Pembimbing:
dr. Eka Komarasari, Sp.KK
Disusun oleh:
Immanuella Yosephine 030.14.093
Yuni Tri Yustianti 030.14.204
PERSETUJUAN
LAPORAN KASUS
Judul:
“Eritema Nodusum Leprosum”
Disusun oleh:
Immanuella Yosephine 030.14.093
Yuni Tri Yustianti 030.14.204
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Eka Komarasari, Sp.KK untuk
dipresentasikan
Tangerang, 2019
Mengetahui,
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
BAB II .................................................................................................................... 4
LAPORAN KASUS ............................................................................................... 4
I. IDENTITAS PASIEN .............................................................................. 4
II. ANAMNESIS............................................................................................ 4
III. PEMERIKSAAN FISIK ......................................................................... 5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................ 7
V. RESUME ................................................................................................... 7
VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG .......................................... 7
VII. DIAGNOSIS BANDING ......................................................................... 7
VIII. DIAGNOSIS KERJA .............................................................................. 7
IX. PENATALAKSANAAN ......................................................................... 7
X. PROGNOSIS ........................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 9
I. Definisi...................................................................................................... 9
II. Epidemiologi ........................................................................................... 9
III. Etiologi ..................................................................................................... 9
IV. Faktor Risiko .........................................Error! Bookmark not defined.
V. Patogenesis .............................................Error! Bookmark not defined.
VI. Penegakkan Diagnosis .......................................................................... 12
VII. Penatalaksanaan................................................................................... 20
VIII. Komplikasi ............................................................................................ 23
IX. Prognosis ............................................................................................... 23
X. Pencegahan.............................................Error! Bookmark not defined.
BAB IV ................................................................................................................. 24
KESIMPULAN .................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
pada banyak organ.(6) Tatalaksana pada ENL terdiri dari beberapa pilihan. Salah
satunya, pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan dengan prednisolon
merupakan terapi pilihan untuk ENL jika thalomid tidak tersedia. Namun
demikian, risko efek samping kortikosteroid jangka panjang juga harus
diperhatikan.5
4
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 21 Oktober 1995
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Mekarwangi
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tngga
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di bangsal Asoka
RSK dr. Sitanala tanggal 30 September 2019.
Keluhan Utama
Perempuan berusia 24 tahun datang ke IGD RSK dr. Sitanala dengan keluhan
timbul bentol-bentol kemerahan di seluruh tubuh sejak 3 bulan SMRS.
Keluhan Tambahan
Keluhan disertai dengan demam dan mual, muntah 5-10x/hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Perempuan berusia 24 tahun datang ke IGD RSK dr. Sitanala dengan keluhan
timbul bentol-bentol kemerahan di seluruh tubuh sejak 3 bulan SMRS. Bentol-
bentol semakin banyak sejak 1 minggu terakhir disertai bengkak. Bentol-bentol
berisi cairan dan pecah setelah di garuk. Pasien mengatakan terdapat nyeri
sendi dan rasa baal pada kaki. Keluhan disertai dengan demam ± 1 minggu dan
mual, muntah 5-10x/hari. Pasien mengatakan tidak nafsu makan. Saat ini
pasien sedang hamil anak pertama, dengan HPHT 10 Juni 2019. Sempat
4
5
5
6
b. Status Dermatologi
6
7
Batas : Sirkumskripta
Ukuran : Lentikular- numular, plakat
Jumlah : Multiple
Eflorosensi : ad generalisata: terdapat nodus eritematosa,
multiple, sirkumskrip, bentuk annular, ukuran lenticular- numular, dan
plak hiperpigmentosa, multiple, sirkumkrip, ukuran plakat
V. RESUME
1. Eritema Induratum
2. Sarkoidosis
IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-medikamentosa
7
8
X. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ada Bonam
8
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan masalah yang serius,
dan sulit untuk menangani komplikasi akibat inflamasi kusta tipe lepromatosa
(LL) atau borderline lepromatous (BL), dengan manifestasi klinis sebagai lesi
yang nyeri, nodul erythematous disertai dengan demam, malaise dan
peradangan di tempat lain dapat berupa iritis, arthritis, neuritis dan
limfadenitis. ENL dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan
dengan terapi multidrug tetapi pada kebanyakan pasien ENL terjadi selama
tahun pertama pengobatan.2
ENL (atau tipe 2 reaksi ) adalah suatu imun-yang diperantarai oleh
fenomena yang terjadi pada pasien dengan LL atau BL. Reaksi ini
menyebabkan peradangan akut pada organ atau jaringan yang diserang oleh
basil M.Lepra. Lesi kulit tampak sebagai nodul erythematous, papula
lembut atau nodul yang mungkin dangkal atau dalam. Lesi eritema nodosum
berbeda secara klinis dari perjalanan penyakit secara alamiah, dari banyaknya
lesi dan luasnya distribusi penyebaran sampai pada tungkai bawah. Pada reaksi
berat, lesi kulit dapat menjadi vesikular, bulosa atau nekrotik. Reaksi ini ENL
umumnya disertai dengan gejala umum yaitu dengan demam tinggi, gejala
sistemik, edema wajah, tangan dan kaki, dan proteinuria. Manifestasi lain
termasuk iritis, episkleritis, arthritis, arthralgia, dactylitis, limfadenopati,
organomegali dan orkitis. Neuritis dapat menjadi bagian dari ENL tetapi
seringkali lebih ringan dibandingkan yang terlihat pada reaksi tipe 1.2.7
II. Epidemiologi
Reaksi tipe 2 (ENL) lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi tipe 1
(reaksi reversal), meski angka kejadinannya bervariasi antar negara: di
Afrika, hanya sekitar 5% dari total penderita MB mengalami ENL,
sedangkan di Amerika Selatan dapat sampai 50% terkena.
9
10
50% dari pasien tipe LL dan 15% pasien tipe BL bisa mengalami reaksi tipe
ENL.7
Kompleks imun
ENL memiliki fitur yang mirip dengan gangguan hipersensitivitas tipe III
karena kompleks imun (IC). IC adalah kombinasi antibodi, antigen dan
komplemen. Ada respon antibodi poliklonal dalam Tipe lepromatosa
borderline (BL) dan Tipe lepromatosa (LL). Kulit melepuh dari lesi ENL
mengandung IC, tetapi dapat juga ditemukan pada pasien tanpa ENL. M.
leprae mengaktifkan jalur komplemen. Namun IC tidak dapat diidentifikasi
secara tetap pada ENL dan bukan merupakan penjelasan lengkap ENL.
Pada penyakit IC strategi sel anti-B atau strategi anti-antibodi yang
bermanfaat. Pada hepatitis C Cryoglobulinemia (contoh dari penyebab
infeksi penyakit IC) adalah penting untuk memblokir sel B, tetapi juga
untuk menghilangkan antigen dengan mengobati infeksi.
10
11
merangsang TNF dari monocytes. Sel mononuklear dari pasien ENL secara
spontan memproduksi TNF. Thalidomide dapat menyebabkan penurunan
yang cepat dalam TNF plasma dan memblok pelepasannya dari monosit
meskipun tidak semua pasien kadar TNFnya meningkat. Thalidomide
memiliki mekanisme lain dari aksi seperti yang ditunjukkan oleh efeknya
terhadap proliferasi limfosit pada myeloma. TNF adalah penanda respon
proinflamasi pada ENL tetapi tidak jelas apa yang memicu pelepasan TNF
dan Interleukin-6 (IL-6). Penghambatan TNF merupakan tujuan terapeutik,
tetapi beberapa strategis anti-TNF secara signifikan mening-katkan risiko
tuberculosis. Memblokir molekul efektor seperti sebagai NF-kB
downstream TNF mungkin memiliki peran.
Aktivasi Limfosit T
Respon sel T mungkin relevan dengan ENL meskipun sangat minimal
ataupun tidak ada sama sekali pada kusta tipe BL dan LL. Modlin
menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel T CD4 pada ENL
dibandingkan dengan kasus LL lainnya. Terapi Interferon ᵞ jangka panjang
mengindukdi ENL pada pasien LL. Kemungkinan terjadi penghambatan
sel T dengan agen seperti Siklosfosfamid, pulse methylprednisolon atau
metotreksat. Namun bukti tersebut tidak cukup kuat untuk menjelaskan
sepenuhnya patofisiologi ENL
Rekrutmen Neutrofil
Ekspresi gen pada lesi ENL baru-baru ini dilaporkan. Gen rekrutmen
neutrofil, seperti E-selectin, diregulasi dan meningkat dibandingkan
dengan lesi pasien LL. Beberapa Penelitian telah menunjukkan bahwa
tingginya Indeks Bakteri merupakan salah satu faktor risiko pada
perkembangan ENL yang kuat menunjukkan bahwa proses tersebut
merupakan pengendalian antigen. Slit Skin Smear (SSS) sangat berguna
untuk memprediksi resiko tinggi tetapi SSS tidak dilakukan, pengukuran
11
12
12
13
Antigen yang diberikan berasal dari basil yang telah mati akan
bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas seluler yang cepat.
Dasar reaksi tipe I adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas
seluler dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-
inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-y dan IL-12 dan sitokin
immuoregulatory seperti TGF-βdan IL-10 selama terjadi aktivasi dari
makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-y
meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan
syaraf. IFN-y dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema,
inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.8
Gejala klinik reaksi reversal yaitu dapat dilihat dari perubahan pada
kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya berupa
sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif
dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi
eritema menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
plakat menjadi makin infiltratif dan lesi lama bertambah luas. Umumnya
gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL. Tidak perlu seluruh gejala
harus ada, satu saja sudah cukup. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa
nyeri saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.
Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan oleh karena sangat
menentukanpada pemberian pengobatandengan kortikosteroid, sebab tanpa
gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah fluktuatif.9
13
14
14
15
15
16
Pada kulit akan timbul gejala klinik yang berupa nodus eritema, dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya
menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan mungkin diikuti dengan
pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan.
Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Bila
mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis
akut, limfadenitis, artritis, orkitis,dan nefritis akut dengan adanya
proteinuria. ENL dapat disertai dengan gejala konstitusi dari ringan sampai
berat yang dapat diterangkan scara imunologik yang muncul berupa
demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan
11
sampai berat.
Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan
menjadi reaksi ringan dan berat Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Gejala reaksi kusta tipe dua ringan-berat
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
16
17
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan
saraf perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.11 Kerusakan mata
pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat
paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan legoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan
bagian mata lainnya. Secara sendriain atau bersama-sama akan
menyebabkan kebutaan.5
Diagnosis banding pada reaksi tipe dua adalah eritema nodosum
dengan penyebab bakteri lain, seperti tuberkulosis dan infeksi
streptokokus. yang membedakan adalah lokasi lesi yang lebih banyak
ditemukan diluar tungkai bawah. ENL berbentuk bula dapat didiagnosis
banding dengan penyakit imunobulosa. ENL berbentuk ulkus dapat
17
18
18
19
kelemahan umum
dan demam tinggi
19
20
V. Penatalaksanaan
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol
neuritis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur,
serta menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.9 Prinsip
pengobatan reaksi kusta : 1). Istirahat / imobilisasi 2). Pemberian analgesik
/ sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat 4). MDT diteruskan
dengan dosis tidak berubah.11
20
21
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi
dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat
rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan
oleh dokter sesuai dengan kebutuhan pasien individu.
4. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau ”tappering off ”
selama 12 minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus
dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan cacat.
5. Pemberian analgetik, bila perlu sedative
6. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin
7. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
21
22
9-10 10 mg
11-12 5 mg
22
23
1-4 40 mg
5-8 30 mg
9-12 20 mg
13-16 15 mg
17-20 10 mg
21-24 5 mg
VII. Prognosis
23
24
BAB IV
KESIMPULAN
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau
reaksi ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya
masih belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka
kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik
/ psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,
terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis,
mencegah paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan
untuk istirahat atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan
cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita
kusta.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
3. Listiyawati IT, Listiawan MY. Studi Molekuler pada Penyakit Kusta. In Cholis
M, Hidayat T, Tantari SHW, Basuki S, Widasmara D, editors. Dermato-
venerology update 2015 towards better quality of dermato-venerology service.
Malang, Indonesia : Universitas Brawijaya Press; 2014. P1-13.
4. Depkes RI. 2015. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
25
26
9. Djuanda A .Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
26