Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

Eritema Nodusum Leprosum

Pembimbing:
dr. Eka Komarasari, Sp.KK

Disusun oleh:
Immanuella Yosephine 030.14.093
Yuni Tri Yustianti 030.14.204

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT


RSK DR. SITANALA TANGERANG
PERIODE 23 SEPTEMBER – 25 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

Judul:
“Eritema Nodusum Leprosum”

Disusun oleh:
Immanuella Yosephine 030.14.093
Yuni Tri Yustianti 030.14.204

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Eka Komarasari, Sp.KK untuk
dipresentasikan

Tangerang, 2019
Mengetahui,

dr. Eka Komarasari, Sp.KK

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah


SWT atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Eritema Nodusum Leprosum”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Kulit di RSK dr. Sitanala Tangerang periode 23 september – 25 Oktober
2019.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka
Komarasari, Sp.KK sebagai dokter pembimbing, dokter dan staf-staf di poliklinik
kulit RSK dr. Sitanala, rekan-rekan sesama koasisten ilmu penyakit kulit dan semua
pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan membantu
kelancaran dalam proses penyusunan makalah kasus ini.
Kami menyadari bahwa makalah kasus ini masih terdapat banyak kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, kami memohon maaf kepada para
pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan saya jadikan bahan pertimbangan agar
makalah kasus ini kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, saya mengucapkan
terima kasih.

Tangerang, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
BAB II .................................................................................................................... 4
LAPORAN KASUS ............................................................................................... 4
I. IDENTITAS PASIEN .............................................................................. 4
II. ANAMNESIS............................................................................................ 4
III. PEMERIKSAAN FISIK ......................................................................... 5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................ 7
V. RESUME ................................................................................................... 7
VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG .......................................... 7
VII. DIAGNOSIS BANDING ......................................................................... 7
VIII. DIAGNOSIS KERJA .............................................................................. 7
IX. PENATALAKSANAAN ......................................................................... 7
X. PROGNOSIS ........................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 9
I. Definisi...................................................................................................... 9
II. Epidemiologi ........................................................................................... 9
III. Etiologi ..................................................................................................... 9
IV. Faktor Risiko .........................................Error! Bookmark not defined.
V. Patogenesis .............................................Error! Bookmark not defined.
VI. Penegakkan Diagnosis .......................................................................... 12
VII. Penatalaksanaan................................................................................... 20
VIII. Komplikasi ............................................................................................ 23
IX. Prognosis ............................................................................................... 23
X. Pencegahan.............................................Error! Bookmark not defined.

BAB IV ................................................................................................................. 24
KESIMPULAN .................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

2
BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Mycobacterium Leprae
menyerang saraf perifer, kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf
pusat. Kusta masih terdapat didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan tujuan
pengobatan dan jumlah lesi, kusta dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu
paucibacillary (PB) bila lesi berjumlah kurang dari atau sama dengan lima dengan
BTA negatif dan multibacillary (MB) bila lesi lebih dari lima dengan BTA positif.
1,2

Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India


dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Cara penularan penyakit ini
belum diketahui secara pasti, namun hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu
kontak langsung antar kulit yang lama dan secara inhalasi.3,4 Penderita penyakit
kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang
abnormal (respon imun seluler atau respon imun humoral). Reaksi kusta dapat
terjadi sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta
dibagi menjadi 2 yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi tipe II
merupakan reaksi humoral, yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan,
neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan adanya komplikasi
pada organ tubuh lainnya. 5
Pasien dengan reaksi Tipe 2 pada kusta mengakibatkan nodul subkutaneus
lunak yang dinamakan sebagai Erythema Nodosum Leprosum (ENL). ENL dapat
terjadi pada pasien dengan penyakit lepra jenis multibasiler (LL dan BL).
Mungkin terjadi sebelum, selama atau setelah perawatan. ENL paling sering
terjadi pada LL, hingga 75% kasus namun tidak jarang juga terjadi pada pasien
BL. Ada juga referensi lain yang menyatakan sampai 50% LL dan 15% pasien BL
dapat mengalami reaksi ENL.6
ENL merupakan kombinasi aktivasi seluler dan respons imunologis
humoral terhadap M.leprae, yang ditandai dengan pengendapan kompleks imun
ekstra-vaskular yang menyebabkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen

3
pada banyak organ.(6) Tatalaksana pada ENL terdiri dari beberapa pilihan. Salah
satunya, pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan dengan prednisolon
merupakan terapi pilihan untuk ENL jika thalomid tidak tersedia. Namun
demikian, risko efek samping kortikosteroid jangka panjang juga harus
diperhatikan.5

4
4

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 21 Oktober 1995
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Mekarwangi
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tngga

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di bangsal Asoka
RSK dr. Sitanala tanggal 30 September 2019.
Keluhan Utama
Perempuan berusia 24 tahun datang ke IGD RSK dr. Sitanala dengan keluhan
timbul bentol-bentol kemerahan di seluruh tubuh sejak 3 bulan SMRS.
Keluhan Tambahan
Keluhan disertai dengan demam dan mual, muntah 5-10x/hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Perempuan berusia 24 tahun datang ke IGD RSK dr. Sitanala dengan keluhan
timbul bentol-bentol kemerahan di seluruh tubuh sejak 3 bulan SMRS. Bentol-
bentol semakin banyak sejak 1 minggu terakhir disertai bengkak. Bentol-bentol
berisi cairan dan pecah setelah di garuk. Pasien mengatakan terdapat nyeri
sendi dan rasa baal pada kaki. Keluhan disertai dengan demam ± 1 minggu dan
mual, muntah 5-10x/hari. Pasien mengatakan tidak nafsu makan. Saat ini
pasien sedang hamil anak pertama, dengan HPHT 10 Juni 2019. Sempat

4
5

dirawat di RS X kemudian dirujuk karena keadaan tidak membaik. Riwayat


keguguran disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pengobatan kusta selama 1 tahun tuntas pada tahun 2006.
Riwayat Penyakit Keluarga
Alm. Ayah (+) kusta.
Riwayat Alergi
Tidak terdapat riwayat alergi di dalam keluarga pasien ataupun pasien itu
sendiri.
Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 114/71 mmHg
- Nadi : 78x/menit
- Suhu : 39 C
- Pernafasan : 20x/menit
- Berat Badan : 50 kg
Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, skuama (-), krusta (-)
Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

5
6

b. Status Dermatologi

Gambar 1. Status Dermatologikus ad generalisata

Regio : Regio generalisata


Efloresensi primer : Nodus eritematosa, plak hiperpigmentasi
Efloresensi sekunder : -
Distribusi : generalisata
Bentuk : annular

6
7

Batas : Sirkumskripta
Ukuran : Lentikular- numular, plakat
Jumlah : Multiple
Eflorosensi : ad generalisata: terdapat nodus eritematosa,
multiple, sirkumskrip, bentuk annular, ukuran lenticular- numular, dan
plak hiperpigmentosa, multiple, sirkumkrip, ukuran plakat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan hematologi
- Pemeriksaan kimia darah (glukosa darah sewaktu)
- USG

V. RESUME

VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Tidak ada

VII. DIAGNOSIS BANDING

1. Eritema Induratum
2. Sarkoidosis

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Eritema Nodular leprosum

IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-medikamentosa

 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien,


terutama cara penularan dan pengobatannya

7
8

 Menjelaskan kepada keluarga pasien untuk membantu mengawasi


pasien minum obat sehingga pengobatan yang diberikan tuntas sesuai
waktu pengobatan
 Menjelaskan kepada pasien dan keluaga mengenai pentingnya
asupan nutrisi dan istirahat yang cukup.
 Menjelaskan kepada pasien upaya pencegahan kecacatan
- Medikamentosa
o IVFD nacl 3% 500cc/24 jam
o Ranitidin 2x1 amp
o Ondansentron 3x1 amp
o Metilprednisolon 1x16 mg
o Paracetamol 3x500 mg (kalua perlu)

X. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ada Bonam

8
9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan masalah yang serius,
dan sulit untuk menangani komplikasi akibat inflamasi kusta tipe lepromatosa
(LL) atau borderline lepromatous (BL), dengan manifestasi klinis sebagai lesi
yang nyeri, nodul erythematous disertai dengan demam, malaise dan
peradangan di tempat lain dapat berupa iritis, arthritis, neuritis dan
limfadenitis. ENL dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan
dengan terapi multidrug tetapi pada kebanyakan pasien ENL terjadi selama
tahun pertama pengobatan.2
ENL (atau tipe 2 reaksi ) adalah suatu imun-yang diperantarai oleh
fenomena yang terjadi pada pasien dengan LL atau BL. Reaksi ini
menyebabkan peradangan akut pada organ atau jaringan yang diserang oleh
basil M.Lepra. Lesi kulit tampak sebagai nodul erythematous, papula
lembut atau nodul yang mungkin dangkal atau dalam. Lesi eritema nodosum
berbeda secara klinis dari perjalanan penyakit secara alamiah, dari banyaknya
lesi dan luasnya distribusi penyebaran sampai pada tungkai bawah. Pada reaksi
berat, lesi kulit dapat menjadi vesikular, bulosa atau nekrotik. Reaksi ini ENL
umumnya disertai dengan gejala umum yaitu dengan demam tinggi, gejala
sistemik, edema wajah, tangan dan kaki, dan proteinuria. Manifestasi lain
termasuk iritis, episkleritis, arthritis, arthralgia, dactylitis, limfadenopati,
organomegali dan orkitis. Neuritis dapat menjadi bagian dari ENL tetapi
seringkali lebih ringan dibandingkan yang terlihat pada reaksi tipe 1.2.7

II. Epidemiologi
Reaksi tipe 2 (ENL) lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi tipe 1
(reaksi reversal), meski angka kejadinannya bervariasi antar negara: di
Afrika, hanya sekitar 5% dari total penderita MB mengalami ENL,
sedangkan di Amerika Selatan dapat sampai 50% terkena.

9
10

50% dari pasien tipe LL dan 15% pasien tipe BL bisa mengalami reaksi tipe
ENL.7

III. Etiologipatogenesis ENL


Pada Workshop Internasional yang membahas tentang ENL
November 2012, Profesor Warwick Britton disajikan review mekanisme
ENL dan diterbitkan secara terpisah. Hal ini menggambarkan
perkembangan pemahaman kita mengenai patofisiologi ENL selama empat
dekade terakhir. ENL telah lama dikenal sebagai kesatuan gambaran klinis
yang berbeda, dengan gambaran histopatologi infiltrasi neutrofil dan
vaskulitis pada pembuluh darah kecil, tetapi mekanisme kekebalan yang
mendasarinya tidak jelas. Dia menguraikan empat tahap dalam pemahaman
kita yang lebih baru dari patofisiologi ENL. 8

Kompleks imun
ENL memiliki fitur yang mirip dengan gangguan hipersensitivitas tipe III
karena kompleks imun (IC). IC adalah kombinasi antibodi, antigen dan
komplemen. Ada respon antibodi poliklonal dalam Tipe lepromatosa
borderline (BL) dan Tipe lepromatosa (LL). Kulit melepuh dari lesi ENL
mengandung IC, tetapi dapat juga ditemukan pada pasien tanpa ENL. M.
leprae mengaktifkan jalur komplemen. Namun IC tidak dapat diidentifikasi
secara tetap pada ENL dan bukan merupakan penjelasan lengkap ENL.
Pada penyakit IC strategi sel anti-B atau strategi anti-antibodi yang
bermanfaat. Pada hepatitis C Cryoglobulinemia (contoh dari penyebab
infeksi penyakit IC) adalah penting untuk memblokir sel B, tetapi juga
untuk menghilangkan antigen dengan mengobati infeksi.

Tumor Necrosis Factor (TNF)


TNF terbukti menjadi sitokin yang sangat penting dalam memediasi ENL.
TNF terdapat dalam serum dan Lesi ENL, protein C-reaktif (CRP)
biasanya meningkat pada ENL. M. leprae dan lipoarabinomannan

10
11

merangsang TNF dari monocytes. Sel mononuklear dari pasien ENL secara
spontan memproduksi TNF. Thalidomide dapat menyebabkan penurunan
yang cepat dalam TNF plasma dan memblok pelepasannya dari monosit
meskipun tidak semua pasien kadar TNFnya meningkat. Thalidomide
memiliki mekanisme lain dari aksi seperti yang ditunjukkan oleh efeknya
terhadap proliferasi limfosit pada myeloma. TNF adalah penanda respon
proinflamasi pada ENL tetapi tidak jelas apa yang memicu pelepasan TNF
dan Interleukin-6 (IL-6). Penghambatan TNF merupakan tujuan terapeutik,
tetapi beberapa strategis anti-TNF secara signifikan mening-katkan risiko
tuberculosis. Memblokir molekul efektor seperti sebagai NF-kB
downstream TNF mungkin memiliki peran.

Aktivasi Limfosit T
Respon sel T mungkin relevan dengan ENL meskipun sangat minimal
ataupun tidak ada sama sekali pada kusta tipe BL dan LL. Modlin
menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel T CD4 pada ENL
dibandingkan dengan kasus LL lainnya. Terapi Interferon ᵞ jangka panjang
mengindukdi ENL pada pasien LL. Kemungkinan terjadi penghambatan
sel T dengan agen seperti Siklosfosfamid, pulse methylprednisolon atau
metotreksat. Namun bukti tersebut tidak cukup kuat untuk menjelaskan
sepenuhnya patofisiologi ENL

Rekrutmen Neutrofil
Ekspresi gen pada lesi ENL baru-baru ini dilaporkan. Gen rekrutmen
neutrofil, seperti E-selectin, diregulasi dan meningkat dibandingkan
dengan lesi pasien LL. Beberapa Penelitian telah menunjukkan bahwa
tingginya Indeks Bakteri merupakan salah satu faktor risiko pada
perkembangan ENL yang kuat menunjukkan bahwa proses tersebut
merupakan pengendalian antigen. Slit Skin Smear (SSS) sangat berguna
untuk memprediksi resiko tinggi tetapi SSS tidak dilakukan, pengukuran

11
12

sederhana lainnya dari peningkatan antigen sangat dibutuhkan, misalnya


fenolik glikolipid. darah atau urin.
Gambaran histopatologi yang klasik pada lesi ENL yaitu infiltrasi
neutrofil dengan granuloma makrofak yang sudah ada sebelumnya pada
lesi lepromatosa yang sering dikaitkan dengan vaskulitis, panniculitis, dan
makrofag dengan basil terfragmentasi. Bukti histologi dari kerusakan
endotel dengan perubahan pembuluh darah yang nekrotik dan
pembentukan trombus mencerminkan keanekaragaman gambaran klinis
dari lesi ENL. Ekspresi gen pada lesi ENL memberikan bukti dari sebuah
mekanisme inflamasi lokal yang berhubungan dengan IL-1b, E-selectin
dan pengikatan neutrofil. Ini merupakan jalur penting bagi jaringan yang
cedera dan thalidomide dapat menghambat pengikatan neutrofil ini. E-
selectin adalah sebuah protein transmembran yang terlibat dalam
pengikatan neutrophil ke dalam endotelium, sebagai langkah awal dalam
pengikatan neutrofil . Alpha-1-acid glikoprotein levelnya tinggi pada
pasien ENL dibandingkan dengan pasien LL. Pada fase akut terjadi
penurunan protein ke tingkat normal setelah pengobatan ENL dengan
thalidomide. Para penulis tersebut menyarankan hal ini mungkin
bermanfaat sebagai biomarker dari ENL.

IV. Penegakkan Diagnosis

Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:


1. Reaksi reversal atau reaksi tipe I
Reaksi imunologi yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV
dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivitas Reaction). Reaksi tipe
I terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT,BB, BL) dan biasanya
terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada
reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap
kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan
terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan. 9,10

12
13

Antigen yang diberikan berasal dari basil yang telah mati akan
bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas seluler yang cepat.
Dasar reaksi tipe I adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas
seluler dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-
inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-y dan IL-12 dan sitokin
immuoregulatory seperti TGF-βdan IL-10 selama terjadi aktivasi dari
makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-y
meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan
syaraf. IFN-y dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema,
inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.8
Gejala klinik reaksi reversal yaitu dapat dilihat dari perubahan pada
kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya berupa
sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif
dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi
eritema menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
plakat menjadi makin infiltratif dan lesi lama bertambah luas. Umumnya
gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL. Tidak perlu seluruh gejala
harus ada, satu saja sudah cukup. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa
nyeri saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.
Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan oleh karena sangat
menentukanpada pemberian pengobatandengan kortikosteroid, sebab tanpa
gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah fluktuatif.9

Tabel 1. Gejala reaksi kusta tipe satu ringan-berat 9,10


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah Lesi yang telah ada
menjadi lebih menjadi eritematosa.
eritematosa Timbul lesi baru yang

13
14

kadang kadang disertai


panas dan malaise.
Syaraf tepi Membesar, tidak ada Membesar, nyeri tekan
nyeri tekan syaraf dan dan gangguan fungsi.
gangguan fungsi. Berlangsung lebih dari
Berlangsung kurang 6 minggu.
dari 6 minggu
Kulit dan syaraf Lesi yang telah ada Lesi kulit yang
akan menjadi lebih eritematosa disertai
eritematosa, nyeri pada ulserasi atau edema
syaraf. Berlangsung pada tangan/ kaki.
kurang dari 6 minggu Syaraf membesar,
nyeri dan fungsinya
terganggu.
Berlangsung lebih dari
6 minggu

Gambar 1. Rekasi kusta tipe 1

14
15

Diagnosis banding reaksi tipe I meliputi relaps kusta yang sering


dikaburkan dengan reaksi reversal terlambat, terutama pada kusta PB. Pada
kusta jenis MB, hal ini dapat dibedakan dengan kerokan ulang yang pada
reaksi reversal menunjukkan adanya peningkatan indeks bakteri dan atau
indeks morfologi positif. Lesi kulit yang berbentuk plakat merah seperti
erisipelas, slulitis, urtikaria akut, erupsi obat, dan gigitan serangga
merupakan diagnosis banding lainnya. 6

2. Tipe II (Eritema Nodusum Leprosum)


Reaksi kusta tipe II terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous
(BL,LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL dan 25% pasien kusta tipe
BL mengalami episode ENL.11
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat
juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapatkan pengobatan Multi
Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestai pengendapan
kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel.12
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur,
sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi
IgG, IgM, dan komplemen C3 membentuk kompleks imunyang terus
beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam
berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen. Berbagai
macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan
dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivitas komplemen.12
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL-13
dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-y, dan TNF-α
bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama
terjadi reaksi ENL. 12
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas
dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada
pemberian steroid jangka panjang.10,11

15
16

Pada kulit akan timbul gejala klinik yang berupa nodus eritema, dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya
menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan mungkin diikuti dengan
pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan.
Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Bila
mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis
akut, limfadenitis, artritis, orkitis,dan nefritis akut dengan adanya
proteinuria. ENL dapat disertai dengan gejala konstitusi dari ringan sampai
berat yang dapat diterangkan scara imunologik yang muncul berupa
demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan
11
sampai berat.
Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan
menjadi reaksi ringan dan berat Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Gejala reaksi kusta tipe dua ringan-berat
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Nodus sedikit, dapat Nodus banyak, nyeri,


ulserasi. Demam ulserasi. Demam
ringan dan malaise tinggi dan malaise

Syaraf tepi Membesar. Sangat membesar.


Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan.
syaraf. Gangguan fungsi
Fungsi tidak ada
gangguan
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan
organ organ tubuh lain pada mata ( nyeri,
penurunan visus,
merah pada sekitar
limbus. Testis ( lunak,

16
17

nyeri pada bagian


testis, dan membesar)

Gambar 2. Rekasi kusta tipe 2

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan
saraf perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.11 Kerusakan mata
pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat
paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan legoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan
bagian mata lainnya. Secara sendriain atau bersama-sama akan
menyebabkan kebutaan.5
Diagnosis banding pada reaksi tipe dua adalah eritema nodosum
dengan penyebab bakteri lain, seperti tuberkulosis dan infeksi
streptokokus. yang membedakan adalah lokasi lesi yang lebih banyak
ditemukan diluar tungkai bawah. ENL berbentuk bula dapat didiagnosis
banding dengan penyakit imunobulosa. ENL berbentuk ulkus dapat

17
18

menyerupai pioderma gangrenosum, sedangkan ENL kronik dapat


menyerupai penyakit jaringan ikat atau keganasan limforetikuler.12

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang


terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis
berupa plak atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tidah
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstermitas, kemudian meluas
keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpur,
bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. (1)
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi
endothelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di
endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate polimorfonuklear
seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit
imonoglobulin dan komplemen didalam dinding pembuluh darah. Titer
kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua
penderita. (1)

Tabel 3. Perbedaan Reaksi Tipe 1 dan 2


No. Gejala dan tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

1. Tipe kusta Dapat terjadi pada Hanya tipe MB


kusta tipe PB maupun
MB
2. Waktu timbulnya Segera setelah Setelah
pengobatan pengobatan > 6
bulan

3. Keadaan umum Baik, demam ringan Ringan-berat


( sub-febris) atau tanpa disertai
demam

18
19

kelemahan umum
dan demam tinggi

4. Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodus


menjadi lebih kemerahan, lunak,
meradang, bengkak, dan nyeri tekan.
berkilat, hangat, Biasanya pada
kadang-kadang hanya lengan dan
sebagian lesi. Dapat tungkai, nodus
timbul bercak baru dapat pecah.

5. Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi


umumnya berupa
nyeri saraf dan atau
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis
6. Udem pada (+) (-)
ekstremitas
7. Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada
organ lain testis, sendi,
ginjal, kelenjar
getah bening, dll.

8. Peradangan pada Anestesi kornea dan Iritis,


mata lagoftalmus karena iridosiklitis,
keterlibatan N.V dan glaukoma,
N.VII katarak, dll.

19
20

V. Penatalaksanaan
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol
neuritis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur,
serta menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.9 Prinsip
pengobatan reaksi kusta : 1). Istirahat / imobilisasi 2). Pemberian analgesik
/ sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat 4). MDT diteruskan
dengan dosis tidak berubah.11

Terapi untuk reaksi kusta, dilakukan dengan pemberian prednison dengan


cara pemberian: 9
a. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
b. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
c. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
d. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
e. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

2 Minggu Keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan.


Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat diberikan Lampren
lepas.
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan
berat ringannya penyakit.
1. Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik
seperti Aspirin atau Asetaminofen, berobat jalan dan istirahat di rumah,
reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu
harus diobati sebagai reaksi kusta berat.
2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi
eritema nodosum leprosum (ENL) berat.

20
21

Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi
dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat
rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan
oleh dokter sesuai dengan kebutuhan pasien individu.
4. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau ”tappering off ”
selama 12 minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus
dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan cacat.
5. Pemberian analgetik, bila perlu sedative
6. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin
7. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit

Manajemen dengan kortikosteroid:9


1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian
MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam
dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi
1mg/KgBB dengan total durasi pemberian 12 minggu.
Minggu Dosis harian

1-2 40 mg

3-4 30 mg

5-6 20 mg

7-8 15 mg

21
22

9-10 10 mg

11-12 5 mg

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:


Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan
pengobatan kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan
kortikosteroid yang tinggi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam
dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi
1mg/KgBB.
4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12
minggu.
5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian
klofazimin seperti di bawah ini.
Manajemen dengan klofazimin saja:
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi
penggunaan kortikosteroid.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam
dan nyeri.
3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12
minggu.
4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu
dan kemudian 100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.

22
23

Minggu Dosis harian

1-4 40 mg

5-8 30 mg

9-12 20 mg

13-16 15 mg

17-20 10 mg

21-24 5 mg

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah


pentoxifylline saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin/ prednisolone.
Karena alasan efek samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan
penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada
kusta.nPengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain prednison, perlu
ditambahkan clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut : Selama 2
bulan 3 X 100 mg / hari , Selama 2 bulan 2 X 100 mg / hari Selama 2 bulan
1 X 100 mg / hari2.10

VI. Komplikasi ENL


Serangan ENL bisa menjadi serangan akut, kronik, ataupun
serangan berulang dalam beberapa tahun dan akhirnya tenang, namun
membahayakan, terutama pada mata. ENL adalah suatu penyakit sistemik
yang sering disertai dengan uveitis, dactylitis (Gbr. 5) , arthritis, neuritis,
limfadenitis, myositis, dan orchitis. Neuritis saraf perifer dan uveitis
dengan komplikasinya sinekia, katarak, dan glaucoma adalah komplikasi
ENL yang sangat serius.

VII. Prognosis

23
24

BAB IV
KESIMPULAN

Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau
reaksi ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya
masih belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka
kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik
/ psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,
terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis,
mencegah paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan
untuk istirahat atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan
cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita
kusta.

24
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Eichelmann K, Salas-Alanis JC and Ocompo-Candiani J. 2013. Review:


Leprosy. An Update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis and
Treatment. Elsevier DOYMA: 104 (7). p.555-63

2. World Health Organization. Weekly Epidemiological Report. Geneva : World


Health Organization; 2014

3. Listiyawati IT, Listiawan MY. Studi Molekuler pada Penyakit Kusta. In Cholis
M, Hidayat T, Tantari SHW, Basuki S, Widasmara D, editors. Dermato-
venerology update 2015 towards better quality of dermato-venerology service.
Malang, Indonesia : Universitas Brawijaya Press; 2014. P1-13.

4. Depkes RI. 2015. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

5. Thomas, R, Robert, L. Leprosy. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine. Eighth Edition, Vol.2, Chapter 189; 2012. hlm. 1786-1796.

6. Lambert, SM, et al. Comparison of Efficacy and Safety of Ciclosporin to


Prednisolone in the Treatment of Erythema Nodosum Leprosum: Two
Randomised, Double Blind, Controlled Pilot Studies in Ethiopia. PLOS
Neglected Tropical Diseases | DOI:10.1371. 2016. p.2

25
26

7. Kahawita, I.P et al. Guidelines on The Management of Leprosy Reactions. Sri

Lanka College Of Dermatologists.

8. Walker, Stephen et al. Workshop Report : International Workshop on

Erythema Nodosum Leprosum (ENL)-Concensus Report; The Formation

ENLIST, The ENL International Study Group. 2012

9. Djuanda A .Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2015;103-15

10. Martodihardjo S, Sosanto SD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.

11. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi

(Studi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Brebes, 2013.

12. Ramaswari, NP . Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum

pada Penyakit Kusta.. 9, Bali : Alumna Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, 2015, Vol. 42. CDK-232.

26

Anda mungkin juga menyukai