Anda di halaman 1dari 21

TRAUMA UROGENITAL

Pembimbing : dr. Herda,SpU

Disusun oleh :
Yuni Tri Yustianti
03014204

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 4 JUNI-24 AGUSTUS 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma didefinisikan sebagai cedera fisik atau luka pada jaringan yang disebabkan oleh
agen ekstrinsik.1 Trauma adalah penyebab kematian keenam yang paling umum tanpa
menghiraukan usia dan juga merupakan salah satu penyebab utama hilangnya kehidupan
produktif selama beberapa tahun. Maka dari itu, trauma harus dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang serius.2

Trauma genitourinaria lebih sering terjadi pada laki-laki. Insiden trauma traktus
urinarius yang disertai dengan trauma abdominal sekitar 10%, dan sekitar 1-5% diantaranya
adalah kasus trauma ginjal dengan rasio laki-laki banding perempuan adalah 3:1.3 Trauma
sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh, luka tusuk, luka tembak dan rupture
spontan. Pada kecelakaan kenderaan bermotor trauma ginjal merupakan dampak langsung dari
terkena sabuk pengaman atau setir.1

Trauma ureter termasuk kasus yang relatif jarang ditemukan dan penyebabnya terutama
karena cedera iatrogenik atau luka tembak tembus yang umumnya terjadi pada militer. Trauma
vesika urinaria umumnya disebabkan oleh trauma tumpul akibat kecelakaan kendaraan
bermotor dan berhubungan dengan fraktur panggul tetapi mungkin disebabkan oleh trauma
iatrogenik. Trauma pada genitalia eksterna lebih umum terjadi pada laki-laki dengan
pertimbangan anatomi dan lebih seringnya partisipasi laki-laki dalam kegiatan olahraga fisik,
kekerasan maupun perkelahian.1 Ketika trauma genitalia terjadi, pertimbangan adanya trauma
uretra menjadi suatu hal yang penting. Uretra anterior paling sering terluka oleh trauma tumpul
atau “fall-astride”, sedangkan uretra posterior biasanya terluka pada kasus fraktur panggul
sebagai dampak dari kecelakaan kendaraan bermotor.1

Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya
seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Prioritas utama dalam
penanganan awal kegawatdaruratan trauma urgenital adalah stabilisasi pasien dan pengobatan
cedera yang mengancam jiwa. Penanganan awal juga harus termasuk mengamankan saluran
napas, mengendalikan pendarahan eksternal dan resusitasi syok. Dalam banyak kasus,
pemeriksaan fisik dilakukan selama stabilisasi pasien. Kegawatan urologi timbul jika
suatu keadaan membutuhkan diagnosa yang cepat dan pengobatan segera. Trauma organ-
organ urogenital umumnya tidak mengancam jiwa dengan segera.
Meski demikian, kegagalan dalam mengevaluasi dengan benar dan mengobati cedera
urogenital mungkin mengakibatkan morbiditas pasien dalam jangka panjang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Trauma

Cedera traumatis diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) menjadi


yang disengaja (baik terkait kekerasan interpersonal, cedera yang berkaitan dengan perang atau
cedera diri), dan cedera yang tidak disengaja terutama kecelakaan kendaraan bermotor maupun
terjatuh. Sekitar setengah dari trauma yang terkait kematian di seluruh dunia adalah akibat
trauma yang disengaja. Jenis cedera yang tidak sengaja terdiri dari cedera iatrogenik yang
timbul selama prosedur terapeutik atau diagnostik oleh petugas perawatan kesehatan. Trauma
diklasifikasikan sesuai dengan mekanisme dasar cedera menjadi penetrasi (ketika sebuah benda
menembus kulit), dan luka tumpul.

Beberapa klasifikasi digunakan untuk menggambarkan tingkat keparahan dan ciri-ciri


cedera traumatik. Skala penilaian trauma AAST (American Association for the Surgery of
Trauma) adalah yang paling umum digunakan dalam trauma ginjal. Untuk organ urologi
lainnya, luka dijelaskan oleh letak anatomi dan tingkat keparahan (parsial / komplet) dan tabel
AAST.

2.2 Evaluasi dan Penanganan Awal

Prioritas utama dalam penanganan awal kegawatdaruratan trauma urgenital adalah


stabilisasi pasien dan pengobatan cedera yang mengancam jiwa. Penanganan awal juga harus
termasuk mengamankan saluran napas, mengendalikan pendarahan eksternal dan resusitasi
syok. Dalam banyak kasus, pemeriksaan fisik dilakukan selama stabilisasi pasien.

Hal penting lainnya yang perlu disadari oleh semua orang yang merawat pasien trauma
adalah risiko infeksi hepatitis B dan C. Tingkat infeksi hepatitis B dan C mencapai 38%
dilaporkan pada laki-laki dengan luka tembus ke genitalia eksternal. Dimanapun terjadi trauma
tembus, vaksinasi tetanus harus dipertimbangkan sesuai dengan riwayat vaksinasi pasien dan
dari gambaran luka itu sendiri sesuai dengan manajemen luka tetanus menurut CDC.
2.3 Trauma ginjal

Sekitar 1-5% dari seluruh kasus trauma adalah trauma ginjal. Ginjal adalah organ
genitourinaria yang paling umum mengalami trauma dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan 3:1.1 Trauma ginjal signifikan (derajat II hingga derajat V) terjadi hanya sekitar
5,4% dari seluruh kasus trauma ginjal. Trauma ginjal hampir selalu disertai trauma organ
abdomen lain. Trauma yang hanya mengenai ginjal (trauma ginjal terisolasi) terdapat pada 10-
20% kasus trauma ginjal.3

Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot punggung posterior
dan organ intraperitoneal di sebelah anterior, oleh karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti
oleh cedera organ yang mengitarinya. Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat
benturan yang mengenai daerah pinggang atau tidak langsung; cedera deselerasi akibat
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Deselerasi mendadak
mengakibatkan memar atau laserasi parenkim. Oklusi arteri ginjal berhubungan dengan cedera
deselerasi tiba-tiba. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis yang
memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan thrombosis
arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Setiap pasien dengan cedera deselerasi mayor, syok,
atau hematuria berat harus menjalani pencitraan radiografi ginjal.

Jenis cedera yang dapat mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka penetrasi
dan luka tembak. Trauma tumpul termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kecelakaan
pejalan kaki dengan kendaraan, olahraga dan perkelahian. Kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab utama, terhitung hampir separuh dari cedera tumpul. Penyebab lainnya adalah karena
pukulan langsung ke panggul atau perut selama kegiatan olahraga. Luka tembak dan luka tusuk
adalah penyebab umum trauma penetrasi dan cenderung lebih berat dan sulit diprediksi
dibandingkan trauma tumpul. Presentasi trauma penetrasi mencapai 20% atau lebih. Peluru
memiliki potensial yang lebih besar untuk merusak parenkim ginjal dan paling sering
menyebabkan trauma pada lebih dari satu organ. Trauma penetrasi mengakibatkan gangguan
langsung pada jaringan parenkim, pedikel vaskular dan sistem pengumpulan.

Sebagian besar cedera dapat ditangani dengan pengobatan konservatif karena kemajuan
dalam bidang pencitraan dan strategi pengobatan, oleh karena hal tersebut kebutuhan intervensi
pembedahan berkurang dan terjadi peningkatan dalam pemeliharaan fungsi organ. Trauma
tumpul biasanya dapat dikelola secara konservatif, sementara penetrasi luka ginjal biasanya
membutuhkan eksplorasi. Semua pasien dengan luka tembus ke panggul atau perut harus
menjalani pencitraan kecuali tidak stabil dan membutuhkan eksplorasi segera. Cedera ginjal
dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti hidronefrosis, kista
ginjal atau tumor ginjal.

 Klasifikasi cedera ginjal berdasarkan tingkat kerusakan :

Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan adalah the American Association for the
Surgery of Trauma (AAST). Sistem yang divalidasi ini memiliki relevansi klinis dan
prognostik dan membantu memprediksi keperluan intervensi. Sistem ini juga memprediksi
morbiditas setelah terkena trauma tumpul atau cedera luka tembus dan kematian setelah cedera
tumpul. Klasifikasi sesuai skala cedera organ, cedera ginjal dibagi ke dalam 5 derajat sesuai
dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal.
 Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Perlu ditanyakan mekanisme dan waktu cedera pada pasien dengan kesadaran baik atau
saksi mata di tempat kejadian untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Tanda vital
harus dipantau selama evaluasi diagnostik karena kestabilan hemodinamik merupakan faktor
paling penting dalam menentukan tatalaksana trauma ginjal. Kemungkinan indikator trauma
major termasuk riwayat kejadian deselerasi cepat (terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor
dengan kecepatan tinggi) atau pukulan langsung ke panggul. Pada fase resusitasi awal,
pertimbangan khusus harus diberikan pada penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya
(misalnya: hidronefrosis karena abnormalitas ureteropelvic junction, kalkulus, kista, dan
tumor) karena keadaan tersebut dapat menyebabkan ginjal lebih rentan mengalami trauma.

Dicurigai trauma pada ginjal jika ditemukan :

1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, perut bagian atas disertai
nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah tersebut
2. Hematuri
3. Fraktur costa bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung
derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Pada trauma
derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa
ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopis ataupun mikroskopis. Pada trauma major atau
rupture pedikel seringkali pasien datang dalam keadaaan syok berat dan terdapat hematoma di
daerah pinggang yang makin lama makin membesar.

 Pemeriksaan penunjang

Evaluasi Laboratorium

Urinalisis, hematokrit dan kreatinin adalah beberapa tes yang paling penting. Haematuria,
tidak terlihat maupun terlihat sering terjadi, tetapi tidak sensitif dan tidak cukup spesifik untuk
membedakan antara cedera minor dan mayor. Cedera mayor, seperti gangguan UPJ, cedera
pedikel, trombosis arteri segmental dan sekitar 9% pasien dengan luka tusuk dan cedera ginjal
dapat terjadi tanpa hematuria. Karena sebagian besar pasien trauma dievaluasi dalam 1 jam
pertama setelah cedera, pengukuran kreatinin mencerminkan fungsi ginjal sebelum cedera.
Kadar kreatinin yang meningkat biasanya mencerminkan patologi ginjal yang sudah ada
sebelumnya.
Keputusan mengenai pencitraan radiografi dalam kecurigaan kasus trauma ginjal yang
didasarkan pada temuan klinis dan mekanisme cedera. Indikasi untuk evaluasi radiografi
adalah hematuria yang terlihat, hematuria yang tidak terlihat dengan hipotensi, atau adanya
cedera berat. Namun, pasien dengan riwayat cedera deselerasi cepat atau indikator klinis
trauma ginjal juga perlu pencitraan segera untuk menyingkirkan cedera ureter avulsion atau
pedikel. Ada beberapa macam pencitraan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi trauma
pada ginjal, yaitu: ultrasonografi (USG), pielografi intravena (IVP), one-shot intraoperative

IVP, CT-scan, MRI, angiografi, dan radionuklida.

USG tidak dapat memberikan informasi seberapa dalam dan luas laserasi juga ada
tidaknya kebocoran urine namun dapat mendeteksi laserasi ginjal. USG bermanfaat untuk
membantu mengidentifikasi kasus trauma tumpul ginjal yang membutuhkan pemeriksaan
radiologi lebih detail pada saat triase. IVP dapat menunjukkan keutuhan parenkim ginjal dan
kaliks secara jelas. Temuan paling signifikan pada pemeriksaan dengan IVP adalah ginjal
nonfungsional dan adanya ekstravasasi. Gambaran ginjal yang non fungsional merupakan
tandatrauma ekstensif pada ginjal, pedikel (avulsi pembuluh darah atau thrombosis), atau ginjal
yangterbelah. Ekstravasasi media kontras menunjukkan derajat trauma yang cukup berat yang
melibatkan kapsul, parenkim, dan sistem kaliks ginjal. Gambaran ginjal yang tidak
tervisualisasi, adanya deformitas kontur ginjal, atau ekstravasasi kontras yang ditunjukkan
pada pemeriksaan IVP berarti membutuhkan evaluasi radiologi lebih lanjut.

One-shot IVP dapat memberikan informasi mengenai keadaan ginjal kontralateral yang
normal dan berfungsi baik, umumnya digunakan pada pasien trauma yang tidak stabil dan
membutuhkan laparotomy segera. Dengan menginjeksi kontras radiografi 2ml/kgBB yang
selanjutnya dilakukan foto polos abdomen sekitar 10 menit kemudian. CT scan adalah metode
terbaik untuk evaluasi pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini lebih
sensitive dan spesifik dibandingkan IVP, USG dan angiografi karena secara akurat dapat
menunjukkan lokasi cedera, mendeteksi adanya kontusio dan segmen ginjal yang lemah,
memperlihatkan keadaan retroperitoneum, pelvis dan organ lain pada abdomen.

 Penatalaksanaan

Stabilisaasi hemodinamik adalah kriteria primer untuk manajemen seluruh trauma ginjal.
Manajemen non operatif menjadi terapi pilihan utama pada kebanyakan kasus trauma ginjal.
Sekitar kurang dari 10% kasus trauma tumpul ginjal yang memerlukan tindakan operatif. Pada
setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk melakukan tindakan
eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Akan tetapi,
manajemen trauma ginjal dapat dipengaruhi oleh keputusan untuk mengeksplorasi atau
mengobservasi cedera organ abdomen lainnya.

- Terapi Konservatif

Ditujukan untuk trauma minor. Dilakukan observasi tanda vital ( tensi, nadi, suhu, pernapasan),
kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut,
penurunan kadar hemoglobin, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urin serial. Jika
selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urin yang
menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi.

- Terapi Operatif

Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera menghentikan
perdarahan. Salah satu indikasi dilakukan tatalaksana operatif adalah hemodinamik tidak stabil
yang tidak berespons dengan resusitasi. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan
debridement,reparasi ginjal ( berupa renorafi atau penyambungan vaskular) atau tidak jarang
harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan total karena kerusakan yang berat.
2.4 Trauma ureter

Trauma ureter jarang dijumpai karena terlindungi oleh cedera dari ukurannya yang
kecil, mobilitas dan otot. Trauma iatrogenic adalah kasus paling umum pada trauma ureter.
Trauma ureter terjadi sebanyak 1-2,5% dari seluruh trauma traktus urinarius. Trauma ureter
penetrasi eksterna, utamanya disebabkan oleh luka tembak. Satu per tiga dari kasus trauma
eksterna ureter disebabkan oleh trauma tumpul, umumnya kecelakaan lalu lintas.

Diagnosis

Kecurigaan ke arah trauma ureter apabila terdapat:

1. Hematuria pasca trauma


2. Pada trauma iatrogenik, yaitu:

Saat operasi - Lapangan operasi banyak cairan


- Hematuria
- Anuria/oliguri jika ceder bilateral
Pasca bedah - Demam
- Ileus
- Nyeri pinggang akibat obstruksi
- Luka operasi selalu basah
- Sampai beberapa hari cairan drainase
jernih dan banyak
- Heaturia persisten dan hematoma
urinoma di abdomen
- Fistula ureterokutan fistula urerovagina

Penunjang: Retrogade pyelogram adalah tes yang paling sensitive. Selain itu pemberian zat
warna yang dieksresikan lewat urin jika diduga terdapat kebocoran urin melalui pipa drainase
pasca bedah, pemeriksaan ureum dan kreatinin yang diambil dari pipa drainase, pemeriksaan
IVP (ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke
lateral karena hemangioma/ urinoma atau hidrouretronefrosis pada cidera lama)
TATALAKSANA

Tatalaksana yang dilakukan bergantung pada saat cidera terdiagnosis, keadaan umum
pasien,letak dan derajat lesi ureter.

- Trauma parsial (grade I dan II)


Pada trauma parsial dengan grade I dan II dapat dilakukan pemasangan stent pada
ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan dilakukan
pemasangan stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma, meberikan
kanalisasi dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma sehingga
mengurangi kemungkinan terjadinya striktur.

- Trauma total (grade III, IV, dan V)


 Ureter saling disambungkan (end to end Anastomosis atau uretero-
uterostomi).
 Menyambung ureter dengan ureter sisi yang lain (transureter-uterostomi)
 Implantasi ureter ke buli-buli, flop boari, psoas hitch)
 Uretro kutaneustomi : menghubungan ujung akhir ureter dengan dunia luar
melalui lubang di kulit / stoma
 Nefroktomi / pengangkatan ginjal

2.5 Trauma buli-buli

Etiologi

 Kurang lebih 90% trauma buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli
padadaerah tulang pelvis oleh facia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat
sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.
 Pada keadaan buli-buli terisi penuh urin, buli-buli mudah ruptur jika mendapattekanan
dari luarberupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan ruptur pada bagian
fundus dan menyebabkan ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum.
 Tindakan endoneurogi dapat menyebabkantrauma buli-buli iatrogenik antara lain
padareseksi buli-buli transuretral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi.
 Tindakan opresi di daerah pelvis
 Ruptur spontan; biasanya terjadi jika didahului oleh kelainan dinding buli-buli.Infeksi
tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi intravesikal kronis menyebabkan
perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan dinding buli-buli. Pada keadaan itu
bisa terjadi ruptura buli-buli spontanea.

Diagnosis

 Anamnesis:

pasca trauma, pasien mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur darah, atau
pasien tidak dapat miksi. Gambaran kliis yang lain tergantung pada etiologi trauma yang
mengalami trauma, yaitu ekstra atau intraperitoneal,adamya orga lain yang mengalami
cidera, serta penyulit yang tejadi akibat trauma.Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda-
tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika.

 Pencitraan; sistigrafi, yaitu memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-


400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram, kemudian dibuat
foto,yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi AP (2) pada posisi
oblik (3) wash out film, yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.
Hasil:
- Ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal => robekan pada buli-buli
ekstraperitoneal
- Kontras berada di sela-sela usus =>robekan buli-buli intraperitoneal
- Pada perforasi yang kecil, mungkin tidak didapatkan ekstravasasi (negatif palsu)
terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.
- Pada daerah yang jauh dari tempat rujukan dan tidak ada sarana untuk
melakukansistografi untuk menentukan adanya ruptur buli, maka dapat dicoba uji
pembilasanbuli-buli, yaitu dengan memasukkan garam fisiologis steril ke dalam
buli-bulisebanyak 300 ml; kemudian cairan itu dikeluarkan lagi, jika cairan tidak
keluar ataukeluar kurang dari volume semula, kemungkinan besar ada robekan pada
dinding buli-buli. Cara ini tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi atau
menyebabkan robekan yang lebih luas
TATALAKSANA
- Pada Kontusio buli-buli : dilakukan pemasangan kateter, memberikan waktu
istirahat pada buli-buli, dan diharapkan kondisi membaik setelah 7-10 hari
- Cidera intraperitoneal : eksplorasi laparotomy untuk mencari robekan pada buli-
buli serta kemungkinan cidera pada organ lain.
- Cidera ekstraperitoneal : pada robekan yang sederhana dilakukan pemasangan
kateter selama 7-10 hari, dianjurkan pemasangan kateter sistosomi. Jika terdapat
cidera organ lain sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter
sistosomi

2.6 Trauma uretra

KLASIFIKASI

Berdasarkan anatomi, trauma uretra dibagi atas trauma uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan trauma uretra anterior yang terletak distal
diafragmaurogenital. Hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi
trauma, tandagejala klinis, pengelolaan serta prognosisnya.

1. TRAUMA URETRA POSTERIOR

Trauma uretra posterior yang terdiri dari pars membranacea dan pars prostatika.Trauma uretra
posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi
robekan pars membranacea karena prostat dengan uretra pars prostatika tertarik ke cranial
bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra pars membranasea terikat di diafragmaurogenital.
Trauma uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplet. Pada trauma total,uretra terpisah
seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke
cranial. Diafragma urogenital yang mengandung otot-otot yang berfungsisebagai spincter
urethra melekat atau menempel pada daerah os pubis bagian bawah. Bilaterjadi trauma tumpul
yang menyebabkan fraktur daerah tersebut, maka urethra parsmembranacea akan terputus pada
daerah apeks prostat pada prostato membranaeous junction.
ETIOLOGI

Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan fraktur pelvis.
Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma urogenital dan terjadi perubahan
posisi prostat kearah superior (prostat terapung =floating prostat ) dengan terbentuknya
hematoma periprostat dan perivesika.

GEJALA KLINIS

Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah.

1. Darah menetes dari uretra adalah gejala yang paling penting dari ruptur uretra
dansering merupakan satu-satunya gejala, yang merupakan indikasi untuk
membuaturethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi karena
dapat menyebabkan infeksi prostatika dan perivesika hematom serta dapat
menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total.
2. Tanda-tanda fraktur pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada
pemeriksaanfisik.
3. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating
prostate) pada ruptur total dari uretra pars membranacea oleh karena terputusnya
ligament puboprostatika.
Trias ruptur uretra posterior:
- Bloody discharge atau perdarahan per uretra
- Retensio urine
- Floating prostat

Klasifikasi trauma uretra Colapinto & McCallum 1976 melalui gambaran uretrogram:

- Tipe I : Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).
Fotouretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang.
- Tipe II : Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranacea,
sedangkandiafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan
ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
- Tipe III : Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah
proksimalikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas
hingga di bawahdiafragma urogenitalia sampai ke perineum.

DIAGNOSIS

Trauma uretra posterior dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Trauma uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit
dimeatus uretra disertai patah tulang pelvis, pasien seringkali datang dalam keadaan syok
karena fraktur pelvis atau cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan. Selainitu,
pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi
lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke
cranial. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan hati-hati karena fragmentulang dapat
mencederai organ lain, seperti rectum. Ditemukan juga retensi urin. Pemeriksaanradiologi
dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis dan retrograde urethrogram akanmenunjukkan
elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars membranacea.

TATALAKSANA

Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain(abdomen
dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karenaitu sebaiknya
dibidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra.Tindakan yang
berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak padakavum pelvis dan
prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya.
Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksidan
inkontinensia.Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk
diversi urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary
endoscopicrealigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui
tuntunanuretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat
salingdidekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca ruptura dan kateter
uretradipertahankan selama 14 hari.Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra
(uretroplasti) setelah 3 bulan pascatrauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra
telah stabil dan matang sehinggatindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
2. TRAUMA URETRA ANTERIOR

Etiologi

Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle
injury (cedera selangkangan) terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang yaitu uretraterjepit
diantara tulang pelvis dan benda tumpul atau objek yang keras, seperti batu, kayu,atau palang
sepeda, dengan tulang simfisis. Selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedahendoskopi.Jenis
kerusakan uretra yang terjadi berupa : kontusio dinding uretra, ruptur parsial,atau ruptur total
dinding uretra.

Patologi

Uretra anterior terbungkus didalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum


bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles.Jika
terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapimasih
terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun
jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fasiaColles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karenaitu
robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterflyhematoma
atau hematoma kupu-kupu, yaitu daerah memar atau hematom pada penis danskrotum.Straddle
injury. Retrograde urethrogram menunjukkan trauma uretra dengan extravasasimaterial
kontras dari distal bulbous urethra.

Diagnosis

Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau
instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra sehingga pasien mengeluh adanya
perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum,terlihat
adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien
tidak dapat miksi.Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera
uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tiak bisa buang air kecil sejak
terjaditrauma, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin
ditemukan kandung kemih yang penuh.Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan
obstruksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretrial atau sepsis mengakibatkan
demam. Ekstravasasi urin denganatau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang
turut rusak. Pada ekstravasasi inimudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.Pemeriksaan uretrografi retrograd
pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanyaekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur
uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontrasdi pars bulbosa sehingga dapat memberi
keterangan letak dan tipe ruptur uretra.

Terapi

Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapatmenimbulkan penyakit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4 –6 bulan
perludilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial dengan
ekstravasasiringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urine. Kateter
sitostomidipertahankan sampai 2 minggu sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera, dan
dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada
ekstravasasikontras atau tidak timbul striktura uretra dan bila saat kateter sistostomi diklem
ternyata penderita bisa buang air kecil. Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi
uretra atau sachse. Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra
dengan anastomosis ujung ke ujungmelalui sayatan parineal. Dipasang kateter silikon selama
tiga minggu. Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematomyang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah
infeksi.

2.7 Trauma penis

Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, terkena mesin
pabrik, ruptur tunika albuguinea, atau strangulasi penis. Pada trauma tumpul atauterkena mesin,
jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika
terjadi amputasi penis total dan bagian distal dapat diidentifikasi,dianjurkan dicuci dengan
larutan garam fisiologis kemudian disimpan di dalam kantung es,dan dikirim ke pusat rujukan.
Jika masih mungkin dilakukan replantasi (penyambungan)secara mikroskopik.
Fraktur Penis

Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis yangterjadi
pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan karenadibengkokkan
sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya,atau tertekuk secara
tidak sengaja pada saat hubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penismenjadi bengkok
(angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai rasa nyeri.Untuk mengetahui letak
ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografiyaitu memasukkan kontras ke
dalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikanadanya ekstravasasi kontras keluar dari
tunika albuginea.

Tatalaksana

Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan


evakuasihematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika albuginea.
Robekanyang cukup lebar jika tidak dilakukan evakuasi hematom dan penjahitan, dapat
menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang menimbulkan perasaan nyeri pada
penis dan bengkok sewaktu ereksi.

Strangulasi Penis

Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguanaliran
darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemiadan edema
yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak-
anak. Pada orangdewasa penjeratnya berupa logam, tutup botol, atau karet yang biasanya
dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil biasanya jeratan pada
penisdipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol (enuresis) atau bahkan secara tidak
sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penisharus
segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada
penis.Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk
dilepaskan.Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah: (1)
memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam hal ini energi panas
yangditimbulkan dapat merusak jaringan penis, (2) melingkarkan tali pada penis pada
sebelahdistal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan seperti pada Gambar 6-7,
atau(3) melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang
cairan (edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.

Trauma Genitalia Eksterna

Trauma yang dapat terjadi pada genitalia eksterna berupa: avulsi, crushing, lukatajam,
luka tumpul, atau luka bakar.

Avulsi

Avulsi adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Biasanya terjadi pada
pekerja pabrik atau petani yang mempergunakan mesin pengolah lading. Celana dankulit
skrotum atau kulit penis terjerat pada mesin yang sedang berputar. Tindakan pertolongan
pertama adalah memberikan analgetika, sedative, serta traquilizer untuk menenangkan pasien.
Kemudian dilakukan pencucian luka dari debris dan rambut yangmenempel dengan melakukan
irigasi memakai air bersih dan kalau tersedia dengan garamfisiologis. Tidak diperkenankan
menyikat jaringan dan melakukan irigasi dengan antiseptic.Dilakukan debridement jaringan
yang mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapatmungkin jangan terlalu banyak membuang
kulit skrotum yang masih hidup, karena skrotum penting untuk membungkus testis.Jika kulit
skrotum yang tersisa tidak cukup membungkus testis, dianjurkan membuatkantong di paha atau
di inguinal untuk membungkus testis. Kantong di inguinal lebih mudahmembuatnya daripada
kantong di paha, akan tetapi karena suhunya sama dengan suhu di dalam rongga abdomen,
testis yang diletakan di inguinal seringkali mengalami gangguandalam proses spermatogenesis.
Karena itu pada pasien yang masih muda, sebaiknya testis diletakkan pada kantong yang dibuat
di paha.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://uroweb.org/wp-content/uploads/24-Urological-Trauma_LR1.pdf. Accessed on
June 19th 2018.
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Schwartz’s Principal Surgery. 10th ed.
United States of America : McGraw-Hill companies; 2015.
3. Indradiputra IMU, Hartono T. Tatalaksana Konservatif Pasien Dewasa dengan Trauma
Tumpul Ginjal Grade IV Terisolasi. CDK-237; 43(2), 2016.
4. Purnomo, Basuki B.Trauma Urogenitalia dalam Dasar-Dasar Urologi. Jakarta:Sagung
Seto; 2012.
5. Wijayanti, Ana. Trauma Urogenital . Available at: http://www.scribd.com. Accessed
on April 10th, 2017.
6. McAninch JW, Carroll PR. Major Bladder Trauma. Journal Urology. 2014.
7. Koraitim, et al. Pelvic Fracture Urethral Injuries Journal Urology. 2012

Anda mungkin juga menyukai