kontraksi cincin
yang berosilasi otot polos sirkuler disepanjang usus halus. Kecepatannya
berkurang seiring dgn panjang usus halus, di duodenum 12 x/mnt,
sedangkan di ileum 9 x/mnt sehingga kimus akan terus terdorong ke depan.
2,3
24

Diawali oleh sel-sel pemacu usus halus

Menghasilkan irama listrik dasar


(BER)

Apabila BER membawa lap.otot polos ke ambang

Menginduksi kontraksi segmental dengan


frekuensi segmentasi mengikuti frekuensi BER

Segmentasi terdiri dari kontraksi berbentuk cincin yg berosilasi otot


polos sirkuler disepanjang usus halus

Diantara segmen2 yg berkontraksi terdapat daerah2 yg


berisi bolus kecil kimus

Cincin2 kontraktil timbul setiap beberapa cm, membagi usus


halus menjadi segmen2

Segmen2 yang berkontraksi setelah jeda singkat kemudian melemas

Kontraksi berbentuk cincin lalu muncul di daerah


semula melemas

Kontraksi2 baru tsb mendorong kimus di segmen yg semula lemas dlm 2


arah ke daerah disebelahnya yg sekarang melemas

Sehingga segmen yg baru melemas menerima kimus dari 2 segmen yg


berkontraksi di depan dan di belakangnya

Segera setelah itu daerah2 yg berkontraksi dan melemas kembali


bertukar

Sehingga kimus dapat dihancurkan, dikocok,


dan dicampur secara merata
25

Gambar 2 Segementasi
Fungsi pencampuran tersebut : 2,3
› Mencampurkan kimus dengan getah pencernaan yag disekresikan ke
dalam lumen usus halus
› Memajankan seluruh kimus ke permukaan absorptif mukosa usus
halus
Tingkat ketanggapan dan intensitas kontraksi segmental otot polos sirkuler
dipengaruhi oleh : 2,3
› Respon terhadap peregangan lokal yang ditimbulkan oleh adanya
kimus
› Refleks gastro-ileum: ditimbulkan oleh gastrin yg disekresikan
sebagai respon terhadap keberadaan kimus di lambung
› Saraf- saraf ekstrinsik :
Parasimpatis (meningkatkan segmentasi), Simpatis (menurunkan
segmentasi)
2. Katup ileosekum
Sekum merupakan sawar antara usus halus dengan usus besar karena : 2,3
› Susunan anatomisnya menyerupai lipatan - lipatan tonjolan jaringan
mirip katup dari ileum ke dalam lumen sekum
26

 Katup ileosekum: jika isi ileum terdorong ke depan katup


mudah terbuka, jika isi sekum mencoba bergerak mundur ke
ileum katup akan terdorong menutup
› Otot polos di dalam beberapa cm terakhir dinding ileum menebal,
membentuk sfingter ileosekum (dibawah kontrol hormon dan saraf):
2,3

 Tekanan di sisi sekum sfingter : menyebabkan sfingter


semakin kuat berkontraksi
 Peregangan di sisi ileum : menyebabkan sfingter melemas
 Pengeluaran gastrin pada awal makan,pada saat terjadi
peningkatan aktivitas lambung :
Relaksasi sfingter ditingkatkan  memungkinkan serat yang tidak dicerna dan zat
terlarut yang tidak diserap dari makanan sebelumnya didorong kedepan pada saat
makanan baru memasuki usus 2,3

Gambar 3 Katup Ileosekum


3. Sekresi usus halus
Kelenjar eksokrin di mukosa usus halus mengeluarkan kurang lebih 1,5
liter larutan garam dan mukus cair (sukus enterikus) per hari ke dalam
lumen, fungsinya: 2,3
27

› Proteksi
› Lubrikasi
› Ikut serta dalam pencernaan makanan secara enzimatik
Rangsangan paling kuat terhadap sekresi adalah stimulasi lokal kimus pada
mukosa usus halus dari permukaan luminal selsel epitel usus halus terbentuk
tonjolan- tonjolan seprti rambut yang diperkuat oleh aktin  brush border
Brush border mengandung 3 enzim : 2,3
› Enterokinase
mengaktifkan enzim pankreas tripsinogen
› Gol.disakaridase
menghidrolisis disakarida yang tersisa menjadi monosakarida
penyusunnya
› Gol.aminopeptidase
menghidrolisis fragmen peptida kecil menjadi komponen asam
aminonya
4. Adaptasi usus halus
Mukosa yang melapisi lumen usus halus beradaptasi sempurna untuk
melaksanakan fungsi absorptifnya karena 2 alasan : 2,3
› Luas permukaan yang sangat besar
› Sel-sel epitel di lapisan ini memiliki berbagai mekanisme
transportasi khusus
Modifikasi mukosa usus halus berikut sangat meningkatkan luas
permukaan yang tersedia untuk proses penyerapan : 2,3
› Permukaan dalam usus halus membentuk lipatan sirkuler 
meningkatkan luas permukaan 3x lipat.
› Dr permukaan yg berlipat-lipat ini muncul tonjolan-tonjolan
mikroskopik seperti jari yg disebut vilus  meningkatkan luas
pemukaan 10x lipat.
28

› Dari permukaan luminalm sel-sel epitel juga muncul tonjolan-


tonjolan seperti rambut yang disebut mikrovilus/brushborder 
meningkatkan luas permukaan 20x lipat.
Sebagian besar nutrient yg diserap segera disalurkan ke hati untuk diolah

Venula-venula yg meninggalkan vilus usus halus dan


pembuluh lain yg berasal dari saluran cerna lain

Mengalirkan isinya ke vena porta

Diolah secara metabolik

Mengangkut darah ke hati

didetoksifikasi

Vena kava inferior

Jantung

Didistribusikan ke seluruh tubuh

Lemak tdk dpt menembus kapiler usus

Penyerapan
Diserap ekstensif
oleh lacteal pusatoleh
dan usus
masukhalus mengimban
ke system limfe

Kontraksi vilus oleh mukosa


muskularis scr periodis

Menekan lacteal pusat dan memeras limfe keluar dari pembuluh tsb

Pembuluh2 limfe menyatu membentuk duktus torasikus

Menyalurkan isinya ke system vena did lm dada

Lemak akhirnya memiliki akses ke system sirkulasi


29

2.1.4 Anatomi Usus Besar


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dan panjang
sekitar 1,5m (5kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani, diameter
sekitar 6,5cm (2,5inci), tapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus
besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. 2,3
Sekum menempati 2 atau 3 inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal
mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya
aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut
sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista
iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke
kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum dan hal ini merupakan alasan
anatomis mengapa memposisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema, gaya
gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Rektum
membentang dari kolon sigmoid hingga anus. Satu inci terakhir dari rektum disebut
sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15cm (5,9inci). 2,3
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan
pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan
kanan (sekum, kolon asendens, dan 2/3 proksimal kolon transversum) dan arteria
mesenterika inferior mendarahi belahan kiri (1/3 distal kolon transversum, kolon
desendens, kolon sigmoid dan bagian proksimal rektum). Persarafan usus besar
dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang
berada dalam pengendalian voluntar. 2,3
Bakteri usus besar menyintesis vitamin K dan beberapa vitaminB.
Pembusukan oleh bakteri dari sisa protein menjadi asam amino dan zat yang lebih
sederhana seperti peptida, indol, skatol, fenol, dan asam lemak. Bila asam lemak
dan HCL dinetralisasi oleh bikarbonat akan dihasilkan karbondioksida.
Pembentukan berbagai gas seperti NH3, CO2, H2, H2S dan CH4 membantunya
pembentukan gas (flatus) didalam kolon. Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam
30

fese sedangkan zat lain diabsorpsi dandiangkut ke hati untuk diubah menjadi
senyawa yang kurang toksik dan disekresikan melalui urine. 2,3
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : 2,3
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

Gambar 4. Anatomi Mikroskopik Usus Halus

2.1.5 Fisiologis Usus Besar


Propulsi pencampuran makanan dalam saluran pencernaan. 2,3
Gerakan Kolon
Fungsi utama kolon : 2,3
a. Absorpsi air dan elektrolit dari kimus membentuk feses yang padat
b. Penimbunan feses sampai dapat dikeluarkan
c. Setengah bagian kolon berhubungan dengan absorpsi dan setengah bagian
distal berhubungan dengan penyimpanan.
d. Pergerakan kolon secara normal sangat lambat yang terdiri dari :
a. gerakan mencampur “haustrasi”
b. gerakan mendorong “pergerakan massa”
31

Gerakan mencampur “haustrasi”: 2,3


 Konstriksi-konstriksi sirkular yang besar terjadi dalam usus besar.
 2,5 cm otot sirkular akan berkontraksi → kadang menyempitkan lumen
kolon sampai tersumbat.
 Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon, yang terkumpul menjadi 3
pita longitudinal yang disebut taenia coli, akan berkontraksi.
 Kontraksi gabungan dari kedua otot tsb → bagian usus besar yang tidak
terangsang menonjol keluar memberikan bentuk serupa kantung yang
disebut haustrasi.
 Setiap haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu 30 s dan
kemudian menghilang 60 s berikutnya.

Kontraksi bergerak lambat terutama pada sekum dan kolon asenden.



Timbul dorongan isi kolon ke depan

Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae baru pada daerah lain yang
brdekatan
Bahan feses secara lambat dalam usus besar diaduk dan diputar

sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa
usus besar

cairan& zat-zat terlarut secara progresif dabsorpsi

Hingga hanya terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan setiap hari

 Kontraksi haustrae yang lambat berlangsung persisten yang membutuhkan


waktu 8-15 jam untuk menggerakan kimus dari katup ileosekal ke kolon.
 Sementara kimusnya sendiri menjadi feses dengan karakteristik lumpur
setengah padat bukan lagi setengah cair.

b. Gerakan mendorong “pergerakan massa”


Pergerakan massa adalah jenis peristaltik yang dimodifikasi yang ditandai oleh
rangkaian peristiwa : 2,3
32

1. Timbul sebuah cincin konstriksi sebagai respons dari tempat teregang atau
teriritasi di kolon, biasanya pada kolon transversum

2. Kemudian dengan cepat kolon sepanjang 20 cm atau lebih, pada bagian


distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan justru
berkontraksi sebagai 1 unit, mendorong maju materi feses pada segmen ini
sekaligus menuruni kolon.

1 rangkaian pergerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30


menit

Lalu mereda dan mungkin timbul kembali setengah hari kemudian

Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum

Keinginan untuk defekasi
 Timbulnya gerakan massa dipermudah oleh refleks gastrokolik dan
duodenokolik, refleks-refleks tersebut disebabkan oleh distensi lambung
dan duodenum.
Defekasi 2,3
Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum

Terjadi peregangan rektum

Merangsang reseptor regang di dinding rektum memicu refleks defekasi

 Sfingter anus internus (terdiri dari otot polos) untuk melemas & rektum
serta kolon sigmoid berkontraksi kuat
 Sfingter anus eksternus (terdiri dari otot rangka) juga melemas

Defekasi
(Defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melbatkan
kontraksi simultan otot-otot abdomen & ekspirasi paksa dengan glotis tertutup.
Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang membantu
pengeluaran feses)
33

FUNGSI SEKRESI SALURAN PENCERNAAN


Sekresi usus besar: 2,3
 Sekresi yang dominan pada usus besar adalah mukus.
 Usus besar di dalam epitelnya hampir tidak mengandung enzim, karena
pencernaan telah selesai sampai sebelum kimus mencapai kolon.
 Mukus ini mengandung ion bikarbonat dalam jumlah sedang yang
disekresi oleh beberapa sel epitel yang tidak menyekresi mukus.
Fungsi mukus dan ion bikarbonat : 2,3
 Mukus dalam usus besar melindungi dinding usus terhadap ekskorasi
 Mukus menyediakan suatu bahan lengket untuk melekatkan bahan feses
bersama-sama
 Mukus melindungi dinding usus dari sejumlah besar aktivitas bakteri yang
berlangsung di dalam feses
 Mukus ditambah sifat basa dari sekresi (pH 8 dari natrium bikarbonat)
menyediakan sawar untuk menjaga agar asam yang terbentuk di dalam tinja
tidak menyerang dinding usus.

Diare yang disebabkan sekresi berlebihan air & elektrolit sebagai respon terhadap
iritasi :
Segmen usus besar teriritasi (mis : infeksi bakteri)

Mukosa menyekresikan sejumlah besar air & elektrolit selain sekresi mukus alkali
kental yang normal

Sekresi ini berfungsi untuk mengencekan faktor pengiritasi & menyebabkan
pergerakan cepat tinja menuju anus

Diare
34

Pencernaan dan absorpsi dalam traktus gastrointestinal : 2,3


Pembentukan feses
± 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal ke dalam usus besar
setiap harinya

Sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus ini diabsorpsi di dalam kolon

 < 100 ml cairan untuk diekskresikan dalam feses
 Pada dasarnya semua ion diabsorpsi, hanya meninggalkan 1-5
miliekuivalen dari masing-masing ion Na & Cl untuk hilang dalam feses
 Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon → kolon pengabsorpsi
 Kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan
feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses → kolon penyimpanan

Absorpsi & sekresi elektrolit dan air


 Mukosa usus halus mempunyai kemampuan absorpsi Na tinggi & gradien
potensial listrik yang diciptakan oleh absorpsi Na juga menyebabkan
absorpsi Cl.
 Adanya taut erat di antara sel-sel epitel usus lebih erat daripada di usus halus
→ mencegah difusi kembali ion-ion ini
 Sekresi ion bikarbonat → membantu menetralisir produk akhir asam dari
kerja bakteri di dalam usus.
 Absorpsi ion Na & Cl menciptakan gradien osmotik di sepanjang usus besar
yang kemudian menyebabkan absorpsi air.

Kemampuan absorpsi maksimal usus besar


Usus besar dapat mengabsorpsi maks : 5-8 liter cairan dan elektrolit setiap
hari

Bila jumlah cairan yang masuk ke usus besar total melebihi jumlah ini

Kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare
35

Toksin yang berasal dari kolera atau infeksi bakteri lainnya sering
menyebabkan kripta pada ileum terminalis dan usus besar menyekresikan
10 liter atau lebih cairan setiap harinya → menimbulkan diare berat & sering
mematikan. 2,3

Kerja bakteri dalam kolon


 Bakteri mencernakan sejumlah kecil selulosa.
 Zat-zat lain yang terbentuk adalah vit. K, vit. B12, tiamin,riboflavin dan
bermacam-macam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon,
khususnya CO2, hidrogen, dan metana.
Komposisi feses
 Normalnya feses terdiri atas ¾ air dan ¼ bahan-bahan padat (yang tersusun
atas 30% bakteri mati, 10-20% lemak, 10-20% bahan inorganik, 2-3%
protein & 30% serat-serat makanan yang tidak dicerna dan unsur-unsur
kering dari getah pencernaan, seperti pigmen empedu & sel-sel epitel yang
terlepas)
 Warna coklat feses → disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin dari
bilirubin.
 Bau (bervariasi dari 1 orang ke orang lainnya) : bergantung pada flora
bakteri kolon masing-masing orang & pada jenis makanan yang dimakan.
 Produk yang benar-benar mengeluarkan bau : indol, skatol, merkaptan, dan
hidrogen sulfida

2.2 Intususepsi

2.2.1 Definisi
Kata intususepsi berasal dari kata-kata Latin intus (dalam) dan
suscipere (menerima) . Intususepsi adalah invaginasi bagian dari usus yang
satu ke yang lain. Tiga silinder pada dinding usus terlibat. Silinder bagian
dalam dan silinder bagian tengah adalah usus yang diinvasi (intususeptum),
dan silinder bagian luar adalah penerima invaginasi usus (intussuscipiens).
Intususepsi adalah salah satu penyebab akut yang paling sering
menyebabkan obstruksi usus pada bayi dan balita mungkin penyebab paling
umum kedua perut akut nyeri pada bayi dan anak-anak prasekolah setelah
36

sembelit. Saat ini, diagnosis dan pengobatan adalah upaya gabungan di


antara dokter anak, ahli radiologi pediatrik, dan ahli bedah anak. 4

2.2.2 Insidens

Intususepsi idiopatik dapat terjadi pada semua usia. Namun,


insidensi terbesar terjadi pada bayi di antara usia 5 dan 10 bulan. Insiden
intususepsi tertinggi terjadi pada tahun pertama dan kedua kehidupan dan
jarang terjadi di bawah usia 3 bulan dan setelah 3 tahun kehidupan. 5

Intususepsi terjadi di seluruh dunia dengan kejadian sekitar 1 hingga


4 pada 2000 bayi dan anak-anak. Sebagian besar kasus intususepsi yang
dilaporkan lebih banyak dialami oleh pria daripada wanita dengan
perbandingan rasio 2: 1 atau 3: 2, biasanya 78% laki-laki setelah usia 9
bulan. 4

Insidens pada bulan Maret – Juni dan bulan September – Oktober


meninggi. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan perubahan musim
dimana pada saat tersebut insidens infeksi saluran nafas dan gastroenteritis
meninggi, sehingga banyak ahli yang menganggap bahwa hypermotilitas
usus merupakan salah satu faktor penyebab.

2.2.3 Etiologi

Sebagian besar etiologi invaginasi pada anak tidak dapat ditentukan atau
disebut juga invaginasi primer. Faktor presipitasi invaginasi pada anak dapat
berupa infeksi virus dan pertumbuhan tumor intestinum. Dahulu, beberapa
kasus invaginasi berhubungan dengan vaksin rotavirus. Rotavirus adalah virus
yang dapat menyebabkan infeksi yang dapat mengakibatkan terjadinya diare,
vomitus, demam, dan dehidrasi. Pada orang dewasa invaginasi dapat
disebabkan oleh tumor jinak maupun ganas saluran cerna, parut (adhesive) usus,
luka operasi pada usus halus dan kolon, IBS (Irritable Bowel Syndrome), dan
Hirschsprung. 5
Hipertrofi Payer’s patch di ileum dapat merangsang peristaltik usus
sebagai upaya mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan invaginasi.
37

Invaginasi sering terjadi setelah infeksi saluran napas bagian atas dan serangan
episodik gastroenteritis yang menyebabkan pembesaran jaringan limfoid.2,5,9
Adenovirus ditemukan pada 50% kasus invaginasi. Invaginasi idiopatik
umumnya terjadi pada anak berusia 6 -36 bulan karena tingkat kerentanannya
tinggi terhadap virus.5
Pada sekitar 5-10% penderita, dapat dikenali hal-hal pendorong untuk
terjadinya intususepsi, seperti appendiks terbalik, divertikulum Meckel, polip
usus, duplikasi atau limfosarkoma. Intususepsi juga dapat terjadi pada penderita
kistik fibrosis yang mengalami dehidrasi.5

2.2.4 Patogenesis
Intususepsi adalah invaginasi yang terjadi pada satu bagian dari usus ke
usus yang berdekatan. Delapan puluh sampai 95 persen intususepsi yang terjadi
pada anak-anak adalah ileokolik. Ileoileal, cecocolic, colocolic, dan
jejunojejunal jarang terjadi. Invaginasi dideskripsikan sebagai prolaps internal
usus proksimal dalam lekukan mesenterika dalam lumen usus distal. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi pada pasase isi usus dan menurunkan
aliran darah ke bagian usus yang mengalami invaginasi tersebut. Akhirnya
dapat mengakibatkan obstruksi usus dan peradangan mulai dari penebalan
dinding usus hingga iskemia dinding usus. Mesenterium usus proksimal tertarik
ke dalam usus distal, terjepit, dan menyebabkan obstruksi aliran vena dan
edema dinding usus yang akan menyebabkan keluarnya feses berwarna
kemerahan akibat darah bercampur mucus (red currant stool). Jika reduksi
intususepsi tidak dilakukan, terjadi insufisiensi arteri yang akan menyebabkan
iskemik dan nekrosis dinding usus yang akan menyebabkan pendarahan,
perforasi, dan peritonitis. Perjalanan penyakit yang terus berlanjut dapat
semakin memburuk hingga menyebabkan sepsis.5
38

Gambar 5. Patogenesis

2.2.5 Manifestasi Klinis

Secara klasik perjalanan suatu invaginasi memperlihatkan gambaran


sebagai berikut : Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan
gizi yang baik, tiba – tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat
ke atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri
perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Diluar serangan, anak / bayi
kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses invaginasi.
Serangan nyeri perut datangnya berulang – ulang dengan jarak waktu 15 – 20
menit, lama serangan 2 – 3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut
itu diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung,
sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka di
luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang
serangan kembali. Proses invaginasi pada mulanya belum terjadi gangguan
39

pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa,
kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya
berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses. Karena sumbatan belum total,
perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah teraba
gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor berbentuk
bujur di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri
bawah.4,5

Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan


pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini
akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses invaginasi. Pembuluh darah
mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return
sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa
usus, ini memperlihatkan gejala berak darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai
sesudah 6 – 8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang – kadang sesudah
12 jam. Berak darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus ke kasus, ada juga
yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur. Sesudah 18 – 24 jam
serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat partial berubah
menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah,
sehingga pasien dijumpai dengan tanda – tanda obstruksi, seperti perut kembung
dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi.
4,5

Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi
dan defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus
akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan
terganggunya aliran pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat
menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis umum, shock dan
kematian. 4,5
Pemeriksaan colok dubur didapati tonus sphincter melemah, mungkin
invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio dan bila jari ditarik, keluar
darah bercampur lendir. 4,5
40

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala – gejala


invaginasi tidak khas, tanda - tanda obstruksi usus berhari – hari baru timbul,
pada penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat, defekasi tidak ada darah,
invaginasi dapat mengalami prolaps melewati anus, hal ini mungkin disebabkan
pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak cepat
timbul. Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atipikal, bila kasus itu gagal
dibuat diagnosa yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini
kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala
tidak lazim pada penderita. 4,5

Gambar 6. Dance Sign Gambar 7. Red Current Jelly Stool

2.2.6. Jenis Intususepsi


Jenis invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana
yang terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo ileal. Pada kolon dikenal
dengan jenis colo colica dan sekitar ileo caecal disebut ileocaecal, jenis – jenis
yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya
terdiri dari tiga lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal
ini sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut jenis invaginasi ganda, sebagai
contoh adalah jenis – jenis ileo – ileo colica atau ileo - colo colica. 5

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis invaginasi ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis memberikan gambaran yang cukup mencurigakan bila bayi


yang sehat mendapat serangan nyeri perut. Anak tampak gelisah dan tidak dapat
41

ditenangkan sedangkan di antara serangan biasanya anak tidur tenang karena


sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu
serangan kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red current jelly stool) per
anal, yang berasal dari intususepsi yang tertekan, terbendung atau mungkin
sudah mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan dan
pada pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya memanjang dengan
batas yang jelas seperti sosis.6
Massa teraba di kuadran kanan atas dengan tidak ditemukannya sensasi
kekosongan di kuadran kanan bawah karena masuknya sekum pada kolon
ascenden (dance’s sign).5
Bila invaginasi disebut strangulasi harus diingat kemungkinan
terjadinya peritonitis setelah perforasi. Invaginasi yang masuk jauh dapat
ditemukan pada pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginatum teraba seperti
portio uterus pada pemeriksaan vagina sehingga disebut sebagai pseudoportio
atau porsio semu.6
Invaginatum yang keluar lewat rectum jarang ditemukan; keadaan
tersebut harus dibedakan dengan prolapsus mukosa rectum. Pada invaginasi
didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus.6
Pada inspeksi sukar sekali membedakan prolapsus rectum dari
invaginasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan jari sekitar
penonjolan untuk menentukan ada tidaknya celah terbuka. Diagnosis invaginasi
dapat diduga atas pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan
rontgen dengan pemberian enema barium.6
Pada pemeriksaan laboratorium belum ada pemeriksaan yang khas
untuk dapat membantu diagnosis spesifik intususepsi. Tetapi kemungkin hasil
laboratorium yang dapat ditemui pada kasus ini adalah leukositosis, asidosis,
dan kelainan elektrolit. 4,5
Ada beberapa pemeriksaan radiology yang dapat digunakan sebagai
acuan diagnostik, antara lain:
42

1. Foto polos abdomen


Pada foto polos abdomen didapatkan distribusi udara di dalam usus yang
tidak merata, usus cenderung terdesak ke kiri atas, dan dalam keadaan
lanjut terlihat gambaran obstruksi usus pada posisi tegak dan lateral
dekubitus berupa gambaran ‘air fluid level’, serta dapat terlihat ‘free air’
jika sudah terjadi perforasi.4,5,6

Gambar 8. Air Fluid Level

2. Barium enema
Barium enema selain dapat berfungsi sebagai alat diagnostic juga dapat
berfungsi sebagai terapi. Sebagai alat diagnostic barium enema berfungsi
jika gejala klinik yang terlihat sedikit meragukan. Dengan kontras
gambaran yang akan terlihat berupa gambaran ‘cupping’ atau ‘coiled
spring appearance’. 4,5,6

Gambar 9. Gambaran cupping dan coiled spring appearance


43

3. Ulrasonografi (USG)
USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target
sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada
potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan pemberian barium enema
dilakukan jika pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai
diagnostik ataupun terapeutik. Sumbatan oleh invaginatum biasanya tampak
jelas pada foto. 4,5,6

Gambar 10. Gambaran target lession atau doughnut sign


Kriteria diagnosis invaginaasi akut: 7

1. Invaginasi definitif (pasti invaginasi)

- Kriteria bedah: ditemukannya invaginasi pada pembedahan


- Kriteria radiologi: adanya baik gas maupun cairan kontras pada enema
pada usus halus yang berinvaginasi, adanya massa intraabdominal yang
dideteksi dengan USG
- Kriteria autopsi: ditemukan invaginasi pada otopsi
2. Mungkin invaginasi (probable)

- Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor


- Memenuhi paling sedikit 4 kriteria minor
44

Kriteria mayor pada invaginasi yakni: : 7

1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna


– Riwayat muntah kehijauan
– Distensi abdomen dan tidak adanya bising usus atau bising usus
abnormal
– Foto polos abdomen menunjukkan adanya level cairan dan dilatasi
usus halus
2. Inspeksi
– Massa di abdomen
– Massa di rectal
– Prolapsus intestinal
– Foto polos abdomen, USG, menunjukkan invaginasi atau massa dari
jaringan lunak
3. Gangguan vaskuler intestinal dan kongesti vena
– Keluarnya darah per rectal
– Keluarnya feses yang berwarna red currant jelly
– Adanya darah ketika pemeriksaan rectum
Kriteria Minor pada invaginasi : 7

– Usia < 1 tahun


– Laki-laki
– Nyeri perut
– Muntah
– Letargi
– Hangat
– Syok hipovolemik
– Foto polos abdomen → pola gas usus yang abnormal.
45

2.2.8 Diagnosis Banding


Ada beberapa penyakit yang perlu dibedakan dengan invaginasi, antara lain: 6
1. Gastroenteritis
Anak dengan gastroenteritis cenderung sulit dibedakan dengan innvaginasi.
Perlu diperhatikan perubahan pola penyakit, karakter rasa sakit,
karakteristik muntah, dan jenis perdarahan untuk membedakannya.
2. Enterocolitis
Pada enterocolitis terdapat feses yang bercampur darah disertai kram
abdomen, namun hal ini dapat dibedakan dari invaginasi karena sakit
cenderung lebih jarang, disertai diare, dan tetap adanya rasa sakit diantara
nyeri.
3. Diverticulum Meckel
Perbedaan invaginasi dan diverticulum Meckel terdapat pada rasa sakit yang
biasanya tidak dirasakan penderita diverticulum Meckel.
4. Henoch-Schönlein purpura
Terkadang terdapat gejala perdarahan pada pasien Henoch-Schönlein
purpura, namun yang dapat membedakannya adalah ditemukannya purpura
pada penderita Henoch-Schönlein purpura
5. Prolapsus Recti
Perbedaan prolapsus recti dan invaginasi dapat diketahui dengan melakukan
colok dubur, dimana pada prolapsus recti didapati adanya hubungan antara
mukosa dan kulit perianal sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah.
2.2.9 Tatalaksana
Invaginasi termasuk dalam kasus gawat darurat, sehinga diperlukan
tindakan secara cepat berupa perbaiki keadaan umum pasien, pemasangan
sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi, rehidrasi, obat-obat
penenang untuk penahan rasa sakit. 5

Setelah keadaan umum baik dilakukan tindakan pembedahan, bila jelas


telah tampak tanda-tanda obstruksi usus. Atau dilakukan tindakan reposisi bila
tidak terdapat kontraindikasi. 5
46

Dasar pengobatan pada invaginasi ialah reposisi usus yang


masuk ke lumen usus lainnya. Reposisi dapat dicapai dengan barium
enema, reposisi pneumostatik atau melalui pembedahan. 5

Reduksi Hidrostatik

Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus


menggunakan kateter dengan tekanan tertentu dengan diikuti oleh X-ray. Mula-
mula tampak bayangan barium bergerak berbentuk cupping pada tempat
invaginasi, dengan tekanan hidrostatik sebesar ¾ sampai 1 meter air, barium
didorong ke arah proksimal. Tekanan hidrostatik tidak boleh melewati 1 meter
air agar tidak terjadi perforasi selain itu tidak boleh dilakukan penekanan
manual di perut sewaktu dilakukan reposisis hidrostatik. 5

Pengobatan dianggap berhasil bila barium sudah mencapai ileum


terminalis, serta pada saat itu, pasase usus kembali normal, norit yang diberikan
akan keluar melalui dubur. Seiring dengan pemeriksaan zat kontras kembali
dapat terlihat coiled spring appearance. Gambaran tersebut disebabkan oleh
sisa-sisa barium pada haustra sepanjang bekas tempat invaginasi. 5

Pada saat sekarang ini barium enema yang digunakan untuk prosedur
diagnostic, kurang lebih 75% berhasil mereduksi invaginasi. Pemberian
sedikit sedative yang cukup sebelum prosedur enema sangat banyak membantu
berhasilnya reduksi hidrostatik ini. 5

Gambar 11 . Terapi dengan menggunakan barium enema


47

Indikasi:

1. Tidak terdapat gejala & tanda rangsangan peritoneum


2. Tidak toksik juga tidak terdapat obstruksi tinggi
3. Tidak dehidrasi
4. Gejala invaginasi kurang dari 48 jam

Kontra indikasi:

1. Distensi abdomen yang berlebihan


2. Invaginasi rekuren
3. Gejala invaginasi lebih dari 48 jam
4. Peritonitis
5. Perforasi
Keuntungan reposisi hidrostatik

1. Kemungkinan terjadinya perforasi lebih sedikit


2. Lama perawatan lebih pendek, karena tidak bersifat traumatic.

Kerugian reposisi hidrostatik itu sendiri adalah cukup banyaknya kasus


invagianasi berulang, karena tidak dilakukan reseksi. 5

Reduksi Manual dan Reseksi Usus

Indikasi reduksi manual adalah pada pasien dengan keadaan tidak stabil,
didapatkan peningkatan suhu serta angka lekosit, mengalami gejala
berkepanjangan atau ditemukan penyakit sudah lanjut yang ditandai dengan
distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistem usus yang berat sampai
timbul shock atau peritonitis. 5

Pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi Laparotomi dengan


incisi transversal interspina Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose,
reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan. 5
48

Pelaksanaan operatif:

1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti
penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum
seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit. 5

Pembedahan sudah dapat dilakukan kalau perfusi jaringan sudah cukup


yang dapat diukur secara klinis dari produksi urin, yaitu 0,5 - 1 ml/kgBB/jam
melalui kateter. Kriteria lainnya adalah suhu tubuh kurang dari 38ºC, nadi kurang
dari 120 kali per menit, pernapasan tidak lebih dari 40 kali/ menit, turgor kulit
membaik, dan paling utama kesadaran yang baik. Biasanya dengan pemberian
cairan sejumlah 50% dari kebutuhan (untuk koreksi & kebutuhan normal),
perfusi jaringan sudah dapat dicapai. 5

Pembedahan dan anestesi yang dikerjakan pada waktu perfusi jaringan


tidak memadai akan menyebabkan tertimbunnya hasil-hasil metabolisme
yang seharusnya dikeluarkan dari tubuh, dan hal ini akan mengakibatkan
oksigenasi jaringan yang buruk, yang dapat berakibat kerusakan sel yang
irreversible, dan bila menyangkut organ vital akan menyebabkan kematian. 5

2. Operatif
Sewaktu operasi awalnya akan dicoba reposisi manual dengan
mendorong invaginatum dari anal kearah sudut ileo-sekal, dorongan dilakukan
dengan hati- hati tanpa tarikan dari bagian proximal. 5
49

Gambar 12. Terapi dengan Reseksi manual

Reposisi dengan pembedahan dicapai melalui laparatomi. Setelah


dinding perut dibuka, tindakan selanjutnya tergantung pada temuan yang
ada. Reposisi dikerjakan secara manual diperas seperti memeras susu sapi
yang disebut milking, dikerjakan secara halus dan perlahan dengan sabar,
dan diselingi dengan istirahat beberapa waktu untuk memberi kesempatan
agar aliran darah balik yang mengurangi edema sehingga mempermudah
usaha milking selanjutnya. Jangan sekali-kali menarik bagian usus yang
masuk ke dalam usus lainnya, tetapi diperas dari pihak lainnya. 5

Jika terjadi kebocoran usus sebelum atau sesudah milking maka


dilanjutkan dengan reseksi usus. Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm
dari tepi - tepi segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi
proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end
to end atau side to side. 5
50

Gambar 13. Anastomose end to end

Apabila terdapat kerusakan usus yang cukup luas, dan banyak bagian
dari usus itu yang harus diangkat. Maka pada kasus ini tidak dapat
dilakukan anastomosis end to end, harus colostomy supaya proses digestive
tetap berjalan. 5

Jika ditemukan penyebab yang menjadi factor pencetus seperti


divertikulum atau duplikasi maka perlu dilakukan reseksi. 5

Laparoskopi

Awalnya, penggunaan laparoskopi pada intususepsi digunakan hanya


untuk mendiagnosis juga pada kasus dengan pemeriksaan radiologi yang masih
diragukan atau adanya lesi patologis yang dicurigai. Setelah diagnosis
dikonfirmasi, operasi itu diubah menjadi laparotomi. Studi kecil terbaru
menunjukkan variable keberhasilan yang bervariasi pada reduksi laparoskopi
intususepsi. Berbagai teknik telah dilaporkan, tetapi mayoritas pendekatan
minimal invasif menggambarkan penggunaan tiga port perut: satu di
infraumbilical wilayah dengan dua port lain di sepanjang sisi kiri perut. Reduksi
laparoskopi selesai dengan menerapkan tekanan lembut distal ke intususeptum
menggunakan graspers atraumatic. Meski kontraintuitif ke metode terbuka
konvensional, traksi biasanya diperlukan proksimal ke intussuscipiens untuk
menyelesaikan reduksi. Pemeriksaan yang cermat kemudian dilakukan untuk
mengevaluasi tanda-tanda iskemia, nekrosis, atau perforasi. Jika sebuah reseksi
diperlukan, ini kadang-kadang bisa diselesaikan dengan mengeluarkan usus
51

melalui periumbilical irisan. Jika ini tidak bisa diselesaikan aman, operasi harus
diubah menjadi Laparotoi terbuka.5

3. Pasca Operasi
 Hindari Dehidrasi
 Pertahankan stabilitas elektrolit
 Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
 Pemberian analgetika yang tidak menggangu motilitas usus

2.10 Komplikasi
Radiologi

Perforasi usus adalah komplikasi utama selama reduksi enema.


Perforasi dengan berbagai teknik sangatlah luar biasa tidak umum dan dikutip
kurang dari 1% di sebagian besar kasus. Kebanyakan perforasi terjadi di luar
intussuscipiens dan di tidak adanya nekrosis. Faktor teknis juga mengambil
peran seperti menggunakan tekanan terlalu tinggi atau tekanan terlalu cepat
berubah. Melakukan enema lebih lambat dan menjaga tekanan serendah
mungkin dapat mengurangi risiko perforasi. Faktor risiko perforasi adalah
bayi yang lebih muda dari 6 tahun bulan dan durasi gejala yang lebih lama (>
36 jam). 4

Operasi

Komplikasi setelah laparotomi dan laparoskopi intususepsi terjadi


hamper seeperti pada pasca operasi pada umumnya yakni infeksi luka, fascial
dehiscence, dan obstruksi usus halus. Komplikasi yang dilaporkan jumlahnya
akan lebih rendah (4%) bila tidak ada enterotomi atau reseksi usus yang harus
dilakukan (26%). Selain itu dapat juga terjadi risiko terjadinya adhesi usus
halus setelah dilakukan operasi. 4

Rekurensi
Intususepsi berulang dapat terjadi hingga 20% kasus. Kebanyakan
intususepsi muncul kembali dalam 24 jam pertama sampai 6 bulan. Hal ini
52

cenderung terjadi setelah adanya operasi reduksi atau reseksi, dan biasanya
idiopatik. Orang tua akan sadar pada gejala intususepsi berulang dan lebih
cepat dating ke rumah sakit. Beberapa rekurensi dapat terjadi pada anak yang
sama dan harus dicari penyebab lain seperti kemungkinan adanya keganasan.
Modalitas pencitraan yang direkomendasikan adalah USG. Operasi
eksplorasi diindikasikan jika pada USG terdapat penyebab patologis,
gagalnya reduksi enema, atau gejala klinis tetap ada setelah dilakukan
tindakan. 4
53

REFERENSI

1. Sabiston. Textbook of surgery the biological basis of modern surgical pratice.


Sauders, at imprint of Elsevier.p.543-6.
2. Ganong W. F. 19. Review of Medical Physiology. 23h Ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. p. 473-8.
3. Guyton A. C, Hall J. E. 2011. Textbook of medical physiology. 12th Ed. Sauders, at
imprint of Elsevier .p. 759-72.
4. Columbani PM, Scholz S. Intussusception. In Coran, AG, dkk editors. Pediatric
Surgery. 7th ed. Philladephia: Saunders Elsevier; 2012.p.1093-108.
5. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW, Murphy JP, editors.
Ashcraft’s pediatric surgery. 5th ed. Philadephia: Saunders Elsevier; 2010.p. 508-
16.
6. R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC.
Jakarta:2007,hal.734-44.
7. Bines JE, Ivanoff B, Justice F, Mulholland K. Clinical case definition for the
diagnosis of acute intussusceptions. Journal of pediatric gastroenterology and
nutrition. 2004; 39: 511-8.

Anda mungkin juga menyukai