Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

UNDESCENDED TESTIS

Oleh:
Hafiz Muhammad Ikhsan
1113103000024

Pembimbing:
dr. Yonas Immanuel Hutasoit, SpU

MODUL KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah referat ini dengan
baik.

Adapun judul untuk penulisan makalah presentasi kasus kali ini mengenai “
undescended testis” . Dalam penunyusunan makalah ini , penulis telah mencurahkan pikiran
dan tenaga semaksimal mungkin. Namun penulis masih menyadari terdapat kekurangan pada
makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangatlah berarti bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yonas Immanuel H, SpU selaku
pembimbing pada makalah ini dan seluruh pihak yang membantu penyusunan ini.

Jakarta, April 2018

Penulis
LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi Kasus dengan Judul

“Undescended Testis”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode Maret– Mei 2018

Jakarta, April 2018

(dr. Yonas Immanuel H, SpU)

BAB I
PENDAHULUAN

Undescendcus testikulorum (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus adalah kelainan


kongenital genitalia tersering pada anak laki-laki. duapertiga kasus anak-anak dengan UDT
adalah bilateral dan unilateral.
Meskipun telah diteliti lebih dari 100 tahun, namun masih banyak aspek UDT yang
belum dapat dijelaskan dengan baik dan masih menjadi kontroversi. Termasuk diantaranya
mengenai fisiologi penurunan testis, etiologi dan petanda molekuler tentang fertilitas dan
potensi keganasannya, hingga terapi UDT. UDT yang tidak diterapi jelas menimbulkan
kerusakan bagi testis tersebut.Pemahaman tentang morfogenesis kelainan akibat UDT, faktor
hormonal dan molekuler yang mempengaruhi, merupakan hal yang harus diketahui dalam
melakukan diagnosis maupun terapi kasus-kasus dengan UDT.
Diagnosis dan terapi dini diperlukan pada kasus-kasus UDT mengingat terjadinya
peningkatan risiko infertilitas, keganasan, torsi testis, jejas testis pada trauma pubis, dan
stigma psikologis akibat skrotum yang kosong. Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat
ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi tersebut dengan melakukan reposisi
testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).

BAB II
ILUSTRASI KASUS
1.1. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 01581216
Nama : An. A
Tanggal lahir : 25 Mei 2017
Umur : 10 Bulan
Agama : Islam
Alamat : Cimanggis, Depok

1.2. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Buah zakar kiri tidak teraba sejak 10 bulan smrs

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan buah zakar kiri tidak teraba sejak 10 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya pasien saat lahir dikatan tidak memiliki buah zakar kiri dan
akan turun sendirinya saat usia pasien 6 bulan, akan tetapi setelah melewati 6 bulan buah
zakar kiri pasien tidak turun. Buah zakar kiri tidak pernah teraba hingga saat ini.Pasien
lahir normal dengan BB 3500gram cukup bulan. nyeri saat BAK disangkal, BAK
normal, tidak berdarah, nyeri pinggang (-).

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat operasi pada pasien disangkal, riwayat alergi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat penyakit yang serupa di keluarga tidak ada.

Riwayat sosial & kebiasaan :


Pasien merupakan anak ke dua, Orang tua pasien menggunakan KB suntik selama 9
tahun sebelum melahirkan pasien. Selama kehamilan orang tua pasien tidak
mengonsumsi obat-obatan maupun jamu, tidak merokok dan konsumsi alcohol. Orang
tua pasien juga rajin melakukan antenatal care di puskesmas
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos mentis
KU : Tampak sakit ringan
TD : 112/68 mmHg
Nadi : 118 x/ menit, reguler, isi&tegangan cukup
Nafas : 22 x/ menit, reguler, thorakoabdominal
Suhu : 36.4o C
BB : 11 Kg
TB : 70 cm
Kepala : Normocephal, rambut hitam tersebar merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi (-), sekret (-/-)
Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, uvula ditengah
Leher : KGB membesar (-), Kelenjar tiroid membesar (-/-), JVP 5-2 cmH2O
Paru I : Pergerakan dada simetris statis dan dinamis, retraksi sela Iga (-)
P : vokal fremitus sama di kedua lapang paru
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra
P : Batas jantung kanan ICS 4 linea parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS 5 1 jari medial midclavicula sinistra
Kesan jantung tidak membesar
A : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen I : normal, tidak ada pelebaran vena
A : BU (+) normal
P : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
P : nyeri ketok CVA (-/-), Ballotement (-/-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik
Genitalia : OUE di tip glans penis, terdapat fimosis
- tidak teraba testis kiri pada posisi berdiri dan frog leg
- testis kanan teraba ukuran 1,5 cm.
- teraba testis di inguinal superficial kiri.

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Parameter Hasil Nilai rujukan Satuan

Hb 9,9 13,2-17,3 g/dL

Ht 32 33-45 %

Leukosit 4.5 5.0-10.0 ribu/uL

Trombosit 226 150-440 ribu/uL

Eritrosit 3.93 4.40-5.90 juta/uL

VER 87.0 80.0-100.0 fl


HER 28.3 26.0-34.0 pg
KHER 32,5 32.0-36.0 gr/dl
RDW 11.5 11.5-14.5 %
HEMOSTASIS

APTT 36.0 26.3-40.3

Kontrol APTT 30.7

PT 13.2 11.5-14.5

Kontrol PT 13.6

INR 0.96

Fibrinogen 405 200-400 mg/dl

Fungsi Ginjal
Ureum 11 15-45 mg/dl
Kreatinin 0,94 0,6-1,1 mg/dl

URINALISA
Urobilinogen 0.2 <1
Albumin Negatif Negatif
Berat jenis 1.025 1.005 – 1.03
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
pH 6.5 4.8 – 7.4
Leukosit Negatif Negatif
Hb Negatif Negatif
Glukosa urin Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning
kejernihan Jernih Jernih

Sedimen Urin
Eritrosit 45.1
Silinder Negatif
Kristal Negatif
Bakteri 12.6
Lain-lain Negatif
RONTGEN THORAX

Jantung kesan tidak membesar


Mediastinum superior tidak melebar
Trakea relatif di tengah
Aorta baik
Paru: - Kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronkhovaskular kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrat dikedua lapangan paru
Diafragma dan sinus kostofrenikus normal
Tulang-tulang costae intak
Kesan: tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
1.5. RESUME
Pasien datang dengan keluhan buah zakar kiri tidak teraba sejak 10 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien saat lahir dikatan tidak memiliki buah
zakar kiri dan akan turun sendirinya saat usia pasien 6 bulan, akan tetapi setelah
melewati 6 bulan buah zakar kiri pasien tidak turun. Buah zakar kiri tidak pernah
teraba hingga saat ini.Pasien lahir normal dengan BB 3500gram cukup bulan. nyeri
saat BAK disangkal, BAK normal, tidak berdarah, nyeri pinggang (-). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya testis yang tidak teraba pada skrotum kiri. Testis
teraba di inguinal superfisialis kiri. Dari hasil laboratorium didapatkan adanya Hb
yang menurun, dan juga bakteri pada sedimentasi urin.

1.6 Diagnosis Kerja


UDT kiri non palpable

1.7 Diagnosis Banding


 Kriptorkismus fisiologis
 Anorkismus
1.8 Pemeriksaan Anjuran
 Cek darah lengkap, urinalisa lengkap, hemostasis, fungsi ginjal, fungsi hepar,
elektrolit, gula darah sewaktu
 rontgen thorax
1.9 Hasil Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen thorax
Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
1.10 Penatalaksanaan
- Pro laparoskopi orkidopeksi
- Konsul Spesialis Anak dan Anastesi untuk toleransi operasi
- Rehidrasi RL
- Maintenace Kaen IB 500cc/24 jam
- Puasa
1.1. Laporan Operasi

Preoperasi Intra operasi

Laporan operasi:

1. Pasien supine dalam anestesi umum


2. A dan antisepsis abdomen dan genitalia eksterna
3. Evaluasi klinis testis kanan teraba intraskrotum, testis kiri teraba di inguinal
kiri
4. Dilakukan insisi inguinal kiri, buka lapis demi lapis, scarpae dibuka secara
tumpul
5. Identifikasi funiculus dan testis kiri, tesits kiri ukuran normal dan vital
6. Dibebaskan dari jaringan sekitarnya, guberkulum dipotong kesan tidak ada
hernia
7. Dbuat jalur kearah skrotum dengan guiding jari tangan
8. Dilakukan insisi pada ujung jari di skrotum, dimasukkanm klem sampai
dengan atas
9. Testis ditarik, dibuat dartos pouch dan dibuat fiksasi ke dartos pouch,
kemudian ditambahkan fiksasi di bagian medial dan lateral testis kiri.
10. Evaluasi ulang tidak ada puntiran.
11. Tindakan selesai luka operasi ditutup lapis demi lapis

1.6. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Undescended testikulorum (UDT) atau Kriptorkismus adalah sebagai kegagalan testis
untuk turun ke posisinya di dalam skrotum. Organ testisnya tetap ada namun tidak memasuki
kantong skrotum.
Selama masa embrionik, testis yang berada di samping mesonefron ginjal akan turun
melalui kanalis inguinalis ke dalam skrotum. Menurut Yunani kuno nama lain dari
Undescended Testis ialah Kriptorkismus berasal dari kata cryptos yang berarti tersembunyi
dan orchis yang berarti testis. Nama lain dari undescended testiskulorum adalah
kriptorkismus ,namun harus dijelaskan lebih lanjut apakah yang di maksud kriptorkismus
murni, testis ektopik, atau pseudokriptorkismus. Kriptorkismus murni adalah suatu keadaan
dimana setelah usia satu tahun, satu atau dua testis tidak berada didalam kantong skrotum,
tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur penurunan testis yang normal. Sedang bila
diluar jalur normal disebut testis ektopik , dan yang terletak di jalur normal tetapi tidak
didalam skrotum dan dapat didorong masuk ke skrotum serta naik lagi bila dilepaskan disebut
pseudokritorkismus atau testis retraktil.

2.2. Epidemiologi
Sebanyak 3,4% bayi laki-laki aterm mengalami UDT, Sedangkan pada bayi premature
meningkat menjadi 30%. Menurut penelitian terbaru tahun 2016 (NCBI) sepertiga anak laki-
laki prematur memiliki UDT satu sisi dibandingkan dengan anak laki-laki yang tidak
premature yaitu 2-8%.

Laporan serupa yang lain menyebutkan dari 7500 bayi baru lahir diInggris, terdapat
5,0 % kasus UDT pada saat lahir, dan menurun menjadi 1,7%pada umur 3 bulan. 8 Setelah
umur 3 bulan, bayi-bayi yang lahir dengan berat <2000 gram, 2000 - 2499 gram, dan > 2500
gram, insiden UDT berturut-turutmenjadi 7,7%, 2,5%, and 1,41%.

2.3. Embriologi
Sebelum usia gestasional minggu ke- 7-8 dari perkembangan gonad, posisi gonad
pada kedua jenis kelamin sama. Pembentukan testis mudigah dipengaruhi oleh gen SRY.
Dengan mulainya diferensi seksual, Testis janin membentuk Müllerian inhibiting substance
(MIS) (atau anti-Müllerian hormone, AMH) yang dihasilkan oleh sel-sel Sertoli, zat tersebut
sebagai androgen, dan sel leydig menghasilkan insulin-like hormone 3 (INSL3). Hormon-
hormon ini bekerja mengontrol penurunan gonad laki-laki. Penurunan terjadi diantara dua
ligamen yaitu ligamen suspensorium pada daerah superior dan ligamen gubernakulum pada
daerah inferior. Pada saat fase inisial penurunan testis, terjadi regresi ligamen suspensorium
dan penebalan gubernakulum, sehingga testis dapat turun ke area inguinal. Sedangkan pada
wanita, yang kedua ligamennya tidak terdapat penebalan, sehingga ovarium tetap pada posisi
abdominal. Pada usia gestasi 20-25 minggu, prosessus vaginalis, sebuah divertikel pada
peritoneum, memanjang ke arah skrotum diikuti oleh gubernakulum. Pada saat usis 25-30
minggu. Testis menurun ke kanalis inguinalis diikuti dengan obliterasi processus vaginalis
proksimal. Penurunan ini akan berakhir pada usia 35 minggu. Gubernakulum akan menempel
pada skrotum setelah penurunan sempurna

Ketika mesonepros mengalami degenerasi, suatu ligamen yang disebut


gubernakulum akan turun pada masing-masing sisi abdomen dari pola bawah gonad melintas
oblik pada dinding abdomen (yang kelak menjadi kanalis inguinalis) dan melekat
pada labioscrotal swelling (yang kelak menjadi skrotum atau labia majora). Kemudian
kantong peritoneum yang disebut processus vaginalis berkembang pada masing-masing sisi
ventral gubernakulum dan mengalami herniasi melalui dinding abdomen bawah sepanjang
jalur yang dibentuk oleh gubernakulum. Masing-masing processus vaginalis membawa
perluasan dari lapisan pembentuk dinding abdomen, bersama-sama membentuk funikulus
spermatikus. Lubang yang ditembus oleh processus vaginalis pada fascia transversalis
menjadi anulus inguinalis internus, sedang lubang pada aponeurosis m. obliquus abdominis
externus membentuk anulus inguinalis eksternus.

Sekitar minggu ke-28 intrauterine, testis turun dari dinding posterior abdomen menuju
anulus inguinalis internus. Perubahan ini terjadi akibat pembesaran ukuran pelvis dan
pemanjangan ukuran tubuh, karena gubernakulum tumbuh tidak sesuai proporsinya,
mengakibatkan testis berubah posisi, jadi penurunannya adalah proporsi relatif terhadap
pertumbuhan dinding abdomen. Peranan gubernakulum pada awalnya adalah membentuk
jalan untuk processus vaginalis selama pembentukan kanalis inguinalis, kemudian
gubernakulum juga sebagai pengikat testis ke skrotum. Massa gubernakulum yang besar akan
mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan
menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong skrotum
gubernakulum akan diresorbsi (Backhouse, 1966) Umumnya dipercaya bahwa gubenakulum
tidak menarik testis ke skrotum. Perjalanan testis melalui kanalis inguinalis dibantu oleh
peningkatan tekanan intra abdomen akibat dari pertumbuhan viscera abdomen.

Mekanisme yang berperan dalam proses turunnya testis belum sepenuhnya


dimengerti, dibuktikan untuk turunnya testis ke skrotum memerlukan aksi androgen yang
memerlukan aksis hipotolamus-hipofise-testis yang normal. Mekanisme aksi androgen untuk
merangsang turunnya testis tidak diketahui, tetapi diduga organ sasaran androgen
kemungkinan gubernakulum, suatu pita fibromuskuler yang membentang dari pole bawah
testis ke bagian bawah dinding skrotum yang pada minggu-minggu terakhir intrauterin akan
berkontraksi dan menarik testis ke skrotum. Posisi testis saat turun berada di posterior
processus vaginalis (retroperitoneal) sekitar 4 minggu kemudian (umur 32 minggu) testis
masuk skrotum. Ketika turun, testis membawa serta duktus deferens dan vasanya sehingga
ketika testis turun, mereka terbungkus oleh perluasan dinding abdomen. Perluasan fascia
transversalis membentuk fascia spermatica interna, m. obliqus abdominal membentuk fascia
kremaster dan musculus kremaster dan apponeurosis m. obliqus abdomenus eksternal
membentuk fascia spermatica externus di dalam skrotum. Masuknya testis di skrotum di ikuti
dengan kontraksi kanalis inguinalis yang menyelubungi funikulus spermatikus. Selama
periode perinatal processus vaginalis mengalami obliterasi, mengisolasi suatu tunica vaginalis
yang membentuk suatu kantong yang menutupi testis.

Gbr.1 Penurunan testis. A. Saat janin usia 2 bulan. B. Pada saat pertengahan bulan ketiga.
Invaginasi peritoneum kedalam skrotum, membentuk tunika vaginalis. C. Bulan ketujuh. D.
beberapa saat sebelum lahir. E. Foto mikroskop elektron pada embrio tikus menunjukkan
gonad primitif (G), duktus mesonefros (kepala panah), dan gubernakulum (panah).

1 2 3 4

Gbr.2 Penurunan testis. 1. Posisi embrional. 2. Fase transabdominal (minggu ke-8-15)


anchoring. 3. Fase inguinoskrotalis (minggu ke-25-35) migration. 4. Elongasi cord (0-10thn)
Dua fase penurunan testis kemungkinan dikontrol oleh kerja beberapa hormon. INSL3
merupakan faktor mayor yang menyebabkan penebalan gubernaculum dan studi terbaru
membuktikan beberapa zat androgen seperti DHT, MIS dan kemingkinan) relaxin appear
memiliki kerja minor untuk proses swelling reaction" pada gubernakulum. Androgen juga
berperan dalam regresi ligamentum suspensorium, tapi mereka sendiri belum cukup untuk
memulai proses penurunan. Fase migrasi gubernakulum dikkontrol secara langsung dan tidak
langsung oleh androgen dengan bantuan nervus genitofemoral yang mengeluarkan calcitonin
gene-related peptide (CGRP). Studi terbaru membuktikan bahwa reseptor androgen tidak
hanya mengontrol maskulinisasi nervus genitofemoral tapi juga pada organ target
gubernakulum. Jumlah neuron sensorik dan jumlah CGRP pada tikus lebih rendah bila
diberikan intervensi berupa anti-androgen, flutamide. Pengeluaran CGRP dari nervus
menstimulasi mitosis dan perkembangan otot kremaster pada gubernakulum, sehingga terjadi
elongasi ke dalam skrotum. Estrogen memiliki peran inhibitor minor pada perkembangan
normal gubernakulum karena menghambat kerja INSLH3.

2.4. Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan berpotensi
menimbulkan UDT .Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3
dan gen GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT.
INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga terbukti
menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan menyebabkan AIS (androgenin
sensitivity syndrome) , serta beberapa gen yang bertanggung-jawab pada diferensiasi testis
semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan MIS.

UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom ,
endokrin, intersex, dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai kelainan bawaan lainnya seperti hipospadi
kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom ( sekitar 12- 15 % ).

2.5. Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe :
1. UDT sesungguhnya (true undescended) : testis mengalami penurunan parsial melalui jalur
yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba
(impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunanyang normal.
3. Testis retractile : testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis, bukan termasuk UDT
yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,menjadi:
abdominal , inguinal , dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau sliding testis adalah
istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas
skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.

2.6. Patofisiologi dan pathogenesis

Proses penurunan testis diregulasi oleh interaksi antara hormon dan faktor mekanik,
termasuk testosterone, dihidrotestosteron, mullerian inhibiting factors, dan gubernakulum
testis. Tekanan intraabdominal, dan nervus genitofemoral. Testis terbentuk pada usia 7-8
minggu gestasi. Pada usia 10-11 minggu, sel Leydig memproduksi testosterone, yang
menstimulasi diferensiasi duktus Wolffian (mesonefros) menjadi epididimis, vas deferens,
seminal vesicle, dan duktus ejakulatorius. Pada usia 32-36 minggu, testis memulai proses
penurunannya.gubernakulum testis menempel pada testis dan ujung lainnya menempel pada
skrotum untuk menuntunnya ke skrotum. Kelainan terhadap Gubernakulum testis, hormon
gonadotropin maternal, dll dapat menyebabkan tidak turunnya testis ke dalam skrotum.
Suhu di dalam rongga abdomen +10C derajat lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehinggga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi dariipada
testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis. Pada usia 2
tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan
pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama
makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil.
Karena sel-sel leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak, maka
potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis
yang tidak berada di srotum dalah mudah terpuntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih
mudah mengalami degenerasi maligna.

2.7. Manifestasi klinik

Kriptorkhidismus dapat terbagi menjadi 5 klasifikasi yaitu abdominal, peeping


(terdapat di abdominal tapi dapat didorong ke bagian atas kanalis inguinalis), inguinalis,
gliding(dapat didorong ke skrotum tapi dapat kembali lagi seara spontan ke pubic tubercle),
dan ektopik (letak superficial, atau dapat perineal). Letak yang paling sering adalah letak
distal terhadap kanalis inguinalis.
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak menjumpai testis
di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu belum
mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Jika testis terletak pada bagian yg menonjol
seperti tulang pubis, maka pasien dapat mengeluh nyeri hebat akibat trauma. Kadang-kadang
merasa ada benjolan di bagina perut bawah yang disebabkan testis maldesensus mengalami
trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor testis.

2.8. Diagnosis

2.8.1. Anamnesis

Pada anamnesis harus digali adalah tentang kelahiran bayi apakah prematur atau
cukup bulan, penggunaan obat-obatan saat ibu hamil terutama estrogen, riwayat operasi regio
inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat
lahir atau tahun pertama kehidupan. Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak.
Riwayat keluarga mengenai UDT, infertilitas, hipospadia dan kelainan genital bawaan
lainnya.

2.8.2. Pemeriksaan Fisik


Melakukan pemeriksaan sebaiknya dilakukan diruangan hangat. Pemeriksaan secara umum harus
dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu , dismorfik, hipospadia, atau
genitalia ambigua.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog leg
position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan
jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis kearah medial dan skrotum
(gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan kombinasi
”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong kedalam skrotum. Dengan
mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster
diharapkan akan mengalami ”fatigue” ; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum,
menunjukkan testis yang
retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.Tentukan lokasi,
ukuran dan tekstur testis.

2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih
lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan
virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah
17 hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan
usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat
membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3
bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test
menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar
testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan
anorchia.
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon
testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal
pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG test
bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x.
Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka
peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.

2.8.4. Pemeriksaan Radiologi


USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan jari jari tangan. USG hanya dapat
mendeteksi sedikit dari gejala UDT seperti testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis
intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kualitas alat yang
digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas
yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga
dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat
dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia.

2.9. Diagnosis Banding


Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba berada
di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi
karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan
aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan
kelainan ini tidak perlu diobati.
Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anokirmus yaitu testis memang
tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak terbentuk testis atau testis
yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.

2.10. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil risiko
terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik
dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah
usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna,
maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis
yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara
medikamentosa maupun pembedahan.
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi
perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga
berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis
kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal
dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%.

Gambar 6. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.


http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html
Gambar 7. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital.
http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

2.10.1. Terapi Hormonal


Terapi yang paling sering digunakan untuk UDT adalah hormonal primer. Ada
beberapa hormon-hormon yang sering diberikan pada penyakit UDT seperti hCG,
gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Terapi
hormonal meningkatkan produksi testosteron dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur
hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis
berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG
dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
terapi hormonal.
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250 IU/ kali pada
bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6 tahun. Terapi
diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6 – 55%. Secara
keseluruhan, terapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak
di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum,
pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat
menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada
kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum memuaskan.
2.10.2. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan berbagai
faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila operasi tersebut
ditunda.
Operasi pada kriptorkismus adalah orchiopexy. Tujuan operasi pada kriptorkismus
adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3)
mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara
psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang
dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan
fiksasi pada kantung sub dartos.

Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat


Keberhasilannya
Gambar 8. Orchiopexy.
Sumber: http://content.answers.com/main/content/img/galeSurgery/ gesu_02_img0161.jpg
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi dibuat pada
abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum (A). Testis
dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen menempel pada
spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).

Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy
antara lain :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus
3. Trauma pada vas deferens
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum
2.11. Komplikasi UDT

Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah
keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping itu disebut juga terjadinya
torsi testis, dan hernia inguinalis.

A. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden keganasan
testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan
testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan
pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya,
testis abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi akan
lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan
orchiopexy.

B. Infertilitas

Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat


dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal.
Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi
normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi normal),
sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT. Biopsi
pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan volume testis,
jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis yang normal. Biopsi testis
pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan
gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang normal.
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1 tahun,
semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan
testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan buah zakar kiri tidak teraba sejak 10 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien saat lahir dikatan tidak memiliki buah
zakar kiri dan akan turun sendirinya saat usia pasien 6 bulan, akan tetapi setelah
melewati 6 bulan buah zakar kiri pasien tidak turun. Buah zakar kiri tidak pernah
teraba hingga saat ini.Pasien lahir normal dengan BB 3500gram cukup bulan. nyeri
saat BAK disangkal, BAK normal, tidak berdarah, nyeri pinggang (-). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya testis yang tidak teraba pada skrotum kiri. Testis
teraba di inguinal superfisialis kiri. Dari hasil laboratorium didapatkan adanya Hb
yang menurun, dan juga bakteri pada sedimentasi urin.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, anak tersebut didiagnosis dengan UDT
kiri non palpable, dan diputuskan untuk dilakukan laparoskopi orkidopeksi.
Operasi dilakukan Pasien supine dalam anestesi umum. A dan antisepsis
abdomen dan genitalia eksterna. Evaluasi klinis testis kanan teraba intraskrotum, testis
kiri teraba di inguinal kiri. Dilakukan insisi inguinal kiri, buka lapis demi lapis,
scarpae dibuka secara tumpul. Identifikasi funiculus dan testis kiri, tesits kiri ukuran
normal dan vital. Dibebaskan dari jaringan sekitarnya, guberkulum dipotong kesan
tidak ada hernia. Dbuat jalur kearah skrotum dengan guiding jari tangan Dilakukan
insisi pada ujung jari di skrotum, dimasukkanm klem sampai dengan atas. Testis
ditarik, dibuat dartos pouch dan dibuat fiksasi ke dartos pouch, kemudian
ditambahkan fiksasi di bagian medial dan lateral testis kiri. Evaluasi ulang tidak ada
puntiran. Tindakan selesai luka operasi ditutup lapis demi lapis

BAB V
KESIMPULAN

UDT memiliki banyak komplikasi, sehingga harus dikenali dengan cepat dan
tepat serta penanganan segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan
untuk mampu mendiagnosis UDT secara cepat serta penanganan UDT pada pasien-
pasien yang mengalaminya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h.137-40.
2. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari
http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 30 Mei 2012)
3. Gaudio E, Paggiarino D, Carpino F. Structural and ultrastructural modifications of
cryptorchid human testes. J Urol. 1984;131:292–6.
4. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. h.280-310.
5. http://humupd.oxfordjournals.org/content/14/1/49.full.pdf diunduh tanggal 30 Mei
2012
6. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their surgical
management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘s Urology Vol 1. 8th edition. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2000
7. Elder JS. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics: Disorders and anomalies of the scrotal contents: undescended
testes. 18th ed.2007 Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.p:2260-1

8. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:


http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 10 Februari 2010)
9. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada Simposium
Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus, 1994.
10. Acosta J, Adam C, et al. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007.

Anda mungkin juga menyukai